Pemimpin Besar Revolusi Islam atau Rahbar, Ayatollah al-Udzma Sayyid Ali Khamenei pada kunjungannya ke provinsi Kermanshah yang memasuki hari keenam, berbicara di hadapan masyarakat kota Paveh dan Uramanat. Dalam kesempatan itu, Rahbar mengingatkan upaya musuh yang terus menerus menebar perselisihan antara Syiah dan Sunni.
"Bangsa Iran yang bersatu telah memadukan antara kesetiaan kepada Islam dan cita-cita Revolusi Islam dengan logika, kemajuan ilmu, ekonomi dan partisipasi di berbagai kancah politik dan sosial yang semuanya melahirkan parameter yang menjadi petunjuk arah bagi gerakan agung bangsa-bangsa di kawasan," jelas Rahbar dalam pidatonya, hari Senin (17/10/2011).
Ayatolah al-Udzma Sayid Ali Khamenei juga menandaskan, "Berkat kemenangan Revolusi Islam, serta partisipasi dan keterlibatan rakyat dalam berbagai persoalan negara, dunia saat ini memandang bangsa Iran sebagai bangsa Muslim yang pandai dan arif serta bangsa yang terdepan dan maju di berbagai bidang. Dengan mengandalkan identitas kolektif ini, bangsa Iran bisa memainkan peran besar di era Kebangkitan Islam."
Menurut Rahbar, pandangan antusias bangsa-bangsa di kawasan terhadap bangsa Iran ini merupakan kesempatan yang bagus untuk berperan lebih besar dalam membangun opini umum dunia Islam.
Dalam pidatonya, Pemimpin Besar Revolusi Islam menyatakan bahwa bangsa Iran dan Republik Islam Iran tidak mengklaim diri sebagai pemimpin bagi bangsa-bangsa di kawasan.
"Setiap bangsa harus mengandalkan potensi, kemampuan dan jatidirinya masing-masing untuk memilih jalan yang dimaukan. Tapi tak diragukan bahwa bangsa-bangsa di kawasan menaruh perhatian yang khusus kepada bangsa Iran karena melihat potensi dan kapabilitas yang dimiliki bangsa Iran dalam 32 tahun terakhir," jelas beliau.
Rahbar mengingatkan kembali bahwa musuh mengenal dengan baik potensi bangsa Iran untuk menjadi teladan. Karena itu, musuh-musuh Islam dan Iran berusaha keras mencegah terbentuknya persepsi yang memandang Republik Islam Iran sebagai panutan di kawasan.
Rahbar mengingatkan kembali bahwa musuh mengenal dengan baik potensi bangsa Iran untuk menjadi teladan. Karena itu, musuh-musuh Islam dan Iran berusaha keras mencegah terbentuknya persepsi yang memandang Republik Islam Iran sebagai panutan di kawasan.
Beliau menyebut upaya menebar perselisihan antara Syiah dan Sunni baik di Dunia Islam maupun di dalam wilayah Iran sebagai agenda strategis musuh saat ini. Beliau menambahkan, "Kita umat Islam, baik Syiah maupun Sunni, memiliki banyak kesamaan dalam agama dan akidah. Kita juga mempunyai banyak kepentingan yang sama. Akan tetapi musuh berusaha mengecilkan persamaan-persamaan yang ada untuk mewujudkan target hegemoni mereka."
Ayatollah al-Udzma Khamenei menyatakan bahwa keakraban dan solidaritas yang kuat antara Syiah dan Sunni di Iran ibarat pukulan telak atas muka para konspirator. Beliau menandaskan, kelestarian hubungan yang akrab dan bersaudara ini membawa pesan kepada musuh bahwa Iran bukan tempat untuk menebar perselisihan. Sama seperti sebelumnya, bangsa Iran yang bersatu maupun para pejabat negara, baik saat ini maupun di masa mendatang, tak akan mundur menghadapi siapapun dan tekanan apapun.
Pemimpin Besar Revolusi Islam menyebut perlawanan dan muqamawah yang kontinyu dan sadar sebagai solusi tunggal untuk menggagalkan aksi musuh-musuh Islam dan umat Islam. Kepada umat Islam beliau mengatakan, "Tegarlah menghadapi musuh seperti ketegaran bangsa Iran. Sebab, jika tidak, musuh akan semakin berani. Setelah berhasil memecah-belah antara Syiah dan Sunni mereka akan mencerai-beraikan antara kelompok-kelompok di tubuh Sunni sendiri." (IRIB/Khamenei/AR)
Rahbar: Dengan Iman Kita Menang !
Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran menyebut kehendak Ilahi dan keimanan sebagai faktor utama yang mengarahkan hati rakyat Iran untuk terjun ke berbagai medan.
Ayatollah al-Udzma Sayyid Ali Khamenei dalam pertemuan dengan anggota panitia peringatan 9 Dey Senin (12/12) mengatakan, partisipasi rakyat yang luas dan besar pada 9 Dey 1388 HS (30 Desember 2009) adalah manifestasi dari peran aktif rakyat dalam berbangsa dan bernegara.
"Identitas dan esensi revolusi Islam dalam bentuk spirit religiusitas mendominasi jiwa rakyat Rakyat," kata Rahbar.
Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran menilai peristiwa 9 Dey bukan momentum kecil, tapi sebuah gerakan besar rakyat yang akan terus hidup dan abadi di bawah naungan agama dan terwujudnya janji-janji Ilahi.
"Sebab, hanya dengan iman, Anda akan menang dalam kondisi apapun tanpa mengenal kata kalah," tegasnya.
Pemimpin Besar Revolusi Islam menyebut peristiwa 9 Dey sangat mirip dengan apa yang terjadi di awal sejarah Islam, dan serupa dengan saat bangsa Iran meraih kemenangan revolusi Islam.
"Di hari itu, rakyat melaksanakan apa yang menjadi kewajiban agama mereka, dan terjun ke tengah medan untuk mementaskan satu fakta besar yang berlawanan dengan apa yang dipropagandakan kubu fitnah. Rakyat menyatakan kesetiaannya terhadap pemerintahan Republik Islam Iran yang menunjukkan kokohnya tekad dan keyakinan agama mereka," pungkas beliau. (IRIB Indonesia/PH)
Rahbar: Revolusi Islam Telah Menghadiahkan Kehormatan Bagi Bangsa Iran
Rahbar atau Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran Ayatollah al-Udzma Sayyid Ali Khamenei mengatakan, resistensi dan keteguhan bangsa Iran menghadapi kubu arogansi dan imperialisme didapatkan berkat revolusi Islam. Hal itu ditegaskan Rahbar dalam pertemuan dengan para komandan dan perwira tinggi Angkatan Laut Tentara Republik Islam Iran Senin (28/11) memperingati hari Angkatan Laut.
Ayatollah al-Udzma Khamenei menandaskan, berkat harga diri yang dihadiahkan Revolusi Islam, rakyat dan para pejabat Iran teguh dan resisten menghadapi kaum arogan dan imperialis dan berhasil merobohkan mental musuh-musuhnya.
Seraya menyinggung sejarah kubu imperialisme, terutama Inggris, dalam menghinakan bangsa-bangsa lain, melenyapkan warisan masa lalunya dan menanamkan doktrin ketidakmampuan bangsa-bangsa di dunia dengan tujuan untuk menguasai kekayaan mereka, beliau mengatakan, di era rezim Qajar dan Pahlevi para pejabat negara lemah dan hina di depan kehendak para imperialis. Karena itu, mereka tak pernah mampu mengambil langkah yang positif untuk membela kepentingan rakyat Iran.
Pemimpin Besar Revolusi Islam menambahkan, bangsa Iran harus menghargai kemuliaan yang telah dihadiahkan oleh revolusi Islam kepada mereka.
Lebih lanjut beliau menyebut misi mengawal keamanan di perairan selatan Iran sebagai tugas yang sangat penting, seraya menekankan, "Jika suatu saat harus menghadapi ujian, Angkatan Laut Republik Islam Iran akan mengatasinya dengan kekuatan dan wibawa yang lebih besar."
Beliau yang juga memangku posisi Panglima Tertinggi Seluruh Korps Angkatan Bersenjata dalam kesempatan ini menyampaikan pesan pentingnya kepada Korps Angkatan Laut Tentara dan Garda Revolusi Islam untuk senantiasa menjalankan setiap misi dan tugas dengan serius dan konsentrasi penuh. Beliau juga berpesan untuk melakukan konstruksi internal dari sisi peningkatan berbagai ketrampilan, keilmuan, tekad, kemauan, dan keberagamaan. (IRIB Indonesia/khamenei.ir/MZ)
Rahbar: Revolusi Islam Muliakan Rakyat Iran
Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran atau Rahbar, Ayatullah al-Udzma Sayid Ali Khamenei menilai resistensi rakyat Iran dalam menghadapi kubu arogan dan imperialis dunia sebagai berkah dari revolusi Islam.
Rahbar mengatakan, "Rakyat dan para pejabat Iran berhasil mengalahkan para arogan dan imperialis dunia. Hal itu merupakan anugerah dari revolusi Islam Iran." Pernyataan Rahbar tersebut disampaikan dalam pertemuan dengan para penglima dan pejabat Pasukan Angkatan Laut Iran pada Senin hari ini (28/11) ketika menghadiri acara HUT Angkatan Laut Iran.
Seraya menyinggung sejarah imperalisme, khususnya Inggris yang merendahkan dan menghina rakyat serta menghapus warisan masa lalu guna menguasai kekayaan rakyat, Rahbar menegaskan, "Pada masa pemerintahan Qajar dan Pahlevi, para pejabat negara ini lemah dan hina, karena mereka tunduk kepada ambisi para agresor. Oleh sebab itu, mereka tidak mampu melangkah guna menjaga kepentingan-kepentingan rakyat Iran."
