Ayatullah Khamenei: Tidak Ada Isu Sunni-Syi'ah di Bahrain
Rahbar atau Pemimpin Besar Revolusi Islam Ayatollah al-Udzma Sayyid Ali Khamenei hari Sabtu (4/6) dalam acara peringatan haul Imam Khomeini (ra) ke-22 yang dihadiri oleh lautan manusia yang memadati komplek makam Pendiri Republik Islam dan Pemimpin Agung Revolusi Islam, menyatakan bahwa kebangkitan bangsa-bangsa Muslim di kawasan saat ini telah diramalkan oleh Imam Khomeini.
Menyinggung khittah Imam Khomeini, beliau mengatakan, dalam khittah ini spiritualitas, rasionalitas dan keadilan adalah rukun utamanya. "Loyalitas dan komitmen dengan warisan beliau yang luhur ini akan menghadiahkan kemuliaan, kemajuan dan ketinggian bagi bangsa Iran seperti yang selama ini terjadi," kata beliau.
Rahbar menyebut hari peringatan wafatnya Imam Khomeini tanggal 14 Khordad (4 Juni) setiap tahunnya sebagai kesempatan untuk memperbarui kenangan indah bangsa ini dengan pemimpinnya. Menyinggung tibanya bulan Rajab yang penuh berkah pada peringatan ini, beliau menandaskan, haul Imam tahun ini diperingati seiring dengan maraknya kebangkitan bangsa-bangsa Muslim di kawasan. Inayah Allah telah membuktikan kebenaran ramalan insan Ilahi ini.
Ayatollah al-Udzma Khamenei menyatakan bahwa khittah Imam Khomeini adalah kekayaan besar yang dimiliki bangsa Iran. "Dengan berbekal kekayaan yang agung ini, rakyat Iran berhasil melewati segala rintangan sulit selama 32 tahun dan ke depan pun akan seperti itu," imbuh beliau.
Menyinggung kecintaan besar rakyat Iran kepada Imam Khomeini, beliau mengatakan, "Kecintaan rakyat yang mendalam ini tidak terbatas pada sisi emosi semata. Sebab, makna dari kecintaan yang mendalam adalah menerima dan loyal kepada ajaran Imam sebagai khittah yang terang dan jelas bagi perjalanan bangsa."
Pemimpin Besar Revolusi Islam menegaskan bahwa spiritualitas, rasionalitas damn keadilan adalah unsur utama khittah Imam yang nampak dalam perkataan dan tindakan beliau. "Imam Khomeini adalah figur pesuluk spiritual dan ahli dzikir, khusyuk dan ketundukan kepada Allah. Tawakkal beliau yang kuat kepada Allah tak mengenal kata akhir. Namun demikian, dalam setiap hal beliau selalu memperhatikan rasionalitas, kebijaksanaan, perhitungan dan logika. Sama seperti rasionalitas dan spritualitas, beliau juga meyakini keadilan yang berasal dari lubuk ajaran Islam," jelas Rahbar.
Salah satu manifestasi dari rasionalitas Imam, kata beliau, adalah pemilihan sistem demokrasi agama sebagai dasar negara di sebuah negeri yang selama beberapa abad dikuasai oleh sistem despotisme dan kediktatoran.
Contoh lain dari rasionalitas Imam adalah kejelian dalam mengenal lawan yang dibarengi dengan kecerdikan dan resistensi penuh dalam menghadapi mereka. "Berbeda dengan sebagian kalangan yang memandang bahwa terkadang logika menuntut untuk bersikap lunak di depan lawan, logika Imam justeru menilai sikap lunak terhadap lawan sebagai tindakan yang memberi kesempatan kepada musuh untuk melangkah maju. Karena itu sepanjang hidupnya, Imam selalu tampil tegar sekokoh gunung di hadapan lawan-lawannya," jelas beliau.
Mengenai usaha tak mengenal henti dari kaum arogan dan kaki tangannya di dalam negeri di era dinasti Qajar dan Pahlevi untuk menebar apatisme dan rasa hina di tengah bangsa Iran, Ayatollah al-Udzma Khamenei mengatakan, kepada bangsa yang seperti ini, Imam Khomeini meniupkan semangat rasa percaya diri dan menanamkan slogan ‘kita bisa' di dalam lubuk hati bangsa yang paling dalam.
Beliau menambahkan, kemajuan kaum muda di negeri ini yang mencengangkan di berbagai bidang keilmuan, teknologi dan industri tercapai berkat kerja keras Imam yang logis untuk menghidupkan kembali potensi kemampuan banga Iran.
Contah lain dari pemikiran jernih dan rasionalitas Imam dapat dicermati dari proses penyusunan hingga pengesahan konstitusi negara. "Dengan ketelitiannya, beliau menetapkan bahwa pemilihan para penyusun konstitusi dan pengesahan akhir konstitusi harus melalui suara dan pilihan rakyat lewat referendum," tutur beliau.
Rahbar menjelaskan bahwa dalam khittah Imam Khomeini, negara adalah milik rakyat bukan milik para diktator dan kaum despotik seperti rezim Syah yang mengaku memiliki negeri ini.
Beliau menambahkan, dengan tindakan-tindakannya yang rasional, Imam Khomeini telah membuat dasar hukum, sosial dan politik negara ini sedemikian kokoh sehingga bisa menjadi pondasi bagi tegaknya sebuah peradaban Islam yang agung.
Lebih lanjut Ayatollah al-Udzma Khamenei menerangkan sisi spiritualitas Imam Khomeini dengan menyatakan bahwa spiritualitas beliau sangat mengagumkan. "Sejak awal perjuangannya, beliau melangkah sesuai tugas dan kewajiban yang beliau pikul. Kepada para pejabat negara, beliau juga selalu berpesan agar melaksanakan tugas untuk Allah," imbuh beliau.
Imam, kata beliau, selalu mengimbau para pejabat negara agar memandang diri mereka tidak lebih tinggi dari rakyat atau merasa jauh dari aib dan bebas kritik.
Mengenai keadilan sebagai unsur utama yang lain dalam khittah Imam Khomeini, Pemimpin Besar Revolusi Islam menyinggung perhatian besar Imam kepada kaum lemah dan miskin. "Imam selalu menekankan untuk memperhatikan nasib kaum lemah. Beliau juga sering berbicara tentang kelompok masyarakat yang beliaiu sebut ‘kaum tanpa alas kaki' dan ‘penghuni gubuk'. Dengan membawakan ungkapan seperti itu, Imam menyeru para pejabat negara untuk menghindari kemewahan dan memperhatikan nasib kaum miskin. Pelajaran ini jangan sampai terlupakan dalam kondisi apapun juga," jelas beliau.
Pemimpin Besar Revolusi Islam di bagian lain pidatonya membahas perkembangan terkini di kawasan. Beliau menyebut kebangkitan agung bangsa-bangsa Muslim di kawasan utara Afrika dan Timur Tengah sebagai fenomena yang sangat penting dan menentukan dalam sejarah.
"Peristiwa yang terjadi di Mesir, Tunisia, Libya, Yaman dan Bahrain masing-masing memiliki kondisi dan penjelasannya tersendiri. Akan tetapi, ketika suatu bangsa telah sadar dan bangkit lalu merasa kuat dan berkemampuan, tak akan ada yang bisa menghalangi keberhasilannya," kata beliau.
Rahbar menambahkan, sistem hegemoni, Setan Besar, dan kaum zionis yang haus darah terus berusaha untuk menghalangi keberhasilan akhir bangsa-bangsa ini. Namun, ketika bangsa-bangsa ini telah tersadarkan dan komitmen dengan seruan al-Qur'an untuk tabah dan resisten serta yakin akan janji pertolongan Allah, maka bangsa itu pasti akan berhasil.
Mengenai Libya, beliau menjelaskan bahwa kebijakan Barat adalah membuat Libya menjadi negara yang lemah. "Libya adalah negara yang penting dan memiliki sumber kekayaan minyak yang berlimpah, dengan letak geografisnya yang berdekatan dengan Eropa. Barat berusaha membuat negara ini lemah lewat perang saudara. Pada tahap berikutnya, negara itu akan jatuh dalam kendali Barat baik secara langsung atau tidak," tegas beliau.
Kondisi yang hampir sama terjadi di Yaman. Mengenai Bahrain, Ayatollah al-Udzma Khamenei mengatakan, "Rakyat Bahrain berada dalam ketertindasan penuh. Dengan mengungkit masalah kesyiahan warga Bahrain, Barat dan sekutu-sekutunya berusaha mengesankan bahwa apa yang terjadi di Negara itu aalah konflik sektarian. Memang, sepanjang sejarah rakyat Bahrain menganut faham Syiah. Akan tetapi masalah yang terjadi di Bahrain tidak ada kaitannya dengan isu Syiah dan Sunni. Yang terjadi di sana adalah kebangkitan rakyat yang tertindas yang menuntut hak-hak asasi mereka seperti hak suara dan peran dalam membentuk pemerintahan dan mengatur negara."
Beliau melanjutkan, "Para pejabat AS yang pembohong dan licik namun gemar mengklaim diri sebagai pembela hak asasi manusia dan demokrasi justeru bungkam seribu bahasa menyaksikan pembantaian warga Bahrain. Mereka memang mengakui masuknya tentara Arab Saudi ke Bahrain. Tapi semua orang mengetahui bahwa Arab Saudi tak mungkin bertindak tanpa persetujuan dari AS. Karena itu, dalam kasus Bahrain, AS juga bertanggung jawab."
Rahbar menyatakan bahwa gerakan rakyat di kawasan memiliki tiga kriteria utama yaitu keislaman, anti Amerika dan Zionisme, dan kerakyatan. Beliau menambahkan, kriteria-kriteria ini nampak jelas, terlebih pada revolusi rakyat Mesir.
Pemimpin Besar Revolusi Islam menegaskan, "Republik Islam Iran akan mengiringi setiap gerakan yang memiliki kriteria-kriteria ini. Akan tetapi jika menyaksikan provokasi Amerika dan orang-orang Zionis, kami tidak akan menyertai gerakan itu. Sebab kami yakin bahwa Setan Besar dan sekutu-sekutunya tak akan pernah berbuat untuk kebaikan bangsa-bangsa lain di dunia."
Lebih lanjut beliau menyeru bangsa-bangsa Muslim di kawasan Timur Tengah dan utara Afrika untuk pandai-pandai bersikap menghadapi makar dan gerak-gerik Barat. "Bantuan yang dikemas dengan bingkai persahabatan adalah salah satu modus AS untuk menguasai bangsa-bangsa lain. Bangsa-bangsa di kawasan khususnya rakyat Mesir yang memiliki warisan keislaman dan budaya yang bernilai harus waspada untuk mencegah musuh yang sudah mereka usir kembali masuk melalui celah yang terbuka," imbau beliau.
Ayatollah al-Udzma Khamenei memuji langkah rakyat Mesir dalam masalah Palestina, Gaza dan pintu perbatasan Rafah seraya menyebutnya sebagai langkah yang sangat bernilai. "Langkah-langkah seperti ini harus terus berlanjut, sehingga dengan bantuan Allah cita-cita revolusi Mesir bisa terwujud secara sempurna," kata beliau.
Beliau juga mengimbau semua pihak untuk mewaspadai upaya musuh menebar perpecahan di tengah umat.
Di bagian akhir pembicaraannya, Rahbar mengangkat isu Palestina dan mengatakan, "Palestina adalah negari yang satu dan tak terbagi. Negeri ini adalah milik umat Islam dan tak diragukan, Palestina akan kembali ke pangkuan Islam."
Beliau menandaskan, solusi yang ditawarkan AS dalam isu Palestina tidak membuahkan hasil. Sebab, solusi yang tepat adalah prakarsa yang telah diajukan Republik Islam Iran beberapa tahun lalu. Dengan prakarsa itu sistem pemerintahan apa yang bakal berdiri di Palestina ditentukan lewat mekanisme referendum yang diikuti oleh rakyat pemilik asli negeri ini.
Pemimpin Besar Revolusi Islam menambahkan, setelah berdirinya pemerintahan yang dikehendaki oleh rakyat Palestina di seluruh wilayah negeri itu, mereka pulalah yang mesti menentukan nasib orang-orang zionis yang datang dari berbagai negara ke negeri mereka. (khamenei.ir)
Islam di Spanyol dan Pengaruhnya Terhadap Reneisans di Eropa (1)
Ketika periode klasik Islam mulai memasuki masa kemunduran, Eropa mulai bangkit dari keterbelakangannya. Kebangkitan Eropa bukan saja terlihat dalam bidang politik dengan keberhasilan mereka mengalahkan kerajaan-kerajaan Islam dan bagian dunia lainnya, tetapi kemajuan mereka terutama dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Kemajuan dalam bidang inilah yang mendukung keberhasilan politiknya.
Dalam catatan sejarah Islam, kemajuan-kamajuan Eropa ini tidak dapat dipisahkan dari pemerintahan Islam di Spanyol. Dari Spanyol Islamlah, Eropa banyak menimba ilmu, karena pada periode klasik, ketika Islam mencapai masa keemasannya, Spanyol merupakan pusat peradaban Islam yang sangat penting, menyaingi Baghdad di Timur. Ketika itu, orang-orang Eropa Kristen banyak belajar di perguruan-perguruan tinggi Islam di Spanyol Islam. Islam menjadi “guru” bagi orang Eropa, karena itu kehadiran Islam di Spanyol banyak menarik perhatian para sejarawan [1].
Spanyol merupakan bagian dari wilayah kekuasaan daulat bani Umayyah di Damaskus dan setelah itu dikuasai oleh Abdurrahman ad Dakhil pada tahun 75 M, bersamaan dengan hancurnya daulat bani Umayyah di Damaskus. Kemudian pemerintah Islam di Spanyol menjadi pemerintahan yang berdiri sendiri di masa khalifah Abdurrahman III dan merupakan salah satu negara terbesar di masa itu, disamping daulat Abbasiyah di Timur, Bizantium dan kerajaan Charlemangne [Frank] di Barat [2]. Namun, pada masa pemerintahan berikutnya Spanyol mengalami kemunduran karena terjadi disintegrasi yang telah memporak-porandakan kesatuan dan persatuan Andalusia yang membawa kepada kehancuran Islam di Spanyol.
A. Masuknya Islam ke Spanyol
Spanyol diduduki umat Islam pada zaman Khalifah Al-Walid [105-715 M], salah seorang khalifah dari Bani Umayah yang berpusat di Damaskus. Sebelum penaklukan Spanyol, umat Islam telah menguasai Afrika Utara dan menjadikannya sebagai salah satu propinsi dari dinasti Bani Umayah. Penguasaan sepenuhnya atas Afrika Utara itu terjadi di zaman khalifah Abdul Malik [685-705 M]. Khalifah Abd al Malik mengangkat Hasan ibn Nu’man al-Ghassani menjadi gubernur di daerah itu. Pada masa Khalifah al-Walid, Hasan ibn Nu’man sudah digantikan oleh Musa ibn Nushair. Di zaman al-Walid itu, Musa ibn Nushair memperluas wilayah kekuasaannya dengan menduduki Aljazair dan Moroko. Selain itu, ia juga menyempurnakan kekuasaan ke daerah-daerah bekas kekuasaan bangsa barbar di pegunungan-pegunungan, sehingga mereka menyatakan setia dan berjanji tidak akan membuat kekacauan-kekacauan seperti yang pernah mereka lakukan sebelumnya.
