Home , , , , , , , , � Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 : Presiden Harus Jawa ???

Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 : Presiden Harus Jawa ???

Jangan Mimpi, Capres Non-Jawa Jadi Presiden!


Cukup mengagetkan memang, perdebatan capres Jawa non-Jawa justru keluar dari mulut pemenang pemilu Partai Demokrat. Politisi Partai Demokrat Ruhut Sitompul mengatakan, capres dari luar Jawa sulit menang pada Pilpres 2014.

“PILPRES dipilih langsung oleh rakyat. Kalau capres dari non-Jawa tidak memiliki nilai lebih, sangat susah jadi presiden,” kata anggota DPR ini di Gedung DPR. Menurut Ruhut, suku Jawa saat ini masih mayoritas dan dukungannya pun masih kuat. “Jawa itu kan 60 persen dan mereka bersatu kalau pilpres. Makanya kalau tidak plus plus plus susah. Obama itu kulit hitam tapi karena dia punya plus plus plus, dia jadi presiden di negara yang mayoritas kulit putih,’’ ujarnya.

Karena itu, ia menyarankan capres non-Jawa untuk sadar diri. Bisa masuk RI 2 saja sudah merupakan prestasi. “Jadi tokoh non Jawa coba ngaca. Ical dan Hatta Rajasa sebaiknya untuk RI 2 saja,’’ tambah Ruhut.

Sementara itu, Peneliti dari Soegeng Sarjadi Syndicate (SSS), Sukardi Rinakit, menyatakan bahwa paham yang mengatakan bahwa presiden itu harus orang Jawa, justru tidak berasal dari orang Jawa. Penelitian yang dilakukan justru menemukan paham itu berasal dari luar Jawa. “Dari penelitian yang dilakukan, justru yang menginginkan pemimpin orang Jawa itu adalah masyarakat dari luar Jawa,” kata Sukardi Rinakit, di gedung DPR, Senayan Jakarta.

Dari hasil penelitian tersebut, lanjutnya, juga terungkap alasan Presiden dari Jawa karena orang jawa secara populasi jauh lebih banyak. “Padahal seorang pemimpin itu harus orang Jawa dengan alasan karena orang Jawa itu lebih banyak sesungguhnya tidak tepat dalam menentukan kepemimpinan nasional karena begitu heterogennya warga negara ini,” tegas Sukardi.

Lebih lanjut dia mengatakan orang dari daerah lain kalau jadi pemimpin biasanya mengisi “gerbong” yang dipimpinnya dengan orang-orang dari daerah asalnya. “Tapi tidak dengan demikian kalau orang Jawa yang memimpin,” tegasnya.

Makanya orang non Jawa lebih senang memilih orang Jawa. “Rektor di Jawa bisa diisi oleh orang non Jawa, tapi lihat di daerah lain, rektornya harus dari orang daerah itu. Orang Jawa tidak chauvinistik,” tegasnya.

Ketua DPR Marzuki Alie melihat masyarakat telah terjebak dengan kemonotonan. ‘’Tidak pernah berubah, capres yang muncul adalah orang-orang populer dan berambisi,” kata Marzuki dalam Diskusi Dialektika Demokrasi ‘Capres Muda vs Capres Zadul, di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta.

Dikatakan, selama ini tidak ada pengamat maupun politisi yang pernah mengkaji kriteria pemimpin yang baik. “Kita terjemahkan job-nya (presiden) itu apa, lalu kita susun persyaratan menjalankan tugas atau amanah tersebut. Kemudian baru kita cari calon yang cocok,” terang Marzuki.

