Televisi Zionis Israel menyatakan penyesalan mendalam atas tumbangnya kekuasaan pemerintah Zine El Abidine Ben Ali dan menyebut mantan Presiden Tunisia yang lari ke Arab Saudi ini sebagai pendukung terbesar politik Israel secara diam-diam.
Menurut laporan Fars News Ahad (16/1) mengutip televisi al-Alam, televisi Channel 10 Israel menyatakan bahwa Zine El Abidine Ben Ali secara diam-diam adalah pendukung terbesar politik Zionis Israel di Timur Tengah sekaligus menyatakan kekhawatiran Israel terkait perubahan politik Tunisia di masa mendatang.
"Sumber-sumber politik tingkat atas Israel sebenarnya telah menerima laporan yang mengkhawatirkan soal peristiwa yang bakal terjadi di Tunisia sejak tiga hari sebelumnya," tambah Channel 10.
Menurut televisi Israel, para pejabat Israel menilai Ben Ali sebagai satu dari kepala negara-negara Arab paling penting yang mendukung politik Israel dan kini mereka mengkhawatirkan masa depan negara ini.
Sementara sumber-sumber pemberitaan Israel mengatakan, larinya Zine El Abidine Ben Ali menyebabkan para pejabat Israel sangat khawatir apakah pemerintahan baru Tunisia tidak akan mengubah kebijakannya terhadap rezim Zionis Israel dan di masa depan tidak berubah menjadi musuh Israel?
Televisi Channel 10 Israel mengingatkan bahwa para pejabat Israel telah mengikuti dengan seksama sejak awal konflik Tunisia dan perkembangan terakhir negara ini. Sejumlah pertemuan keamanan dan politik juga telah dilakukan di Tunisia dengan dihadiri para pejabat Israel dan orang-orang Yahudi di negara ini guna mengevaluasi kondisi negara ini.
Jonathan Junin, pakar masalah Timur Tengah yang hadir dalam acara televisi Channel 10 Israel mengatakan, "Larinya Ben Ali dari Tunisia merupakan akhir dari satu periode sejarah Tunisia dan aksi kekerasan pemerintah terhadap rakyat. Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi di masa depan."
"Atap kaca yang dipaksakan oleh pemerintah Tunisia terhadap rakyatnya telah pecah dan hancur pasca 23 tahun di tangan gerakan revolusioner rakyat ‘Roti dan Kebebasan", ungkap Jonathan.
Sekaitan dengan masalah ini, surat kabar Yediot Aharonoth dan Haaretz dalam sebuah laporannya menyebut tumbangnya pemerintahan Ben Ali telah menciptakan kekhawatiran di antara negara-negara Arab Timur Tengah. Karena belum pernah terjadi ada negara Arab yang pemerintahannya tumbang akibat demonstrasi rakyat.
Sekalipun PLO memiliki kantor di Tunisia, namun hanya para pemimpin organisasi ini yang diperbolehkan memasuki negara ini. Pemerintah Tunisia di masa Zine El Abidine Ben Ali pada 2008 lalu saat Israel menyerang Jalur Gaza, melarang warganya untuk melakukan demonstrasi anti Israel. Tidak hanya itu, Ben Ali juga melarang upaya mengumpulkan bantuan rakyat untuk warga Gaza.
Kebanyakan negara-negara Arab saat ini punya terlilit masalah yang sama seperti tidak adanya kebebasan, kemiskinan dan penggangguran. Masalah ini membuat rakyat di Tunisia melakukan demonstrasi memprotes kebijakan pemerintahnya begitu juga yang terjadi di Aljazair yang menyebabkan puluhan rakyat tewas dan cidera.
Protes ini pada akhirnya melengserkan pemerintahan Zine El Abidine Ben Ali dan para pengamat politik berkeyakinan bahwa tumbangnya pemerintahan Ben Ali merupakan sebuah pesan penting bagi penguasa sebagian negara-negara Arab yang berkuasa bertahun-tahun secara turun temurun. (IRIB/SL/16/1/2011)Silvan Shalom, Menteri Pembangunan Regional Rezim Zionis Israel menyatakan kekhawatirannya bila kelompok-kelompok Islam yang berkuasa di Tunisia pasca lengsernya Zine El Abidine Ben Ali, mantan Presiden Tunisia yang anti Islam dan pro-Barat.
