Home , , , , , , , , , � Turki ''berkhianat'' ----- BID'AH : Arab Saudi Dituding Berusaha Bongkar Makam Nabi

Turki ''berkhianat'' ----- BID'AH : Arab Saudi Dituding Berusaha Bongkar Makam Nabi


Pengamat Arab Saudi membongkar konspirasi busuk dan terorganisir keluarga Saud untuk menghancurkan peninggalan Islam di kota Mekkah dan Madinah.

Fuad Ibrahim, pengamat Arab Saudi dalam wawancaranya dengan al-Alam memperingatkan rencana keji Riyadh menghancurkan peninggalan Islam di kota suci negara ini. "Dengan berkedok memperluas tempat-tempat suci, pemerintah Arab Saudi berencana menghancurkan seluruh peninggalan Islam di kota Mekkah dan Madinah," ungkap Fuad.

Ia mengkritik kebungkaman negara Arab dan Islam yang menyaksikan kehancuran peninggalan Islam di Arab Saudi. Ditambahkannya, tidak adanya undang-undang yang mencegah aksi Riyadh dan bungkamnya rakyat Arab serta muslim dunia bahkan masyarakat internasional membuat keluarga Saud kian berani menghancurkan peninggalan Islam.

Fuad Ibrahim dalam kesempatan tersebut menekankan pentingnya peninjauan ulang peran keluarga Saud sebagap pengawas dan pengelola tempat-tempat suci Islam di Arab Saudi. "Kini pun beredar isu penghancuran Masjidil Haram oleh pejabat Saudi dalam koridor program perluasan kota,"ungkap Fuad. Bahkan ia juga memperingatkan adanya rencana pemindahan makam Rasulullah Saw dari Masjid Nabwai dan penghancuran Kubah Hijau yang digelontorkan Bin Atsimain, seorang ulama Wahabi.

Sheikh Abdul Naser al-Jabari, dekan Universitas Dakwah Lebanon saat diwawancarai al-Alam mengatakan, rencana perluasan Haramain akan memusnahkan warisan Islam di kota Madinah dan Mekkah. (IRIB/al-Alam/MF/7/9/2011)

Arab Saudi Kian Khawatir Protes Bahrain Merembet ke Riyadh

Ketua Pusat HAM Bahrain, Nabeel Rajab menilai Arab Saudi khawatir atas eskalasi gelombang tuntutan demokrasi di negara ini.

Nabeel Rajab Selasa (6/9) saat diwawancarai Press TV terkait kekhawatiran Arab Saudi atas aksi protes rakyat Bahrain mengatakan, sekitar 200 orang dan 12 di antaranya adalah dokter tengah mogok makan sebagai protes atas pelanggaran HAM dan proses pengadilan para demonstran yang ditangkap di pengadilan militer Bahrain.

Ia menekankan, berbeda dengan tuntutan aktivis HAM di Bahrain terkait pengusutan kondisi fisik 200 tahanan, Manama malah membuat tahanan tersebut kian mendekati kematian.

Nabeel menjelaskan, pemerintah Bahrain dengan bersandar pada kekuatan militer Arab Saudi dan Barat dengan berani menginjak-injak HAM tanpa khawatir reaksi dunia internasional akibat sikap tak manusiawinya terhadap bangsanya sendiri.

"Arab Saudi khawatir munculnya demokrasi di Bahrain, karena jika rakyat negara ini berhasil mendirikan pemerintahan demokratis di Manama maka hal ini akan berdampak pada opini rakyat Arab Saudi serta menjadi pemicu gelombang lebih besar lagi di Riyadh menuntut demokrasi," ungkap Nabeel Rajab. (IRIB/Press TV/MF/7/9/2011)

Iran Berikan Peringatan Keras Atas Pengkhianatan Turki

F-14 Iran

Selasa siang (6/9) Farsnews menurunkan berita bertajuk "Balasan Tegas Angkatan Udara Iran Terhadap Ancaman di Laut Kaspia". Dalam berita itu, Marsekal Hossein Chitforoush, juru bicara manuver akbar Angkatan Udara Iran, menyatakan bahwa armada udara Republik Islam akan membalas tegas segala ancaman di Laut Kaspia. Balasan tegas yang dimaksud Chitforoush adalah sama seperti yang ditunjukkan Iran pada tahun 2001 lalu.

