Home , � Syiah Indonesia Antara Janji dan Harapan

Syiah Indonesia Antara Janji dan Harapan

Mungkin disini kita perlu mengkaji sejauh mungkin perjalanan syiar Ahlulbait as di Indonesia ini pada tahapan metodelogis, gerak dan siasat syiar bukan hanya pada tatanan teori yang bersumber pada tatanan yang benar tanpa melupakan unsur budaya lokal, sejarah, kondisi dan situasi masyarakat Indonesia secara umum baik yang berupa keyakinan, pemikiran, kehidupan serta mitos yang ada padanya.

Mohammad Habri Zen S.Si



Syiah  Indonesia Antara Janji dan Harapan

"Dialah yang telah mengutus RasulNya (dengan membawa) petunjuk (Al-Qur'an) dan agama yang benar,untuk dimenangkanNya atas segala agama, walaupun orang-orang musyrik tidak menyukai." [1]

“Dan urusan mereka dimusyawarahkan antara sesamanya.” [2]

Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh” [3]

Pembahasan lika-liku syiah dan kesyiahan di Indonesia merupakan suatu fenomena yang tak bisa kita pungkiri kenyataannya, perjalanan para pecinta ahlulbait dan penungguan Imam Zaman as seperti bola yang digulirkan ke bawah yang tak mungkin berhenti dan dihentikan lagi, sehingga hal tersebut mengkristal dalam jiwa-jiwa para pengharap kebenaran akan kepastian dan janji yang akan terjadi di masa depan. Janji tersebut bukanlah sebuah khayalan tetapi merupakan suatu kepastian tak pasti maksudnya masa depan yang merupakan masa kejayaan untuk orang-orang yang benar dan beriman pasti akan terjadi tetapi tak pasti kapan akan terjadi. Seperti yang kita telah ketahui bahwa masyarakat syiah di manapun dia berada tidak memiliki keyakinan yang buta dan kosong sebab mereka terbiasa dengan sebuah kajian ilmiah yang penuh dengan ketajaman pemikiran. Akalnya selalu bekerja terus menemukan jalan kebenaran diatas kebenaran, sehingga keyakinan masyarakat syiah bukanlah keyakinan khayal yang muncul hanya dari doktrin tekstual ataupun doktrin lainnya tetapi merupakan keyakinan yang teruji. Tak kalah pula hal tersebut terjadi pada masyarakat syiah Indonesia. Indonesia merupakan bagian dari dunia yang diyakini sebagai bagian dari yang dijanjikan oleh Allah SWT untuk diserahkan dan dimiliki oleh orang-orang yang beriman.

Namun yang sangat disayangkan sekarang ini adalah kondisi perjalanan syiar ahlulbait as mengalami bentuk yang belum menentu, sehingga apakah keyakinan terhadap janji yang telah disebutkan diatas akan pula terjadi di tanah air Indonesia? Atau mungkin tanah air Indonesia akan hilang ditelan bencana dan tak akan diinjak sedikitpun oleh Imam Zaman as kecuali tanah yang tenggelam? Pertanyaan-pertanyaan tersebut akan merefleksikan benak setiap masyarakat syiah di Indonesia terhadap aplikasi yang berbed-beda, serta akan memberikan reaksi positif bagi orang yang mengambil sikap penuh harapan, dilain hal tak sedikit pula yang menyerah pada keadaan.

Mungkin disini kita perlu mengkaji sejauh mungkin perjalanan syiar Ahlulbait as di Indonesia ini pada tahapan metodelogis, gerak dan siasat syiar bukan hanya pada tatanan teori yang bersumber pada tatanan yang benar tanpa melupakan unsur budaya lokal, sejarah, kondisi dan situasi masyarakat Indonesia secara umum baik yang berupa keyakinan, pemikiran, kehidupan serta mitos yang ada padanya.

Masyarakat Syiah dan Gerakan Islam Di Indonesia

Kalau kita melihat sejarah jauh-jauh sebelum masa kemerdekaan di zaman kerajaan dan ataupun di zaman berdatangannya para muballigh ke tanah air Indonesia, kita akan dapat melihat bahwa Islam secara cepat tersebar ke seluruh pelosok tanah air baik melalui kebijakan kerajaan ataupun secara individu-individu yang terorganisir dengan media pondok-pondok pesantren yang tersebar di seluruh indonesia. Pada masa kemerdekaan banyak bermunculan pemikiran-pemikiran Islam yang mengendap pada berbagai macam organisasi. Dan organisasi inilah sebagai alat bagi mereka untuk menyebarkan pemahaman ajaran keyakinannya. Pada hakikatnya model pada masa kerajaan dan masa kemerdekaan memiliki esensi yang sama, yaitu mereka menggunakan konsep bekerja bersama dalam sebuah institusi organisasi tradisional ataupun modern, yang dimana telah diketahui dan sudah menjadi i’tibar yang rasional bahwa bekerja bersama dalam sebuah kinerja yang terprogram dan terorganisasi akan memberikan percepatan hasil dari visi dan misinya.

Gerakan Islam yang ada sekarang menggunakan metode dari konklusi yang mana hipotesanya telah dibuktikan di masa yang lalu. Tumbuh berkembangnya sebuah organisasi dan gerakan Islam Indonesia bukan hanya dilatarbelakangi oleh keyakinan akan doktrin mereka, tetapi sejauh mana penerimaan masyarakat terhadap sikap dan ajaran yang dibawa oleh mereka. Misalnya kita dapat melihat fenomena gerakan NII, PKS, HT dan organisasi yang sudah lama berdiri seperti NU, Persis, dan muhammadiah. NII dengan doktrin negara Islam Indonesia nya memiliki pola kerja yang menganut sistem komando dan kerahasiaan, yang memiliki kader yang konsisten dengan doktrin yang dibawanya dengan mengharapkan “mau’ud” proklamasi negara Islam Indonesia kembali disuarakan lagi. Kalau kita lihat dari sejarah mereka tidak sedikit para pembesar mereka berasal dari ulama daerah masyarakat Indonesia, sehingga mereka memiliki akar yang kuat di wilayah tersebut, walaupun sekarang-sekarang ini sudah banyak masyarakat meninggalkan mereka. Dikarenakan konsep yang ditawarkan oleh mereka tak bisa diterima oleh masyarakat dan juga kondisi yang bersitegang dengan penguasa, serta propaganda yang anti terhadapnya sehingga semakin jauh masyarakat bahkan banyak pula yang melawan mereka. Hal tersebut terjadi selain dari masalah luar organisasi NII, masalah internalnya pun mejadi ukuran kemundurannya misalnya dengan banyaknya konsep yang tidak dipahami oleh masyarakat, dan juga tak luput dari tidak adanya transparansi akan jati diri mereka di depan masyarakat.

Fenomena PKS yang sekarang ini marak di kalangan mahasiswa dan partai politik, tentunya tidak lepas perkembangan organisasi mereka dan pertambahan jumlah kader mereka dikarenakan sistem yang mereka buat. Mungkin jikalau kita bandingkan dilihat dari jumlah pemilu yang ada dan jumlah kader di mahasiswa, mereka lebih bisa diterima oleh kalangan muda bahkan sekarang kalangan tua pun ikut berpartisipasi di dalamnya. Sistem PKS yang lebih transparan dan moderat dibanding dengan NII memberikan harga jual yang lebih bagi masyarakat Indonesia. Sistem kader yang terpola berhalaqah-halaqah dan bertahap, kegiatan ruhani yang terprogram, dan penanaman basis ormas di wilayah-wilayah dan daerah-daerah serta memberikan pelayanan kepada masyarakat merupakan poin penting dalam membantu kemajuan organisasi mereka. Kecenderungan para tim asatid dan pembesar ataupun boleh dikatakan ulama pada tubuh PKS yang merupakan buah dari jamiah At-Tarbiah yang memiliki persatuan dan tali silaturahmi yang kuat dalam tubuh mereka, sehingga mereka dapat menjalin kerja yang baik di dalam organisasi tersebut, walaupun kelemahan mereka tidak memiliki basis yang kuat dalam keilmuan kepesantrenan yang menjamur di Indonesia, sehingga masyarakat akan dibawa menggantung hanya pada “coblos partai” saja. Adapun organisasi seperti NU, Muhammadiah dan Persis sedikit demi sedikit sudah mulai dijauhi oleh oleh kalangan muda dan sudah mulai meninggalkan dan hijrah ke organisasi seperti HT ataupun PKS. Walaupun kita pernah melihat keberhasilan yang gemilang selama periode pra dan pasca kemerdekaan dimiliki oleh organisasi NU. Sebab NU memiliki basis ulama yang kuat di masyarakat serta basis yang kuat di pondok-pondok pesantren di Indonesia. Dengan pola pesantren pengkaderan dengan ilmu-ilmu kitab kuning kepada murid-muridnya memberikan kepercayaan akan sakralnya ilmu yang dimiliki oleh para guru-guru mereka di daerah-daerah, sehingga penghormatan yang penuh kepada para guru-guru mereka menjadi pola tersendiri bagi garis ketaatan dan komando pada tubuh organisasi tersebut, berbeda dengan PKS ataupun HT. Guru-guru mereka di daerah dan pesantren dihormati dan dikultuskan sebagai tokoh daerah dan masyarakat sekitar yang pada akhirnya menjadi wakil bagi mereka di tingkat nasional. Berbeda dengan PKS yang dimana kekiayiannya hanya diakui di dalam wilayah internal kader organisasi tidak di masyarakat. Begitu bagusnya bergulir pola keorganisasian NU dengan pola guru atau ustad atau kiayi yang sebenarnya polal tersebut dilakukan jauh-jauh pada masa kerajaan islam di Indonesia, sehingga pola tersebut telah menjadi kebiasaan umum yang membudaya sampai tersebar di wilayah nusantara yang kebanyakan dari mereka memiliki pemahaman akan ke NU annya. Walaupun sangat disayangkan akhir-akhir ini prestasi mereka menurun dikarenakan terjadi perpecahan di dalam tubuh NU yaitu di dalam tubuh ulama NU dan bergabungnya sebagian kubu NU tersebut ke dalam wilayah partai praktis.

Memang politik praktis seperti racun bagi para ulama ataupun yang dianggap ustad agama atau organisasi yang berbasis agama. Kita dapat melihat dengan latar belakang masyarakat Indonesia yang jemu dan muak melihat banyaknya prilaku para “pemeran agama” yang berprilaku dan berpandangan tak sesuai dengan ajaran agamanya sendiri sehingga dalam pandangan masyarakat indonesia yang sudah ternodai dengan pandangan materi dan dunia pada umumnya menganggap bahwa politik praktis adalah suatu barang dagangan dunia untuk mendapatkan kedudukan saja, dan agama hanya mengurusi masalah mesjid dan akhirat saja sehingga dalam pandangan umum mereka agama dijual untuk kepentingan pribadi atau golongan saja. Selain daripada itu juga memang sangat sensitif dalam wilayah politik praktis dengan sistem yang memaksakan para partai politik menggunakan sistem dagang , atau ”marketing”, jual beli suara rakyat.

