Oleh: Afifah Ahmad
Sejarah adalah sebuah siklus puisi yang ditulis oleh waktu pada kenangan manusia.
(Percy Bysshe Shelley)
Wajahnya putih bersih dengan alis hitam lebat melingkar indah, mewakili kecantikan ras Aria, dikenakannya blouse dan kerudung warna cokelat tanah dipadu jeans biru terang.
Tak sempat kutanyakan namanya, karena kulihat ia tengah terbius oleh benda-benda antik yang datang jauh dari masa lalu. Aku sendiri sudah cukup lama mengitari museum yang terletak di bukit Hegmataneh ini.
Sebenarnya kedatanganku bersama suami dan Mehdi, tapi suami lebih dulu mengamankan Mehdi yang mulai merajuk minta pulang. Gadis itu, laksana teman seperjalanan yang menemaniku menyusuri bukit bersejarah.
Hegmataneh, terletak di gerbang kota Hamedan dengan luas sekitar 50 hektar, lokasinya sendiri berada di dataran tinggi. Dulu, saat pertama kali mengunjungi Hamedan, tempat ini tak sempat kusinggahi. Barangkali, bagi sebagian besar pelancong, Hegmataneh memang tidak sepopuler tempat wisata lain seperti gua Alisadr atau makam Ibnu Sina. Namun, sesungguhnya tempat ini memiliki perjalanan historis yang luar biasa.
Arkeolog terkemuka Perancis, Giryeshman percaya bahwa di sinilah kerajaan Persia pertama dibangun oleh silsilah raja Median, 728-550 sebelum Masehi. Bahkan, penelitian lanjutan menunjukkan, sebelum pembentukan pemerintahan Median pun, suku Kasis telah mendiami tempat ini. Dalam perjalanannya, Hegmataneh pernah menjadi saksi berbagai pergantian dinasti dari Achamenid, Parthia, Sasanid sampai masa pemerintahan Islam.
Cerita Di Balik Fosil
Hari ini, Hegmataneh ibarat lorong sejarah yang menghubungkan berbagai generasi lewat jejak-jejak yang ditinggalkan para pelaku di jamannya. Melalui benda-benda inilah aku dan perempuan muda tadi terhubung ke masa lalu sejak dua ribu tahun ke belakang. Kami sedang memandangi koin-koin mata uang dari berbagai generasi, saat sebuah rombongan tur tiba di bangunan museum.
Semuanya berusia lanjut, hanya pemandu yang terlihat jauh lebih muda dari mereka. Rombongan itu langsung menuju ke sebuah sudut ruangan, nampaknya sang pemandu begitu menguasai lokasi. Mereka seperti terpana mengitari sebuah benda bersejarah.
Aku dan gadis Irani perlahan mendekat ke arah kerumunan. Tempat ini memang terletak di paling ujung ruangan hingga hampir saja kulewatkan. Debar hatiku menguat seketika saat melihat apa yang sedang menjadi objek sorotan, rangka utuh manusia yang tengah mendekap sebuah guci. Hasil temuan menyebutkan bahwa rangka ini milik seorang perempuan di masa dinasti Achaemenid. Yang menarik dari fosil ini adalah posisi awal ditemukannya dalam keadaan meringkuk seperti janin dalam perut ibu.
"Lihatlah...posisi manusia di alam kubur, sama seperti saat berada dalam rahim!" Tutur pemandu diikuti anggukan kuat peserta rombongan.
"Anda mungkin pernah mendengar kisah Ashabul Kahfi dalam gua. Maha kuasa Allah yang telah menghidupkan tulang belulang seperti ini menjadi manusia yang kembali utuh...!"
Kali ini rombongan terlihat khusuk menghayati setiap kalimat pemandunya, meski pandangan mereka tetap tertuju pada fosil yang telah berumur ribuan tahun.
Sembari mengambil gambar fosil dari berbagai sudut, kuperhatikan sekali lagi kuburan terbuka yang dilapisi kaca ini. Di sekitar rangka, terdapat gerabah berserakan. Pada masa itu, mayat dikuburkan beserta benda-benda kecintaanya. Islam datang dengan membawa visi transendental, benda-benda itu tidak lagi diperlukan untuk menemani kesunyiaan di alam kubur.Karena tanaman kebaikan yang disamai dalam kehidupan manusia, akan menjadi teman perjalanan sejati melintasi alam barzah.