Situs berita Shafaf yang berbasis di Iran, Rabu (7/9) melaporkan, pada Agustus 2001, kapal eksplorasi minyak Republik Azerbaijan secara ilegal memasuki perairan Iran hingga ke zona minyak Alborz. Iran membalas pelanggaran itu dengan mengirim sebuah kapal perangnya dari zona maritim keempat Iran di pelabuhan Anzali dan mengancam kapal tersebut dengan serangan rudal jika tidak segera menyingkir.

Reaksi tegas Iran itu menggelitik keusilan kolektif Azerbaijan dan Turki dengan mengirim jet-jet tempur mereka terbang di atas wilayah perairan Iran. Namun Iran kembali mereaksi pelanggaran itu dengan mengirim armada patroli yang diiringi F-14 dan Orion dari pangkalan udara di Shiraz dan Esfahan.

Setelah insiden tersebut dan pengulangan aksi yang sama serta pelanggaran nyata Angkatan Udara Turki pada 2008, patroli udara Iran di perairan Kaspia terus berlanjut hingga kini.

Poin menarik lainnya adalah bahwa pengungkapan kronologi pelanggaran itu untuk saat ini dapat menyelesaikan teka-teki pengkhianatan Turki terhadap keamanan regional dan juga terkait penempatan sistem radar Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) di Turki.

Republik Islam Iran hendak mengirim pesan secara tidak langsung kepada Turki bahwa jika Turki menjadi tuan rumah musuh-musuh Iran, maka Ankara juga akan berada dalam target armada udara Republik Islam.
(IRIB/MZ/7/9/2011)

Dualisme Turki

Normalisasi hubungan ummat Islam dengan Zionis Israel adalah tugas Turki. Dalam beberapa tahun terakhir ini, Turki melalui Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) menunjukkan diri sebagai negara yang ingin terlibat dalam berbagai isu penting di dunia. Itu dibuktikan Turki dengan menaruh perhatian pada masalah nuklir Iran, karavan Freedom Flotilla, revolusi di Libya dan kerusuhan di Suriah. Dengaan cara ini, Turki berusaha menggeser pengaruh Republik Islam Iran di tengah ummat Islam. Namun Turki sepertinya menghadapi kendala serius. Kendala serius itu berupa penerapan kebijakan standar ganda oleh Ankara.

AS menampilkan Turki sebagai negara yang dapat menyelamatkan kepentingan Barat di kawasan. Turki sengaja dipasang untuk mengimbangi pengaruh Iran di Timur Tengah. Dengan cara ini, AS berniat menjadikan Ankara sebagai mediator Palestina dan Israel demi kepentingan Barat di kawasan. Popularitas Turki pun dijadikan kekuatan untuk menekan kekuatan yang biasa diistilahkan dengan Islam radikal.

Namun nama Turki yang mencuat di tengah ummat Islam karena perlawanannya terhadap Zionis Israel, tidak langgeng. Itu bisa terlihat dari diplomasi Ankara yang nampak zig-zag, bahkan bertolak belakang. Kondisi ini tentunya menyebabkan lunturnya kepercayaan masyarakat di kawasan terhadap Turki.

Contoh standar ganda Turki yang sangat menonjol adalah kebijakan Ankara dalam menyikapi kasus Suriah. Dari satu sisi, Turki mengurangi hubungan dengan Zionis Israel. Pada saat yang sama, Ankara menekan Damaskus dengan mempersenjatai kelompok-kelompok salafi di Suriah utara, khususnya di Jisr al-Shughour dan Jabal Zawiyah. Selain itu, Turki juga mengkoordinasi para imigran Suriah di kawasan perbatasan Turki.