Adapun para pengikut ahlulbait yang sekarang masih kehilangan jati dirinya akan hubungan sejarah yang mengakar dalam sejarah masyarakat Indonesia. Bolehlah dikatakan bahwa kebanyakan ajaran ini datang dari Iran ataupun timur tengah yang dianggap baru oleh masyarakat kita Indonesia. Mengapa demikian terjadi? Mungkin sebabnya para muballigh Syiah lebih menonjolkan pengenalan ketimur tengahan daripada keindonesiaan. Yang walaupun kalau kita kaji lebih jauh lagi dilihat dari tanda-tanda simbol dan bukti sejarah yang ada, banyak menunjukkan bahwa para penyebar Islam di Indonesia pada zaman itu atau awal-awal penyebaran Islam mereka bermazhab Syi’ah, versi lain mengatakan syiah Imamiah, ada juga yang mengatakan zaidiah, ada juga yang mengatakan malikiah, dan Syafeiyyah. Tetapi minimal kita bisa mengatakan bahwa mereka tidak lepas dari budaya ahlulbait nabi as, misalnya di Cirebon terkenal dengan bendera syiah singa Ali, dan 5 orang maksum, di banten terkenal dengan meriam yang bertuliskan “La fath ila Ali, la saifa illa Dzulfikar” [4] ataupun di Aceh dengan Syah Kualanya, dan lain-lain [5]. Sebenarnya jikalau kita teliti lebih lanjut gerakan , syiar, dan organisasi serta budaya para pecinta ahlulbait as sudah jauh lebih dulu daripada organisasi-organisai yang ada sekarang. Masalahnya disini masyarakat syiah di Indonesia umumnya belum bisa meneruskan konsep yang dimana pihak lain sudah lebih dulu maju dengan mengendarai organisasinya.

Memang syiah disini memiliki perbedaan dengan masyarakat organisasi lainnya. Dimana di dalam ajaran syiah telah terbiasa dan membiasakan diri dengan dimensi “Pengkajian” bukan hanya “Pengajian”, konsep mengkritik bukan hanya mengutip dan menggali filsafat bukan hanya teori filsafat. Sehingga hal tersebut dapat mempengaruhi kondisi kehati-hatian yang lebih dalam memberikan kepercayaan ataupun dalam memberikan ketaatan kepada pihak lainnya. Animo Masyarakat terhadap ajaran syiah masih dihalangi dengan banyaknya isu yang tersebar dari kalangan pembenci ahlulbait as yang didalangi oleh kaum wahabi yang menyusup ke segala elemen baik itu pemerintahan, ulama, organisasi, ataupun masyarakat itu sendiri. Dan hal ini sudah menjadi isu internasional yang berakar dari perulangan sejarah. Ala kuli hal sebagian muballigh syiah telah memberikan pelayanan yang sesuai dengan budaya masyarakat sekitar yang walaupun sebagian lain masih terjebak dengan eksklusifisme dan ta’asub kelompok, internasionalisme, Perfeksionisme yang akan dibahas pada pembahasan berikutnya.

Leadership Bukanlah ditunggu tapi di Jemput

Berbagai masalah yang dimiliki oleh masyarakat pecinta ahlulbait as di indonesia yang paling penting adalah masalah kepemimpinan lokal (Indonesia), sebagai kunci dari permasalahan permasalahan lainnya yang menjalar dalam tubuh masyarakat syiah, baik itu masalah program syiar, ekonomi, pemikiran, golongan-golongan dll.

Penghambat dari pemahaman kepemimpinan lokal tersebut dipengaruhi oleh:

1. Eksklusivisme dan ta’asub kelompok

Eksklusif disini maksudnya adalah setiap kelompok meinginginkan bahwa kelompoknya lebih berperan dalam catur pergolakan syiar di Indonesia, ciri khas mereka diyakini sebagai bentuk terbaik baik perjalanan syiar. Dan kelompok-kelompok tersebut banyak dimunculkan atas dasar senioritas, keustadan, kesukuan, kedekatan. Dengan memposisikan kelompok lain sebagai penghalang bagi terwujudnya cita-cita kelompok mereka, hal ini terjadi disebabkan pemikiran pemetaan dan pemetakan dakwah seperti pembagian “kueh bollu”. Dan yang terjadi adalah pemusatan perhatian terhadap kuantitas objek yang didakwahinya sebagai bagian dari wasilah untuk mendapatkan cita-cita golongannya yang diyakini sebagai cita-cita yang hakiki dari syiar ahlulbait as. Yang pada akhirnya terjadilah sikap ta’asub kelompok. Mungkin untuk mengobati hal tersebut diatas perlu disosialisasikan konsep Dakwah adalah sebuah tugas bersama, dan kelompok lain yang telah melakukannya (dalam jalur syiah) adalah termasuk upaya untuk meringankan tugas kita, bukan merebut “bagian kueh kita”.

2. Internasionalisme

Konsep Wilayatul Faqih yang menginternasional yang dimiliki sebagian besar oleh masyarakat Syiah memiliki posisi seperti mata uang. Yakni di satu sisi mendorong berjalannya gerakan dakwah disisi lain justru menghambatnya. Rahbar yang kita yakini sebagai Naib ‘am Imam Zaman as[6] menurut pendapat saya memiliki dua bentuk wilayah yang dikuasainya, pertama wilayah “The Facto and The yure(saya maksudkan de yure di sini dengan ajaran Islam) “ yakni kekuasaan dengan hukum-hukumnya dapat dilaksanakan secara bebas di iran, dan selain Iran hanya the yure saja artinya menurut ketentuan ajaran Islam yang dimana seluruh alam di bawah kekuasaannya, akan tetapi tak sampai pada penguasaan hukum dan undang-undang dan pengaturan lainnya yang bersifat detail. Dengan melihat kenyataan (the facto) yang ada bahwa Indonesia tidak di bawah kepemimpinan wali faqih yang ada di Iran secara langsung, dan tak mungkin bahwa beliau (wali faqih) ikut campur langsung dalam wilayah kenegaraan Indonesia bahkan kondisi kesyiahan di Indonesia, misalnya dengan menunjuk langsung wakilnya tanpa adanya kesiapan dari masyarakat syiah itu sendiri, ataupun mengatur langsung ke hal-hal yang lebih detail, sebab hal tersebut akan menyebabkan usaha kontraproduktif misalnya dalam masalah kepemimpinan. Dilain hal masalah kepemimpinan memiliki banyak syarat-syarat yang harus dimilikinya diantaranya adalah ketaqwaan, akhlaq, tingkat keilmuan dan penerimaan atau legitimasi dari masyarakat syiah Indonesia juga. Dalam masalah inipun Imam Ali menggambarkan mengenai pertimbangan keputusan berdasarkan keinginan masyarakat juga, misalnya beliau bersabda : "Hal paling agung yang diwajibkan Allah dari hak-hak tersebut adalah hak pemimpin atas rakyatnya. Rakyat tidak akan melakukan perdamaian bila pemimpinnya tidak melakukannya. Dan pemimpin tidak akan melakukan perjanjian perdamaian tanpa rakyatnya memiliki ketahanan"[7], atau Imam Khumaeni juga dalam hal ini mengisyaratkannya, walaupun pembahasan tersebut diperuntukkan untuk pemilihan wali faqih[8], akan tetapi hakikat mengenai penerimaan dan legitimasi dari pihak masyarakat merupakan salah satu poin yang penting yang harus diperhatikan dalam sebuah kepemimpinan. Dilain hal kepemimpinan secara praktis dalam jalur langsung merupakan kebutuhan yang sangat urgen bagi masyarakat syiah di Indonesia walaupun hanya dalam wilayah syiar dakwah, bukan dalam wilayah kenegaraan. Oleh sebab itu mau tidak mau kita harus memiliki pemimpin dalam scoupe nasional yang dapat mengelola syiar dakwah di Indonesia, sebagai model pengendali jalannya syiar dan sebagai perwujudan model kerjasama dalam dakwah bukanlah sebagai wakil dari wali faqih secara langsung, melainkan sebagai bentuk untuk memfasilitasi, mengkaderisasi, meregenerasi orang-orang yang suatu saat akan mampu mencapai maqam wakil dari wali faqih secaa langsung. Secara tidak langsung kepemimpinan tersebut dapat mensyiarkan dan membumikan konsep wilayatul faqih dan perannya di tingkat nasional. Kalau tidak maka pemahaman wilayatul faqih akan selalu menggantung hanya pada kepemimpinan yang ideal di Iran tanpa adanya metode praktis yang dapat dilakukan secara lokal dan juga akan menyebabkan munculnya penafsiran atau pengklaiman wujud wilayatul faqih di setiap golongan, walaupun mereka semua bersama-sama mengagungkan wali faqih Internasional sebagai pemimpin mereka.

3. Perfeksionisme

Tidak ada manusia yang sempurna selain dari orang Maksum as, dimana sampai saat ini orang maksum yang masih hidup adalah Imam Zaman as, adapun orang-orang selainnya dapat dikatakan sebagai orang yang mendekati kemaksuman seperti para ulama dan para syuhada. Memang diakui bahwa yang paling sempurna pada tingkat non maksum sekarang ini adalah wali faqih itu sendiri dan dibawahnya misalnya para ulama shaleh atau minimalnya orang-orang yang paham akan hukum agama dan pengetahuan akan hakikat kehidupan sebagai pembina dan pemimpin kita. Dikarenakan kita sering mengidolakan para ulama kita masing-masing yang shalih dan arif sebagai pemimpin, kita jadi buta terhadap orang-orang lain yang jauh tak setara dengan mereka tetapi memiliki kemampuan dalam membina umat dan memiliki potensi membina pengorganisasian syiar Islam. Disatu sisi pengidolaan tersebut merupakan jalan kebaikan untuk meniru ketauladanan mereka, akan tetapi apa boleh buat dan kenyataannya di negara kita tidak atau belum ada yang sampai seperti mereka. Apakah hal ini menjadi alasan ketiadaan tersebut adalah ketidakperluan adanya kepemimpinan umat di negara kita, minimal di lingkungan mazhab syiah?. Kita sering mendengar dalam pemilihan pemilu “memilih dari yang terburuk” lalu apakah diantara saudara kita sesama pengikut ahlulbait as tak ada yang “lebih baik dari yang baik” atau yang “baik dari yang kurang baik”. Perfeksionisme inilah yang akan menjadi penghalang akan dzuhurnya imam Zaman as di nusantara yang tercinta ini.

