Manis Pembawaannya, tapi Keras Hatinya
Kalau hidup dimulai dari umur 40 tahun (life begins at fourty), Pak Jakob Utama, pemilik grup Kompas-Gramedia itu, baru mulai hidup lagi untuk yang kedua kalinya pada 27 September minggu lalu.
Jarang ada berita wartawan merayakan ulang tahun ke-80 seperti Pak Jakob Oetama. Yang sering adalah berita wartawan mati muda: sakit lever karena bekerja tidak teratur, terkena kanker karena tiap malam stres terkena deadline, terbunuh di medan pergolakan atau terlibat kecelakaan lalu lintas.
Rasanya kini tinggal tiga wartawan yang berusia di atas 80 tahun: Jakob Oetama dan Herawati Diah. Memang, ada tokoh seperti Harjoko Trisnadi yang juga lebih dari 80 tahun dan sangat sehat. Tapi, dia lebih dikenal sebagai pengusaha pers daripada wartawan, meski awalnya juga wartawan.
Yang lumayan banyak adalah calon wartawan berumur 80 tahun: Fikri Jufri (75, Tempo), Rahman Arge Makassar (76), Lukman Setiawan (76, Tempo), Ja”far Assegaf (78, Media Indonesia), dan beberapa lagi.
Ini berarti rekor usia wartawan terpanjang kini dipegang Ibu Herawati Diah. Beliau lahir pada 3 April 1917, yang berarti tahun ini berusia 94 tahun. Pak Rosihan Anwar sebenarnya juga hampir mencapai 90 tahun. Tapi, tak disangka-sangka dia meninggal mendadak pada usia 89 tahun, 14 April lalu.
Mungkin karena beda generasi, saya tidak akrab dengan dua tokoh pers yang dikaruniai usia yang begitu panjang. Saya mengenal Ibu Herawati Diah karena sempat berhubungan bisnis sekitar lima tahun, tapi terbatas hanya bicara perusahaan. Yakni, ketika suaminya, B.M. Diah, pemilik harian Merdeka yang juga mantan Menteri Penerangan, menyerahkan pengelolaan harian Merdeka yang lagi pingsan kepada saya pada 1994.
Setelah B.M. Diah meninggal dan saham Merdeka beralih ke putranya, kerja sama itu berakhir. Sebagian besar pengelolanya, di bawah pimpinan Margiono, kemudian mendirikan Rakyat Merdeka. Margiono, yang masih memimpin Rakyat Merdeka sampai sekarang menjadi ketua umum PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) pusat.
Lima tahun sering rapat bersama, saya bisa menarik kesimpulan mengapa Ibu Herawati Diah bisa berusia begitu panjang. Hatinya sangat baik, berpikirnya longgar, bicaranya sangat terkontrol, dan pembawaannya sangat tenang. Disiplinnya sangat tinggi, termasuk dalam hal makanan. Karena itu, Ibu Herawati terjaga langsing sampai sekarang. Ibu Herawati bisa mewakili sosok wanita intelektual yang bergaya elegan. Beliau tercatat sebagai wanita pertama Indonesia yang sekolah di luar negeri (Amerika Serikat).
Mengapa saya juga tidak akrab dengan Pak Jakob Oetama? Di samping beda generasi, kami berbeda tempat tinggal. Pak Jakob di Jakarta, sedang saya berbasis di Surabaya. Tapi, penyebab utamanya adalah karena kami berdua termasuk orang yang sangat fokus ke perusahaan masing-masing. Kami berdua sama-sama lebih mementingkan sibuk memajukan perusahaan masing-masing daripada misalnya menghadiri pesta-pesta, atau bergentayangan di kafe atau rapat-rapat organisasi. Begitu sulit kami menemukan kesempatan berinteraksi.
Beliau memang sangat lama menjadi ketua umum SPS (Serikat Penerbit Surat Kabar, kini bernama Serikat Perusahaan Pers), namun tidak pernah habis-habisan mempertaruhkan waktunya di situ. Beliau termasuk tokoh yang tidak mau menjadikan organisasi pers sebagai batu loncatan untuk berkarir di politik.
Karena itu, beliau enak saja ketika akhirnya meminta saya agar mau dipilih sebagai ketua umum SPS untuk menggantikannya. Sikap saya juga mirip itu. Saya tidak akan mau dicalonkan sepanjang beliau masih mau menjadi ketua umumnya. Bahkan, ketika suatu saat saya dicalonkan menjadi ketua PWI Jatim, saya mengajukan syarat: asal PWI jangan terlalu aktif.
Itu saya maksudkan agar tugas wartawan yang utama tidak terganggu oleh gegap gempita organisasi. Saya tidak ingin PWI-nya maju, tapi mutu koran merosot. Saya juga tidak malu kalau kantor PWI menjadi sepi. Sebab, itu berarti mereka sibuk menggali berita.
Pak Jakob adalah contoh dari sedikit orang yang bisa fokus. Sejak pikiran sampai tindakan. Godaan-godaan di luar pers tidak pernah meruntuhkan kefokusannya mengurus media. Padahal, sebagai pemimpin dan pemilik grup media nasional yang terbesar dan paling berpengaruh, pastilah begitu banyak rayuan dan iming-iming.
Beliau tidak tergoda sama sekali. Beliau terus saja konsentrasi mengurus Kompas dan grupnya. Karena itu, kalau pada akhirnya kita menyaksikan Kompas-Gramedia begitu sukses, kita tidak boleh melupakan bahwa itulah hasil nyata dari karya orang yang sangat fokus.
Generasi yang lebih muda (meski sekarang saya sudah tergolong generasi tua) memberikan dua penilaian kepada Jakob Oetama. Beliau dikecam sebagai wartawan penakut. Bukan sosok wartawan pejuang yang gagah berani menantang maut, seperti Mochtar Lubis (Indonesia Raya), atau Rosihan Anwar (Pedoman), atau Tasrif (Abadi), Aristides Katoppo (Sinar Harapan), Nono Anwar Makarim (Kami), Goenawan Mohamad (Tempo), dan beberapa lagi.
Di pihak lain dia dipuji sebagai wartawan yang santun, mengurus anak buah (termasuk kesejahteraan wartawan) dengan baik, dan sosok yang sangat menonjol tepo seliro-nya. Beliau juga tokoh yang kalau berbicara di depan umum lebih mengedepankan filsafat daripada masalah-masalah yang praktis. Misalnya, filsafat kritik. Sampai-sampai di era Orba itu muncul berjenis-jenis filsafat kritik. Ada kritik pedas macam Mochtar Lubis, kritik manis model Jakob Oetama, atau kritik jenaka model Goenawan Mohamad.
Kepribadian yang manis seperti itulah yang membuat pemerintah Orde Baru sangat percaya kepada Jakob Oetama. Sebuah kepercayaan yang ternyata juga tidak mutlak dan tulus. Pada suatu saat Kompas ikut dibredel juga, meski kemudian diizinkan terbit kembali. Tentu salah Orba juga mengapa memercayai Jakob Oetama. Padahal, di balik kehalusan dan kemanisannya itu tetaplah dia seorang wartawan yang asli. Manis hanyalah pembawaannya. Sikap batinnya tetaplah keras.
Kepercayaan yang begitu tinggi dari pemerintahan Orde Baru itu bukan tidak ada ruginya bagi Kompas. Setidaknya menurut saya. Akibat kepercayaan itu regenerasi di pucuk pimpinan Kompas menjadi terhambat. Umur 37 tahun saya sudah berhenti menjadi pemimpin redaksi Jawa Pos. Ini agar berganti kepada generasi yang lebih muda. Umur 39 tahun saya sudah berhenti menjadi pemimpin umum Jawa Pos. Pak Jakob Oetama terus menjadi pemimpin redaksi dan pemimpin umum sampai usia hampir 70 tahun.
Saya tahu itu bukan kehendak beliau sendiri. Siapa pun tahu bahwa untuk mengganti pemimpin redaksi, saat itu, harus minta izin menteri penerangan. Pemerintah merasa lebih tenang kalau Kompas dipimpin Jakob Oetama daripada misalnya tokoh muda yang mungkin lebih radikal.
Bagi saya pribadi Jakob Oetama adalah “lawan” yang harus saya hormati, tapi juga harus saya kalahkan. Saya menempatkan diri sebagai “penantangnya”. Baik dalam bidang jurnalistik maupun dalam bidang bisnis pers. Sebagai penantang saya merasakan bukan main susahnya hidup di luar dominasi Kompas. Kompas sudah menjadi koran dan koran sudah menjadi Kompas. Semua minta agar koran itu harus seperti Kompas. Bahkan, kalau ada wartawan baru keinginannya menulis ternyata juga harus seperti gaya Kompas.
Tentu saya tidak suka semua itu. Kalau hanya mengikuti Kompas, selamanya hanya akan menjadi ekornya. Tidak akan bisa menjajarinya. Karena itu, saya mengambil jalan yang sangat berbeda. Bukan dari ibu kota menguasai nusantara, tapi dari nusantara menguasai Indonesia. Di bidang jurnalistik juga harus berbeda. Jawa Pos memilih jurnalistik bertutur. Untuk wartawan baru saya langsung mencekokkan doktrin “jangan ketularan penyakit Kompas”.