Marzuki khawatir jika pada 2014 presiden yang dipilih tidak memiliki kemampuan,Indonesia berada di ambang kehancuran. “Kalau hanya sekadar populer tapi tidak kompeten, mau dibawa ke mana bangsa ini?” tambah kader Demokrat itu. MONITOR/JPNN/kabarnet/28/10/2011

Ramalan Indonesia Pecah Tahun 2015



Djuyoto Memprediksi Tahun 2015 Indonesia Pecah. Beragam reaksi dan tanggapan muncul ketika wacana tentang masa depan Indonesia, yang juga dijadikan judul buku oleh Djuyoto Suntani, itu muncul dalam acara Dialog Kebangsaan berjudul Indonesia: Kemarin, Kini dan Esok sekaligus peluncuran buku tersebut. Komentar bernada pesimis, optimis, hingga rasa tidak percaya silih berganti diberikan oleh berbagai pihak yang hadir di Gedung Aneka Bhakti Departemen Sosial kemarin. Mungkinkah Indonesia benar-benar akan ‘pecah’ pada tahun 2015?

Djuyoto Suntani, sang penulis buku, menyatakan dalam bukunya paling tidak ada tujuh faktor utama yang akan menyebabkan Indonesia “pecah” menjadi 17 kepingan negeri-negeri kecil di tahun 2015. Kepingan negeri-negeri kecil itu sendiri menurutnya didirikan berdasarkan atas:
1. Kepentingan rimordial (kesamaan etnis),
2. Ikatan ekonomis (kepentingan bisnis),
3. Ikatan kultur (kesamaan budaya),
4. Ikatan ideologis (kepentingan politik), dan
5. Ikatan regilius (membangun negara berdasar agama).

Penyebab pertama adalah siklus tujuh abad atau 70 tahun. Dalam bukunya ia menuliskan;
“Seperti kita ketahui, semua yang terjadi di alam ini mengikuti suatu siklus tertentu. Eksistensi suatu bangsa dan negara juga termasuk dalam suatu siklus yang berjalan sesuai dengan ketentuan hukum alam. Dia mengambil contoh Kerajaan Sriwijaya yang berkuasa pada abad 6-7 M di mana waktu itu rakyat di kawasan Nusantara bersatu di bawah kepemimpinannya. Memasuki usia ke-70 tahun kerajaan itu mulai buyar dan muncul banyak kerajaan kecil yang mandiri berdaulat. Alhasil, di awal abad ke-9 nama Kerajaan Sriwijaya hanya tinggal sejarah. Tujuh abad kemudian (abad 13-14 M) lahir Kerajaan Majapahit di Trowulan, Jawa Timur sekarang. Kerajaan besar itu berhasil menyatukan kembali penduduk Nusantara. Namun, kerajaan ini pun bernasib sama dengan Sriwijaya. Memasuki usia ke-70 pengaruhnya mulai hilang dan bermunculanlah kerajaan-kerajaan kecil di Nusantara. Nama Majapahit pun hilang ditelan bumi. Tujuh abad pasca-jatuhnya Majapahit, di tahun 1945 (abad 20) rakyat Nusantara kembali bersatu dalam suatu ikatan negara bangsa bernama Republik Indonesia (abad 20-21). Tahun 2015 akan bertepatan RI merayakan HUT-nya yang ke-70″.

Dia pun menyatakan,
“Selama ini saya selalu optimis, tapi melihat perkembangan di lapangan, apa yang terjadi pada sesama anak bangsa, sungguh mengenaskan. Irama perpolitikan nasional dewasa ini mengisyaratkan hitungan siklus bersatu dan bubar dalam tujuh abad, 70 tahun tampaknya kembali terulang. Berbagai fenomena alam yang menguat ke arah bukti kebenaran siklus sudah banyak kita saksikan. Pertengkaran sesama anak bangsa, terutama elite politik, tidak kunjung selesai, tulis Djuyoto. Penyebab kedua, Indonesia telah kehilangan figur pemersatu bangsa. Setelah Ir Soekarno dan HM Soeharto, tidak ada tokoh nasional yang benar-benar bisa mempersatukan bangsa ini. Masing-masing anak bangsa selalu merasa paling hebat, paling mampu, paling pintar, dan paling benar sendiri. Para tokoh nasional yang memimpin negeri ini belum menunjukkan berbagai sosok negarawan karena dalam memimpin lebih mengutamakan kepentingan politik golongan/kelompok daripada kepentingan bangsa (rakyat) secara luas. Kehilangan figur tokoh pemersatu adalah ancaman paling signifikan yang membawa negeri ini ke jurang perpecahan”. Katanya tegas.

