Home , , , , , , , , � Kami merasa Terhina dan merasa dibodohi Barat jangan sampai ‘meet the new boss, same as the old boss.’

Kami merasa Terhina dan merasa dibodohi Barat jangan sampai ‘meet the new boss, same as the old boss.’


Haihata Minnaz Dzillah / Pantang Hina

Memetakan Konflik Libya dengan Paradigma dari Iran

Oleh: Dina Y. Sulaeman

Introduksi

Konflik Libya masih terus berlanjut. Opini yang sedang dibangun media-media mainstream adalah sedemikian brutalnya Qaddafi, sampai-sampai negara-negara NATO harus mengirimkan pasukannya ke Libya. Negara-negara Barat beramai-ramai membekukan aset Qaddafi, seolah-olah sedang ‘menyelamatkan’ harta Qaddafi demi rakyat Libya. Padahal nanti, ketika Qaddafi turun, pemerintah baru Libya harus menempuh proses pengadilan yang sangat mahal dan berbelit-belit untuk mengklaim harta itu. Jarang yang mempertanyakan, siapa yang memanfaatkan aset-aset itu sampai kelak pemerintahan baru Libya berhasil mengklaimnya?

Dunia pun kini sedang digiring untuk ‘mengizinkan’ AS dan kroni-kroninya melakukan ‘humanitarian intervention’ demi membantu rakyat Libya. Bahkan sebagian media memberitakan, justru pejuang Libya sendiri yang ‘mengundang’ AS agar mengirim pasukan. Pemimpin negara-negara dunia pun mulai bersuara keras, menuntut agar segera diambil tindakan ‘nyata’ menghentikan kebrutalan Qaddafi.

Suara yang jernih, menurut saya, terdengar dari Iran. Presiden Ahmadinejad mengecam Qaddafi karena tega membunuhi rakyatnya sendiri, namun di saat yang sama, dia juga memperingatkan AS agar jangan coba-coba melakukan intervensi militer di Libya. Ahmadinejad juga mengingatkan bahwa senjata yang dipakai Qaddafi untuk membunuhi rakyatnya justru berasal dari AS dan Uni Eropa.

Saya teringat pada suatu Jumat di bulan April tahun 2003. Saat itu Saddam baru saja terguling dan saya berkesempatan mengikuti sholat Jumat di Tehran University dengan khatib Ayatullah Khamenei. Saya ingat sekali, dalam khutbahnya itu, Ayatullah Khamenei menyatakan bahwa rakyat Iran dan Irak yang telah menjadi korban kekejaman Saddam patut senang karena Saddam akhirnya tumbang. Namun bukan berarti mereka harus menganggap AS adalah pahlawan. Menurut Ayatullah Khamenei, AS datang di saat Saddam memang sudah lemah dan sudah hampir tumbang oleh perjuangan rakyat Irak sendiri. Karena itu, AS seharusnya angkat kaki dari Irak dan menyerahkan urusan Irak kepada rakyat Irak sendiri. Situasi tahun 2003 itu mirip sekali dengan yang kini melanda Libya.

Di tengah berbagai kesimpangsiuran berita dan analisis yang beredar di media massa, sebagai pembanding saya ingin mengangkat suara dari Iran. Melalui tulisan ini, saya berusaha memetakan konflik secara lebih jelas, dengan menggunakan paradigma yang dikemukakan Ayatullah Khamenei dalam khutbah Jumatnya (4/2). Ada poin utama yang beliau ungkapkan dalam menganalisis kebangkitan di Timur Tengah, yaitu:

1. Ini adalah kebangkitan Islam

2. Akar masalah bukanlah ekonomi, melainkan rasa terhina kaum muslim di Timur Tengah yang sudah mencapai titik kulminasi.

Sebagaimana banyak ditulis para analis politik, faktor ekonomi dianggap sebagai penyebab bangkitnya rakyat Timur Tengah melawan pemimpin mereka. Faktor ekonomi memang terlihat cocok digunakan untuk menganalisis akar konflik di Mesir dan Tunisia yang rakyatnya miskin. Namun terbukti, faktor ekonomi tidak cocok untuk Libya. Negara ini memiliki pendapatan perkapita lebih dari US$12.000 atau enam kali lipat pendapatan perkapita rakyat Mesir (bandingkan juga dengan Indonesia yang hanya US$2150). Bahrain pun tetap bergolak, meski Dinasti Al Khalifa memberi hadiah uang 3000 dollar untuk setiap keluarga. Gelombang kebangkitan rakyat juga melanda Arab Saudi meski Raja Saud menjanjikan hadiah 36 milyar dollar untuk dibagi-bagikan kepada rakyatnya. Jadi, terbukti bahwa yang mendorong bangkitnya rakyat Timur Tengah bukan sekedar ekonomi, tetapi ada hal lain yang lebih mendasar, yaitu ‘keterhinaan’. Nanti saya akan membahas lebih jauh tentang hal ini.