Penaklukan atas wilayah Afrika Utara itu dari pertama kali dikalahkan sampai menjadi salah satu propinsi dari Khalifah Bani Umayah memakan waktu selama 53 tahun, yaitu mulai tahun 30 H [masa pemerintahan Muawiyah ibn Abi Sufyan] sampai tahun 83 H [masa al Walid] [3]. Sebelum dikalahkan dan kemudian dikuasai Islam, di kawasan ini terdapat kantung-kantung yang menjadi basis kekuasaan kerajaan Romawi, yaitu kerajaan Gothik. Kerajaan ini sering menghasut penduduk agar membuat kerusuhan dan menentang kekuasaan Islam. Setelah kawasan ini betul-betul dapat dikuasai, umat Islam mulai memusatkan perhatiannya untuk menaklukan Spanyol. Dengan demikian, Afrika Utara menjadi batu loncatan bagi kaum Muslimin dalam penaklukan wilayah Spanyol.
Dalam proses penaklukan Spanyol terdapat tiga pahlawan Islam yang dapat dikatakan paling berjasa memimpin satuan pasukan-pasukan kesana. Mereka adalah Tharif ibn Malik, Thariq ibn Ziyad, dan Musa ibn Nushair. Tharif dapat disebut sebagai perintis dan penyelidik. Ia menyebrangi selat yang berada di antara Morokko dan benua Eropa itu dengan pasukan perang, lima ratus orang di antaranya adalah tentara berkuda, mereka memiliki empat buah kapal yang disediakan oleh Julian [4]. Dalam penyerbuan itu Tharif tidak mendapat perlawanan yang berarti. Ia menang dan kembali ke Afrika Utara membawa harta rampasan yang tidak sedikit jumlahnya. Didorong oleh keberhasilan Tharif dan kemelut yang terjadi dalam tubuh kerajaan Visigothic yang berkuasa di Spanyol pada saat itu, serta dorongan yang besar untuk memperoleh harta rampasan perang, Musa ibn Nushair pada tahun 711 M mengirim pasukan Spanyol sebanyak 7000 orang di bawah pimpinan Thariq ibn Ziyad [5].
Thariq ibn Ziyad lebih banyak dikenal sebagai penakluk Spanyol karena pasukannya lebih besar dan hasilnya lebih nyata. Pasukannya terdiri dari sebagian besar suku Barbar yang didukung oleh Musa Ibn Nushair dan sebagian lagi orang Arab yang dikirim Khalifah al-Walid. Pasukan itu kemudian menyebrangi Selat di bawah pimpinan Thariq ibn Ziyad [6]. Sebuah gunung tempat pertama kali Tharig dan pasukannya mendarat dan menyiapkan pasukannya, dikenal dengan nama Gibraltar [Jabal Thariq]. Dengan dikuasainya daerah ini, maka terbukalah pintu secara luas untuk memasuki Spanyol.
Dalam pertempuran di suatu tempat yang bernama Bakkah, Raja Roderick dapat dikalahkan. Dari situ Thariq dan pasukannya terus menaklukan kota-kota penting, seperti Cordova, Granada, dan Toledo [ibu kota kerajaan Goth saat itu] [7]. Sebelum Thariq menaklukan kota Toledo, ia meminta tambahan pasukan kepada Musa ibn Nushair di Afrika Utara. Musa mengirimkan tambahan pasukan sebanyak 5000 personel, sehingga jumlah pasukan Thariq seluruhnya 12.000 orang. Jumlah ini belum sebanding dengan pasukan Gothik yang jauh lebih besar, 100.000 orang [8].
Kemenangan pertama yang dicapai oleh Thariq ibn Ziyad membuka jalan untuk penaklukan wilayah yang lebih luas lagi. Musa ibn Nushair merasa perlu melibatkan diri dalam gelanggang pertempuran dengan maksud membantu perjuangan Thariq. Dengan suatu pasukan yang besar, ia berangkat menyebrangi selat itu, dan satu persatu kota yang dilewatinya dapat ditaklukannya. Setelah Musa berhasil menaklukan Sidonia, Karmona, Seville, dan Merida serta mengalahkan penguasa kerajaan Gothic, Theodomir di Orihuela, ia bergabung dengan Thariq di toledo. Selanjutnya, keduanya berhasil menguasai seluruh kota penting di Spanyol, termasuk bagian utaranya, mulai dari Saragosa sampai Navarre [9].
Gelombang perluasan berikutnya muncul pada masa pemerintahan Khalifah Umar ibn Abdil Aziz tahun 99 H / 717 M. Kali ini sasaran ditujukan untuk menguasai daerah sekitar pegunungan Pyrenia dan Perancis Selatan. Pimpinan pasukan dipercayakan kepada Al-Samah, tetapi usahanya itu gagal dan ia sendiri terbunuh pada tahun 102 H.
Selanjutnya, pimpinan pasukan diserahkan kepada Abd al Rahman ibn Abdullah al-Ghafiqi. Dengan pasukannya, ia menyerang kota Bordesu, Poiter, dan dari sini ia mencoba menyerang kota Tours. Akan tetapi, di antara kota Poiter dan Tours itu ia ditahan oleh Charles Martel, sehingga penyerangan ke Perancis gagal dan tentara yang dipimpinnya mundur kembali ke Spanyol.
Sesudah itu, masih juga terdapat penyerangan-penyerangan, seperti ke Avirignon tahun 734 M, ke Lyon tahun 743 M dan pulau-pulau yang terdapat di Laut Tengah. Majorka, Corsia, Sardinia, Creta, Rhodes, Cyprus dan sebagian dari Silica juga jatuh ke tangan Islam di zaman Bani Umayah [10]. Gelombang kedua terbesar dari penyerbuan kaum Muslimin yang geraknya dimulai pada permulaan abad ke-8 m ini, telah menjangkau seluruh Spanyol dan melebar jauh menjangkau Perancis Tengah dan bagian-bagian penting dari Italia [11].
Kemenangan-kemenangan yang dicapai umat Islam nampak begitu mudah. Hal itu tidak dapat dipisahkan dari adanya faktor eksternal dan internal yang menguntungkan [12]. Yang dimaksud dengan faktor eksternal adalah suatu kondisi yang terdapat di dalam negeri Spanyol itu sendiri. Pada masa penaklukan Spanyol oleh orang-orang Islam, kondisi sosial, politik, dan ekonomi negeri ini berada dalam keadaan menyedihkan. Secara politik, wilayah Spanyol terkoyak-koyak dan terbagi-bagi kedalam beberapa negeri kecil. Bersamaan dengan itu penguasa Gothic bersikap tidak toleran terhadap aliran agama yang dianut oleh penguasa sendiri, yaitu aliran Monofisit, apalagi terhadap penganut agama lain, seperti Yahudi. Penganut agama Yahudi yang merupakan bagian terbesar dari penduduk Spanyol dipaksa dibaptis menurut agama kristen. Yang tidak bersedia disiksa, dan dibunuh secara brutal [13]. Rakyat dibagi-bagi kedalam sistem kelas, sehingga keadaannya diliputi oleh kemelaratan, ketertindasan, dan ketiadaan persamaan hak.
Dalam situasi seperti itu, kaum tertindas menanti kedatangan juru pembebas, dan juru pembebasnya mereka temukan dari orang Islam [14]. Berkenaan dengan itu Ameer Ali, seperti dikutip oleh Imamuddin mengatakan, ketika Afrika [Timur dan Barat] menikmati kenyamanan dalam segi material, kebersamaan, keadilan, dan kesejahteraan, tetangganya di jazirah Spanyol berada dalam keadaan menyedihkan di bawah kekuasaan tangan besi penguasa Visighotic. Di sisi lain, kerajaan berada dalam kemelut yang membawa akibat pada penderitaan masyarakat [15]. Akibat perlakuan keji, koloni-koloni Yahudi yang penting menjadi tempat-tempat perlawanan dan pemberontakan [16]. Perpecahan dalam negeri Spanyol ini banyak membantu keberhasilan campur tangan Islam di tahun 711 M. Perpecahan itu amat banyak coraknya, dan sudah ada jauh sebelum kerajaan Gothic berdiri [17].
Perpecahan politik memperburuk keadaan ekonomi masyarakat. Ketika Islam masuk ke Spanyol, ekonomi masyarakat lumpuh. Padahal, sewaktu Spanyol berada di bawah pemerintahan Romawi, berkat kesuburan tanahnya, pertanian maju pesat. Demikian juga pertambangan, industri dan perdagangan karena didukung oleh sarana transportasi yang baik. Akan tetapi, setelah Spanyol berada di bawah kekuasaan kerajaan Goth, perekonomian lumpuh dan kesejahteraan masyarakat menurun. Hektaran tanah dibiarkan terlantar tanpa digarap, beberapa pabrik ditutup, dan satu daerah dan daerah lain sulit dilalui akibat jalan-jalan tidak mendapat perawatan [18].
Buruknya kondisi sosial, ekonomi, dan keagamaan tersebut terutama disebabkan oleh keadaan politik yang kacau. Kondisi terburuk terjadi pada masa pemerintahan Raja Roderick, Raja Goth terakhir yang dikalahkan Islam [19]. Maka dapat dikatakan, bahwa kondisi ini merupakan awal kehancuran kerajaan Goth adalah ketika Raja Roderick memindahkan ibu kota negaranya dari Seville ke Toledo, sementara Witiza, yang saat itu menjadi penguasa atas wilayah Toledo, diberhentikan begitu saja.
Keadaan ini memancing amarah dari Oppas dan Achila, kakak dan anak Witiza. Keduanya kemudian bangkit menghimpun kekuatan untuk menjatuhkan Roderick. Mereka pergi ke Afrika Utara dan bergabung dengan kaum muslimin. Sementara itu terjadi pula konflik antara Roderick dengan Ratu Julian, mantan penguasa wilayah Septah. Julian juga bergabung dengan kaum Muslimin di Afrika Utara dan mendukung usaha umat Islam untuk menguasai Spanyol. Julian bahkan memberikan pinjaman empat buah kapal yang dipakai oleh Tharif, Tariqdan Musa. Hal menguntungkan tentara Islam lainnya adalah bahwa tentara Roderick byang terdiri dari para budak yang tertindas tidak lagi mempunyai semangat perang. Selain itu, orang Yahudi yang selama ini tertekan juga mengadakan persekutuan dan memberikan bantuan bagi perjuangan kaum Muslimin [20].
Adapun yang dimaksud dengan faktor internal adalah suatu kondisi yang terdapat dalam tubuh penguasa, tokoh-tokoh pejuang dan para prajurit islam yang terlibat dalam penaklukan wilayah Spanyol pada khususnya. Para pemimpin adalah tokoh-tokoh yang kuat, tentaranya kompak, bersatu dan penuh percaya diri [21].
Mereka pun cakap, berani, dan tabah dalam menghadapi setiap persoalan. Yang tak kalah pentingnya adalah ajaran Islam yang ditunjukkan para tentara Islam, yaitu toleransi, persaudaraan, dan tolong-menolong. Sikap toleransi agama dan persaudaraan yang terdapat dalam pribadi kaum muslimin itu menyebabkan penduduk Spanyol menyambut kehadiran Islam di sana [22].
B. Perkembangan Islam di Spanyol
Sejak pertama kali menginjakkan kaki di tanah Spanyol hingga jatuhnya kerajaan Islam terakhir disana, Islam memainkan peranan yang sangat besar. Masa itu berlangsung lebih dari tujuh setengah abad. Sejarah panjang yang dilalui umat Islam di Spanyol itu dapat dibagi menjadi enam periode, yaitu :
1. Periode Pertama [711-755 M]
Pada periode ini, Spanyol berada di bawah pemerintahan para wali yang diangkat oleh khalifah Bani Umayah yang berpusat di Damaskus. Pada periode ini stabilitas politik negeri Spanyol belum tercapai secara sempurna, gangguan-gangguan masih terjadi, baik datang dari dalam maupun dari luar. Gangguan dari dalam antara lain berupa perselisihan di antara elite penguasa, terutama akibat perbedaan etnis dan golongan. Di samping itu, terdapat perbedaan pandangan antara khalifah di Damaskus dan gubernur Afrika Utara yang berpusat di Kairawan.
Masing-masing mengaku bahwa merekalah yang paling berhak menguasai daerah Spanyol ini. Oleh karena itu, terjadi duapuluh kali pergantian wali [gubernur] Spanyol dalam jangka waktuyang amat singkat. Perbedaan pandangan politik itu menyebabkan seringnya terjadi perang saudara. Hal ini ada hubungannya dengan perbedaan etnis, terutama antara Barbar asal Afrika Utara dan Arab. Di dalam etnis Arab sendiri terdapat dua golongan yang terus menerus bersaing, yaitu suku Qaisy [Arab Utara] dan Arab Yamani [Arab Selatan]. Perbedaan etnis ini seringkali menimbulkan konflik politik, terutama ketika tidak ada figur yang tangguh. Itulah sebabnya di Spanyol pada saat itu tidak ada gubernur yang mampu mempertahankan kekuasaannya untuk jangka waktu yang agak lama [23]. Gangguan dari luar datang dari sisa-sisa musuh Islam di Spanyol yang bertempat tinggal di daerah-daerah pegunungan yang memang tidak pernah tunduk kepada pemerintahan Islam. Gerakan ini terus memperkuat diri. Setelah berjuang lebih dari 500 tahun, akhirnya mereka mampu mengusir Islam dari bumi Spanyol.
Karena seringnya terjadi konflik internal dan berperang menghadapi musuh luar, maka dalam periode ini Islam Spanyol belum memasuki kegiatan pembangunan di bidang peradaban dan kebudayaan. Periode ini berakhir dengan datangnya Abd al-Rahman Al- Dakhil ke Spanyol pada tahun 138 H / 755 M24. [24]
2. Periode Kedua [755-912 M]
Pada periode ini, Spanyol berada di bawah pemerintahan seorang yang bergelar amir [panglima atau gubernur] tetapi tidak tunduk kepada pusat pemerintahan Islam, yang ketika itu dipegang oleh khalifah Abbasiyah di Bagdad.
Amir pertama adalah Abdurrahman I yang memasuki Spanyol tahun 138 H / 755 M dan diberi gelar Al-Dakhil [Yang Masuk ke Spanyol]. Dia adalah keturunan Bani Umayah yang berhasil lolos dari kejaran Bani Abbas ketika berhasil menaklukan Bani Umayah di Damaskus. Selanjutnya, ia berhasil mendirikan dinasti Bani Umayah di Spanyol. Penguasa-penguasa Spanyol pada periode ini adalah Abd al-Rahman al Dakhil, Hisyam I, Hakam I, Abd al Rahman al-Ausath, Muhammad ibn Abd al-rahman, Munzir ibn Muhammad dan Abdullah ibn Muhammad.
Pada periode ini, umat Islam Spanyol mulai memperoleh kemajuan-kemajuan, baik dalam bidang politik maupun dalam bidang peradaban. Abd al-Rahman al-Dakhil mendirikan masjid Cordova dan sekolah-sekolah di kota-kota besar Spanyol. Hisyam dikenal berjasa dalam menegakkan hukum Islam, dan Hakam dikenal sebagai pembaharu dalam bidang kemiliteran. Dialah yang memprakarsai tentara bayaran di Spanyol. Sedangkan Abd al-Rahman al-Ausath dikenal sebagai penguasa yang cinta ilmu [25]. Pemikiran filsafat juga mulai masuk pada periode ini, terutama di zaman Abdurrahman al Aushat. Ia mengundang para ahli dari dunia Islam lainnya untuk datang ke Spanyol sehingga kegiatan ilmu pengetahuan di Spanyol mulai semarak.