Menurut laporan Fars News mengutip surat kabar lintas regional Alquds al-Arabi, Silvan Shalom, Menteri Pembangunan Regional Zionis Israel kepada Radio Militer Israel menyatakan bahwa masyarakat internasional lebih memilih untuk mengabaikan segala pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di Tunisia di masa kepresidenan Zine El Abidine Ben Ali, namun sudah pasti saat ini ada kekhawatiran yang lebih besar terkait berkuasanya gerakan-gerakan Islam yang hingga saat ini kegiatannya mereka dianggap ilegal.
Shalom yang juga wakil Benyamin Netanyahu, Perdana Menteri Zionis Israel menyinggung sambutan hangat Ben Ali terhadapnya pada 2005 saat ia melawat Tunisia dan mengatakan, "Waktu itu saya menjabat sebagai Menteri Luar Negeri Israel dan lawatan ke Tunisia untuk ikut dalam sebuah seminar."
Pada tahun 1994 didirikan Kantor Pelindung Kepentingan Israel dan Tunisia di Tel Aviv, namun aktivitas dua kantor ini pada tahun 2000 sempat ditangguhkan akibat protes Tunisia atas penumpasan Intifadha Palestina oleh Zionis Israel.
Rezim Zionis Israel secara resmi belum mengeluarkan sikap resmi atas tumbangnya pemerintahan Zine El Abidine Ben Ali yang pro-Barat akibat protes luas warga Tunisia, sementara masyarakat Arab dan organisasi-organisasi keislaman melihat apa yang terjadi di Tunisia sebagai intifada bangsa Tunisia.
Berdasarkan Undang-Undang Dasar Tunisia, partai-partai berdasarkan Islam dilarang berdiri di negara ini dan Ben Ali sendiri dikenal sebagai presiden yang keras terhadap organisasi-organisasi keislaman. (IRIB/SL/16/1/2011)Sebuah komisi perencanaan Israel berencana memberikan lampu hijau untuk sebuah proyek pemukiman baru di Timur Baitul Maqdis meski dihadapkan pada kecaman masyarakat internasional terkait aktivitas pembangunan permukiman Zionis.
Radio Angkatan Darat Israel hari ini (16/1) mengumumkan, "Proyek dua tahap itu, bertujuan membangun 1.400 unit rumah baru di dekat permukiman "Gilo", yang terletak di luar Jalur Hijau."
Proyek ini akan memperluas perbatasan Gilo hingga ke kawasan Tepi Barat Sungai Jordan.
Proyek itu merupakan yang terbesar yang akan dibangun di Jalur Hijau, dan bahkan lebih besar dari rencana sebelumnya yang sempat memantik ketegangan dalam hubungan antara Israel dan Amerika Serikat.
Anggota Dewan Jerussalem, Meir Margalit (Meretz) mengatakan bahwa "Proyek tersebut merupakan langkah yang lebih serius dan berbahaya dari semua rencana sebelumnya dalam program konstruksi di luar Jalur Hijau."
Dikatakannya, "Ini merupakan konfirmasi penguburan upaya perdamaian".
Tahun lalu, Perdana Menteri Israel Benyamin Netanyahu dan pemimpin Otorita Ramallah, Mahmoud Abbas sepakat untuk memulai perundingan langsung guna mencapai kesepakatan peta jalan yang diupayakan Amerika Serikat.
Namun perundingan tersebut gagal setelah rezim Israel menolak untuk menghentikan pembangunan dan perluasan permukiman Zionis di Tepi Barat dan Baitul al-Maqdis.
Pada tanggal 2 September, pembicaraan itu kembali diluncurkan, namun terhenti lagi hanya tiga minggu kemudian, ketika Tel Aviv menolak untuk memperpanjang moratorium pembangunan permukimannya untuk 10 bulan.
Pihak-pihak Palestina menyatakan bahwa pembangunan permukiman bertujuan mencegah pembentukan negara independen Palestina.
Bersama dengan dengan wilayah Palestina dan Arab lainnya, Tel Aviv Timur menduduki Baitul Maqdis selama Perang Enam Hari pada tahun 1967.(irib/16/1/2011)Sehari setelah fenomena bersejarah penggulingan Presiden Tunisia Zine El Abidin Ben Ali, gelombang kekerasan dan amukan warga di berbagai daerah masih terus berlanjut.