Masalah kepemimpinan memang bukan hanya terjadi dalam tubuh syiah tetapi dalam tubuh kelompok lainpun terjadi akan tetapi seperti yang telah kita ketahui dalam kelompok atau organisasi atau partai lainnya masih tetap dapat berjalan dengan mempertahankan “konsep kepemimpinan yang tak ideal” yang dimiliki oleh mereka. Menurut pendapat pribadi saya kepemimpinan dalam berbagai hal adalah suatu kemestian baik kepemimpinan yang maksum ataupun yang tak maksum. Kepemimpinan muncul dapat terjadi secara alamiah artinya orang yang unggul di tengah masyarakat dan diakui secara umum bahwa dia memiliki kelebihan yang tak dimiliki orang di lingkunganya serta memiliki banyak pendapat solusi serta solusi pembinaan yang kuat yang menyebabkan masyarakat merasa butuh menjadikan dia sebagai pemimpin, ada juga kepemimpinan tersebut muncul karena proses pemilihan yang disepakati berdasarkan pola terorganisir yang memuat kesepakatan dan aturan-aturan dan syarat-syarat yang ada. Kedua hal tersebut dapat berjalan bersama-sama, maksudnya tidak mungkin hanya dengan menunggu kepemimpinan yang alami muncul di tengah masyarakat tanpa mengusahakan sesuatu apapun ke arah kepemimpinan tersebut, tetapi bukan pula berarti tidak menerima kepemimpinan alamiah yang lebih baik setelah terpilihnya kepemimpinan yang terpilih melalui ketentuan organisasi.

Lalu bagaimana untuk memilih pemimpin tersebut? Mengenai kepemimpinan non maksum Imam Khumaeni secara gamblang menjelaskan bahwa penerimaan dari masyarakat (public allegiance) pun diperlukan.[9] Oleh sebab itu Masyarakat syiah di indonesia harus melihat sejauh mungkin orang-orang yang pantas untuk menduduki kepemimpinan syiah di Nasional sebagai bentuk dari upaya membumikan konsep wilayatul faqih, tanpa melupakan syarat-syarat umum mengenai hal ikhwal pribadi pemimpin yang pantas untuk disandangnya.

Demokratisasi dan Moderatisasi sebagai Kunci Kesuksesan

Mazhab Syiah tidak memiliki pemahaman jabariah, artinya menyerah pada takdir tetapi harus berusaha bukan menunggu tapi menjemput. Termasuk dalam wilayah siasat dan strategi kepemimpinan mazhab di Indonesia tidak lah pantas kita menganut pemahaman jabariah, menunggu sang wali faqih menunjuk seseorang sebagai naib-nya atau menunggu ulama yang muncul suatu saat yang akan menjadi pemimpin mazhab di Indonesia. Dalam mengusahakan hal tersebut diperlukan suatu kajian metodelogis yang terpadu dan tersusun mengenai pentingnya terbentuknya suatu badan atau organisasi yang dapat memfasilitasinya. Pengkajian metodelogis tersebut sebaiknya menjadi bab yang selalu dibahas di setiap pengajian dan huseiniah, sehingga dari hal tersebut akan menumbuhkan kesiapan masyarakat akan pembentukan suatu badan organisasi atau wadah masyarakat se-nasional.

Ada beberapa penghalang dalam mewujudkan hal tersebut diantaranya :

1. Kebiasaan masyarakat syiah umumnya yang terjebak dalam pengkajian teoretis bukan metodelogis, sering kita lihat dalam diskusi milis bahwa secara teoretis dalil-dalil para pengikut ahlulbait sangatlah kuat dibandingkan dengan saudara kita dari mazhab lain, tetapi jikalau disodorkan kedalam wilayah metodelogis, disini terjadi kebuntuan di pihak kita.

2. Pola kerja “Up down” artinya pola kerja yang hanya menitik beratkan pada garis atas ke bawah pada kelompok tertentu sehingga pembiasaan untuk berbeda pendapat dalam wilayah metodelogis menjadi terhambat.

3. Trauma yang tak berasalan. Misalnya masyarakat syiah di Indonesia pernah digemparkan dengan pembentukan ormas akan tetapi menurut sebagian pihak pembentukan tersebut merupakan suatu kegagalan, dan untuk pembentukan selanjutnya sama saja akan mengulang peristiwa yang lalu. Justru dengan pengalaman tersebut kita akan mengambil pelajaran dan mencari langkah yang lebih baik kedepannya.

4. Kurangnya memberikan kepercayaan kepada orang yang mampu atau ahli yang lebih darinya dalam bidangnya masing masing, misalnya ada orang yang mampu dalam bidang hukum fiqih, organisasi, managemen, kemasyarakatan, sosial, politik, sejarah, kepemimpinan dll, sehingga menyebabkan susahnya hubungan saling memberikan kepercayaan akan tugas-tugasnya.

Dari hal-hal tersebut diatas, kita dapat merasakan betapa pentingnya pola organisasi yang baik untuk memfasilitasi kepemimpinan tersebut. Perlu diperhatikan bahwa model keorganisasian yang baik untuk kondisi tersebut diatas adalah model keorganisasian yang demokratis dan moderat, yang lebih disesuaikan dengan kondisi budaya syiah yang ada di Indonesia. Berbeda hal nya dengan PKS atau NII yang lebih menitik beratkan pada konsep komando satu garis atau seperti organisasi NU dengan pemfiguran atau pengkultusan penuh terhadap satu orang. Organisasi syiah harus memfasilitasi ruang perbedaan, wilayah kritik, dimensi penyeimbang tanpa melupakan garis ideologi yang sama.

1. Ruang Perbedaan

Perbedaan yang dimaksud bukanlah perselisihan, akan tetapi perbedaan dalam masalah pendapat yang berlainan dalam teori, pengambilan dalil, metode praktis. Dan perbedaan ini bisa diselesaikan dengan pencarian dalil yang terkuat menuju yang sama atau paling tidak dengan kesepakan terhadap perkara-perkara yang beririsan, tanpa adanya perselisihan. Perbedaan tersebut bisa terjadi di dalam organisasi dan diluar organisai. Ruang perbedaan dibutuhkan dikarenakan budaya berbeda baik dalam masalah yang paling sensitif misalnya kemarjaan sampai yang tidak sensitif merupakan hal yang sudah mendarah daging dalam masyarakat syiah umumnya. Oleh sebab itu sebagai salah satu usaha untuk memfasilitasi perbedaan tersebut diperlukan suatu pemilihan bersama terhadap orang yang akan menduduki jabatan pemimpin organisasi, tak lupa pula masalah periodisasi kepemimpinan diperlukan untuk memberi kesempatan kepada pihak lain yang mungkin lebih mampu dalam masalah kepemimpinan tersebut.

2.Wilayah Kritik

Keyakinan akan kebenaran yang sempurna tidak dimiliki oleh kita yang tidak maksum. Tingkatan yang paling sempurna pada tingkatan kita adalah kebenaran dengan konsep “lebih benar” atau “lebih baik” , kalau dalam istilah lainnya “dalilnya lebih kuat”. Sehingga dengan posisi kita seperti ini berarti kesiapan kita untuk menerima kritik adalah suatu hal yang pasti harus dimiliki. Kritik sebagai penyempurna bukan penghinaan.

3. Dimensi Penyeimbang

Kepemimpinan dengan bentuk kerajaan-kerajaan yayasan atau organisasi yang dikuasai penuh satu orang dalam masyarakat syiah harus segera ditinggalkan sebab hal tersebut akan menutup kemajuan dan kerjasama antar masyarakat syiah. Oleh sebab itu organisasi yang akan diwujudkan harus memiliki dimensi penyeimbang dalam setiap tingkatan dan ruang gerak. Maksudnya seperti halnya pemerintahan Iran yang masyhur dikenal sebagai negara Islam dengan kepemimpinan Wali faqih selalu menggunakan dimensi ini sebagai bentuk dari pengawasan dan penselektifan pelaku organisasi. Wali fakih diawasi oleh majelis Khubregon, Presiden dan mentri oleh MPRnya, Yudikasinya oleh Wali faqih secara langsung dan lain sebagainya, sehingga konsep pemisahan kekuasaan “demokrasi” dalam hal ini sangatlah dibutuhkan maksudnya pemeran yudikasi, legislasi dan eksekusi ataupun komponen lain sebagai penyeimbang sangatlah dibutuhkan bagi organisasi Syiah. Dan ini model yang paling sempurna bagi orang-orang non maksum seperti kita. Sehingga tidak ada lagi pola penguasaan satu pihak baik itu dari ketua ataupun dewan-dewan tertentu.

4. Ideologi yang sama

Organisasi untuk masyarakat syiah harus memiliki ideologi yanng sama baik itu ideologi umum mazhab (dzuhurnya imam zaman as) ataupun ideologi khusus organisasi dalam wilayah keindonesiaan. Ideologi ini tersusun tidak bertolak belakang dengan ideologi umum dan ditetapkan oleh badan yang ahli dalam penjagaan aturan organisasi dengan memperhatikan apresiasi dan keyakinan masyarakat syiah yang ada. Dengan Ideologi tersebut maka ruang perbedaan, wilayah kritik, dan dimensi penyeimbang akan dapat dikendalikan secara umum.

Penulis : THALABAH S1 “Jamiah Ali Al-Bait (as) Al-Alamiah” Qum, Republik Islam Iran.

Referensi :

[1] Qs : At-Taubah :33

[2] Qs : Asy-Syura: 38

[3] Qs : Ashaf : 4

[4] http://www.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=79456

[5] Bisa dirujuk di buku Kafilah Budaya karya Dr. Muhammad Iqbal penerbit citra.

[6] Imam Khomeini menyatakan: “Hanya para Imam maksum dan orang-orang yang ditunjuk mereka,dan mereka berhak menangani pada permasalahan politik. Ketika mereka tidak hadir maka wakil mereka, yaitu Faqih yang memenuhi syarat, yang bertanggungjawab menangani permasalahan politik tersebut.” Imam Khomeini, “Tahrir al-Wasilah”, hal. 443

[7] (Nahjul Balaghah, khotbah 216).

[8] “Wali Faqih adalah individu dengan memiliki akhlak, patriotisme, keilmuan, dan prestasi yang telah diakui oleh rakyat. Rakyat sendirilah yang memilih figur terhadap orang yang memenuhi kriteria tersebut.” Yamani, “Filsafat Politik Islam”, hal. 136, penerbit Mizan.

