Home , , , � Rentetan Bom Gugurkan 50 Lebih Peziarah Karbala, Nuri Maliki: Amerika Serikat Harus Angkat Kaki

Rentetan Bom Gugurkan 50 Lebih Peziarah Karbala, Nuri Maliki: Amerika Serikat Harus Angkat Kaki

Menjelang peringatan 40 hari syahidnya Imam Husain (as) atau yang dikenal dengan peringatan arbain, terjadi rangkaian ledakan bom di sejumlah kota dengan sasaran para peziarah yang berniat melaksanakan peringatan arbain di Karbala.

Menurut keterangan pejabat keamanan Irak, kelompok teroris hari Kamis meledakkan sejumlah bom di jalur yang dilintasi rombongan peziarah di kota Najaf, Karbala dan Baghdad. Akibatnya lebih dari 50 peziarah gugur syahid dan sekitar 200 lainnya luka-luka.

Sudah menjadi tradisi warga Irak untuk melaksanakan peringatan hari Arbain di Karbala dengan berjalan kaki. Di hari Arbain makam Imam Husain (as) setiap tahunnya dipenuhi oleh jutaan peziarah yang datang dari berbagai kota Irak dan dari berbagai negara. (IRIB/AHF/21/1/2011)

Pentagon: Satu Milisi = 250 Ribu Amunisi

Pentagon dalam sebuah laporannya menyatakan bahwa untuk membunuh seorang milisi di Irak atau Afghanistan militer Amerika Serikat sedikitnya memuntahkan 250 ribu amunisi.

Menurut laporan Fars News mengutip situs an-Nakhil, sebuah laporan yang dirilis Departemen Pertahanan AS (Pentagon) menyebutkan militer negara ini setiap tahunnya menghabiskan dua juta amunisi dan mortir. Untuk membunuh satu milisi di Irak dan Afghanistan mereka harus menembakkan 250 ribu peluru.

Masih menurut sumber ini, tingginya permintaan militer ini membuat perusahaan senjata AS tidak mampu memenuhinya, oleh karena itu Washington baru-baru ini mulai mengimpor berbagai amunisi dari perusahaan IMI milik Rezim Zionis Israel. IMI juga menjadi perusahaan Zionis yang mensuplai kebutuhan militer Israel.

Berdasarkan angka yang disebutkan dalam laporan Pentagon, pemerintah AS menyatakan militer negara ini berhasil membinasakan 20 ribu milisi bersenjata dan untuk jumlah ini setiap tahunnya Gedung Putih menghabiskan 1,8 miliar amunisi dan mortir.

Jumlah ini menurut Badan Audit AS (GAO) selama lima tahun lalu terus meningkat gara-gara perang di Irak dan Afghanistan.

Untuk mengetahui dana yang dikeluarkan AS untuk membunuh seorang milisi di Irak, kita cukup menyimak pernyataan mantan komandan militer Amerika di Irak. Ia mengatakan, kami tidak menghitung jumlah jenazah korban, namun berdasarkan data statistik dan berbagai laporan pemerintah, militer AS sejak tahun 2002-2005 telah menembak sedikitnya enam miliar kali. (IRIB/Fars/MF/12/1/2011)

Normalisasi Hubungan Irak dan Kuwait

Perdana Menteri Kuwait

Lawatan Perdana Menteri Kuwait, Sheikh Nasser al-Mohammed al-Ahmed al-Jaber al-Sabah ke Irak pada 12 Januari lalu menjadi sorotan berbagai media dan elit politik di kawasan. Wajar jika lawatan Sheikh Nasser ke Irak ini menjadi berita hangat, pasalnya dalam 21 tahun terakhir ia menjadi satu-satunya petinggi Kuwait yang melawat Baghdad. Jika kita mempelajari transformasi politik tiga dekade di Irak maka akan kita temukan peran signifikan Kuwait dalam proses ini.

Di dekade 80-an, ketika Saddam Hussein, diktator Irak memulai melancarkan perang yang dipaksakan kepada Republik Islam Iran, Kuwait termasuk salah satu pendukung utama Baghdad. Namun tak lama kemudian, Kuwait juga menjadi korban keserakahan Saddam Hussein. Perang delapan tahun dengan Iran membuat Irak terpaksa menanggung utang sebesar 75 miilar dolar. Dari jumlah tersebut 30 miliar dolar adalah utang Irak kepada Kuwait.

