Home , , , , , , , , , , , , , , � Uang Minyak dan Pendapatan dari uang orang ber Haji untuk biaya beli senjata dan membunuhi kaum muslimin ??!! Benarkah??!! & Ban Ki-moon KUTUK israel

Uang Minyak dan Pendapatan dari uang orang ber Haji untuk biaya beli senjata dan membunuhi kaum muslimin ??!! Benarkah??!! & Ban Ki-moon KUTUK israel
















Pangeran Saudi Calon Pengganti Raja Dioperasi di New York

Pangeran Arab Saudi, Sultan bin Abdul Aziz, calon pengganti Raja Saudi, telah melalui operasi oleh dokter AS di sebuah rumah sakit di New York.

AFP melaporkan, hal itu dikemukakan seorang pejabat Konsulat Jenderal Arab Saudi di salah satu kota besar Amerika Serikat Rabu (6/7). "Sultan bin Abdul Aziz telah dioperasi di New York," katanya tanpa menyebutkan perincian apapun.

Penyakit Pangeran Sultan tidak pernah diungkapkan, tetapi para analis dan diplomat memperkirakan ia menderita kanker.

Di usia 80-an, Pangeran Sultan telah menjabat sebagai Menteri Pertahanan Arab Saudi selama lima dekade terakhir.

Pada bulan Juni lalu, kantor berita Arab Saudi menyebutkan bahwa Sultan akan melakukan kunjungan pribadi ke AS, dan akan menjalani pemeriksaan medis.

Pada bulan November 2010, Raja Arab Saudi Abdullah bin Abdul Aziz juga menjalani operasi di New York.

Penyakit yang diderita Raja Abdullah dan buruknya kondisi kesehatan pangeran Sultan sebagai calon penggantinya menuai berbagai spekulasi soal siapa yang akan meneruskan monarki keluarga al-Saud.

Pangeran Nayef bin Abdul Aziz, saudara Sultan dan yang merupakan pihak kedua setelah Sultan yang berhak melanjutkan pemerintahan monarki Saudi, juga telah menjalani berbagai pengobatan dalam 20 bulan terakhir.

Banyak analis memperkirakan akan terjadi perebutan kekuasaan di Saudi menyusul semua calon sudah tua dan sakit-sakitan. (IRIB/MZ/7/7/2011)

60 Milyar Belum Cukup, Saudi Tambah Bujet Pembelian Senjata dari Amerika

Arab Saudi berniat menambah 30 milyar dolar lagi dalam program pembelian senjatanya dari Amerika Serikat.

Farsnews mengutip laporan Reuters menyebutkan, seorang diplomat Barat yang bertugas di negara-negara Arab sekitar Teluk Persia mengkonfirmasikan bahwa Arab Saudi akan meningkatkan bujet pembelian senjatanya dari Amerika Serikat hingga 90 milyar dolar.

Pasukan Arab Saudi dalam beberapa bulan terakhir membantu penumpasan protes damai rakyat Bahrain yang menuntut kebebasan dan partisipasi yang lebih luas di kancah politik.

Tambahan 30 milyar dolar dalam volume pembelian senjata Arab Saudi dari Amerika Serikat itu kali ini difokuskan untuk meningkatkan armada Angkatan Laut Saudi serta pemeliharaan perlengkapan logistik serta pelatihan personil angkatan laut negara ini.

Dalam beberapa bulan terakhir, pemerintah Riyadh menghadapi demonstrasi rakyat di wilayah timur negara ini yang mayoritas bermazhab Syiah.(irib/7/7/2011)

Menimbang Hubungan Israel-Turki

Menteri Luar Negeri Turki, Ahmet Davutoglu kembali mendesak rezim Zionis supaya meminta maaf dan membayar ganti rugi atas penyerangan yang dilakukan pasukan komando Israel terhadap kapal Freedom Flotilla yang menewaskan dan menciderai sejumlah aktivis kemanusiaan Turki.

