Oleh: Afifah Ahmad
Setiap bunga adalah jiwa yang mekar di alam
Gerard de Nerval, Penyair Perancis
Niasar, sebuah kota kecil yang terletak 30 kilometer sebelah Barat kota Kashan. Dari kejauhan, terlihat bukit yang dihiasi pepohonan hijau, sangat kontras dengan daerah sekitarnya yang terdiri dari padang gersang.
Secara geografis, Kashan sendiri menyimpan Kavir wilayah tengah Iran dengan iklim kering dan udara panas. Maka, kehadiran Niasar laksana sepetak tanah surga yang dijatuhkan dari langit di padang tandus ini.
Kehidupan di Niasar sendiri memiliki catatan panjang. Sebuah gua bertingkat ditemukan di wilayah tersebut, diperkirakan umurnya kembali pada masa pra sejarah.
Kondisi alam yang mendukung, terutama sumber air, memang memungkinkan regenerasi manusia terus berlangsung hingga hari ini. Niasar, menyimpan cadangan air melimpah berupa mata air dengan umur yang cukup tua, juga air terjun memancar dari atas bukit. Bukti sejarah lain yang menunjukkan ketuaan Niasar adalah bangunan kuil api.
"Kuil ini sudah berumur ribuan tahun," tutur Hossein sambil menunjuk sebuah bangunan kuno yang terletak di atas bukit.
Hossein memarkir mobilnya di tepi jalan, suami bersiap menurunkan tas, sementara mataku masih lekat memandang bangunan tadi.
Suasana di sekitarnya begitu hening, tidak seperti kondisi di lokasi air terjun yang jaraknya tak terlalu jauh dari sini. Saat tiba tadi, pengunjung terlihat berjejalan di sekitar air terjun.
Secara fisik, kuil api Niasar memang tidak terlalu menarik, namun memiliki perjalanan sejarah panjang. Bangunan yang terdiri dari empat tiang tanpa jendela dan pintu ini, diperkirakan sudah ada sebelum periode Sassanid, sekitar 2000 tahun lalu. Dan yang lebih menarik lagi, fungsi lain bangunan ini sebagai tempat penentuan kalender matahari.
Di setiap permulaan musim, akan terlihat bayangan tertentu yang menunjukkan pergantian musim. Dahulu, saat manusia belum berinteraksi dengan teknologi modern, metode sederhana ini begitu membantu.
Rasanya ingin menelisik bangunan lebih jauh, kalau saja awan-awan gelap tidak mengintai di balik cakrawala sana. Padahal, kami masih harus mengunjungi Bagh-e Talar, sebuah taman yang terletak di pucak gunung. Untuk sampai ke tempat ini, bisa ditempuh melalui rute jalan kaki dari lokasi air terjun dengan menaiki sekitar 200 tangga.
Sayangnya karena waktu terbatas, kami lebih memilih jalan aspal yang bisa dilalui kendaraan. Meski menanjak tajam, tapi kondisi jalan cukup baik dan halus.
Saat tiba di gerbang taman, mobil-mobil dan bus terlihat memadati area parkir. Hossein langsung membawa kami memasuki kawasan taman rindang dengan aliran air yang memanjang di tengahnya.
Di sebuah bangunan terbuka, Hossein menunjukkan stand pengolahan bunga Muhammadi, salah satu jenis bunga mawar berwarna merah muda.
Tak terbilang kebahagianku bisa menyaksikan langsung proses penyulingan air mawar yang setiap tahunnya digunakan untuk menyiram Kabah. Ini memang salah satu tujuan kedatangan kami ke Kashan di bulan Mei. Karena, panen bunga Muhammadi hanya dilakukan sekali dalam setahun, yaitu pertengahan musim semi.
Di stand penyulingan air mawar, seperti halnya kami, Hossein sibuk mengambil gambar dengan kameranya. Bahkan, terlihat lebih serius dan antusius, seperti sedang keranjingan dunia fotografi.
Saat awal perjumpaan dengannya pun, ia sedang asyik dengan hasil-hasil gambarnya. Tadinya, kami menduga Hossein adalah salah seorang penumpang mobil angkutan ke arah Bagh-e Talar yang sedang menunggu penumpang lainnya. Siapa menyana, ia sendiri adalah sopir angkutan itu.
Selama dalam perjalanan, Hossein banyak bercerita tentang minatnya di dunia fotografi. "Saya ikut kursus fotografi tiga kali dalam seminggu" tuturnya penuh semangat. "Suatu hari, saya pernah berjam-jam memotret bunga Shaghayek untuk tugas kursus. Meskipun terasa letih, tapi saya sangat menyukainya," tambahnya dengan raut muka berseri.
Di sela-sela mengantar para penumpang ke berbagai lokasi wisata, ia pun turut menikmati suasana dengan mengabadikan berbagai moment penting. Hari itu pun, Hossein menghentikan mobilnya di tepi jalan."Pemandangan di tempat ini bagus sekali, barangkali Anda mau memotretnya?" Bagiku sendiri, tawaran ini cukup menggiurkan. Sebuah kesempatan langka bisa mengabadikan perkampungan tua Niasar dari puncak bukit.
Sementara Hossein masih mengabadikan sudut-sudut ruangan stand, pandanganku mengarah pada kuali-kuali besar di atas tungku api. Tak ingin kulewatkan kesempatan melihat langsung penyulingan bunga mawar. Kutelisik lebih dekat lagi kuali besar, sembari mengingat-ingat keterangan dari salah seorang penjual air mawar di sekitar lokasi air terjun tadi. "Bunga mawar yang sudah dipanen, dipanaskan dalam sebuah kuali besar. Lalu uapnya dialirkan lewat pipa ke tempat kuali lain yang direndam di air dingin. Uap itu akan menetes kembali menjadi air mawar" Begitulah, di antara penjelasan yang masih kuingat.
Selain digunakan untuk wewangian, orang Iran biasanya mencampurkan air mawar ke dalam makanan untuk menambah aroma dan rasa.
Keharuman air mawar Kashan memang memiliki cerita tersendiri. Konon penyulingan ini adalah yang terbesar di kawasan Timur Tengah dan hasilnya pun sudah merambah pasar Internasional.
Para petani bunga Muhammadi Niasar, nampaknya masih dapat menggantungkan harapan indah, secerah mimpi Hossein menjadi seorang fotografer profesional.(IRIB/AA/PH/19/5/2011)
Niasar, 03 Mei 2011
0 comments to "Niasar:Seharum Bunga Muhammadi, Secerah Mimpi Hossein"