Kata “penyakit” di situ terpaksa saya pakai bukan karena gaya Kompas itu jelek, tapi hanya karena harus dihindari. Agar wartawan Jawa Pos benar-benar punya gaya yang berbeda. Maafkan saya pernah menggunakan kata penyakit itu, Pak Jakob. Tentu saya tidak akan tersinggung kalau ada pihak lain menggunakan istilah yang sama: penyakit Jawa Pos.
Memang di kalangan pers sempat muncul istilah “perang total” Kompas-Jawa Pos. Tapi, itu hanya di permulaan. Pada akhirnya semua orang tahu bahwa Kompas dan Jawa Pos bergerak di medan yang berbeda. Kompas dengan majalah-majalahnya yang luar biasa, dengan toko bukunya yang the best dan biggest, dengan hotel-hotelnya yang meluas dan dengan bidang usaha yang meraksasa ternyata punya pasarnya sendiri.
Demikian juga Jawa Pos dengan koran-koran daerahnya, pabrik kertasnya, dan jaringan TV lokalnya juga punya dunianya sendiri. Keduanya masih terus membesar tanpa ada salah satu yang kalah. Inilah dinamisnya persaingan yang sehat. “Pertempuran” itu telah berakhir.
Bukan hanya karena masing-masing sudah menempati makom-nya, tapi juga karena masing-masing sudah tua. Pak Jakob sudah 80 tahun. Sudah memilih dan memiliki CEO baru yang sangat andal, Agung Adiprasetyo. Saya sudah 60 tahun dan Jawa Pos juga sudah dipimpin Azrul Ananda yang berumur 34 tahun. Pak Jakob mungkin sudah tinggal menjadi pendetanya di Kompas dan bahkan saya sudah bukan siapa-siapa lagi di Jawa Pos, kecuali hanya pemegang sahamnya.
Hasil pertempuran itu sudah final: saya tidak mampu mengalahkan Pak Jakob Oetama. Kompas Group masih jauh lebih gede daripada Jawa Pos Group meski koran Jawa Pos sudah tidak kalah besar dari koran Kompas.
Yang lebih penting: saya melihat Pak Jakob sangat berbahagia dalam hidupnya. Dia mengerjakan bidang yang sangat disenanginya. Dia berhasil menjadi kaya raya. Dia diberi rahmat sangat panjang usianya. Belum tentu saya bisa sebahagia Pak Jakob Oetama. Belum tentu saya bisa membahagiakan orang lain sebesar dan sebanyak yang dilakukan Pak Jakob Oetama. Belum tentu juga saya bisa mencapai usia 80 tahun seperti Pak Jakob Oetama.(*)
Selamat Datang GIMIN, Banyak Daerah Menantimu
Sebenarnya, hanya ada lima keinginan rakyat yang utama di bidang listrik: (1) jangan ada krisis listrik, (2) jangan ada daftar tunggu, (3) jangan sering-sering mati, (4) tegangannya jangan turun-naik, dan (5) daerah-daerah yang belum berlistrik segeralah berlistrik.
Karena itulah, kalau bulan-bulan pertama saya di PLN lebih sering mengunjungi daerah yang krisis listriknya hebat, sekarang saya lebih sering ke daerah yang tegangan listriknya tidak stabil.
Di Jawa, tinggal Banten Selatan, Cianjur Selatan, dan Sukabumi Selatan yang tegangan listriknya masih kacau. Karena itu, pekan lalu, saya menjelajahi kawasan tersebut. Dua hari kemudian, saya ke daerah-daerah pinggiran Sumatera, tepatnya ke Dumai dan Bagan Siapi-api.
Secara konvensional, mengatasi tegangan yang rendah bisa dilakukan dengan membangun gardu induk (GI). Tapi, membangun GI memerlukan waktu dua tahun. Terlalu lama. Itu pun karena bupati Lebak yang mantan pengusaha yang agresif tersebut, Mulyadi Jayabaya, mau menyediakan tanah 2 hektare untuk GI di Kota Malingping. Perlu terobosan untuk mengatasi tegangan itu dengan cepat.
Saya langsung teringat pada GIMIN. Rasanya, GIMIN-lah bisa diandalkan untuk mengatasi tegangan listrik dengan murah dan cepat. Dengan GIMIN (gardu induk minimalis), tegangan bisa normal. Membangun GIMIN tidak seruwet membangun GI: cukup ada tanah dan trafo besar. Tidak perlu membangun gedung. Peralatan elektroniknya bisa ditempatkan di sebuah kontainer. Hanya, seperti yang dipesankan Nur Pamudji, direktur energi primer PLN yang dulunya selalu mengurus GI, proteksinya harus baik.
Direktorat Perencanaan dan Teknologi PLN langsung merumuskan standar GIMIN yang memenuhi persyaratan. Baik secara teknologi maupun kriteria wilayah. Ada wilayah yang harus diselesaikan dengan GI, tapi banyak juga wilayah yang cukup dengan GIMIN.
Di Sumatera, GIMIN bisa dipakai untuk mempercepat elektrifikasi. Kelistrikan di Sumatera masih jauh tertinggal oleh Jawa. Banyak kota besar yang hanya dilayani dengan satu atau dua GI. Kota Bengkulu, misalnya, hanya punya satu GI. Kalau ada persoalan di GI tersebut, seluruh Kota Bengkulu padam total. Pekanbaru yang begitu pesat hanya dilayani dua GI. Sumatera masih memerlukan ratusan GI baru.
Di Kota Bagan Siapi-api, saya mendapati kenyataan lebih parah: kota ini tidak punya GI sama sekali. Mungkin karena dianggap hanya kota nelayan yang kecil yang amat jauh. Padahal, saya benar-benar dibuat terkejut oleh perkembangan kota tua ini. Bagan Siapi-api ternyata lagi membangun diri secara besar-besaran. Bupati Dumai H Annas Maamun, yang meski sudah berumur 74 tahun terpilih kembali, kini sedang membenahi kota lama sekaligus membangun kota baru. Kota baru itu sangat dibanggakan penduduk setempat dengan menyebutnya “Putra Jaya Junior”. Putra Jaya adalah kota baru di Kuala Lumpur yang sekarang menjadi pusat pemerintahan Malaysia. Kota baru Bagan Siapi-api dibuat seperti Putra Jaya dalam ukuran kecil.
Jalan rayanya kembar, masing-masing tiga jalur. Bangunan-bangunan kantornya dibuat cukup jauh dari jalan raya. Dan yang membuatnya berpredikat “Putra Jaya Junior” adalah arsitekturnya. Seluruh bangunan di kota baru itu menggunakan model dua kubah. Bangunan kecil berkubah kecil. Yang besar berkubah besar.
Hampir semua gedung dinas, kejaksaan, dan pengadilan sudah jadi. Demikian juga, tiga gedung museumnya sudah berwujud: museum Tionghoa, museum Melayu, dan museum ikan. Sangat mengesankan. Baru kali inilah saya melihat ada kota baru yang dibuat di Indonesia dengan karakter yang kuat. Saya sudah sering melihat kota baru seperti ini di Tiongkok atau Malaysia, tapi baru di Bagan Siapi-api ini saya menemukannya dilakukan di Indonesia.
Di Jawa, tentu sudah banyak kota baru yang berkarakter. Tapi semuanya dibangun swasta. Seperti Citraland di Surabaya, BSD di Jakarta, Karawaci di Tangerang dan seterusnya. Tapi yang di Bagan Siapi-api ini yang membangun adalah pemerintah. Pemerintah daerah. Kabupaten kecil pula.
Karena saya tiba di Bagan Siapi-api sudah pukul 19.00, maka saya langsung tahu kelemahan terbesar kota baru ini: gelap gulita!
Malam itu juga, setelah sembahyang Isya yang agak telat di masjid baru yang cantik, kami membuka peta kabupaten Rokan Hilir yang beribukota di Bagan Siapi-api ini. Sambil duduk di karpet masjid yang masih harum itu wakil bupati H. Suyatno dan pimpinan wilayah PLN Riau Joko Abunaman menjelaskan pilihan-pilihan langkah yang harus diambil untuk mengatasi kegelapan itu.
Kabupaten ini punya ambisi besar untuk tidak kalah dengan kota-kota kecil di depan sana. Maksudnya kota-kota kecil di Malaysia yang jaraknya hanya 1,5 jam naik speedboat dari Bagan Siapi-api. Kota pantai Port Dickson di Malaysia, misalnya, adalah tetangga terdekat Bagan Siapi-api.
Di samping membangun kota baru bupati Maanan juga sedang membangun dua jembatan besar. Panjang totalnya hampir 1,5 km! Rasanya seperti mustahil sebuah kabupaten yang namanya jarang disebut di level nasional bisa mempunyai ide dan mampu membangun jembatan sebesar ini. Arsitekturnya sangat modern pula. Malam itu juga saya minta diantar untuk melihat proyek jembatan itu. Jam 4 subuh saya sudah harus meninggalkan Bagan Siapi-api.