Pemetaan Konflik

Menurut teori resolusi konflik, dalam menganalisis konflik perlu diidentifikasi empat faktor penting berikut ini.

1. Pivotal Factor (Faktor Utama)

Harus diakui bahwa Timur Tengah adalah kawasan muslim. Rakyat Timur Tengah memiliki keterikatan yang besar terhadap Islam. Peradaban Timur Tengah yang gemilang pun dibangun oleh Islam, meskipun kemudian dihancurkan oleh kekuatan imperialis Barat. Timur Tengah kini tidak lagi gemilang, malah bisa dikatakan tertinggal dan terbelakang. Setelah PD II, bangsa-bangsa Timur Tengah dipisahkan dalam sekat-sekat negara, dan di masing-masing negara, kekuatan imperialis mendudukkan pemimpin-pemimpin boneka. Rakyat Timur Tengah yang punya sejarah gemilang kemudian selama bertahun-tahun dibodoh-bodohi, dimiskinkan, direpresi oleh pemimpin-pemimpin boneka itu. Seperti dikatakan Ayatullah Khamenei,Perhatikanlah betapa ini adalah suatu hal yang sangat berat bagi sebuah bangsa: ketika pemimpin bangsa itu—presidennya—yang secara lahiriah menunjukkan diri sebagai seorang yang sangat sombong kepada rakyatnya sendiri, tapi pada saat yang sama adalah seorang budak resmi dari sebuah lembaga negara lain, yaitu AS.”

Namun, hari ini terbukti bahwa setelah sekian lama ditekan oleh para pemimpin boneka, kesadaran kaum muslimin Timur Tengah terhadap jatidirinya semakin besar. Mereka bisa melihat bahwa Barat adalah perampok kekayaan alam mereka. Mereka juga menyadari bahwa dalam merampok, Barat bekerjasama dengan pemimpin-pemimpin di negara. Kesadaran rakyat Timur Tengah tampak dalam berbagai polling yang menunjukkan bahwa mereka benci kepada AS dan menganggapnya sebagai musuh. Perilaku AS di Palestina dan Irak berperan penting pula dalam membangkitkan solidaritas Islam dan menambah eskalasi kebencian terhadap Barat (yang diwakili oleh AS).

John Pilger, jurnalis independen yang sering mengkritik kebijakan kapitalis Barat, mengidentifikasi dengan baik faktor kebencian rakyat muslim Timur Tengah terhadap Barat ini. Dia menulis,

Di Timur Tengah, semua diktator dan raja dilanggengkan oleh AS. Dalam “Operation Cyclone” CIA dan MI6 (Dinas Rahasia Inggris) secara rahasia membungkam gerakan-gerakan Islam di sana. Korban dari terorisme yang dilakukan Barat di berbagai penjuru dunia, mayoritasnya adalah muslim. Rakyat pemberani yang ditembaki di Bahrain dan Libya pada hakikatnya bergabung dengan anak-anak Gaza yang diledakkan oleh pesawat F16 buatan AS. Revolusi di Arab tidaklah sekedar melawan diktator lokal namun melawan tirani ekonomi global yang didesain oleh AS dan dijalankan oleh USAID, IMF, Bank Dunia; yang menyebabkan rakyat di negeri yang kaya seperti Mesir harus hidup dengan 2 dollar sehari.”

Tentu saja, Pilger masih memfokuskan diri pada ekonomi sebagai akar konflik. Sementara Ayatullah Khamenei mengindentifikasi faktor lain yang lebih mendasar: keterhinaan kaum muslimin. Keterhinaan yang ditimpakan kepada rakyat Timur Tengah oleh imperialis Barat, melalui boneka-bonekan, sudah tidak bisa lagi ditanggung oleh manusia yang secara fitrah memiliki harga diri dan kehormatan. Dan inilah yang menjadi pendorong utama kebangkitan rakyat Timur Tengah.

2. Triggering Factor (Faktor Pemicu)

Karakteristik konflik adalah cenderung ‘menular’ di satu kawasan dan inilah faktor pemicu kebangkitan rakyat di Libya. Kebangkitan rakyat negara-negara Arab dan keberhasilan rakyat Mesir dan Tunisia (dua negara yang bertetangga langsung dengan Libya), bisa diakui sebagai faktor pemicu meletusnya perjuangan revolusi di Libya.