Turki dengan menunggangi isu demokrasi menghendaki Presiden Suriah, Bashar Assad supaya senasib dengan diktator Mesir, Hosni Mubarak. dan diktator Tunisia Zine El Abidine Ben Ali. Namun Turki benar-benar lupa diri dalam menyikapi kasus Suriah. Kondisi di Suriah sama sekali tidak dapat disamakan dengan Mesir, Tunisia, Yaman dan Libya. Apalagi masyarakat Suriah masih menghendaki Bashar Assad. Meski demikian, tak dapat dipungkiri bahwa rakyat Suriah menghendaki perubahan, tapi bukan penggulingan kekuasaan. Menyusul tuntutan perubahan itu, Bashar Assad mengabulkan kehendak rakyat. Dalam waktu dekat, Suriah juga akan menggelar pemilu parlemen.

Dari sisi kebijakan luar negeri, Suriah secara terang-terangan menunjukkan anti-Israel dan mengulurkan bantuan konkrit kepada Hamas. Suriah juga menampung ribuan pengungsi Palestina. Ini semua seharusnya menjadi pertambingan tersendiri bagi Turki untuk menekan Suriah. Dengan ungkapan lain, menekan Suriah sama halnya menyenangkan Zionis Israel yang salama ini selalu dirugikan dengan kebijakan Damaskus.

Pengusiran Dubes Israel oleh Turki dan kebijakan Ankara yang menerima penempatan radar Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) mencerminkan dualisme Turki. Penempatan radar NATO di Turki tentunya menguntungkan Zionis Israel yang kini tengah menekan Suriah. Dengan penempatan radar itu, NATO mengantisipasi kemungkinan langkah Iran untuk membantu Suriah yang tengah ditekan Barat dengan bantuan Turki. (IRIB/AR/7/9/2011)

Kemiripan Libya dengan Irak

Revolusi rakyat Libya terus berjalan maju dan setiap hari tersiar berita transformasi yang terjadi di negara tersebut. Namun untuk meraih hari-hari kemenangan dan kegemilangan, rakyat Libya menghadapi banyak problem dan sewaktu-waktu bahaya akan mengancam revolusi mereka.

Walaupun Tripoli telah jatuh ketangan para revolusioner, namun Muammar Gaddafi dan anak-anaknya masih terus melakukan perlawanan. Sebelum Gaddafi ditangkap, Libya akan terus mengalami kekacauan. Dengan kata lain, jika para pengikut setia Gaddafi masih terus melakukan perlawanan, begitu juga Gaddafi masih dalam pelarian, maka Dewan Transisi Libya (NTC) tidak dapat melanjutkan pekerjaan mereka dengan penuh keyakinan.

Masalah besar lain yang di hadapi Libya yang menghalangi terciptanya keteratuaran dan keamanan libya adalah senjata yang masih di tangan rakyat Libya yang didapat dari gudang senjata Gaddafi.

Rakyat Libya selama 40 tahun berada di bawah kekuasaan diktator zalim, maka tidak diragukan lagi hingga kini rakyat negara ini masih berfikir untuk membalas kekejaman diktator Gaddafi. Hal itu dapat memicu bentrokan berdarah di Libya. Oleh sebab itu, pelucutan senjata dari tangan rakyat sipil Libya harus menjadi program utama Dewan Transisi.

Negara-negara Eropa adalah pembeli terbesar minyak Libya. Negara-negara seperti Cina dan Rusia juga menginginkan minyak dan gas Libya. Kedua negara tersebut juga tidak melupakan akan kemungkinan penjualan alat-alat perang ke Libya. Libya bagi Cina dan Rusia merupakan pangkalan dan pintu masuk ke benua Afrika.