"Rakyat Iran harus memahami kemuliaan yang telah dihadiahkan oleh revolusi Islam Iran," tambahnya.
Di akhri pidatonya, Ayatullah Khamenei menilai bahwa menjamin keamanan di perairan selatan Iran sebagai hal yang sangat penting. "Jika kini ancaman datang, maka Pasukan Angkatan Laut Republik Islam Iran akan menghadapinya dengan kekuatan penuh," tegasnya.
Rahbar juga berpesan kepada Pasukan Angkatan Laut Iran dan Pasdaran supaya menjalankan tugasnya dengan teliti dan penuh kehati-hatian, serta menghimbau mereka untuk mengokohkan jiwa mereka dengan meningkatkan berbagai keterampilan dan keilmuan, serta tekad baja.(IRIB Indonesia/RA/PH)
Rahbar: AS-Barat Gagal Padamkan Kebangkitan Islam
Pemimpin Besar Revolusi Islam Islam atau Rahbar, Ayatullah al-Udzma Sayid Ali Khamenei menilai bahwa upaya-upaya Barat untuk menumpas dan menghentikan kebangkitan Islam di Timur Tengah telah gagal.
Rahbar, Ahad (27/11) menegaskan, gerakan bangsa-bangsa Muslim di kawasan akan tetap ada dan terus berlanjut. Bahkan, dengan kebangkitan yang terus-menerus, satu persatu boneka kekuatan arogans akan runtuh. Ditambahkannya, itu merupakan tanda pertumbuhan kekuatan Islam.
Penegasan tersebut disampaikan Rahbar di depan ribuan Basij teladan dari seluruh penjuru Iran di Akademi Militer Imam Ali as, Tehran, ibukota negara itu.
"Kebangkitan Islam di Timur Tengah sangat mempengaruhi transformasi dunia, khususnya Amerika dan Eropa. Dunia akan segera menyaksikan perubahan besar yang muncul dari gerakan-gerakan Islam tersebut," tegasnya.
Seraya menolak tuduhan Barat soal intervensi Iran dalam kebangkitan di kawasan, Rahbar mengatakan, "Eksistensi, resistensi, dan integritas Republik Islam Iran dengan sendirinya telah mengilhami bangsa-bangsa regional."
Pada bagian lain pidatonya, Rahbar menyinggung kemajuan rakyat Iran selama 32 tahun terakhir dan keberhasilan mereka dalam menghadapi berbagai tantangan serta propaganda musuh.
"Dengan kapasitas dan budaya yang dimiliki saat ini, rakyat Iran telah menjadikan sesuatu yang dianggap mustahil menjadi mungkin untuk dilakukan. Dan dengan terus menjaga tekad dan semangat seperti ini, rakyat Iran akan meraih kemenangannya," tegas Rahbar.
Lebih lanjut, Rahbar menuturkan, rakyat Iran merupakan bangsa yang menuntut perdamaian. Namun, segala bentuk ancaman dan agresi akan direspon dengan tegas oleh rakyat negara ini.
Rahbar menilai Basij sebagai peniti jalan madrasah Asyura, kenang-kenanan abadi dan inspirator bangsa Iran dalam sejarah serta gerakan dari rakyat untuk rakyat. Menurutnya, Angkatan Bersenjata Iran sumber kemuliaan negara dan rakyat. Universitas militer Iran merupakan pusat ilmu dan jihad. Aroma spiritual dan iman bahkan tercium di perguruan tinggi tersebut.
Di akhir pidatonya, Rahbar mengucapkan selamat kepada taruna teladan Akademi Militer Iran, yang menerima kenaikan pangkat. Selain itu, beliau juga tidak melupakan para veteran di masa Perang Pertahanan Suci. (IRIB Indonesia/RA/RM)
Jenderal AS Sesumbar Siap Serang Iran
Kepala Staf Gabungan angkatan Bersenjata AS Jenderal Martin Dempsey menyatakan militer AS siap melancarkan serangan militer terhadap Iran jika diperlukan.
"Kami mengkaji berbagai pilihan. Saya puas jika pilihan yang dikaji berkembang menuju kesimpulan bahwa mereka akan dieksekusi," katanya dalam sebuah wawancara dengan media AS di Afghanistan.
Peringatan itu disampaikan sebagai reaksi atas statemen Menteri Pertahanan AS Leon Panetta di Institusi Brookings yang mengakui ketidakmampuan AS menyerang Iran, sekaligus memperingatkan Israel untuk mengurungkan niatnya.
"Kami mengkaji berbagai pilihan. Saya puas jika pilihan yang dikaji berkembang menuju kesimpulan bahwa mereka akan dieksekusi," katanya dalam sebuah wawancara dengan media AS di Afghanistan.
Peringatan itu disampaikan sebagai reaksi atas statemen Menteri Pertahanan AS Leon Panetta di Institusi Brookings yang mengakui ketidakmampuan AS menyerang Iran, sekaligus memperingatkan Israel untuk mengurungkan niatnya.
"Segala bentuk aksi militer anti-Iran akan berdampak sangat buruk terhadap perekonomian global," kata Panetta.
Panetta juga menekankan represi politik dan sanksi terhadap Iran daripada serangan militer. Dikatakannya bahwa serangan militer ke Iran bukan hanya merugikan perekonomian Amerika Serikat saja melainkan berdampak sangat buruk terhadap perekonomian global.
Sebelumnya, Panetta mengakui bahwa serangan terhadap fasilitas nuklir Republik Islam Iran akan sangat berbahaya bagi Amerika Serikat, dan Washington harus mengindari opsi tersebut.
Pernyataan Panetta itu mengemuka setelah Presiden Israel, Shimon Peres gencar menyebarkan klaim soal menguatnya kemungkinan serangan militer ke Iran.
Dempsey diam-diam di balik layar tengah mempersiapkan serangan terhadap Tehran, The Daily Telegraph melaporkan.
"Kekhawatiran terbesar saya mengenai kemungkinan salah perhitungan. Setiap kesalahan kalkulasi akan menyeret kita ke dalam konflik, dan itu akan menjadi tragedi bagi kawasan dan dunia," ungkapnya.
Dempsey juga mengakui bahwa Amerika Serikat bekerja sama dengan Israel dalam mengumpulkan informasi intelijen tentang Iran.
Namun, ia menolak untuk mengatakan apakah militer AS mengumpulkan informasi tentang Iran melalui pesawat pengintai.
Pada 4 Desember lalu, Angkatan Darat Iran berhasil membawa turun pesawat siluman RQ-170 dengan kerusakan minimum yang telah menyeberang ke wilayah udara Iran dari perbatasan Afghanistan.
Washington dan Tel Aviv berulang kali mengancam Tehran dengan opsi serangan militer yang didasarkan pada dugaan bahwa program nuklir Iran mengarah pada militer rahasia.
Tehran membantah tuduhan itu, dan menegaskan bahwa Iran sebagai penandatangan traktat Non-Proliferasi Nuklir (NPT) dan anggota dari Badan Energi Atom Internasional (IAEA) berhak mengembangkan dan memperoleh teknologi nuklir untuk tujuan damai. (IRIB Indonesia/PH)
Velayat 90, Peringatan Dini Iran terhadap Barat
Anggota senior parlemen Republik Islam Iran menyatakan manuver militer Velayat 90 yang sedang berlangsung mengirim peringatan dini kepada Barat bahwa Selat Hormuz akan ditutup jika Iran terancam.
"Manuver militer Angkatan Laut Iran di Teluk Persia dan Laut Oman menunjukkan kekuatan Iran di perairan kawasan," kata Zohreh Elahian, Senin (26/12).
Anggota Komisi Keamanan Nasional dan Kebijakan Luar Negeri Parlemen Iran itu, menegaskan bahwa latihan militer juga bertujuan untuk meningkatkan daya tangkal Iran menghadapi dominasi kekuatan asing di kawasan.
"Manuver militer mengirim pesan penting ke seluruh dunia, terutama kekuatan kolonialis tentang kesiapan angkatan bersenjata Iran, khususnya Angkatan Laut," tegasnya.
Sejak hari Sabtu, Angkatan Laut Iran menggelar manuver militer yang berlangsung selama 10-hari di perairan timur Selat Hormuz di Teluk Persia hingga Teluk Aden.
Selama manuver militer berlangsung, Angkatan Laut Iran menampilkan perangkat keras militer terbaru dan inovasi yang dikembangkan oleh angkatan laut negara itu.
Kapal selam dari berbagai kelas, termasuk Tareq dan Ghadir serta rudal dari darat ke laut dan torpedo dilibatkan dalam latihan perang itu.
Selama tahun terakhir, Iran membuat terobosan penting dalam bidang pertahanan dan mencapai swasembada dalam memproduksi peralatan militer penting.
"Manuver militer Angkatan Laut Iran di Teluk Persia dan Laut Oman menunjukkan kekuatan Iran di perairan kawasan," kata Zohreh Elahian, Senin (26/12).
Anggota Komisi Keamanan Nasional dan Kebijakan Luar Negeri Parlemen Iran itu, menegaskan bahwa latihan militer juga bertujuan untuk meningkatkan daya tangkal Iran menghadapi dominasi kekuatan asing di kawasan.
"Manuver militer mengirim pesan penting ke seluruh dunia, terutama kekuatan kolonialis tentang kesiapan angkatan bersenjata Iran, khususnya Angkatan Laut," tegasnya.
