Istilah perang devisa tahun lalu menjadi buah bibir di media pemberitaan. Perang ini berlangsung antara dua kubu kekuatan ekonomi dunia yang kebetulan juga punya pengaruh kuat di tengah masyarakat internasional. Entah siapa yang pertama kali menggelindingkan istilah perang ini. Yang jelas perang ini menunjukkan iklim sebenarnya di tengah negara-negara yang disebut maju dan dipandang mapan. Negara-negara ini khawatir jika mata uang mereka kian menguat dan nilai tukarnya melambung. Sebab, hal itu akan berdampak buruk pada pendapatan mereka bahkan bisa melumpuhkan ekspor. Sebagian malah menyebut adanya kecurangan dan persaingan yang tidak adil di pasar perdagangan. Pasalnya, negara yang menekan nilai tukar mata uangnya berarti punya ongkos produksi yang lebih kecil dibanding nilai jual komoditas yang diekspornya ke luar. Persaingan dengan cara ini dipandang sebagai tindakan curang dan persaingan yang tak sehat.
Perang mata uang tahun 2010 melibatkan AS dan Cina. Sejak masuk ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) pada Desember 2001. Awalnya AS berharap, masuknya Cina ke WTO bisa menguntungkan Washington. Karena dengan itu AS bisa mengendalikan Cina yang menjadi kekuatan besar dan baru di pentas pedagangan dunia dalam kemasan kerjasama. Namun nampaknya dewi fortuna berpihak kepada Cina. Sebab, tak lama setelah Cina jadi anggota WTO pembatasan eskpor di lembaga perdagangan ini dicabut. Ini berarti Cina bisa menjual produknya ke AS dalam jumlah berapapun. Tentunya barang komoditas buatan Cina diproduksi dengan harga kecil yang salah satu penyebabnya adalah rendahnya nilai mata uang Yuan.
Sebenarnya perselisihan antara Cina dan AS sudah ada sejak lama dan mengakar cukup dalam. Kedua negara punya sengketa terkait masalah militer dan hak asasi manusia (HAM). Ada pula sengketa yang bersumber pada persaingan keduanya dalam memperebutkan pengaruh di berbagai kawasan dunia. Saat ini Cina sudah melangkah jauh dengan menebar pengaruh di Afrika, Amerika Latin, juga ASEAN lewat kerjasama erat dengan asosiasi negara-negara Asia Tenggara ini. Cina sudah menormalisasi hubungan bilateralnya dengan India, dan menjalin kerjasama strategis dengan Rusia khususnya lewat Organisasi Kerjasama Shanghai. Semua itu jelas menumbuhkan kekhawatiran bagi AS. Dalam setahun terakhir, friksi antara AS dan Cina di bidang ekonomi, perdagangan dan tarif cukai cukup menarik dan memanaskan media pemberitaan dunia. Aksi saling balas diantara kedua negara juga mengundang perhatian.
Para ekonom AS menuduh Cina sengaja menekan nilai tukar mata uang Yuan supaya komoditas ekspornya bisa merajalela menguasai persaingan di pasar global. Jeffry Frieden, professor dari Universitas Harvard menjelaskan, tindakan Cina yang berusaha mempertahankan nilai Yuan tetap rendah, bukan hanya merusak ekonomi AS tetapi juga berimbas buruk pada perekonomian sebagian besar negara. Pakar masalah moneter dan finansial di banyak negara itu menambahkan, rekayasa devaluasi Yuan yang dilakukan Cina, sejatinya akan menyeret negara-negara dunia untuk berlomba-lomba menurunkan nilai mata uangnya. Di sisi lain, ia juga menilai bahwa pelemahan nilai Yuan juga menjadi biang utama yang membuat perbaikan ekonomi di Negeri Paman Sam tak juga membaik. Meski Jeffry tak mengingkari kelemahan internal ekonomi AS, namun kebijakan Cina itu dinilainya telah menyebabkan kebijakan ekonomi AS di kancah global terseok-seok.