Tercekat di Bukit Ganjnameh
Rombongan mulai berpencar ke sudut-sudut ruangan, sementara perempuan muda itu masih berdiri di tepi fosil. Aku sendiri memburu kursi di beranda museum. Angin perbukitan menyapa sejuk, mengusir lelah setelah mengitari ruangan museum yang cukup luas. Di belakangku terbentang sebuah proyek galian untuk menguak kota tua yang pernah berdiri kokoh di tempat ini. Kupandangi jalanan di bawah sana, Mehdi dan suami belum kembali. Matahari perlahan mengintai di atas kepala, sementara penyusuran ke lokasi galian kota tua belum juga dimulai.
Sambil cemas-cemas menanti, ingatanku kembali meneropong sudut-sudut museum. Di antara benda-benda antik seperti gerabah, patung, peti mati, koin uang dari berbagai dinasti, kutemukan juga sebuah prasasti dengan tulisan kuno baji. Sebenarnya, ini hanya duplikasi untuk mengabadikan bentuk aslinya, karena prasasti sesungguhnya berada di bukit Ganjnameh, pegunungan Alvand.
Ada cerita menarik yang akan selalu kukenang saat berburu prasasti di Ganjnameh. Waktu itu senja mulai merangkak, kami setengah memaksakan diri untuk pergi ke sana. Pertimbanganku karena kami tak punya banyak waktu lagi di Hamadan, lagi pula pulang-pergi akan menyewa mobil. Ganjnameh terletak 15 kilometer di luar kota Hamadan, panorama di sepanjang perjalanan begitu indah, pepohonan dengan daunnya yang menguning menyelinap di antara bukit-bukit terjal. Semakin ke atas, potret alam kian terasa memikat.
Saat tiba di lokasi, aku langsung terbius oleh suguhan bukit Ganjnameh, hampir saja lupa tujuan utamaku ke sini adalah berburu prasasti. Air terjun yang mengalir bening dari sela-sela bebatuan, pepohonan yang menebar warna kemuning, kios-kios penjual manisan cherry dan aroma jagung bakar segar menenggalemkanku ke negeri-negeri tropis.
Meski dingin kian merangkul kuat, kunaiki tangga-tangga menuju bagian atas perbukitan. Pada sebuah batu raksasa terpahat pesan dari dua raja dinasti Achaemenian, Darius dan Xerxes. Masing-masing prasasti ditulis dalam tiga bahasa yaitu Persia lama, Elamite dan Akkadia. Seorang arkeolog asal Perancis, Eugene Flanden di tahun 1840 memecahkan kode tulisan pada prasasti Ganjnameh. Kubaca lirih isi prasasti yang telah diterjemahkan dalam bahas Farsi dan Inggris, tak jauh dari tempat itu:
"Tuhan yang maha agung Ahuramazda, yang menciptakan bumi, langit, manusia juga kebahagiaan, yang menjadikan Xerxes raja. Aku Xerxes, raja dari segala raja, raja dari negeri-negeri yang memiliki keragaman penduduk dan wilayah yang terbentang luas. Aku putra Darius dari bangsa Achamenian."
Lima abad sebelum masehi, tempat ini memang pernah menjadi ibu kota musim panas bagi dinasti Achaemenid. Rupanya ribuan tahun lalu Ganjanameh sudah mencuri perhatian para raja. Saat ini pun, aku masih terpikat oleh setiap sudut-sudutnya sampai tak menyadari hari telah menggulita dan pengunjung mulai sepi. Mobil-mobil yang tadi berjajar di pelataran parkir sudah jauh berkurang, bahkan mobil sewaan tak lagi bisa ditemukan.
Lebih dari 30 menit kuberdiri di tepi jalan, tempat mobil-mobil akan menuruni bukit. Tapi tak satupun kendaraan yang bisa kami tumpangi. Orang Iran memang biasa melakukan piknik bersama keluarga besarnya. Angin malam pegunungan datang menyergap, menebar gigil yang sangat. Kulihat suami memasukkan tangannya ke dalam mantel sambil menahan dingin, wajah Mehdi pun mulai terlihat memucat dengan bibir kering. Aku sendiri tak hanya didera dingin juga dicambuki rasa cemas mendalam. Ada yang terlewatkan dalam rencana kami, ini adalah penghujung musim gugur, tidak seperti kunjungan awalku musim panas lalu. Saat itu masih kujumpai puluhan keluarga bertenda di sepanjang jalan menuju Ganjnameh hingga larut malam.