Para pemimpin Tunisia saat ini, tengah membahas komposisi pemerintah persatuan pasca lengsernya Ben Ali guna mengakhiri kerusuhan di negara Afrika Utara itu. Pembahasan difokuskan pada upaya menggelar pemilu presiden dalam waktu dua bulan mendatang di bawah pengawasan internasional.
Ketua Parlemen Tunisia, Fuad Mebazaa, ditunjuk sebagai presiden interim pada hari Sabtu (15/1). Dalam pidatonya di televisi, Mebazaa menyatakan bahwa semua partai politik termasuk kubu oposisi, akan dilibatkan di kancah politik baru negara itu. "Semua pihak di Tunisia tanpa terkecuali harus dilibatkan dalam proses politik," katanya setelah diambil sumpah.
Berdasarkan undang-undang Tunisia, pemilihan presiden baru harus diselenggarakan dalam waktu 60 hari.
Setelah dilantik, Mebazaa meminta Perdana Menteri Tunisia, Mohammed Ghannouchi untuk membentuk sebuah pemerintahan persatuan.
Sementara itu, berbagai suara tembakan terdengar di jalan-jalan ibukota, Tunis, menyusul tank dan tentara telah dikerahkan untuk mengantisipasi aksi demo warga. Pada hari Sabtu, mobil-mobil mewah di ibukota hancur, serta banyak toko dan rumah dijarah kemudian dibakar. Aksi-aksi penjarahan dan pembakaran itu tampaknya difokuskan pada properti milik keluarga presiden terguling Ben Ali.
Setelah Ben Ali melarikan diri ke Arab Saudi, bandara udara Tunisia kembali beroperasi.
Ben Ali berkuasa di Tunisia selama lebih dari dua dekade. Selama berkuasa, pemerintahannya telah berulangkali melanggar hak asasi manusia dan melakukan berbagai penyiksaan. (IRIB/MZ/RM)/16/1/2011)Tentara Zionis terlibat bentrok dengan warga kota Al-Quds. Kantor berita QudsNet. Bentrokan itu terjadi setelah sejumlah petugas Zionis di pemerintah kota al-Quds yang dikawal tentara melakukan pemotretan rumah seorang warga di desa Silwan, di selatan Beitul Maqdis.
Tindakan itu direaksi dengan perlawanan oleh warga yang tinggal di rumah tersebut. Menyaksikan bentrokan itu, para pemuda di kota al-Quds ikut terlibat dan bentrok dengan tentara Zionis. Untuk membubarkan warga, tentara Zionis menggunakan gas air mata dan peluru plastik.
Tindakan pemotretan itu diduga sebagai bagian dari program Rezim Zionis untuk mengusir warga Palestina dari wilayah tersebut. Pengusiran itu dimaksudkan untuk memanfaatkan tanahnya dalam program pembangunan permukiman Zionis dan Judaisasi al-Quds.
Sementara itu dari Tepi Barat Sungai Jordan dilaporkan, sekelompok pemukim Zionis melukai perempuan warga Palestina dengan tembakan. Wanita yang sedang hamil itu adalah warga kota al-Khalil. Kasus penembakan oleh warga pemukim Zionis kerap terjadi karena Israel mempersenjatai para pemukim dengan senjata api. (IRIB/AHF/17/1/2011)Perunding senior Otorita Ramallah Saeb Erekat mengatakan, perundingan dengan Rezim Zionis Israel benar-benar gagal. Menyinggung perluasan proyek permukiman Zionis, Erekat menandaskan, "Rezim Zionis hanya mengenal bahasa blokade dan buldozer."
Ia lebih lanjut mengecam proyek terbaru Zionis untuk membangun permukiman baru yang terdiri atas 1400 unit rumah di kota al-Quds. Ini menunjukkan bahwa Israel tidak mempedulikan perdamaian dengan Palestina.