Sejak hari Sabtu, Angkatan Laut Iran menggelar manuver militer yang berlangsung selama 10-hari di perairan timur Selat Hormuz di Teluk Persia hingga Teluk Aden.
Selama manuver militer berlangsung, Angkatan Laut Iran menampilkan perangkat keras militer terbaru dan inovasi yang dikembangkan oleh angkatan laut negara itu.
Kapal selam dari berbagai kelas, termasuk Tareq dan Ghadir serta rudal dari darat ke laut dan torpedo dilibatkan dalam latihan perang itu.
Selama tahun terakhir, Iran membuat terobosan penting dalam bidang pertahanan dan mencapai swasembada dalam memproduksi peralatan militer penting.
Iran berulang kali menjelaskan bahwa kekuatan militernya semata-mata didasarkan pada doktrin pertahanan yang tidak mengancam negara lain.
Selat Hormuz merupakan jalur perairan strategis antara Laut Oman dan Teluk Persia yang memfasilitasi transportasi sekitar 40 persen dari pasokan minyak dunia dan menjamin akses ke perairan internasional untuk delapan negara pesisir Teluk Persia. (IRIB Indonesia/PH)
Selat Hormuz merupakan jalur perairan strategis antara Laut Oman dan Teluk Persia yang memfasilitasi transportasi sekitar 40 persen dari pasokan minyak dunia dan menjamin akses ke perairan internasional untuk delapan negara pesisir Teluk Persia. (IRIB Indonesia/PH)
Ditekan Sanksi, Iran Lirik Pesawat Rusia
Menteri Perhubungan dan Perumahan Republik Islam Iran menyatakan Tehran dalam pembicaraan dengan Moskow mengenai pembelian pesawat baru untuk perluasan armada penerbangan sipilnya.
Ali Nikzad Senin (26/12) mengungkapkan kesepakatan akan selesai ketika Organisasi Penerbangan Sipil Iran mendukung pembelian pesawat Rusia untuk armada udara negara itu.
"Kita harus melihat apakah pesawat cocok untuk kondisi geografis dan iklim Iran, dan apakah harga mereka masuk akal. Jika kita mencapai kesepakatan akhir, kami akan membeli beberapa pesawat Rusia, "tambahnya.
Sebelumnya, Pada hari Minggu (18/12) Nikzad mengumumkan bahwa Iran akan menambahkan 25 pesawat penumpang untuk armada pesawat sipilnya.
Sanksi sepihak Barat terhadap Tehran menyebabkan perusahaan-perusahaan internasional dilarang menjual ke pesawat Iranatau suku cadang yang dibutuhkan untuk mempertahankan armada udara sipil di negara itu. (IRIB Indonesia/PH)
Ali Nikzad Senin (26/12) mengungkapkan kesepakatan akan selesai ketika Organisasi Penerbangan Sipil Iran mendukung pembelian pesawat Rusia untuk armada udara negara itu.
"Kita harus melihat apakah pesawat cocok untuk kondisi geografis dan iklim Iran, dan apakah harga mereka masuk akal. Jika kita mencapai kesepakatan akhir, kami akan membeli beberapa pesawat Rusia, "tambahnya.
Sebelumnya, Pada hari Minggu (18/12) Nikzad mengumumkan bahwa Iran akan menambahkan 25 pesawat penumpang untuk armada pesawat sipilnya.
Sanksi sepihak Barat terhadap Tehran menyebabkan perusahaan-perusahaan internasional dilarang menjual ke pesawat Iranatau suku cadang yang dibutuhkan untuk mempertahankan armada udara sipil di negara itu. (IRIB Indonesia/PH)
Kebangkitan Islam dan Obyektivitas Media Massa Yang Dipertanyakan
Tahun 2011 berakhir, sementara kondisi yang ada saat ini tak banyak berbeda dengan kondisi saat tahun ini dimulai. Bulan Januari 2011 dunia menyaksikan gerakan rakyat yang bangkit melawan rezim otoriter di beberapa negara di kawasan utara Afrika dan Timur Tengah. Media-media pemberitaan menyorot kebangkitan rakyat di Tunisia, Mesir, Libya, Yaman, Suriah, Bahrain dan beberapa negara lainnya.
Gerakan-gerakan massa yang beruntun itu terpantik pertama kali di Tunisia pada 17 Desember 2010 dan sampai sekarang belum terlihat adanya tanda-tanda akan berakhir. Saat itu Mohammed Bouazizi, pemuda Tunisia yang berjualan asongan nekad membakar diri setelah dilecehkan oleh seorang polisi wanita. Warga menyaksikan langsung aksi bakar diri yang menghanguskan pemuda tersebut. Ternyata gelora api tak padam dengan tewasnya Bouazizi, tapi menjalar kemana-mana dan membakar hati rakyat Tunisia. Jilatan api kemarahan massa tak hanya menghanguskan diktator Tunisia Ben Ali tapi juga membakar kursi kekuasaan sejumlah diktator seperti Hosni Mubarak di Mesir, Muammar Gaddafi di Libya, Ali Abdullah Saleh di Yaman dan rezim-rezim lainnya. Sebagian sudah tersingkirkan dari kekuasaan dan sebagian sedang menanti giliran. Bundaran utama di kota-kota besar seperti Kairo dan San'aa sampai saat ini masih menjadi arena aksi massa melawan kezaliman rezim penguasa. Rakyat memilih untuk melakukan perlawanan tanpa peduli dengan kesulitan yang harus mereka hadapi.
Selain di negara-negara Arab, gelora aksi rakyat juga melanda belahan dunia lainnya. Di Amerika kebangkitan massa mengatasnamakan gerakan Anti Wall Street. Di sebagian besar negara Eropa aksi yang sama juga terjadi. Fenomena menarik ini menjadi sorotan media pemberitaan dunia di tahun 2011. Tentunya, dengan perkembangan yang sangat spektakuler ini, media massa dunia akan menjadikannya sebagai bahan liputan yang bergengsi. Namun yang terjadi justeru sebaliknya. Media massa Barat tetap setia dengan misinya sebagai corong propaganda rezim-rezim di sana. Tak heran jika di hari-hari bahkan minggu-minggu pertama munculnya gerakan besar Anti Wall Street media-media ini menyebut aksi rakyat di Amerika dan negara-negara Eropa sebagai aksi para perusuh. Di sisi lain, media yang sama berusaha menutup-nutupi fakta bahwa aksi massa di negara-negara Timur Tengah adalah gerakan kebangkitan Islam. Mereka menyebut transformasi di kawasan utara Afrika dan Timur Tengah sebagai musim semi Dunia Arab. Hal itu sengaja dilakukan dalam kerangka program propaganda luas untuk memanfaatkan fenomena yang ada demi kepentingan mereka. Namun nampaknya, tidak banyak hasil yang didapat.
Media massa Barat menilai bahwa aksi massa yang ada ini adalah gerakan memprotes kondisi perekonomian yang buruk dan kekejaman rezim penguasa. Artinya, dengan tersingkirkannya rezim yang ada, aksi protes massa akan berakhir. Sebab, sudah tidak ada lagi alasan untuk menggelar demonstrasi. Cara media massa Barat dalam menggambarkan suasana suka-cita rakyat di jalan-jalan menyusul tumbangnya kekuasaan satu rezim memang melukiskan perasaan umum yang ada, tapi sebenarnya ada target lain yang diincar. Jaringan media pemberitaan Barat sengaja membuat berbagai analisa tentang, misalnya jatuhnya kekuasaan Zine El Abidine Ben Ali di Tunisia, dan berulang kali menyatakan bahwa era demokrasi yang baru telah dimulai. Tujuannya adalah supaya bisa meyakinkan pemirsanya bahwa sudah tidak ada lagi alasan untuk menggelar protes. Dengan menyebut gerakan rakyat Muslim di kawasan sebagai Musim Semi Arab, media massa Barat sengaja mengarahkan opini umum ke alamat yang salah. Namun tak lama, borok pemberitaan itu segera terkuak.
Kebangkitan Arab pertama kali dipaparkan oleh George Habib Antonius (1891-1942), penulis dan diplomat Lebanon-Mesir yang juga salah satu sejarawan nasionalis Arab. Antonius bekerja di instansi Kerajaan Britania ketika Inggris memegang mandat atas Palestina. Tahun 1938, dia menulis buku berjudul ‘Kebangkitan Arab'. Dalam buku itu penulis memaparkan sejarah kebangkitan nasionalis Arab yang menurutnya terjadi pada paruh kedua abad 19 sampai paruh pertama abad 20 Masehi. Ungkapan ‘kebangkitan' itu dia adobsi dari sebuah syair yang mengajak bangsa Arab untuk bangkit.
Kebangkitan bangsa Arab di zaman itu terjadi di negara-negara yang sekarang menjadi ajang kebangkitan rakyat, seperti Mesir, Tunisia, Libya dan beberapa negara lain. Kebangkitan yang dimaksudkan adalah gerakan perlawanan bangsa Arab terhadap kekuasaan imperium Ustmani dan mandat Inggris atas Palestina. Sementara di zaman ini kebangkitan yang ada adalah melawan rezim-rezim dependen Arab dan para pelindungnya. Di masa itu, negara-negara Arab yang berhasil meraih kemerdekaannya tidak berada di jalur yang semestinya dan rakyat tak diberi kesempatan untuk terlibat dalam membuat keputusan atas negeri mereka. Kini, setelah ketidakpuasan memuncak, lahir gelora yang menggugah massa di dunia Arab untuk bangkit. Yang menjadi pertanyaan, apakah transformasi yang sedang terjadi saat ini adalah kebangkitan Arab jilid II?