Davidoglu mengungkapkan bahwa hingga kini terjalin kontak antara Ankara dan Tel Aviv. Turki mengancam tidak akan memulihkan hubungannya dengan Israel, jika rezim Zionis tidak memenuhi tuntutannya.

Sejumlah media pemberitaan melaporkan pertemuan rahasia antara pejabat tinggi Turki dan rezim Zionis. Koran Israel, Haaretz melaporkan adanya kontak rahasia antara Kementerian Luar Negeri Turki dengan Israel. Dilaporkan, Menlu Turki Davutoglu bertemu dengan Menteri Peperangan Israel, Ehud Barak guna membahas masalah yang menjadi pemicu renggangnya hubungan Tel Aviv-Ankara.

Haaretz dalam laporannya mengungkap urgensi pemulihan hubungan antara Turki dan Israel. Koran Zionis itu menilai kondisi saat ini sebagai momentum yang tepat bagi kedua belah pihak untuk memulihkan hubungan diplomatik yang retak.

Di mata Haaretz, Turki saat ini tengah menghadapi sejumlah masalah dengan beberapa negara tetangganya. Intervensi Turki dalam urusan internal Suriah menyebabkan hubungan kedua negara tetangga itu renggang. Selain itu, Turki juga tidak berhasil memediasi friksi antara faksi yang bertikai di Palestina, Fatah dan Hamas.

Sementara itu, sejumlah media massa rezim Zionis mengungkapkan bahwa Washington mendukung pemulihan hubungan antara Turki dan Israel. terang saja Gedung Putih punya banyak kepentingan atas pemulihan hubungan kedua mitranya itu.

Namun, tampaknya ada berbagai hambatan yang mengganjal pemulihan hubungan diplomatik Turki-Israel. Sejumlah media massa melaporkan bahwa Ankara melihat Tel Aviv terlalu arogan untuk memenuhi tuntutan Turki.

Lebih dari itu, dukungan terang-terangan rezim Zionis terhadap milisi teroris PKK meningkatkan tekanan publik Turki terhadap pemerintahan Erdogan untuk tidak merapat ke Israel.

Di tengah berlanjutnya lobi diplomatik antara Tel Aviv dan Ankara, pemerintahan Erdogan sedang berada di persimpangan jalan. Apakah Erdogan akan mengikuti ambisi segelintir pihak di Turki yang menghendaki pemulihan hubungan dengan Israel, ataukah tetap menjauh dengan Israel, bahkan lebih jauh memutuskan hubungan bilateral dengan Tel Aviv sebagaimana yang dikehendaki mayoritas rakyat Turki sendiri.(IRIB/PH/7/7/2011)

Ban Ki-moon dan Laporan Anti-Israel

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) merilis laporan terbaru mengecam brutalitas Rezim Zionis Israel yang membantai warga Palestina yang tengah memperingati Hari Nakba di perbatasan Lebanon dan Palestina pendudukan. Sementara itu, para pengamat menilai tindakan PBB ini sangat terlambat, pasalnya perisitiwa sadis ini terjadi sekitar dua bulan lalu. Padahal saat peristiwa ini terjadi masyarakat internasional ramai-ramai mengutuk tindakan keji Israel.

Di laporan PBB ditekankan bahwa serdadu Rezim Zionis menembaki rakyat Palestina yang tengah memperingati Hari Nakba (pendudukan Israel terhadap Palestina pada 15 Mei 1948). Laporan yang penyusunannya diawasi langsung oleh Sekjen PBB, Ban Ki-moon mengkritik keras brutalitas Israel terhadap warga Palestina. Sekjen PBB menambahkan, hasil penyidikan menyebutkan militer Israel tercatat sebagai pihak pertama yang memulai kerusuhan dan melanggar resolusi 1701 Dewan Keamanan PBB.

