Home , � Mossad Nilai Iran dan Sudan Sebagai Ancaman Nyata Bagi Israel

Mossad Nilai Iran dan Sudan Sebagai Ancaman Nyata Bagi Israel

Duta Besar Sudan di Tehran mengatakan, AS dan rezim Zionis Israel memainkan peran penting dalam menabur benih perselisihan dan memicu perang saudara di negara itu serta menciptakan kerusuhan di wilayah selatan Sudan.

"Dinas intelijen Israel (Mossad) kemungkinan besar akan memperparah konflik di Sudan," kata Suleiman Abdel Towab kepada Press TV pada hari Ahad (2/1).

Ia juga mengatakan bahwa seorang pejabat senior Mossad dalam laporannya menunjuk tujuh negara sebagai "ancaman nyata" terhadap Israel, di antaranya adalah Iran dan Sudan.

Menurut Abdel Towab, Tel Aviv menilai Khartoum sebagai ancaman karena Sudan sebagai negara Islam dan sangat populer di Afrika. "Sudan ibarat sebuah jembatan antara Afrika, Arab dan Muslim, jadi Israel dan AS berusaha untuk mengontrol pemerintah Sudan dan menjatuhkan sanksi atas negara itu," tambahnya.

Dia menuturkan, Sudan dijatuhi sanksi karena penting secara geografis dan memainkan peran kunci di Afrika dan dunia.

Pada 9 Januari mendatang akan dilakukan referendum untuk menentukan nasib Sudan Selatan seperti dijanjikan dalam kesepakatan damai 2005 yang mengakhiri perang saudara antara wilayah utara dan selatan negara itu.

Bagian utara dan selatan Sudan terpisah karena perbedaan ideologi, etnik dan agama. Sudan Utara sebagian besar penduduknya Muslim, sementara warga Sudan Selatan kebanyakan Kristen dan pengikut kepercayaan tradisional. (IRIB/RM/3/1/2011)

Terbongkarnya Peristiwa 11 September Setelah 9 tahun

Presiden Republik Islam Iran, Mahmoud Ahmadinejad dalam pidatonya di Majelis Umum PBB tahun lalu membongkar konspirasi peristiwa 11 September 2001. Sontak, pernyataan logis yang dikemukakan Ahmadinejad mengenai peristiwa itu menjadi perhatian opini publik dunia.

Di Amerika sendiri, masyarakat Negeri Paman Sam ini memiliki pertanyaan besar atas peristiwa yang berbuntut disudutkannya Umat Islam. Richard Gage, Arsitek dan Insinyur kelompok pencari fakta peristiwa 11 September menyebut kejadian fenomenal di tahun 2001 lalu itu sebagai rekayasa dan konspirasi.

Gage dalam statemennya menyebut, Larry A. Silverstein, pebisnis AS, sebagai aktor di balik konspirasi peristiwa 11 September. Sebelumnya, Silverstein dalam sebuah perbicaraan yang terekam kepada kepala pemadam kebakaran menggunakan kalimat "tarik ke bawah", sebelum menara kembar WTC runtuh.

Pemilik properti itu beralasan bahwa kalimat itu digunakan untuk memerintahkan seluruh personil pemadam kebakaran terjun ke lapangan.
Namun Gage menilai menilai klaim itu tidak beralasan, karena di sekitar wilayah menara tujuh tidak ada seorang pun petugas pemadam kebakaran.

Pada tahun 1970 hingga 1980, Silverstein membeli sejumlah kantor dan bangunan penting di sekitar Manhattan dan Midtown. BBC melaporkan, menara bisnis tujuh Manhattan termasuk yang runtuh pada 11 September 2001, dan beberapa jam setelah hancurnya menara kembar WTC. Ironisnya, seluruh properti yang bukan milik Silverstein selamat dari peristiwa itu.