Sekalipun demikian, berbagai ancaman dan kerusuhan terjadi. Pada pertengahan abad ke-9 stabilitas negara terganggu dengan munculnya gerakan Kristen fanatik yang mencari kesyahidan [Martyrdom] [26]. Gereja Kristen lainnya di seluruh Spanyol tidak menaruh simpati pada gerakan itu, karena pemerintah Islam mengembangkan kebebasan beragama. Penduduk Kristen diperbolehkan memiliki pengadilan sendiri berdasarkan hukum Kristen. Peribadatan tidak dihalangi. Lebih dari itu, mereka diizinkan mendirikan gereja baru, biara-biara di samping asrama rahib atau lainnya. Mereka juga tidak dihalangi bekerja sebagai pegawai pemerintahan atau menjadi karyawan pada instansi militer [27].
Gangguan politik yang paling serius pada periode ini datang dari umat Islam sendiri. Golongan pemberontak di Toledo pada tahun 852 M membentuk negara kota yang berlangsung selama 80 tahun. Di samping itu sejumlah orang yang tak puas membangkitkan revolusi. Yang terpenting di antaranya adalah pemberontakan yang dipimpin oleh Hafshun dan anaknya yang berpusat di pegunungan dekat Malaga. Sementara itu, perselisihan antara orang-orang Barbar dan orang-orang Arab masih sering terjadi [28].
3. Periode Ketiga [912-1013 M ]
Periode ini berlangsung mulai dari pemerintahan Abd al-Rahman III yang bergelar “An-Nasir” sampai munculnya “raja-raja kelompok” yang dikenal dengan sebutan Muluk al-Thawaif. Pada periode ini Spanyol diperintah oleh penguasa dengan gelar khalifah, penggunaan gelar khalifah tersebut bermula dari berita yang sampai kepada Abdurrahman III, bahwa Al-Muktadir, Khalifah daulat bani Abbas di Baghdad meninggal dunia dibunuh oleh pengawalnya sendiri. Menurut penilaiannya, keadaan ini menunjukkan bahwa suasana pemerintahan Abbasiyah sedang berada dalam kemelut. Ia berpendapat bahwa saat ini merupakan saat yang paling tepat untuk memakai gelar khalifah yang telah hilang dari kekuasaan Bani Umayyah selama 150 tahun lebih. Karena itulah, gelar ini dipakai mulai tahun 929 M. Khalifah-khalifah besar yang memerintah pada periode ini ada tiga orang, yaitu Abd al-Rahman al-Nasir [912-961 M], Hakam II [961-976 M] dan Hisyam II [976-1009 M]].
Pada periode ini, umat Islam Spanyol mencapai puncak kemajuan dan kejayaan daulat Abbasiyah di Baghdad. Abd al-Rahman al Nashir mendirikan universitas Cordova. Perpustakaannya memiliki koleksi ratusan ribu buku. Hakam II juga seorang kolektor buku dan pendiri perpustakaan. Pada masa ini, masyarakat dapat menikmati kesejahteraan dan kemakmuran. Pembangunan kota berlangsung cepat.
Awal dari kehancuran khalifah Bani Umayyah di Spanyol adalah ketika Hisyam naik tahta dalam usia sebelas tahun. Oleh karena itu, kekuasaan aktual berada ditangan para pejabat. Pada tahun 981 M, Khalifah menunjukkan ibn Abi’ Amir sebagai pemegang kekuasaan secara mutlak. Dia seorang ambisius yang berhasil menancapkan kekuasaannya dan melebarkan wilayah kekuasaan Islam dengan menyingkirkan rekan-rekan dan saingan-saingannya. Atas keberhasilan-keberhasilannya, ia mendapat gelar al-Manshur Billah. Ia wafat pada tahun 1002 M dan digantikan oleh anaknya al-Muzaffar yang masih dapat mempertahankan keunggulan kerajaan. Akan tetapi, setelah wafat pada tahun1008 M, ia digantikan oleh adiknya yang tidak memiliki kualitas bagi jabatan itu. Dalam beberapa tahun saja, negara yang tadinya makmur dilanda kekacauan dan akhirnya hancur total.
Pada tahun 1009 M khalifah mengundurkan diri. Beberapa orang yang dicoba untuk menduduki jabatan itu tidak ada yang sanggupmemperbaiki keadaan. Akhirnya pada tahun 1013 M, Dewan menteri yang memerintah Cordova menghapuskan jabatan khalifah. Ketika itu, Spanyol sudah terpecah dalam banyak sekali negara kecil yang berpusat di kota-kota tertentu [29].
4. Periode Keempat [1013-1086 M]
Pada periode ini, Spanyol terpecah menjadi lebih dari tiga puluh negara kecil di bawah pemerintahan raja-raja golongan atau Al-Mulukuth-Thawaif, yang berpusat di suatu kota seperti Seville, Cordova, Toledo, dan sebagainya. Yang terbesar di antaranya adalah Abbadiyah di Seville.
Pada periode ini umat Islam Spanyol kembali memasuki masa pertikaian intern. Ironisnya, kalau terjadi perang saudara, ada di antara pihak-pihak yang bertikai itu yang meminta bantuan kepada raja-raja kristen. Melihat kelemahan dan kekacauan yang menimpa keadaan politik Islam itu, untuk pertama kalinya orang-orang kristen pada periode ini mulai mengambil inisiatif penyerangan. Mekipun kehidupan politik tidak stabil, namun kehidupan intelektual terus berkembang pada periode ini. Istana-istana mendorong para sarjana dan sasterawan untuk mendapatkan perlindungan dari satu istana ke istana yang lain [30].
5. Periode Kelima [1086-1248 M]
Pada periode ini Spanyol Islam meskipun masih terpecah dalam beberapa negara, tetapi terdapat satu kekuatan yang didominasi, yaitu kekuasaan dinasti Murabithun [1086-1143 M] dan dinasti Muwahhidun [1146-1235 M]. Dinasti Murabithun pada mulanya adalah sebuah gerakan agama yang didirikan oleh Yusuf ibn Tasyfin di Afrika Utara. Pada tahun 1062 m ia berhasil mendirikan sebuah kerajaan yang berpusat di Marakesy. Ia masuk ke Spanyol atas undangan penguasa-penguasa Islam di sana yang tengah memikul beban berat perjuangan mempertahankan negeri-negerinya dari serangan-serangan orang-orang kristen. Ia dan tentaranya memasuki Spanyol pada tahun 1086 M dan berhasil mengalahkan pasukan Castilia. Karena perpecahan di kalangan raja-raja muslim, Yusuf melangkah lebih jauh untuk menguasai Apanyol dan ia berhasil untuk itu. Akan tetapi, penguasa-penguasa sesudah ibn Tasyfin adalah raja-raja yang lemah. Pada tahun 1143 M, kekuasaan dinasti ini berakhir, baik di Afrika Utara maupun di Spanyol dan digantikan oleh dinasti Muwahhidun.
Pada masa dinasti Murabithun, Saragossa jatuh ke tangan Kristen, tepatnya pada tahun 1118 M. Di Spanyol sendiri, sepeninggal dinasti ini, pada mulanya muncul kembali dinasti-dinasti kecil, tetapi hanya berlangsung tiga tahun. Pada tahun 1146 M penguasa dinasti Muwahhidun yang berpusat di Afrika Utara merebut daerah ini. Muwahhidun didirikan oleh Muhammad ibn Tumart [w 1128 M]. Dinasti ini datang ke Spanyol di bawah pimpinan Abd al-Mun’im, antara tahun 1114 dan 1154 M dan kota-kota muslim penting seperti Cordova, Almeria dan Granada jatuh di bawah kekuasaannya. Untuk jangka waktu beberapa dekade, dinasti ini mengalami banyak kemajuan, akan tetapi pada tahun 1212 M, tentara Kristen memperoleh kemenangan besar di Las Navas de Tolesa. Kekalahan-kekalahan yang dialami dinasti Muwahhidun menyebabkan penguasanya memilih untuk meninggalkan Spanyol dan kembali ke Afrika Utara pada tahun 1235 M. Kondisi Spanyol kembali semakin tidak menentu dan tidak terkendali, karana berada di bawah penguasa-penguasa kecil. Dalam kondisi demikian, umat Islam tidak mampu bertahan dari serangan-serangan Kristen yang semakin besar. Pada tahun 1238 M Cordova jatuh ke tangan penguasa Kristen dan Seville jatuh pada tahun 1248. Dengan demikian seluruh Spanyol lepas dari kekuasaan Islam, kecuali Granada [31].
6. Periode Keenam [1248-1492 M]
Pada periode ini, Islam hanya berkuasa di daerah Granada, di bawah dinasti Bani Ahmar [1232-1492]. Peradaban Islam kembali mengalami kemajuan seperti di zaman Abdurrahman An-Nasir. Akan tetapi, secara politik dinasti ini hanya berkuasa di wilayah yang kecil. Kekuasaan Islam yang merupakan pertahanan terakhir di Spanyol ini juga berakhir, karena perselisihan kalangan istana dalam perebutan kekuasaan. Abu Abdullah Muhammad, merasa tidak senang kepada ayahnya karena menunjuk anaknya yang lain sebagai penggantinya menjadi raja dan akhirnya Abu Abdullah Muhammad memberontak dan berusaha merampas kekuasaan. Dalam pemberontakan itu, ayahnya terbunuh dan digantikan oleh Muhammad ibn Sa’ad. Kemudian Abu Abdullah Muhammad meminta bantuan kepada Ferdenand dan Isabella untuk menjatuhkan saudaranya dan dua penguasa Kristen tersebut dapat mengalahkan penguasa yang sah dan Abu Abdullah Muhammad naik tahta dinobatkan sebagai khalifah [32].
Kerja sama Abu Abdullah Muhammad dengan dua penguasa Kristen tersebut, sebagai awal berakhirnya kekuasaan terakhir umat Islam di Cordova. Artinya, Ferdenand dan Isabella yang mempersatukan dua kerajaan besar Kristen melalui perkawinan itu tidak cukup merasa puas dengan hanya membantu Abu Abdullah Muhammad, tetapi keduanya ingin merebut kekuasaan terakhir umat Islam di Spanyol. Maka keduanya melakukan serangan besar-besaran dan Abu Abdullah Muhammad tidak mampu menahan serangan-serangan orang Kristen tersebut dan pada akhirnya Abu Abdullah Muhammad mengaku kalah. Abu Abdullah Muhammad menyerahkan kekuasaannya kepada Ferdenand dan Isabella dan kemudian hijrah ke Afrika Utara. Dengan demikian, berakhirlah kekuasaan Islam di Spanyol pada tahun 1492 M. Umat Islam setelah itu dihadapkan kepada dua pilihan, masuk Kristen atau pergi meninggalkan Spanyol. Maka pada tahun 1609 M, dapat dikatakan tiadak ada lagi umat Islam di daerah ini [33]. (mediabilhikmah)
______________________________________
[1] Badri Yatim, 1999, Sejarah Peradaban Islam, Dirasah Islamiyah II, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm. 87..
[2] Abd Al-Hamid al-‘Ibadi, 1964, al-Mujmal fi Tarikh al-Andalus, Dal al-Qalam, Mesir, hlm.100., dalam Aunur Rahim Faqih dan Munthoha, 1998, Pemikiran dan Peradaban Islam, UII Press, Yogyakarta, hlm. 71.
[3] A. Syalabi, 1983, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jilid 2, Cet. Pertama, Pustaka Alhusna, Jakarta, hlm.154.
[4] Ibid. hlm. 158.
[5] Philip K. Hatti, 1970, History of the Arabs, Macmillan Press, London, hlm. 493., dalam Badri Yatim, 1999, hlm. 89.
[6] Cal Brockelmann, 1980, History of the Islamic Peoples, Rotledge & Kegan Paul, London, hlm. 83., dalam Badri Yatim, 1999, hlm. 89
[7] A. Syalabi, 1983, hlm. 161.
[8] Badri Yatim, 1999, hlm. 89.
[9] Carl Brockelman, 1980, hlm.14, dalam Badri Yatim, 1999, hlm. 90.
[10] Harun Nasution, 1985, Islam ditinjau dari berbagai aspeknya, Jilid I, Cet. Kelima, UII Press, Jakarta, hlm. 62.
[11] Bertold Spuler, 1960, The Muslim World: A Historical Survey, E.J. Brill, Leiden, hlm. 100., dalam Badri Yatim, 1999, hlm. 91.
[12] Badri Yatim, 1999, hlm. 91.
[13] Thomas W. Arnold, 1983, Sejarah Da’wah Islam, Wijaya, Jakarta, hlm. 118.
[14] Syeh Mahmudunnasir, 1981, Islam Its Concept & History, Kitab Bhavan, New Delhi, hlm. 214., dalam Badri Yatim, 1999, hlm. 91.
[15] S.M. Imaduddin, 1981, Muslim Spain: 711-1492 A.D, E.J. Brill, Leiden, hlm. 9., dalam Badri Yatim, 1999, hlm. 91.
[16] Armand Abel, 1983, “Spanyol: Perpecahan dalam Negeri”, dalam Gustav E. von Grunebaum [Ed], Islam: Kesatuan dan Keragaman, Yayasan Perkhidmatan, Jakarta, hlm. 243.
[17] Ibid. hlm. 239.
[18] S.M. Imaduddin, op.cit, hlm. 13.
[19] Badri Yatim, 1999, op.cit, hlm. 92.
[20] A. Syalabi, op.cit, hlm. 158.
[21] Thomas W. Arnold, op.cit, hlm. 125.
[22] Ibid. hlm. 120.
[23] David Wassenstein, 1985, Politics and Society in Islamic Spain: 1002-1086, Prenceton University Press, New Jersey, hlm. 15-16., dalam Badri Yatim, 1999, hlm. 94.
[24] Badri Yatim, 1999, op.cit, hlm. 94.
[25] Ahmad Syalabi, 1979, Mausu’ah al-Tarikh al-Islami wa al-Hadharah al-Islamiyah, Jilid 4, Maktabah al-Nahdhah al-Maishriyah, Kairo, hlm. 41-50., dalam Badri Yatim, 1999, hlm. 95.
[26] Jurji Zaidan, [tt], Tarikh al-Tamaddun al-Islami, Juz III, Dar al-Hilal, Kairo, hlm. 200., dalam Badri Yatim, 1999, hlm. 95.
[27] Thomas W. Arnold, op.cit., hlm. 126.
[28] Bertold Spuler, op.cit., hlm. 106.
[29] W. Montgomery Watt, 1990, Kejayaan Islam: Kajian Kritis dari Tokoh Orientalis, Tiawa Wacana, Yogyakarta, hlm. 217-218, dan baca Badri Yatim, 1999, hlm. 96-97.
[30] Bertold Spuler, op.cit., hlm. 108, dan Badri Yatim, 1999, hlm. 98.
[31] Ahmad Syalabi, 1979, Mausu’ah al-Tarikh al-Islami wa al-Hadharah al-Islamiyah, Jilid 4, Maktabah al-Nahdhah al-Mishiriyah, hlm. 75, dan Baca Badri Yatim, 1999, hlm.99.
[32] Ahamd Syalabi, hlm. 75.
[33] Harun Nasution, 1985, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, UI Press, Jakarta, hlm. 82.
Islam di Spanyol dan Pengaruhnya Terhadap Reneisans di Eropa (2)
C. Kemajuan Peradaban
Islam di Spanyol lebih dari tujuh abad dan umat Islam telah mencapai kejayaannya di Spanyol. Banyak kemajuan dan prestasi yang diperoleh umat Islam di Spanyol, bahkan pengaruhnya membawa Eropa dan kemudian dunia, kepada kemajuan yang lebih kompleks. Islam di Spanyol telah menunjukkan kemajuan pada bidang ilmu pengetahuan, musik dan seni, bahasa dan sastra, dan kemajuan pada pembangunan fisik.