Jembatan ini ternyata sudah setengah jadi. Lagi dikebut. Akhir tahun depan sudah harus berfungsi. Inilah jembatan kembar yang menghubungkan kota baru dengan wilayah terisolasi yang dikenal sebagai wilayah suku Kubu yang dulu disebut suku terasing itu. Jembatan ini untuk meloncati muara sungai Rokan yang lebar. Dibuat kembar karena di tengah-tengah sungai itu ada pulau seluas 3.000 ha. Pulau inilah yang dirancang untuk dijadikan tempat rekreasi. Termasuk lapangan golf. Pemain golf dari Singapura dan Malaysia akan dirangsang datang ke sini.
Begitu jembatan selesai, bupati tua tapi sangat gesit ini akan langsung membangun lapangan terbang. Lokasinya di kecamatan Kubu, kira-kira 3 km dari ujung jembatan. Tanahnya sudah disiapkan dan ijin-ijin ke pusat sudah diurus. Tanpa bandara, tidak akan ada orang yang mau datang ke Ba Yen, sebutan Bagan Siapi-api dalam bahasa Mandarin. Mana ada orang yang mau jalan darat selama 7 jam dari Pekanbaru ke kota ini.
Ada tujuan lain dibangunnya jembatan itu. Membuka isolasi kecamatan Kubu yang menjadi konsentrasi penduduk termiskin di propinsi Riau yang kaya-raya. Bupati Maanan ingin ada jalan raya dari Bagan Siapi-api sampai ke wilayah Sumatra Utara.
Melihat semangat bupati yang begitu menggebu-gebu dalam membangun negeri saya pun malu. Listrik harus segera baik di sini. Saya berjanji akan ke sini lagi untuk meresmikan gardu induk pertama di kota yang klentengnya saja lebih dari 25 buah. Rencana menambah mesin diesel di situ saya batalkan. Rencana membangun pembangkit listrik gas batubara juga saya urungkan. Semua itu tidak akan menyelesaikan masalah. Harus ada gardu induk di sini, seminimal apa pun! (*)
Alhamdulillah, Si Ujo Tidak Lancar
Alhamdulillah, pelaksanaan Si Ujo 22 September kemarin kurang lancar.
Kalau tidak, kita tidak tahu bahwa masih ada yang harus diperbaiki di bidang infrastruktur kita.
Alhamdulillah, infrastruktur kita ternyata diketahui belum sempurna. Kalau tidak, banyak program lain yang lebih penting dari Si Ujo akan menjadi korban. Misalnya sentralisasi layanan 123 yang langsung menyangkut hajat hidup rakyat pada umumnya.
Alhamdulillah, ada Si Ujo meski pelaksanaan hari pertamanya kurang lancar.
Manfaatnya sudah cukup banyak. Misalnya sudah banyak karyawan yang untuk menghadapi Si Ujo ini kembali mempelajari teori bidang tugasnya dan bahkan menyadari perlunya kompetensi seorang karyawan di bidang yang dikerjakannya. Kalau tidak, maka karyawan PLN akan semakin jauh dari kompetensinya.
Alhamdulillah, Si Ujo gagal dilaksanakan secara simultan. Sehingga masih ada waktu sedikit bagi karyawan untuk meningkatkan sendiri kompetensi di bidangnya. Baik melalui belajar teori maupun memperbaiki praktek di pekerjaan sehari-hari. Kalau tidak, maka akan semakin banyak konsultan yang dipekerjakan di PLN. Padahal kemampuan konsultan itu belum tentu lebih hebat dari kemauan karyawan PLN.
Alhamdulillah, Si Ujo gagal dilaksanakan secara serentak 22 September kemarin. Berarti masih ada waktu tambahan satu hari untuk menyempurnakan diri. Yang berkemungkinan tidak lulus pun semakin kecil. Kalau tidak, akan terlalu banyak karyawan yang merasa gagal dalam hidup gara-gara tidak lulus Si Ujo. Kalau sampai perasaan itu muncul di kalangan karyawan dampaknya sangat negatif pada pengembangan jati diri seorang manusia. Padahal seandainya seorang karyawan tidak lulus Si Ujo pun sebenarnya bukan berarti karyawan tersebut bodoh atau tidak mampu.
Alhamdulillah, Si Ujo gagal dilaksanakan serentak untuk pertama kalinya di PLN ini. Sehingga manajemen memiliki lebih banyak waktu untuk meneruskan sosialisasi mengenai binatang apakah yang disebut Si Ujo itu. Agar lebih banyak karyawan yang tahu maksud sesungguhnya Si Ujo. Kalau tidak, maka ada saja yang buruk sangka kepada Si Ujo. Misalnya dikira inilah cara untuk mem-PHK karyawan. Atau inilah cara untuk mengurangi karyawan. Atau inilah cara untuk menjual PLN –he he agak Joko Sembung, di mana nyambungnya?
Alhamdulillah, Si Ujo belum bisa dilaksanakan serentak kali ini. Sehingga bisa dipikirkan kelak sosialisasinya yang lebih sistematis.
Kalau tidak, tidak akan cukup waktu untuk menjelaskan bahwa tidak lulus Si Ujo itu sebenarnya tidak apa-apa. Yang penting si karyawan mau belajar lagi mengenai ilmu yang terkait dengan pekerjaannya dan mau terus meningkatkan kompetensinya. Untuk itu si karyawan, setelah merasa kompetensinya meningkat, bisa ikut Si Ujo lagi. Bagaimana kalau tidak lulus lagi? Bisa belajar lagi dan mengikuti Si Ujo lagi. Bagaimana kalau lagi-lagi tidak lulus? Tetap tidak akan ada penilaian bahwa yang bersangkutan adalah seorang yang bodoh. Kalau sudah tiga kali ikut Si Ujo tetap tidak lulus, maka kesimpulan utama yang akan diambil adalah: karyawan tersebut tidak menyenangi pekerjaannya sekarang. Baik karena tidak cocok dengan jiwanya maupun tidak cocok dengan lingkungannya. Jalan keluarnya: akan dicarikan pilihan-pilihan bidang tugas yang lebih cocok dengan kompetensinya.
Alhamdulillah, Si Ujo gagal terlaksana serentak di hari pertama itu. Kalau tidak, saya tidak akan menulis CEO Noted mengenai Si Ujo ini. Kalau tidak, saya tidak akan terbangun jam 03.00 dan langsung tahajud di depan laptop ini. Kalau tidak, saya pun tidak akan belajar lebih banyak mengenai wisdom kekaryawanan.
Ada Alhamdulillah yang lain.
Direktorat SDM PLN Pusat baru saja selesai melakukan survey EES (Employee Engagement Survey) terhadap karyawan PLN. Hasilnya sangat menggembirakan. Begitu menggembirakannya sehingga sebenarnya sebagian tujuan Si Ujo sudah terbaca di hasil survey ini. Survey apa pula itu? Ini adalah survey untuk mengetahui keterikatan seorang karyawan (termasuk keterikatan emosionalnya) kepada perusahaan. Dalam hal ini: seberapa besar rasa keterikatan emosional seorang karyawan PLN kepada PLN.
Ini penting untuk mengetahui lebih lanjut apakah karyawan PLN itu mencintai secara sungguh-sungguh perusahaannya atau tidak. Tegasnya, apakah masih banyak karyawan yang masa bodoh atau apatis terhadap PLN bahkan memusuhi PLN. Kalau banyak karyawan yang apatis bisa diartikan bahwa si karyawan tidak sungguh-sungguh dalam bekerja. Bagaimana hasil EES itu? “Di banding survey di masa lalu hasilnya meningkat drastis,” ujar Bu Diana dari direktorat SDM. “Dulu levelnya hanya 5. Dari hasil survey EES sekarang ini terbukti sudah meningkat menjadi 7,” tambahnya. Apakah survey ini valid? “Valid. Survey ini diikuti oleh 20.000 karyawan,” tambah Pak Dadang Daryono yang mengepalai divisi sistem SDM. Kalau pesertanya memang sudah sampai 20.000 orang tentu hasilnya sangat valid. Bahkan ini bisa disebut bukan survey lagi, melainkan (untuk meminjam istilah Pak Murtaqi Syamsuddin) sudah sensus.
Alhamdulillah, tinggal sedikit lagi karyawan yang masih merasa tidak memiliki hubungan emosional dengan PLN.
Kalau begitu, apakah Si Ujo masih tetap akan diadakan? Tentu. Hanya saja menunggu infrastrukturnya dibenahi dulu. Siapa tahu, sebagian kecil karyawan yang keterikatan emosionalnya kepada perusahaan masih rendah itu datang dari mereka yang kurang memiliki kompetensi. Kalau mereka ini bisa diketahui dan kemudian bisa dicarikan jalan keluar (belajar sendiri, disekolahkan, dialihkan bidangnya) tentu hasilnya jauh lebih sempurna bagi PLN. Mengapa kita harus lebih baik lagi? Bukankah nilai 7 sudah baik? Karena: PLN harus harry jaya, eh, harus kembali jaya!
Alhamdulillah Si Ujo masih belum dilaksanakan kali ini.