Meskipun Silverstein membantah peristiwa 11 September sebagai rekayasa dan konspirasi, dan dirinya menolak berada di balik runtuhnya bangunan 47 tingkat itu. Namun berbagai fakta membantahnya. Kepala kantor Pemadam Kebakaran New York, Daniel A. Nigro, antara tahun 2001 hingga 2002 mengungkapkan bahwa dirinya memutuskan untuk mengosongkan lokasi pukul 15.00 setelah runtuhnya menara WTC.

Ricard Gage menilai runtuhnya bangunan menawa WTC tidak normal. Jika memperhatikan dengan teliti video rekaman peristiwa hancurnya bangunan ini, kita menyaksikan bahwa bangunan itu hancur tanpa guncangan dari atas ke bawah.

Daniel Jowenko yang berpengalaman menghancurkan bangunan tua selama 27 tahun menilai hancurnya menara WTC disengaja, dan dilakukan oleh tim perusak.

Berbagai keganjilan lain semakin menambah deretan fakta bahwa peristiwa 11 September adalah sebuah konspirasi dan rekayasa yang dilakukan petinggi Gedung Putih (IRIB/PH/2/1/2011)

Hadiah AS untuk Afghanistan Kian Mengagumkan

Kesulitan ekonomi serta krisis keamanan dan stabilitas telah mengakibatkan sedikitnya lima juta anak di Afghanistan tidak mendapatkan kesempatan belajar. Deputi Kantor Hubungan Kemasyarakatan di Kementerian Pendidikan Afghanistan Menteri Abdul Samad Ghofrani Sabtu (1/1) kepada wartawan mengatakan, "Di Afghanistan ada sekitar 13 juta anak usia sekolah. Dari jumlah itu hanya 8 juta yang terdaftar belajar di bangku sekolah." Ghofrani menambahkan bahwa Kementerian Pendidikan mengalami masalah serius dari sisi tenaga pengajar perempuan. Dari 364 kota di Afghanistan sekitar 200 kota menghadapi masalah karena kekurangan guru perempuan. Selain itu, lebih dari 400 sekolah terpaksa ditutup karena krisis keamanan. Di tahun 2010 saja, ada sekitar 20 sekolah yang rusak. (IRIB/AHF/AR/2/1/2011)

Amerika di Tahun 2010

McChrystal

Tahun lalu untuk pertama kalinya kasus pelanggaran hak asasi manusia di Amerika Serikat dibahas di Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia PBB, Navanethem Pillay mengungkapkan kekhawatirannya yang mendalam terkait kasus penyiksaan terhadap para tahanan teroris, kekerasan yang dilakukan polisi, dan diskriminasi rasialis di AS. Komisaris tinggi Dewan Hak Asasi Manusia PBB juga menyinggung secara detail pelanggaran HAM yang dilakukan pemerintah AS terhadap kaum minoritas kulit hitam, masyarakat muslim, dan kalangan imigran.

Selama ini, isu HAM kerap dimanfaatkan Washington sebagai alat untuk menekan negara-negara lain yang dianggap mengancam hegemoni AS. Bahkan tudingan pelanggaran HAM menjadi salah satu motor utama bagi Gedung Putih untuk menyukseskan kebijakan luar negerinya. Padahal AS sendiri merupakan pelanggar HAM terbesar di dunia. Bahkan di dalam negeri mereka sendiri, tindakan rasialis terhadap kalangan minoritas etnis kulit hitam dan kulit berwarna sudah terang-terangan dilakukan dan menjadi hal yang lumrah. Selain itu, dukungan membabi buta Washington terhadap sejumlah negara pelanggar hak asasi manusia dan rezim diktator menjadi kritikan Dewan Hak Asasi Manusia PBB.

Tahun lalu, Presiden Amerika Serikat Barack Obama mencopot Panglima militer AS di Afghanistan, Jenderal Stanley McChrystal menyusul memburuknya kondisi di Afghanistan. Sebagai gantinya, Obama memilih Jenderal David Petraeus yang memulai tugasnya di tengah eskalasi jumlah pasukan asing yang tewas di negara itu. McChrystal dipecat karena melancarkan kritik pedas terhadap para pejabat tinggi Gedung Putih.