Dengan mencermati dan mengkomparasikan kedua transformasi dan gerakan massa itu terlihat adanya perbedaan yang mencolok diantara keduanya. Fenomena yang sangat kental dalam kebangkitan rakyat sekarang adalah corak keislamannya. Kubu-kubu berhaluan Islam terlibat secara aktif dengan dukungan penuh dari rakyat. Tuntutan rakyat pun disampaikan melalui forum shalat Jum'at dan lewat corong-corong masjid. Slogan yang diangkat juga murni slogan berbasis Islam dengan para pemuda sebagai elemen yang sangat menentukan. Satu lagi yang menjadi pembeda adalah keterlibatan media elektronik dalam mengekpos gerakan-gerakan rakyat itu dalam setahun terakhir ini.
Seiring dengan perkembangan yang ada, media massa Barat bersama para analis dan tokoh pro Barat berusaha memutarbalikkan fakta. Salah satu contohnya adalah tulisan Samir Amin, ekonom sekular Mesir pada tanggal 11 September 2011. Dia menulis demikian;
"Kelompok besar dari masyarakat miskin terlibat secara aktif pada aksi demo bulan Februari 2011 di Mesir dan merekalah yang umumnya mengambil bagian dalam berbagai komite rakyat pembela revolusi. Jambang, jilbab, pakaian dan penampilan orang-orang miskin ini bisa membuat orang beranggapan bahwa Islam mengakar kuat di tengah masyarakat Mesir. Padahal faktanya tidak demikian. Masuknya mereka ke tengah medan adalah fenomena yang dipaksakan atas para perancang gerakan ini. Mereka secara tiba-tiba masuk ke pentas dan tidak menyisakan pilihan bagi para pemimpin gerakan kecuali melanjutkan apa yang sudah mereka rintis."
Samir Amin menolak kecenderungan mendalam rakyat Mesir kepada Islam dan menyebut apa yang ada sebagai sebuah pemaksaan. Padahal semua orang tahu bahwa rakyat Mesir adalah masyarakat yang agamis. Buktinya, saat pemilu diselenggarakan, kubu Islam meraih dukungan terbesar. Ini menunjukkan bahwa apa yang dikatakan orang-orang seperti Samir Amin tidak berdasar sama sekali dan tak lebih dari penyampaian apa yang didiktekan oleh AS adan rezim-rezim Eropa terhadap mereka.
Mencermati kebangkitan Islam dalam setahun terakhir akan membawa kita kepada kesimpulan bahwa para pemilik industri informasi terkesan punya kepentingan di balik transformasi yang ada. Mereka terus mengulang-ulang ungkapan tentang demokrasi dan kebebasan. Cara yang tepat untuk menilai peristiwa yang sedang terjadi adalah dengan memerhatikan tuntutan rakyat dan apa yang mereka sampaikan baik lewat suara dalam pemilu maupun slogan-slogan yang diangkat kala berdemo. Rakyat di negara-negara Islam itu mengangkat slogan Islam, atribut-atribut keislaman seperti kitab suci al-Qur'an, menggelar konsentrasi akbar saat melaksanakan shalat Jum'at dan meneriakkan gema Allahu Akbar. Semua itu menunjukkan jiwa keislaman dari gerakan ini. Para demonstran dan kalangan revolusioner menyuarakan agenda perlawanan terhadap musuh umat Islam terbesar di kawasan, yaitu Rezim Zionis Israel. Di Tunisia, rakyat menekankan soal jilbab yang dulu dilarang di masa rezim Ben Ali. Tanda-tanda tadi sudah cukup menjadi bukti bahwa pemikiran Islam melandasi gerakan bangsa-bangsa Muslim di kawasan. Ini berarti, gerakan Islam yang melahirkan revolusi Islam di Iran kembali terulang di negara-negara Muslim lainnya.
Tak syak bahwa masing-masing negara punya kondisi yang berbeda dengan negara lain. Akan tetapi, meski ada perbedaan, gerakan-gerakan rakyat di kawasan memiliki persamaan yang tidak sedikit. Salah satu persamaannya adalah pengaruh kuat pemikiran revolusi Islam Iran dalam membentuk dan memperkokoh gerakan massa Muslim tersebut. Dalam beberapa bulan terakhir, pengaruh revolusi Islam Iran di negara-negara itu menjadi salah satu tema pembahasan yang paling hangat. Tindakan media-media massa Barat dengan menyebut gerakan rakyat ini sebagai Musim Semi Arab tak lain adalah upaya untuk menyamarkan pemikiran Islam dan pengaruh revolusi Islam Iran pada revolusi-revolusi ini.
Robert Fisk, wartawan asal Inggris menilai bahwa penggunaan istilah Musim Semi Arab oleh media-media Barat adalah upaya mendistorsi kebangkitan Arab Islam yang saat ini mengguncang Timur Tengah. Lebih lanjut, dalam artikel yang ditulisnya di koran Independent, dia menyoal reportase media Barat dalam memberitakan gerakan massa di Timur Tengah yang terkesan berlebihan. Dengan alasan perkembangan di negara-negara Arab, media massa Barat tidak banyak menyorot gerakan massa yang terjadi di Amerika dan Eropa. Menurutnya, kebijakan media massa Barat yang menutup mata dari keislaman gerakan di Timur Tengah ini disebabkan oleh dukungan rezim-rezim Barat kepada Zionis. Sebab, rakyat di negara-negara Muslim khususnya di Mesir menuntut pemutusan hubungan dengan Israel.(IRIB Indonesia)
Gerakan-gerakan massa yang beruntun itu terpantik pertama kali di Tunisia pada 17 Desember 2010 dan sampai sekarang belum terlihat adanya tanda-tanda akan berakhir. Saat itu Mohammed Bouazizi, pemuda Tunisia yang berjualan asongan nekad membakar diri setelah dilecehkan oleh seorang polisi wanita. Warga menyaksikan langsung aksi bakar diri yang menghanguskan pemuda tersebut. Ternyata gelora api tak padam dengan tewasnya Bouazizi, tapi menjalar kemana-mana dan membakar hati rakyat Tunisia. Jilatan api kemarahan massa tak hanya menghanguskan diktator Tunisia Ben Ali tapi juga membakar kursi kekuasaan sejumlah diktator seperti Hosni Mubarak di Mesir, Muammar Gaddafi di Libya, Ali Abdullah Saleh di Yaman dan rezim-rezim lainnya. Sebagian sudah tersingkirkan dari kekuasaan dan sebagian sedang menanti giliran. Bundaran utama di kota-kota besar seperti Kairo dan San'aa sampai saat ini masih menjadi arena aksi massa melawan kezaliman rezim penguasa. Rakyat memilih untuk melakukan perlawanan tanpa peduli dengan kesulitan yang harus mereka hadapi.
Selain di negara-negara Arab, gelora aksi rakyat juga melanda belahan dunia lainnya. Di Amerika kebangkitan massa mengatasnamakan gerakan Anti Wall Street. Di sebagian besar negara Eropa aksi yang sama juga terjadi. Fenomena menarik ini menjadi sorotan media pemberitaan dunia di tahun 2011. Tentunya, dengan perkembangan yang sangat spektakuler ini, media massa dunia akan menjadikannya sebagai bahan liputan yang bergengsi. Namun yang terjadi justeru sebaliknya. Media massa Barat tetap setia dengan misinya sebagai corong propaganda rezim-rezim di sana. Tak heran jika di hari-hari bahkan minggu-minggu pertama munculnya gerakan besar Anti Wall Street media-media ini menyebut aksi rakyat di Amerika dan negara-negara Eropa sebagai aksi para perusuh. Di sisi lain, media yang sama berusaha menutup-nutupi fakta bahwa aksi massa di negara-negara Timur Tengah adalah gerakan kebangkitan Islam. Mereka menyebut transformasi di kawasan utara Afrika dan Timur Tengah sebagai musim semi Dunia Arab. Hal itu sengaja dilakukan dalam kerangka program propaganda luas untuk memanfaatkan fenomena yang ada demi kepentingan mereka. Namun nampaknya, tidak banyak hasil yang didapat.
Media massa Barat menilai bahwa aksi massa yang ada ini adalah gerakan memprotes kondisi perekonomian yang buruk dan kekejaman rezim penguasa. Artinya, dengan tersingkirkannya rezim yang ada, aksi protes massa akan berakhir. Sebab, sudah tidak ada lagi alasan untuk menggelar demonstrasi. Cara media massa Barat dalam menggambarkan suasana suka-cita rakyat di jalan-jalan menyusul tumbangnya kekuasaan satu rezim memang melukiskan perasaan umum yang ada, tapi sebenarnya ada target lain yang diincar. Jaringan media pemberitaan Barat sengaja membuat berbagai analisa tentang, misalnya jatuhnya kekuasaan Zine El Abidine Ben Ali di Tunisia, dan berulang kali menyatakan bahwa era demokrasi yang baru telah dimulai. Tujuannya adalah supaya bisa meyakinkan pemirsanya bahwa sudah tidak ada lagi alasan untuk menggelar protes. Dengan menyebut gerakan rakyat Muslim di kawasan sebagai Musim Semi Arab, media massa Barat sengaja mengarahkan opini umum ke alamat yang salah. Namun tak lama, borok pemberitaan itu segera terkuak.
Kebangkitan Arab pertama kali dipaparkan oleh George Habib Antonius (1891-1942), penulis dan diplomat Lebanon-Mesir yang juga salah satu sejarawan nasionalis Arab. Antonius bekerja di instansi Kerajaan Britania ketika Inggris memegang mandat atas Palestina. Tahun 1938, dia menulis buku berjudul ‘Kebangkitan Arab'. Dalam buku itu penulis memaparkan sejarah kebangkitan nasionalis Arab yang menurutnya terjadi pada paruh kedua abad 19 sampai paruh pertama abad 20 Masehi. Ungkapan ‘kebangkitan' itu dia adobsi dari sebuah syair yang mengajak bangsa Arab untuk bangkit.