Dahlan Iskan
CEO PLN
Bila Dua Gajah Bertempur, Listrik yang Mati
Pekanbaru, ibu kota Provinsi Riau yang kaya raya itu, gelap gulita tadi malam. Entah sampai kapan. Lampu penerangan jalan umumnya dimatikan total oleh PLN. Penyebabnya, tunggakan listriknya hampir mencapai langit. Sudah Rp 30 miliar lebih. Tidak ada kejelasan kapan wali kota Pekanbaru bisa membayarnya.
Wali kota Pekanbaru memang tidak punya uang. Bahkan, Kota Pekanbaru tidak punya wali kota. Masa jabatan wali kotanya sudah habis. Dia tidak boleh mencalonkan lagi karena sudah menjabat dua periode.
Pemilihan wali kota sudah dilaksanakan. Tapi, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan agar dilaksanakan pilkada ulang. MK menemukan bukti terjadi kecurangan yang masif dan terstruktur. Dalam putusannya MK memberikan batas waktu pilkada ulang tersebut harus terlaksana dalam 90 hari.
Tapi, sampai batas yang ditetapkan itu habis, hari ini, pilkada ulang tidak terlaksana. Penyebabnya sama dengan mati listrik tadi. Tidak ada dana. Terpaksa MK bakal bersidang lagi, entah apa yang akan diputuskan.
Pilkada di daerah yang kaya raya ini termasuk miskin calon. Hanya dua pasang yang maju. Tapi, dua-duanya gajah. Yang satu, Firdaus (Demokrat-PKS-PDIP), adalah mantan kepala Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Riau yang tentu kaya akan misi dan gizi. Satunya lagi, seorang Srikandi yang tidak kalah bergizinya. Dia adalah Septina Primawati (Golkar-PAN-PKB-PPP-Gerindra), yang tak lain istri Gubernur Riau yang lagi menjabat sekarang.
Karena itu, bisa disimpulkan begini: ketika dua gajah bertempur, listrik yang mati!
Lampu penerangan jalan memang menimbulkan banyak persoalan. Rakyat merasa memiliki hak agar jalan raya terang benderang. Sebab, rakyat sudah membayar retribusi penerangan jalan. Yakni, yang ditarik bersamaan dengan membayar rekening listrik di rumahnya. PLN yang ditugasi memungutkan pajak itu juga sudah menyetorkannya ke kas pemda.
Kalau saja disiplin anggaran bisa diterapkan, tentu tidak akan terjadi seperti di Pekanbaru ini. Masalahnya, pungutan dari rakyat itu sering tidak dipakai untuk membayar lampu jalan raya. Akibatnya, rakyat di perumahan sering memasang lampu penerangan jalannya sendiri dengan cara menggaet listrik dari PLN. Pihak PLN menilai yang seperti ini adalah pencurian listrik. Yang menggaet merasa tidak mencuri karena sudah membayar retribusi penerangan jalan umum.
Ada baiknya PLN di setiap kota mengumumkan kepada masyarakat berapa nilai uang retribusi penerangan jalan umum yang ditarik dari rakyat itu. Juga berapa pemkot/pemkab membayar listrik kepada PLN setiap bulan. Dengan demikian, rakyat di setiap kota bisa tahu apakah pemkot/pemkab sudah menggunakan uang retribusi penerangan jalan umum itu dengan baik dan benar.
Seperti di Pekanbaru itu, PLN telah menyetorkan hasil penarikan retribusi dari rakyat kepada kas pemkot lebih Rp 2 miliar per bulan. Ini berarti lebih Rp 24 miliar setahun. Dengan demikian, sebenarnya Pemkot Pekanbaru mampu membayar listrik untuk penerangan jalan umum tersebut.
Tentu saya ingin belajar juga dari kasus Pekanbaru itu. Maka, saya ingin mencarikan jalan keluar yang sangat meringankan pemda di seluruh Indonesia. Saya ingin menyerukan: jangan mau lagi membayar listrik ke PLN. Berswadayalah untuk listrik penerangan jalan umum. Jangan gunakan listrik dari PLN yang membebani anggaran daerah itu. Pemda bisa membuat listrik sendiri. Caranya mudah. Saya akan minta semua pimpinan PLN setempat menjadi konsultan gratis untuk setiap pemda.
Bagaimana caranya? Gunakanlah lampu penerangan jalan umum bertenaga matahari. Teknologinya sudah tersedia dan kini sudah teruji. Harganya juga sudah lebih murah dibanding dulu. Tanpa korupsi dan komisi, harga per lampu (tiang, lampu, dan baterai) hanya Rp 15 juta. Dengan investasi sebesar itu pemda tidak perlu lagi membayar listrik ke PLN. Pungutan retribusi penerangan jalan umum bisa terus dipergunakan untuk menambah lampu penerangan jalan sampai ke kampung-kampung.
Bagaimana kalau pemda tidak punya modal? Jangan pakai modal. Kerja sama saja dengan swasta. Mintalah perusahaan swasta membangun lampu tenaga matahari tersebut. Bayarlah swasta itu setiap bulan, seperti pemda membayar ke PLN. Dalam waktu lima tahun pembayaran itu sudah lunas. Untuk selanjutnya pemda sudah terbebas sama sekali dari kewajiban membayar lampu penerangan jalan. Retribusi penerangan jalannya bisa dipergunakan untuk terus menambah penerangan jalan di seluruh kota.
Dampak dari penerapan ide ini akan sangat besar. Indonesia akan menjadi terkenal di seluruh dunia sebagai pelopor lampu penerangan jalan yang paling besar. Industri dalam negeri juga hidup. Lapangan kerja bertambah-tambah.
Dengan melaksanakan ide ini, instruksi presiden agar hemat energi bisa dilaksanakan dengan nyata. Bukan hanya pepesan kosong. Kini semuanya berpulang kepada kepemimpinan di setiap daerah.
Sekali lagi, jangan seperti di Pekanbaru. Mau listriknya tidak mau bayarnya. Padahal, ada jalan yang lebih gagah: tidak perlu bayar listrik ke PLN, tapi jalan raya tetap terang benderang. (*)
Dahlan Iskan
CEO PLN
Setengah Tahun Fukushima
Direktur PLTN Fukushima Tak Gajian
Tentu saya sering menerima tamu dari Jepang. Kadang harus minta maaf karena waktu yang tersedia terlalu pagi: pukul 06.30. “Toh ini di Jepang sudah pukul 08.30,” gurau saya kepada tamu-tamu dari Jepang yang umumnya selalu serius itu.
Para tamu itu umumnya dari kalangan kelistrikan. Setelah urusan bisnis selesai, biasanya saya manfaatkan untuk menggali informasi mengenai kelistrikan di Jepang. Saya perlu belajar banyak dari para tamu dari negara maju itu. Dari mereka pulalah saya bisa terus memperbarui informasi mengenai kelanjutan nasib pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) Jepang setelah terjadi peristiwa kebocoran PLTN Fukushima akibat tsunami 11 Maret lalu.
Semua PLTN di Jepang kini menjalani apa yang disebut stress test. Sebuah tes untuk mengukur tingkat ketahanan PLTN menghadapi stres besar, seperti stunami atau gempa yang besar. Tes itu masih terus berlangsung, di bawah pengawasan badan nuklir dunia. Yang tidak memenuhi syarat harus melakukan perbaikan dan dites ulang. Setelah 54 PLTN itu dinyatakan tahan terhadap stres besar, hasil tes itu kelak diberikan kepada pemerintah. Saat itulah pemerintah akan memutuskan: go atau no go.
Tidak ada yang tahu kapan tes itu bisa selesai. Tapi, melihat tingginya tingkat ketakutan masyarakat terhadap nuklir, banyak yang pesimistis pemerintah bakal berani mengizinkannya kembali. Saat ini memang masih ada 12 PLTN yang beroperasi, tapi tidak lama lagi juga bakal dihentikan. Begitu tiba saatnya unit PLTN tersebut harus dipelihara, operasinya harus dihentikan. Kemudian, sekalian harus menjalani stress test. Pengoperasiannya kembali harus menunggu izin baru dari pemerintah.
Berarti Jepang sedang dan akan kehilangan listrik sekitar 40.000 MW (seluruh listrik di Indonesia 35.000 MW). Memang angka itu hanya 15 persen dari total produksi listrik di Jepang, tapi konsekuensinya tetap besar. Semua industri besar di Jepang kini harus mengurangi konsumsi listriknya 15 persen.
Untuk mengatasi itu tidak ada jalan lain. Pembangkit-pembangkit tua yang sudah puluhan tahun tidak dipakai itu cepat-cepat diperbaiki. Sebentar lagi bisa dijalankan kembali. Tapi, semua orang tahu pembangkit-pembangkit itu sudah sangat tidak efisien. Apa boleh buat. Jepang harus memproduksi listrik dengan cara yang sangat mahal. Bahan bakar pembangkit-pembangkit tua itu adalah minyak solar. Jepang pun harus impor BBM senilai Rp 300 triliun/tahun.