Pada tahun 1989-1990 hubungan Irak-Kuwait renggang. Saddam Hussein waktu itu meminta Kuwait membebaskan utang Irak. Bersamaan dengan upaya Rezim Baath untuk memperbaiki infrastrukturnya yang rusak akibat perang serta kosongnya kas negara, Saddam menggelontorkan isu kepemilikan tanah untuk menekan Kuwait. Langkah Saddam ini ditujukan untuk memaksa Kuwait membebaskan utang Irak dan juga mengurangi produksi minyaknya guna menaikkan harga minyak.

Sementara itu, Kuwait menolak usulan Saddam tersebut dan friksi soal eksplorasi minyak di perbatasan kedua negara kian memanas. Akhirnya sikap arogan Saddam berujung pada perang baru di Teluk Persia. 2 Agustus 1990, Kuwait dicaplok Irak. Enam bulan berikutnya pada pertengahan Januari tahun 1991 terbentuklah pasukan multilateral yang dikomandoi Amerika Serikat (AS) untuk mengusir Irak dari Kuwait. Perang antara pasukan multilateral pimpinan Amerika dan Irak yang dikenal dengan perang minyak akhirnya berhasil mengusir pasukan Saddam hanya dalam beberapa pekan.

Ini bukan akhir dari perang antara Irak-Kuwait. Irak sebagai pihak yang dituding bersalah dalam kasus ini harus membayar ganti rugi perang kepada Kuwait sebesar 41 miliar dolar. Pembayaran ini diambil dari penjualan minyak Irak. Kondisi sulit yang dialami Irak ternyata tidak terbatas pada ganti rugi, negara yang porak poranda akibat perang ini juga dijatuhi sanksi internasional. Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atau dikenal dengan pasal tujuh Piagam PBB menyebut Irak sebagai negara berbahaya bagi keamanan internasional. Kondisi ini sangat berdampak buruk bagi Baghdad yang baru saja berperang. Di antara dampak lain arogansi Saddam di tingkat kawasan adalah hadirnya pasukan asing pimpinan AS di Teluk Persia dan transaksi besar penjualan senjata negara Arab dengan Amerika dan Inggris.

Kuwait meski bekerjasama dengan AS, namun senantiasa menunggu kesempatan untuk menyerang rezim Saddam Hussein. Setelah George W. Bush menjadi presiden AS, Kuwait menjadi salah satu pangkalan utama Washington dan London untuk mengagresi Irak pada tahun 2003. Mengubah struktur politik di Irak dan menghancurkan Saddam Hussein adalah strategi Kuwait, karena dengan demikian negara ini mampu menghapus musuh bebuyutannya. Pasca runtuhnya kekuasaan Saddam dan berkuasanya pemerintahan baru, Kuwait mulai menunjukkan minatnya untuk menormalisasi hubungannya dengan Baghdad serta membuka kembali kedutaan besarnya di Irak.

Meski demikian, bayang-bayang kasus serangan Irak ke Kuwait masih menghantui hubungan bilateral kedua negara. Di sisi lain, meski para petinggi Baghdad dalam lawatannya ke Kuwait senantiasa berbicara soal urgensitas babak baru hubungan kedua negara, namun hingga kini belum tercapai kondisi positif untuk merealisasikannya. Irak sendiri masih menanggung utang sebagai ganti rugi perang sekitar 23 miliar dolar kepada Kuwait. Sementara itu, Irak masih berharap Kuwait menghapus utang tersebut. Demi mensukseskan upayanya ini, para petinggi Baghdad selalu menyinggung masalah penghapusan utang di setiap dialognya dengan pemerintah Kuwait, namun sepertinya Kuwait belum menunjukkan indikasi positif.