Tampaknya, kemarahan Obama terhadap McChrystal dipicu oleh wawancara kontroversial mantan panglima pasukan AS ini dengan majalah Rolling Stone. McChrystal dalam wawancara tersebut menyebut Duta Besar AS di Kabul berkhianat, karena menentang peningkatan jumlah pasukan di Afghanistan.

Para analis politik menilai friksi antara militer AS di Afghanistan dan politisi Washington mengenai manajemen perang Afghanistan sebagai pemicu pencopotan McChrystal dari jabatannya. Pasalnya, McChrystal sebagai panglima NATO dan Amerika di Afghanistan mendesak supaya Obama menyetujui pengiriman setidaknya 50 ribu pasukan tambahan. Namun Presiden AS tidak menyetujuinya karena mengkhawatirkan reaksi negatif opini publik negara ini, dan hanya menyetujui 30 ribu tentara. Sejatinya, pencopotan McChrystal dari jabatannya dan meningkatnya friksi mengenai masa depan perang di Afghanistan menjadi masalah paling utama di tingkat politik dan militer Negeri Paman Sam ini.

Tahun 2010 merupakan peristiwa pencemaran lingkungan terburuk sepanjang sejarah Amerika Serikat. Pada 20 April 2010 terjadi ledakan rig milik British Petroleum yang menewaskan 11 orang, dan mengakibatkan pencemaran minyak mentah di Teluk Meksiko. Kebocoran minyak ini berlangsung selama 90 hari yang menyebar hingga ke empat negara bagian di AS, Louisiana, Alabama, Mississippi, dan Florida. British Petroleum sebagai pihak yang bertanggungjawab atas kebocoran minyak ini harus membayar ganti rugi senilai $30 miliar.

Peristiwa sumur minyak Deep Water Horizon dipandang sangat penting. Pertama, peristiwa ini menunjukkan lemahnya teknologi perusahaan raksasa BP. Pemerintahan Obama lemah dan tidak mampu mengendalikan aktivitas perminyakan di negara ini. Akhirnya krisis lingkungan memicu friksi hubungan Washington-London dan menyebabkan meningkatnya ketidakpuasan terhadap kebijakan Obama terutama di selatan Amerika.

Insiden itu akhirnya memaksa Obama memutuskan untuk menghentikan sementara aktivitas penambangan di lepas pantai. Kalangan pemerintah, dan juga masyarakat luas yang telah terkena dampak buruk tumpahan minyak di Teluk Meksiko, termasuk pengusaha wisata dan aktivis lingkungan membela moratorium Obama. Hakim Martin Feldman bahkan dituding tidak peduli pada kepentingan negara dan publik yang lebih luas. Dia lebih membela kepentingan dirinya dan penyelamatan sahamnya di sejumlah perusahaan minyak di lepas pantai AS. Namun di mata para pelaku industri minyak, keputusan Obama itu dinilai bisa mengancam keamanan energi AS dan justru membuat negara tersebut menjadi semakin tergantung pada impor BBM.

Tahun lalu, Amerika Serikat untuk pertama kalinya mengumumkan jumlah senjata nuklir yang dimiliki negara ini. Departemen Pertahanan Amerika Serikat pada hari pertama konferensi Peninjauan Ulang Traktat Nonproliferasi Nuklir (NPT) di New York pada Musim Semi tahun lalu menyatakan bahwa Amerika Serikat memiliki 5113 senjata nuklir yang disimpan di gudang nuklir negara ini. Demikian juga, Menteri Luar AS, Hillary Clinton menyatakan bahwa 95 persen senjata nuklir dunia berada di tangan Amerika Serikat dan Rusia.