1. Kemajuan Intelektual
Masyarakat Spanyol Islam merupakan masyarakat majemuk yang terdiri dari komunitas-komunitas Arab [Utara dan Selatan], al-Muwalladun [orang-orang Spanyol yang masuk Islam], Barbar [umat Islam yang berasal dari Afrika Utara], al-Shaqalibah [penduduk daerah antara Konstanstinopel dan Bulgaria yang menjadi tawanan Jerman dan dijual kepada penguasa Islam untuk dijadikan tentara bayaran], Yahudi, Kristen Muzareb yang berbudaya Arab, dan Kristen yang masih menentang kehadiran Islam. Semua komunitas itu, kecuali yang terakhir, memberikan saham intelektual terhadap terbentuknya lingkungan budaya Andalus yang melahirkan kebangkitan ilmu pengetahuan, sastra dan pembangunan fisik di Spanyol[34]. Untuk itu, perlu mengkaji kemajuan yang dicapai umat Islam Spanyol, sebagai berikut :
a. Bidang Filsafat
Islam di Spanyol telah mencatat satu lembaran budaya yang sangat berilian dalam bentangan sejarah Islam. Umat Islam berperan sebagai jembatan penyeberangan yang dilalui ilmu pengetahuan Yunani-Arab ke Eropa pada abad ke-12. Minat terhadap filsafat dan ilmu pengetahuan mulai dikembangkan pada abad ke-9 M selama pemerintahan dinasti Bani Umayyah yang ke-5 Muhammad ibn Abd al-Rahman [832-886 M][35].
Atas inisiatif al-Hakam [961-976 M], karya-karya ilmiah dan filosofis diimpor dari Timur dalam jumlah besar, sehingga Cordova dengan perpustakaan dan universitas-universitasnya mampu menyaingi Baghdad sebagai pusat utama ilmu pengetahuan di dunia Islam. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa apa yang dilakukan oleh para pemimpin bani Umayyah di Spanyol ini merupakan persiapan untuk melahirkan filosof-filosof besar pada masa-masa sesudahnya.
Pada perkembangan selanjutnya, lahirlah tokoh utama pertama dalam sejarah filsafat Arab-Spanyol adalah Abu Bakr Muhammad ibn al-Sayigh yang lebih dikenal dengan ibn Bajjah. Abu Bakr Muhammad ibn al-Sayig, dilahirkan di Saragosa, kemudian ia pindah ke Sevilla dan Granada dan meninggal karena keracunan di Fez pada tahun 1138 M dalam usia yang masih muda. Seperti al-Farabi dan ibn Sina di Timur, masalah yang dikemukakannya bersifat etis dan eskatologis dengan magnum opusnya adalah Tadbir al-Mutawahhid. Tokoh utama kedua adalah Abd Bakr ibn Thufail, penduduk asli Wadi Asy, sebuah dusun kecil di sebelah timur Granada dan wafat pada usia lanjut pada tahun 1185 M. ibn Thufail, banyak menulis masalah kedokteran, astronomi dan filsafat, serta karya filsafatnya yang sangat terkenal adalah Hay ibn Yaqzhan.
Pada bagian akhir abad ke-12 M, menjadi saksi munculnya seorang pengikut Aristoteles yang terbesar di gelanggang filsafat dalam Islam, yaitu Ibn Rusyd dari Cordova. Ibn Rusyd, lahir pada tahun 1126 M dan meninggal pada tahun 1198 M. Ciri khasnya adalah kecermatan dalam menggeluti masalah-masalah menahun tentang keserasian filsafat dan agama. Ibn Rusyd, juga ahli fiqh dengan karyanya Bidayah al-Mujtahid.
b. Bidang Sains
Ilmu-ilmu kedokteran, musik, matematika, astronomi, kimia dan lain-lain juga berkembang dengan baik. Abbas ibn Farnas, termasyhur dalam ilmu kimia dan astronomi. Abbas ibn Farnas, adalah orang pertama yang menemukan pembuatan kaca dari batu[36]. Ibrahim ibn Yahya al-Naqqash, terkenal dalam ilmu astronomi. Ia dapat menentukan waktu terjadinya gerhana matahari dan menentukan berapa lamanya. al-Naqqash, juga berhasil membuat teropong modern yang dapat menentukan jarak antara tata surya dan bintang-bintang. Ahmad ibn Ibas dari Cordova adalah ahli dalam bidang obat-obatan. Umm al-Hisan bint Abi Ja’far dan saudara perempuannya al-Hafidz adalah dua orang ahli kedokteran dari kalangan wanita.
Dalam bidang sejarah dan geografi, wilayah Islam bagian barat melahirkan banyak pemikir terkenal. Ibn Jubair dari Valencia [1145-1228 M] menulis tentang negeri-negeri muslim Mediterania dan Sicilia dan Ibn Batuthah dari Tangier [1304-1377 M] mencapai Samudera Pasai dan Cina. Ibn al-Khatib [1317-1374 M] menyusun riwayat Granada, sedangkan Ibn Khaldun dari Tunis adalah perumus filsafat sejarah. Semua sejarawan di atas bertempat tinggal di Spanyol, yang kemudia pindah ke Afrika[37]. Itulah sebagai nama-nama besar dalam bidang sains yang terkenal pada masanya di Islam Spanyol.
c. Bidang Fikih
Dalam bindang fikir, Spanyol Islam dikenal sebagai penganut mazhab Maliki. Orang yang membawa dan memperkenalkan mazhab ini di Spanyol adalah Ziyad ibn Abd al-Rahman. Kemudian perkembangan selanjutnya ditentukan oleh Ibn Yahya yang menjadi qadhi pada masa Hisyam ibn Abd al-Rahman. Ahli-ahli fikih lainnya di antaranya adalah Abu Bakar ibn al-Quthiyah, Munzir ibn Sa’id al-Baluthi dan Ibn Hazm yang terkenal.
d. Bidang Musik dan Kesenian
Dalam bidang musik dan seni suara, Spanyol Islam mencapai kecemerlangan dengan tokohnya al-Hasan ibn Nafi yang dijuluki Zaryab. Setiap kali diselenggarakan pertemuan dan jamuan, Zaryab selalu tampil mempertunjukkan kebolehannya. Ia juga terkenal sebagai penggubah lagu. Ilmu yang dimilikinya itu turunkan kepa anak-anaknya baik pria maupun wanita, dan juga kepada budak-budak, sehingga kemasyhurannya tersebar luas[38].
e. Bidang Bahasa dan Sastra
Bahasa Arab telah menjadi bahasa administrasi dalam pemerintahan Islam di Spanyol. Hal itu dapat diterima oleh orang-orang Islam dan non-Islam. Bahkan, penduduk asli Spanyol menomorduakan bahasa asli mereka. Mereka juga banyak ahli dan mahir dalam bahasa Arab, baik keterampilan berbicara maupun tata bahasa. Mereka itu antara lain: Ibn Sayyidih, Ibn Malik pengarang Alfiyah, Ibn Khuruf, Ibn al-Hajj, Abu Ali al-Isybili, Abu al-Hasan ibn Usfur, dan Abu Hayyan al-Gharnathi.
Seiring dengan kemajuan bahasa itu, karya-karya sastra banyak bermunculan, seperti Al-‘Iqd al-Farid karya Ibn Abd Rabbih, al-Dzakhirah fi Mahasin Ahl al-Jazirah oleh Ibn Bassam, Kitab al-Qalaid karya al-Fath ibn Khaqan, dan banyak lagi karya-karya yang lain[39].
2. Kemegahan Pembangunan Fisik
Aspek-aspek pembangunan fisik yang mendapat perhatian umat Islam sengat banyak. Dalam perdagangan, jalan-jalan dan pasar-pasar dibangun. Bidang pertanian demikian juga sistem Irigasi baru diperkenalkan kepada masyarakat Spanyol yang tidak mengenal sebelumnya. Dam-dam, kanal-kanal, saluran sekunder, tersier, dan jembatan-jembatan air didirikan. Tampat-tempat yang tinggi, dengan begitu, juga mendapat jatah air.
Orang-orang Arab memperkenalkan pengaturan hidrolik untuk tujuan irigasi. Kalau dam digunakan untuk mengecek curah air, waduk [kolam] dibuat untuk konservasi [penyimpanan air]. Pengaturan hydrolik itu dibangun dengan memperkenalkan roda air [water wheel] asal Persia yang dinamakan na’urah [Spanyol: Noria]. Disamping itu, orang-orang Islam juga memperkenalkan pertanian padi, perkebunan jeruk, kebun-kebun dan tanaman-tanaman[40].
Industri, disamping pertanian dan perdagangan, juga merupakan tulang punggung ekonomi Spanyol Islam. Di antaranya adalah tekstil, kayu, kulit, logam, dan industri barang-barang tembikar[41]. Namun demikian, pembangunan-pembangunan fisik yang paling menonjol adalah gedung-gedung, seperti pembangunan kota, istana, mesjid, pemukiman, dan taman-taman. Di antara pembangunan yang megah adalah mesjid Cordova, kota al-Zahra, Istana Ja’fariyah di Saragosa, tembok Toledo, Istana al-Makmun, mesjid Seville, dan istana al-Hamra di Granada.
a. Cordova
Cordova adalah ibukota Spanyol sebelum Islam, yang kemudian diambil alih oleh Bani Umayyah. Oleh penguasa muslim, kota ini dibangun dan diperindah. Jembatan besar dibangun untuk menghiasi ibukota spanyol Islam itu. Pohon-pohon dan bunga-bunga diimpor dari Timur. Di seputar ibukota berdiri istana-istana yang megah yang semakin mempercantik pemandangan, setiap istana dan taman diberi nama tersendiri dan di puncaknya terpancang istana Damsik.
Diantara kebanggaan kota Cordova lainnya adalah mesjid Cordova. Menurut ibn al-Dala’i, terdapat 491 mesjid di sana. Di samping itu, ciri khusus kota-kota Islam adalah adanya tempat-tempat pemandian. Di Cordova saja terdapat 900 pemandian. Di sekitarnya berdiri perkampungan–perkampungan yang indah. Karena air sungai tak dapat diminum, penguasa muslim mendirikan saluran air dari pegunungan yang panjangnya 80 km.
b. Granada
Granada adalah tempat pertahanan terakhir ummat Islam di Spanyol. Disana berkumpul sisa-sisa kekuatan Arab dan pemikir Islam. Posisi Cordova diambil alih oleh Granada di masa-masa akhir kekuasaan Islam di Spanyol. Arsitektur-arsitektur bangunannya terkenal di seluruh Eropa. Istana al-Hamra yang indah dan megah adalah pusat dan puncak ketinggian arsitektur Spanyol Islam. Istana itu dikelilingi taman-taman yang tidak kalah indahnya.
Kisah tentang kemajuan pembangunan fisik ini masih bisa diperpanjang dengan kota dan istana al-Zahra, istana al-Gazar, menara Girilda dan lain-lain[42].
3. Faktor-faktor Pendukung Kemajuan
Spanyol Islam, kemajuannya sangat ditentukan oleh adanya penguasa-penguasa yang kuat dan berwibawa, yang mampu mempersatukan kekuatan-kekuatan umat Islam, seperti Abd al-Rahman al-Dakhil, Abd al-Rahman al-Wasith dan Abd al-Rahman al-Nashir.
Keberhasilan politik pemimpin-pemimpin tersebut ditunjang oleh kebijaksanaan penguasa-penguasa lainnya yang mempelopori kegiatan-kegiatan ilmiah yang terpenting diantara penguasa dinasti Umayyah di Spanyol dalam hal ini adalah Muhammad Ibn Abd al-Rahman [852-886] dan al-Hakam II al-Muntashir [961-976].
Toleransi beragama ditegakkan oleh para penguasa terhadap penganut agama Kristen dan Yahudi, sehingga mereka ikut berpartisispasi mewujudkan peradaban Arab Islam di Spanyol. Untuk orang Kristen, sebagaimana juga orang-orang Yahudi, disediakan hakim khusus yang menangani masalah sesuai dengan ajaran agama mereka masing-masing[43].
Masyarakat Spanyol Islam merupakan masyarakat majemuk, terdiri dari berbagai komunitas, baik agama maupun bangsa. Dengan ditegakkannya toleransi beragama, komunitas-komunitas itu dapat bekerjasama dan menyumbangkan kelebihannya masing-masing. Meskipun ada persaingan yang sengit antara Abbasiyah di Baghdad dan Umayyah di Spanyol, hubungan budaya dari Timur dan Barat tidak selalu berupa peperangan. Sejak abad ke-11 M dan seterusnya, banyak sarjana mengadakan perjalanan dari ujung barat wilayah Islam ke ujung timur, sambil membawa buku-buku dan gagasan-gagasan. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun umat Islam terpecah dalam beberapa kesatuan politik, terdapat apa yang disebut kesatuan budaya dunia Islam[44].
Perpecahan politik pada masa Muluk al-Thawa’if dan sesudahnya tidak menyebabkan mundurnya peradaban. Masa itu, bahkan merupakan puncak kemajuan ilmu pengetahuan, kesenian, dan kebudayaan Spanyol Islam. Setiap dinasti [raja] di Malaga, Toledo, Sevilla, Granada, dan lain-lain berusaha menyaingi Cordova. Kalau sebelumnya Cordova merupakan satu-satunya pusat ilmu dan peradaban Islam di Spanyol, Muluk al Thawa’if berhasil mendirikan pusat-pusat peradaban baru yang diantaranya justru lebih maju[45].
D. Penyebab Kemunduran dan Kehancuran
Islam di Spanyol, menjadi pemerintahan yang berdiri sendiri di masa khalifah Abdurrahman III dan merupakan salah satu negara terbesar di masa itu, disamping daulat Abbasiyah di Timur, Bizantium dan kerajaan Charlemangne [Frank] di Barat. Tetapi pada masa pemerintahan berikutnya Spanyol mengalami kemunduran karena terjadi disintegrasi yang telah memporak-porandakan kesatuan dan persatuan Andalusia yang membawa kepada kehancuran Islam di Spanyol. Adapun faktor yang menyebabkan kemunduran Islam di Spanyol antara lain :
1. Konflik Islam dengan Kristen
Para penguasa muslim tidak melakukan islamisasi secara sempurna. Mereka sudah merasa puas dengan hanya menagih upeti dari kerajaan-kerajaan Kristen taklukannya dan membiarkan mereka mempertahankan hukum dan adat mereka, termasuk posisi hirarki tradisional, asal tidak ada perlawanan bersenjata.[46] Namun demikian, kehadiran Arab Islam telah memperkuat rasa kebangsaan orang-orang Spanyol Kristen. Hal itu menyebabkan kehidupan negara Islam di Spanyol tidak pernah berhenti dari pertentangan antara Islam dan Kristen. Pada abad ke-11 M umat Kristen memperoleh kemajuan pesat, sementara umat Islam sedang mengalami kemunduran.
2. Tidak Adanya Ideologi Pemersatu
Kalau di tempat-tempat lain para muallaf diperlakukan sebagai orang Islam yang sederajat, di Spanyol, sebagaimana politik yang dijalankan Bani Umayyah di Damaskus, orang-orang Arab tidak pernah menerima orang-orang pribumi. Setidak-tidaknya sampai abad ke-10 M, mereka masih memberi istilah ‘ibad dan muwalladun kepada para muallaf itu, suatu ungkapan yang dinilai merendahkan. Akibatnya, kelompok-kelompok etnis non Arab yang ada sering menggerogoti dan merusak perdamaian. Hal itu mendatangkan dampak besar terhadap sejarah sosio-ekonomi negeri tersebut. Hal ini menunjukkan tidak adanya ideologi yang dapat memberi makna persatuan, disamping kurangnya figur yang dapat menjadi personifikasi ideologi itu.
3. Kesulitan Ekonomi
Di paruh kedua masa Islam di Spanyol, para penguasa membangun kota dan mengembangkan ilmu pengetahuan dengan sangat “serius”, sehingga lalai membina perekonomian[47]. Akibatnya timbul kesulitan ekonomi yang amat memberatkan dan mempengaruhi kondisi politik dan militer.