Serdadu Israel di peringatan Hari Nakba yang digelar rakyat Palestina di perbatasan Lebanon dan Palestina pendudukan menyerang warga dan menembak mati tujuh demonstran serta menciderai sejumlah orang lainnya. Selain itu, di pawai bertepatan Hari Nakba yang digelar di Dataran Tinggi Golan, Suriah, tercatat 23 orang gugur akibat brutalitas Israel serta puluhan lainnya cidera.

15 Mei 1948 Rezim Zionis Israel menduduki Palestina dan hari tersebut diperingati setiap tahunnya sebagai Hari Nakba. Tahun itu, selain menduduki Palestina, Israel juga mengusir ratusan ribu warga Palestina. Brutalitas Israel selama ini kian membuka mata publik internasional bahwa rezim ilegal ini hanya mampu eksis melalui kekerasan. Arogansi dan brutalitas Israel juga ditujukan untuk membungkam rakyat Palestina, Lebanon dan Suriah agar tidak menentang Tel Aviv dan menghentikan perjuangan mereka.

Selain itu, Israel gencar melakukan propaganda busuk untuk mengurangi dukungan masyarakat internasional terhadap rakyat Palestina. Di sisi lain, maraknya dukungan terhadap rakyat Palestina, khususnya seiring dengan kebangkitan rakyat Timur Tengah kian membuat Israel kelabakan. Dukungan ini dan tekad kuat bangsa Palestina untuk melanjutkan perjuangannya merupakan tanda bahaya bagi Israel akan munculkan inftifada lain yang lebih besar.

Kebangkitan rakyat di kawasan dan tumbangnya sejumlah diktator pro Israel dan Barat mengindikasikan bahwa Tel Aviv kian terkucil. Menyaksikan kondisi semacam ini, Israel malah semakin brutal dan berharap mampu keluar dari kondisi saat ini melalui langkah-langkah arogan. Namun realitanya adalah semakin brutal rezim Israel maka Tel Aviv semakin dibenci baik di kawasan maupun internasional. Sebaliknya rakyat Palestina kian mendapat dukungan luas dari masyarakat internasional. Dengan dukungan ini bangsa Palestina akan mampu menghapus Israel dari peta dunia dan membebaskan negara mereka. (IRIB/MF/7/7/2011)

Statemen Menlu Arab Saudi Soal Normalisasi dengan Iran

Saud al-Faisal

Menteri Luar Negeri Arab Saudi, Saud al-Faisal mengatakan, lawatan Menteri Luar Negeri Iran ke Riyadh dimaksudkan untuk memperjelas masalah di antara kedua negara dan memulihkan hubungan bilateral, namun sangat disayangkan pertemuan ini batal digelar karena syarat yang diajukan Tehran.

Menurut laporan Fars mengutip media massa Arab Saudi, al-Faisal kemarin (Selasa 5/7) saat konferensi pers bersama sejawatnya dari Inggris, William Hague di Jeddah mereaksi pertanyaan soal hubungan Riyadh-Tehran. "Arab Saudi siap untuk beruding dengan Iran," ungkap al-Faisal.

Menjawab pertanyaan soal sikap Iran terhadap Arab Saudi yang dinilai para wartawan sangat kontradiktif, al-Faisal mengatakan, di kancah politik tidak ada istilah kontradiksi, namun yang akan saya sebutkan adalah telah diadakan perundingan antara Iran dan Arab Saudi beberapa waktu lalu. Menurutnya, lawatan menlu Iran ke Riyadh mengagendakan sejumlah masalah penting seperti transparansi hubungan kedua negara dan normalisasi hubungan bilateral, namun pertemuan tersebut batal digelar karena syarat yang diajukan Tehran.

Ia juga mengkonfirmasikan prakarsa Tehran kepada Riyadh untuk menggelar perundingan segitiga di Kuwait. "Sejatinya menlu Iran saat berada di Pakistan telah menghubungi saya dan menyatakan keinginannya untuk menindaklanjuti perundingan yang ada. Saya juga mengatakan kepadanya bahwa undangan kami kepada anda masih berlaku dan kapanpun anda siap kami akan menyambut," tandas al-Faisal.