Tahun 2009, Cina menduduki peringkat pertama di dunia dengan ekspor tertinggi yang mencapai nilai 1200 miliar USD. Selisih neraca perdagangan negara dengan jumlah populasi 1,3 miliar jiwa itu setiap tahunnya mencapai 250 miliar USD. Cadangan devisa Cina juga mengagumkan dengan mengukir angka spektakuler 2,422 triliun USD yang sekaligus mendudukkannya sebagai negara dengan cadangan devisa terbesar. Padahal, AS hanya menempati urutan ketujuh belas dunia dengan cadangan devisa sebesar 130 miliar USD dan bahkan berada di bawah Brazil, Aljazair dan Thailand.
Dalam perang ekonomi antara dua kutub kekuatan dunia, AS memang tertinggal jauh di belakang Cina. Tak heran jika AS menyalahkan Cina lantaran keengganan Beijing menaikkan nilai tukar mata uangnya. Cara itu, menurut AS, adalah trik Cina untuk meraih keuntungan dalam perdagangan kedua negara. Saat ini, setengah dari neraca defisit perdagangan AS terkait dengan hubungan dagangnya dengan Cina. Masih menurut AS, Beijing sengaja menahan kenaikan nilai tukar Yuan sehingga membuat barang-barang Cina yang murah membanjiri pasaran Amerika. Tahun 2009, nilai ekspor AS ke Cina hanya sebesar 70 miliar USD sementara nilai ekspor Cina ke negara itu mencapai 366 miliar USD.
Tentunya Cina tak tinggal diam menjadi sasaran tuduhan itu. Beijing menyatakan bahwa ketimpangan neraca perdagangan AS disebabkan oleh tradisi orang Amerika yang hobi belanja sementara harga barang-barang produk lokal cukup mahal. Kalah dalam perang dagang ini, AS mengancam hendak memberlakukan sanksi perdagangan atas negara itu. Cina pun balas menggertak dan menyatakan siap melakukan tindakan balas jika sanksi benar-benar dijatuhkan oleh AS. Yang jelas, dalam banyak hal AS sangat bergantung kepada Cina. Apalagi lebih dari 800 miliar USD obligasi AS ada di tangan Cina.
Rupanya, dalam perang mata uang ini, bukan hanya AS yang geram dengan ulah Cina. Negara-negara Eropa juga melayangkan kritik serupa. Mereka mengatakan, jika Cina melepaskan kendalinya atas Yuan dan membiarkan mata uang itu bergerak bebas di bursa devisa, maka nilai tukar Yuan akan meningkat minimal 40 persen dari nilai sekarang. Sampai saat ini, belum ada tanda-tanda Cina akan mengubah kebijakan keuangannya. Sebab, jika nilai tukar Yuan dibiarkan menanjak bebas, maka nasib para buruh yang terlibat dalam aktivitas produksi komoditas ekspor Cina ke luar negeri akan terancam, padahal jumlah mereka sangat besar. Alasan itulah yang diungkap oleh Zhao Xiaochuan, Gubernur Bank Central Cina saat mengumumkan sikap Beijing yang menolak membiarkan nilai tukar Yuan meningkat. Namun demikian, dia menjanjikan perimbangan nilai tukar Yuan secara bertahap.
Dalam kebijakan keuangannya, Cina memainkan peran seperti bank. Ketika rakyat di negara itu memerlukan jasa simpanan bagi uang mereka, pemerintah Cina mengeluarkan obligasi. Dari hasil penjualannya dana itu digunakan untuk membeli obligasi yang dikeluarkan negara lain, khususnya AS. Dengan cara ini cadangan kas negara Cina menjadi sangat besar. Ini berarti, pemilik sebenarnya dari dana itu adalah para pemain swasta. Poin terpenting adalah bahwa selisih keuntungan dari neraca perdagangan Cina dengan AS berikut cadangan devisa dijadikan dana simpanan oleh pemerintah Cina.(irib/1/1/2011)
0 comments to "Kilas Balik Perang Mata Uang Cina dan AS"