[9] Kazem Ghazi Zadeh, “General Principles of Imam Khumayni’s Political Thought”, bab “Absolute Guardianship of A Jurisconsult”, Jurnal Message of Thaqalayn, no. 2 dan 3.


mainsource:http://www.abna.ir/data.asp?lang=12&id=224904

Dikotomi Sunni-Syi’ah Tak Relevan Lagi

Wawancara dengan Ustadz Jalaluddin Rakhmat


TANYA: Ada yang bilang bahwa Syi’ah di Indonesia itu sebenarnya bukan mazhab baru, tetapi sudah lama. Hanya saja mungkin ia tidakgmbr-2.jpg tersebar luas sebagaimana mazhab Sunni. Bagaimana Kang Jalal melihat perkembangan Syi’ah di negeri ini?

JAWAB: Ada beberapa teori tentang kedatangan Syi’ah di Indonesia. Teori pertama merujuk pada masa penyebaran Islam di Indonesia. Jadi, menurut teori ini, dahulu orang-orang Syi’ah yang dikejar-kejar oleh penguasa Abbasiyah lari dari Timur Tengah sebelah utara, yang sekarang mungkin daerah Irak, ke sebelah selatan –dibawah pimpinan seorang yang bernama Ahmad Muhajir– sampai ke Yaman. Mereka menghentikan pelarian di puncak-puncak bukit yang terjal. Kisah ini dimuat dalam beberapa kitab Syi’ah. Alkisah, pemimpinnya, Ahmad Muhajir, waktu itu mematahkan pedangnya dan kemudian mengatakan, “Wahai saat ini kita ganti perjuangan kita dengan pena.”

Kemudian mereka semua secara lahir menganut mazhab Syafi’i. Mereka bertaqiyyah sebagai pengikut mazhab Syafi’i di daerah Yaman, Hadramaut. Sehingga di dalam kamus Munjid edisi lama, pada kata ‘Hadramaut’ ditulis: sukkanuha syi’iyyuna syafi’iyyuna; penduduknya orang-orang Syi’i yang bermazhab Syafi’i. Saya kira Munjid itu merekam mereka. Dari Hadramaut inilah menyebar para penyebar Islam yang pertama, khususnya kaum ‘Alawiy, orang-orang keturunan Sayyid, atau yang mengklaim sebagai keturunan Sayyid. Mereka datang ke Indonesia dan menyebarkan Islam. Tetapi ketika mereka datang ke Indonesia, di luar, mereka Syafi’i, di dalam, mereka Syi’i.

Belakangan ada bukti-bukti lain yang memperkuat teori ini. Misalnya, pernyataan Abdurrahman Wahid bahwa NU secara kultural adalah Syi’ah. Hal itu karena tradisi Syafi’i di Indonesia –berbeda dengan tradisi Syafi’i di negeri-negeri lain– sangat kental diwarnai tradisi-tradisi Syi’ah. Ada beberapa shalawat khas Syi’ah yang sampai sekarang masih dijalankan di pesantren-pesantren. Ada wirid-wirid tertentu yang jelas menyebutkan lima keturunan Ahlul Bait. Kemudian juga tradisi ziarah kubur, lalu membuat kubah pada kuburan. Itu semua tradisi Syi’ah. Tradisi itu lahir di sini dalam bentuk mazhab Syafi’i. Jadi di luarnya Syafi’i di dalamnya Syi’i.

Masih ada juga bukti-bukti ritus khas Syi’ah –bukan khas Syafi’i– yang populer di Indonesia. Salah satunya ialah tahlilan hari ke satu atau keempatpuluh (setelah kematian seseorang) dan juga haul. Itu tradisi Syi’ah yang tidak dikenal pada mazhab Syafi’i di Mesir. Lalu, di kalangan NU setiap malam Jum’at sering dibacakan shalawat diba’. Pada shalawat itu disebutkan seluruh Imam Syi’ah yang dua belas. Dan itu mereka lakukan setiap malam Jum’at, seperti pembaruan bai’at, kepatuhan pada dua belas Imam.

Untuk memperkuat itu, ada juga kebiasaan orang-orang Indonesia yang menganut mazhab Syafi’i untuk menghormati –kadang-kadang secara berlebihan– keturunan Nabi yang mereka artikan sebagai Ahlul Bait. Saya sebut secara berlebihan karena menurut orang-orang Syi’ah, Ahlul Bait itu hanya terbatas kepada dua belas Imam yang ma’shum. Jadi, tidak semua keturunan Nabi adalah termasuk Ahlul Bait. Mereka juga percaya bahwa semua Ahlul Bait itu pasti masuk surga, dan mereka tak berdosa. Kepercayaan itu merata, khususnya pada kalangan Muslim yang awam.

Kemudian di Surabaya ada seorang peneliti (kalau tidak salah namanya Agus Sunyoto) dari sebuah lembaga penyiaran Islam (nama lembaganya saya lupa; dipimpin oleh Dr. Saleh Jufri), yang pernah melakukan penelitian terhadap kuburan-kuburan di Jawa Timur. Ia menemukan bahwa kuburan-kuburan itu adalah kuburan-kuburan orang Syi’ah. Ia punya dugaan keras bahwa Islam yang pertama kali masuk ke Indonesia itu Islam Syi’ah. Kemudian, Ali Hsymi juga pernah menulis buku tentang Syi’ah di Indonesia dan ia punya teori bahwa Isalm yang pertama datang ke Indonesia ini adalah Islam Syi’ah. Menurut Agus Sunyoto, sebagian besar dari wali yang sembilan itu adalah Syi’ah, kecuali satu (kalau tidak salah Sunan Kalijaga atau entah siapa, saya tidak ingat betul; itulah yang suni). Itu dari segi bukti-bukti sejarah.

Teori kedua, Islam yang datang ke Indonesia itu Islam Sunni. Tetapi kemudian Syi’ah masuk terutama melalui aliran-aliran tarekat. Soalnya, dalam tarekat, Syi’ah dan Sunni bertemu sudah sejak lama. Ambillah contoh tarekat Qadriyyah-Naqsabandiyyah. Silsilahnya bersambung kepada imam-imam Syi’ah. Sisilahnya begini: dari Allah, Malaikat Jibril, Rasulullah, Ali, Husain, Ali bin Husain, terus kepada Imam Syi’ah sampai Imam Ali Ridha. Dari situ barulah keluar kepada silsilah yang lain. Tetapi tujuh atau delapan yang awal itu adalah para imam Syi’ah.

Tampaknya, menurut teori kedua ini, Islam yang datang ke Indonesia ialah Islam Sunni. Tetapi, karena Islam yang pertama datang itu Islam yang bersifat mistikal, maka pengaruh-pengaruh Syi’ah masuk lewat Islam yang mistikal itu. Ritus-ritus yang disebutkan tadi tidak menunjukkan bahwa Syi’ahlah yang pertama datang ke Indonesia. Itu hanya sekedar menunjukkan adanya pengaruh Syi’ah yang masuk ke dalam pemikiran Ahlussunnah lewat Syafi’i. Ada juga yang punya teori Islam itu dulu pernah disebarkan ke Indonesia lewat orang-orang Persia. Ada yang menyebutkan mereka juga pernah tinggal di Gujarat, di India Barat yang kebanyakan adalah Syi’ah.

Teori ketiga, Syi’ah itu baru datang setelah peristiwa Revolusi Islam Iran (RII), dimulai antara lain dengan tulisan-tulisan Ali Syariati dan disusul dengan tulisan-tulisan pemikir Islam Iran lain. Sebetulnya, banyak orang yang terpengaruh Syi’ah hanya kerena peristiwa RII. Belakangan, kadang-kadang orang mendefinisikan Syi’ah sebagai siapa saja yang bersimpati terhadap RII. Misalnya, Mas Amien Rais, pernah menerima gelar Syi’ah juga. Bahkan sebuah buku kecil pernah ditulis tentang ciri ke-Syi’ah-an Amien Rais. Saya kira sebabnya sederhana saja: karena mas Amien Rais memang sering memuji RII. Boleh jadi ada juga orang yang menyebut mas Dawam Rahardjo itu Syi’ah, karena ia sangat apresiatif terhadap Iran, sampai seringkali memuji-muji ulama Iran.

TANYA: Sementara ini ada dugaan bahwa di antara empat mazhab fikih (Sunni), tampaknya yang paling dekat dengan Syi’ah adalah mazhab Syafi’i. Misalnya, Imam Syafi’i sendiri pernah mendapat tuduhan dari ulama-ulama lain bahwa dirinya itu Syi’ah. Bagaimana pendapat Kang Jalal?

JAWAB: Salah satu dugaan yang mungkin bisa kita pahami sebagai argumentasi untuk menolak Syi’ah yang berbaju Syafi’i ialah kenyataan bahwa Imam Syafi’i itu sangat simpatik terhadap Syi’ah. Banyak syairnya tentang mazhab Ahlul Bait. Dalam syair-syair itu tampak jelas simpati Imam Syafi’i kepada Sayyidina Ali. Misalnya, “Keluarga Rasulullah wasilahku”, atau “Aku mengendarai perahu Ahlul Bait”, atau ada dikatakan “Sekiranya mencintai keluarga Rasul itu Syi’ah, biarlah seluruh jin dan manusia tahu bahwa aku Syi’ah.” Dan masih banyak lagi

Jadi argumentasinya bukan bahwa Islam yang datang ke Indonesia itu Syi’ah yang berbaju Syafi’i, tetapi memang mazhab Syafi’i. Sebab Imam Syafi’i memang sangat simpatik terhadap Syi’ah. Menurut riwayat, Imam Syafi’i itu pernah diseret dari Hijaz ke Syria dalam belenggu besi dan dihadapkan kepada Harun al Rasyid. Satu demi satu kawannya ‘dipotong’ dan hanya Imam Syafi’i yang selamat. Konon, Imam Syafi’i itu diseret karena simpatinya terhadap Syi’ah.