Kebangkitan bangsa Arab di zaman itu terjadi di negara-negara yang sekarang menjadi ajang kebangkitan rakyat, seperti Mesir, Tunisia, Libya dan beberapa negara lain. Kebangkitan yang dimaksudkan adalah gerakan perlawanan bangsa Arab terhadap kekuasaan imperium Ustmani dan mandat Inggris atas Palestina. Sementara di zaman ini kebangkitan yang ada adalah melawan rezim-rezim dependen Arab dan para pelindungnya. Di masa itu, negara-negara Arab yang berhasil meraih kemerdekaannya tidak berada di jalur yang semestinya dan rakyat tak diberi kesempatan untuk terlibat dalam membuat keputusan atas negeri mereka. Kini, setelah ketidakpuasan memuncak, lahir gelora yang menggugah massa di dunia Arab untuk bangkit. Yang menjadi pertanyaan, apakah transformasi yang sedang terjadi saat ini adalah kebangkitan Arab jilid II?
Dengan mencermati dan mengkomparasikan kedua transformasi dan gerakan massa itu terlihat adanya perbedaan yang mencolok diantara keduanya. Fenomena yang sangat kental dalam kebangkitan rakyat sekarang adalah corak keislamannya. Kubu-kubu berhaluan Islam terlibat secara aktif dengan dukungan penuh dari rakyat. Tuntutan rakyat pun disampaikan melalui forum shalat Jum'at dan lewat corong-corong masjid. Slogan yang diangkat juga murni slogan berbasis Islam dengan para pemuda sebagai elemen yang sangat menentukan. Satu lagi yang menjadi pembeda adalah keterlibatan media elektronik dalam mengekpos gerakan-gerakan rakyat itu dalam setahun terakhir ini.
Seiring dengan perkembangan yang ada, media massa Barat bersama para analis dan tokoh pro Barat berusaha memutarbalikkan fakta. Salah satu contohnya adalah tulisan Samir Amin, ekonom sekular Mesir pada tanggal 11 September 2011. Dia menulis demikian;
"Kelompok besar dari masyarakat miskin terlibat secara aktif pada aksi demo bulan Februari 2011 di Mesir dan merekalah yang umumnya mengambil bagian dalam berbagai komite rakyat pembela revolusi. Jambang, jilbab, pakaian dan penampilan orang-orang miskin ini bisa membuat orang beranggapan bahwa Islam mengakar kuat di tengah masyarakat Mesir. Padahal faktanya tidak demikian. Masuknya mereka ke tengah medan adalah fenomena yang dipaksakan atas para perancang gerakan ini. Mereka secara tiba-tiba masuk ke pentas dan tidak menyisakan pilihan bagi para pemimpin gerakan kecuali melanjutkan apa yang sudah mereka rintis."
Samir Amin menolak kecenderungan mendalam rakyat Mesir kepada Islam dan menyebut apa yang ada sebagai sebuah pemaksaan. Padahal semua orang tahu bahwa rakyat Mesir adalah masyarakat yang agamis. Buktinya, saat pemilu diselenggarakan, kubu Islam meraih dukungan terbesar. Ini menunjukkan bahwa apa yang dikatakan orang-orang seperti Samir Amin tidak berdasar sama sekali dan tak lebih dari penyampaian apa yang didiktekan oleh AS adan rezim-rezim Eropa terhadap mereka.
Mencermati kebangkitan Islam dalam setahun terakhir akan membawa kita kepada kesimpulan bahwa para pemilik industri informasi terkesan punya kepentingan di balik transformasi yang ada. Mereka terus mengulang-ulang ungkapan tentang demokrasi dan kebebasan. Cara yang tepat untuk menilai peristiwa yang sedang terjadi adalah dengan memerhatikan tuntutan rakyat dan apa yang mereka sampaikan baik lewat suara dalam pemilu maupun slogan-slogan yang diangkat kala berdemo. Rakyat di negara-negara Islam itu mengangkat slogan Islam, atribut-atribut keislaman seperti kitab suci al-Qur'an, menggelar konsentrasi akbar saat melaksanakan shalat Jum'at dan meneriakkan gema Allahu Akbar. Semua itu menunjukkan jiwa keislaman dari gerakan ini. Para demonstran dan kalangan revolusioner menyuarakan agenda perlawanan terhadap musuh umat Islam terbesar di kawasan, yaitu Rezim Zionis Israel. Di Tunisia, rakyat menekankan soal jilbab yang dulu dilarang di masa rezim Ben Ali. Tanda-tanda tadi sudah cukup menjadi bukti bahwa pemikiran Islam melandasi gerakan bangsa-bangsa Muslim di kawasan. Ini berarti, gerakan Islam yang melahirkan revolusi Islam di Iran kembali terulang di negara-negara Muslim lainnya.
Tak syak bahwa masing-masing negara punya kondisi yang berbeda dengan negara lain. Akan tetapi, meski ada perbedaan, gerakan-gerakan rakyat di kawasan memiliki persamaan yang tidak sedikit. Salah satu persamaannya adalah pengaruh kuat pemikiran revolusi Islam Iran dalam membentuk dan memperkokoh gerakan massa Muslim tersebut. Dalam beberapa bulan terakhir, pengaruh revolusi Islam Iran di negara-negara itu menjadi salah satu tema pembahasan yang paling hangat. Tindakan media-media massa Barat dengan menyebut gerakan rakyat ini sebagai Musim Semi Arab tak lain adalah upaya untuk menyamarkan pemikiran Islam dan pengaruh revolusi Islam Iran pada revolusi-revolusi ini.
Robert Fisk, wartawan asal Inggris menilai bahwa penggunaan istilah Musim Semi Arab oleh media-media Barat adalah upaya mendistorsi kebangkitan Arab Islam yang saat ini mengguncang Timur Tengah. Lebih lanjut, dalam artikel yang ditulisnya di koran Independent, dia menyoal reportase media Barat dalam memberitakan gerakan massa di Timur Tengah yang terkesan berlebihan. Dengan alasan perkembangan di negara-negara Arab, media massa Barat tidak banyak menyorot gerakan massa yang terjadi di Amerika dan Eropa. Menurutnya, kebijakan media massa Barat yang menutup mata dari keislaman gerakan di Timur Tengah ini disebabkan oleh dukungan rezim-rezim Barat kepada Zionis. Sebab, rakyat di negara-negara Muslim khususnya di Mesir menuntut pemutusan hubungan dengan Israel.(IRIB Indonesia)
Kebangkitan Islam dari Kacamata Dr. Sabara
Kebangkitan rakyat di kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara dewasa ini telah berhasil menumbangkan sejumlah rezim depotik semacam Ben Ali di Tunisia, Mubarak di Mesir dan Gaddafi di Libya. Kini, bola salju perlawanan rakyat itu terus menggelinding kencang menggoyang negara-negara monarki Arab.
Hingga kini perlawanan di negara-negara muslim itu menuai pertanyaan besar, apakah kebangkitan tersebut murni tuntutan rakyat mewujudkan demokratisasi ataukah kebangkitan Islam ?
Peneliti bidang kehidupan beragama dari Balai Penelitian dan Pengembangan Agama (Balitbang) Makassar menilai kebangkitan Islam dan demokratisasi sama-sama bermain dominan.
Doktor Pemikiran Islam jebolan UIN Alauddin Makassar itu memandang kebangkitan rakyat Timur Tengah dan Afrika Utara sebagai bentuk perlawanan terhadap rezim-rezim despotik boneka Washington.
Selengkapnya simak wawancara Purkon Hidayat dari IRIB Bahasa Indonesia dengan Dr. Sabara berikut ini.
Bagaimana pandangan Anda sebagai peneliti agama dan doktor pemikiran Islam menyikapi fenomena perlawanan rakyat di Timur Tengah dan Afrika Utara? Saya melihat tampaknya ada dua tesis besar yang menyeruak; pertama, memandang perlawanan rakyat murni sebagai tuntutan mereka mewujudkan demokratisasi, dan kedua memandang fenomena itu sebagai Kebangkitan Islam. Nah bagaimana Anda melihat dua persoalan ini?
Saya melihat dua tesis antara Kebangkitan Islam dan demokratisasi bermain dominan terutama dengan melihat masyarakat Timur Tengah karena mereka berada di bawah dominasi Amerika. Mereka hendak melawan ini.
Semangat demokratisasi buat saya masih dominan, namun tidak berarti mengabaikan Kebangkitan Islam. Kalau menurut saya, apa yang terjadi di Bahrain dan Suriah juga sama dengan yang terjadi di Mesir sekalipun dalam skala yang lebih kecil. Bila melihat keadaan Mesir, apa yang terjadi di sana lebih dominan tuntutan untuk diterapkannya demokratisasi. Hal itu karena mereka selama sekian puluh tahun berada di bawah kekuasaan Hosni Mubarak. Rezim Mubarak selama bertahun-tahun memberangus demokrasi di sana.
Hal yang sama juga terjadi di Bahrain. Di negara ini semangat demokratisasi masih sangat dominan. Semangat melawan imperialis juga cukup dominan bermain. Begitu juga dengan kasus Suriah. Namun demikian, semangat Kebangkitan Islam juga tidak dapat diabaikan.
Doktrin Kebangkitan Islam di hadapan negara-negara Barat atau negara-negara imperialis itu sangat kuat. Apa yang kita saksikan muncul dari semangat demokratisasi dan Kebangkitan Islam, sehingga memunculkan perubahan di negara-negara Timur Tengah dan Afrika Utara.