Saud al-Faisal menjelaskan, prakarsa Iran adalah menggelar sidang segitiga di Kuwait dan saya mengatakan mengapa friksi antara Arab Saudi dan Iran harus melibatkan Kuwait.

Menlu Saudi menekankan, Iran negara tetangga kami dan jika berniat memainkan peran penting di tingkat regional maka Tehran harus menjaga kepentingan negara kawasan. (IRIB/Fars/MF/6/7/2011)

Menlu Saudi Undang Iran Berdialog

Menteri Luar Negeri Arab Saudi, Saud al-Faisal, dalam statemen terbarunya kembali mengundang sejawatnya asal Republik Islam Iran untuk berkunjung ke Riyadh. Dikatakannya, "Kapan pun berkunjung ke Arab Saudi, ia akan disambut."

Hal itu dikemukakan al-Faisal kemarin (5/7) dalam konferensi persnya dengan Menlu Inggris, Willian Hague, di Jeddah. Al-Faisal juga mengklaim bahwa statemen Republik Islam Iran terkait Arab Saudi, penuh dengan kontradiksi.

Kantor Berita Arab Saudi yang meliput konferensi pers tersebut, mengutip ungkapan al-Faisal bahwa, "Kontradiksi dalam politik tidak mengapa, namun apa yang saya ingin singgung adalah bahwa pada masa lalu, terjadi perundingan dengan Iran dan ditentukan program kunjungan Menlu Iran ke Arab Saudi dalam rangka normalisasi hubungan bilateral."

Ditambahkannya, "Namun sayang sekali kunjungan tersebut tidak terlaksana mengingat berbagai persyaratan yang ditentukan Iran."

"Kenyataannya adalah bahwa ketika berada di Pakistan, Menlu Iran mengontak saya dan menyatakan ingin berunding. Saya menjawabnya dengan mengundangnya berkunjung ke Arab Saudi kapan pun, dan pasti akan disambut," tegas al-Faisal.

Lebih lanjut al-Faisal menjelaskan bahwa Menlu Iran mengusulkan digelarnya sidang segi tiga di Kuwait. Dikatakannya, "Mari kita tidak membawa perselisihan Saudi-Iran ke Kuwait."

Dalam konferensi pers di Riyadh itu, al-Faisal juga menyinggung peran besar Iran seraya meminta Republik Islam memperhatikan maslahat Arab Saudi.

Keinginan al-Faisal untuk berunding dengan Tehran itu mengemuka di saat media massa Barat dalam beberapa pekan terakhir mengungkap friksi dan memburuknya hubungan Riyadh dengan Washington.
(IRIB/MZ/6/7/2011)

Penjualan Leopard ke Saudi Ditentang Oposisi


Sejumlah anggota oposisi Jerman marah dengan keputusan pemerintah yang melangkahi hukum dalam rangka untuk menjual tank pertempuran utama negara itu ke Arab Saudi.

Para pemimpin oposisi Jerman menuntut perdebatan parlemen tentang kemungkinan penjualan tank Leopard kepada monarki Arab, AFP melaporkan pada hari Selasa (5/7).

"Pemerintah harus menjelaskan itu sendiri pada tahap tertentu," kata Ketua Partai Hijau Jerman, Jurgen Trittin dalam sebuah pernyataan.

Perdebatan ini muncul setelah laporan menunjukkan bahwa Arab Saudi berniat untuk membeli 200 tank Leopard-2 bernilai miliaran dolar dari Jerman.

Der Spiegel mengatakan, Saudi telah lama mengusahakan tank Leopard dari Jerman, tapi Berlin berulangkali menolak permintaan tersebut, dengan alasan itu bahaya bagi rezim Zionis Israel.