Karena itu, meski krisis listrik nanti akhirnya teratasi, persoalan baru segera muncul: siapa yang harus membayar kemahalan itu” Tidak ada rumus lain: konsumenlah yang akan menanggung. Jepang kini sudah siap-siap menghitung rencana kenaikan listrik yang kelihatannya bisa mencapai 30 persen. Kalau ini sampai terjadi, kalangan industri di Jepang bakal berteriak. Angka kenaikan tersebut akan membuat struktur bisnis di Jepang berubah total. Nilai kompetisi ekspornya akan hancur.
Bagi pelanggan rumah tangga, ini mungkin tidak begitu berat. Memang tarif listrik rumah tangga di Jepang sudah sekitar USD 22 sen. Hampir empat kali lipat lebih mahal daripada tarif listrik di Indonesia. Berapa jadinya kalau harus naik 30 persen lagi” Tapi, karena pendapatan masyarakat di sana juga tinggi, tarif itu tetap terasa murah. Hanya 1,5 persen dari total pendapatan per rumah tangga.
Saya perkirakan perdebatan kenaikan tarif listrik di Jepang akan seru. Terutama antara masyarakat yang tidak mau nuklir dan industri yang menginginkan tarif listrik murah. Bayangkan, memproduksi listrik dengan minyak solar bisa lima kali lipat lebih mahal daripada nuklir.
Bagaimana dengan kalangan akademisi? Sama juga dengan di Indonesia, mereka selalu mempersoalkan ini: mengapa tidak beralih ke energi baru? Bukankah potensi tenaga matahari di Jepang mencapai 500.000 MW? Bukankah potensi geotermalnya mencapai 20.000 MW? Bukankah Jepang dikelilingi laut sehingga potensi tenaga anginnya bisa mencapai 100.000 MW? Apa artinya kehilangan 40.000 MW?
Memang selalu ada benturan antara logika akademisi dan logika perusahaan listrik. Mereka hanya selalu mengemukakan potensi. Akademisi selalu mengemukakan “yang mungkin dilakukan”. Sedangkan perusahaan listrik hanya melihat “yang bisa dilakukan”. Akademisi selalu berbicara masa depan. Perusahaan listrik harus mengatasi problem SAAT INI.
Kehilangan 40.000 MW adalah persoalan yang harus dipecahkan SAAT INI. Sedangkan listrik dari geotermal itu, kalaupun bisa dikerjakan, baru didapat tujuh tahun lagi!
Persoalan geotermal di Jepang sama saja: potensi panas bumi itu berada di gunung-gunung dan di hutan-hutan lindung. Tidak boleh disentuh, apalagi dibongkar-bongkar. Biarpun itu untuk proyek geotermal yang misinya sama dengan si hutan lindung itu: memperbaiki lingkungan. Rupanya sesama program green tidak bisa saling menyalip.
Di Jepang, persoalan geotermal lebih rumit lagi. Lokasi-lokasi panas bumi yang ada di pegunungan itu umumnya sudah dimanfaatkan untuk spa air panas! Atau spa yang mengandung belerang. Sudah menjadi pusat-pusat wisata mandi. Larisnya bukan main.
Memang para teknolog akan bisa menemukan jalan keluarnya: lakukan bor miring! Artinya, gunung itu dibor dari samping, dari luar lokasi hutan, dari jarak yang sangat jauh. Para teknolog bisa menemukan jalannya. Tapi, selama ini sudah telanjur ada pameo: mimpi indah para teknolog adalah mimpi buruk para ekonom. Proyek sumur miring seperti itu akan menjadi begitu mahal.
Kalau listrik di Jepang menjadi sangat mahal, persaingan Jepang dengan Korea semakin seru. Korea yang berambisi menggeser Jepang (yang sudah tergeser oleh Tiongkok tahun lalu) punya peluang lebih besar. Rakyat Korea yang tidak mempersoalkan nuklir bisa mendapat listrik jauh lebih murah. Dengan tarif listrik yang baru nanti, kalangan industri di Jepang memperkirakan tidak mungkin lagi berproduksi di dalam negeri. Mereka harus mengalihkan pabrik ke negara yang lebih murah listriknya, seperti Indonesia.
Tentu mereka berharap masyarakat Jepang berubah sikap. Toh, seberat-berat Fukushima, terbukti sampai saat ini tidak ada satu pun orang meninggal akibat nuklir itu. Memang, ada tiga pegawai PLTN Fukushima yang dinyatakan terkena radiasi yang melebihi ambang batas yang bisa diterima manusia. Tapi, tiga orang itu baik-baik saja dan kini sudah kembali bekerja. Tiga orang itu masih terus diobservasi sampai aman benar.
Hanya, penduduk yang diungsikan masih sangat besar. Belum tahu lagi kapan mereka bisa kembali ke kampung halaman. Ini persoalan besar. Traumanya begitu dalam.
Masih banyak pekerjaan besar yang harus diselesaikan oleh direksi dan karyawan perusahaan listrik itu: membangun benteng yang bisa mengurung Fukushima rapat-rapat. Dengan demikian, radiasi tidak keluar dari reaktor. Demikian juga radiasi yang telanjur menyebar ke radius 20 km harus dibersihkan dulu. Setelah itu, kelak, entah kapan, pengungsi bisa kembali.
Sebelum semua itu selesai, masyarakat listrik di Jepang masih sangat menderita. Terutama TEPCO, pemilik PLTN Fukushima, yang kini harus menanggung semua biaya itu. Begitu berat beban kerja dan keuangannya. Sampai-sampai semua direkturnya tidak boleh menerima gaji. Dan, gaji semua karyawannya harus dipotong 20 persen. Sampai waktu yang belum bisa ditentukan.(*)
Dahlan Iskan
CEO PLN
Menebus Dosa, Bermalam di Penyabungan
Saya harus minta maaf, entah kepada siapa. Sebagai orang yang harus mengurus kepentingan listrik untuk rakyat seluruh Indonesia, nyatanya saya baru tahu kali ini bahwa ada kota yang bernama Penyabungan. Ini pun saya ketahui secara kebetulan. Yakni saat saya melakukan perjalanan darat yang panjang dari Padang di Sumbar ke Siborong-borong di Sumut.?
Sebagai penebusan dosa itu, saya memutuskan untuk bermalam di Penyabungan seraya membatalkan hotel di kota yang lebih besar, Padang Sidempuan. Apalagi saat tiba di Penyabungan jam sudah menunjukkan pukul 23.00. Belum makan malam pula. Juga masih harus mengadakan rapat dengan para pimpinan PLN ranting se-Tapanuli Selatan.
Rapat tengah malam yang menyenangkan. Apalagi sudah tidak banyak?lagi persoalan. Semua pimpinan ranting sudah hafal di luar kepala jumlah trafo di wilayah masing-masing. Juga hafal berapa kali mati lampunya. Mereka juga hafal mengelola berapa penyulang dan berapa kali penyulang itu mengalami gangguan. Lalu, apa saja yang mengakibatkan gangguan itu. Dulu tidak mungkin mengingat penyebab gangguan seperti itu saking banyaknya gangguan.
Satu-satunya persoalan berat di Tapanuli Selatan tinggal satu: ada sebuah penyulang yang kelewat panjang, sampai 300 km. Yakni penyulang yang mengalirkan listrik dari gardu induk (GI) di Sidempuan ke sebuah kota kecil yang terletak di pesisir barat Tapanuli. Yakni Kota Natal. Akibatnya, tegangan listrik di Natal sangat lemah. Tidak kuat untuk menyalakan TV di malam hari.?
Dalam rapat menjelang jam 00.00 itu pun, kami putuskan: mengadakan pembangkit listrik kecil di ujung penyulang itu di Natal. Ini harus sudah terlaksana dalam tiga bulan ke depan. Pimpinan PLN Wilayah Sumut Krisna Simbaputra yang bertanggung jawab mengadakannya.
Persoalan lain yang kecil-kecil akan diatasi sendiri oleh para pimpinan ranting. Tidak ada lagi krisis listrik di sini. Daftar tunggu juga sudah habis. Mati lampu juga sudah jarang. Maka, pada sisa malam itu, di sebuah hotel yang tidak berbintang, kami bisa tidur nyenyak di Penyabungan.?
Saya heran melihat Kota Penyabungan ini: mengapa sampai pukul 23.00 masih banyak toko yang buka. Kota masih terang benderang. Sayangnya, saya tidak berhasil mendapat jawabnya. Pukul 05.00, ketika Penyabungan masih gelap, kami sudah harus berangkat ke Padang Sidempuan, Sarulla, dan ke Siborong-borong.?
Dari semua titik itu, tentu Sarulla yang paling menggiurkan: ada proyek geothermal 330 MW yang macet sangat lama di situ. Ini sungguh menantang. Proyek ini sudah lebih 10 tahun tidak jalan. Persoalannya pun sangat ruwet. Padahal, wilayah sekitar sangat membutuhkannya. Padahal, lahannya sudah siap. Padahal, potensi panas buminya sudah nyata. Padahal, yang diperlukan tinggal keputusan.