Sebagian malah menduga bahwa Imam Syafi’i sebetulnya bukan hanya simpati, tetapi juga termasuk orang yang berpaham Syi’ah. Jalaluddin al Suyuti, yang menulis tafsir Al Dur al Mantsur fi al Tafsir bi al Ma’tsur, juga dicurigai sebagai Syi’ah hanya karena banyak meriwayatkan tentang keutamaan keluarga Nabi. Hal seperti itu tidak baru pada Syafi’i. Banyak ahli hadits yang juga dituduh sebagi Syi’ah hanya karena banyak meriwayatkan tentang keutamaan keluarga Nabi. Al Turmudi, misalnya, dikeroyok orang, malah tubuhnya diinjak-injak sampai meninggal dalam perjalanan, hanya karena meriwayatkan keutamaan sayyidina Ali. Al Turmudzi itu perawi hadis di kalangan Ahlu Sunnah. Ada seorang perawi hadis, ulama besar, namanya Sulaiman al-A’mas. Ia termasuk salah seorang rijal dalam Shahih Bukhari. Al A’mas juga dituduh sebagai Syi’ah karena meriwayatkan tentang sayyidina Ali. Ketika dipanggil Al Mansur, ia hampir dihukum mati.

Imam Syafi’i boleh jadi bukan Syi’ah. Ia seorang yang dengan pemikiran ilmiahnya harus meriwayatkan hadis-hadis tentang Ali. Dari Imam Syafi’i lah misalnya keluar ucapan, “Ajaib benar hadis-hadis tentang Ali. Musuh-musuhnya tidak ingin meriwayatkannya, karena kebenciannya. Para pengikutnya juga tidak ingin melaporkannya, karena ketakutan mereka. Walaupun begitu, hadis-hadis tentang keutamaan Ali memenuhi di antara dua jilid (maksudnya hadis-hadis itu bisa dikumpulkan menjadi satu buku yang tebal).”

TANYA: Dari penjelasan Kang Jalal tadi, tampaknya definisi atau identifikasi tentang Syi’ah di Indonesia itu masih kabur. Menurut Kang Jalal sendiri bagaimana?

JAWAB: Memang sulit kita mengidentifikasikan Syi’ah di Indonesia ini. Dr. Farid Alatas (keponakan Prof. Dr. Naquib Alatas) pernah melakukan penelitian tentang Syi’ah di Indonesia. Ia mengalami kesulitan untuk mendefinisikan Syi’ah itu. Jadi kalau saya ‘misalnya’ ingin meneliti Syi’ah di Indonesia, saya harus mengenal populasinya. Siapa yang akan saya wawancarai itu. Tentu haruslah orang-orang Syi’ah di Indonesia. Nah, itu sulit definisinya. Karena itu, juga sulit untuk menghitung berapa jumlahnya di Indonesia.

Di sini saya ingin sebutkan beberapa definisi tentang Syi’ah di Indonesia. Pertama, Syi’ah itu adalah orang-orang yang meyakini bahwa Sayyidina Ali adalah yang berhak menjadi khalifah sepeninggal Rasulullah. Syi’ah seperti ini banyak. Boleh jadi masuk ke dalamnya Syi’ah Zaidiyyah yang memang punya akar di Indonesia. Ada juga beberapa orang di antara ‘Alawiy yang merupakan pengikut Syi’ah Zaidiyyah. Markasnya di Yaman. Mereka tidak menjalankan ritus-ritus Syi’ah, tetapi akidahnya Syi’ah.

Kedua, orang Syi’ah adalah orang yang memegang akidah dan juga menjalankan ritus-ritus Syi’ah. Fiqihnya juga fikih Syi’ah. Saya tidak enak untuk menyebutkan contohnya di sini.

Ada orang yang menyebut Ustad Muhammad Bagir, sebagai Syi’ah karena telah menerjemahkan rujukan-rujukan yang membela Syi’ah. Ia juga membela Syi’ah apabila Syi’ah diserang. Tetapi, orang yang datang ke rumahnya akan tahu bahwa ia seorang Sunni, betul-betul Sunni. Karena ritus-ritusnya, ibadah-ibadahnya, semua serba Sunni. Pernah seorang ulama Syi’ah kecewa melihat Ustad Bagir karena tidak se-Syi’ah seperti yang ia duga. Itu, lagi-lagi, karena masalah definisi.

Jadi, buat orang seperti ulama itu, Pak Bagir bukan Syi’ah. Tetapi buat yang lain, yang menggunakan definisi yang lain, Pak Bagir itu Syi’ah. Mungkin juga kalau ada orang yang mengikuti saya dalam kegiatan ibadah saya, misalnya, bermalam satu hari bersama saya, dan menyaksikan saya salat di masjid Sunni, saya beribadah secara Sunni, maka mereka akan mengambil kesimpulan bahwa saya bukan Syi’ah.

Akan tetapi, lewat definisi yang lain, yakni definisi ketiga, Syi’ah itu adalah orang-orang yang terpengaruh oleh pemikiran Syi’ah, baik dalam bidang akidah, filsafat, atau tasawuf dan menggunakan buku-buku Syi’ah sebagai rujukan. Atau juga, mereka yang dikenal membela ajaran-ajaran Syi’ah disebut Syi’ah. Dengan definisi itu, mungkin saya termasuk.

Kalau definisi-definisi itu kita persempit saja pada orang-orang yang, misalnya, akidahnya sudah Syi’ah dan ritus-ritusnya sudah mereka jalankan, kitapun mengalami kesulitan. Sebab, masalahnya bukan terletak pada apakah ia menjalankan ritus-ritus Syi’ah? Atau, apakah ia menjalankan fikih Syi’ah atau tidak? Sebetulnya bukan masalah “Ya” atau “Tidak”, tetapi masalah jumlah, masalah proporsi. Ada orang yang sudah menjalankan fikih Syi’ah itu 10% saja. Misalnya, ia hanya ikut ritus-ritus Syi’ah pada acara-acara muharraman saja. Kemudian pada doa-doa saja. Ada beberapa ulama di Indonesia sekarang ini yang rajin membacakan doa-doa Syi’ah. Bahkan, ada beberapa pengajian ibu-ibu di Jakarta yang Sunni betul –atau barangkali mereka tidak tahu apakah mereka Sunni atau Syi’ah– yang sering melazimkan doa-doa Syi’ah.

Jadi, ketika kita berbicara bahwa yang disebut Syi’ah ialah mereka yang ritus-ritusnya adalah ritus Syi’ah, maka kita akan mengalami kesulitan karena proporsi menjalankan ritus Syi’ah itu bermacam-macam. Ada yang 50%, ada juga yang sudah 70%, dan sebagainya. Kesulitan kita mengidentifikasikan Syi’ah bukan saja karena orang-orang Syi’ah ‘katanya’ selalu taqiyyah, dan tidak mau menyatakan dirinya Syi’ah, tetapi juga karena proses sosialisasi nilai-nilai Syi’ah itu yang bertahap-tahap, tidak sama, sehingga kita sulit mendefinisikan secara tepat siapa orang-orang Syi’ah itu.

TANYA: Tetapi, lepas dari definisi Syi’ah yang agak ketat, bagaimana sebenarnya perkembangan Syi’ah di Indonesia secara umum?

JAWAB: Di sini saya ingin membagi babakan penyebaran Syi’ah di Indonesia dalam tiga gelombang. Gelombang pertama adalah gelombang sebelum peristiwa RII. Saya punya bukti kuat bahwa sebelum Revolusi Islam Iran (RII) Syi’ah sudah ada di Indonesia. Baik Syi’ah Imamiyah, Zaidiyah maupun Isma’iliyah. Tetapi waktu itu Syi’ah sangat eksklusif. Mereka tidak punya semangat misionaris untuk menyebarkan ajarannya kepada orang lain. Mereka menyimpan itu sebagai keyakinnya sendiri. Di luar itu, mereka menjadi pengikut Ahlu Sunnah, berakomodasi dengan lingkungan. Boleh jadi di antara mereka adalah ulama-ulama besar yang dikenal dengan ulama Sunni.

Mereka menyimpan keyakinan itu hanya untuk diri mereka sendiri dan mungkin untuk keluarga yang sangat terbatas. Kita menduga mereka tidak hadir di tengah-tengah kita. Kita menduga bahwa tidak ada Syi’ah sebelum RII. Paling tidak, saya tidak menduga bahwa sebelum RII itu ada Syi’ah. Ada seorang al-Muhdor, salah satu famili arab yang terkenal. Al-Muhdor tampaknya adalah keluarga yang memelihara Syi’ah itu khusus untuk keluarga mereka. Mungkin secara sedikit-sedikit mereka menyebarkan ajarannya lewat orang-orang terdekat.

Setelah RII, masuklah Syi’ah gelombang kedua. Gelombang kedua ini ditandai dengan sifatnya yang intelektual. Orang-orang yang simpatik terhadap Syi’ah ini kebanyakan berasal dari perguruan tinggi. Kebanyakan di antara mereka juga tertarik kepada Syi’ah sebagai alternatif terhadap pemikiran-pemikiran Islam yang ada. Waktu itu, ketika banyak orang tertarik kepada Teori Kritis, tertarik kepada kelompok Neo Marxian, sebagian orang Islam menemukan hal yang mirip dengan itu pada pemikiran-pemikiran Syi’ah, seperti pemikiran Ali Syariati. Konsep-konsep ‘kiri’, seperti orang-orang tertindas, atau struktur yang korup, memperoleh padanannya dalam Islam pada istilah-istilah mustadh’afin, pada misi para nabi untuk menentang para tiran. Dan yang dengan jernih menyampaikan persoalan itu adalah para pemikir Syi’ah.

Karena itu, banyaklah orang yang tertarik kepada Ali Syariati. Orang cerita tentang mazhab Qum di samping mazhab Frankfurt, untuk kritik-kritik sosial. Tetapi kemudian, dari Ali Syariati mereka masuk pada pemikiran-pemikiran yang lebih mendalam, misalnya, pemikiran Muthahhari, Thabatabai, dan belakangan mulai populer juga pemikiran Mulla Sadra. Saya sepakat dengan Martin van Bruinessen yang menulis bahwa salah satu sumbangan Syi’ah gelombang kedua ini adalah kontribusinya pada kekayaan wacana intelektual Islam di Indonesia. Salah satu yang mereka sumbangkan adalah pemikiran filosofis pasca Ibnu Rusyd. Dulu, kalau belajar filsafat Islam, orang-orang tersebut mengakhiri pelajaran itu pada Ibnu Rusyd. Setelah kedatangan Syi’ah, kita diperkenalkan pada tradisi filsafat yang terus berkembang. Kalau kata Corbin, filsafat Islam itu justru dimulai setelah kematian Ibnu Rusyd dan mencapai puncaknya pada Mulla Sadra.