3. Mobilizing Factor (faktor yang menjadi pendorong termobilisasinya massa)

Menurut saya, mobilizing factor masih sulit dianalisis karena minimnya informasi. Sebagai perbandingan, mobilizing factor dalam revolusi Iran adalah adanya tokoh fenomenal Ayatullah Khomeini yang didukung oleh hampir semua elemen rakyat, tidak hanya yang muslim-Syiah, tetapi juga yang Sunni, Kristen, sosialis, bahkan sekuler. Di Mesir, gerakan Ikhwanul Muslimin yang sudah lama tumbuh dan berkembang bisa disebut sebagai mobilizing factor. Di Libya, belum tampil tokoh oposisi yang fenomenal itu. Kalaupun ada tokoh yang muncul di pemberitaan, biasanya adalah tokoh-tokoh rezim lama. Mereka tidak muncul dari tengah rakyat. Motivasi mereka sangat diragukan, dan sangat mungkin mereka bergabung bersama rakyat hanya untuk menyelamatkan karir di masa depan.

Namun, bila kembali pada asumsi bahwa kebangkitan rakyat Timur Tengah adalah kebangkitan Islam, sangat mungkin mobilizing factor di Libya memang ulama-ulama yang selama puluhan tahun menanamkan kesadaran Islam kepada rakyat. Ulama-ulama itu masih belum terungkap namanya, sekali lagi, karena minimnya informasi.

4. Aggravating Factor (faktor eksternal yang mendorong eskalasi konflik).

Saya melihat, ada dua pihak yang bisa disebut sebagai aggravating factor, pertama Iran, kedua AS dan sekutu-sekutunya.

-Faktor Iran

Iran tidak melakukan intervensi terhadap Libya. Bahkan bisa dibilang hubungan Iran-Libya cenderung dingin. Apalagi, Qaddafi berperan besar dalam melenyapkan Imam Musa Sadr (ulama asal Iran yang berdakwah di Lebanon, kemudian tiba-tiba lenyap saat berkunjung ke Libya. Tidak ada pengakuan resmi dari Libya mengenai keberadaan Imam Musa Sadr, meskipun kemungkinan besar beliau sudah dibunuh. Kasus Imam Musa Sadr merupakan salah satu bukti bahwa Qaddafi sebenarnya adalah kroni Zionis karena keberadaan Imam Musa Sadr di Lebanon dianggap membahayakan Israel yang saat itu menjajah Lebanon selatan).

Tapi seperti dikatakan Ayatullah Khamenei dalam khutbahnya, keberhasilan Iran menggulingkan rezim Shah yang merupakan boneka AS, dan bertahan menjadi negara yang independen hingga hari ini, telah menjadi inspirasi bagi kaum muslimin di Timur Tengah. Iran berhasil mencapai kemajuan ekonomi, ilmu, dan teknologi meskipun diperangi oleh Barat selama delapan tahun (melalui tangan Saddam), diembargo selama puluhan tahun, dan terus-menerus diserang oleh propaganda hitam. Kemajuan Iran, tak pelak lagi, membangun rasa bangga dan percaya diri rakyat Timur Tengah pada umumnya. Hal ini terbukti antara lain dari hasil polling bulan Agustus 2010 yang menunjukkan bahwa mayoritas rakyat Arab justru mendukung program nuklir Iran.

Inilah yang dimaksud oleh Ayatullah Khamenei bahwa “Revolusi kami bisa menjadi pemberi ilham dan teladan karena kami kukuh, konsisten, dan berpegang teguh pada landasan dasar revolusi ini, yaitu Islam.”

Iran berdiri tegak bagaikan sebuah menara tinggi dan memancarkan gelombang energi bernama independensi dan harga diri di tengah rakyat Timur Tengah yang sedang dalam keadaan terpuruk dan terhina. Gelombang energi inilah yang menjadi aggravating factor bagi rakyat muslim Libya (dan negara-negara Timur Tengah lainnya).

-Faktor AS dan sekutunya

Fakta menunjukkan bahwa lembaga-lembaga think tank AS-Zionis, seperti Freedom House, National Democrat Institute, Open Society, sudah lama ‘bekerja’ di Libya (dan negara-negara Dunia Ketiga pada umumnya) untuk menyebarkan ide-ide demokrasi dan kebebasan. Tentu saja, tujuannya bukanlah tujuan yang ikhlas, namun agar rakyat Timur Tengah lebih pro-Barat, menjauhkan diri dari nilai-nilai Islam (karena Barat sangat khawatir ada Iran kedua).