Laporan itu menyatakan pemerintah sekarang tidak lagi menganggap Riyadh ancaman bagi Tel Aviv. (IRIB/RM/6/7/2011)

Masa Depan Kelam Para Penguasa Saudi di Mata Media AS

Pelarian para diktator regional ke Riyadh, kegagalan politik Arab Saudi di Organisasi Negara-Negara Pengeskpor Minyak (OPEC), kehadiran Iran sebagai rival strategis, serta kegagalan Riyadh dalam memperluas Dewan Kerjasama Teluk Persia, semuanya menggambarkan masa depan suram dan berbahaya bagi para pangeran tua di Arab Saudi.

Majalah Foreign Policy dalam ulasan yang ditulis Simon Henderson menyebutkan, Arab Saudi sebagai pusat spiritual dunia Islam dan pengekspor minyak dunia, serta pemimpin dunia Arab, selalu menjadi sentra perhatian. Namun tahun ini, nama negara tersebut diingat di saat dunia Islam tengah mencari pemimpin baru di tempat lain.

Pelindung Para Diktator

Mungkin kondisi yang ada saat ini lebih buruk bagi Arab Saudi. Zine el-Abidin Ben Ali, mantan presiden Tunisia, pada bulan Januari 2011 lalu, meninggalkan negaranya setelah instabilitas semakin lepas kontrol. Ia bernaung di kota Jeddah, Arab Saudi. Kini pemerintahan baru Tunisia menuntut ekstradisi Ben Ali untuk diadili. Pada bulan Februari 2011, mantan diktator Mesir, Hosni Mubarak, yang merupakan sekutu lama Arab Saudi juga terpaksa meletakkan jabatannya pasca protes massif rakyat selama 18 hari. Washington secara gradual melepaskan dukungannya terhadap Mubarak. Setelah itu, pada Maret 2011 lalu, ketika rakyat Bahrain menuntut dibentuknya pemerintahan konstitusional, pasukan anti huru-hara Saudi bersama dengan tank-tanknya memasuki Bahrain.

Amerika Berpaling dari Para Penguasa Arab

Para pangeran dan sheikh di Saudi dan berbagai negara Arab lainnya benar-benar ingin mengetahui seberapa besar tingkat dukungan Amerika Serikat terhadap mereka. Ketika Presiden Amerika Serikat, Barack Obama berpidato pada 19 Mei 2011 tentang politik luar negeri Washington soal Timur Tengah, Bahrain dikritik karena perilaku buruknya terhadap para demonstran. Pertemuan Obama dengan pangeran Bahrain, Salman bin Hamd al-Khalifah, dipersingkat. Kemudian, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Hillary Clinton, juga tidak hadir dalam konferensi pers bersama Salman. Dari peristiwa tersebut, para penguasa Arab, telah mendapat jawaban soal dukungan Amerika Serikat terhadap rezim-rezim Arab.

Tantangan dari Iran

Di sisi lain, Arab Saudi juga menghadapi tantangan lain di Teluk Persia, yaitu kehadiran Republik Islam Iran yang terus tampil gemilang di kawasan. Iran tampil sebagai negara pemimpin kaum Syiah di kawasan dan kini Tehran memiliki pengaruh besar di antara rakyat regional.

Oleh karena itu, Riyadh harus mencari solusi baru guna mempertahankan posisinya di kawasan. Para pejabat Arab Saudi mulai meningkatkan perhatiannya terhadap masalah Israel-Palestina. Diharapkan melalui strategi ini mereka dapat mempertahankan sisa-sisa kekuatannya di antara negara-negara Arab.

Dalam hal ini, Pangeran Turki al-Faisal, yang di kalangan media massa Amerika Serikat lebih dikenal sebagai mantan dinas rahasia Arab Saudi, 12 Juni 2011 lalu mengatakan, "Politik internal Amerika Serikat dan blokade Israel tidak akan dapat menghalangi bangsa Palestina dalam meraih hak-haknya."