Jadi, orang-orang yang pertama kali tertarik kepada Syi’ah adalah kelompok-kelompok yang terdidik, yang intelektual. Mereka lebih tertarik kepada pemikiran Syiah ketimbang pada ritus-ritus atau fiqihnya. Kalau kita buat statistik, dari segi struktur sosial, para penganut Syi’ah itu berasal dari kelompok menengah ke atas, kebanyakan mahasiswa dan orang-orang perguruan tinggi. Dari segi mobilitas, banyak di antara mereka itu yang punya akses kepada hubungan Islam internasional. Dari segi ideologis, mereka cenderung radikal. Mereka lebih mirip dengan –atau padanan dari– kelompok Neo-Marxian, Teori Kritis atau kelompok ‘kiri’ di dunia Islam atau di kalangan Islam.

Kemudian, belakangan, Syi’ah mulai menyebar di Indonesia dan mendapat reaksi keras, terutama dari sementara kalangan Sunni. Ketika berhadapan dengan tuduhan-tuduhan Syi’ah, Syi’ah gelombang kedua ini berusaha menangkisnya. Karena serangan-serangan itu banyak ditujukan kepada akidah-akidah Syi’ah yang doktriner, bukan pada pemikiran yang intelektual, misalnya masalah imamah, maka mulailah Syi’ah gelombang kedua itu pun bergerak ke luar dari hal-hal yang intelektual dan memasukkan konsep-konsep imamah yang dijadikan serangan oleh orang-orang Sunni.

Ternyata kemudian, karena pertimbangan politik, dan karena pengaruh Saudi Arabia, buku-buku yang ditulis untuk menyerang Syi’ah menjadi lebih banyak. Isinya sekarang lebih mengarah kepada hal-hal yang bersifat fiqhiyyah. Jadi serangan-serangan beralih terhadap fikih Syi’ah, misalnya tentang mut’ah, sujud di atas tanah, atau yang lain. Serangan-serangan ini mendorong Syi’ah gelombang kedua ini untuk bergerak lebih jauh lagi dan lebih mempelajari fikih Syi’ah. Apa betul yang mereka tuduhkan itu? Menurut saya, ketertarikan kepada ritus-ritus Syi’ah, kepada fikih Syi’ah, itu lebih banyak terjadi karena ‘provokasi’ yang dilakukan oleh sementara ulama Ahlu Sunnah. Mereka akhirnya menemukan, ternyata fikih Syi’ah itu punya dasar dan argumen juga.

Pada akhir gelombang kedua ini, pemikiran Syi’ah di Indonesia sudah bergerak dari pemikiran yang murni intelektual ke arah yang lebih mendalam secara filosofis, dan pada akhirnya juga memasuki bidang akidah dan fikih Syi’ah. Nah, pada gelombang kedua inilah terjadi dialog-dialog yang tak jarang menimbulkan friksi yang tajam di berbagai tempat antara kalangan Syi’ah dan Sunni. Yang paling keras, saya kira, terjadi di Surabaya, ketika kelompok yang mengidentifikasi diri sebagai Syi’ah berhadapan langsung dengan kelompok yang mengidentifikasi diri sebagai Ahlu Sunnah. Saya kira, itu menandai perguliran pada gelombang berikutnya, yaitu Syi’ah gelombang ketiga.

Setelah Syi’ah menyebar di Indonesia, terutama dari segi pemikiran, pada akhir gelombang kedua itu kita melihat ada kebutuhan akan fikih Syi’ah. Orang ingin belajar fikih Syi’ah. Buku-buku yang masuk ke sini sangat sedikit yang berkaitan dengan fikih. Umumnya buku-buku yang bersifat pemikiran, sementara buku-buku fikih jarang. Padahal kebutuhan akan fikih itu mulai muncul, terutama karena serangan-serangan sementara kalangan Sunni terhadap fikih Syi’ah.

Ketika kebutuhan itu muncul, datanglah orang-orang Indonesia yang pernah dididik di Qum. Ada di antara mereka yang dididik sebelum RII. Fenomena itu juga membuktikan bawa Syi’ah sudah ada di Indonesia sebelum RII sekalipun. Buktinya orang Indonesia yang belajar di Iran sebelum RII. Kalau saya harus menyebut nama, contohnya adalah Ustad Umar Shahab. Ia belajar di Iran sebelum RII sampai sesudahnya. Tetapi Ustad Umar ini dulu masih masuk dalam Syi’ah gelombang pertama. Jadi, walaupun ia dididik di Iran, orientasinya intelektual dan tidak fiqhiyyah.

Gelombang ketiga ini ditandai dengan kehadiran alumnus-alumnus Qum yang belakangan (setelah Ustad Umar). Orientasi mereka fikih. Ketika mereka datang ke Indonesia, mereka memenuhi kebutuhan akan fikih ini. Mulailah mereka memberikan pengajian-pengajian Syi’ah di berbagai tempat. Syi’ah gelombang ketiga ini juga ditandai dengan semangat misioner yang sangat tinggi. Mereka pulang dengan romantisme lulusan-lulusan muda. Bukankah biasanya romantisme lulusan muda itu merasa terpanggil untuk menyelamatkan dunia, yang salah satu caranya ialah membawa orang kepada fikih Syi’ah. Maka mulailah mereka mengajarkan fikih Syi’ah ini di berbagai pengajian.

Tentu saja, boleh jadi karena pendekatan yang sangat fiqhiyyah itu, atau memang karena latar belakang pendidikan mereka, dimensi intelektual pada kelompok ini sangat kurang. Dan akhirnya, mereka merekrut dan membina Syi’ah yang juga dari kalangan yang tidak begitu terpelajar. Ada juga di antara mereka yang membina kelompok Syi’ah gelombang kedua. Tetapi akhirnya Syi’ah gelombang kedua ini kecewa, mungkin karena orientasi yang berbeda. Belakangan Syi’ah gelombang ketiga ini menganggap Syi’ah gelombang kedua itu sebagai bukan Syi’ah yang sebenarnya. Jadi. Kalau saya dimasukkan ke dalam Syi’ah gelombang kedua, maka mereka menganggap saya bukan Syi’ah. Di dalam wacana internal Syi’ah sendiri, sekarang ini terjadi serangan yang cukup kuat terhadap Syi’ah gelombang kedua itu. Boleh jadi karena mereka ingin menghadirkan dirinya sebagai pemimpin Syi’ah di Indonesia. Boleh jadi juga karena mereka meyakini asumsi-asumsi mereka bahwa orang seperti saya ini bukan Syi’ah, dengan definisi yang berbeda itu.

TANYA: Untuk waktu yang akan datang, kira-kira Syi’ah di Indonesia itu bagaimana?

JAWAB: Beberapa waktu yang lalu, saya diundang ke IAIN Ujung Pandang. Fakultas Ushuluddin IAIN Ujung Pandang mengadakan Seminar Nasional “Rekonsiliasi Sunnah-Syi’ah.” Kira-kira enam bulan sebelumnya, saya juga diundang ke Universitas Hasanuddin Ujung Pandang untuk dialog Sunnah-Syi’ah. Penyelenggaranya adalah mahasiswa yang menyebut dirinya MPM (Mahasiswa Pecinta Mushalla). Dialog ukhuwah Islamiyah itu ditandai dengan kekerasan. Saya sebagai pembawa makalah dibantai, dicaci-maki. Saya sendiri tidak membalas. Menurut saya, ini sebetulnya gejala dari massa Syi’ah gelombang kedua, ketika terjadi konflik Syi’ah-Sunni yang cukup berat. Ini mirip sekali ketika saya berdiskusi dengan Pak Rasjidi di Pesantren Darunnajah. Biasanya saya tidak menanggapi diskusi yang seperti itu. Jadi, saya tidak menjawab. Suasananya sangat tegang.

Tetapi, awal Oktober 1995, ketika saya kembali ke sana lagi, seminar semacam itu dikunjungi oleh peserta yang jauh lebih banyak. Mungkin lebih dari 1000 orang. Suasananya sangat ilmiah. Tidak ada saling membantai, saling menyerang. Tetapi intinya, bagaimana setiap kelompok bisa belajar satu sama lain. Seakan akan ada pesan dari situ: Biarlah Sunni tetap Sunni. Syi’ah tetap Syi’ah. Hendaknya di antara kedua kelompok itu ada saling belajar satu sama lain. Saya sendiri membawakan makalah tentang apa yang bisa dipelajari dari Syi’ah oleh Sunni.

Saya menunjukkan bagaimana orang-orang Syi’ah sudah lebih dahulu belajar dari Sunni. Saya sebut antara lain Sayyid Ali Khameini, yang menjadi Imam Syi’ah sekarang ini, adalah penerjemah Kitab Fi Zhilal al-Quran ke dalam bahwa Persia. Kitab Ihya’ ‘Ulum al Din, tulisan Al-Ghazali, diberi syarh oleh ulama-ulama Syi’ah dan dipelajari di pesantren-pesantren mereka. Imam Khomeini menyebut Ibn Arabi sebagai salah seorang gurunya. Padahal Ibn Arabi adalah Syeikh Akbar kalangan Sunni.

Contoh lain, kalau kita pergi ke Qum, di situ ada pasar kitab. Walaupun tidak menghitung dengan cermat, saya bisa melihat bahwa 80% dari kitab yang ada di situ adalah kitab-kitab Ahlu Sunnah. Di kalangan Syi’ah tidak ada ketakutan untuk membaca kitab-kitab Sunni. Mereka sudah belajar tentang Sunni. Adalah giliran kita sekarang untuk belajar dari mereka, sehingga kehadiran kedua kelompok ini memperkaya wacana perbincangan kita.

Dari situ saya menyaksikan ada suatu perkembangan baru, khususnya untuk penyebaran Syi’ah. Kalau peristiwa di IAIN itu bisa dijadikan sebagai sebuah tonggak dalam perkembangan pemikiran Islam di Indonesia., maka saya berani mengatakan bahwa eksistensi Syi’ah sudah diakui. Kecenderungan untuk hidup secara damai antara Sunni-Syi’ah sudah tumbuh. Ini sebuah kecenderungan baru. Karena sebelumnya, pikirannya ialah bagaimana saling meniadakan, saling menafikan satu sama lain. Sekarang muncul upaya untuk saling memahami, saling menghormati dan saling belajar. Sebagian orang mungkin akan beranggapan itu pertanda bahwa sudah banyak sekali yang menjadi Syi’ah.

Dari indikator-indikator itu saya berfikir, mungkin pertanyaannya bukan apakah Syi’ah akan berkembang pesat di Indonesia, tetapi –lebih persis lagi– apakah pemikiran Syi’ah akan mendapat tempat yang lebih luas di Indonesia. Dan untuk itu, jawabannya “ya”. Karena, paling tidak, sekarang sudah ada pengakuan akan eksistensi mereka. Nanti penerusnya akan muncul. Bahkan bukan label Sunni dan Syi’ah saja. Sunni dan Syi’ah itu mungkin sudah tidak relevan lagi. Karena yang Sunni sudah sangat terpengaruh Syi’ah, yang Syi’ah juga sudah sangat terpengaruh Sunni.

