Riyadh selama ini terkenal sebagai negara yang sangat kolot. Parahnya lagi kekolotan mereka ini dibungkus dengan nama agama. Tak syak bahwa agama di Arab Saudi menjadi alat bagi penguasa untuk melanggengkan kekuasaan mereka dan membiarkan rakyatnya terbelakang khususnya kaum perempuan.
Aliran Wahabi dan Salafi yang dijadikan mazhab asli Arab Saudi menjadi faktor utama tercegahnya hak-hak legal kaum perempuan. Wahabi dengan mengatasnamakan agama menerapkan pembatasan sangat besar bagi kaum perempuan. Berdasarkan ideologi Wahabi, perempuan menjadi masyarakat kelas dua. Mereka dilarang aktif di berbagai sektor seperti politik, sosial dan budaya.
Sementara itu, sudah jelas bahwa separuh penduduk bumi di setiap negara adalah kaum perempuan. Setiap negara membutuhkan peran dan perhatian serius terhadap kaum perempuan jika ingin maju. Dewasa ini banyak digelar konferensi baik tingkat nasional maupun internasional membicarakan masalah hak-hak kaum perempuan. Kini kaum perempuan di berbagai negara dunia termasuk Timur Tengah telah mendapat hak legal mereka. Salah satu faktor yang menunjang kebangkitan Islam di Timur Tengah adalah meningkatkan kesadaran kaum hawa atas hak-hak luas mereka di Islam. Di sisi lain, kaum perempuan Arab Saudi selama bertahun-tahun menderita akibat ketidakpedulian petinggi Riyadh atas hak-hak mereka.
Di dunia modern dilakukan berbagai upaya untuk meningkatkan hak legal kaum hawa dan memberantas segala bentuk diskriminasi atas mereka. Adapun Arab Saudi dalam hal ini termasuk pengecualian. Perempuan Arab Saudi hingga kini tetap tidak mendapat hak-hak dasar mereka, oleh karena itu, pemerintah Riyadh menjadi bukti utama pelanggaran terhadap konvensi internasional terkait hak kaum perempuan. Diskriminasi terhadap perempuan di konvensi internasional mencakup berbagai pembatasan dan pembedaan berdasarkan gender baik itu ditujukan untuk menghilangkan kebebasan dasar perempuan di berbagai bidang seperti politik, ekonomi, sosial maupun budaya.
Namun pertanyaan utama di sini adalah, apa yang mendorong pemerintah Riyadh melecehkan kaum hawa ? Tak diragukan lagi keberadaan ideologi Salafi dan Wahabi di Arab Saudi sebagai mazhab resmi negara ini sebagai penghalang utama terealisasinya hak-hak perempuan. Wahabi di Arab Saudi mengatasnamakan Islam dan memberlakukan pembatasan sangat ketat terhadap perempuan sehingga terkesan mereka sebagai warga kelas dua. Oleh karena itu, tak heran jika perempuan Arab Saudi sangat terbelakang dan mereka tidak bisa tampil di berbagai sektor seperti sains, politik, sosial dan budaya.
Mereka juga tidak mendapat hak suara, dilarang mengemudi, mengasuh anak dan bahkan untuk memiliki telepon genggam pun perempuan Arab Saudi dilarang. Berdasarkan undang-undang dasar Arab Saudi, perempuan tidak berhak melakukan aktivitas politik apapun. Diskriminasi terhadap kaum hawa di negara ini sampai pada batas perempuan di sejumlah tempat umum dilarang masuk tanpa adanya muhrim. Uniknya lagi, perempuan Arab Saudi hingga tahun 2001 tidak memiliki kartu tanda pengenal. Ini artinya pemerintah tidak mengakui identitas mereka.
Bulan lalu, Najla Hariri, perempuan berusia 45 tahun membuat heboh media internasional dan Arab. Ia selama sepekan berhasil mengendarai mobil di Riyadh sebelum ditangkap pihak keamanan. Di sisi lain, seorang perempuan di Arab Saudi dihadapkan pada hukuman cambuk sebanyak 10 kali. Putusan pengadilan ini diambil setelah perempuan tersebut kedapatan berada dibelakang kemudi mobil. Shaima Ghassaniya dijatuhi hukuman 10 cambuk karena melanggar aturan negara yang melarang perempuan untuk mengemudi mobil. Tentunya hal ini amat menyakitkan bagi perempuan tersebut, di saat mereka seharusnya mendapatkan hak yang sama dengan para pria Arab Saudi.
Tidak ada hukum spesifik yang melarang perempuan untuk mengendarai mobil. Tetapi tokoh ulama di Negeri Kaya Minyak tersebut mengeluarkan fatwa yang melarang perempuan berada dibelakang kemudi. Fatwa dari ulama di Arab Saudi memang amat berpengaruh di negara tersebut. Kabar menyedihkan ini muncul setelah beberapa hari lalu setelah Raja Abdullah mengumumkan perempuan di negaranya akan mendapatkan hak untuk memilih dan mencalonkan diri sebagai kepala daerah di 2015 mendatang.
Namun keputusan Raja Abdullah bin Abdulaziz al-Saud ini tidak sepenuhnya membuahkan rasa puas kepada perempuan di Negeri Kaya Minyak tersebut. Para perempuan Arab ini harus menunggu empat tahun agar mendapatkan hak mereka untuk memilih. Keputusan yang diambil oleh Raja Abdullah ini diambil setelah melakukan pertemuan dengan ulama setempat dan dewan syura yang biasa memberikan pertimbangan kepada Raja. Raja sepertinya ingin membuktikan dirinya melakukan reformasi yang selama ini diinginkan warga, khususnya perempuan. Segala bentuk reformasi yang dilakukan raja dinilai merupakan bentuk pencegahan terhadap aksi protes yang selama ini merebak di negara-negara Arab.
