Home , , , , , , � Ayo bertakllid BUTA !!!!!

Ayo bertakllid BUTA !!!!!

Konsep Taklid dalam Ajaran Ahlul Bait as

Konsep Taklid dalam Ajaran Ahlul Bait as

Dalam masalah pengetahuan umum saja, kalau kita perhatikan dalam kehidupan sehari-hari dengan kemajuan teknologi seperti pada masa sekarang ini, diperlukan adanya spesialisasi-spesialisasi dalam bidang-bidang tertentu. Misalnya kedokteran, filsafat, ekonomi, politik, tehnik dan lain-lain. Bahkan ilmu kedokteran saja bercabang-cabang lagi, nah apalagi dalam masalah agama dan hukum-hukum dalam Islam, sudah tentu sangat diperlukan adanya para mujtahid dan marja' agar orang-orang awam tidak tersesat dan tidak berani menyimpulkan dan mengeluarkan hukum sendiri.

Abu Qurba




Mukaddimah

"Agama Islam - sebagaimana maklum – terdiri dari tiga unsur yang satu sama lainnya tidak bisa dipisahkan. Tiga unsur utama itu adalah: aqidah, fiqih dan akhlak. Di dalam masalah akidah ( ushuluddin ), khususnya menurut ajaran madzhab Ahlul Bait as tidak dibenarkan seorang muslim bertaqlid buta dan mengikuti akidah orang lain tanpa memahami dalil-dalil dan argumen-argumennya. Misalnya dalam masalah menetapkan dan meyakini adanya Tuhan Sang Pencipta alam semesta ini, adanya hari pembalasan, mengenai keesan Tuhan dan lain-lain, dalam hal ini setiap muslim tidak boleh ikut-ikutan dan bertaqlid buta kepada orang lain, sekali pun kepada guru atau orang tuanya sendiri, artinya ia harus mencari atau memahami dengan baik dan benar akan dalil-dalil dan argumen-argumen yang berhubungan dengan masalah tersebut. Sehingga ketika ia ditanya orang; Apakah Tuhan itu ada? Kalau Tuhan itu ada, apakah Dia itu esa, satu ataukah ada tiga? Apakah hari kiamat itu pasti terjadi? Dan pertanyaan-pertanyaan akidah lainnya, maka ia dapat menjawabnya sekali pun dengan argumen yang sangat sederhana sekali; seperti bahwa Tuhan Pencipta itu ada, dalilnya adalah adanya kita dan alam semesta ini."

Berbeda halnya dengan masalah fiqih atau furu'uddin (cabang-cabang agama). Sehubungan dengan masalah ini, khususnya dalam hal-hal yang sifatnya bukan "darûriyyatuddin" seperti kewajiban shalat dll, kaum muslimin secara umum dan apa pun madzhab dan alirannya dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu kelompok 'Ulama Mujtahid, kelompok muqallid dan kelompok muhtath.

Sebelum kami menjelaskan masing-masing definisi Mujtahid, Muqallid dan Muht, dan demi memperjelas pengertian "darûriyyatuddin", baiklah akan kami jelaskan pembagian "Ahkam Syari'ah".

Hukum-hukum syari'at (ajaran Islam) ditinjau dari sudut pandang upaya mengenal dan mengetahuinya dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu:

1. Ahkam Daruriah, yaitu hukum-hukum darûriyah yang biasa juga disebut darûriyyatuddîn artinya adalah hukum-hukum yang sudah jelas, gamblang dan ma'ruf serta telah menjadi keyakinan seluruh kaum musliminin. Karena untuk mengetahuinya tidak perlu menguras tenaga dan kemampuan untuk mengkaji, meneliti dan menggunakan kaidah-kaidah ushul, dengan kata lain untuk mengetahui hukum-hukum darûriah itu tidak memerlukan ijtihad, contohnya seperti wajibnya salat, zakat, haji dan lain-lain atau seperti haramnya berzina, membunuh dan lain-lain yang mana seluruh kaum musliminin telah meyakini dan mengetahui dengan jelas tanpa berijtihad atau berlajar lama di Hawzah (pesantren).

2. Hukum-hukum syari'at yang bukan dlaruri, artinya hukum-hukum yang tidak gamblang bagi setiap muslim yang biasa juga disebut "Ahkam Ghairu Daruriyyah" yaitu selain hukum-hukum daruriyyah. Ahkam ghairu darûriyah ini menuntut segenap kemampuan dan kerja keras untuk dapat mengetahuinya, yaitu dengan cara menggunakan kaidah-kaidah ushul fiqih dan ilmu-ilmu alat lainnya (seperti, tata bahasa arab, ilmu hadits, tafsir, dll) sehingga ia dapat menentukan hukum-hukum tersebut, seperti perincian hukum-hukum ibadat dan muamalat pada umumnya. Sudah tentu tidak setiap muslim mampu melakukan pekerjaan berat semacam ini, bahkan tidak juga setiap 'Ulama mampu melakukannya. Pekerjaan seperti ini dinamakan ijtihad yang hanya dapat dilakukan oleh para Mujtahid. Untuk dapat mencapai tingkat ijtihad ini diperlukan keseriusan dalam belajar di tingkat Bahtsul Kharij, yaitu peringkat tinggi dalam pelajaran fiqih dan ushul. Tingkat Bahtsul Kharij ini dapat dimasuki oleh seorang santri/thalabeh setelah melewati peringkat suthuh. Setidaknya Menurut hemat kami, mereka yang duduk dalam tingkat Bahtsul Kharij ini menghabiskan waktu kurang lebih atau minimalnya selama lima belas tahun untuk dapat melakukan ijtihad. Sedang peringkat suthuh itu dapat ditempuh secara normal selama delapan tahun, setelah itu barulah ia dapat memasuki pelajaran fiqih dan ushul pada tingkat Bahtsul Kharij.

Seorang Mujtahid Mutlak untuk dapat mencapai tingkat marja'iah (menjadi marja' dan nara sumber hukum bagi masyarakat umum dan secara terbuka) biasanya ada syarat-syarat yang harus ia tempuh, seperti adanya kesaksian dari beberapa orang ulama (minimalnya dua orang ahli khibrah yang adil) dan telah menulis Risâlah 'Amaliah. Seorang 'Ulama Syi'ah Imamiyah yang merupakan seorang mujtahid dan telah mencapai tingkat marja' berkata : " Mengingat ijtihad itu memerlukan ilmu yang "canggih", keseriusan dan kerja keras yang istiqomah, oleh karena itu sedikit sekali orang-orang yang mampu mencapai peringkat mulia dan terpuji ini. Keadaan seperti inilah yang menyebabkan mayoritas kaum muslimin harus merujuk kepada seorang mujtahid sebagai nara sumber dalam masalah-masalah fiqih. Dan inilah yang disebut dengan "taqlid ".

Definisi Mujtahid, Muqallid dan Muht

Mujtahid ialah : Orang yang -dengan ilmunya yang tinggi dan lengkap- telah mampu menggali dan menyimpulkan hukum-hukum Islam dari sumber-sumbernya yang asli seperti Al-Qur'an dan Hadits. Mujtahid inilah yang menjadi rujukan (marja') bagi orang-orang awam dan kelompok muqallid.

Muqallid ialah : Orang-orang awam yang belum atau tidak sampai kepada derajat ijtihad. Mereka ini diwajibkan ber-taqlid kepada seorang Mujtahid atau Marja' yang telah memenuhi syarat. Pendeknya bahwa muqallid adalah orang yang ber-taqlid atau mengikuti seorang Mujtahid. Sedang arti taqlid itu sendiri adalah beramal ibadah, ber-mu'amalah, bermasyarakat dan bertingkah laku sesuai dengan fatwa-fatwa seorang Mujtahid atau marja'.

Muht ialah : Orang yang juga belum mencapai peringkat ijtihad, tetapi lebih tinggi derajatnya dari mukallid karena ia telah mampu mengkaji dan membandingkan antara fatwa-fawa seorang Marja' dengan fawa-fatwa Marja' lainnya, sehingga ia dapat memilih fatwa yang lebih hati-hati dan lebih berat untuk diamalkan. Singkatnya definisi muht adalah orang yang berhati-hati dalam segala amal ibadah dan perbuatannya. Kelompok muht jumlahnya sangat sedikit sekali, karena ber-ihtiyât adalah termasuk pekerjaan yang berat. Oleh karena itu, kelompok ini pun dibolehkan ber-taqlid kepada seorang marja'.