Dengan melihat sendiri Sarulla, saya kian yakin bahwa PLN “tidak perlu begitu banyak pihak” bisa menyelesaikannya. PLN kini memang lagi berjuang untuk mendapatkan kembali proyek yang dulu pernah dimiliki oleh PLN itu. Dalam rapat-rapat di berbagai forum yang sangat tinggi, saya menjamin, kalau proyek ini ditangani PLN, tahun depan Sarulla sudah menghasilkan listrik. Tentu bertahap dari 10 MW, lalu 75 MW, dan akhirnya 330 MW.?
Direktur Perencanaan dan Teknologi Nasri Sebayang, yang dalam perjalanan ini lebih banyak pegang kemudi, sudah membuat perencanaan proyek Sarulla dengan sangat matang. Persiapan pengadaannya pun sudah dia selesaikan. Direktur keuangan yang tumben kali ini tertarik ikut safari, Setyo Anggoro Dewo, juga sudah menghitung betapa feasible-nya proyek ini. Direktur Operasi Indonesia Barat Harry Jaya Pahlawan sudah sangat menunggu listrik itu untuk kemajuan Sumut. Betapa siapnya PLN menggarap proyek ini. Jauh lebih realistis daripada dikerjakan sekaligus oleh investor, tapi baru menghasilkan listrik lima tahun lagi. Itu pun kalau investor tersebut bisa menyelesaikan persoalan yang selama ini begitu rumitnya.
Perjalanan panjang setelah Lebaran ini ditutup dengan kunjungan ke gubernur Sumut di Medan. Apa lagi agendanya kalau bukan soal izin lokasi pembangkit listrik tenaga air (PLTA) Asahan III yang tidak kunjung keluar itu. Sebuah pertemuan yang sangat terbuka yang akhirnya kami tahu mengapa izin itu sudah enam tahun belum juga kami dapat.
Begitu banyak kota kecil yang baru kali ini saya lewati: Lubuk Sikaping, Bonjol, dan Pasaman di Sumbar sampai ke nama-nama seperti Kotanopan, Siabu, dan Sipirok di perbatasan Sumut. Nama-nama itu, termasuk nama Penyabungan yang mengesankan itu, akan terpatri abadi di sanubari. Termasuk persoalan yang ada di dalamnya. (*)
Susi Tetap di Hati
Saya bisa membayangkan dengan baik sulitnya mengevakuasi pesawat Susi Air yang jatuh di pedalaman Papua Jumat lalu. Lokasi itu begitu terjal, penuh gunung, dan lembah yang curam. Tidak jauh dari lembah terjal yang dengan susah payah saya kunjungi bulan lalu. Yakni, ketika saya dan rombongan PLN harus berjalan kaki 15 km dari Wamena ke wilayah atas Kabupaten Yahukimo, mencari lokasi ideal untuk pembangunan pembangkit listrik tenaga air (PLTA).
Ketika berada di lokasi itu saya sering mendongak karena ada pesawat yang lewat. Rupanya di atas lokasi itu merupakan jalur penerbangan yang baik untuk keluar dari lembah Wamena. Lokasi ini berada di sela-sela gunung. Memang, setiap pesawat yang hendak keluar atau masuk Wamena harus mencari celah-celah di antara gunung-gunung tinggi di sekeliling Wamena.Di kawasan itu kita bisa terkaget-kaget ketika pesawat keluar dari awan tiba-tiba ada tebing gunung tinggi di sebelah jendela. Itu saya alami sendiri ketika hendak mendarat di Wamena bulan lalu. Pesawat masih berada di dalam kegelapan awan ketika pilot mengumumkan kita segera mendarat. Saya pikir mau mendarat di mana? Wong tidak kelihatan apa-apa begini. Eh, tidak lama kemudian pesawat keluar dari awan dan seperti tiba-tiba berada di samping tebing puncak gunung yang terjal. Rasanya ngeri-ngeri asyik.Yang membuat hati saya tetap tenang adalah ini; pesawat ini, Susi Air, dalam sejarahnya belum pernah mengalami kecelakaan. Pemiliknya, Susi yang saya kenal baik, selalu membanggakan itu. Pesawat ini sejenis dengan yang jatuh itu (atau jangan-jangan memang itu?) adalah pesawat yang masih relatif baru. Baru berumur empat tahun. Toh, saya sering naik pesawat yang umurnya sudah lebih 30 tahun. Seperti Boeing 737-200 atau MD80 itu.
Yang juga membuat saya tenang, Susi Air menempatkan banyak pesawat jenis ini di Papua, yang berarti perhatian terhadap perawatannya sangat baik. Bahkan, Susi Air adalah pemilik terbanyak kedua di dunia untuk pesawat jenis Caravan ini, setelah FedEx AS. Yang juga menambah ketenangan saya adalah (Ini sikap yang saya sadari kurang baik, dan kelihatan lebih kurang baik setelah terjadinya kecelakaan itu) pilot-pilotnya orang bule.
Susi Air memang punya kebijakan hanya mempekerjakan pilot asing untuk 38 pesawatnya. Pilot-pilot Susi Air, ujar Susi kepada saya suatu saat, mau mengerjakan semua hal yang terkait dengan pesawatnya: mengangkat bagasi, menutup pintu, mencuci pesawat, dan menjadi pramugarinya sekalian. Ini sama dengan sikap Susi sendiri yang senang mengerjakan apa saja. Meski seorang bos besar, dia biasa melakukan pekerjaan yang remeh-temeh.
Pernah saya terbang dengan Susi Air dari Dobo di Maluku Tenggara. Di situlah saya pertama kenal dengan dia. Semula saya pikir dia karyawan biasa. Dia bertindak seperti petugas ground dan ketika ikut terbang di psesawat itu dia yang melayani penumpang. Saya kagum ketika akhirnya tahu dialah bos besar Susi Air. Orangnya cekatan, cerdas, antusias, bicaranya blak-blakan, suaranya besar, agak parau, dan sangat tomboi.
Susi sangat bangga menjadi wanita Sunda yang lahir dan besar di Pangandaran, pantai selatan Jabar, yang bisa menjadi bos dari begitu banyak orang asing. Dia juga begitu bangga bisa mengabdi untuk republik dengan pesawat-pesawatnya. Baik sebagai jembatan daerah terisolasi maupun saat menjadi relawan waktu tsunami. Dia juga begitu bangga dengan desa kelahirannya, sehingga kantor pusat Susi Air dia pertahankan tetap di Desa Pangandaran yang jauh dari Jakarta. Termasuk di desa itu pula pusat pelatihan pilot dan peralatan simulasinya yang canggih.
Dari Pantai Pangandaran memang Susi jadi orang. Yakni, ketika awalnya dia mulai mencoba menampung udang hasil tangkapan nelayan di desanya yang kualitasnya begitu tinggi. Lalu dia kirim ke Jakarta. Lalu dia ekspor. Lalu dia mengalami kesulitan karena tak ada sarana yang bisa mengangkut udang Pangandaran dengan cepat dan dalam keadaan masih hidup sudah tiba di Jakarta atau Singapura. Lalu, demi udang nelayan Pangandaran itu dia sewa pesawat. Lalu beli pesawat. Lalu beli lagi dan beli lagi hingga mencapai 38 buah. Lalu bikin perusahaan penerbangan.
Saya begitu sering menggunakan jasa Susi Air. Banyak rute yang penerbangan lain tidak mau, dia terbangi. Misalnya, Jakarta-Cilacap. Atau Medan-Meulaboh. Atau antarkota kecil di Papua. Sebagai orang yang kini harus memikirkan listrik sampai ke seluruh pelosok negeri yang terpencil, saya ikut berterima kasih kepada Susi.
Saya agak heran mengapa kecelakaan itu terjadi. Selama ini saya sangat yakin dengan peralatan modern di Caravan yang berisi 14 orang itu. Layar radarnya yang cukup lebar bisa memberikan banyak indikasi cuaca. Saya sering duduk di barisan paling dekat pilot sehingga sering bertanya makna tanda-tanda yang muncul di layar. Ketika di depan sana ada awan tebal, layar itu bisa menggambarkan mana awan yang berisiko dan yang tidak. Mana awan tipis dan tebal. Gunung juga terbaca di situ.
Saya menduga kecelakaan itu karena pilot tidak berhasil mengangkat atau menaikkan pesawat setinggi yang dibutuhkan untuk melompati sebuah puncak gunung di situ. Misalnya, karena empat drum solar seberat 1,1 ton itu terlalu berat.
Saya pernah naik Caravan Susi Air dari Nabire ke Timika di Papua yang juga mendebarkan. Dua kota itu dipisahkan oleh pegunungan yang salah satu puncaknya setinggi 4.500 meter. Sebelum take off, saya mengira pesawat akan menghindari ketinggian itu dengan cara sedikit memutar ke atas Kaimana.
Ketika pesawat mengudara, saya terus memegang peta yang dalam posisi membuka. Ketika saya rasakan pesawat terus meninggi, barulah saya tahu bahwa sang pilot memilih meloncati saja puncak 4.500 meter itu. Wow! Kata saya dalam hati. Pesawat begini kecil terbang 5.000 meter! Karena kami semua memegang BlackBerry, kami menggunakannya juga untuk mengecek ketinggian. Benar. 5.000 meter!