Pertengkaran sesama anak bangsa yang sama-sama merasa jago dan hebat, masing-masing punya kendaraan partai, punya jaringan internasional, punya dana/uang mandiri, punya akses, merasa punya kemampuan jadi Presiden; merupakan penyebab ketiga Indonesia akan pecah berkeping-keping menjadi negara-negara kecil. Masing-masing tokoh ingin menjadi nomor satu di suatu negara. Fenomena ini sudah menguat sejak era reformasi yang dimulai dengan diterapkannya UU Otonomi Daerah.

Salah satu penyebab Indonesia akan pecah di tahun 2015 karena adanya konspirasi global. Ada grand strategy global untuk menghancurkankeutuhan Indonesia. Ada skenario tingkat tinggi yang ingin menghancurkan Indonesia atau bahkan menghilangkan nama Indonesia sebagai negara bangsa, tegasnya. Konspirasi global ini, Djuyoto Suntani melihat, terus bergerak dan bekerja secara cerdas dengan menggunakan kekuatan canggih melalui penetrasi budaya, penyesatan opini, arus investasi, berbagai tema kampanye indah seperti demokratisasi, hak asasi manusia, kesetaraan gender, modernisasi, kebebasan pers, kemakmuran, kesejahteraan, sampai pada mimpi-mimpi indah lewat bisnis obat-obatan terlarang dengan segmen generasi muda.

Penyebab utama kelima Indonesia akan”‘pecah” dalam penilaiannya adalah faktor nama. Apa yang salah dengan nama? Ternyata, nama Indonesia sesungguhnya berasal dari warisan kolonial Belanda yakni East-India atau India Timur alias Hindia Belanda. Kalangan tokoh politik Belanda tingkat atas malah sering menyebut Indonesia dengan singkatan: In-corporate Do/e-Netherland in-Asia atau kalau diartikan secara bebas nama Indonesia sama dengan singkatan Perusahaan Belanda yang berada di Asia. Pemberian nama Indonesia oleh Belanda memang memiliki agenda politik tersembunyi sebab Belanda tidak rela Indonesia menjadi bangsa dan negara yang besar. Nama orisinil kawasan negeri ini yang benar adalah Nusantara, yang berasal dari kata Bahasa Sansekerta Nusa (pulau) dan Antara. Artinya, negara yang terletak di antara pulau-pulau terbesar dan terbanyak di dunia sebab negara kita merupakan negara kepulauan terbesar di dunia. Bila para anak bangsa tahun 2015 mampu menyelamatkan keutuhan negeri ini sebagai satu bangsa, salah satu opsi adalah dengan penggantian nama dari Indonesia menjadi Nusantara. Nama Nusantara lebih relevan, orisinil, berasal dari jiwa bumi sendiri dan lebih membawa keberuntungan, pesan Djuyoto. Namun, karena perpecahan sudah di ujung tanduk, salah satu agenda dalam membangun komitmen baru sebagai bangsa dalam pandangannya adalah dengan cara (perlu direnungkan) mengganti nama Indonesia menjadi Nusantara. Karena, nama memiliki arti serta memberi berkah tersendiri. Tidak hanya nama Indonesia yang bisa menjadi penyebab negeri ini pecah, nama Jakarta pun ternyata ikut berpengaruh terhadap keutuhan republik ini.