Kewajiban Bertaqlid Bagi Setiap Muslim

Apabila Anda ditanya orang; Mengapa dalam agama Islam dan khususnya dalam madzhab Syi'ah Imamiah (Ahlul Bait As) setiap muslim dilarang bertaqlid -dalam masalah ushuluddin- kepada orang lain sekalipun kepada 'Ulama dan para mujtahid, tetapi dalam masalah-masalah fiqih yang bukan "daruriyyatuddin" -setiap muslim yang awam- diwajibkan bertaqlid kepada salah seorang mujtahid atau marja' ?

Jawabnya adalah : Karena setiap muslim yang berakal sehat pasti mampu untuk mencari atau memahami argumen-argumen ushuluddin/aqidah dengan menggunakan akal pikirannya, sehingga dalam masalah-masalah aqidah tidak perlu dan tidak dibolehkan bertaqlid kepada orang lain, tetapi dalam masalah-masalah fiqih /furu'uddin tidaklah demikian, artinya tidak semua orang -bahkan sedikit sekali- yang mampu menggali hukum dari sumbernya yang asli yaitu Al-Qur'an dan hadits. Hanya para Mujtahidlah yang mampu melakukan pekerjaan (ijtihad) ini. Oleh karena itu, dalam masalah fiqih orang awam (yang belum mencapai peringkat ijtihad) diwajibkan bertaqlid kepada seorang marja'.

Dalam masalah pengetahuan umum saja, kalau kita perhatikan dalam kehidupan sehari-hari dengan kemajuan teknologi seperti pada masa sekarang ini, diperlukan adanya spesialisasi-spesialisasi dalam bidang-bidang tertentu. Misalnya kedokteran, filsafat, ekonomi, politik, tehnik dan lain-lain. Bahkan ilmu kedokteran saja bercabang-cabang lagi, nah apalagi dalam masalah agama dan hukum-hukum dalam Islam, sudah tentu sangat diperlukan adanya para mujtahid dan marja' agar orang-orang awam tidak tersesat dan tidak berani menyimpulkan dan mengeluarkan hukum sendiri. Sebagaimana dalam masalah penyakit dan pengobatannya orang-orang awam diharuskan merujuk kepada dokter spesialisasi, maka begitu pula dalam masalah-masalah fiqih dan ahkam, yaitu orang-orang awam diharuskan merujuk kepada para mujtahid dan marja' yang telah memenuhi syarat. Tentu saja taqlid semacam ini jauh berbeda dengan taqlid kepada orang-orang asing atau orang Barat dalam masalah budaya dan adat istiadat, karena bertaqlid kepada mereka dalam masalah ini akan menyebabkan hancurnya akidah, iman dan akhlak Islami seorang muslim. Seorang muslim haruslah senantiasa menjaga akhlak, iman dan adat istiadat atau budayanya yang sesuai dengan ajaran-ajaran Islam.

Dalil-Dalil Keharusan Bertaqlid

Paling tidak ada lima argumen yang bisa dijadikan sebagai dasar kebolehan dan keharusan bertaqlid bagi orang-orang awam – dalam masalah-masalah fiqih – kepada seorang mujtahid atau marja'. Lima buah argumen itu ialah :

1. Sirah al-'uqala (Tingkah laku orang-orang yang berakal)

Argumen terpenting sehubungan dengan masalah ini adalah argumen prilaku 'uqala sepanjang sejarah kehidupan. Dalam kehidupan sehari-hari kita saksikan bahwa mayoritas masyarakat umum senantiasa mengikuti, bertaqlid dan merujuk kepada para ahli di bidangnya masing-masing. Misalnya mereka yang bukan ahli dalam bidang elektronik ketika TV mereka rusak, mereka akan merujuk tempat-tempat servis TV dimana tenaga ahli terdapat disitu dan bahkan mereka siap mengikuti dan mengamalkan petunjuk-petunjuk yang diberikan oleh para ahli tersebut.

Janganlah coba-coba apabila Anda bukan ahli dibidangnya untuk memperbaiki TV, membongkar mesin mobil atau pun menservis komputer, karena pasti Anda tidak akan berhasil dan mayarakat umum pun akan mencaci maki Anda. Tetapi, rujuklah para ahli di bidangnya masing-masing. Kalau dalam urusan materi dan dunia saja harus demikian, apalagi dalam hal-hal yang berhubungan erat dengan kehidupan alam akhirat yang kekal dan abadi. Logiskah apabila Anda menanyakan apa hukumnya bekerja di bank, bagaimana cara melakukan ibadah haji dan lain-lain kepada penjual sayuran di pasar ? atau kepada ahli bangunan ?

2. Al-Qur'an,

Artinya: " Hendaklah ada sekelompok dari orang-orang yang beriman yang mendalami masalah-masalah agama untuk memberikan peringatan kepada kaumnya".(Qs. at-Taubah: 122)

Penjelasan :

Ayat tersebut menunjukkan wajibnya melakukan "indzar" (memberikan dan menyampaikan peringatan kepada umat manusia akan adanya siksa Allah Swt ketika mereka tidak mentaati dan melanggar hukum-hukum-Nya). Sudah barang tentu tidak semua orang mampu menentukan, menetapkan dan menjelaskan hukum-hukum Allah Swt tersebut selain para 'ulama dan mujtahid yang telah mengkaji masalah-masalah agama puluhan tahun. Dengan demikian, ayat tersebut tidak secara langsung mewajibkan orang-orang muslim yang awam untuk bertaqlid kepada para 'ulama, maraji' dan mujtahidin yang telah memenuhi syarat. Sehubungan dengan ayat tersebut sebagian 'Ulama Ahli Sunnah berkata: "Maka dengan demikian Allah Swt telah mewjibkan kaum muslimin untuk menerima "indzar" dan peringatan yang disampaikan oleh para 'Ulama, dan hal itu berarti "taqlid" kepada mereka".

3. Al-Qur'an.

Artinya: "Maka hendaklah kalian bertanya kepada "Ahli Dzikir" ( para 'Ulama ) jika memang kalian tidak tahu". (Qs.an-Nahl : 43)

Penjelasan:

Sangat jelas, bahwa ayat tersebut menunjukkan kewajiban bertaqlid bagi orang-orang awam yang belum mencapai peringkat mujtahid. Nampaknya ayat ini lebih jelas tekanannya dibandingkan dengan ayat sebelumnya, karena ayat ini menjelaskan tugas si mukallid, hanya saja yang menjadi masalah adalah siapakah ahli dzikir yang dimaksud oleh ayat tersebut?

Sehubungan dengan pengertian ahli dzikir, ada beberapa jawaban dan pandangan yang perlu diperhatikan baik-baik

1. Ahli ilmu dan ahli Al-Qur'anul al- Karim

2. Ibnu Qayyim al-Jauzi berpendapat " bahwa yang dimaksud dengan ahli dzikir ialah ahli tafsir dan ahli hadits" .

3. Ibn Hazm berkata " ahli dzikir adalah para perawi hadits Nabi dan para 'ulama tentang hukum-hukum al-Qur'an " .

Dari beberapa jawaban dan pandangan tersebut dapat kita simpulkan bahwa seluruh umat Islam yang awam yaitu yang belum mencapai derajat ijtihad, diwajibkan untuk bertanya, mengikuti dan bertaqlid kepada Ahli Dzikir, yaitu para 'Ulama yang betul-betul telah mendalam pengetahuannya tentang al-Qur'an dan hadits-hadits Nabi. Hal ini sesuai dengan penafsiran secara umum dan sesuai pula dengan kondisi sekarang ini, dimana kita hidup pada masa "ghaibah kubra"nya Imam Zaman As. Sedang "ahli dzikir" menurut pandangan yang lebih dalam, lebih luas dan khusus yang ditopang oleh ayat-ayat Al-Qur’an lainnya dan berbagai riwayat adalah: para Imam Ma'shum yang jumlahnya ada dua belas orang. Ma'af, kami tidak dapat menyinggung masalah yang luas ini dalam risalah yang sederhana ini.

4. Al-Qur'an

Artinya: "Katakanlah pada mereka: 'Taatilah Allah, Rasul-Nya dan Ulil Amri dari kalian'". (Qs.an-Nisa ayat : 59)

Penjelasan:

Sebagian 'Ulama Ahli Sunnah menjadikan ayat ini sebagai dalil atas wajibnya bertaqlid, mereka mengatakan : " Sesungguhnya Allah Swt -dalam ayat ini- telah memerintahkan hamba-Nya agar mentaati-Nya, mentaati Rasul-Nya dan 'Ulil Amri' yaitu para 'Ulama atau para 'Ulama dan Umara. Dan taat kepada mereka berarti mentaqlidi mereka atas segala apa yang mereka fatwakan, karena sesungguhnya jika tidak ada taqlid, tidak akan ada ketaatan yang khusus kepada mereka".