Untuk kasus Mesir misalnya, ada tuntutan penutupan Kedutaan Besar Israel dan pemutusan hubungan. Apakah hal itu tidak dapat dibaca sebagai Kebangkitan Islam? Begitu juga kasus gugatan terhadap Hosni Mubarak terkait penjualan gas ke Israel? Bagaimana Anda melihat persoalan itu?
Mencermati transformasi yang terjadi di Timur Tengah perlu ketelitian. Apakah yang muncul ini mengatasnamakan warga Arab atau umat Islam. Jadi pertanyaannya, mereka dendam kepada Israel sebagai orang Islam ataukah kebencian ini lahir dari pribadi mereka sebagai orang Arab. Sekalipun dari satu sisi tidak dapat dipungkiri bahwa tuntutan menutup Kedubes Israel di Mesir itu dipengaruhi juga oleh kelompok-kelompok Islam yang bermain di bawah tanah di Mesir seperti Ikhwanul Muslimin dan lain-lain. Mereka ini juga pengaruh, tapi kita tidak bisa langsung menggeneralisir bahwa ini muncul dari semangat Kebangkitan Islam.
Tuntutan menutup Kedubes Israel di Mesir bisa saja muncul dari sentimen Arab, bukan hanya dikarenakan mereka orang Islam. Tapi ini bisa saja terjadi karena mereka adalah orang Arab.
Sementara untuk kasus Bahrain, bagaimana Anda melihatnya?
Bila membandingkan Bahrain dengan negara-negara Afrika Utara memang punya kekhasan sendiri. Hal itu kembali pada mayoritas pendudukannya yang bermazhab Syiah, tapi dipimpin oleh minoritas monarkhi Sunni. Di sini, selain ada semangat melawan monarki, juga ada semangat melawan imperialis. Ada satu lagi pemicu perubahan di Bahrain dimana adanya semangat politik Islam yang cukup tinggi di Bahrain, terilham dari yang di Iran dan Hizbullah Lebanon. Jadi unsur ini juga punya peran, tanpa menutupi kemungkinan adanya unsur lain.
Kalau saya pribadi melihat kondisi Bahrain ada semangat untuk menjadi seperti saudara-saudara mereka yang ada di Iran, Lebanon dan Irak. Itulah mengapa Arab Saudi marah dan berusaha sekuat tenaga menghalang-halangi terwujudnya perubahan di Bahrain.
Di luar persoalan perbedaan mazhab Syiah dan Sunni, apakah ada persoalan yang lebih substansial di Bahrain bila dihubungkan dengan kehadiran Amerika di Bahrain?
Sebenarnya ada gejala umum di Timur Tengah, bahkan boleh dikata di seluruh dunia ketiga, semangat melawan imperialis itu muncul dengan intensitas yang berbeda-beda. Ekspresinya mengambil bentuk sesuai dengan pemantik yang ada di setiap negara. Jadi kebangkitan rakyat Bahrain juga dipicu oleh semangat melawan kekuatan imperialis yang ada di Bahrain. Buat saya, ini menjadi salah satu faktor utama yang menyulut rakyat Bahrain melakukan aksi perubahan di negaranya.
Bagaimana Anda melihat signifikansi perlawanan rakyat di kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara ini terhadap pengaruh Amerika di kawasan itu?
Saya melihat Amerika sangat lihai dalam permainannya dan segalanya tergantung situasi siapa yang akhirnya akan berhasil mengkondisikan situasi. Untuk saat ini, saya melihat perubahan-perubahan yang terjadi di Timur Tengah dan Afrika Utara bisa menjadi potensial untuk melemahkan kekuatan-kekuatan Amerika di wilayah Timur Tengah dan Afrika Utara, khususnya di negara-negara yang tidak lagi menganut sistem monarki.
Hanya saja harus diakui bahwa Amerika masih sangat lihai mengkondisikan situasi, sehingga bisa saja yang tadinya berawal dari perlawanan rakyat, tapi belakangan menjadi berbalik malah mendukung Amerika. Tapi kalau saya melihat tanda-tanda kelemahan Amerika dan itu dapat disaksikan dalam kasus Mesir, Bahrain, Suriah dan Tunisia.
Seperti yang telah saya katakan sebelumnya, di negara-negara Timur Tengah dan secara umum di negara-negara dunia ketiga ada kemuakan terhadap imperialis yang menumbuhkan semangat perlawanan terhadap imperialis. Sehingga memantik perlawanan terhadap imperialis, dan pasti yang namanya imperialis pemimpinnya pasti Amerika. Jadi bila melihat lebih luas, maka sebenarnya yang terjadi dari gerakan-gerakan di Timur Tengah dan Afrika Utara ini adalah kelemahan negara Amerika yang dikenal sebagai kekuatan imperialis. Tentu saja fenomena ini sangat mempengaruhi kekuatan Amerika itu sendiri.
Ada dua tesis besar yang kita diskusikan di ranah teoritis. Samuel Huntington pernah menggulirkan The Clash Cilivization yang menekankan tabrakan antara demokratisasi dengan Islam, namun tampaknya dibantah oleh Robert W. Herfner yang menolak adanya bentrokan tersebut. Sebagai seorang peneliti agama, bagaimana Anda melihat dua masalah ini?
Bila kita melihat gerakan-gerakan politik Islam sendiri, ternyata apresiasi mereka terhadap demokratisasi dan pemerintahan Islam itu berbeda. Bila melihat masalah demokratisasi, jelas bahwa gerakan Ikhwanul Muslimin lebih akomodatif dengan demokrasi, sedangkan Jamiah Islam menalak tiga isu demokrasi. Republik Islam Iran juga termasuk yang akomodatif terhadap demokrasi. Terjadi pertentangan dalam kelompok-kelompok Islam terkait masalah ini kembali pada pemahaman mereka akan demokrasi itu sendiri. Hizbut Tahrir termasuk yang memandang masalah ini dengan pandangan ekstrim dan menolak demokrasi.
Umumnya di negara-negara dunia Islam memandang demokratisasi minus liberalisme sebagai masalah yang dapat diakomodasi oleh masyarakat muslim. Yang ditolak oleh masyarakat muslim adalah demokrasi ala Amerika. Demokrasi yang ada embel-embel liberalisme. Bila dilihat di Iran, demokrasi itu sendiri telah diadaptasi sedemikian rupa sehingga menjadi bagian dari kenegaraan. Bahkan bila dilihat, para cendekiawan muslim dunia dan Iran menolak demokrasi dengan catatan ada tambahan demokrasi liberalisme ala Amerika.
Masalah demokratisasi di negara-negara muslim akan menjadi benturan bila demorasi itu sesuai dengan yang di Barat. Karena demokratisasi itu akan mengarah pada demokratisasi sekuler. Sementara demokrasi tidak akan mengalami benturan dengan Islam bila minus liberalisasi dan bahkan dalam banyak hal mengambil bentuk baru di dunia Islam.
Ada satu hal yang menarik, karena ternyata Herfner mengajukan satu tema lain bernama kearifan lokal. Sekaitan dengan hal ini, tadi Anda telah menjelaskan tentang model-model demokrasi di berbagai negara, termasuk Iran. Nah saya ingin mencoba lebih jauh menanyakan, apakah mungkin demokrasi yang ditolak oleh masyarakat muslim Timur Tengah dan Afrika Utara adalah demokrasi kapitalisme yang memang ditanamkan oleh kekuatan-kekuatan hegemoni, negara-negara kuat yang memiliki kepentingan dengan pasar. Bagaiman Anda menilainya?
Benar, yang ditolak oleh mereka adalah demokratisasi sekuler dan kapitalis yang bersandar pada kaidah Suara Rakyat adalah Suara Tuhan. Sementara demokrasi sejati sebenarnya sudah ada di negara-negara muslim dalam bentuk kearifan lokal. Seperti masalah Syura atau musyawarah itu bila dikatakan identik dengan demokrasi, maka masalah ini sudah ada di negara-negara muslim.
Kembali pada bangsa Timur Tengah dan Afrika Utara. Bagaimana Anda melihat peran dan pengaruh Revolusi Islam Iran pada revolusi Timteng dan Afrika Utara?
Revolusi Islam tahun 1979 di Iran itu memantik kepercayaan umat Islam akan dirinya sendiri. Saya melihat ada transformasi semangat sebagai dampak pertama dari kemenangan Revolusi Islam Iran yang akhirnya menjalan ke negeri-negeri muslim, khususnya yang ada di sekitar Iran, Timur Tengah dan Afrika Utara. Jadi pada tahap pertama, dapat dikatakan bahwa semangat untuk kembali pada jati diri sebagai umat Islam menjadi pesan pertama yang ditangkap masyarakat muslim dari Revolusi Islam Iran.
Sementara untuk berbicara mengenai ideologi revolusi, tampaknya terlalu dini untuk membicarakannya di sini bahwa ideologi Revolusi Islam Iran telah mempengaruhi revolusi yang terjadi di negara-negara Timteng dan Afrika Utara. Tapi harus diakui bahwa Revolusi Islam Iran menjadi semangat yang mengilhami revolusi dan kebangkitan bagi gerakan-gerakan perlawanan rakyat di negara-negara Timur Tengah dan Afrika Utara. Jadi, posisi Republik Islam Iran sangat sentral dalam memberikan semangat bagi munculnya gerakan-gerakan perlawanan itu.
Sebagai orang Indonesia, pesan apa yang dapat kita ambil dari kebangkitan rakyat muslim di Timur Tengah dan Afrika Utara. Apakah Anda dapat memberikan sedikit ulasan tentang karakteristik dan model serta arah yang dapat digali dari apa yang terjadi di Timur Tengah dan dikembangkan sesuai dengan kebudayaan lokal Indonesia?