Saya juga sering dibantu pilot Susi Air. Ketika terbang dari Jakarta ke Pangandaran, kami diberi bonus bisa terbang rendah dan memutar dua kali di atas Pegunungan Kamojang. Dengan cara begitu saya bisa melihat dari atas secara jelas pembangkit listrik geotermal di lereng Gunung Kamojang dan lereng Gunung Salak.
Demikian juga ketika saya terbang dari Bintuni ke Nabire, pilotnya tidak keberatan ketika saya minta mengarah dulu ke selatan karena saya ingin melihat dari atas fasilitas LNG Tangguh di pantai Teluk Bintuni. Bahkan, ketika ke Digul dan pesawat diperkirakan tidak bisa mendarat karena landasan jelek, pilot dengan sabar berusaha keras mendarat. Caranya, beberapa kali pilot menerbangkan Caravannya rendah sekali menyusuri sebelah landasan Digul. Yakni, untuk melihat dengan mata telanjang apakah landasan itu aman didarati. Akhirnya Susi Air mendarat di Digul dengan mulusnya.
Tentu saya juga sering bergurau dengan pilot-pilot itu. Ketika Susi Air mendarat di Merauke, saya menggoda pilot muda asal Australia itu.
“Apakah Anda ingin mampir pulang dulu?” tanya saya sambil menunjukkan jari ke arah Australia yang sudah begitu dekat.
Apa jawabnya? “Iya lho. Tinggal 150 mil lagi sudah Australia,” jawabnya lantas senyum. Mudah-mudahan bukan dia yang jatuh di Yahukimo Jumat lalu itu. Saya masih begitu ingat senyum perpisahan hari itu. (c2/lk)
Era Baru Superblok, Mal dan Foodcourt di Ring Satu
Catatan Dahlan Iskan yang Kembali Berlebaran di Makkah (1)Telah lahir di Makah: foodcourt.
Maka, cara makan di sekitar Masjid Al Haram pun mulai berubah. Dari cara lama berdiri bergerombol di depan warung-warung kecil atau makan di lantai, menjadi makan di foodcourt.
Memang, makan cara lama belum hilang, tapi foodcourt-nya juga sudah penuh. Inilah foodcourt pertama dalam skala besar di dekat Masjid Al Haram. Lokasinya di lantai 3 dan 4 superblok baru yg sangat megah. Superblok ini belum bernama karena memang belum sepenuhnya selesai. Tapi, masyarakat menyebutnya gedung Zam-Zam karena salah satu di antara tujuh hotel di superblok itu adalah hotel Zam-Zam.
Di antara tujuh hotel itu, lima sudah beroperasi, sedangkan yang dua lagi masih diselesaikan. Ada juga yang menyebut superblok ini dengan gedung Menara Jam. Ini karena di puncak superblok ini dibangun menara jam yang besar dan menjulang tinggi. Inilah menara jam terbesar dan tertinggi di dunia. Menara ini juga sangat cantik dan atraktif di waktu malam. Warna layar digitalnya yang hijau dan permainan lampu kristal dan lampu lasernya yang gemerlap membuat daya magnetnya sangat besar.
Ketika hari pertama Lebaran saya ke Padang Arafah sejauh 40 km dari Makkah, saya kaget: menara ini bisa terlihat bahkan dari Arafah. Tentu terlihat juga dari Muzdalifah, apalagi dari Mina. Padahal, Kota Makkah yang berada di lembah itu di kelilingi gunung. Menara ini juga berfungsi sebagai papan informasi.
Menjelang salat Isya 29 Agustus lalu, tiba-tiba di layar digital hijau itu muncul tulisan Arab putih: Ied Mubarak, Kullu Aamin Waantum bil Khair! Ini pertanda bahwa Lebaran telah tiba. Tidak perlu ada salat Tarawih malam itu. Sekitar 2 juta umat yang sudah memadat di Masjid Al Haram dan di seluruh halaman sekelilingnya langsung salat Isya saja. Dari layar itu juga bisa dibaca bahwa menara ini persembahan dari Al Malik Abdul Azis yg tidak lain adalah almarhum ayahanda Raja Fath. Superblok ini memang menggunakan tanah kerajaan yang dibangun Bin Ladin, konglomerat utama Arab Saudi, dengan sistem bot 25 tahun.
Kehadiran superblok Zam-Zam ini bagi saya yes and no. Yes karena Makkah yang sudah dipenuhi gedung dan hotel-hotel bintang lima kini bertambah-tambah kemegahannya. Juga berarti bertambahnya lebih 10.000 kamar baru berbintang lima di sekeliling Masjid Al Haram. Dengan adanya foodcourt yang sangat luas di dua lantainya berarti soal makan kian mudah.
Begitu luasnya foodcourt ini sampai-sampai dimanfaatkan pula untuk lokasi rekresi: ada kereta-kereta gantung yang memutar ke seluruh lokasi foodcourt sambil melihat hadirnya jenis makanan apa saja dari seluruh dunia. Foodcourt ini, rasanya, didesain khusus agar fungsional: tempat makan sekaligus tempat sembahyang. Karena itu, lantainya dibuat luas dan meja-meja makannya ditata berjauhan.
Orang banyak menunggu datangnya saat berbuka puasa di meja-meja makan, tapi langsung membuat barisan salat begitu saat Magrib tiba. Pemandangan ini menjadi pilihan lain dari pemandangan lama yang masih ada: menggelar plastik di halaman dan di dalam Masjid Al Haram untuk makanan pembuka, lalu menggulungnya sebagai sampah saat waktu salat tiba.
Superblok Zam-Zam ini no bagi saya karena terlalu besar, tinggi, dan dominan. Superblok ini seperti menenggelamkan kemegahan Masjid Al Haram yang anggun itu. Saat malam hari saya sembahyang di dekat Ka’bah, superblok dengan permainan cahayanya itu terasa mendominasi sampai ke dalam masjid. Menara-menara masjid yang dulu terasa cantik dan indah seperti tidak ada artinya lagi.
Dulu saya suka memandang langit dari lokasi di sekitar Ka’bah ini. Sekarang setiap kali ingin menatap keagungan langit, mata tertarik ke puncak menara jam di atas superblok itu. Apalagi arsitektur bagian atas keseluruhan superblok ini memang sangat modern dan indah. Kehadiran superblok baru ini telah mengubah suasana di Masjid Al Haram.
Tidak sama dengan ketika hotel-hotel megah dulu mulai hadir di sekeliling masjid. Superblok, foodcourt, mal, dan arena rekreasi di dalamnya seperti tanda zaman baru Makkah.
Melengkapi zaman baru lainnya: handphone.
Merajalelanya handphone benar-benar mengubah Masjid Al Haram. Memang tidak sampai ada dering telepon yang bersahutan, tapi tidak jarang orang bertawaf (ritual mengelilingi Ka’bah tujuh putaran) sambil menerima telepon. Orang juga saling mencari keluarga yang terpisah melalui telepon. Dan ini yang berubah: saling memotret di dekat Ka’bah.
Dulu memotret dengan kamera dilarang keras. Memasuki pintu masjid diperiksa ketat. Saya pernah memberikan pujian yang tinggi kepada wartawan Jawa Pos Surya Aka yang kala itu berhasil menyelundupkan tustel dan berhasil memotret orang yang lagi tawaf dengan sangat sempurnanya tanpa ketahuan petugas. Kini petugasnya yang kuwalahan karena semua orang punya kamera di handphone mereka.
Petugas kini hanya bisa pasrah. Tulisan dilarang memotret memang masih ada, tapi orang saling berfoto di dekat Ka’bah tak tercegah. Termasuk berfoto di depan petugas itu sendiri. Bahkan, ada yang minta tolong petugas untuk memotretkannya!
Begitu banyak perubahan di Makkah, termasuk perubahan gaya hidupnya. (c1/lk)
Perbedaan, Sikap Kita dan Kenisbian
Catatan Dahlan Iskan yang Kembali Berlebaran di Makkah (2)
Inilah tempat yang orangnya tidak saling menyalahkan. Inilah tempat yang orangnya tidak mempersoalkan Anda penganut Islam aliran yang mana. Inilah tempat yang di pintu masuknya tidak ada yang bertanya NU-kah Anda atau Muhammadiyah, Wahabikah Anda atau Ahmadiyah, Ahlussunnahkah Anda atau Syi’ah, Hisbuttahrirkah Anda atau Ikhwanulmuslimin, Jamaah Tablighkah Anda atau Islam Jamaah.
Inilah tempat yang pintunya hampir 100 buah, melebihi jumlah aliran yang ada. Inilah tempat yang halamannya seluas dada umatnya. Inilah rumah Tuhan untuk orang Islam yang mana saja dari mana saja.
Ada yang sembahyang dengan celana digulung sampai mata kaki tanpa mencela mereka yang celananya dibiarkan panjang sampai menyentuh lantai. Ada yang pakai jubah serba tertutup tanpa menghiraukan yang hanya pakai kaus lengan pendek. Ada yang sembahyang dengan pakai sarung tanpa mencela yang pakai kaus sepak bola Barcelona dengan nama Messinya atau kaus Arsenal dengan nama Fabregasnya.