Para 'Ulama Syi'ah Imamiah - berdasarkan riwayat-riwayat yang juga bersumber dari kitab-kitab Ahli Sunnah – mengatakan bahwa yang dimaksud dengan "Ulil Amri" dalam ayat tersebut adalah : "Para Imam Dua Belas" setelah wafatnya Rasulullâh saw dari mulai Imâm 'Alî bin Abî Tâlib As sampai kepada Imâm Zaman al-Mahdi As. Dengan demikian ayat tersebut berarti : " Hendaknya kalian senantiasa mentaati Allah Swt, Rasul-Nya dan para Imam Ma'sum yang 12 orang". Sedang pada masa ghaibah kubra Imam yang ke 12 sekarang ini, kalian wajib mentaati "Wali Faqih" yaitu Imam Ali Khamene'i Hf dan marja' kalian masing-masing yang telah memenuhi syarat.

5. Riwayat Imam Hasan al-Askari As

Artinya: "Adapun terhadap seorang faqih yang senantiasa menjaga dirinya dari perbuatan dosa, selalu menjaga agamanya, melawan hawa nafsunya dan selalu mentaati perintah-perintah "Maula"nya, maka diwajibkan bagi semua orang awam untuk bertaqlid kepadanya".

Penjelasan:

Telah jelas dan masyhur bahwa riwayat ini menunjukkan dan menjelaskan kewajiban bertaqlid bagi semua orang awam -pada masa sekarang ini- kepada seorang marja' dan mujtahid yang sebagian syarat-syaratnya telah disebutkan di dalam riwayat tersebut.

Kalau kita perhatikan para pengikut madzhab Ahli Sunnah di seluruh dunia pada masa sekarang ini - di dalam masalah fiqih – sebagian mereka bertaqlid kepada Imam Syafi'i, sebagian lainnya bertaqlid kepada Imam Maliki, Hanafi dan Hanbali. Terlepas mereka itu paham atau pun tidak akan masalah taqlid, mereka sadari atau pun tidak, yang jelas mereka itu -dalam masalah furu'uddin- bertaqlid dan mengamalkan fatwa-fatwa salah seorang dari para mujtahid dan marja' tersebut.

Sedang para pengikut madzhab Syi'ah Imamiah diwajibkan untuk bertaqlid – dalam masalah furu'uddin yang bukan daruriyyatuddîn dan pada masa ghaib kubra sekarang ini – kepada seorang mujtahid dan marja' yang telah memenuhi syarat. Dan mayoritas mujtahidin itu kini berada di Negara Republik Islam Iran, khususnya di kota Qum al-Muqaddasah.

Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang mujtahid dan marja' yang bisa ditaqlidi, sebagaimana telah dijelaskan oleh para 'Ulama di dalam kitab-kitab fiqih mereka ialah:.

1. Telah mencapai peringkat mujtahid.

2. Adil.

3. Laki-laki.

4. Beriman ( Syi'i Imami ).

5. Bukan anak hasil zina.

6. Wara'.

7. Lebih alim dari mujtahid lainnya.

8. Dll.

Apabila terdapat beberapa orang yang telah memenuhi syarat-syarat tersebut, sebagaimana kenyataan sekarang ini, maka si muqallid -untuk dapat memilih dan mentaqlidi salah seorang dari mereka- haruslah dengan bantuan dan perantara "Ahli Khibrah ". Ahli Khibrah ialah: Orang-orang yang telah lama (kira-kira lebih dari 20 tahun) mempelajari dan mengkaji ilmu-ilmu agama sehingga mereka telah mampu menilai, menentukan dan membedakan antara Mujtahid dengan yang bukan/belum Mujtahid dan antara yang a'lam dengan yang tidak.

Menurut Imâm Khomeini Ra, Sayyid al-Qâid Hf, dll. Minimalnya harus melalui perantara dua orang Ahli Khibrah yang adil[1] untuk dapat memilih, menentukan dan mentaqlidi seorang mujtahid atau marja'. Dengan demikian si mukallaf atau mukallid yang awam tidak dibenarkan memilih dan menentukan marja'nya dengan penilaiannya sendiri, apalagi jika penilaian dan pemilihannya atas seorang marja' itu didasari oleh sifat rakus dan tamaknya terhadap materi dan dunia, seperti -misalnya- jika marja' yang ia pilih itu lebih dekat dan lebih banyak memberikan bantuan kepadanya daripada marja' lainnya. Nah, dasar penilaian dan pemilihan seperti ini jelas kebatilannya, karena satu-satunya tolok ukur a'lamiah seorang marja' adalah: kelebih pandaiannya dalam beristinbat dan menetapkan suatu hukum dari sumber-sumbernya, dan sama sekali bukan yang lebih pandai dalam masalah-masalah sosial, politik apalagi materinya.

Pembagian Taqlid

Taqlid seseorang kepada orang lain -dalam hal apa pun dan secara rasional- tidak keluar dari empat macam,yaitu:

1. Taqlid seorang alim kepada alim lainnya.

2. Taqlid seorang jahil kepada jahil lainnya.

3. Taqlid seorang alim kepada orang yang jahil.

4. Taqlid seorang yang jahil kepada orang alim.

Bagian pertama, yaitu taqlid seorang yang alim kepada orang alim lainnya, menurut penilaian akal sehat adalah suatu perbuatan yang jelek dan tidak terpuji, karena tidak ada alasan bagi orang yang telah mengetahui ( alim ) tentang suatu masalah bertaqlid kepada orang lain yang juga mengetahui permasalahan yang sama. Oleh karena itu, seorang mujtahid tidak dibenarkan dan tidak dibolehkan bertaqlid kepada mujtahid lainnya.

Bagian kedua, yaitu taqlid seorang jahil, bodoh dan tidak mempunyai ilmu pengetahuan kepada orang jahil yang sama. Sudah tentu akal sehat menilai perbuatan semacam ini sangat buruk dan tidak logis. Bagaimana mungkin orang yang bodoh bertaqlid kepada orang yang bodoh pula. Hal ini tidak ada bedanya dengan orang buta yang berkata kepada kawannya yang juga buta pula: "peganglah tanganku dan tuntunlah aku menuju ke suatu tempat di sana".

Bagian ketiga, yaitu taqlid seorang 'alim kepada orang jahil. Taqlid semacam ini adalah paling buruk dan hinanya perbuatan di mata masyarakat umum dan bahkan menurut penilaian anak kecil sekali pun. Mana mungkin orang yang dapat melihat dengan baik minta bantuan untuk dituntun ke suatu tempat kepada orang yang buta matanya.

Bagian keempat adalah: taqlid seorang jahil kepada orang alim dan pandai (ahli ilmu). Hal ini sangatlah wajar dan logis. Bahkan menurut akal sehat memang begitulah seharusnya, yaitu orang yang awam dan bodoh diharuskan bertaqlid dan mengikuti saran-saran, nasihat-nasihat, fatwa-fatwa dan jejak langkah ahli ilmu. Dalam hal ini, agama pun -terutama madzhab Ahlul Bait As- sangat menekankan dan mewajibkannya. Taqlid semacam ini tidaklah dikategorikan sebagai "taqlid buta" yang memang sangat dicela oleh akal sehat dan Al-Qur'an al-Karim. Contoh taqlid keempat ini tidak ada bedanya dengan seorang awam yang terkena penyakit tertentu berkonsultasi dan berobat kepada seorang dokter spesialisasi di bidangnya.

"Taqlid buta" adalah satu sifat yang sangat buruk, rendah dan tercela, yaitu ketika seseorang mengikuti orang lain tanpa dalil dan argumen yang jelas, kuat dan logis, baik dalam hal ibadat, maupun dalam hal adat istiadat. Baik yang diikuti itu masih hidup, atau pun sudah mati. Baik kepada orang tua dan nenek moyang, maupun kepada bangsa lain. Sifat inilah yang disandang oleh orang-orang kafir dan dungu, dari dahulu kala hingga pada zaman kita sekarang ini, dimana mereka menjalankan ibadah mereka sehari-hari berdasarkan taqlid buta dan mengikuti lampah dan perbuatan nenek-nenek moyang mereka yang tidak mempunyai dalil dan argumen sama sekali. Allah Swt berfirman: "Dan apabila dikatakan kepada mereka ( orang-orang kafir dan yang menyekutukan Allah ): "ikutilah semua ajaran dan petunjuk yang telah Allah turunkan". Mereka menjawab: "Kami hanya mengikuti segala apa yang telah dilakukan oleh nenek-nenek moyang kami". Padahal nenek-nenek moyang mereka itu tidak mengerti apa-apa dan tidak juga mendapat hidayah ( dari Allah Swt )" (Qs.Al-Baqarah : 170).

