©Dina Y. Sulaeman
Kekerasan rezim Al Khalifa di Bahrain masih terus berlanjut. Raja Hamad al Khalifa dan pamannya, Pangeran Khalifa al Khalifa yang menjabat sebagai perdana menteri selama 40 tahun sejak Bahrain meraih ‘kemerdekaan' dari Inggris tahun 1971, terus merepresi kelompok oposan secara brutal. Rezim Al Khalifa telah melakukan apa yang disebut ‘hukuman kolektif', yaitu menghukum banyak orang atas ‘kesalahan' yang dilakukan sekelompok orang. Sebagaimana diketahui, kaum oposan Bahrain sejak pertengahan Februari melakukan aksi damai menuntut dibubarkannya sistem monarkhi dan dibentuknya pemerintahan yang demokratis. Protes ini dihadapi dengan senjata. Ketika rezim Bahrain tidak mampu lagi membubarkan aksi-aksi demonstrasi, mereka meminta bantuan dari Arab Saudi dan UAE. Sejak 14 Maret 2011, tentara kedua negara Arab itu telah mengirimkan pasukan polisi dan militernya ke Bahrain.
Selain membubarkan aksi-aksi demonstrasi dengan cara brutal, mereka juga menghancurkan sekitar 20 masjid, menggrebek dan bahkan menghancurkan rumah-rumah, serta menangkap orang-orang secara massal untuk dipenjara dan disiksa (Press TV, 9/5/2011). Bahkan, selain rumah sakit juga dibombardir, dokter-dokter dan tenaga medis juga menghilang sehingga para demonstran yang terluka tidak bisa mendapatkan perawatan yang semestinya.
Kondisi di Bahrain saat ini sudah sangat serius, namun Dewan Keamanan PBB tetap diam. Media mainstream pun tak banyak yang membahasnya. Bahkan, mereka pun tidak memberitakan bahwa menjelang pernikahan William dan Kate, muncul protes dan tekanan dari publik Inggris kepada keluarga kerajaan. Apa pasal? Karena, kerajaan Inggris mengundang Raja Al Khalifa. Publik Inggris cukup sadar siapa Al Khalifa, sehingga mereka tidak sudi bila Al Khalifa diundang (Global Research 26/4).
Undangan ini menjadi salah satu bukti konkrit hipokritas Inggris (dan Barat pada umumnya). Mereka mengerahkan pasukan NATO untuk membombardir Libya, termasuk rumah Qaddafi sehingga menewaskan putra dan cucunya. Alasan yang dikemukakan adalah demi menolong rakyat Libya yang sengsara di bawah rezim Qaddafi. Tapi kini, mereka diam saja meski kebrutalan Al Khalifa dan tentara Saudi sedemikian serius dan menuai kecaman dari Komisi HAM PBB, Human Right Watch, Amnesty Internasional, Doctors without Border, dan the US-based Physicians for Human Rights.
Ketika rumah Qaddafi dibom, Raja Al Khalifa malah mendapat kehormatan untuk menghadiri pesta super mewah William dan Kate. Karena semakin kerasnya protes publik Inggris, akhirnya, tiba-tiba Raja Al Khalifa sendiri yang mundur dan menyatakan tidak bisa hadir dalam pesta itu karena kondisi negaranya.
Bila kita melihat sejarah Bahrain, undangan pesta kepada Al Khalifa memang tidak aneh. Sejarah Bahrain menunjukkan dengan sangat jelas bahwa Bahrain adalah negara boneka Inggris. Ketika Inggris menghadiahi Bahrain kemerdekaan pada tahun 1971, banyak pejabat Inggris yang masih bercokol. Bahkan, kepala keamanan Bahrain dari tahun 1968-1998 adalah orang Inggris, Colonel Ian Henderson. Hingga kini pun. Henderson diyakini masih menjadi penasehat Raja Al Khalifa. Di masa yang lalu, Henderson telah dilaporkan oleh kelompok-kelompk HAM sebagai orang yang di balik penyiksaan dan represi di Bahrain (Global Research 26/4).
Pengamat Timur Tengah yang berbasis di London, Chris Bambery menyatakan bahwa faktor utama di balik diamnya Inggris dan AS adalah besarnya investasi mereka di Bahrain (Press TV, 9/5). Bahrain adalah pusat finansial utama di mana modalnya sebagian besar dimiliki AS dan Inggris. Salah satu investasi utama mereka adalah senjata. Suplai senjata utama Bahrain didapat dari Inggris. Tak hanya Bahrain tentunya. Karena, segera setelah revolusi di Mesir dan tumbangnya Mubarak, Perdana Menteri Inggris, David Cameron, berkeliling Timur Tengah untuk menjual senjata ke rezim-rezim yang khawatir menghadapi pergolakan di negara mereka. Cameron dan banyak anggota kabinet Inggris juga diketahui memiliki hubungan masa lalu yang panjang dengan Bahrain.
Bahrain adalah sebuah negara kecil dengan jumlah penduduk ‘hanya' 1,2 juta orang, 50%-nya warga asli, 50% lagi warga asing (mereka hidup jadi pekerja di Bahrain, di berbagai sektor). Warga Bahrain asli, 60% -nya bermahzab Syiah, 40%-nya Sunni. Negara ini dulu sangat kaya minyak. Kini ketika cadangan minyak hampir habis, pemerintah Bahrain (dengan para investor dari Barat) mendirikan pusat-pusat hiburan kotor (kasino, bar, prostitusi) sampai-sampai Manama (ibu kota Bahrain) masuk dalam daftar 10 "kota dosa di dunia" (sin city). Tak ketinggalan, AS juga mendirikan pangkalan militer di Bahrain.
Kini, sebagian besar rakyat Bahrain ingin terbebas dari semua kekotoran ini tapi moncong senjata yang didatangkan dari negeri-negeri jauh menghadang mereka. Sampai kapan dunia internasional terus berdiam diri di atas darah yang tertumpah di Bahrain? (IRIB/18/5/2011)
0 comments to "Bahrain dan Undangan Pesta Kerajaan Inggris"