Nama Jakarta, Djuyoto mengungkapkan, memiliki konotasi negatif bagi sebagian besar masyarakat. Bila kita ingin menyelamatkan Indonesia dari ancaman perpecahan serta punya komitmen bersama untuk membawa negara ini menjadi negara besar yang dihormati dunia internasional, maka nama ibukota negara seyogianya dikembalikan kepada nama awalnya yaitu Jayakarta. Nama Jayakarta lebih tepat sebagai roh spirit Ke-Jaya-an Ibukota negara daripada nama Jakarta, sarannya.

Penyebab terakhir pecahnya Indonesia adalah gonjang ganjing pemilihan Presiden tahun 2014. Dia menyatakan dalam Pilpres 2009 bisa saja sejumlah tokoh yang kalah masih mampu mengendalikan diri tapi gejolak massa akar rumput yang berasal dari massa pendukung tidak mau menerima kekalahan jago pilihannya. Mereka lalu mempersiapkan diri untuk maju bertarung lagi pada Pilpres 2014. Pilpres 2014 adalah puncak ledakan dashyat gunung es yang benar-benar membahayakan integrasi Indonesia. Menurut Djuyoto dari informasi yang ia peroleh di seluruh penjuru Tanah-Air, indikasi karena gengsi kalah bersaing dalam Pilpres Indonesia lantas mengambil keputusan radikal dengan mendeklarasikan negara baru bukanlah sekedar omong kosong tapi akan terbukti. Pergolakan alam negeri ini seperti gunung es yang tampak tenang di permukaan namun setiap saat pasti meletus dengan dashyat.

Djuyoto Suntani menjelaskan, pada Pilpres 2014 bakal bermunculan figur dari berbagai daerah yang mulai berani bertarung memperebutkan kursi RI-1 untuk bersaing dengan tokoh nasional di Jakarta. Para tokoh daerah sudah dibekali modal setara dengan para tokoh nasional di Jakarta. Jika mereka kalah dalam Pilpres 2014, karena desakan massa pendukung, opsi lain adalah mendirikan negara baru, melepaskan diri dari Jakarta. Gonjang ganjing Indonesia sebagai bangsa akan mencapai titik didih terpanas pada Pilpres 2014. Jika kita tidak mampu mengendalikan keutuhan negeri ini, tahun 2015 Indonesia benar-benar pecah. Para Capres Indonesia 2014 yang gagal ramai-ramai akan pulang kampung untuk mendeklarasikan negara baru. Mereka merasa punya kemampuan, punya harga diri, punya uang, punya jaringan dan punya massa/rakyat pendukung. Perubahan dan pergolakan politik nasional pada tahun 2014 diperkirakan bisa lebih dashyat karena tidak ada lagi figur tokoh pemersatu yang dihormati dan diterima oleh seluruh bangsa.

Agar Indonesia tidak pecah, dia menyerukan seluruh elemen bangsa untuk bersatu dan bersatu. Dia berharap seluruh bangsa menyadari ancaman yang ada di depan mata dan kemudian saling bergandengan tangan bersatu untuk menyelesaikan semua permasalahan bangsa. Djuyoto bilang buku ini ditulis sebagai peringatan dini, sebagai salah satu wujud untuk berupaya menyelamatkan Indonesia dari ancaman kehancuran. Dengan adanya buku ini diharapkan semoga anak-anak bangsa mulai menyadari bahwa hantu Indonesia pecah sudah berada di depan mata. Kalau sudah paham, diharapkan mulai tumbuh kesadaran dari dalam hati lalu secara bersama-sama mengambil langkah untuk mencegah.

ke 17 negara itu antara lain.
1.Naggroe Atjeh Darrusallam : Banda Atjeh
2.Sumatra Utara : Medan
3.Sumatra Selatan : Lampung
4.Sunda Kecil : Jakarta
5.Jamar (Jawa Madura) : Surakarta
6.Yogyakarta : Yogyakarta
7.Kalimantan Barat : Pontianak
8.Kalimantan Timur : Samarinda
9.Ternate Tidore : Ternate
10.Sulawesi Selatan : Makassar
11.Sulawesi Utara : Manado
12.Nusa Tenggara : Mataram
13.Flobamora & Sumba: Kupang
14.Timor Leste : Dili
15.Maluku Selatan : Ambon
16.Maluku Tenggara : Tual
17.Papua Barat : Jayapura
18. Negara Riau Merdeka