Dengan kata lain, bahwa nenek-nenek moyang mereka itu adalah orang-orang yang bodoh dan tersesat, tetapi walau pun demikian mereka tetap mengikuti dan mentaqlidinya. Mereka menolak bertaqlid kepada orang-orang yang telah mendapat hidayah dari Allah Swt, ma'sum (terjaga) dari segala kesalahan dan dosa dan ahli ilmu pengetahuan, yang sifat-sifatnya telah jelas disebutkan oleh Allah Swt di dalam Al-Qur'an al-Karim, yaitu para Nabi, Rasul, Imam-Imam suci dan para 'ulama yang telah memenuhi syarat-syarat yang telah kami singgung di atas.

Para pembaca yang budiman, mengingat risalah ini sengaja dibuat seringkas mungkin, maka kami kira bukan pada tempatnya untuk menjelaskan masalah taqlid yang lebih luas lagi, terutama yang berhubungan dengan masalah "marja'iah" dan "a'lamiah".

Secara singkat kami katakan, bagi Anda yang baru baligh atau baru masuk/pindah ke madzhab Syi'ah Imamiah pada masa sekarang ini, dimana tidak ada kata sepakat dari para Ahli Khibrah tentang a'lamiah seorang mujtahid atau marja', jika ingin bertaqlid kepada seorang mujtahid atau marja', maka carilah dua orang Ahli Khibrah yang menyaksikan dan menyatakan a'lamiahnya. Di samping itu pula, tentunya Anda dituntut untuk mengenal dan memeperhatikan Ahli Khibrah tersebut, baik dari sisi akhlak, pengetahuan, zuhud, dll. Baik melalui cerita-cerita orang-orang yang mengenalnya, membaca biografi dan karangan-karangannya, atau dengan cara-cara lainnya. Karena Ahli Khibrah itulah yang menyampaikan Anda kepada seorang mujtahid atau Marja' Taqlid. Sedang Marja' Taqlid itu menyampaikan dan menyambung tali hubungan Anda dengan Imam Zaman Ajf. Dan Imam Zaman Ajf adalah sebagai tali penghubung dan "Al-Urwah al-Wustqa" kepada Allah Swt bagi setiap mukallid, bahkan secara umum bagi setiap insan dan jin yang berusaha mencari dan menelusuri jalan menuju al-Haq. Bahkan lebih dari itu, Imam Zaman Ajf yang berperan sebagai "al-Hujjah" di muka bumi pana ini, adalah sebagai tonggak dan poros utama bagi keteraturan alam semesta ini dengan segala aktivitasnya, "Lawlal Hujjah Lasaakhatil ardlu biahlihaa", jika tanpa adanya "al-Hujjah" (Imam Zaman Ajf sebagai Imam Maksum yang ke 12), akan hancur luluhlah bumi ini dengan segenap penduduk dan isinya. Pembahasan tentang Imam Zaman ajf sebagai 'al-Hujjah", "Wasilah" dan "Al-'Urwah al-Wutsqa" ini, berhubungan erat dengan pembahasan "hukum kausalitas, sebab akibat dan "Sunnatullah" di dalam pelajaran dan kajian filsafat. Hal ini tidak dapat kami bahas dalam risalah sederahana ini. Namun Anda dapat menanyakannya kepada seorang Ustadz yang telah mempelajari dan mengkaji akidah Syi'ah Imamiyah dengan baik dan mendalam.

Dengan ungkapan lain yang lebih jelas sehubungan dengan peran penting kehadiran seorang marja' dan Imam Zaman Ajf dalam kehidupan kita sehari-hari, kami katakan bahwa kita tidak akan dapat mencapai makam "mardlatillah" yang murni dan sempurna tanpa mengenal Imam Zaman Ajf dan menapaki jalan-jalan syari'at dan bimbingan beliau. Sebagaimana pula kita yang awam ini tidak mungkin akan dapat mentaati dan melaksanakan segala perintah, syari'at dan bimbingan beliau tanpa menjalankan berbagai aturan dan tata cara beribadah, bermu'amalah, bermasyarakat dst yang telah dirangkum dalam "Risâlah 'Amaliah" seorang mujtahid/marja'.

Dengan demikian, betapa urgen dan pentinganya kehadiran sebuah "Risâlah 'Amaliah" Marja' Taqlid Anda di sisi Anda. Bila hal ini dapat Anda pahami dengan baik dan benar, sehubungan dengan "Hablumminallah" dan "Hablumminannas", maka tidak ada alasan lagi bagi Anda untuk mengabaikan dan membiarkan "Risâlah 'Amaliah" jauh keberadaannya dari sisi Anda, dan tidak mungkin pula Anda akan lebih mengutamakan membaca koran-koran, majalah-majalah dan media lainnya hanya sekedar untuk mengorek-ngorek informnasi dan berita-berita dunia yang tidak ada hubungannya dengan peningkatan keimanan Anda dan tidak ada kaitannya pula dengan nasib Anda di alam akhirat yang kekal abadi.

Tidaklah mengherankan apabila terdengar adanya satu dua orang yang dengan sengaja mengabaikan dan tidak mempedulikan kehadiran sebuah "Risâlah 'Amaliah" dalam peraktik kehidupannya sehari-hari, dan mereka itu lebih mengutamakan sisi afkar (pemikiran) dan aqidah global dalam madzhab Syi'ah Imamiah, lantaran mereka belum dapat memahami dengan baik bagaimana menggapai keridlaan Imam Zaman Ajf sebagai langkah "wasilah" menuju titik sasaran utama dan terakhir "Mardlatillah Swt".

Harapan dan do'a kami, semoga kini tidak terdengar lagi ungkapan-ungkapan seperti: "Yang penting kan pemikiran, fiqih itu tidak perlu", atau "Untuk memjadi Syi'ah cukup dengan mempercayai dua belas Imam, dan tidak perlu mempraktikkan fiqih Syi'ah sebelum akidah kita mantap". Padahal, sekedar mengkaji dan meyakini adanya dua belas Imam tidaklah ada artinya sama sekali, apabila dalam beramal ibadah masih meyakini dan mengikuti aturan-aturan yang datang dari selain meraka.

Demi untuk mempermudah para pecinta dan pengikut setia ajaran Ahlul Bait As di Tanah Air tercinta yang ingin bertaqlid kepada Imam Khamene'i Hf (Ayatullâh al-'Uzma Sayyid Ali al-Khamene'i Hf), maka kini kami tunjukkan dua orang Ahli Khibrah yang telah menyaksikan dan menyatakan a'lamiah beliau. Dua orang Ahli Khibrah itu ialah: 1.Ayatullâh Syaîkh Muhammad Yazdi Hf. 2.Ayatullâh Sayyid Ja'far al-Karimi Hf. Informasi tentang dua orang Ahli Khibrah ini kami peroleh langsung dari kantor Sayyid al-Qa'id Hf pada tanggal 21 Rabi'ul Awwal Th. 1421 H. Isi surat yang kami ajukan dengan bahasa arab tersebut kurang lebih demikian isinya:

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Bismihi Ta'ala

Dengan ini kami kabarkan kepada Antum (Petugas istiftaat) yang mulia – sesuai dengan pengetahuan kami yang dangkal – bahwa mayoritas mutasyayyi'in di negeri kami (Indonesia) bertaqlid kepada yang mulia Ayatullâh al-'Uzma Sayyid Ali Khamene'i Hf.. Hal itu demi menghimpun pada pribadi beliau yang mulia antara Marja'iah dan Qiyadah atau Wilayah, dan nyatanya memang maslahat menuntut demikian. Disamping itu pula bahwa beliau telah masyhur dengan predikat a'lam dari sisi politik, bahkan lebih dari itu, Imam Khomeini ra yang agung telah memberikan isyarat tentang kelayakan beliau dalam hal tersebut. Dan para mutasyayyi'in tersebut bertaqlid kepada beliau yang mulia tanpa muroja'ah terlebih dahulu kepada Ahli Khibrah . Dan apabila Antum berpendapat bahwa taqlid semacam ini tidak dianggap sah, artinya: mereka itu harus muroja'ah terlebih dahulu kepada Ahli Khibrah untuk mengokohkan a'lamiah beliau, maka hal itu merupakan tugas yang sulit buat mereka dan taklif yang tidak mampu untuk dipikul ( Lâ Yukallifullâhu nafsan illâ wus'ahaa ).

Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kepada Antum yang terhormat agar kiranya dapat menunjukkan kami atau menyebutkan nama-nama Ahli Khibrah yang mendukung a'lamiah Ayatullâh al-'Uzma Sayyid Ali Khamene'i Hf. Karena terus terang, kami sendiri tidak mampu untuk meneliti dan mohon penjelasan tentang a'lamiah beliau secara langsung dari Ahli Khibrah . Oleh karena itulah kami bertawassul kepada Antum untuk dapat bertaqlid kepada beliau yang mulia. Semoga Antum mendapatkan ganjaran yang besar dari sisi Allah Swt. Amin……

Qom al-Muqaddasah, 17 Jumaditsatsni 1420 H.