Ditambahkannya bahwa "Arab Saudi dengan pengaruh besar diplomatiknya akan mundukung upaya bangsa Palestina dalam menggalang dukungan internasional terkait pembentukan negara independen Palestina, pada sidang Majelis Umum PBB, September 2011 mendatang."

Menurut, Henderson, dengan berbagai kendala tersebut, wajar jika para pangeran dan penguasa Arab Saudi perlu mengkhawatirkan masa depan mereka.
(IRIB/MZ/5/7/2011)

Kekuatan Iran di Kawasan Tidak Dapat Diabaikan

Lamberto Dini

Seorang senator senior Italia, Lamberto Dini, menyebut Iran sebagai kekuatan besar di kawasan Timur Tengah dan menyatakan bahwa peran Republik Islam Iran di arena internasional tidak dapat diabaikan.

Farsnews (7/7) melaporkan, hal itu dikemukakan Dini dalam pertemuan dengan Wakil Menteri Luar Negeri Iran, Ali Ahani kemarin (6/7). Dini menekankan bahwa peran dan pengaruh Iran di kawasan adalah sebagai kekuatan besar dari sisi politik dan geopolitik.

Dini yang menjabat sebagai Ketua Komite Hubungan Luar Negeri Senat Italia berharap Tehran mampu memainkan peran yang pro-aktif dalam penyelesaian krisis regional dengan bantuan negara-negara lain.

Pejabat Italia itu juga menekankan pentingnya peran Iran dalam perwujudan perdamaian dan stabilitas di Afghanistan, seraya mengatakan bahwa Italia bersedia menjalin kerjasama dalam merekonstruksi dan menciptakan stabilitas perdamaian di Afghanistan.

Di lain pihak, Ahani juga mengharapkan perluasan hubungan Iran dan Italia serta mendesak kerjasama lebih luas antara Tehran dan Roma di semua bidang termasuk politik internasional, ekonomi, budaya dan parlemen.

Dalam dialog tersebut, Deputi Kementerian Luar Negeri Iran untuk Urusan Eropa dan Amerika itu juga memaparkan perspektif Tehran terkait transformasi regional dan global.

Dikatakannya, Iran menentang politik tidak efesien Barat terkait kondisi di kawasan termasuk dalam masalah Afghanistan serta menekankan penarikan mundur pasukan asing dari negeri pendudukan tersebut.

Ahani mengatakan Iran juga mengecam sanksi yang diberlakukan Amerika Serikat dan sejumlah negara Eropa terhadap Iran, yang dinilai bertujuan mencegah bangsa Iran menikmati hak legalnya dalam mendayagunakan teknologi nuklir untuk tujuan damai.
(IRIB/MZ/7/7/2011)

Meski Telat, Ban Ki-moon Berani Kutuk Israel

Ban Ki Moon

Setelah berlalu dua bulan akhirnya Sekjen Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengutuk brutalitas Rezim Zionis Israel di Hari Nakba.

Seperti dilaporkan Pusat Informasi Palestina kemarin, Ban Ki-moon mengkritik pedas langkah Israel mengerahkan militernya untuk menyerang demonstran Palestina di perbatasan Lebanon yang mengakibatkan tujuh orang gugur syahid. "Israel bertanggung jawab atas insiden ini," ungkap Ban Ki-moon.

Sekjen PBB menambahkan, hasil penyidikan menyebutkan militer Israel tercatat sebagai pihak pertama yang memulai kerusuhan dan melanggar resolusi 1701 Dewan Keamanan PBB.

Serdadu Israel di peringatan Hari Nakba yang digelar rakyat Palestina di perbatasan Lebanon dan Palestina pendudukan menyerang warga dan menembak mati tujuh demonstran serta menciderai sejumlah orang lainnya.