Putaran baru perundingan damai antara Otorita Ramallah dan Rezim Zionis Israel dengan mediasi AS dimulai bulan September tahun lalu. Akan tetapi proses itu terhenti karena Israel tak bersedia menghentikan pembangunan permukiman Zionis, khususnya di kota kuno al-Quds. Kebijakan pembangunan permukiman Zionis dilakukan untuk merubah demografi kependudukan di Palestina.. (IRIB/AHF/17/1/2011)Direktur Utama Radio dan Televisi Republik Islam Iran (IRIB), Ezatollah Zarghami dalam suratnya yang dilayangkan kepada Sekjen PBB, Ban Ki-moon mengkritik ketidakadilan media massa dunia dan mendesak aksi signifikan PBB untuk mengakhiri diskriminasi pers. Zarghami menilai sepak terjang sejumlah jaringan televisi parabola terang-terangan melanggar prinsip media massa dunia.
Zarghami dalam suratnya yang disampaikan wakil tetap Iran di PBB, menyinggung pertemuan Masyarakat Informasi Dunia (WSIS) pada tahun 2003 di Jenewa, seraya mengungkapkan, "Deklarasi Jenewa menegaskan urgensi moral, dukungan komprehensif terhadap institusi keluarga, menghormati keragaman budaya dan dimensi moralitas media massa."Namun amat disayangkan, beberapa tahun pasca pertemuan Jenewa, prinsip-prinsip tersebut tidak diperhatikan dalam interaksi internasional, bahkan terjadi berbagai pelanggaran.
Zarghami menyinggung pelanggaran norma-norma media yang dilakukan berbagai jaringan parabola terhadap nilai-nilai moralitas, budaya dan spiritualitas di lingkungan budaya Republik Islam Iran. Contoh riil dari aksi ini adalah penyebaran aksi kekerasan, wawancara dengan kelompok teroris dan program amoral yang dilakukan sekitar 90 stasiun parabola.
Penyelenggaraan pertemuan masyarakat Informasi pada tahun 2003 di Jenewa dan pertemuan sejenis dua tahun setelahnya di Tunisia merupakan upaya berbagai kalangan dan organisasi internasional di tingkat dunia. Tantangan yang dihadapi sistem media massa global menuntut negara-negara dunia dan organisasi internasional memikirkan upaya baru mengendalikan media massa dunia.
Pertemuan Jenewa merupakan sebuah periode dua tahunan yang memberikan kesempatan kepada negara-negara dunia untuk mengkaji dimensi nasional, regional dan internasional berbagai masalah dan tantangan yang menghalangi terwujudnya pembangunan informasi dan media massa. Kejadian ini disebut-sebut sebagai gerakan internasional terpenting di awal milinieum ketiga. Karena para pejabat tinggi 176 negara dunia berkesimpulan bahwa program pembangunan milinieum akan dicapai dengan cepat, jika masyarakat dunia meraih informasi dan pengembangan teknologi informasi.
Pertemuan Masyarakat Informasi Dunia pada Desember 2003 lalu, merilis deklarasi dan program praktis, antara lain:
1. Kemudahan mengakses sumber informasi dan komunikasi bagi semua orang di semua tempat dengan kondisi yang sama.
2. Memanfaatkan teknologi informasi dan telekomunikasi untuk mengentaskan kemiskinan dan mencapai tujuan pembangunan milinieum.
3. Diperlukan payung undang-undang dan dukungan politik bagi masyarakat informasi.
4. Mendukung pertumbuhan dan pengembangan keragaman budaya dan bahasa dalam masyarakat informasi.
5. Mengokohkan kebebasan berbicara dan menjalin komunikasi.
Berbagai propaganda penerapan deklarasi ini gencar digelontorkan, namun dalam praktiknya sejumlah negara yang tidak menghadiri pertemuan ini melanggar ketentuan dan menginjak-injak hak asasi manusia terkait akses terhadap informasi dan monopoli informasi.
Mengingat kelanjutan AS mengenai penguatan dan pengembangan kebebasan bependapat, terutama di media-media, dalam beberapa bulan terakhir Kongres AS meratifikasi draft membatasi seluruh jaringan parabola yang menyebarkan pesan anti-Amerika. Draf ini secara langsung menyinggung sejumlah media massa Timur Tengah, yang diklaim Kongres AS sebagai media yang menyebarkan kekerasan terhadap AS. Tidak hanya itu, Kongres AS juga menyebut media tersebut sebagai pendukung terorisme.