4. Tidak Jelasnya Sistem Peralihan Kekuasaan
Hal ini menyebabkan perebutan kekuasaan di antara ahli waris. Bahkan, karena inilah kekuasaan Bani Umayyah runtuh dan Muluk al-Thawaif muncul. Granada yang merupakan pusat kekuasaan Islam terakhir di Spanyol jatuh ke tangan Ferdinand dan Isabella, diantaranya juga disebabkan permasalahan ini.
5. Keterpencilan
Spanyol Islam bagaikan terpencil dari dunia Islam yang lain. Pemerintahan Spanyol jauh dari daerah Islam lain mengakibatkan jauhnya dukungan dari daerah lain kecuali dari Afrika Utara yang dibatasi oleh laut, sementara daerah sekitarnya adalah daerah yang dikuasai kaum Nasrani yang salalu iri dan merasa direndahkan oleh etnis Arab. Maka Islam Spanyol, selalu berjuang sendirian, tanpa mendapat bantuan kecuali dari Afrika Utara. Dengan demikian, tidak ada kekuatan alternatif yang mampu membendung kebangkitan Kristen di sana[48].
E. Pengaruh Peradaban Spanyol Islam di Eropa
Kemajuan Eropa yang terus berkembang hingga saat ini banyak berhutang budi kepada khazanah ilmu pengetahuan Islam yang berkembang di periode klasik. Memang banyak saluran bagaimana peradaban Islam mempengaruhi Eropa, seperti Sicilia dan Perang Salib, tetapi saluran yang terpenting adalah Spanyol Islam.
Spanyol merupakan tempat yang paling utama bagi Eropa menyerap peradaban Islam, baik dalam bentuk hubungan politik, sosial, maupun perekonomian dan peradaban antarnegara. Orang-orang Eropa menyaksikan kenyataan bahwa Spanyol berada dibawah kekuasaan Islam jauh meninggalkan negara-negara tetangganya Eropa, terutama dalam bidang pemikiran dan sains di samping bangunan fisik[49]. Yang terpenting diantaranya adalah pemikiran Ibn Rusyd [1120-1198 M]. Ibn Rusyd, melepaskan belenggu taklid dan menganjurkan kebebasan berpikir. Ia mengulas pemikiran Aritoteles dengan cara yang memikat minat semua orang yang berpikiran bebas. Ia mengedepankan sunnatullah menurut pengertian Islam terhadap pantheisme dan anthropomorphisme Kristen. Demikian besar pengaruhnya di Eropa, hingga di Eropa timbul gerakan Averroeisme [Ibn Rusyd-isme] yang menuntut kebebasan berpikir. Pihak gereja menolak pemikiran rasional yang dibawa gerakan Averroeisme ini.
Berawal dari gerakan Averroeisme inilah Eropa kemudian lahir reformasi pada abad ke-16 M dan rasionalisme pada abad ke-17 M.[50] Buku-buku Ibn Rusyd di cetak di Venesia tahun 1481, 1482, 1483, 1489, dan 1500 M. Bahkan edisi lengkapnya terbit pada tahun 1553 dan 1557 M. Karya-karyanya juga diterbitkan pada abad ke-16 M di Napoli, Bologna, Lyonms, dan Strasbourg, dan di awal abad ke 17 di Jenewa.
Pengaruh peradaban Islam, termasuk di dalamnya pemikiran Ibn Rusyd, ke Eropa berawal dari banyaknya pemuda-pemuda Kristen Eropa yang belajar di universitas-universitas Islam di Spanyol, seperti universitas Cordova, Seville, Malaga, Granada, dan Salamanca. Selama belajar di Spanyol, mereka aktif menerjemahkan buku-buku karya ilmuwan-ilmuwan muslim. Pusat penerjemahan itu adalah Toledo. Setelah pulang ke negerinya, mereka mendirikan sekolah dan universitas yang sama. Universitas pertama di Eropa adalah Universitas Paris yang didirikan pada tahun 1231 M, tiga puluh tahun setelah wafatnya Ibn Rusyd. Di akhir zaman pertengahan Eropa, baru berdiri 18 buah universitas. Di dalam universitas-universitas itu, ilmu yang mereka peroleh dari universitas-universitas Islam diajarkan, seperti ilmu kedokteran, ilmu pasti, ilmu filsafat. Pemikiran filsafat yang paling banyak dipelajari adalah pemikiran al-Farabi, Ibn Sina dan Ibn Rusyd[51].
Pengaruh ilmu pengetahuan Islam atas Eropa yang sudah berlangsung sejak abad ke-12 M. itu menimbulkan gerakan bangkitan kembali [renaissance] pusaka Yunani di Eropa pada abad ke-14 M. Berkembangnya pemikiran Yunani di Eropa kali ini adalah melalui terjemahan-terjemahan Arab yang dipelajari dan kemudian diterjemahkan kembali kedalam bahasa Latin[52].
Walaupun Islam akhirnya terusir dari negeri Spanyol dengan cara yang sangat kejam, tetapi ia telah membina gerakan-gerakan penting di Eropa. Gerakan-gerakan itu adalah: kebangkitan kembali kebudayaan Yunani klasik [renaissance] pada abad ke-14 M yang bermula di Italia, gerakan reformasi pada abad ke-16 M, rasionalisme pada abad ke-17M, dan pencerahan [aufklaerung] pada abad ke-18 M[53]. (mediabilhikmah)
___________________________________________
[34] Luthfi Abd al-Badi, 1969, al-Islam fi Isbaniya, Maktabah al-Nahdhah al-Mishriyah, Kairo, hlm. 38., dalam Badri Yatim, 1999, hlm. 101.
[35] Majid Fakhri, 1986, Sejarah Filsafat Islam, Pustaka Jaya, Jakarta, hlm. 357.
[36] Ahmad Syalabi, op.cit., hlm. 86.
[37] Bertold Spuler, op.cit., hlm. 112.
[38] Ahmad Syalabi, op.cit., hlm. 88., dan baca : Bardi Yatim, 1999, hlm.103.
[39] Badri Yatim, 1999, op.cit., hlm. 103.
[40] Bertold Spuler, op, cit., Hlm. 103
[41] S. M. Imamuddin, op, Cit., Hlm. 79
[42] Baca: Badri Yatim, 1999, hlm.103-105.
[43] Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh al-Islam al-Sitasi wa al-Dini wa al-Tsaqafi wa al-Ijtima’i, [Kairo: Maktabah al-Nahdhah al-Mishriyah, Tanpa Tahun], hlm 428, dalam Bardi Yatim, 1999, hlm.106.
[44] Majid Fakhri. Op. Cit., hlm 356
[45] Luthfi Abd al-Badi’, op., cit. Hlm. 10
[46] Armand Abel, op, cit., hlm. 246
[47] Ibid., hlm. 251
[48] Badri Yatim, 1999, hlm. 108.
[49] Philip K. Hitti, op, cit., hlm. 526-530
[50] S. I. Poeradisastra, Sumbangan Islam kepada Ilmu dan Peradaban Modern, [Jakarta: P3M, 1986, cetakan kedua], hlm. 67
[51] Zainal Abidin Ahmad, 1975, Riwayat Hidup Ibn Rusyd, Bulan Bintang, Jakarta; hlm. 148-149
[52] K. Bertenes, Ringkasan Sejarah Filsafat, [Yogyakarta: Kanisius, 1986, Cetakan kelima], h. 32. Tentang sejarah renassence dan reformasi baca J. B. Bury, Sedjarah Kemerdekaan Berfikir, [Djakarta: P.T Pembangunan, 1963], hlm. 63-82.
[53] S. I. Poeradisastra, op, cit., hlm. 77. Baca : Badri Yatim, 1999, hlm. 87-110.
Karakter Bangsa Yang Unggul Menurut Al-Qur’an
Berbicara menyangkut wawasan Al-Qur’an tentang “Karakter Bangsa Yang Unggul” terlebih dahulu perlu digarisbawahi dua hal. Pertama, di dalam Al-Qur’an tidak ditemukan uraian bahkan kata menyangkut bangsa, karena kata bangsa dalam pengertian modern, belum dikenal pada masa turunnya Al-Qur’an. Faham kebangsaan baru popular di Eropa pada abad XVIII dan baru dikenal oleh umat Islam setelah kehadiran Napoleon ke Mesir tahun 1798 M.
Ketika itu Napoleon bermaksud menyingkirkan kekuasaan Mamâlîk dan untuk itu ia mengatakan bahwa Mamâlîk adalah orang-orang Turki yang berbeda asal keturunannya dengan orang-orang Mesir. Di sana dan ketika itulah dipopulerkan istilah Al-Ummah Al-Mashriah, bangsa Mesir.
Kedua, kendati uraian tentang kebangsaan tidak ditemukan dalam Al-Qur’an, namun itu bukan berarti Al-Qur’an menentang faham kebangsaan, karena betapapun berbeda-beda pendapat para pakar tentang unsur-unsur yang harus terpenuhi untuk lahirnya satu bangsa, namun tidak ada satu unsurpun yang disebut-sebut sebagai unsur kebangsaan, yang dimungkiri atau bertentangan dengan tuntunan Al-Qur’an.
Pilihan kata أمّة (ummat, dalam bahasa Indonesia umat) untuk menunjuk bangsa –-seperti dikemukakan di atas– tidaklah meleset, karena kata itu menurut Ar-râgib Al-Asfahany (508 H/1108 M) digunakan menunjuk semua kelompok yang dihimpun oleh sesuatu, seperti agama yang sama, waktu atau tempat yang sama, baik penghimpunannya secara terpaksa, maupun atas kehendak mereka. Dan seperti diketahui untuk lahirnya satu bangsa diperlukan adanya sekian banyak kesamaan yang terhimpun pada satu kelompok manusia, misalnya kesamaan cita-cita, sejarah, wilayah, dan boleh jadi juga bahasa, asal usul dan lain-lain.
Kata umat dalam arti bangsa juga menjadi pilihan Ensiklopedia Filsafat yang ditulis oleh sejumlah Akademisi Rusia dan yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Arab oleh Samir Karam, Beirut, 1974 M.
Ali Syariâti dalam bukunya Al-Ummah Wa Al-Imamah menguraikan secara panjang lebar perbedaan beberapa istilah yang digunakan untuk menunjuk himpunan manusia, seperti nation, qabîlah, sya’b, qaum, dan lain-lain dan pada akhirnya ia menilai bahwa kata ummat lebih istimewa dan lebih tepat dibandingkan dengan kata -kata tersebut. Pakar ini mendefinisikan kata umat sebagai “himpunan manusiawi yang seluruh anggotanya menuju satu arah yang sama, bahu membahu guna bergerak secara dinamis menuju tujuan yang mereka harapkan, di bawah kepemimpinan bersama”.
Atas dasar uraian di atas kita dapat berupaya menggali pandangan Al-Qur’an tentang karakter bangsa yang unggul bertitik tolak dari kata أمّة (ummat). Tentu saja kita juga dapat meraba persoalan tersebut melalui ayat-ayat yang berbicara dalam konteks tuntunan Allah kepada kaum mukminin, atau kepada keluarga bahkan kepada individu-individu muslim –karena benih lahirnya satu bangsa atau sel intinya adalah mereka, namun titik berat uraian ini akan mengarah pada ayat-ayat yang berbicara tentang umat.
Ummat dan Ciri-cirinya
Kata امة ummat terambil dari kata أمّ amma, يؤمّ yaummu yang berarti menuju, menumpu dan meneladani. Dari akar kata yang sama lahir antara lain kata ام um yang berarti ibu dan إمام imâm yakni pemimpin, karena keduanya menjadi teladan, tumpuan pandangan dan harapan.
Dalam Al-Qur’an kata ummat ditemukan terulang dalam bentuk tunggal sebanyak lima puluh dua kali, dan dalam bentuk jamak sebanyak dua belas kali. Ad-Dâmighâny yang hidup pada abad XI H. menyebut sembilan arti untuk kata ummat, yaitu, 1) ‘Ushbah/kelompok, 2) (Millat/ cara dan gaya hidup, 3) tahun-tahun yang panjang (waktu yang panjang), 4) kaum, 5) pemimpin, 6) generasi lalu, 7) ummat Nabi Muhammad saw (umat Islam), 8) orang-orang kafir secara khusus, dan 9) Makhluk (yang dihimpun oleh adanya persamaan antar mereka).
Kita bisa berbeda pendapat tentang makna-makna di atas, namun yang jelas adalah Q.S. Yusuf [12]: 45 menggunakan kata ummat untuk arti waktu, dan Q.S. Az-Zuhruf [43]: 22 dalam arti jalan, atau gaya dan cara hidup. Sedang Q.S. Al-Baqarah [2]: 213, hemat penulis, menggunakannya dalam arti kelompok manusia dalam kedudukan mereka sebagai makhluk sosial. Selanjutnya gabungan dari firman-Nya yang menamai Nabi Ibrahim sebagai ummat (Q.S. An-Nahl [16] 120) sama makna dan kandungannya dengan kata imâm yakni pemimpin sebagai ditegaskan oleh Q.S. Al-Baqarah [2]: 124. Benang merah yang menggabungkan makna-makna di atas adalah “himpunan”.
Dari sini kita dapat berkata, pada kata أمّة ummat terselip makna-makna yang cukup dalam. Ia mengandung arti gerak dinamis, arah, karena tidak ada arti satu jalan kalau tidak ada arah yang dituju dan jalan yang dilalui, dan tentu saja perjalanan guna mencapai kejayaan umat memerlukan waktu yang tidak singkat sebagaimana diisyaratkan oleh salah satu makna umat serta pemimpin baik seorang atau sekelompok orang yang memiliki sifat-sifat terpuji dan dengan gaya kepemimpinan serta cara hidup sesuai dengan nilai-nilai yang dianut oleh anggota masyarakat bangsa itu. Yang paling wajar dari seluruh umat manusia dinamai umat adalah umat Nabi Muhammad saw yang memang telah disiapkan Allah untuk menjadi Khaira Ummat (Q.S. Ali ‘Imran [3]: 110).
Kata ummat, dengan kelenturan, keluesan dan aneka makna di atas memberi isyarat bahwa Al-Qur’an dapat menampung perbedaan kelompok-kelompok umat, betapapun kecil jumlah mereka, selama perbedaan itu tidak mengakibakan perbedaan arah, atau dengan kata lain selama mereka Berbhinneka Tunggal Ika. Hakikat ini diisyaratkan antara lain oleh Firman-Nya :
ولا تكونوا كالذين تفرقوا واختلفوا من بعد ما جاءهم البينات وأولئك لهم عذاب عظيم
Dan janganlah kamu menjadi serupa dengan orang-orang yang berkelompok-kelompok dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat.
Firman-Nya sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka, dipahami oleh banyak ulama berkaitan dengan kata berselisih bukan dengan kata berkelompok, dan ini berarti bahwa perselisihan itu berkaitan dengan prinsip-prinsip ajaran agama. Adapun yang dimaksud dengan berkelompok-kelompok, maka ia dapat dipahami dalam arti perbedaan dalam badan dan organisasi. Memang perbedaan dalam badan dan organisasi dapat menimbulkan perselesihan walaupun tidak mutlak dari lahirnya aneka organisasi lahir pula perselisihan dalam prinsip dan tujuan.
Jika demikian ayat ini tidak melarang ummat untuk berkelompok, atau berbeda pendapat, yang dilarangnya adalah berkelompok dan berselisih dalam tujuan. Adapun perbedaan yang bukan pada prinsip atau tidak berkaitan dengan tujuan, maka yang demikian itu dapat ditoleransi bahkan tidak mungkin dihindari. Rasul saw sendiri mengakuinya bahkan Allah menegaskan bahwa yang demikian itu adalah kehendak-Nya jua. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepada Kamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. (Q.S Al-Maidah [5]: 48).