Abu Qurba

Assalamu'alaikum wr. Wb.

Jawab:

Bismihi ta'ala

Setelah Ahli Khibrah seperti "Himpunan Guru-guru Hawzah" (Jamâ'atul Mudarrisin) – semoga Allah Swt memberkahi mereka – membuat kesaksian atas bolehnya bertaqlid kepada yang mulia Ayatullâh Sayyid Ali Khamene'i Hf bagi seluruh kaum muslimin dan bahwa bertaqlid kepada beliau dapat dipertanggung jawabkan dan juga setelah sekelompok dari mereka mengadakan kesaksian atas a'lamiah beliau seperti Ayatullâh Sayyid Ja'far al-Karimi dan Ayatullâh Muhammad Yazdi dan 'Ulama-'Ulama lainnya, maka setelah itu, tidak ada lagi peluang keraguan dan kesamaran atas sahnya taqlid mereka; seluruh ikhwan mu'minin di Indonesia, begitu pula kaum mu'minin di negara-negara lainnya.

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

Qom, 21 Rabi'ul Awwal 1421 H

Kantor istifta Sayid Imam Ali Khamene' Hf

Appendix :

Menimbang dan mengingat:

1. Adanya hubungan erat antara pembayaran, penyerahan dan pengelolaan uang dan harta khumus dengan masalah taqlid.

2. Banyaknya pertanyaan yang sampai di Daftar Rahbar (kantor Ayatullâh Sayyid Imam Ali Khamene-i Hf) tentang masalah penyerahan dan pengelolaan uang dan harta khumus.

3. Demi memberikan petunjuk, bimbingan dan saran syar'i kepada kaum mutasyayyi'in di seluruh tanah air tercinta dan di belahan dunia lainnya agar menyerahkan uang khumus dan mengelolanya sesuai dengan aturan, ketentuan yang berlaku dan hukum syar'i.

4. Demi menghindari hal-hal yang tidak syar'i sehubungan dengan masalah khumus.

5. Risâlah 'Amaliah tidak menjelaskan masalah ini dengan detail dan terkadang timbul salah paham dari pembaca atau pendengar tentang masalah yang bersangkutan.

Maka – menurut al-haqir – alangkah baiknya apabila risalah taqlid singkat dan sederhana ini kami tambahkan (appendix) dengan menjelaskan beberapa masalah yang berhubungan dengan pembayaran dan pengelolaan khumus.

Masalah Pertama

Hukumnya wajib membayar atau menyerahkan khumus (seperlima dari keuntungan atau kelebihan bersih, yaitu setelah digunakan untuk biaya hidup sehari-hari setelah masa satu tahun) kepada "Wali Urusan Khums" yaitu Marja' Taqlid Anda masing-masing. Jelasnya adalah apabila Anda bertaklid kepada Ayatullâh Sayyid 'Alî Khamene-i Hf, maka Anda wajib menyerahkan khumus Anda kepada beliau, apabila si Fulan bertaklid kepada Ayatullâh Sayyid Ali Sistani Hf, maka ia wajib menyerahkan khumusnya tersebut kepada beliau, dan begitulah seterusnya, sesuai dengan fatwa kebanyakan Marâji'.

Masalah Kedua

Saham (bagian) Imâm Ma'sum dan saham Sadat sekalipun, wajib diserahkan kepada Wali Urusan Khumus, dan tidak boleh menggunakan atau mengelola harta khumus tersebut tanpa memperoleh izin terlebih dahulu dari Wali Urusan Khumus.

Masalah Ketiga

Apabila tidak memungkinkan bagi Anda untuk membayar atau menyerahkan uang khumus secara langsung kepada Marja' Taqlid Anda, karena jauhnya tempat tinggal Anda misalnya, seperti kaum mutasyayyi'in yang tinggal di Indonesia dll, maka Anda boleh dan wajib menyerahkannya kepada wakilnya yang resmi yaitu yang telah mendapatkan surat izin dari marja' yang bersangkutan untuk mengambil dan mengumpulkan khumus tersebut untuk nantinya diserahkan kepada marja' yang bersangkutan.

Masalah Keempat

Apabila Anda merasa ragu; apakah seseorang yang akan Anda serahkan uang khumus itu betul-betul telah mendapatkan surat izin resmi dari Marja' Taqlid Anda ataukah tidak, maka dalam hal ini hendaknya Anda memohon padanya dengan penuh hormat dan sopan agar ia bersedia memperlihatkan pada Anda surat izin tertulis dari Marja' yang bersangkutan. Sudah tentu, jika memang ia betul-betul sebagai wakil pengumpul khumus resmi marja' Anda, pasti ia akan menerima Anda dengan senyum penuh sopan dan senang hati untuk memperlihatkan surat izin tersebut pada Anda. Dan apabila ia menolak untuk memperlihatkan surat izin resmi tertulis terssebut, maka Anda bisa menghubungi Marja' Taqlid Anda via telpon atau E-mail. Dan sebaiknya Anda tidak/jangan membayar khumus kepadanya

Masalah Kelima

Apabila Anda telah atau sudah pernah menyerahkan khumus kepada seseorang, kemudian Anda merasa ragu; jangan-jangan orang yang Anda serahkan khumus itu tidak atau belum memperoleh surat izin resmi dari marja' Anda, ataupun Anda tidak merasa yakin kalau uang khumus tersebut ia sampaikan dan ia serahkan kepada marja' Anda, maka dalam hal ini hendaknya dengan penuh hormat dan sopan pula Anda minta tanda bukti pemberian khumus yang telah di stempel oleh Marja' Taqlid Anda. Karena biasanya dan pada umumnya, setiap orang dan setiap wakil urusan khumus yang menyerahkan harta atau uang khumus mutasyayyi'in kepada Marja' Taqlid yang bersangkutan, akan dicatat dengan baik dan diberikan surat tanda bukti penyerahan khumus tersebut semacam kwitansi yang telah distempel atau di tandatangani. Apabila ia dapat membuktikan dan memperlihatkan surat tanda bukti pembayaran khumus tersebut, maka secara syar'i khumus Anda dinilai sah.

Masalah Keenam

Apabila Anda merasa yakin (dengan qârinah-qârinah dan bukti-bukti yang Anda lihat atau dengar) bahwa si Fulan bukan pengumpul khumus bagi Marja' Taqlid Anda, atau ia tidak menyerahkannya kepada marja' Anda, atau ia menggunakan dan mengelola harta khumus itu tanpa memperoleh izin dari marja' Anda, maka dalam hal ini janganlah Anda menyerahkan khumus Anda kepada orang tersebut. Kemudian apabila pada kondisi semacam itu Anda tetap ngeyel dan menyerahkan khumus kepadanya, apakah dalam hal ini khumus Anda itu dianggap sah ataukah tidak? Kalau tidak dianggap sah, apakah Anda wajib mengulangi pembayaran khumus lagi ataukah tidak?. Nah, apabila hal semacam ini terjadi pada diri Anda, kami persilahkan Anda menanyakan masalah terebut kepada Marja' Taklid Anda via E-mail fatwa@leader.ir atau ke E-mail: telagahikmah@yahoo.com

Masalah Ketujuh

Biasanya dan sudah menjadi maklum serta merupakan satu kemestian bahwa setiap Marja' Taqlid mempunyai wakil-wakil urusan/pengumpul khumus di negara-negara yang terdapat kaum mutasyayyi'in yang bertaqlid pada marja' yang bersangkutan, tanpa kecuali negara kita Indonesia. Di Indonesia terdapat beberapa orang (bukan hanya satu orang) wakil urusan khumus, zakat, hak tasarruf dan lain-lain yang biasa dikenal sebagai Umur Hisbiyah (Hal-hal yang berhubungan dengan masalah pengumpulan khumus, kafarah, zakat, pengelolaan dan penggunaannya fi sabilillah dan fi mardlatillah, dll sesuai dengan wewenang yang telah diberikan), yang telah memperoleh surat izin resmi dari Marja' Taqlid Ayatullâh Sayyid Imâm 'Alî Khamene-i Hf. Maka sebaiknya, sewajarnya dan sudah semestinya Anda mengenal dan mengetahui dengan baik siapakah mereka itu. Bila Anda mendapatkan kesulitan dalam mengenal mereka, silahkan Anda melayangkan surat ke alamat di atas.