Bibirku komat-kamit mengucap seribu doa, gelap mulai menyelimuti sementara gunung Alvand seperti memandangku dengan angkuhnya. Dalam keputusasaan sangat, sebuah mobil warna gelap berhenti tepat di depan kami. Dua orang pemuda duduk di bagian depan, sementara jok belakang tampak kosong. "Kalian mau turun kan? Ayo masuk...!!" Seru pemuda yang duduk di belakang kemudi. Tak ayal, kami segera berhambur ke dalam mobil, tanpa memikirkan berapapun bayaran yang harus diberikan.
"Saya hanya bisa mengantar kalian sampai perbatasan kota" Ujar salah seorang di antara mereka.
"Dari situ, ada bus atau angkot yang akan membawa kalian ke Meydan Emam" Sahut pemuda lainnya.
"Oya, gak ada masalah" Jawabku dengan penuh kelegaan seperti baru saja keluar dari kubangan maut.
Pemuda tadi seumpama bidadara yang dikirim Tuhan dari nirvana. Dan yang membuatku bukan main terkejut, mereka sama sekali menolak bayaran yang kuulurkan berulang kali. Benar-benar sebuah keajaiban yang tak terduga..!!
Lorong Sejarah
"Anda menunggu seseorang?"
Suara gadis itu mengembalikan ruhku yang tadi bergentayangan ke bukit Ganjnameh.
"Benar sekali, suami belum juga kembali. Padahal saya ingin sekali ke situs galian itu"
"Ayo kita pergi bersama..! Kebetulan saya juga mau ke sana"
Ah..ajakan ini lagi-lagi menolongku dari kesendirian. Dengan gegas kuanggukan kepala kuat-kuat tanda setuju.
Sebuah area bersejarah yang menyisakan pondasi-pondasi tua tersaji di hadapanku. Sekilas, pondasi ini mirip gundukan-gundukan tanah yang memadat, tapi bila didekati lebih teliti akan terlihat tumpukan batu bata kering yang biasa digunakan dalam konstruksi bangunan modern. Situs ini masih dalam tahap penggalian, hingga banyak terlihat rangka-rangka besi di sekitarnya. Untuk bisa melihat kondisi situs lebih detail, disediakan seutas jembatan yang menghubungkan dua tepi bangunan.
Kuayunkan kaki-kaki ini melintasi jembatan kayu, suara denyit membuat nyaliku sedikit terhenti. Jembatan ini tentunya sudah didesain cukup kuat, tapi entahlah suasana senyap membuatku seperti berada di lorong sejarah. Saat berada di tengah-tengah bangunan, pandanganku terhujam ke bawah, tempat yang ribuan tahun lalu pernah berdiri amat megah. Pelibious (204-132 SM), sejarawan asal Yunani menggambarkan sebuah babak dari kota ini dengan amat fantastis:
"Hegmataneh merupakan Istana yang kokoh terletak di kaki gunung Alvand. Konstruksi dan dekorasinya sungguh megah, seluruh pintu dan pilar-pilar dilapisi emas. Tak ada sudut kosong tanpa dekorasi, bahkan ubin dalam Istana dilapisi perak. Kayu-kayu yang digunakan berasal dari pohon cemara.
Situs ini, sebenarnya hanya bagian dari tata kota sangat kompleks yang dibangun oleh dinasti Parthian. Konon arsitektur kota ini cukup unik, mengembangkan model papan catur, Hypodamin. Prasarana vital sebuah kota modern dapat ditelusuri di tempat ini seperti sistem jaringan pipa air, jalan, trotoar serta sejumlah besar pemukiman. Dan kini, dari jembatan kayu yang terayun-ayun, kusaksikan kota yang di masanya cukup mewah itu, telah masuk dalam perut sejarah.
Sebuah pelajaran penting dari lorong sejarah bagi pemimpin Tiran di negeri-negeri Adikuasa: "Sehebat apapun dunia yang telah kau bangun, tak akan bisa mengalahkan waktu. Suatu saat, ia hanya akan menjadi puing-puing sejarah."
Matahari mulai bergeser perlahan ke arah Barat, tak terasa cukup lama juga kutelusuri bukit Hegmataneh ini. Kubaca kehidupan masa lalu lewat benda-benda yang tersisa hingga saat ini, mendebarkan sekaligus menyenangkan. Apalagi diselingi ngobrol bersama teman seperjalanan yang baik dan cantik, yang tak pernah kutahu namanya. Sebut saja ia, bidadari di lorong sejarah.(IRIB/AA/PH/12/5/2011)
Hamedan, 11 November 2010
0 comments to "Bidadari di Lorong Sejarah"