Sementara itu, masih banyak masalah yang tersisa dan belum terselesaikan seperti friksi perbatasan dan lahan minyak bersama serta kasus orang-orang hilang Kuwait. Di sisi lain, Kuwait tetap bersikap hati-hati dan terus meningkatkan kewaspadaannya. Kuwait tetap khawatir jika Irak yang saat ini berhasil mencapai kemajuan proses politik, pembangunan infrastruktur dan peningkatan kemampuan pasukan keamanannya kembali mengungkit-ungkit masalah yang dipersengketakan. Sepertinya hal ini menjadi salah satu alasan kuat bagi Kuwait untuk menolak dukungan bagi keluarnya Irak dari pasal tujuh Piagam PBB.

Kuwait menuntut langkah-langkah untuk membangun kepercayaan dari pemerintah Baghdad. Munculnya isu dan upaya untuk menjadikan oknum Partai Baath kembali berkuasa di Irak membuat Kuwait bertambah khawatir atas hubungan mendatang kedua negara. Irak dan Kuwait telah membentuk komite bersama untuk menyelesaikan friksi lahan minyak kolektif kedua negara. Namun langkah ini terhambat dan lambat disebabkan sikap Kuwait soal permintaan keringanan Irak terkait ganti rugi perang dan pasal tujuh Piagam PBB.

Adapun Irak tetap tidak menghentikan upayanya untuk keluar dari pasal tujuh Piagam PBB, sanksi internasional dan menghapus utangnya kepada Kuwait meski pemerintah Kuwait telah memberikan lampu hijau dan dukungannya untuk memperdalam hubungan bilateral dengan Baghdad. Perdana Menteri Irak, Nouri al-Maliki meminta Dewan Keamanan PBB (DK-PBB) mencabut sanksi terhadap Baghdad akibat kejahatan Rezim Saddam.

Lawatan terbaru Perdana Menteri Kuwait ke Baghdad membawa pesan kepada para pemimpin Irak bahwa Kuwait mulai mengubah kebijakannya terhadap negara ini. Baghdad juga semakin optimis jika Kuwait akan meninjau ulang kebijakan kerasnya terhadap Irak selama ini. Apalagi diprediksikan Emir Kuwait, Sheikh Sabah al-Ahmad al-Jaber al-Sabah akan hadir di KTT Liga Arab yang akan digelar di Baghdad. Jelas lawatan Emir Kuwait akan menyedot perhatian media massa ketimbang para pemimpin Arab lainnya.

Di sini tak boleh dilupakan peran Amerika yang juga terus membujuk pemerintah Kuwait untuk memperbaiki hubungannya dengan Irak atau paling tidak mengurangi utang Baghdad terhadap Kuwait. Di sisi lain, Kuwait meski menjadi mitra utama Amerika Serikat, namun negara ini masih tetap mencurigai langkah-langkah rahasia Washington mendukung oknum Partai Baath kembali berkuasa di Irak.

Sepertinya langkah kedua negara untuk memulihkan hubungannya dengan prinsip saling menghormati dan melupakan arogansi Saddam Hussein kian mendekati kenyataan. Namun lagi-lagi, Kuwait masih berhati-hati untuk membuka hubungan luas dengan Irak. (IRIB/MF/SL/19/1/2011)

Ledakan Tikrit Teror 42 Calon Polisi Irak

Ledakan bom massif di markas polisi kota Tikrit, Irak tengah, menewaskan sedikitnya 42 orang dan mencederai lebih dari 100 lainnya.

Serangan itu terjadi hari ini (Selasa 18/1), setelah pelaku meledakkan rompi yang dipasang bahan peledak di antara sekelompok pemuda yang tengah antri mendaftar menjadi pasukan polisi Irak di Tikrit.

Ini merupakan serangan teror dengan jumlah korban tewas terbanyak sejak sekelompok teroris menyerbu sebuah gereja di Baghdad pada bulan Oktober 2010, menewaskan lebih dari 50 orang.

Serangan teror terus menarget pasukan keamanan dan polisi di tengah gelombang kekerasan baru di negara pendudukan itu. (IRIB/MZ/SL/18/1/2011)

Nuri Maliki: AS Harus Angkat Kaki



Perdana Menteri Irak Nuri Maliki menyatakan penentangannya terhadap usulan untuk meminta bantuan pemerintah Amerika Serikat dengan imbalan berlanjutnya tugas pasukan AS di Irak.