Menariknya, ide-ide demokrasi dan kebebasan ini sepertinya justru menjadi pisau bermata dua yang sangat mungkin menikam Barat sendiri. Rakyat Timur Tengah justru bangkit menumbangkan rezim-rezim boneka Barat. Khusus untuk Libya, kasusnya lain: Barat memang berkepentingan agar Qaddafi mundur (karena faktor minyak, sebagaimana saya tuliskan di artikel sebelumnya). Melalui isu-isu demokrasi dan kebebasan, mereka berusaha mengontrol agar pemerintahan pengganti tidak berhaluan Islam.

Di sisi lain, justru AS dan Uni Eropa pula yang selama ini menjual fasilitas militer canggih kepada Qaddafi. Sejak awal AS dan UE tahu bahwa Qaddafi adalah diktator, namun mereka tetap menjual senjata kepadanya. Dari AS-lah kini Qaddafi punya F-16, Apache, dan berbagai jenis kendaraan militer. Libya bahkan adalah pasar utama bagi senjata produksi Inggris.

Dan kini, ketika rakyat Libya bangkit melawan Qaddafi, AS dan UE memberikan ‘bantuan’ kepada gerilyawan dengan harapan agar pasca Qaddafi mereka bisa mengontrol rezim baru. AS dan UE mensuplai senjata-senjata melalui perbatasan selatan Libya. Bagi AS dan UE, kekacauan di Libya akan memberi peluang bagi mereka untuk semakin bercokol di Libya dan negara-negara Afrika, menyingkirkan Rusia dan China yang sebelumnya lebih dominan di sana.

Jadi, inilah yang kini terjadi di Libya: ‘political leveraging’. Di satu sisi AS dan UE berkepentingan (dan membantu) penggulingan Qaddafi; di sisi lain justru AS dan UE pula yang selama ini menyuplai senjata kepada Qaddafi.

Kesimpulan

Kesimpulan dari uraian yang cukup panjang di atas adalah ada dua kekuatan besar yang tengah bertarung di Timur Tengah: kebangkitan Islam dan upaya Barat untuk menyiramkan minyak ke dalam api yang memang sudah menyala. Barat tentu akan berusaha semaksimal mungkin menggiring konflik yang sudah meletus demi kepentingannya sendiri. Hasil akhirnya sangat bergantung kepada kesadaran rakyat Libya (dan Timur Tengah pada umumnya). Bila mereka mampu stay on the right track, mudah-mudahan hasilnya akan seperti Iran: menjadi negara yang independen dan maju. Namun bila tidak, dan masih tetap mau dibodoh-bodohi Barat, maka hasilnya adalah ‘meet the new boss, same as the old boss.’ ©Dina Y. Sulaeman.

Artikel ini sebelumnya telah dimuat di IRIB.

mainsource:http://dinasulaeman.wordpress.com/2011/03/07/memetakan-konflik-libya-dengan-paradigma-dari-iran/#more-618