Nampaknya, sikap cepat sebagian negara Eropa menyerang Gaddafi tidak lepas dari hubungan Libya dengan Cina dan Rusia. Presiden Perancis, Nicolas Sarkozy lebih cepat mengambil keputusan untuk menggelar perang melawan Gaddafi dari pada ketika menangani masalah Tunisia. Oleh sebab itu, Perancis menjadi pemimpin pertama negara-negara Eropa dalam menggelar perang dengan Gaddafi.

Kondisi di Libya mirip dengan kondisi yang terjadi di Irak. Militer Libya seakan-akan telah bubar dan para revolusioner dalam keadaan perang kota dengan pangikut setia Gaddafi. Para personel militer Libya kehilangan pekerjaan mereka, dan kondisi ini dapat melahirkan kelompok-kelompok pemberontak dan militan di Libya.

Pembubaran militer dan terusirnya orang-orang yang mempunyai hubungan dekat dengan Gaddafi akan berpengaruh pada pengaturan Libya, sehingga Libya akan berubah menjadi Irak baru. Oleh sebab itu Dewan Transisi Libya harus berfikir untuk menggunakan militer lama dan menciptakan perdamaian antara mereka dan para revolusioner, sehingga Libya selangkah lebih maju dan selamat dari krisis. (IRIB/RA/SL/7/9/2011)

Libya Pasca Gaddafi Mirip Irak Pasca Saddam

Revolusi rakyat Libya terus berjalan maju dan setiap hari tersiar berita transformasi yang terjadi di negara tersebut. Namun untuk meraih hari-hari kemenangan dan kegemilangan, rakyat Libya menghadapi banyak problem dan sewaktu-waktu bahaya akan mengancam revolusi mereka.

Walaupun Tripoli telah jatuh ketangan para revolusioner, namun Muammar Gaddafi dan anak-anaknya masih terus melakukan perlawanan. Sebelum Gaddafi ditangkap, Libya akan terus mengalami kekacauan. Dengan kata lain, jika para pengikut setia Gaddafi masih terus melakukan perlawanan, begitu juga Gaddafi masih dalam pelarian, maka Dewan Transisi Libya (NTC) tidak dapat melanjutkan pekerjaan mereka dengan penuh keyakinan.

Masalah lain yang dihadapi Libya adalah ketertinggalan Libya dibandingkan dengan negara-negara Timur Tengah dari struktur masyarakat sipil. Di Libya sama sekali tidak ada partai politik atau LSM.

Sejak dipimpim Gaddafi, tidak pernah ada organisasi politik di Libya, dapat dikatakan, negara ini sejak 40 tahun silam dengan Libya sekarang tidak ada perbedaan. Rakyat Libya juga tidak mengenal apa itu demokrasi, bahkan menurut para pengamat, negara ini membutuhkan waktu 40-50 tahun untuk mengenal demokrasi, sehingga dapat mengejar ketertinggalannya dengan negara-negara timur tengah lainnya.

Banyak para pengamat yang menilai bahwa kandungan minyak di Libya merupakan faktor mendasar yang membuat Barat mendukung para oposisi Muammar Gaddafi. Sekelompok kecil para pengamat meyakini lebih dari itu. Sejak awal meluasnya kerusuhan di Libya dan desas-desus kemungkinan intervensi militer Barat, Muammar Gaddafi selalu mengklaim bahwa provokasi perang di dalam negeri Libya adalah salah satu konspirasi negara-negara Barat untuk menguras cadangan minyak dunia.

Negara-negara Eropa adalah pembeli terbesar minyak Libya. Negara-negara seperti Cina dan Rusia juga menginginkan minyak dan gas Libya. Kedua negara tersebut juga tidak melupakan akan kemungkinan penjualan alat-alat perang ke Libya. Libya bagi Cina dan Rusia merupakan pangkalan dan pintu masuk ke benua Afrika.