Sumber : http://bayumas3.blogspot.com/2010/07/pecahnya-indonesia-pada-tahun-2015.html


Bukan maksud untuk menebar sara dinegeri tercinta ini, namun kita belajar mencerna sebuah mitos yang kenyataannya memang terbukti dan sulit dihilangkan.
Negeri kita punya enam orang yang pernah menjadi presiden, dari lima presiden Indonesia dari tanah Jawa yaitu Soekarno, Soeharto,Gus Dur, Megawati, dan SBY, sedangkan satu lagi adalah Prof. Habibie yang setengah Bugis setengah lagi Jawa dan hanya memerintah satu setengah tahun. Sebagai mayoritas di republik ini bisa dimaklumi kalau kepimpinan nasional menjadi jatah orang Jawa, rumusnya sederhana ini negara demokrasi dan demokrasi menganut sistem suara terbanyak (majority). Selain itu faktor jumlah penduduk Jawa lebih besar dari suku-suku lainnya. Bahkan ada yang menganggap Istana Negara berada di Jawa juga faktor kemenangan Jawa, jika berandai-andai Istana Negara dipindah ke D.I Aceh daerah lain akankah presiden tetap Jawa atau non Jawa ?
Bahkan etnis seperti Barack Obama harus menunggu selama 200 tahun lebih untuk menjadi seorang presiden Amerika dari kulit hitam. Ini realita yang nyata yang terjadi dihampir semua negara, sama halnya jika anda bertanya kok Australia tidak pernah memiliki pemimpin Aborijin padahal suku ini asli pemilik Australia ? yah itu karena sangat sulit seorang Aborijin yang hanya 20-25% bisa memenangkan pemilihan langsung di negara mayoritas pendatang kulit putih.
Walau banyak yang menyoroti gaya kepimpinan Jawa yang cenderung berhati-hati seperti SBY, berlama-lama berkuasa seperti Soekarno dan Soeharto tapi sangat sulit mematahkan tradisi kerajaan ini bahwa Jawa memiliki kans lebih besar,
Kembali kita tengok dimasa jaman kerajaan, Majapahit adalah salah satu Kerajaan terbesar di Asia dengan Sumpah Palapa Patih Gajah Mada, Majapahit berhasil mempersatukan beberapa kerajaan di Asia. Dari kejayaan Majapahit inilah cikal bakal Nusantara ini lahir. Tak dapat dipungkiri darah Jawa sudah menyebar keseluruh negeri ini sebagai contoh : Prof.BJ. Habiebie , ada darah Jawa ditubuhnya.
Salah satu keunggulan pemimpin Jawa adalah mengutamakan dialog, menghindari kekerasan, ini dapat dilihat dari cara bicara dan berbusana khas jawa, keris senjata khas jawa diselipkan dibelakang punggung bukan didepan sebagaimana suku-suku lain di Indonesia yg meletakkan senjata didepan.
Santun dan kelembutan merupakan modal utama agar seorang calon pemimpin menang di negeri ini, sebagai contoh Prof. Amien Rais, yang notabene Jawa yang punya khans menang pada masa itu, namun karena sikapnya yang terlalu berani dan terlalu keras beliau gagal terpilih.