Bila Anda dapat memahami dan mengetahui betapa sulitnya seseorang mencapai peringkat mujtahid, terlebih lagi peringkat marja', maka Anda akan memahami dan mengetahui pula betapa tinggi derajat dan mulia kedudukan orang-orang yang telah mencapai derajat tersebut. Bila Anda pun dapat mengerti dan mengetahui betapa sulitnya seorang Marja' Taqlid dan wakil-wakilnya (termasuk Lajnah Istiftaat) dalam menjawab dan memecahkan berbagai persoalan dan problema masyarakat muqallidnya, maka Anda pun akan mengerti dan mengetahui pula betapa tinggi, mulia, suci dan sakralnya orang-orang yang menduduki kursi marja'iyah dan juga orang-orang yang menduduki kursi wikalahnya.

Harapan dan doa kami, semoga suatu saat nanti kita sudah mempunyai seorang mujtahid yang mampu menjadi penyambung lisan Wali Faqih dan Marja' baik dalam tutur kata maupun dalam amal perbuatannya, sehingga dapat mengatasi dan menyelesaikan berbagai problema masyarakat kaum muslimin dan kaum mutasyayyi'in khususnya. Bukan seorang mujtahid yang malah membuat problem di tengah-tengah masyarakat Islam.

Akhi dan ukhti fillah, ketahuilah sesungguhnya orang-orang yang telah mencapai peringkat mujtahid dan marja' (dalam makna yang sebenarnya), adalah sebaik-baiknya manusia yang hidup di muka bumi ini (setelah Imâm Ma'sum tentunya), dan jauh lebih mulia dan tinggi kedudukannya dibandingkan malaikat Allâh Swt.

Sebagian dari masalah-masalah di atas, Anda dapat merujuknya pada kitab Istiftaat jilid 1,hal. 313 pada bab Wali amril khumus wa al wukala-i wa maurid as sharf. Dengan kata lain, beberapa masalah tersebut kami tulis sesuai dengan fatwa Rahbar kita (semoga Allah Swt senantiasa menjaga beliau dan orang-orang yang loyal kepadanya).[]



[1] . Yang dimaksud dengan ahli khibrah pada bab taklid adalah: Seseorang yang telah mampu menilai dan menetapkan kemujtahi dan kea’lamiyahan seseorang dan juga mampu menilai dan membedakan bahwa si fulan A sudah mencapai peringkat mujtahid atau marja’, sementara si fulan B belum. Atau si fulan A lebih alim dalam berijtihad dibandingkan dengan fulan B. kemampuannya itu diperoleh lantaran telah lama belajar dan mendalami ilmu-ilmu agama seperti ushul fiqih, fiqih, tafsir dan lain-lain. Ahli khibrah itu tidak mesti mujtahid, artinya seseorang dapat mencapai derajat ahli khibrah sekalipun belum mencapai peringkat mujtahid. Tetapi jika seseorang telah mencapai peringkat mujtahid bisa diyakini telah mencapai maqam ahli khibrah. Hingga saat ini kami belum pernah mendengar atau menerima informasi bahwa ada di antara ikhwan kita yang telah mencapai peringkat ahli khibrah, baik ikhwan kita yang belajar di hauzah Qum al-Muqaddasah, apalagi yang tidak mengecap pendidikan hauzah ilmiah. Wallahu a’lam.

mainsource:http://abna.ir/data.asp?lang=12&id=247339

Wilayatul Faqih Unsur Terpenting dalam Revolusi

Ayatullah Misbah Yazdi dalam ceramahnya menyebutkan bahwa Wilayatul Faqih adalah salah satu faktor penting keberhasilan revolusi dan faktor penjaga revolusi yang utama.



Wilayatul Faqih Unsur Terpenting dalam Revolusi

Menurut Kantor Berita ABNA, dalam pertemuannya dengan peziarah yang terdiri dari warga kota Esfahan pekan lalu, Ayatullah Misbah Yazdi mengatakan, "Salah satu kewajiban terbesar setiap muslim adalah menegakkan hukumat Islami dan senantiasa mengawal dan menjaganya. Dan Imam Khomeini telah melakukan pekerjaan besar ini."

Ulama yang juga menjabat sebagai Ketua Yayasan Pendidikan dan Penelitian Imam Khomeini ra ini lebih lanjut menyebutkan bahwa Wilayatul Faqih adalah salah satu faktor penting keberhasilan revolusi dan faktor penjaga revolusi yang utama. Lebih detail beliau berkata, "Musuh-musuh Islam dalam upayanya untuk menghancurkan masyarakat Islam, yang paling pertama hendak mereka runtuhkan adalah kepercayaan dan kesetiaan umat terhadap Wilayatul Faqih. Wilayatul Faqih adalah sasaran pertama mereka, sebab sistem Islami inilah yang menjaga persatuan dan keutuhan umat."

"Pihak musuh sendiri mengakui bahwa Wilayatul Faqih bukanlah sistem politik yang biasa, yang dapat diperjualbelikan, ataupun dengan mudah diotak-atik. Karenanya upaya musuh adalah konsentrasi untuk melakukan penghancuran sistem ini secara sistematis dan berkesinambungan. Wilayatul Faqih adalah ibarat mesin penggerak yang tetap menggerakan roda revolusi untuk tetap berputar dan berjalan pada jalurnya." Tegas beliau.

Ayatullah Misbah Yazdi kemudian berkata, "Kemenangan Revolusi Islam Iran adalah peristiwa besar yang sangat menakjubkan dunia, dan setan besar zaman itu heran dengan keberhasilan tersebut. Mereka tidak habis pikir, bagaimana mungkin sebuah pergerakan rakyat yang hanya dipimpin oleh seorang ulama telah berhasil melakukan perubahan yang begitu dahsyat."

"Pihak musuh setelah bertahun-tahun melakukan penelitian dan pengamatan atas peristiwa tersebut akhirnya mengambil kesimpulan bahwa keberhasilan dan kemenangan revolusi Islam Iran didorong oleh semangat keberislaman yang tinggi. Karenanya merekapun melakukan rancangan-rancangan kerja untuk kemudian bisa memadamkan semangat itu." Jelas beliau.

Ulama yang juga tercatat sebagai anggota Majelis Khubregan ini kemudian memaparkan bahwa salah satu faktor penyebab timbulnya semangat keberislaman yang tinggi ditengah-tengah masyarakat Iran adalah adanya kecintaan umat kepada ulamanya. Bagi rakyat Iran, ulama adalah wakil Imam Zaman afs, yang bukan hanya sekedar dicintai namun juga wajib memberikan ketaatan kepada mereka. Ayatullah Misbah Yazdi berkata, "Kesulitan terbesar pihak musuh untuk melancarkan rencana-rencana busuk mereka, adalah adanya ketaatan umat terhadap Wilayatul Faqih. Propaganda apapun yang mereka gencarkan, semuanya tidak berdaya dengan keberadaan Wilayatul Faqih yang sangat dipercayai dan didukung umat."

Ayatullah Misbah Yazdi kemudian menyebutkan kesetiaan umat terhadap Wilayatul Faqih adalah sebuah anugerah besar yang patut disyukuri. Beliau berkata, "Kesetiaan dan dukungan rakyat terhadap Wilayatul Faqih dan Rahbar tidak datang serta merta karena sekedar perintah agama, namun juga berkaitan erat dengan kepribadian Rahbar yang mengagumkan."

"Rakyat Iran belum pernah menemui sebelumnya orang yang memiliki kepribadian sebagaimana yang dimiliki Imam Khomeini ra, keteguhan beliau memegang prinsip dan karakter mengagumkan lainnya, karenanya rakyatpun menyerahkan ketaatan kepada beliau untuk memimpin jalannya revolusi." Ungkap beliau lebih lanjut.

Dipenghujung ceramahnya Ayatullah Misbah Yazdi memberikan nasehat sebagaimana yang pernah dinasehatkan oleh Imam Khomeini ra. Beliau berkata, "Kemenangan revolusi tidak terlepas dari peran Imam Zaman afs, karenanya telah menjadi kewajiban dan keharusan untuk tetap memberikan kesetiaan dan ketaatan kepada Imam Zaman afs. Jalan yang harus ditempuh umat Syiah adalah jalan lurus yang pernah ditempuh para Aimmah as. Dengan menempuh jalan Aimmah as maka segala bentuk kelalaian dan kealfaan dapat dihindari."

mainsource:http://abna.ir/data.asp?lang=12&id=247337

Kembali Kepada Al Quran dan Ahlul Bait

Kembali Kepada Al Quran dan Ahlul Bait

Islam adalah keduanya (Al Quran dan Ahlul Bait) yang tidak akan terpisah hingga akhir zaman, hingga kehadiran Ahlul Bait Rasulullah yang terakhir, Imam Mahdi afs yang dinanti-natikan. Ahlul Bait adalah madrasah yang paling komplit yang mengandung berbagai khazanah ke- Islaman. Madrasah ini telah terbukti menghasilkan kader-kader yang mumpuni dan telah mempersembahkan karya-karya cemerlang bagi kehidupan umat manusia.