Iklim diskriminasi terhadap kaum perempuan di Arab Saudi disebabkan ideologi Salafi dan Wahabi. Akhir-akhir ini perempuan Saudi bergabung dalam aksi demo menentang penguasa dan diskriminasi dengan memanfaatkan fenomena Kebangkitan Islam. Warga di wilayah timur Saudi, kota Qatif turun ke jalan menentang sikap polisi yang melecehkan perempuan. Demonstran juga menyatakan dukungan mereka terhadap revolusi yang sedang berlangsung di Bahrain.
Sebelumnya warga wanita pada hari Sabtu (24/9) berunjuk rasa di luar kantor pemerintah daerah di provinsi timur Dammam, menyerukan pembebasan keluarga mereka yang ditahan di penjara selama bertahun-tahun. Para pengunjuk rasa di Qatif juga menggelar demonstrasi pada hari Jumat menentang intervensi brutal militer rezim Al Saud di Bahrain yang bertujuan memberangus protes damai rakyat di kerajaan kecil di pesisir Teluk Persia itu. Kedua demonstrasi terjadi meskipun pemerintah memberlakukan larangan ketat.
Para aktivis hak asasi manusia di Arab Saudi mengatakan negara itu telah memenjarakan lebih dari 30.000 tahanan politik. Kebanyakan mereka ditangkap dan ditahan tanpa pengadilan. Keluarga tahanan politik telah berulang kali memohon kepada raja yang berkuasa setidaknya memberikan keadilan bagi orang yang mereka cintai itu. Namun, raja bertahun-tahun mengabaikan panggilan mereka.
Selama bulan terakhir, aktivis Saudi di wilayah timur mengadakan beberapa protes anti-pemerintah, menuntut reformasi dan segera dibebaskannya tahanan politik. Mereka menuntut reformasi hak asasi manusia, kebebasan berekspresi dan politik. Namun hasil yang mereka terima secara tak terduga berupaya hukum anti-teror, yang memberikan wewenang bagi penguasa untuk menahan tersangka sampai 120 hari yang bisa diperpanjang hingga waktu tak terbatas. Pemantau Hak Asasi Manusia mengatakan lebih dari 160 orang ditangkap sejak Februari lalu sebagai bagian dari tindakan keras rezim Saudi terhadap pada pengunjuk rasa anti-pemerintah. Menurut LSM HAM berbasis di Saudi, Human Rights First Society (HRFS), para tahanan telah mengalami penyiksaan baik secara fisik maupun mental.
Sementara itu, langkah pemerintah Arab Saudi memberikan hak suara kepada perempuan negara ini dinilai banyak pengamat bukan sebagai bentuk kemajuan, namun lebih didorong oleh ketakutan Riyadh terhadap fenomena Kebangkitan Islam yang merebak di kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara. Apalagi rakyat khususnya kaum perempuan menuntut hak mereka dan penentuan nasib negara di tangan mereka.
Adapun Islam sendiri memiliki pandangan yang luas terkait hak-hak pria dan wanita. Dalam pandangan Islam, laki-laki dan perempuan memiliki kesamaan hak manusiawi meski mereka secara fisik dan mental berbeda. Secara manusiawi, menurut Islam perempuan memiliki kesempatan untuk berkarya dan andil di berbagai bidang kemasyarakatan. Hal ini sangat nyata di zaman Rasulullah saw, di saat kaum perempuan ikut dalam bai'at Nabi tahun 11 Hijriah yang dikenal dengan Bai'at al-Nisa. Tahun keenam Hijriah, Nabi juga mengadakan baiat dengan sejumlah pria dan wanita yang dikenal dengan Baiat Ridwan. Di era pertama Islam, baiat memiliki posisi yang sama seperti pemilu saat ini. Langkah Rasulullah ini menunjukkan bahwa perempuan juga memiliki hak seperti kaum pria dan tampil di berbagai bidang kemasyarakatan.
Oleh karena itu, negara dan pemerintah yang berniat memberlakukan undang-undang Islam harus memperhatikan penuh hak kaum perempuan. Pemerintah Arab Saudi tidak dapat melarang perempuan untuk tampil di pentas politik dan sosial dengan dalih agama, karena banyak negara muslim lainnya yang memberikan kesempatan kepada kaum hawa untuk tampil di masyarakat. Dalam hal ini, Republik Islam Iran menjadi contoh nyata negara yang peduli terhadap hak kaum perempuan. Kepedulian ini juga diapresiasi dalam undang-undang dasar. Di pasal 21 UUD Iran disebutkan bahwa hak perempuan di seluruh bidang dan sesuai dengan ketentuan Islam dijamin oleh negara.
Oleh karena itu, sikap pemerintah Arab Saudi yang menerapkan pembatasan ekstra ketat terhadap perempuan tidak dapat ditolerir dan disebut sebagai pelaksanaan ajaran Islam. Namun hal ini, lebih dapat disebut sebagai kedangkalan pemikiran dalam memahami ajaran Islam yang dimotori oleh Wahabi. Kebangkitan Islam dan transformasi Dunia Islam cepat atau lambat akan memicu perubahan mendasar di negara-negara seperti Arab Saudi dan salah satunya adalah pemberian hak legal kaum perempuan. (IRIB/9/10/2011)
0 comments to "Kebangkitan Islam dan Harapan Perempuan Arab Saudi"