Kita patut acungi jempol pada kepemimpinan para wakil presiden Bung Hatta dan Jusuf Kalla dua wakil presiden non Jawa yang dianggap sebagai wapres paling hebat, reputasi mereka diatas wapres-wapres dari Jawa seperti Soedarmono, Try Sutrisno, Megawati hingga Boediono.
Dikukuhkannya Aburizal Bakrie ketua Umum Golkar sebagai calon presiden 2014,
Hatta Rajasa ketua umum PAN yang popularitasna naik yang merupakan kuda hitam 2014 nanti, dua tokoh asal Lampung dan Sumatera ini bakal diperkirakan bertarung dengan tokoh-tokoh Jawa pada pemilu 2014 seperti Prabowo Subianto dll. Banyak yang berpendapat di jaman modern ini tidak cocok lagi membicarakan dikatomi Jawa dan non Jawa, siapapun yang maju jika dianggap berkualitas pasti rakyat memilihnya,
Akankah Mitos Presiden harus Jawa terus berlanjut ? ataukah Uang merubah segalanya ada pepatah Jer Basuki Mawa Beya [ sesuatu harus dengan biaya/uang ]. Siapapun yang maju jika dianggap berkualitas pasti rakyat memilihnya, karena semakin kedepan rakyat makin cerdas.

Message : Saya siap jadi Presiden !!! itulah ucapan yang harus keluar dari seluruh anak bangsa, agar jika terpilih tidak bimbang dan ragu membangun negeri ini

Kalau kasih koment dengan hati dingin dan yang bener ya ..Tulisan ini sebagai Uji sejauh mana Sumpah Pemuda terpatri dalam benak sanubari anak bangsa…

7 comments to "Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 : Presiden Harus Jawa ???"

  1. Anonymous says:

    pemimpin harus orang jawa, behhhhh,1, karena punya pop gede, 2 karena kecakapan de el el, 3 karena orang jawa lewat majapahit uda nyebar kmana-mana, 4 karena ramalan joyoboyo (katanya sehhh harus "NOTONOGORO")
    gak percaya gwe, sangat gak percaya,klo presiden harus orang jawa

    gwe orang palembang asli, 1 pop se sumatera bandingin ma pop se jawa, keok keok tu jawa, 2 emang jawa doank yg punya kecakapan,???, 3 woi jawa punya majapahit, sumatera juga punya sriwijaya, yg lebih dulu berdiri, malah orang sumatera sudah pernah mendirikan kerajaan di pulau jawa (wangsa syailendra). (apa ada orang jawa mendirikan kerajaan di pulau sumatera, siapa,???)4 sukarno(no),suharto(to), bj habibie (bie) "uda pecah tu ramalan", katanya mesti NOTONOGORO, pembohong tu joyoboyo.
    eittts cabdi borobudur ntu bikinan kerajaan sriwijaya lohhh, hayoo apa bikinan kerajaan majapahit yg mendunia,???

  2. Unknown says:

    Bicara apa saja sih gak penting!! mari bangun diri kita utk kemajuan bangsa indonesia

  3. Anonymous says:

    faktanya..gak mungkin selamanya presiden indonesia adalah orang jawa, tapi butuh waktu untuk mengubahnya..

  4. Anonymous says:

    butuh waktu untuk kiamat. Mau memerintah sendiri? Dirikan negara sendiri.

  5. Anonymous says:

    enggak kok, presiden gak harus orang jawa. tapi kalau kandidatnya ada yg jawa pasti aku milih yg dari jawa...hahaha lu mau ngomong apa terserah dah, lu mau sumpah serapah, lu mau ngorek2 kebobrokan orang, lu mau pamer keunggulan & kecerdasan yg lu punya..TERSERAH. hehe emang indonesia bisa maju kalo dengerin ocehan lu...

  6. mladis89 says:

    Lebih baik merdeka kaya Timor Leste, dari pada harus terus tunduk pada orang jawa. Coba lihat apa penghasilan dari Tanah jawa?
    West Papua, Maluku, NTT, Bali punya kekayaan masing2 yang sekarang menjadi ketergantungan Indonesia. Lebih merdeka...

  7. cobaa kaloo comen yang sewajarnya bilang indonesia dari sabang sampai merauke,,,,,tapiiee komentarnya seakan-akan menyelekan....orang luar jawa,,,,,,

Leave a comment