Beberapa Karakter Bangsa yang Unggul
Sebelum menguraikan beberapa karakter bangsa yang unggul, terlebih dahulu perlu digarisbawahi bahwa karakter terpuji sulit untuk dibatasi dan karena itu tentu uraian ini tidak dapat mengungkap semua ciri dan karakter bangsa yang unggul. Namun demikian, di bawah ini penulis upayakan untuk menghidangkan sebagian yang terpenting di antaranya yaitu:
1. Kemantapan persatuannya
Di atas telah dikemukakan benang merah yang menghimpun semua makna-makna ummat yaitu keterhimpunan. Tanpa keterhimpunan, maka umat tidak dapat tegak bahkan mustahil akan wujud, jangankan dalam kenyataan, dalam ide bahasa pun tidak! Dari sini kita dapat berkata bahwa satu bangsa yang terpecah belah tidaklah dapat tegar dan sebaliknya syarat pertama dan utama untuk keunggulan satu bangsa adalah kemantapan persatuannya.
Itu sebabnya sehingga Al-Qur’an mengingatkan perlunya kesatuan dan persatuan antara lain dengan firman-Nya :
وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَا تَنَازَعُوا فَتَفْشَلُوا وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ وَاصْبِرُوا إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ
Dan ta`atlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar. (Q.S. Al-Anfal [8]:46).
Persatuan dan kesatuan tersebut tidak harus melebur perbedaan agama atau suku yang hidup di tengah satu bangsa. Ini dapat terlihat antara lain dalam naskah Perjanjian Nabi Muhammad saw dengan orang-orang Yahudi ketika beliau baru saja tiba di kota Madinah. Salah satu butir perjanjian itu berbunyi :
و إن يهود بني عوف أمة مع المؤمنبن لليهود دينهم وللمسلمين دينهم
Dan sesungguhnya orang-orang Yahudi dari Bany ‘Auf merupakan satu umat bersama orang-orang mukmin. Bagi orang-orang Yahudi agama mereka dan bagi orang-orang muslim agama mereka (juga)
2. Adanya nilai-nilai luhur yang disepakati
Guna memantapkan bahkan mewujudkan persatuan dan kesatuan itu, diperlukan nilai-nilai yang menjadi pandangan hidup bangsa dan menjadi pegangan bersama.
Dalam konteks ini Al-Qur’an menegaskan bahwa
وَلَا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ كَذَلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ أُمَّةٍ عَمَلَهُمْ ثُمَّ إِلَى رَبِّهِمْ مَرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan. (Q.S. Al An’am [6]: 108)
Dari ayat di atas terlihat bahwa setiap ummat mempunyai nilai-nilai yang mereka anggap indah dan baik. Atas dasar nilai-nilai itulah mereka bersatu, mengarah dan melakukan aktivitas dan atas dasarnya pula mereka menilai pandangan pihak lain, apakah dapat mereka terima atau mereka tolak. Dengan kata lain, nilai-nilai itu merupakan filter bagi apapun yang datang dari luar komunitas mereka. Perlu digarisbawahi bahwa apapun nilai yang mereka anut, nilai-nilai itu harus mereka sepakati. Semakin luas kesepakatan, semakin mantap dan kuat pula persatuan dan semakin besar peluang bagi unggulnya karakter bangsa. Karena jika mereka tidak sepakati, maka akan lahir perpecahan dalam masyarakat.
Di sisi lain substansi nilai yang mereka sepakti itu tidak harus merupakan nilai yang baik, seperti terlihat pada konteks uraian ayat di atas, tetapi yang penting adalah pandangan tersebut mereka sepakati. Memang harus diakui bahwa semakin luhur dan agung nilai-nilai itu semakin mantap dan langgeng persatuan. Semakin jauh kedepan visi masyarakat bangsa semakin kokoh pula mereka. Dari sini Tauhid dan Kepercayaan tentang kehidupan setelah kehidupan dunia merupakan hal yang amat penting dalam karakter bangsa yang unggul. Bisa saja satu bangsa mencapai kejayaan dalam kehidupan dunia, tetapi bila visinya terbatas, maka akan lahir kejenuhan yang menjadikan mereka mandek, lalu sedikit demi sedikit kehilangan motivasi dan hancur berantakan. Q.S. Al-Isra’ [17]: 18-19 menyatakan:
مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْعَاجِلَةَ عَجَّلْنَا لَهُ فِيهَا مَا نَشَاءُ لِمَنْ نُرِيدُ ثُمَّ جَعَلْنَا لَهُ جَهَنَّمَ يَصْلَاهَا مَذْمُومًا مَدْحُوراً
Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang, maka Kami segerakan baginya di sini apa yang Kami kehendaki bagi orang yang Kami kehendaki. Kemudian Kami tentukan baginya neraka Jahannam; ia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir. (Q.S.Al-Isra’ [17]: 18)
Yang menghendaki kehidupan dunia saja, akan sangat terbatas visinya dan ini menjadikan usahanya pun terbatas sampai pada visi duniawi saja. Dia tidak lagi akan menaman benih, jika ia ketahui bahwa esok kiamat tiba, tetapi yang visinya jauh, akan tetap bekerja dan bekerja serta memperoleh hasil walau ia sadar bahwa besok akan terjadi kiamat, karena pandangannya tidak terbatas pada dunia ini, dan karena dia yakin bahwa hasil upayanya akan diperolehnya di akhirat nanti. Yang menghendaki kehidupan duniawi, bukan hanya terhenti upayanya bahkan akan bosan hidup, jika ia merasa bahwa apa yang diharapkannya telah tercapai. Bukankah ia hanya mencari kenikmatan duniawi, sedang kini semua telah diperolehnya?
Adapun yang menghendaki kehidupan akhirat, maka dia tidak pernah akan berhenti berusaha serta meningkatkan upaya dari saat ke saat, karena betapapun kenikmatan duniawi telah dicapainya, pandangannya tidak terhenti di sini. Ia melihat jauh ke depan, yakni kehidupan sesudah hidup dunia ini.
Dari sini kita dapat menyimpulkan bahwa salah satu karakter bangsa yang unggul adalah bangsa yang memiliki pandangan hidup berdasar nilai-nilai luhur yang langgeng.
3. Kerja keras, displin dan penghargaan kepada waktu
Perintah Al-Qur’an kepada umat manusia agar beramal shaleh serta pujian terhadap mereka yang aktif melakukannya demikian juga penghargaan kepada waktu bukanlah satu hal yang perlu dibuktikan. Ayat Al-Isra’ yang dikutip di atas dilanjutkan dengan menyatakan:
وَمَنْ أَرَادَ الْآخِرَةَ وَسَعَى لَهَا سَعْيَهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَأُولَئِكَ كَانَ سَعْيُهُمْ مَشْكُورًا
Dan barangsiapa yang menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh sedang ia adalah mu’min, maka mereka itu adalah orang-orang yang usaha mereka disyukuri (Q.S. Al-Isra’ [17]: 19).
Yang usaha mereka disyukuri yakni yang terpuji adalah yang visinya jauh ke depan mencapai akhirat, percaya kepada Allah dan keniscayaan akhirat serta berusaha secara bersungguh-sungguh.
Kata سعي sa’â pada mulanya berarti berjalan dengan cepat, lalu berkembang sehingga digunakan dalam arti usaha sungguh-sungguh. Dengan demikian ayat ini menggarisbawahi perlunya kesungguhan dalam berusaha guna meraih apa yang dikehendaki dan dicita-citakan.
Yang menghendaki kehidupan akhirat haruslah berusaha dengan penuh kesungguhan dan harus pula dibarengi dengan iman yang mantap, sambil memenuhi segala konsekwensinya, karena iman bukan sekedar ucapan, tetapi dia adalah sesuatu yang mantap dalam hati dan dibuktikan oleh pengamalan.
Di sini dapat dimengerti mengapa pesan-Nya kepada setiap pribadi :
فَإِذَا فَرَغْتَ فَانْصَبْ وَإِلَى رَبِّكَ فَارْغَبْ
Maksudnya: Maka apabila engkau telah selesai yakni sedang berada di dalam keluangan setelah tadinya engkau sibuk maka bekerjalah dengan sungguh-sungguh hingga engkau letih atau hingga tegak dan nyata suatu persoalan baru dan hanya kepada Tuhanmu saja, tidak kepada siapapun selain-Nya, hendaknya engkau berharap dan berkeinginan penuh guna memperoleh bantuan-Nya dalam menghadapi setiap kesulitan serta melalukan satu aktivitas.
Seseorang yang telah memenuhi waktunya dengan pekerjaan, kemudian ia menyelesaikan pekerjaan tersebut, maka jarak waktu antara selesainya pekerjaan pertama dan dimulainya pekerjaan selanjutnya dinamai فراغ farâg.
Ayat di atas memberi petunjuk antara lain bahwa seseorang harus selalu memiliki kesibukan positif. Bila telah berakhir suatu pekerjaan, ia harus memulai lagi dengan pekerjaan yang lain, dan dengan waktunya selalu terisi.
4. Kepedulian yang tinggi
Firman Allah dalam Q.S. Ali Imran [3]: 110 menegaskan sebab keunggulan umat Nabi Muhammad saw dengan firman-Nya:
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ ( الآية(
Kamu adalah umat yang terbaik yang dikeluarkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma`ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah
Ayat di atas menggarisbawahi keunggulan umat Islam disebabkan oleh kepedulian mereka terhadap masyarakat secara umum, sehingga mereka tampil melakukan kontrol sosial, menganjurkan kebaikan dan mencegah kemungkaran disertai keimanan kepada Allah. Kepedulian itu bukan saja berkaitan dengan pemahaman dan penerapan serta pembelaan terhadap nilai-nilai agama yang bersifat universal yang dijelaskan oleh ayat di atas dengan kata al-khair, tetapi nilai-nilai budaya masyarakat yang tidak bertentangang dengan nilai-nilai al-Khair. Kepedulian juga mencakup pemenuhan kebutuhan pokok anggota masyarakat lemah. Kepedulian ini tidak hanya terbatas pada orang-orang yang mampu, tetapi mencakup semua anggota masyarakat. Q.S. Al-Ma’un [107]: 1-2 menegaskan bahwa yang menghardik anak yatim dan yang tidak menganjurkan pemberian pangan kepada orang miskin adalah orang yang mendustakan agama/hari kemudian.
Ayat tersebut menggunakan kata يَحُضُّ (Yahudhdhu/menganjurkan) untuk mengisyaratkan bahwa mereka yang tidak memiliki kelebihan apapun tetap dituntut paling sedikit berperan sebagai penganjur pemberian pangan. Peranan ini dapat dilakukan oleh siapapun selama mereka merasakan penderitaan orang lain. Ayat di atas tidak memberi peluang sekecil apapun bagi setiap orang untuk tidak berpartisipasi dan meraskan betapa kepedulian harus menjadi ciri karakter umat yang unggul. Dari sini dapat dimengerti sabda Nabi Muhammad saw:
من لم يهتم بأمرالمسلمين فليس منهم
Siapa yang tidak peduli urusan umat Islam maka ia bukanlah bagian dari mereka.
Dalam konteks ini banyak sekali ayat-ayat Al-Qur’an yang menuntun umat Islam untuk bahu membahu saling ingat mengingatkan tentang kebenaran, kesabaran, ketabahan dan kasih antar mereka. (Baca misalnya Q.S. Al-Ashr, dan Al-Balad).
5. Moderasi dan Keterbukaan
Umat Islam dinamai Al-Qur’an sebagai ummat(an) wasathan. Allah berfirman:
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا
Demikian itu Kami jadikan kamu ummatan Wasathan agar kamu menjadi saksi/disaksikan oleh manusia dan Rasul menjadi saksi atasmu /disaksikan olehmu. (Q.S. Al-Baqarah [2]: 143).
Kata wasath pada mulanya berarti segala yang baik sesuai objeknya. Sementara pakar berpendapat bahwa yang baik berada pada posisi antara dua ekstrem. Keberanian adalah pertengahan antara sifat ceroboh dan takut, Kedermawanan, pertengahan antara sikap boros dan kikir. Kesucian adalah pertenghan antara kedurhakaan yang diakibatkan oleh dorongan nafsu yang menggebu dan impotensi. Dari sini kata wasath berkembang maknanya menjadi “tengah” dan dari sini pula yang menghadapi dua pihak berseteru dituntut untuk menjadi wasith (wasit) dengan berada pada posisi tengah, dengan berlaku adil.
Karakter umat yang terpilih dan unggul adalah moderasi Lâ Syarqiyyah Wa lâ Garbîyah, Tidak di Timur dan Tidak di Barat. Posisi ini membawa mereka tidak seperti ummat yang dibawa hanyut oleh materialisme, tidak pula mengantarnya membumbung tinggi ke alam rohani, sehingga tidak lagi berpijak di bumi. Posisi tengah menjadikan mereka mampu memadukan rohani dan jasmani, material dan spiritual dalam segala sikap dan aktivitas mereka.
Wasathîyat (moderasi/posisi tengah ) mengundang ummat Islam berinteraksi, berdialog dan terbuka dengan semua pihak yang berbeda dalam agama, budaya, peradaban) karena bagaimana mereka dapat menjadi saksi atau berlaku adil jika mereka tertutup atau menutup diri dari lingkungan dan perkembangan global?
Keterbukaan ini menjadikan bangsa dapat menerima yang baik dan bermanfaat dari siapapun, dan menolak yang buruk melalui filter pandangan hidupnya. Karena itu pula nabi saw bersabda :
الحكمة ضالة المؤمن أنآ وجدها فهوأحق بها
Hikmah (amal ilmiah dan ilmu amaliyah) adalah barang hilang miliki sang mukmin, dimana ia menemukannya, maka dia lebih berhak atasnya”.
Keunggulan masyarakat Islam masa lampau, antara lain karena keterbukaan mereka menerima apa yang baik dari manapun datangnya. Q.S. Az-Zumar [39]: 18 memuji sekelompok manusia yang dinamainya Ulul Albâb dengan firman-Nya:
فَبَشِّرْ عِبَادِ الَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ أُولَئِكَ الَّذِينَ هَدَاهُمُ اللَّهُ وَأُولَئِكَ هُمْ أُولُو الْأَلْبَابِ
Maka gembirakanlah hamba-hamba-Ku, yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti dengan sungguh-sungguh apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah Allah tunjuki dan mereka itulah Ulu Al-Albâb.
Yang dimaksud dengan mendengar perkatan adalah segala macam ucapan, yang baik dan yang tidak baik. Mereka mendengarkan semuanya lalu memilah-milah, dan mengambil serta mengamalkan yang baik bahkan yang terbaik tanpa menghiraukan dari manapun sumbernya. Ini serupa dengan tuntunan :
أنظر الى المقال ولا تنظر الى من قال
“Lihatlah kepada (kandungan ) ucapan dan jangan lihat siapa pengucapnya”.
Kalimat ”mengikuti dengan sungguh-sungguh apa yang paling baik di antaranya” mengisyaratkan karakter mereka. Seseorang yang menyukai kebaikan dan tertarik kepada kecantikan akan semakin tertarik setiap bertambah kebaikan itu. Jika ia menghadapi dua hal, yang satu baik dan yang lainnya buruk, maka ia akan cenderung kepada yang baik, dan apabila ia menemukan satu baik dan yang satu lainnya lebih baik, maka ia akan mengarah kepada yang lebih baik.