Ironisnya, pada saat yang sama, televisi dan radio Voice of America (VOA) mendukung para pelaku kriminal yang memimpin berbagai aksi teroris di dalam negeri Iran. Tidak hanya itu, media massa AS juga mendukung Abdolmalek Rigi, pemimpin kelompok teroris Jundullah yang melakukan berbagai aksi teror di wilayah tenggara Iran. VOA menyebut Abdolmalek Rigi sebagai pemimpin gerakan resistensi rakyat Iran. Media massa AS juga berulangkali mewawancarai Rigi dan mengemukakan pandangannya. Rigi dalam wawancara dengan televisi al-Arabiya, Pada 19 Oktober 2008, terang-terangan mengatakan,"Kami bertekad memperluas operasi hingga menjangkau seluruh Iran."
Masalah lain yang menjadi sorotan protes Dirut IRIB adalah sikap diskriminatif media massa global terhadap Iran. Zarghami dalam suratnya yang dilayangkan kepada Sekjen PBB menulis, "Bertentangan dengan ketentuan hukum internasional mengenai akses teknologi infrastruktur informasi dan telekomunikasi yang ditegaskan dalam deklarasi Jenewa, pada tahun lalu siaran televisi Iran seperti Al-Alam dan Sahar diputus secara sepihak oleh Nilesat milik Mesir dan Arabsat milik Arab Saudi."
Sontak, para pengelola 30 media massa dunia mengecam pemutusan siaran sepihak tersebut. Namun keputusan tersebut justru disambut hangat situs resmi Departemen Luar Negeri rezim Zionis Israel dan mantan Duta Besar Israel di Mesir.
Televisi al-Alam yang melaporkan realitas sebenarnya di Palestina memicu kemarahan Tel Aviv. Al-Alam dengan jernih mengungkapkan berbagai dimensi kejahatan rezim Zionis untuk menyadarkan dunia Arab mengenai kejahatan Israel terhadap Palestina.
Pembatasan sepihak terhadap televisi al-Alam berlangsung di saat undang-undang pers menegaskan dukungan terhadap kebebasan media, keragaman informasi dan hak pemirsa untuk mengakses informasi yang beraneka ragam. Sebaliknya menghilangkan hak tersebut merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak individu. Namun larangan siaran bagi televisi al-Alam justru tidak menurunkan jumlah pemirsa televisi ini. Sebaliknya, berdasarkan polling terbaru mengenai media pemberitaan di Timur Tengah, kedudukan televisi Al-Alam meningkat di tengah pemirsa dunia Arab dan menjadi salah satu chanel televisi terfavorit di Timur Tengah.
Masalah lain yang dikemukakan Zarghami adalah ancaman jaringan parabola terhadap keutuhan prinsip-prinsip keluarga.Terkait hal ini, para pakar komunikasi berkeyakinan bahwa retaknya keluarga, pengkhianatan terhadap keluarga sebagai hal biasa, pudarnya identitas keluarga yang merupakan prinsip paling utama masyarakat, serta meningkatnya kekerasan di kalangan remaja termasuk propaganda jaringan parabola global.
Demikian juga kekerasan dan penyebaran kerusakan moral yang disuarakan media massa dan puluhan ribu situs internet yang hanya bertujuan mengejar profit menjadi ancaman serius bagi masyarakat dan generasi mendatang di seluruh dunia.
Berdasarkan penelitian UNESCO, film televisi dan sinema serta game mempengaruhi otak anak-anak yang berakibat terjadinya perubahan perilaku mereka. Akses terhadap gambar-gambar film amoral di internet menjadi masalah serius dan ancaman yang menyebabkan runtuhnya prinsip-prinsip keluarga.
Zarghami diakhir suratnya mendesak diakhirnya diskriminasi terhadap akses teknologi informasi dan telekomunikasi, perbaikan atmosfir komunikasi global dan mencegah pelanggaran tehadap nilai-nilai moral. Namun tampaknya pemerintah Barat dan kalangan industriawan media tidak bisa dengan mudah melepaskan monopoli media. (IRIB/PH/16/1/2011)
0 comments to "Channel 10 Israel: Mantan Presiden Ben Ali Pendukung Terbesar Israel !"