Ismail Amin




Sepanjang sejarah perjalanan umat manusia, polemik dan perbedaan pendapat telah menjadi keniscayaan tersendiri yang tak terelakkan. Adanya paradigma (cara pandang) yang berbeda pada umat manusia adalah konklusi dari dua jalan (kebajikan dan kejahatan) yang telah diilhamkan Allah SWT dalam diri setiap manusia (baca Qs. 90:10).

Oleh karenanya, keberadaan tolok ukur kebenaran yang menjadi rujukan semua pihak adalah suatu keniscayaan pula, yang eksistensinya bagian dari hikmah Ilahi. Allah SWT telah menurunkan kitab pedoman yang merupakan tolok ukur kebenaran dan menjadi penengah untuk menyelesaikan berbagai hal yang diperselisihkan umat manusia.


Allah SWT berfirman: "Manusia itu (dahulunya) satu umat. Lalu Allah mengutus para Nabi (untuk) menyampaikan kabar gembira dan peringatan. Dan diturunkan-Nya bersama mereka kitab yang mengandung kebenaran, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan." (Qs. Al-Baqarah : 213).
Ayat ini menjelaskan bahwa manusia tanpa bimbingan dan petunjuk Ilahi akan berpecah belah dan bergolong-golongan. Penggalan selanjutnya pada ayat yang sama menjelaskan pula, bahwa kedengkian dan memperturutkan hawa nafsulah yang menyebabkan manusia terlibat dalam perselisihan dan perpecahan.
Kebijaksanaan Ilahilah yang kemudian menurunkan sang Penengah (para nabi as) yang membawa kitab-kitab yang menerangi. Kitab-kitab Ilahiah terutama Al Quran memberikan petunjuk dan arahan yang jelas tentang kebenaran yang seharusnya ditempuh umat manusia.


Namun hawa nafsu, kedengkian, kedurhakaan dan juga kebodohan telah menjerumuskan manusia jauh berpaling dari mata air jernih kebenaran.
Puluhan ribu nabi telah diutus sepanjang sejarah hidup manusia di segala penjuru dunia. Umat Islam meyakini mata rantai kenabian bermula dari Nabi Adam as dan berakhir di tangan Muhammad SAW dan tidak ada lagi nabi sesudahnya.
Ditutupnya kenabian hanya bisa sesuai dengan hikmah dan falsafah diutusnya para nabi bila syariat samawi yang terakhir tersebut memenuhi seluruh kebutuhan umat manusia, di setiap masa dan di setiap tempat. Al Quran sebagai kitab samawi terakhir telah dijamin oleh Allah SWT keabadian dan keutuhannya dari berbagai penyimpangan hingga akhir masa.


Akan tetapi secara zahir Al Quran tidak menjelaskan hukum-hukum dan ajaran Islam secara mendetail. Oleh karenanya penjelasan perincian hukum menjadi tanggung jawab nabi untuk menerangkannya kepada seluruh umatnya.

Sewaktu Nabi Muhammad SAW masih hidup tanggung jawab itu berada dipundaknya. Karena itu hadits-hadits Nabi Muhammad SAW menjadi hujah dan sumber autentik ajaran Islam. Namun apakah semasa hidupnya, Rasulullah SAW telah menjelaskan seluruh hukum dan syariat Islam kepada seluruh umat?
Kalau tidak semua, siapa yang bertanggung jawab untuk menjelaskannya? Siapa pula yang bertanggung jawab menengahi silang sengketa sekiranya terjadi penafsiran yang berbeda tentang ayat-ayat Al Quran dalam tubuh umat Islam?
Saya sulit menerima jika dikatakan tanggung jawab penjelasan syariat Islam pasca Rasul jatuh ke tangan para sahabat. Sementara untuk contoh sederhana sahabat sendiri berbeda pendapat bagaimana cara Rasululullah melakukan wudhu dan salat yang benar, padahal Rasul mempraktikkan wudhu dan salat bertahun-tahun di hadapan mereka.


Untuk persoalan wudhu saja mereka menukilkan pendapat yang berbeda-beda, karenanya pada masalah yang lebih rumit sangat mungkin terjadi penukilan yang keliru. Ataupun tanggung jawab penafsiran Al Quran jatuh kepada keempat imam mazhab yang untuk sekadar menafsirkan apa yang dimaksud debu pada surah Al-Maidah ayat 6 saja sulit menemukan kesepakatan.


Kata mazhab Syafi'i debu meliputi pasir dan tanah, tanah saja kata Hanbali; tanah, pasir, batuan, salju dan logam kata Maliki; tanah, pasir dan batuan kata Hanafi (al-Mughniyah, 1960; Al-Jaziri, 1986).


Petunjuk Umat


Islam hanya dapat ditawarkan sebagai agama yang sempurna, yang dapat memenuhi segala kebutuhan manusia jika di dalam agama itu sendiri tidak terdapat perselisihan dan perpecahan. Karenanya, hikmah Ilahi meniscayakan adanya orang-orang yang memiliki kriteria seperti yang dimiliki Nabi Muhammad SAW untuk memberikan bimbingan kepada umat manusia di setiap masa tentunya selain syariat.
Ilmu yang mereka miliki tidak terbatas dengan apa yang pernah disampaikan Nabi Muhammad SAW (sebagaimana maklum Nabi tidak sempat menjelaskan semua tentang syariat Islam) namun juga memiliki potensi mendapatkan ilmu langsung dari Allah SWT ataupun melalui perantara sebagaimana ilham yang diterima Siti Maryam dan ibu nabi Musa as (Lihat Qs. Ali-Imran : 42, Thaha:38).
Mereka menguasai ilmu Al Quran sebagaimana penguasaan nabi Muhammad SAW sehingga ucapan-ucapan merekapun merupakan hujjah dan sumber autentik ajaran Islam. Masalah ini berkaitan dengan Al Quran sebagai mukjizat, berkaitan dengan kedalaman dan ketinggian Al Quran, sehingga hukumnya membutuhkan penafsir dan pengulas.


Al Quran adalah petunjuk untuk seluruh ummat manusia sampai akhir zaman karenanya akan selalu berlaku dan akan selalu ada yang akan menjelaskannya sesuai dengan pengetahuan Ilahi. "Sungguh, Kami telah mendatangkan kitab (Al Quran) kepada mereka, yang Kami jelaskan atas dasar pengetahuan, sebagai petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman." (Qs. Al-A'raf :52).
Pada ayat lain, Allah SWT berfirman, "Dan Kami tidak menurunkan kepadamu al-Kitab ini, melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman. " (Qs. An-Nahl : 64).


Dengan pemahaman seperti ini maka jelaslah maksud dari penggalan hadits Rasulullah, Kutinggalkan bagi kalian dua hal yang berharga, Al Quran dan Ahlul Baitku. (HR Muslim). Bahwa keduanya Al Quran dan Ahlul Bait adalah dua hal yang tak terpisahkan hingga hari kiamat, memisahkan satu sama lain akibatnya adalah kesesatan dan di luar dari koridor ajaran Islam itu sendiri.


Penyimpangan


Rasul menyebut keduanya (Al Quran dan Ahlul Baitnya) sebagai Tsaqalain yakni sesuatu yang sangat berharga. Keduanya saling melengkapi dan tidak dapat dipisahkan. Penerus nabi adalah orang-orang yang tahu interpretasi ayat-ayat Al Quran sesuai dengan makna sejatinya, sesuai dengan karakter esensial Islam, sebagaimana yang dikehendaki Allah SWT.


Rasulullah menjamin bahwa siapapun yang bersungguh-sungguh dan berpegang pada kedua tsaqal ini, maka tidak akan pernah mengalami kesesatan. Kemunduran dan penyimpangan kaum Muslimin terjadi ketika mencoba memisahkan kedua tsaqal ini.
Islam adalah keduanya (Al Quran dan Ahlul Bait) yang tidak akan terpisah hingga akhir zaman, hingga kehadiran Ahlul Bait Rasulullah yang terakhir, Imam Mahdi afs yang dinanti-natikan. Ahlul Bait adalah madrasah yang paling komplit yang mengandung berbagai khazanah ke- Islaman. Madrasah ini telah terbukti menghasilkan kader-kader yang mumpuni dan telah mempersembahkan karya-karya cemerlang bagi kehidupan umat manusia.