Selain itu, di pawai bertepatan Hari Nakba yang digelar di Dataran Tinggi Golan, Suriah, tercatat 23 orang gugur akibat brutalitas Israel serta puluhan lainnya cidera. Tanggal 15 Mei 1948 Rezim Zionis Israel menduduki Palestina dan hari tersebut diperingati setiap tahunnya sebagai Hari Nakba. (IRIB/MF/7/7/2011)

Motif di Balik Penarikan Pasukan AS

Pasukan Amerika di Afghanistan

Wacana penarikan sepertiga tentara AS dari Afghanistan hingga akhir tahun 2012 yang digulirkan Obama menjadi salah satu isu hangat media massa dan politisi dunia. Tentu saja Obama punya motif terselubung dari keputusannya itu. Betapa tidak, selama Demokrat memimpin Gedung Putih, hingga kini rival kubu Republik itu telah dua kali mengubah strategi AS di Afghanistan.

Pada periode pertama menjabat sebagai presiden AS, Obama mengirimkan tentara tambahan ke Afghanistan sebanyak 30.000 personil. Dengan demikian hingga musim panas mendatang, jumlah personil yang ditarik dari Afghanistan sebanyak jumlah pasukan tambahan yang dikirimkan sebelum Obama menjabat sebagai presiden AS.

Tentu saja, Obama menarik pasukan tambahan AS dari Afghanistan dengan sejumlah motif. Pertama, AS menderita kekalahan dalam perang di Afghanistan. Untuk mengurangi kerugian akibat kekalahan itu, Obama mengurangi tentaranya di Afghanistan. Keputusan ini diambil Obama untuk meraup kembali dukungannya dalam pilpres mendatang. Obama tidak ingin kegagalan para pendahulunya terulang kembali.

Obama tidak ingin bernasib sama seperti Lyndon Johnson di akhir dekade 1960-an dalam perang Vietnam dan Jimmy Carter di akhir dekade 1980-an. Kedua mantan presiden AS itu mengalami kekalahan dalam pilpres dari pesaingnya, partai Republik, akibat perang Vietnam dan pendudukan kedutaan AS di Tehran.

Mayoritas rakyat AS menentang keberadaan militernya di Afghanistan. Perang yang disulut AS di Afghanistan membentur jalan buntu, dan kini Washington sedang mati-matian mencari jalan keluar dari krisis tersebut. Bahkan belakangan, sejumlah komandan mengungkapkan pesimisme atas perang di Afghanistan. Saat ini solusi militer di Afghanistan membentur jalan buntu dan AS tengah menjajaki solusi diplomatis. Menlu AS Hillary Clinton dalam pertemuan di Senat mengakui kebuntuan solusi di Afghanistan.

Statemen pejabat teras Gedung Putih terkait Afghanistan tampak kontras antara slogan sebelum pilpres dan setelah Obama menjabat sebagai presiden AS. Obama
mengkritik Bush yang memusatkan kebijakan perangnya di Irak. Bagi Obama, ancaman sebenarnya ada di Afghanistan. Menurutnya, dengan menambah pasukan AS di Afghanistan, Washington memiliki kekuatan lebih besar untuk memberangus al-Qaeda dan Taliban.

Dengan alasan inilah, pada tahun 2009, Washington mengirim tentara baru ke Afghanistan sebesar 79 ribu personil, sehingga jumlah tentara AS di negara yang porak-poranda akibat perang itu mencapai 100 ribu orang. Kebijakan ini menyebabkan Gedung Putih semakin disibukkan dengan urusan Afghanistan. Sejumlah media dan politisi AS dan Eropa menilai intervensi Washington di Afghanistan ini mengulang invasi AS di Vietnam. Dalam perang Vietnam, Nixon mengirimkan tentara tambahan untuk menggempur Viet Cong, bahkan menggunakan senjata pemusnah massal yang dilarang PBB. Namun akhirnya AS harus mundur dengan kekalahan memalukan. Dalam perang itu tidak kurang dari 50 ribu tentara AS tewas di Vietnam.(Biar menang Bikin Film "RAMBO" versi HOLLYWOOD>>> Akhirnya menang walau cuma di film..kasian..kasian...kasian...)