Dengan demikian, keterangan ayat di atas yang menyatakan bahwa mereka mengikuti secara sungguh-sungguh yang terbaik menunjukkan bahwa perangai/karakter mereka telah terbentuk sedemikan rupa sehingga mereka selalu mengejar kebenaran dan terus menerus menginginkan yang baik bahkan yang terbaik. dimana dan siapapun yang memaparkannya
Karakter inilah yang menjadikan satu bangsa maju dan berkembang, dan karena itu kita dapat berkata bahwa karakter satu bangsa yang unggul adalah yang selalu mendambakan kemajuan dan perkembangan serta berusaha mewujudkannya. Dalam konteks ini Al-Quran antara lain melukiskan pengikut- pengikut Nabi Muhammad saw:
كَزَرْعٍ أَخْرَجَ شَطْأَهُ فَآزَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوَى عَلَى سُوقِهِ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ
Seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya lalu ia menguatkannya lalu tegak lurus di atas pokoknya; menyenangkan hati penanam-penanamnya. ( Q.S. Al-fath [48]: 29).
6. Kesediaan berkorban
Dalam QS. Al-Baqarah [2]: 213 Allah berfirman:
كَانَ النَّاسُ أُمَّةً وَاحِدَةً فَبَعَثَ اللَّهُ النَّبِيِّينَ مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ وَأَنْزَلَ مَعَهُمُ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِيَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ فِيمَا اخْتَلَفُوا فِيهِ
Manusia adalah umat yang satu. Lalu Allah mengutus para nabi sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan, dan menurunkan bersama mereka Kitab dengan benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan.
Ayat ini antara lain berbicara tentang kesatuan umat. Kesatuan itu dilukiskan ayat di atas dengan kata kâna yang pada ayat dimaksudkan bukan dalam arti telah terjadi dahulu tetapi dalam arti Tsubut yakni kemantapan dan kesinambungan keadaan sejak dahulu hingga kini. Dengan kata lain manusia sejak dahulu hingga kini merupakan satu kesatuan kemanusaian yang tidak dapat dipisahkan, karena manusia, secara orang-perorang tidak dapat berdiri sendiri. Kebutuhan seorang manusia tidak dapat dipenuhi kecuali dengan kerja sama semua pihak. Manusia adalah makhluk sosial, mereka harus bekerja sama dan topang menopang demi mencapai kebahagiaan dan kesejahteraannya.
Manusia di samping memiliki banyak kebutuhan yang tidak terpenuhi tanpa kerja sama, juga memiliki ego yang selalu menuntut agar kebutuhannya bahkan keinginannya dipenuhi semua dan terlebih dahulu. Hal ini dapat menimbulkan perselisihan dan permusuhan. Guna menghindari hal itu, setiap orang harus mengorbankan –sedikit atau banyak– dari tuntutan egonya guna kepentingan pihak lain, bahkan untuk kepentingan sendiri demi meraih ketenteraman. Pengorbanan inilah benih dari lahirnya akhlak mulia. Nah jika demikian, tanpa pengorbanan atau tanpa akhlak mulia masyarakat bangsa tidak dapat tegak. Dari sini sungguh tepat kalimat bersayap Buya Hamka: “Tegak rumah karena sendi, Runtuh budi rumah binasa. Sendi bangsa adalah budi, Runtuh budi runtulah bangsa.”
Demikian juga ungkapan Ahmad Syauqi penyair kenamaan Mesir:
إنما الأمم الأخلاق مابقيت فإن هموا ذهبت أخلاقهم ذهبوا
Eksistensi bangsa-bangsa terpelihara selama akhlak mereka terpelihara. Kalau akhlak mereka runtuh, runtuh pula mereka itu.
Akhlak atau nilai-nilai moral merupakan sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan satu bangsa. Dalam surah Al-Balad (negeri) Allah SWT menyebut tiga kelompok umat manusia, dengan hasil pembangunan yang mengagumkan.
Pertama Kaum Âd, yang bermukim di kota Iram serta dilukiskan oleh surah tersebut sebagai memiliki bangunan-bangunan yang tinggi, yang belum pernah diciptakan yakni dibangun bangunan kota sepertinya di negeri-negeri lain?
Kedua Tsamud yang memiliki kemahiran dalam bidang seni sehingga mampu memahat gunung dengan sangat mengagumkan. Yang ketika Kaum Fir’aun yang memiliki kemampuan teknologi yang demikian mengagumkan antara lain kemampuan mereka membangun piramid-piramid yang demikianm kokoh dan indah. Ketiga kelompok masyarakat itu binasa karena keruntuhan akhlak mereka, kendati mereka maju dalam bidang material.
7. Ketegaran serta keteguhan menghadapi aneka rayuan dan tantangan
Q.S. An-Nahl [16]: 92 menyatakan:
وَلَا تَكُونُوا كَالَّتِي نَقَضَتْ غَزْلَهَا مِنْ بَعْدِ قُوَّةٍ أَنْكَاثًا تَتَّخِذُونَ أَيْمَانَكُمْ دَخَلًا بَيْنَكُمْ أَنْ تَكُونَ أُمَّةٌ هِيَ أَرْبَى مِنْ أُمَّةٍ إِنَّمَا يَبْلُوكُمُ اللَّهُ بِهِ وَلَيُبَيِّنَنَّ لَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَا كُنْتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُون
Dan janganlah kamu menjadi seperti seorang wanita yang mengurai tenunannya yang sudah dipintal dengan kuat menjadi cerai berai; kamu menjadikan sumpah kamu sebagai penyebab kerusakan di antara kamu disebabkan adanya satu umat yang lebih banyak dari umat yang lain. Sesungguhnya Allah hanya menguji kamu dengannya. Dan pasti di hari kiamat akan dijelaskan-Nya kepada kamu apa yang dahulu kamu perselisihkan.
Tuntutan di atas ditempatkan Allah sesudah memerintahkan menepati janji dan memenuhi sumpah. Ayat ini melarang secara tegas membatalkannya sambil mengilustrasikan keburukan pembatalan itu. Memang penegasan tentang perlunya menepati janji merupakan sendi utama tegaknya masyarakat, sehingga menjadi karakter terpuji bagi seseorang dan suatu komunitas. Sifat dan karakter itulah yang memelihara kepercayaan berinteraksi anggota masyarakat. Bila kepercayaan itu hilang, bahkan memudar, maka akan lahir kecurigaan yang merupakan benih kehancuran masyarakat.
Ayat di atas menyebut kata ummat sebanyak dua kali. Banyak pakar tafsir memahami ayat ini berbicara tentang kelakukan sementara suku pada masa Jahiliah. Mereka (namailah pihak pertama) mengikat janji atau sumpah dengan salah satu suku yang lain (pihak kedua), tetapi kemudian pihak pertama itu menemukan suku yang lain lagi (pihak ketiga) yang lebih kuat dan lebih banyak anggota dan hartanya atau lebih tinggi kedudukan sosialnya daripada pihak kedua. Nah, disini pihak pertama membatalkan sumpah dan janjinya karena pihak ketiga lebih menguntungkan mereka.
Dalam konteks ajaran Islam, ayat ini mengingatkan kaum muslimin agar jangan memihak kelompok musyrik atau musuh Islam, karena mereka lebih banyak dan lebih kaya daripada kelompok muslimin sendiri. Tuntunan ini berarti masyarakat harus tegar, tidak mengorbankan harga dirinya atau nilai-nilai yang dianutnya untuk meraih kepentingan duniawi. Bangsa yang berkarakter unggul tidak akan bertekuk lutut menghadapi tantangan apapun kendati mereka secara fisik telah terkalahkan. Makna ini antara lain terbaca melalui pesan Allah SWT kepada kaum muslimin sesaat setelah kekalahan mereka dalam perang Uhud. Ketika itu turun antara lain firman-Nya:
ولا تهنوا ولا تحزنوا وأنتم الأعلون إن كنتم مؤمنين
Maksudnya: Janganlah kamu melemah, (menghadapi tantangan apapun), dan jangan (pula) kamu bersedih hati (akibat kekalahan yang kamu alami dalam perang Uhud, atau peristiwa lain yang serupa, tetapi tegar dan tabahlah). Bagaimana kamu akan melemah, tidak tegar atau larut dalam kesedihan, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya di sisi Allah di dunia dan di akhirat dan paling unggul), jika (benar-benar) kamu orang-orang mukmin (yang telah mantap keimanan dalam hatinya). Q.S. Ali ‘Imran [3]: 139.
Penutup
Demikian tujuh karakter yang penulis pilih sebagai karakter terpenting bagi satu bangsa atau kelompok yang unggul. Tentu rentetan karakter yang disebut di atas masih dapat berlanjut, namun hemat penulis apa yang dikemukan itu sudah cukup memadai untuk menjadi indikator bagi karakter bangsa yang unggul. Demikian. Wa Allah A’lam. (ptiq.ac.id)
Oleh M. Quraish Shihab
Negeri Muslim Baru di Tahun 2050
Menurut prediksi Paul Goble, seorang spesialis yang secara khusus melakukan kajian terhadap minoritas etnis di Federasi Rusia, nampaknya dalam beberapa dekade mendatang, Rusia akan menjadi sebuah negara mayoritas Muslim. Sekarang jumlah Muslim di seluruh Rusia mencapai 16 juta jiwa.
Di sisi lain, ada berita buruk dengan penurunan yang cepat jumlah populasi negeri Beruang Merah ini. Melihat kecenderungan populasi penduduk Rusia yang terus cenderung menurun itu telah menjadi "pusing" bagi para politisi Rusia dan para pembuat kebijakan.
Presiden Vladimir Putin telah menyerukan kepada perempuan Rusia untuk memiliki anak lagi. Karena ahli demografi memprediksi bahwa populasi Rusia akan turun secara drastis dari 143 juta jiwa menjadi 100 juta jiwa pada tahun 2050.
Perkembangan dan situasi ini mengejutkan bagi para pemimpin Rusia dan Barat, karena bersamaan menurunnya populasi penduduk Rusia, para analis memperkirakan jumlah umat Islam akan menjadi kelompok mayoritas di Russia. Hanya kurang dari lima dekade Rusia akan menjadi negeri Muslim, yang mayoritas peduduknya beragama Islam.
Laju pertumbuhan populasi Muslim sejak tahun 1989, diperkirakan mencapai antara 40 dan 50 persen, dan ini kecenderungan semua kelompok etnis. Saat ini Rusia memiliki sekitar 8.000 masjid sementara 15 tahun yang lalu, hanya terdapat 300 masjid di seluruh Rusia.
Menurut data statistik, pada akhir 2015, jumlah masjid di Rusia akan meningkat drastis menjadi 25.000 masjid di seluruh Rusia. Statistik ini menakutkan banyak etnis Rusia lainnya, yang sangat phobi dengan Islam, yang selalu mengaitkan Islam dengan perang dan terorisme. Seperti, sering terjadinya konflik bersenjata antara aparat keamanan Rusia dengan kelompok Chechnya, dan wilayah Kaukasus yang mayoritas Muslim. Namun, kekawatiran itu meluai menyurut, bersamaan dengan perubahan-perubahan yang ada, khususnya dikalangan penduduk Muslim dan para pemimpinnya yang semakin akomdatif.
Menghadapi penurunan populasi atau jumlah penduduk etnis Rusia itu, yang terus menurun, Perdana Menteri Rusia Vladimir Putin telah menawarkan insentif kepada wanita yang akan memiliki anak lagi.
Dia mengatakan bahwa pemerintah akan menawarkan 1.500 rubel untuk anak pertama, dan 3.000 rubel untuk anak kedua. Dia lebih lanjut mengatakan bahwa pemerintah akan menawarkan insentif keuangan bagi pasangan yang akan mengadopsi anak yatim Rusia. Tapi, tanggapan terhadap seruan Vladimir Putin hampir nol. Alasan utama di balik penurunan cepat dalam populasi non-Muslim di Rusia, terutama sebagian besar perempuan muda di negara ini tidak tertarik dan mendukung memiliki anak lagi.
Jika seseorang terbatas hanya memilik anak satu-satunya, dan kemudian generasi berikutnya sama sekali tidak ingin memiliki anak, maka pertumbuhan penduduk Rusia menjadi nol. Di sisi lain, hampir semua pasangan muslim sedikitnya memiliki tiga anak. Jumlah keluarga muslim umumnya mereka mempunyai anak antara 3-5 orang anak.
Berbicara dengan Blitz, seorang pemimpin Moscow, daerah yang paling padat penduduknya, mengatakan jika pertumbuhan penduduk Muslim terus meningkat, dan dengan penurunan yang serius pada populasi komunitas agama lain, Rusia pada akhirnya akan menjadi sebuah negara Muslim pada dua dekade mendatang.
Dia menyarankan propaganda besar-besaran demi memiliki anak lagi di Rusia dengan menggunakan media massa serta peningkatan jumlah insentif. Ia juga menunjuk fakta bahwa, dalam banyak kasus, insentif tersebut jatuh lagi ke ibu muslim, yang umumnya memiliki lebih dari satu anak.
Ini bukan masalah tentang insentif, yang lebih penting realisasinya bagi penduduk seluruh Rusia yang non-Muslim. Mereka harus memahami bahwa dengan jumlah anak Muslim yang banyak, mereka secara bertahap ikut mendorong nasib negara Rusia menuju federasi Islam.
Mengomentari masalah ini, mantan seorang diplomat mengatakan, setelah jatuhnya Uni Soviet, sayangnya, seluruh bangsa Rusia telah kehilangan semangat nasionalisme mereka, karena kemiskinan dan kondisi yang sangat malang yang mereka hadapi, baik di bidang ekonomi, politik, dan sosial.
Sekarang mereka takut memiliki lebih dari satu anak dalam keluarga, karena akibat biaya hidup yang sangat mahal. Sementara dalam banyak kasus, keluarga perempuan Rusia dipaksa untuk bekerja di berbagai sektor bidang untuk mendapatkan uang ekstra bagi k keluarga mereka.
Ia mengatakan, tidak hanya jumlah populasi Muslim di Rusia,yang mengalami pertumbuhan cepat, karena memang perempuan Muslim memiliki lebih satu anak, tapi dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah besar LSM Islam aktif bekerja di dalam negeri Rusia, yang memainkan peran penting, terutama bagi penduduk Rusia yang putus asa, dan sebagian besar mereka memilih jalan hidup yang baru, dan mereka bertobat kemudian masuk Islam. Mereka umumnya meninggalkan agama sebelumnya yang mereka anut. Dia lebih lanjut mengatakan, terutama kelompok atheis secara bertahap semakin cenderung ke arah Islam, karena propaganda luas dan kegiatan LSM Islam.
Mereka yang berpendidikan sarjana terlibat aktif dalam memberikan khotbah di masjid-masjid dan tempat-tempat umum lainnya secara teratur, yang mempunyai dampak luar biasa pada pikiran orang-orang Rusia, terutama generasi mudanya. Para ulama Islam dengan jas dan wajah dicukur bersih, mereka berbicara dengan bahasa yang berbeda serta lancar, yang merupakan titik yang sangat kuat bagi mereka untuk menarik perhatian orang Rusia yang berpendidikan, yang berada dalam kesulitan ekonomi dan sosial yang serius.
Dia mengatakan, kegiatan LSM Islam mempunyai pengaruh yang luas, dibandingkan hampir tidak ada atau sangat sedikit kegiatan misionaris dari agama agama lain di Rusia. Meskipun ulama Islam dan mereka memiliki misi yang sering disebut "tersembunyi" , tetapi dari wajah mereka, saat menyampaikan khotbah, sangat sulit untuk mengidentifikasi apa pun yang negatif terhadap kegiatan mereka.