Imam Ja'far Shadiq (fiqh), Jalaluddin Rumi (tasawuf), Ibnu Sina (kedokteran), Mullah Sadra (Filsafat), Allamah Taba'tabai (tafsir) dan Imam Khomeini (politik), sebagian kecil orang-orang besar yang terlahir dari madrasah ini.

Ismail Amin
Mahasiswa Mostafa International University
Islamic Republic of Iran

Komentar Pembaca

- Dlm Al Quran yang menyebut 'ahlulbait', rasanya ada 3 (tiga) ayat dan 3 surat.

1. QS. 11:73: Para Malaikat itu berkata: "Apakah kamu merasa heran tentang ketetapan Allah? (Itu adalah) rahmat Allah dan kebrkatan-Nya, dicurahkan atas kamu, hai ahlulbait. Sesungguhnya Allah Maha Terpuji lagi Maha Pemurah".

Ayat ini jika dikaitkan dengan ayat sebelumnya, maka makna 'ahlulbait' adalah isteri dari Nabi Ibrahim.

2. QS. 28:12: Dan Kami cegah Musa dari menyusu kepada perempuan-perempuan yang mau menyusukan(nya) sebelum itu; maka berkatalah Saudara Musa: 'Maukahkamu aku tunjukkan kepadamu 'ahlulbait' yang akan memeliharanya untukmu, dan mereka dapat berlaku baik kepadanya?

Ayat ini jika dikaitkan dengan ayat sebelumnya, maka makna 'ahlulbait' adalah Ibu Nabi Musa As. atau ya Saudara Nabi Musa As.

3. QS. 33:33: "...Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu 'ahlulbait' dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya".

Ayat ini jika dikaitkan dengan ayat sebelumnya QS. 33: 28, 30 dan 32, maka makna ahlulbait adalah para isteri Nabi Muhammad SAW. Sedangkan sesudah ayar 33 yakni QS. 33:34, 37 dan 40 penggambaran ahlulbaitnya mencakup keluarga besar Nabi Muhammad SAW. isteri plus anak-anak beliau.

Coba baca catatan kaki dari kitab: Al Quran dan Terjemahannya, maka ahlulbaik yaitu KELUARGA RUMAHTANGGA RASULULLAH Berarti kel Saidina Muhammad SAW yg seharusnya, kedua orang tua beliau, tapai keduanya belum Muslim dan sudah meninggal, diri saidina Muhammad SAW sendiri, atau saudara kandungnya (tapi beliau anak tunggal), isteri-isterinya, anak-anaknya baik laki-laki maupun perempuan, sayangnya anak beliau yang lelaki tak ada yang sampai besar, tidak meninggalkan anak keturunan. Pewaris tahta Ahlul Bait yang terakhir ya Bunda Fatimah.

Oleh karena itu, keturunan Bunda Fatimah, Hasan, Husein dan lainnya yg perempuan ya tidak lagi masuk ahlul bait krn. nasabnya Saidina Ali bin Abi Thalib. Krn Al Quran hanya mengenal nasab dari laki-laki kecuali Isa bin Maryam (QS. 33:4-5)

Dengan adanya mukjizat ini, maka tidak ada satu golongan atau kelompok yang bisa mengklaim bahwa mereka adalah pewaris tahta 'AHLUL BAIT', otomatis yang ada itu adalah pewaris nasab Saidina Ali bin Abi Thalib.


- AHLUL BAIT, CELAH ANTARA SUNNI DAN SYIAH

Dlm Al Quran yang menyebut 'ahlulbait', rasanya ada 3 (tiga) ayat dan 3 surat.

1. QS. 11:73: Para Malaikat itu berkata: "Apakah kamu merasa heran tentang ketetapan Allah? (Itu adalah) rahmat Allah dan keberkatan-Nya, dicurahkan atas kamu, hai ahlulbait. Sesungguhnya Allah Maha Terpuji lagi Maha Pemurah".

Ayat ini jika dikaitkan dengan ayat sebelumnya, maka makna 'ahlulbait' adalah terdiri dari isteri dari Nabi Ibrahim.

2. QS. 28:12: Dan Kami cegah Musa dari menyusu kepada perempuan-perempuan yang mau menyusukan(nya) sebelum itu; maka berkatalah Saudara Musa: 'Maukahkamu aku tunjukkan kepadamu 'ahlulbait' yang akan memeliharanya untukmu, dan mereka dapat berlaku baik kepadanya?

Ayat ini jika dikaitkan dengan ayat sebelumnya, maka makna 'ahlulbait' adalah meliputi Ibu kandung Nabi Musa As. atau ya Saudara kandung Nabi Musa As.

3. QS. 33:33: "...Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu 'ahlulbait' dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya".

Ayat ini jika dikaitkan dengan ayat sebelumnya QS. 33: 28, 30 dan 32, maka makna para ahlulbait adalah para isteri Nabi Muhammad SAW.

Sedangkan ditinjau dari sesudah ayat 33 yakni QS. 33:34, 37 dan 40 maka penggambaran ahlulbaitnya mencakup keluarga besar Nabi Muhammad SAW. para isteri dan anak-anak beliau.

Jika kita kaitkan dengan makna ketiga ayat di atas dan bukan hanya QS. 33:33, maka lingkup ahlul bait tersebut sifatnya menjadi universal terdiri dari:

1. Kedua orang tua Saidina Muhammad SAW, sayangnya kedua orang tua beliau ini disaat Saidina Muhammad SAW diangkat sbg 'nabi' sudah meninggal terlebih dahulu.

2. Saudara kandung Saidina Muhammad SAW, tapi sayangnya saudara kandung beliau ini, tak ada karena beliau 'anak tunggal' dari Bapak Abdullah dengan Ibu Aminah.

3. Isteri-isteri beliau.

4. Anak-anak beliau baik perempuan maupun laki-laki. Khusus anak lelaki beliau, sayangnya tak ada yang hidup sampai anaknya dewasa, sehingga anak lelakinya tak meninggalkan keturunan.

Seandainya ada anak lelaki beliau yang berkeluarga, dan ada anak lelaki pula, wah masalah pewaris tahta 'ahlul bait' akan semakin seru dan hebat.

Mungkin inilah salah satu mukjizat atau hikmah, mengapa Saidina Nabi Muhammad SAW tak diberi oleh Allah SWT anak lelaki sampai dewasa dan berketurunan?. Pasti, perebutan waris tahta ahlul baitnya akan semakin dahsyat.

Bagaimana tentang pewaris tahta 'ahlul bait' dari Bunda Fatimah?. Ya jika merujuk pada QS. 33:4-5, jelas bahwa Islam tidaklah mengambil garis nasab dari perempuan kecuali bagi Nabi Isa Al Masih yakni bin Maryam. Lalu, apakah anak-anak Bunda Fatimah dengan Saidina Ali boleh kita nasabkan kepada nasabnya Bunda Fatimah, ya jika merujuk pada Al Quran tidak bisalah.

Kalaupun kita paksakan, bahwa anak Bunda Fatimah juga ahlul bait, karena kita mau mengambil garis dari perempuannya (Bunda Fatimah), maka ya seharusnya pemegang waris tahta ahlul bait diambil dari anak perempuannya seperti Zainab, bukan Hasan dan Husein sbg penerima warisnya.

Jadi sistim nasab yang diterapkan itu tidan sistim nasab berzigzag, setelah nasab perempuan lalu lari kembali ke nasab laki-laki.

Bagaimana Saidina Ali bin Abi Thalib, anak paman Saidina Muhammad SAW, ya jika merujuk pada ayat-ayat ahlul bait pastilah beliau bukan termasuk kelompok ahlul bait. Jadi, anak Saidina Ali bin Abi Thalib baik anak lelakinya mapun perempuan, otomatis tidaklah dapat mewarisi tahta 'ahlul bait'.

Kesimpulan dari tulisan di atas, maka pewaris tahta 'ahlul bait' yang terakhir hanya tinggal bunda Fatimah. Berarti anaknya Saidina Hasan dan Husein bukanlah pewaris tahta AHLUL BAIT.

Ya jika Saidina Hasan dan Husein saja bukan Ahlul Bait, pastilah anak-anaknya dan keturunan berikutnya otomatis bukan pewaris Ahlul Bait, mereka murni adalah bernasab pada Saidina Ali bin Abi Thalib.

Dengan demikian sudah waktunya kita menutup debat masalah Ahlul Bait ini. Fihak-fihak baik sunni, habaib maupun syiah yang selama ini saling mengklaim bahwa mereka adalah keturunan ahlul bait itu, sebenarnya telah menimbulkan peruncingan hubungan keislamannya.
[elfan]

mainsource:http://abna.ir/data.asp?lang=12&id=200634

0 comments to "Ayo bertakllid BUTA !!!!!"

Leave a comment