Indonesia diakui sebagai negara dengan populasi umat Islam terbesar di dunia. Namun dari sisi pemikiran, politik dan lain-lain, negara Indonesia kurang dianggap. Sementara yang menjadi inspirasi bagi rakyat muslim Indonesia adalah perlunya memupuk kepercayaan diri sebagai negara muslim terbesar di dunia. Sehingga diharapkan muslim Indonesia mampu tampil sejajar dengan negara-negara Islam lainnya.
Sementara bila melihat peta dunia Islam kita mengenal ada Islam Arab, Persia, India, Afrika dan Islam Melayu. Di antara peta Islam yang ada di dunia ini, Islam Melayu terlihat cenderung berada pada posisi marjinal. Sehingga Islam Melayu menjadi bagian yang dipengaruhi. Nah, kita berharap dari kebangkitan rakyat muslim di Timur Tengah dan Afrika Utara, Islam Melayu dan umat Islam di Indonesia dapat tampil sejajar dengan umat Islam yang ada di Timur Tengah. Di sini yang ingin saya tekankan perlu adanya kepercayaan diri sebagai bangsa muslim yang terbesar di dunia.
Berbicara tentang karakteristik keislaman di Indonesia harus kita gali pada dua hal. Pertama perlu kita gali dari pertama kalinya Islam masuk ke Nusantara dan kedua, kembali pada karakteristik bangsa Melayu sebagai etnis. Masalah pertama perlu dipahami mengenai Islam masuk ke Nusantara. Islam memasuki Indonesia dari banyak jalur, baik jalur politik, kultural, jalur ekonomi dan jalur mistisisme. Hal ini menunjukkan bahwa bangsa Indonesia itu terbuka menerima pengaruh luar, baik dari sisi politik maupun pemikiran. Artinya, sebagai bangsa Indonesia kita memiliki budaya Nusantara yang cukup terbuka dan mengapresiasi hal-hal yang datang dari agama Islam.
Sementara masalah kedua terkait etnis Melayu yang menjadi identitas. Islam di satu sisi menjadi satu bagian dari kultural dari masyarakat Indonesia. Bila kita mengatakan seseorang itu orang Melayu, maka hampir dapat dipastikan bahwa ia adalah orang Islam. Jadi sebagian besar masyarakat Indonesia, identitas mereka adalah Islam. Artinya, Islam dapat dilihat sebagai agama dan juga bisa dilihat sebagai kultur. Nah, ini sebenarnya satu kekuatan bagi kebangkitan Islam. Karena ketika berbicara tentang Islam, bukan hanya pada level agama, tapi juga pada level kebudayaan, bahkan sudah berbicara tentang etnis.
Saya melihat karakteristik dan arah ini lebih pada upaya memanfaatkan Islam sebagai agama dan budaya dalam kebangkitan Islam. Sehingga kebangkitan Islam itu tidak hanya dipahami terjadi pada level agama, tapi juga masuk lebih dalam pada perubahan sosio-kultural masyarakat.
Islam dan kebudayaan di tengah-tengah bangsa Indonesia tidak pernah berpisah dari awal, kecuali setelah datang Wahabi dan mencoba melakukan politisasi. Islam di Indonesia selama sebelum datangnya Wahabi hampir dikata tidak pernah terjadi persinggungan dan selalu menunjukkan sikap akomodatif satu sama lain. Ini dari sisi karakteristik Islam di Indonesia bila dihubungkan dengan kebankitan Islam di Timur Tengah dan Afrika Utara.
Sementara bila di lihat dari arahnya, saya pribadi, arah kebangkitan Islam di Indonesia tidak mesti membentuk negara atau daulat Islam. Karena bisa ini menjadi masalah baru. Daulat Islam secara formal akan menjadi masalah baru bagi Indonesia. Jadi, kebangkitan Islam di Indonesia buat saya mestinya memberikan semangat agar dalam percaturan Islam di dunia Internasional punya pengaruh dan diperhitungkan dunia. Sebagai contoh, ketika bangsa Indonesia berbicara tentang Palestina, maka itu didengar oleh dunia. Untuk saat ini, kebangkitan Islam di Indonesia hendaknya lebih substantif, ketimbang yang formalitik. (IRIB Indonesia/SL/PH)
Irak dan Proyek Menghidupkan Konflik Sektarian
Peristiwa baru-baru ini di Irak, terutama perintah penangkapan Wakil Presiden Tareq al-Hashemi atas keterlibatannya dalam kegiatan terorisme, operasi teror terhadap Perdana Menteri Nouri al-Maliki, dan juga pengakuan para pengawal Hashemi, telah membuka tabir realita yang mengindikasikan konspirasi terhadap pemerintahan Maliki.
Sekarang Maliki menguak keterlibatan beberapa perwira tinggi keamanan Irak dalam berbagai ledakan akhir-akhir ini. Misteri itu disingkap ketika sebelumnya sudah sering terdengar berita yang mengarah pada kemungkinan kudeta terhadap Maliki. Selama ini, Perdana Menteri Irak menunggu kesempatan yang tepat untuk memulai kegiatan pembersihan di lembaga-lembaga pemerintah, keamanan dan intelijen negara.
Kehadiran pasukan Amerika Serikat di Irak tentu saja telah membuat Maliki kesulitan untuk mengambil langkah-langkah pembersihan birokrasi. Bukti-bukti menunjukkan bahwa sampai saat ini anasir-anasir Partai Bath Irak masih aktif di internal lembaga-lembaga intelijen dan keamanan negara. Tidak diragukan lagi bahwa kehadiran mereka di badan-badan strategis negara dapat menjadi sebuah bahaya serius bagi keamanan dan stabilitas Irak.
Selama beberapa hari lalu, elemen-elemen pro Amerika di pemerintahan Irak memulai kegiatan terkoordinasi untuk menggerogoti kabinet Maliki. Di antara kegiatan destruktif mereka adalah mengobarkan kekerasan etnis dan konflik sektarian, melancarkan operasi terorisme dan juga berharap bisa melakukan kudeta terhadap Maliki. Langkah-langkah seperti itu tentu saja sejalan dengan kebijakan AS yang tidak menginginkan keamanan dan stabilitas Irak.
Blok-blok politik Irak oposisi Maliki bahkan memanfaatkan pasukan keamanan yang punya pengaruh di dinas intelijen untuk merealisasikan ambisi-ambisinya. Sebelumnya, Maliki juga telah mengingatkan tentang bahaya unsur-unsur yang berafiliasi dengan AS. Selain memperingatkan tentang kondisi bahaya yang mengancam Irak, Maliki juga membongkar konspirasi beberapa tokoh politik terhadap proses politik di Negeri Kisah 1001 Malam itu.
Meskipun krisis Irak bukan sebuah proses yang menggembirakan, tapi setidaknya semakin memperjelas esensi tujuan-tujuan AS dan konspirasi unsur-unsur yang berkiblat ke Gedung Putih. Rakyat Irak mulai tahu siapa yang sesungguhnya sedang bermain api dan menyeret negara itu kembali dalam konflik sektarian. Sebuah kondisi yang senantiasa didambakan oleh musuh-musuh Islam dan kemanusiaan. Kini, kebanyakan sayap Kurdi dan Sunni mendukung sikap tegas Maliki dalam menangani Hashemi sebagai salah satu sumber ketidakamanan Irak. (IRIB Indonesia/RM)
Amerika, Imperatur Barat yang Sedang Sakit
Barack Obama, Presiden Amerika dalam sebuah program televisi secara transparan mengakui bahwa untuk melewati krisis ekonomi yang terjadi saat ini membutuhkan waktu lama dan kemungkinan mereka yang akan menjabat setelahnya masih harus menghadapinya. Utang luar negeri Amerika sendiri telah melewati angka 15 triliun dolar, pengangguran mencapai angka 9 persen dan defisit anggaran pemerintah telah mencapai 1,5 triliun dolar.
Tak syak angka luar biasa ini membuat Amerika di alam realita menjadi "Imperatur Barat yang sakit" di abad 21. Imperatur yang hampir mati, tapi masih bersikeras menyelamatkan diri dengan segala bentuk solusi yang memakan biaya besar. Sementara persaingan pemilu presiden Amerika secara praktis telah menambah rumitnya krisis ekonomi. Semua ini menambah penyakit sang imperatur dan membuatnya sangat menakutkan bagi masyarakat dunia.
Kubu Republik tengah berusaha keras untuk meraih kursi kepresidenan dan untuk itu jurus paling ampuh bagi mereka adalah menggagalkan segala upaya saingannya dari Demokrat untuk memperbaiki kondisi ekonomi Amerika. Republikan tahu benar bahwa setiap data statistik ekonomi yang buruk dapat menggoncang fondasi setiap presiden Amerika dan merenggut keberuntungan darinya untuk berkuasa kembali. Namun tentu saja para pemikir dari kedua kubu tidak akan diam untuk mempertahankan kursi kepresidenan.
Kondisi ekonomi yang buruk membuat pemerintahan Obama yang berasal dari kubu Demokrat sampai pada satu keyakinan bahwa bila mereka tidak melakukan satu aksi luar biasa, maka kursi kepresidenan harus diserahkan kepada kubu saingannya di bulan November. Tapi tampaknya ada tanda-tanda putus harapan akan perbaikan kondisi ekonomi "Imperatur Barat yang sakit", sehingga memaksa tim pemenang Obama untuk tetap menerapkan resep berbiaya besar demi meraih kemenangan dalam pemilu presiden nanti.