Label Sunni dan Syi’ah itu mungkin hanya diletakkan pada tataran abstrak saja, pada tataran konsepsual saja. Pada kehidupan sehari-hari, mungkin pengelompokan menjadi kelompok Syi’ah dan kelompok Sunni tidak terjadi. Bahkan menurut saya, tidak bakal terjadi satu ormas Syi’ah. Atau saya bisa menduga, di masa depan, orang-orang Syi’ah akan terdapat pada setiap organisasi Sunni. Pada organisasi Sunni akan ada unsur Syi’ah, tanpa rasa risih. Mereka diterima hadir sebagai bagian dari umat Islam, sebagaimana juga sekarang telah ada saling melintas batas antara orang NU dan Muhamadiyah.

TANYA: Sementara ini, komentar pemerintah terhadap gerakan Syi’ah di Indonesia bagaimana?

JAWAB: Saya melihat ada toleransi dari pemerintah terhadap orang-orang Syi’ah. Sebab mereka melihat bahwa Syi’ah di Indonesia ini hanyalah Syi’ah intelektual. Jadi, mereka tidak merasa harus khawatir terhadap Syi’ah sebagai sebuah gerakan revolusioner.

TANYA: Mengenai fatwa dari MUI?

JAWAB: Memang ada fatwa dari MUI untuk berhati-hati terhadap Syi’ah. Tetapi untuk melarang Syi’ah tidak ada. Karena pada waktu MUI mengeluarkan fatwa itu (melarang) beberapa tokoh cendekiawan Islam di MUI keberatan. Sehingga akhirnya kata-katanya diperlunak: tidak lagi melarang, tetapi pokoknya harus mewaspadai aliran Syi’ah. Sekiranya nanti ada kecurigaan dari pihak pemerintah terhadap Syi’ah, saya menduga kecurigaan itu hanyalah akibat dari lobbying yang dilakukan oleh orang-orang yang anti Syi’ah. Jadi orang-orang yang anti Syi’ah itu berusaha memberikan gambaran tertentu kepada pemerintah, sehingga mereka kemudian mencurigai Syi’ah.

Sebagi contoh, beberapa waktu lalu di Semarang ada diskusi antara Depag dan ormas-ormas Islam. Setelah diskusi mereka mengajukan resolusi untuk melarang Syi’ah, khususnya di Jawa Tengah. Itu terjadi setelah ada peristiwa seorang ustad yang katanya mut’ah dengan beberapa orang muridnya di Sragen. Ustad itu, menurut saya, termasuk Syi’ah gelombang ketiga, yang lahir setelah hadirnya Syi’ah fiqhiyyah yang dibawa oleh sebagian lulusan Qum itu. Tetapi mereka sampai sekarang tetap merupakan minoritas.

Jadi, mayoritas Syi’ah yang ada di Indonesia sekarang adalah Syi’ah gelombang kedua. Sementara yang gelombang ketiga itu minoritas. Kalau saya berbicara dari segi pemerintah, Syi’ah gelombang kedua itu lebih mudah diterima oleh pihak pemerintah daripada yang ketiga. Tetapi, saya pikir, Syi’ah gelombang ketiga itupun hanya entry point saja. Pada waktu yang lama mereka akan lebih toleran. Aliran apapun dalam Islam, kalau orientasinya fikih, itu akan cenderung mendorong konflik. Konflik Muhammadiyah dan NU itu sebenarnya dari segi fikih. Jadi aliran apapun, kalau dasarnya fikih, akan melahirkan konflik.

TANYA: Mungkin Syi’ah gelombang ketiga yang sangat fiqhiyyah itu, yang menimbulkan kekhawatiran di kalangan orang-orang Sunni selama ini. Sebab, walaupun menurut Kang Jalal mereka itu minoritas, tetapi gerakan-gerakannya cukup eksklusif dan sekaligus agresif sehingga kelihatannya besar. Ini bagaimana menurut Kang Jalal?

JAWAB: Ciri setiap orientasi Islam yang bersifat fiqhiyyah adalah mendorong konflik dan cenderung eksklusif. Sebab fikih kemudian menjadi identitas golongan. Jadi, kalau fikih Anda sama dengan fikih saya, Anda satu golongan dengan saya. Kalau fikih Anda tidak sama, Anda di luar golongan saya. Fikih menjadi stempel kelompok. Menurut saya, hal semacam itu bukan terjadi pada Syi’ah saja, tetapi juga terdapat pada kelompok-kelompok harakah Sunni. Ia cenderung eksklusif kalau orientasinya fikih. Sekali lagi, yang eksklusif itu bukan hanya kelompok Syi’ah gelombang ketiga tadi, atau yang dibina oleh mereka, juga kelompok-kelompok harakah yang sekarang berada di universitas-universitas umum, misalnya di UI. Mereka juga cenderung eksklusif. Lalu mengapa mereka kelihatan lebih banyak, karena mereka cenderung konfrontatif. Di sana-sini bikin masalah. Kelihatannya memang banyak, tetapi secara statistik, jumlah mereka ini boleh dibilang negligible, bisa diabaikan. Saya pikir mereka tidak akan mewarnai Syi’ah di masa depan. Pada akhirnya mereka hanya akan termasuk kontributor, memberi nuansa fikih. Karena saya pikir itu pun diperlukan.

TANYA: Menyinggung buku-buku Syi’ah di Indonesia. Kita tahu bahwa banyak buku yang diterbitkan untuk meng-counter pemikiran Syi’ah. Sebaliknya, sekarang banyak juga buku yang apresiatif terhadap Syi’ah.

JAWAB: Kalau dari segi buku, saya kira yang sangat populer tentang Syi’ah adalah buku Dialog Sunnah-Syi’ah. Sesudah itu kemudian bermunculan buku-buku yang menyerang Syi’ah. Antara lain yang ditulis oleh Ihsan Ilahi Zahir, al-Tunsawi. Kemudian disusul dengan buku-buku yang ditulis orang Indonesia, antara lain ditulis Pak Rasjidi. Akan tetapi buku-buku itu lebih merupakan kumpulan kutipan dari buku-buku terjemahan. Lalu, pada saat yang sama, orang-orang Syi’ah juga menulis buku-buku. Umumnya, kalau kita menganalisis buku-buku itu, saya tidak menemukan buku Syi’ah yang khusus ditulis untuk menyerang akidah Ahlu Sunnah. Buku Ihsan Ilahi Zahir tidak memperoleh jawaban dari kalangan Syi’ah.

Mestinya ada buku yang membantah buku tersebut, sebagaimana orang Sunni pernah menulis bantahan terhadap Dialog Sunnah-Syi’ah. Orang-orang Syi’ah tidak menulis bantahan terhadap buku-buku yang menyerang mereka. Mereka masih tetap melanjutkan tradisi dialogis, bukan monologis. Misalnya, Penerbit Mizan kemudian menerbitkan buku Isu-Isu Penting Ikhtilaf Sunnah-Syi’ah. Saya membaca buku itu dan mendapat kesan bahwa pengarangnya tetap membawa misi persaudaraan Islam, walaupun di situ ia membela paham-paham Syi’ah.

Kemudian, belakangan mulai ada orang-orang Syi’ah –yang sulit didefinisikan itu– yang menulis buku. Sebetulnya mereka tidak membela paham Syi’ah, tetapi dianggap membela Syi’ah. Misalnya, Ustad Hussen al Habsyi menulis buku kecil berjudul Rasulullah Tidak Bermuka Masam. Ia mempertahankan bahwa Rasulullah itu ma’shum, dan bahwa salahlah orang yang menuduh bahwa ‘abasa wa tawalla itu ditujukan kepada Nabi. Itu keliru katanya, dengan keinginan untuk membela kesucian Nabi dengan argumentasi-argumentasi. Setelah itu muncul lagi buku kecil (kalau tidak salah judulnya Rasulullah Memang Bermuka Masam), yang membantah Ustad Hussein. Sayangnya beliau tidak menjawab lagi, karena meninggal dunia, bukan karena diserang buku itu.

Jadi, dialog terjadi dalam bentuk tulisan polemis. Menurut saya itu gejala yang sehat. Kita bisa melihatnya dengan gembira bahwa sekarang dialog-dialog itu sudah diangkat dari konflik-konflik yang bersifat fisik, ke arah dialog yang bersifat intelektual –lepas dari seberapa besar kualitas intelektualnya.

Contoh lain adalah buku saya Islam Aktual. Menurut saya, buku itu sama sekali tidak mencerminkan pemikiran Syi’ah secara khusus, tetapi lebih merupakan pemikiran yang dipengaruhi Syi’ah. Artinya tema-temanya adalah tema-tema umum yang bisa diterima oleh semua mazhab. Tidak ada fikihnya di situ. Tetapi sebagian orang menganggapnya buku Syi’ah. Ada seorang penulis buku dari Solo yang mengkritik buku saya. Judulnya –kalau tidak salah– Santri Menjawab Kritik Cendekiawan. Jadi saya di anggap cendekiawan, dan penulis menyebut dirinya santri. Pokoknya ia mengkritik buku itu habis-habisan, walaupun kritiknya itu tidak relevan.

Pada perkembangan berikutnya, ada juga beberapa tulisan tentang Syi’ah yang sangat apresiatif terhadap pemikiran-pemikiran Syi’ah, atau sangat dipengaruhi oleh pemikiran Syi’ah. Tulisan-tulisan Sayyid Hussein Nasr, misalnya, juga memperoleh pembaca yang banyak.

TANYA: Mengenai hubungan antara Syi’ah di Indonesia dengan Syi’ah di pusat, di Iran. Apakah hubungan atau network itu ada.

JAWAB: Dulu tidak ada hubungan sama sekali, sampai dengan gelombang pertama dan kedua, baik secara organisatoris maupun hubungan sosial. Yang saya maksud dengan hubungan sosial itu begini. Dalam Syi’ah ada konsep marja’iyyah. Seorang Syi’i harus mempunyai seorang marja’, seorang ulama yang diikuti dalam urusan fikih. Syi’ah-Syi’ah gelombang kedua itu tidak punya marja’ tertentu. Pada Syi’ah gelombang ketiga masuklah para penyebar fikih Syi’ah. Sejalan dengan itu masuk juga sistem marja’iyyah. Hubungan Syi’ah dengan marja’-nya itu harus kita lihat sebagai hubungan sosial saja: seorang murid yang mengikuti gurunya, bukan hubungan organisatoris seperti anggota Muhammadiyyah. Jadi sewaktu-waktu ia bisa berganti marja’, kalau menurut pertimbangannya bahwa marja’ yang lain itu lebih masuk akal.