PERSELISIHAN ANTAR MAHZAB


Sejarah telah menceritakan kefanatikan masing-masing kelompok terhadap madrasah fikih mereka, dan juga berbagai pertengkaran dan perselisihan yang terjadi diantara mereka, hingga sampai tingkatan dimana sebagian mereka mengkafirkan sebagian yang lain, juga terlihat peran penguasa didalam hal ini, dapat disaksikan di dalam syair-syair mereka :
” Telah tumbuh Mazhab Nu’man menjadi sebaik-baiknya mazhab
laksana bulan bercahaya sebaik-baik bintang
mazhab-mazhab ahli fikih telah menyusut
mana mungkin gunung-gunung kokoh menenun sarang laba-laba”
Seorang penyair bermazhab Safi’i berkata:
“Perempuan Syafi’i dikalangan ulama adalah laksana bulan purnama diantara bintang-bintang di langit
Katakan pada orang yang membandingkannya
dengan Nu’man karena kebodohan
apakah mungkin cahaya dapat dibandingkan dengan kegelapan”
Seorang penyair bermazhab Maliki mengatakan,
“Jika mereka menyebutkan kitab-kitab ilmu, maka datangkan
apakah dapat sebanding dengan kitab al-Muwaththa karya Malik
Dengan berpegang kepadanya tangan kekuasaan menjadi mendapat petunjuk
barangsiapa yang menyimpang darinya dia akan celaka “
Seorang penyair bermazhab Hambali berkata,
” Aku telah menyelidiki syarat-syarat ulama seluruhnya,
selama aku hidup maupun sesudah mati.
Wasiatku kepada seluruh manusia,
hendaklah mereka bermazhab Hanbali “
Muhammad bin Abdul Baqi, wafat tahun 535 H yang bermazhab Hanbali, mengambarkan keadaan menyembunyikan mazhab yang terjadi kala itu didalam sebuah syairnya,
“Jagalah lidahmu, sedapt mungkin jangan sampai menceritakan yang tiga,
yaitu umur, harta dan mazhab.
Karena atas yang tiga akan dikenakan yang tiga,
yaitu dikafirkan, dihasudi dan dituduh sebagai pembohong”
Demikianlah, setiap orang dari mereka sangat fanatik terhadap imamnya, amat bangga dengan mazhabnya dan mengingkari mazhab-mazhab yang lainnya.
Hingga ada yang mengatakan “Barang siapa yang menjadi Hanafi maka diberi hadiah, dan barangsiapa yang menjadi Sayfi’i akan dihukum” (Ad-din al-Kahlish, jld 3, hal 355)
IMAM ABU HANIFAH, Lahir tahun 80 H , pada masa khalifah Abdul Malik bin Marwan, Meninggal tahun 150 H.
IMAM MALIK , Lahir tahun 93 H Meninggal tahun 179 H
IMAM SYAFI’I, Lahir tahun 150 H Meninggal tahun 204 H
IMAM AHMAD BIN HANBAL, Lahir 164 H Meninggal tahun 241 H
Masa para Imam 4 mazhab (Hanafi, Malik, Safi’i dan Hanbali) bersamaan dengan para Imam Ahlilbait Nabi.
Imam Hanafi (80 H s/d 150 H) dan Imam Malik (93 H s/d 179 H) sezaman dengan Imam Ja’far as-Sodiq (83 H s/d 148 H) dan Imam Musa al-Kadhim (128 H s/d 183 H).
Imam Syafi’i (150 H s/d 204 H) dan Imam Hanbali (164 H s/d 241 H) sezaman dengan Imam Ali ar-Ridha (148 H s/d 203 H) dan Imam Muhammad al-Jawad (195 H s/d 220 H).
Timbul pertanyaan sbb :
Mengapa posisi kepemimpinan / ke-Imam-an tidak dipundak Imam Ahlilbait ?
Mengapa lebih dikenal serta diutamakan Imam 4 mazhab ketimbang Imam Ahlilbait ?
Mengapa Imam 4 mazhab berdiam diri tidak melakukan pembelaan secara nyata Imam Ahlilbait dibunuh dizamannya ?
Ahmad Amin berkata, ” Penguasa mempunyai peranan yang besar di dalam memenangkan mazhab-mazhab ( Hanafi, Malik, Safi’i dan Hanbali ). Biasanya, jika sebuah pemerintahan yang kuat mendukung sebuah mazhab maka orang-orang akan mengikuti mazhab tersebut. Mazhab tersebut akan terus berkuasa sampai lenyapnya pemerintahan yang mendukungnya ” ( Dzahr al-Islam, jld 4, hal 96 )
Apakah masih mungkin ber argumentasi tentang wajibnya mengikuti mazhab yang empat ?
Apakah memang ada dalil yang mengatakan bahwa mazhab hanya terbatas pada mazhab yang empat ?
Jika di sana tidak ada dalil yang menunjukan tentang wajibnya berpegang kepada mereka, apakah itu berarti Allah dan Rasul-Nya telah lalai akan masalah ini, dan tidak menjelaskan kepada mereka tentang dari mana seharusnya mereka mengambil agama mereka dan syariat hukum mereka ?
Mahasuci Allah dari membiarkan makhluk-Nya dengan tanpa menjelaskan kepada mereka tentang hukum-hukum dan jalan yang akan menyelamatkan mereka.
Allah swt telah menjelaskan melalui lidah Rasulullah saw dan telah menegakkan hujjah akan wajibnya mengikuti ‘ Itrah Rasulullah saw( Ahlilbait ), ” Sesungguhnya Zat yang Mahatahu telah memberitahukan Aku bahwa keduanya tidak akan pernah berpisah hingga keduanya menemuiku di Telaga

mainsource:http://haidarrein.wordpress.com/2008/01/16/perselisihan-antar-mahzab/

0 comments to "Kami merasa Terhina dan merasa dibodohi Barat jangan sampai ‘meet the new boss, same as the old boss.’"

Leave a comment