Saad Muttalibi, salah seorang anggota Aliansi Persatuan Nasional kepada radio Nawa mengatakan, dalam pertemuan dengan Perdana Menteri di Baghdad, Wakil Presiden AS Joe Biden, mengusulkan pemberian bantuan politik dan keamanan dari Amerika dengan imbalan pemerintah Baghdad mengizinkan AS tetap mempertahankan tentaranya di Irak. Namun usulan itu ditolak dengan tegas oleh Perdana Menteri Irak. Nuri Maliki menyatakan bahwa rakyat Irak bisa mengatur sendiri negaranya.

Sesuai kesepakatan keamanan, AS harus menarik seluruh tentaranya yang saat ini berjumlah 50 ribu personil dari Irak paling lambat 31 Desember 2011. (IRIB/AHF/17/1/2011)

Di Balik Lawatan Dadakan Biden ke Irak

Wakil Presiden Amerika Serikat, Joe Biden mendadak berkunjung ke Irak. Lawatan dadakan ini dilakukan di saat ribuan warga Irak memprotes berlanjutnya invasi di negara mereka. Warga Irak dalam aksi protesnya membakar bendera AS dan menuntut penarikan pasukan asing dari negaranya. Biden tiba di Irak dua hari lalu. Sejak ditunjuk Presiden Barack Obama untuk menangani masalah Irak, Biden telah berkunjung ke Baghdad sebanyak tujuh kali. Lawatan Biden kebanyakan dilakukan secara mendadak.

Biden dalam lawatan ke tujuhnya, pertama-tama menemui Perdana Menteri Nouri al-Maliki. Agenda lain Biden di Irak adalah bertemu dengan Presiden Jalal Talabani, Ketua Parlemen Irak, Osama al-Nujaifi, Ketua List al-Iraqiya, Iyad Allawi serta sejumlah petinggi Irak lainnya.

Meski Biden dalam lawatannya ini hendak mengucapkan selamat kepada pemerintahan baru Baghdad, namun tak diragukan lagi kunjungan wakil Presiden AS ini memiliki misi lain dari sekedar basa-basi diplomatik.Terutama mengenai batas akhir penempatan pasukan Amerika di Irak sesuai dengan Kesepakatan Keamanan Washington-Baghdad (SOFA) yang berakhir tahun 2011. Kecil kemungkinan jika lawatan Biden kali ini untuk mempercepat proses penarikan pasukan Amerika dari Baghdad.

Sebelumnya Biden menandaskan bahwa misi militer AS di Irak setelah tahun 2011 akan berubah. Ia juga memperkirakan militer AS masih akan ditempatkan di Irak sebagai instruktur bagi pasukan keamanan Baghdad. Yang pasti tidak terdapat sikap serius untuk keluar dari Irak di antara para petinggi Gedung Putih. Washington dengan berbagai cara berusaha mempersiapkan peluang bagi penempatan militer AS setelah tahun 2011 di Irak.

Program pelatihan pasukan keamanan Irak dan belum siapnya militer Irak untuk mengontrol keamanan dalam negeri menjadi dalih bagi AS untuk melanjutkan penjajahan di Negeri Seribu Satu Malam. Padahal Perdana Menteri Nouri al-Maliki berulangkali menegaskan kemampuan pasukan keamanan negaranya untuk menjamin keamanan dalam negeri.

Penangkapan puluhan teroris dalam beberapa pekan terakhir di Irak menjadi bukti kuat kemampuan dinas intelijen negara ini menangani krisis keamanan. Baghdad juga berulangkali menyatakan kondisi negaranya saat ini tidak membutuhkan kehadiran pasukan asing.

Para petinggi Irak menegaskan tahun 2011 sebagai tahun terakhir kehadiran pasukan asing pimpinan AS di Baghdad. Pernyataan ini dirilis petinggi Bagdad meski Amerika aktif melancarkan agitasi di negara ini. Mereka juga menekankan tidak akan mengizinkan penempatan pasukan AS pasca tahun 2011 di Irak.(IRIB/MF/PH/15/1/2011)

0 comments to "Rentetan Bom Gugurkan 50 Lebih Peziarah Karbala, Nuri Maliki: Amerika Serikat Harus Angkat Kaki"

Leave a comment