Nampaknya, sikap cepat sebagian negara Eropa menyerang Gaddafi tidak lepas dari hubungan Libya dengan Cina dan Rusia. Presiden Perancis, Nicolas Sarkozy lebih cepat mengambil keputusan untuk menggelar perang melawan Gaddafi dari pada ketika menangani masalah Tunisia. Oleh sebab itu, Perancis menjadi pemimpin pertama negara-negara Eropa dalam menggelar perang dengan Gaddafi.

Seorang pengamat Libya, AlFred Hawkins Berg mengatakan, "Sarkozy marah dengan Gaddafi. Sebelumnya, hubungan Sarkozy dengan Gaddafi sangat baik, bahkan orang nomor satu di Perancis ini menyambut hangat Gaddafi dan rombongannya di Paris. Keduanya menandatangani berbagai kesepakatan penting. Sebagian kesepakatan itu dikhianati Gaddafi. Sebagai contoh pengkhianatan Gaddafi yaitu kesepakatan Libya yang akan membeli pesawat-pesawat tempur dari Perancis, namun Gaddafi malah membeli pesawat tempur dari Rusia."

Masalah besar lain yang di hadapi Libya yang menghalangi terciptanya keteratuaran dan keamanan libya adalah senjata yang masih di tangan rakyat Libya yang didapat dari gudang senjata Gaddafi.

Rakyat Libya selama 40 tahun berada di bawah kekuasaan diktator zalim, maka tidak diragukan lagi hingga kini rakyat negara ini masih berfikir untuk membalas kekejaman diktator Gaddafi. Hal itu dapat memicu bentrokan berdarah di Libya. Oleh sebab itu, pelucutan senjata dari tangan rakyat sipil Libya harus menjadi program utama Dewan Transisi.

Kondisi di Libya mirip dengan kondisi yang terjadi di Irak. Militer Libya seakan-akan telah bubar dan para revolusioner dalam keadaan perang kota melawan pangikut setia Gaddafi. Para personel militer Libya kehilangan pekerjaan mereka, dan kondisi ini dapat melahirkan kelompok-kelompok pemberontak dan militan di Libya.

Pembubaran militer dan terusirnya orang-orang yang mempunyai hubungan dekat dengan Gaddafi akan berpengaruh pada pengaturan Libya, sehingga Libya akan berubah menjadi Irak baru. Oleh sebab itu Dewan Transisi Libya harus berfikir untuk menggunakan militer lama dan menciptakan perdamaian antara mereka dan para revolusioner, sehingga Libya selangkah lebih maju dan selamat dari krisis. (IRIB/RA/SL/7/9/2011)

Rakyat Libya: Kehadiran NATO Picu Perang Saudara

Berdasarkan sebuah jajak pendapat, mayoritas responden Libya menilai berlanjutnya kehadiran pasukan NATO di negaranya akan memperpanjang perang dan pembantaian di negeri ini.

Polling yang digelar Press TV dan dirilis Selasa (6/9) menyebutkan, di antara 8221 responden Libya, sekitar 51 persen penduduk negara ini meyakini jika NATO terus bercokol di negara mereka pasca tumbangnya diktator Muammar Gaddafi maka perang akan semakin luas dan terus berlangsung.

Masih menurut polling ini, sekitar 36 persen responden menilai terus bercokolnya NATO di Libya akan menimbulkan perang saudara di Tripoli.

Sementara itu, kubu revolusioner yang berhasil mengontrol sebagian besar wilayah Libya meminta rakyat menjaga hasil revolusi dan kondisi yang ada.

Hisyam Abu Hajar, komandan militer Dewan Transisi Nasional (NTC) menyatakan bahwa pasukan bayaran Gaddafi dan NATO hingga saat ini telah membantai sedikitnya 50 ribu warga sipil. (IRIB/Press TV/MF/7/9/2011)

0 comments to "Turki ''berkhianat'' ----- BID'AH : Arab Saudi Dituding Berusaha Bongkar Makam Nabi"

Leave a comment