Di Indonesia, saya kira ada yang mengikuti marja di Iran. Ada juga yang mengikuti marja’ di Irak. Ada beberapa Syi’ah yang mengikutinya, dan kerena mereka mempunyai marja’, jadi hubungan sosial mereka hanya dengan kelompok-kelompok satu marja’

TANYA: Kang Jalal bisa cerita tentang proses belajar atau nyantri di Qum. Sebab ternyata banyak juga mahasiswa Indonesia yang ke sana. Juga mengenai beasiswanya, apa ada dari pihak Iran, misalnya?

JAWAB: Kalau Anda belajar di pesantren Iran, apakah Anda itu orang asing ataupun orang Iran, Anda akan mendapat santunan dari para ulama. Kalau di Indonesia santri yang bayar ulama, di Iran ulama yang bayar santri. Mereka diberi uang bulanan yang kecil, sekitar 50.000 rial. Cukuplah untuk makan yang sangat sederhana. Kemudian tinggal di pondok-pondok itu tidak bayar. Itulah yang mungkin kita sebut beasiswa. Beasiswa dalam benak kita hanyalah diterima sebagian murid. Kalau ini, seluruh murid yang ada di situ dapat uang bulanan.

Sebenarnya tidak ada prosedur resmi seperti beasiswa dari pemerintah Iran. Kalau saya ditanya apakah ada beasiswa dari pemerintah Iran untuk pelajar Indonesia, saya bisa menyebutkan dengan pasti, “Tidak. Tidak ada sama sekali”. Saya dulu pernah ingin belajar di Iran, berharap dapat beasiswa dari pemerintah Iran, atau melalui kedutaannya di sini, tetapi tidak dapat. Saya bayar sendiri. Kemudian di sana, saya sebetulnya melamar ingin belajar teologi, dan sudah disetujui dan diterima oleh Prof. Mehdi Muhaghegh untuk mengambil program doktor di Universitas Teheran. Saya berangkat ke sana dengan biaya sendiri dan tinggal satu tahun. Setelah setahun, saya diberitahu bahwa saya sudah diterima di Universitas. Tetapi sayang, waktu itu saya sudah mengambil keputusan untuk pulang. Jadi saya tidak ambil.

Itulah proses birokrasi Iran. Dan itu menunjukkan betapa sulitnya memperoleh beasiswa dari pemerintah Iran. Lebih mudah memperoleh beasiswa ke Saudi atau ke Mesir ketimbang ke Iran. Hanya saja kalau ada orang yang punya maksud ingin belajar di Iran, itu gampang. Asal ia bisa bayar sendiri ongkos ke Iran. Secara teoretis begitulah, gampang. Namun, secara praktis di sana ia harus mengenal beberapa orang yang akan mengurusnya. Secara teoretis sederhana saja.

TANYA: Ini pertanyaan terakhir. Dalam konteks pembicaraan kita tentang Syi’ah di Indonesia, sebenarnya di mana posisi Yayasan Muthahhari yang Kang Jalal pimpin?

JAWAB: Yayasan Muthahhari tidak didirikan untuk menyebarkan Syi’ah –dan sampai sekarang lembaga ini tidak menyebarkan Syi’ah. Di situ ada SMU. Mereka belajar fikih empat mazhab (Syafi’i, Hambali, Maliki, Hanafi). Mereka tidak mempelajari fikih Syi’ah secara khusus. Dari Muthahhari juga keluar Jurnal al-Hikmah, yang banyak menerjemahkan pikirian-pikiran Syi’ah. Tetapi sekali lagi hanya bersifat pemikiran saja, fikihnya tidak ada. Belakangan al-Hikmah sedikit menampilkan pemikiran Syi’ah. Malah lebih banyak menampilkan pemikiran-pemikiran kalangan orientalis. Sehingga Yayasan Muthahhari, dengan melihat isi al-Hikmah seperti itu, layaklah disebut sebagai “agen zionisme Barat.” Jadi mungkin lebih layak Muthahhari ketimbang Paramadina atau Ulumul Qur’an. Jadi itu yang pertama: Muthahhari tidak didirikan untuk menjadi markas Syi’ah.

Lalu, kalau begitu, mengapa diambil nama Muthahhari? Itu karena tiga pertimbangan. Pertama, Muthahhari itu seorang pemikir Syi’ah yang sangat non sektarian, yang sangat terbuka. Ia sangat apresiatif terhadap pemikiran Sunni. Ia tidak pernah menyerang Sunni. Ia lebih banyak belajar dari Sunni. Karena itu kita ambil tokoh Muthahhari sebagai tokoh yang bersikap non sektarian, terbuka terhadap berbagai pemikiran, bukan karena Syi’ahnya.

Kedua, Muthahhari itu adalah orang yang dibesarkan dalam sistem pendidikan Islam tradisional, tapi setidak-tidaknya cukup well informed tentang khazanah pemikiran Barat. Ia menjembatani dikotomi antara intelektual dan ulama. Kita pilih ia, antara lain karena pertimbangan itu, bukan karena Syi’ah. Karena misi Yayasan Muthahhari yang kedua adalah menjembatani antara intelektual dan ulama. Di Indonesia ini banyak cendekiawan yang menulis tentang Islam, tetapi tidak punya dasar dan tradisi Islam tradisional, sebagaimana juga banyak ulama Islam tradisional yang tidak mempunyai wawasan kemodernan. Muthahhari mencerminkan keduanya.

TANYA: Kalau itu alasannya, mengapa tidak dipilih Cak Nur saja yang lebih lokal? Toh iapun menggabungkan kedua tradisi itu. Ia juga nonsektarian, terbuka kepada berbagai pemikiran. Ia juga mewakili dua tradisi: Islam dan Barat.

JAWAB: Mengapa Cak Nur tidak dipilih? Itu karena ada pertimbangan ketiga, yakni, Muthahhari itu menggabungkan aktivisme dan intelektualisme. Selain seorang intelektual, pemimpin, dan penulis, ia juga aktivis. Seorang aktivis itu adalah seseorang yang punya misi untuk melakukan perubahan sosial dan misi-misi yang sangat konkret. Cak Nur, menurut saya, lebih banyak intelektualismenya ketimbang aktivisnya. Jadi kita ambil Muthahhari.

TANYA: Lalu, dimana posisi Muthahhari dalam penyebaran Syi’ah, atau di kalangan komunitas Syi’ah yang lain?

JAWAB: Dalam penglihatan saya, Muthahhari tidak mempunyai nama yang begitu baik di kalangan Syi’ah, khususnya yang gelombang ketiga. Tetapi ia masih tetap punya banyak massa yang bercorak gelombang kedua itu, yaitu orang-orang Syi’ah tertentu yang lebih tertarik pada hal-hal yang bersifat intelektual dan tidak bersifat fiqhiyyah. Muthahhari juga masih punya dukungan di kalangan mahasiswa, di kelompok-kelompok terdidik, karena dulu para pendukung Yayasan ini banyak yang berasal dari ITB dan Unpad. Mereka sekarang telah lulus jadi sarjana dan tersebar di berbagai tempat, tanpa membawa nama Syi’ah. Tetapi di kalangan Syi’ah yang belakangan, yang gelombang ketiga itu, Muthahhari tidak begitu oke. Bahkan, ada sekelompok Syi’ah di Jakarta yang mengecam Muthahhari dan mengganggapnya sebagai Syi’ah yang ‘murtad,’ di luar kelompok mereka.

Sumber: Catatan Kang Jalal

Visi Media, Politik, Dan Pendidikan (Hal: 433-460)

Editor: Miftah F. Rakhmat

Penerbit: PT Remaja Rosdakarya Bandung

Cetakan Kedua April 1998

(dari posting milis is-lam@isnet.org oleh Muhammad Syafei)

mainsource:http://ahmadsamantho.wordpress.com/2007/11/02/dikotomi-sunni-syiah/

Muhammadiyah: Tak Ada Beda Sunni dan Syiah

Islam Times- Muhammadiyah sebelumnya mengecam keputusan Prancis yang melarang Muslimin menggunakan Burqa dan cadar, mencapnya sebagai sebuah sikap yang tidak menghargai kebebasan beragama, elemen vital demokrasi.
Islam dan keadilan global
Islam dan keadilan global

Ketua Umum Muhammadiyah, Din Syamsudin, mengatakan tak ada perbedaan besar antara dua mazhab besar dalam Islam, Sunni dan Syiah, kata sebuah berita, sebuah pernyataan sejuk yang menutup pintu perpecahan dan adu domba yang bisa menghancurkan harmoni Muslimin Indonesia.

Berbicara di Jakarta hari ini, Din berkata baik Sunni dan Syiah "mengakui Tuhan dan Rasul yang sama. "Soal itu perlu diluruskan agar tidak memecah persaudaraan umat Islam," katanya ke Kantor Berita Antar.

Din mengutarakan pandangannya itu lepas menjamu Duta Besar Iran untuk Indonesia, Mahmoud Farazandeh, di Kantor Pusat Muhammadiyah di bilangan Menteng.

Kata Din, pertemuan itu terkait kerja sama Iran dengan Muhammadiyah untuk "mempererat hubungan" di bidang pendidikan dan ilmu pengetahuan. "Semuanya untuk memajukan umat," kata Din.

Din mengatakan Muhammadiyah dan Kedutaan Iran akan menggelar seminar bertema "Islam, Perdamaian, dan Keadilan Global".

Seminar untuk menanggapi ketidakadilan global yang sedang terjadi dan sebagai upaya menghilangkan Islamofobia, ketakutan dan kecurigaan tak beralasan pada Islam, katanya.

Muhammadiyah sebelumnya mengecam keputusan Prancis yang melarang Muslimin menggunakan Burqa dan cadar, mencapnya sebagai sebuah sikap yang tidak menghargai kebebasan beragama, elemen vital demokrasi.

Dalam kesempatan yang sama, Duta Besar Mahmoud bilang masyarakat Muslim perlu bekerjasama untuk menunjukkan Islam sebagai "agama kedamaian". "Sejumlah negara besar di dunia memandang Islam sebagai ancaman yang amat menakutkan dengan dugaan melakukan pengeboman, teror serta kekerasan di sejumlah negara," katanya. [Islam Times/Antara/K-014/on]

1 comments to "Syiah Indonesia Antara Janji dan Harapan"

  1. Anonymous says:

    Mau SUNNI, mau SYIÁH, yang penting JANGAN KELUAR dari NU. . . !!

Leave a comment