Pada Konferensi Revisi NPT kedelapan di New York, AS berupaya memaksakan berbagai pandangannya kepada negara lain. AS menyetir konferensi ke arah peningkatan monopoli dan membatasi negara-negara lain memperoleh teknologi nuklir ketimbang memperjuangkan perlucutan senjata negara-negara pengobar perang. Kini perlucutan senjata nuklir telah menjadi kebijakan sukarela, sementara pemanfaatan teknologi nuklir damai menjadi kebijakan monopoli dan hak milik segelintir negara.

Beberapa waktu lalu, Departemen Keuangan AS dalam laporannya menyatakan jumlah utang pemerintah AS bertambah $3 triliun, sejak Barack Obama memasuki Gedung Putih dua tahun lalu. Diperkirakan, ketika Obama merampungkan masa tugasnya tahun 2012 nanti, utang AS akan ketambahan lebih dari $5 triliun. Padahal, George W Bush selama delapan tahun masa jabatannya sebagai Presiden ‘hanya' membebankan $4 triliun lebih besar pada utang AS.

Laporan Departemen Keuangan AS menyebutkan bahwa utang yang ditanggung pemerintah AS saat ini sudah melampaui angka $13 triliun. Di akhir masa kepresidenan Obama tahun 2012, utang ini akan meningkat menjadi $16 triliun. Jumlah sebesar itu lebih tinggi seratus persen dibanding total produksi domestik bruto AS. November tahun lalu, data resmi departemen Keuangan menunjukkan bahwa utang pemerintah AS saat itu sudah melampaui $12 triliun.

Membengkaknya beban utang pemerintah AS menunjukkan defisit anggaran negara yang juga melambung tinggi. Defisit raksasa itu menurut para pengamat disebabkan oleh kebijakan pemerintah Obama dalam dua tahun ini yang berusaha mengatasi krisis ekonomi dengan menyuntikkan dana ke lembaga-lembaga finansial. Salah satu kebijakan yang dijalankan tak lama setelah Obama masuk ke Gedung Putih adalah paket stimulus yang jumlahnya ratusan miliar dolar. Padahal, bulan September 2008 beban utang pemerintah AS sudah melebihi angka $10 triliun.

Pengesahan Undang-Undang Imigrasi terbaru di Negara Bagian Arizona memicu kritik dan gelombang protes, bahkan menjadi polemik politik,sosial dan hukum di Amerika Serikat. Berdasarkan UU baru ini, kepolisian berhak menangkap dan menyidik para imigran asing tanpa dalil.

Berbagai lembaga pembela hak-hak sipil di AS menyebut UU tersebut diskriminatif dan menyandingkannya dengan produk UU nazisme. Tidak ketinggalan para pakar hukum PBB menyatakan penentangannya terhadap keputusan parlemen negara bagian Arizona. Sejumlah pakar hukum independen PBB lewat pernyataan bersamanya menegaskan kekhawatirannya atas tindakan diskriminatif terhadap para imigran keturunan latin di negara bagian Arizona.

Dalam pernyataan itu disebutkan, "Undang-undang ini bisa berujung pada penangkapan dan interograsi seseorang hanya berdasarkan identitas etnisnya". Orang-orang Meksiko, keturunan Latin dan pribumi di Arizona berpeluang lebih terancam dengan diberlakukannya UU tersebut. Berdasarkan UU Imigrasi Arizona yang baru, polisi bisa bertindak apapun terhadap siapa saja yang dianggap sebagai imigran gelap. Padahal sebelumnya, wewenang tersebut hanya dimiliki oleh polisi imigrasi federal dan sebagian aparat lokal. Berbagai kritikan terhadap UU imigrasi ini menyebabkan pemerintah Federal turun tangan mengkritik keputusan negara bagian Arizona tersebut. (IRIB/PH/SL/2/1/2011)

0 comments to "Mossad Nilai Iran dan Sudan Sebagai Ancaman Nyata Bagi Israel"

Leave a comment