Dengan demikian, selama beberapa bulan ke depan, sikap dan manuver politik pemerintah Obama akan terlihat dalam kerangka pemilu. Mereka akan berusaha sebisa mungkin berhati-hati melakukan perubahan di tubuh imperatur yang sedang sakit. Kenyataan pahit yang dihadapi pemerintah Amerika dalam kondisi tekanan ekonomi saat ini adalah memilih perang untuk keluar dari krisis yang ada.
Di sisi lain, merunut kembali sejarah Amerika menunjukkan bahwa sangat kecil kemungkinannya rakyat Amerika membiarkan presidennya yang tengah disibukkan dengan perang di luar negeri. Hal ini mungkin memaksa Obama yang tidak mampu memperbaiki kondisi ekonomi Amerika untuk tetap berkuasa di Gedung Putih dengan menggelar perang baru.
Tapi apakah rakyat Amerika yang lelah dari dua perang Irak dan Afghanistan dapat menjadi penghalang penerapan solusi berbiaya mahal Gedung Putih ini?
Struktur pemerintahan di Amerika dibentuk sedemikian rupa sehingga para penguasa Gedung Putih tidak membutuhkan pendapat rakyatnya untuk memulai sebuah agresi ke negara lain yang membutuhkan dana besar. (IRIB Indonesia/SL/NA)
Tak syak angka luar biasa ini membuat Amerika di alam realita menjadi "Imperatur Barat yang sakit" di abad 21. Imperatur yang hampir mati, tapi masih bersikeras menyelamatkan diri dengan segala bentuk solusi yang memakan biaya besar. Sementara persaingan pemilu presiden Amerika secara praktis telah menambah rumitnya krisis ekonomi. Semua ini menambah penyakit sang imperatur dan membuatnya sangat menakutkan bagi masyarakat dunia.
Kubu Republik tengah berusaha keras untuk meraih kursi kepresidenan dan untuk itu jurus paling ampuh bagi mereka adalah menggagalkan segala upaya saingannya dari Demokrat untuk memperbaiki kondisi ekonomi Amerika. Republikan tahu benar bahwa setiap data statistik ekonomi yang buruk dapat menggoncang fondasi setiap presiden Amerika dan merenggut keberuntungan darinya untuk berkuasa kembali. Namun tentu saja para pemikir dari kedua kubu tidak akan diam untuk mempertahankan kursi kepresidenan.
Kondisi ekonomi yang buruk membuat pemerintahan Obama yang berasal dari kubu Demokrat sampai pada satu keyakinan bahwa bila mereka tidak melakukan satu aksi luar biasa, maka kursi kepresidenan harus diserahkan kepada kubu saingannya di bulan November. Tapi tampaknya ada tanda-tanda putus harapan akan perbaikan kondisi ekonomi "Imperatur Barat yang sakit", sehingga memaksa tim pemenang Obama untuk tetap menerapkan resep berbiaya besar demi meraih kemenangan dalam pemilu presiden nanti.
Dengan demikian, selama beberapa bulan ke depan, sikap dan manuver politik pemerintah Obama akan terlihat dalam kerangka pemilu. Mereka akan berusaha sebisa mungkin berhati-hati melakukan perubahan di tubuh imperatur yang sedang sakit. Kenyataan pahit yang dihadapi pemerintah Amerika dalam kondisi tekanan ekonomi saat ini adalah memilih perang untuk keluar dari krisis yang ada.
Di sisi lain, merunut kembali sejarah Amerika menunjukkan bahwa sangat kecil kemungkinannya rakyat Amerika membiarkan presidennya yang tengah disibukkan dengan perang di luar negeri. Hal ini mungkin memaksa Obama yang tidak mampu memperbaiki kondisi ekonomi Amerika untuk tetap berkuasa di Gedung Putih dengan menggelar perang baru.
Tapi apakah rakyat Amerika yang lelah dari dua perang Irak dan Afghanistan dapat menjadi penghalang penerapan solusi berbiaya mahal Gedung Putih ini?
Struktur pemerintahan di Amerika dibentuk sedemikian rupa sehingga para penguasa Gedung Putih tidak membutuhkan pendapat rakyatnya untuk memulai sebuah agresi ke negara lain yang membutuhkan dana besar. (IRIB Indonesia/SL/NA)
Para Ulama Syiah menegaskan bahwa ahlussunnah adalah kafir.
Dalam Biharul Anwar jilid 23 hal 391, Majlisi mengatakan:
Seluruh penganut imamiyah sepakat bahwa siapa saja yang mengingkari imamah salah satu dari para imam dan menolak kewajiban yang digariskan Allah atasnya yaitu mentaati mereka, maka dia adalah kafir dan sesat, terancam masuk neraka kekal di dalamnya.
Di sini jelas bahwa penganut Imamiyah sepakat bahwa ahlussunnah adalah kafir, sesat dan layak masuk neraka dan kekal di dalamnya.
Abdullah Al Mamaqani dalam Tanqihul Maqal mengatakan: Riwayat-riwayat menunjukkan bahwa selain penganut syi'ah itsna asyriyah adalah kafir dan musyrik di akherat nanti. Khomeini –yang juga disebut orang sebagai imam- mengatakan dalam kitab Al Arba'un Haditsan hal 512:
Seperti disebutkan dalam hadits bahwa mengakui wilayah ahlulbait dan mengenal mereka adalah syarat diterimanya amalan, maka hal itu sudah disepakati, bahkan menjadi ajaran pokok mazhab syi'ah yang suci, dan hadits yang memuat hal itu melebihi kekuatau buku ini untuk menuliskan seluruhnya, dan lebih dari derajat mutawatir…
Di sini lebih jelas lagi, bukan hanya mengklaim dirinya yang benar tetapi juga menyatakan amalan ahlussunnah tertolak di akherat karena tidak mengakui 12 imam syi'ah. Dari sini perbedaan antara ahlussunnah dan syi'ah bukanlah sekedar perbedaan mazhab dalam hal furu'. Karena perbedaan pendapat dalam hal furu' tidaklah menyebabkan orang jadi kafir. Sampai di sini pembaca mulai dapat mengukur jarak perbedaan yang ada.
Seorang ulama syi'ah bernama Ni'matullah Al Jazairi dengan tegas dan gamblang mengungkapkan sisi perbedaan antara syi'ah dan ahlussunnah:
Kami tidak mengakui tuhan, nabi dan imam yang mereka ikuti, karena mereka mengatakan: Tuhan mereka adalah yang mengutus Muhammad sebagai nabi, dan khalifah sepeninggalnya adalah Abu Bakar, kami tidak mengakui tuhan mereka, juga nabi mereka, kami mengatakan: Tuhan yang khalifah nabinya adalah Abu Bakar bukanlah tuhan kami, juga nabinya bukanlah nabi kami. Dapat dilihat dalam An Anwar An Nu'maniyah nilid 2 hal 279.
Lagi lagi jualan persatuan MUSTAHIL Sunni dan Syiah bersatu, kitap suci Sunni Al Qur'an, kitap suci syiah Mushab Fatimah, Tempat suci Sunni Mekah dan madinah, tempat suci Syiah Karbala, Sunni Sholat Jum'at Wajib syiah tidak Perlu, Rukun Islam dan rukun Iman Berbeda dan Hadist Sunni sanadnya sampai pada Rasulullah, Hadist Syiah cukup apa kata Imam yang Maksum dan sekian banyak perbedaan Lainnya
memper besar persamaan, memperkecil perbedaan,,,, jgn memperkecil persamaan memperbesar perbedaan............. soal kafir, salah/benar, siapa yang suci / tidak, ngaku islam ngak solat kek,mau islam ngak ngaji kek, mau islam ngak nikah kek, mau islam ngak haji kek ,,,.. itu urusannya Allah... manusia yang suka memvonis terlalu lancang banget ngurusin yang bukan urusannya....
@setia banendra, coba tunjukan mana persamaan syiah dan sunni, siapa bilang bukan urusan umat islam untuk membela islam
Pada zaman Al-Makmun (?), ada seorang ulama yang mengkritiknya dengan kata-kata yang penuh dengan hinaan dan cacian. Setelah selesai ulama itu berkata kasar, khalifah balik bertanya, “Apakah engkau merasa lebih baik daripada Musa alaihi salam? Apakah saya lebih buruk daripada Firaun?” Jawab ulama itu, “Tidak.” Khalifah itu berkata, “Allah telah memerintahkan Musa untuk berbicara kepada Firaun dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut.” (QS. 20: 44).
Allah tahu bahwa Firaun—meskipun diceramahi dengan bahasa lemah lembut—tidak akan kembali beriman, hanya saja hal tersebut akan menjadi hujah akan kezalimannya. Bayangkan jika Musa atau ulama tersebut datang dengan bahasa kasar, tentu Firaun akan berkata, “Bagaimana mungkin saya mau menerima ajakannya, sementara dia berkata kasar?” Sehingga dalam ayat yang disebutkan pertama tadi, selain ilmu yang diwakili oleh Alquran, seseorang juga harus memiliki hikmah, yakni kebijaksanaan dalam menyampaikan ilmu-ilmu tersebut.
Lihatlah Kacamata Kebenaran dengan Kebenaran itu sendiri, bukan dari agamanya, sukunya, bangsanya, politiknya dan lainn-lainnya..!!! : Kritik buat Irena Handono yang HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) dan A a Gym serta para "Pembenci Ahok"...!!!! Hemm.. Mahasiswa DEMO Pak Jokowi ..??!!!?? Info lengkap klik di http://hakunnay.blogspot.co.id/2017/01/lihatlah-kacamata-kebenaran-dengan.html