Peristiwa serupa terulang lagi dalam perang di Afghanistan. Selain jumlah korban jiwa dari pihak tentara AS yang terus bertambah, perang Afghanistan juga menguras anggaran Negeri Paman Sam hingga $110 milyar pertahun. Terang saja anggaran sebesar itu memicu krisis ekonomi di negeri yang diguncang krisis akibat problem subprime mortgage itu. Saat ini AS didera defisit anggaran $1,5 triliun dengan utang negara hingga $15 triliun.

Motif lain (kedua) dari penarikan tentara AS di Afghanistan adalah untuk menekan biaya militer yang terus membengkak. Meski demikian AS tidak berniat meninggalkan Afghanistan secara penuh, namun berupaya menciptakan kamp militer di negara itu.

Wacana penarikan pasukan AS dari Afghanistan tidak bisa dipisahkan dari masalah penempatan kamp militer AS di negara itu. Pasca penarikan pasukannya dari Afghanistan, AS menyiapkan sarana untuk memaksa para pejabat teras Kabul menandatangani traktat strategis dengan Washington. Belajar dari sejarah, nota kesepakatan strategis AS dengan sejumlah negara mengindikasikan bahwa setiap kesepakatan selalu bermakna jaminan kepentingan bagi AS di negara tersebut, namun tidak otomatis menguntungkan kepentingan negara yang diajak menandatanganinya. Ujung-ujungnya, kesepakatan tersebut hanya untuk mewujudkan kepentingan Washington, bukan yang lain.

Tampaknya AS sedang mengincar sebuah kondisi yang tepat di Afghanistan supaya Kabul menandatangani nota kesepakatan strategis dengan Washington, tanpa menjelaskan detail nota kesepakatan tersebut kepada para pejabat tinggi Afghanistan, negara-negara kawasan dan opini publik dunia.

Pemerintah AS berharap dengan melakukan kategorisasi Taliban ekstrim dan moderat bisa mewujudkan ambisinya di Afghanistan. Dengan cara ini, Washington membagi Taliban ke dalam kategori, baik dan buruk. Gedung Putih menerapkan pola baru dengan merangkul Taliban yang bisa di ajak berunding demi kepentingan AS.

Washington mengidentifikasi sebagian anggota milisi teroris Taliban yang siap bekerjasama dengan pemerintah Afghanistan dan tidak menentang AS. Pucuk pimpinan dari merekalah yang akan diajak berunding dan bekerjasama dengan AS.

Tanpa mengeluarkan biaya yang seluruhnya ditanggung pemerintah Kabul, Washington memberikan keistimewaan terhadap sejumlah milisi Taliban itu, AS bisa mengendalikan Taliban.

Namun di luar itu, ada fakta yang tidak bisa dilupakan, bahwa operasi militer besar-besaran AS di wilayah Afghanistan dalam beberapa tahun terakhir yang menyebabkan terbunuhnya warga sipil Afghanistan.Tidak mudah bagi warga Afghanistan bertekuk lutut mengamini kepentingan AS.

Tampaknya para pejabat tinggi AS berkeyakinan bahwa semakin besar partisipasi warga pribumi Afghanistan sendiri dalam urusan keamanan dalam negerinya, maka kondisi di negara itu tidak akan lebih buruk dari saat ini. Dengan cara ini Obama bisa meraih kembali dukungannya dalam pilpres mendatang. Bisa dikatakan bahwa motif utama penarikan pasukan AS dari Afghanistan adalah kepentingan politik Obama untuk memenangkan pemilu presiden akhir 2012 mendatang.(IRIB/PH/NA/7/7/2011)

0 comments to "Uang Minyak dan Pendapatan dari uang orang ber Haji untuk biaya beli senjata dan membunuhi kaum muslimin ??!! Benarkah??!! & Ban Ki-moon KUTUK israel"

Leave a comment