Mereka awalnya menyebarkan pesan perdamaian, tetapi mereka juga menyampaikan nilai-nilai agama dan jihad. LSM-LSM Islam secara bertahap menggunakan media Rusia, melalui investasi negara-negara Barat, yang sebenarnya menggunakan dana dari negara-negara Arab. Mereka juga ikut terlibat dalam aktivitas politik, seperti pemilihan, dan memberikan suara dan kekuatan untuk para calon pemimpin Muslim, tentu dengan tujuan nantinya akan memiliki akses kekuasaan di Kremlin.
Membandingkan Muslim Rusia dengan Muslim di negara-negara lain, katanya, mereka memiliki komitmen yang lebih kuat, dan keyakinan mereka yang mendalam berakar dalam pikiran mereka yang bernar-benar dari ajaran Islam. Mereka secara terbuka menyatakan bahwa, alasan utama di balik menerima Islam adalah menyelamatkan hari depan mereka. Mereka menghadapi situasi yang sulit berkaitan dengan konflik yang masih terjadi di wilayah Chechnya dan Kaukasus. Tetapi, mereka tetap optimis terhadap kehidupan mereka.
Seorang wartawan senior kantor berita Rusia Interfax, Blitz mengatakan, berdasarkan dari sumber Afro-Arab, sejumlah negara Arab melakukan investasi jutaan dolar kepada sejumlah LSM Islam di Rusia. Dalam waktu dekat, cukup banyak kursi penting di parlemen Rusia juga akan jatuh ke tangan para pemimpin Muslim.
Dia mengatakan, di klub pers Rusia, sejumlah wartawan Muslim terus meningkat. Dia mengatakan, jutaan dolar yang dihabiskan untuk membangun masjid dan lembaga-lembaga Islam di berbagai belahan Moskow dan bagian lain di Rusia.
LSM Islam bahkan membangun panti asuhan, tempat anak-anak dari berbagai agama yang diadopsi, dan mereka mendapatkan pendidikan Islam, dan menjadi Muslim yang taat. Masa depan Islam di Rusia sangat menggembirakan. (shabestan)
Kezuhudan Sang Pemimpin
Makrifat Imam Ali sedemikian kaya sehingga menyinari seluruh nuansa hidupnya. Namun jika kita melihat makrifat Imam Ali atau kesufian beliau, kita tidak akan mendapati kesufian itu bermakna pengucilan diri dari sosial. Beliau adalah orang yang senantiasa berhubungan dengan masyarakat, mengelola urusan pemerintahan dan politik, namun dimensi kesufian beliau tetap tampak dan terjaga. Kesufian dan zuhud Imam Ali berakar pada pandangannya yang begitu dalam terhadap soal kehidupan dan filsafat alam semesta. Beliau pernah berkata: "Dunia adalah tempat perjalanan, bukan tempat tinggal." Imam Ali juga memandang manusia di dunia ini terdiri dari dua macam; orang yang menjual dirinya demi hawa nafsunya dan orang yang membeli nafsunya untuk taat kepada Allah Swt dan menyelamatkan dirinya.
Zuhud dalam Islam tak lain ialah menerapkan prinsip-prinsip khusus dalam hidup dengan cara memprioritaskan nilai dan akhlak ketimbang tamak kepada benda-benda materi. Sudah barang tentu Imam Ali adalah orang yang sangat zuhud. Zuhud adalah perilaku yang tak bisa dipisahkan dari kehidupan Imam Ali, khususnya ketika beliau duduk sebagai pemimpin umat. Namun Kezuhudan Imam Ali bukan berarti uzlah atau mengasingkan diri dari masyarakat atau hidup layaknya seorang pertapa. Malah kezuhudan bagi beliau justru inheren dengan melaksanakan tugas sosial demi cita-cita yang besar.
Ayatullah Murtadha Mutahhari, pemikir besar Iran tentang zuhud Imam Ali berkata: "Dalam pribadi Imam Ali, antara zuhud dan tanggungjawab sosial bertemu. Imam Ali adalah seorang yang zuhud sekaligus orang yang paling peka terhadap tanggungjawab sosial. Beliau termasuk orang yang paling sukar tidur ketika menyaksikan ketidakadilan atau mendengar rintihan orang-orang kecil. Beliau tidak pernah mengenyangkan perutnya selama ada orang-orang yang lapar di sekitarnya."
George Jordac penulis Nasrani asal Libanon, dalam hal ini menuliskan: "Imam Ali jujur dalam zuhudnya. Dalam semua perbuatannya dan apa yang keluar dari hati dan lidahnya tak lain adalah kejujuran. Beliau zuhud dalam menghadapi kenikmatan dunia, beliau tidak mengharap mendapat pemberian dalam memerintah. Beliau merasa cukup hidup dengan putra-putrinya dalam rumah kecil dan memakan roti yang dibuat dari tangan istrinya sendiri. Dan sementara beliau menjabat sebagai Khalifah, beliau tidak memiliki pakaian untuk menahan hawa dingin..... hal ini merupakan derajat yang tertinggi dari kebersihan jiwa."
Imam Ali adalah orang yang paling muak terhadap kehidupan yang dikelas-kelas oleh faktor materi dan gaya hidup yang glamor. Diriwayatkan bahwa suatu saat, Imam Ali mendengar salah satu bawahannya, yaitu Usman bin Hanif yang merupakan gubernur wilayah Basrah (IRAQ) diundang dalam sebuah pesta. Dalam pesta ini, tamu yang diundang adalah dari kalangan elit. Begitu mendengar berita ini, Imam Ali langsung menegur Usman bin Hanif. Beliau berkata: "Aku dengar engkau telah menghadiri sebuah pesta yang hanya mengundang orang-orang mampu dan tidak ada orang fakir. Disitu engkau menikmati aneka ragam jamuan. Jika engkau ingin bekerjasama denganku, maka hindarilah perbuatan seperti itu, jika tidak aku persilahkan engkau mengundurkan diri."
Hak asasi setiap individu masyarakat manusia ialah masing-masing dapat menikmati kehidupan secara manusiawi. Adapun yang dapat kita saksikan sekarang adanya sekelompok orang hidup dengan serba kenikmatan dan kemegahan, sementara sekelompok lain menderita kemiskinan, maka ini merupakan salah satu tanda bahwa orang-orang kaya tidak mau melakukan kewajiban mereka. Menurut Imam Ali tidak akan ada orang kelaparan bila hak yang lemah diindahkan oleh orang kaya. Namun demikian, di antara penyebab kesenjangan sosial juga bisa kembali kepada orang fakir yang tidak mau melaksanakan tugasnya untuk mendapat kehidupan yang layak. Dalam hal ini, Imam Ali berkata: "Apakah pantas bila kamu lebih lemah dari semut, padahal makhluk kecil ini dengan usaha penuh telah membawa makanannya ke dalam sarangnya dan setiap hari ia sibuk dengan kegiatan."
Tak terlukiskan betapa besar kasih sayang beliau terhadap fakir miskin. Perhatian beliau amat besar kepada mereka yang memerlukan pertolongan. Diriwayatkan pada suatu hari beliau berada di masjid. Ketika sedang khusyuk menunaikan solat, tiba-tiba beliau dihampiri oleh seorang pengemis. Kekhusyukan beliau ternyata tidak membuatnya lupa akan apa yang akan mendatangkan keridhaan Tuhannya. Ketika sedang ruku', beliau menjulurkan tangan untuk menyerahkan cincin yang melingkar dijarinya. Maka pengemis itu segera mencopot cincin itu kemudian memenuhi keperluannya dengan cincin itu.
Allah SWT kemudian mengabadikan kisah ini dalam Al-Quran. Sebagaimana pendapat banyak ahli tafsir, Surah Al-Maidah ayat 55 diturunkan berkenaan dengan kejadian ini. Ayat ini menyatakan: "Sesungguhnya pemimpin kalian hanyalah Allah dan rasulnya serta orang-orang Mukmin yang mendirikan solat, dan memberikan zakat ketika dalam keadaan ruku'."
Pandangan-pandangan Imam Ali yang dicerap dari Islam mengenai hak-hak sesama manusia dikenal sebagai sangat dalam. Keputusan-keputusan Imam Ali dalam mengadili kasus-kasus yang ada, dipandang sebagai bintang dalam sejarah, sampai-sampai para hakim saat itu berkali-kali menyatakan dirinya akan celaka jika Imam Ali tidak ada.
Sebagai contoh, pada masa kekhalifahan sebelum beliau, pernah seorang wanita terbukti berbuat zina dan hendak dihukum rajam. Imam Ali tiba-tiba meminta agar hukuman itu ditangguhkan. Orang-orang disekitarnya keheranan. Namun Imam Ali segera memberi alasan. Kata Imam Ali wanita tersebut hamil, dan anak yang dikandungnya tidak semestinya menanggung beban dosa ibunya. Anak itu punya hak untuk hidup. Karena itu, hukuman harus ditangguhkan hingga wanita itu melahirkan anaknya yang tidak bersalah.
Dalam riwayat lain, juga dikisahkan bahwa suatu hari Imam Ali datang kepada seorang Qadhi untuk menyelesaikan suatu urusan dengan orang lain. Qadhi atau hakim ini lebih menghormati Imam Ali. Melihat sikap ini, Imam Ali kecewa dan menegur sang Qadhi. Maksud Imam Ali ialah, dalam sebuah pemerintahan yang berlandaskan jiwa pengabdian kepada Allah, pemerintah dan rakyat sejajar di depan hukum. Pemerintahan dalam konsep Imam Ali yang diserap dari ajaran Islam bukanlah menjauhi rakyat dan tidak memperhatikan kondisi umum serta keperluan setiap orang, melainkan pemerintahan adalah sarana untuk mendekatkan pemimpin dengan rakyat. Pemerintahan adalah media untuk mencurahkan kasih sayang terhadap seluruh lapisan masyarakat. Imam Ali berkata: "Hati rakyat adalah gudang yang menyimpan gerak-gerik penguasa. Jika di gudang ini tersimpan keadilan, maka keadilanlah yang akan terpantul darinya. Jika kedzaliman yang tersimpan, maka kedzalimanlah yang akan terpantul darinya."
Jika dalam sebuah pemerintahan, kasih sayang dan kecintaan menjadi darah daging seluruh lapisan masyarakat, maka keharmonisan akan mengikat rakyat dan pemimpin. Keharmonisan ini telah dipersembahkan oleh Imam Ali di masa kekhalifahannya. Dalam wilayah pemerintahan beliau, jangankan seorang Muslim, minoritas pemeluk agama-agama lainpun bisa hidup dengan tenteram di sisi umat Muslim. Kepada gubernur dan semua bawahannya, Imam Ali selalu berpesan agar memperhatikan hak seluruh lapisan masyarakat.
Imam Ali pernah berkata: "Demi Allah, aku bersumpah, andaikan aku dipaksa tidur di atas duri-duri padang pasir, atau aku dibelenggu kemudian dipendam hidup-hidup dalam tanah, sungguh ini semua lebih baik daripada aku berjumpa Allah dan Rasul-Nya di hari Kiamat sementara aku pernah berbuat zalim kepada hamba-hamba Allah."
Suatu hari Imam Ali A.S berpidato di tengah sekelompok masyarakat. Orang-orang yang mengerti akan makna dari pidato beliau dengan cermat mencerna ucapan-ucapan beliau. Imam Ali A.S berbicara mengenai Akhlak. Di pertengahan Khutbah itu, beliau berkata: "Waspadalah, jangan kalian sambut gunjingan terhadap seseorang. Banyak sekali ucapan yang batil, tapi ia akan musnah, yang tinggal hanyalah amalan manusia karena Allah menyaksikan dan mendengar. Ketahuilah bahwa jarak antara hak dan bathil tidak lebih dari lebar empat jari."
Saat itu tiba-tiba seseorang bertanya: "Bagaimana bisa jarak antara hak dan bathil tidak lebih dari empat jari?
Untuk menjawab pertanyaan ini Imam Ali menunjukkan empat jarinya kemudian beliau letakkan di tempat antara mata dan telinga, kemudian beliau mengucapkan: "Kebathilan adalah ucapan yang aku dengar dan hak adalah ucapan yang aku saksikan."
Maksud Imam Ali dari ucapan ini adalah jangan sekali-kali kita terima apa yang kita dengar sebelum kita yakin akan kebenarannya.
Tersebut satu kisah, ketika kota Kufah waktu itu diselimuti kelam, manakala matahari sudah lama tenggelam. Rumah-rumah sudah tertutup rapat dan penghuninya pun hanyut dalam tidurnya. Pertengahan malam sudah berlalu. Di tengah kesunyian itu tampak bayang-bayang seseorang bergerak perlahan di halaman darul Imarah Kufah. Dua orang yang tidur di halaman itu kemudian terbangun. Dua orang itu mengenal bayangan itu. Bayangan itu adalah bayang-bayang Imam Ali Tubuhnya gemetar. Dari mulutnya terdengar sayup-sayup bunyi beberapa ayat-ayat terakhir surah Ali Imran. Arti ayat-ayat itu adalah sebagai berikut:
"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang, terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal, yaitu orang-orang yang selalu mengingat Allah, baik dalam keadan berdiri, atau duduk, atau berbaring, dan mereka itu memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, maka selamatkanlah kami dari siksa neraka."
Imam Ali mengulang-ulang bacaan ayat itu, dan terlihat tubuhnya semakin bergetar karena tangisannya. Menyaksikan pemandangan seperti ini, dua orang yang tak lain adalah sahabat Imam Ali itu tiba-tiba turut menitikkan air mata. Kemudian Imam Ali menghampiri mereka.
"Wahai Amirul Mukminin!" kata salah seorang dari mereka. "Engkau terguncang sedemikian rupa di depan keagungan Ilahi, lantas bagaimana dengan kami?"
Imam Ali melemparkan pandangannya ke tanah. Sejenak kemudian beliau berkata: "Suatu hari nanti, kita semua akan dihadapkan kepada Allah, dan tak sedikitpun amalan-amalan kita tersembunyi baginya. Jika sekarang engkau mengingat Allah, niscaya kelak pandanganmu akan terang benderang. Kesempurnaan iman terletak pada kecintaan kepada Allah. Jika engkau mencintai sesuatu, pasti ingatanmu akan tertambat padanya, dan engkau tidak akan mencintai yang lain melebihi kecintaanmu kepadanya."
Setelah itu perlahan-lahan Imam Ali meninggalkan dua orang sahabatnya kemudian menghanyutkan dirinya dalam rintihan doa.
Suatu hari, sekelompok masyarakat tampak berkumpul di sebuah jalan utama kota Anbar. Wajah mereka tampak tengah menanti-nanti tibanya seseorang dari arah jauh. Para pemimpin kota itu berada di barisan terdepan di atas kuda.
Tak lama kemudian tampaklah bayangan dari jauh. Bayangan itu semakin mendekat dan masyarakatpun semakin tidak sabar untuk menatap wajah pemimpin besarnya, Imam Ali Ternyata bayangan seseorang yang mengendarai kuda itu ialah Imam Ali Beliau tiba di gerbang kota. Untuk menyambut beliau, para pemimpin kota itupun segera turun dari hewan yang dikendarainya kemudian menghampiri Imam Ali dan melakukan sembah takzim di atas tanah.
Melihat itu, Imam Ali tampak kecewa. "Apa maksud dari yang kalian lakukan ini?" tanya Imam Ali "Ini adalah tradisi resmi kami untuk menyambut dan menghormati seorang tokoh besar", jawab mereka.
Namun dengan nada kecewa Imam Ali berkata: "Demi Allah, apa yang kalian lakukan itu sama sekali tidak akan menguntungkan kalian. Apa yang kalian lakukan itu sia-sia, malah mendatangkan azab akhirat. Betapa ruginya menyibukkan diri sementara kesibukan itu malah mendatangkan azab.” (Prio Anggoro/dudung.net)
0 comments to "Tidak Ada Isu Sunni-Syi'ah di Bahrain"