Inilah masjid yang orangnya sembahyang dengan bermacam-macam gerakan tanpa ada yang merasa salah atau disalahkan. Ada yang ketika takbiratul ikram mengangkat tangan sampai menyentuh telinganya tanpa menghiraukan jamaah di sebelahnya yang tidak melakukan gerakan tangan apa-apa. Ada yang tangannya konsisten bersedekap di dada tanpa mempersoalkan orang yang tangannya begitu sering masuk ke saku jubahnya seperti mencari-cari benda yang hilang. Ada yang sambil sembahyang matanya terpejam tanpa menegur sebelahnya yang sibuk mematikan handphone-nya yang tiba-tiba berdering.
Inilah tempat yang jamaahnya tidak mempersoalkan mengapa ada yang dapat tempat sembahyang di dekat Kakbah dan ada yang hanya dapat tempat di pinggir jalan atau di tangga atau bahkan harus sembahyang di atas pagar yang lebarnya hanya setapak. Inilah tempat yang orangnya hanya konsentrasi memikirkan bagaimana agar dirinya sendiri bisa diterima menghadap Tuhannya tanpa peduli apakah Tuhan juga menerima penghadapan yang lain. Inilah tempat yang semua orangnya ingin mendapat tempat yang terdekat dengan Tuhan tanpa perlu melarang atau menyingkirkan atau membunuh orang lain yang juga menginginkan posisi yang terdekat dengan Tuhan. Inilah tempat sembahyang muslim yang bersujud di aspal sama nikmatnya dengan bersujud di permadani tebal.
Inilah tempat yang orangnya tidak mempermasalahkan apakah tempat sembahyang bagi wanita harus disembunyikan di balik dinding atau di balik tabir. Ada yang sembahyang berkelompok sesama wanita dengan pembatas kain rendah tanpa menyalahkan wanita yang sembahyangnya tercampur dengan pria. Ada tempat sembahyang khusus laki-laki tanpa menganggap tidak sah beberapa laki-laki yang sembahyang di tengah-tengah jamaah wanita, bahkan dengan posisi berdempetan dengan wanita di sebelahnya itu.
Inilah tempat yang membuat saya termenung lama mengapa jutaan manusia yang datang ke tempat ini tidak mempersoalkan aliran orang lain sebagaimana kalau mereka berada di tempat asal mereka. Mungkinkah karena begitu egoisnya mereka yang datang? Mungkinkah begitu individualistisnya mereka yang ke tanah haram? Mungkinkah muncul kesadaran bahwa pada akhirnya Tuhanlah yang memutuskan siapa yang berhak dekat dengan-Nya dari mana pun alirannya?
Inilah tempat yang membuat saya tertegun sejenak: mungkinkah karena di sini tidak ada yang merasa dominan sebagai mayoritas? Mungkinkah perasaan kehilangan dominasi mayoritas itu yang menyebabkan segala yang minoritas harus disingkirkan? Mungkinkah karena di sini tidak ada yang merasa menjadi tuan rumah sehingga semua orang adalah tamu?
Inilah tempat yang membuat saya berpikir: begitu indahnyakah keberagaman yang seimbang itu?
Inilah tempat yang membuat saya ingat begitu kerasnya persaingan dunia usaha: mungkinkah kedamaian di tempat ini karena masing-masing aliran tidak sedang me-marketing-kan aliran masing-masing? Mungkinkah marketing aliran itu yang membuat terjadinya perebutan pasar sehingga yang minoritas merasa harus meningkatkan market share-nya dan sang market leader mati-matian melawan setiap penggerogotan pasarnya?
Wallahualam. Tuhan bukan pasar dan tidak akan memedulikan posisi pasar.
Sebagai orang yang sejak kecil berada di lingkungan ahlussunah dan dilatih praktik ibadah ahlussunah dengan gerakan sembahyang yang begitu tertib (sampai posisi jempol kaki saat duduk takhiyat akhir pun dibetulkan dengan keras) di tempat ini ternyata saya juga bukan lagi mayoritas.
Inilah tempat yang membuat saya paham bahwa mayoritas atau minoritas itu ternyata nisbi. Sepenuhnya bergantung pada tempat dan waktu. (c2/lk)
Di Al Haram Tak Ada Yang Tersinggung
Catatan Dahlan Iskan yang Kembali Berlebaran di Makkah (3)
Di sini bukan hanya simbol-simbol ibadah agama yang harus kalah oleh kepentingan umum, bahkan ibadah itu sendiri. Di sini terjadi, ibadah bisa ditafsirkan sebagai kepentingan pribadi yang di atas itu berarti masih ada kepentingan umum yang harus diutamakan, apa pun arti kepentingan umum itu.
Di sini, di dalam masjid yang teragung ini, tak terbayangkan sembahyang ada kalanya harus kalah oleh kepentingan umum. Di dalam Masjid Al Haram Makkah Al Mukarramah ini, sembahyang bisa tiba-tiba dihentikan: ketika sembahyang itu menghalangi berfungsinya fasilitas umum.
Di sini begitu sering terjadi: ketika salat baru saja dimulai, petugas sudah datang menyuruhnya berhenti. Bahkan menyuruhnya pergi. Menyuruh pindah lokasi (menyuruhnya kadang dengan mendorong-dorong orang yang lagi khusyuk sembahyang itu) agar tugas membersihkan lantai itu tidak terhalangi.
Bagaimana bisa terjadi di sini, di dalam masjid yang paling dimuliakan di bumi ini, orang yang lagi sembayang bisa mengalah: mengalah dengan kepentingan dibersihkannya lantai. Mengalah demi kelancaran arus orang yang berlalu-lalang.
Hanya di sinilah, di dalam masjid ini, petugas berlaku sangat tegas. Mulai petugas ketertiban hingga petugas pengepel lantai. Mereka begitu tidak peduli terhadap kepentingan pribadi. Kalau lantai itu sudah waktunya disiram cairan kimia sebelum dipel, petugas cukup berteriak: pergi! pergi! Dan bagi yang tidak pergi, dengan alasan lagi sembahyang sekalipun, tak terhindarkan: kakinya bakal disiram. Kalaupun basah itu belum membuatnya beranjak, alat pengepel yang besar akan menyingkirkan orang yang lagi sembahyang itu. Kebersihan bukan saja sebagian dari iman sebagaimana doktrin Islam, tapi juga menjaga kebersihan masjid yang tidak pernah kosong itu adalah bagian dari kepentingan umum yang harus diutamakan, mengalahkan orang sembahyang yang jelas-jelas hanya untuk kepentingan pribadi orang itu.
Demikian juga petugas ketertiban masjid itu. Tidak kalah tegasnya. Kalaupun ada yang ngotot sembahyang di dalam masjid, tapi menempati jalur jamaah yang digunakan lalu-lalang (entah jalur ke Kakbah atau ke Sofa/Marwa, atau juga ke pintu-pintunya, jangan harap bisa tenang. Di tengah Anda sedang sembahyang pun badan Anda bisa ditarik-tarik atau disorong agar hengkang.
Tidak ada yang tersinggung. Misalnya dengan alasan telah melecehkan orang yang lagi bersembahyang. Tidak ada yang marah. Misalnya dengan alasan menghina orang yang lagi beribadah. Tidak ada yang protes. Misalnya dengan alasan praktik keagamaan telah dihinakan.
Di sini, hanya di sini, terjadi peraturan ditegakkan mengalahkan peribadatan. Di sini, hanya di sini, terjadi orang tidak bisa memaksakan kepentingan pribadi dengan dibungkus alasan keagamaan sekalipun.
Saya pun tertegun: mengapa di sini orang tidak mudah tersinggung? Mengapa di sini orang tidak mudah marah?
Di sini, lagi-lagi hanya di sini, tidak ada jamaah yang tersinggung oleh sandal dan tidak marah oleh sepatu. Biarpun sandal itu dan sepatu itu ditaruh begitu saja di belakang tumit kakinya yang berarti juga tempat wajah bersujud bagi barisan jamaah di belakangnya.
Di sini tidak ada yang memperdebatkan membawa najiskah sandal itu? Tidak ada yang tersinggung mengapa sandal masuk masjid.
Ataukah citra sandal dan sepatu yang identik dengan najis memang sudah waktunya harus berubah? Dulu, di masa yang lalu, ketika di sekitar masjid masih berkeliaran ayam dan kambing, ketika masyarakat sekitar masjid masih sangat agraris, barangkali sandal dan sepatu memang sering bernajis. Tapi, kini? Ketika dari rumah langsung masuk mobil dan dari mobil masuk ke masjid, masih adakah potensi najis itu? Atau dalam kasus Makkah, sandal itu hanya mondar-mandir dari hotel ke masjid? Tidakkah sudah lebih kecil jika dibandingkan dengan potensi najis dari kencing cicak dan coro dan tikus (eh, kencing jugakah cicak?) yang berkeliaran di dalam masjid?
Di sini, di Masjid Al Haram yang sangat agung ini, bermula perubahan sikap akan sandal dan sepatu. Juga pengutamaan kepentingan umum atas kepentingan pribadi –biarpun kepentingan pribadi itu terbungkus keagamaan dan peribadatan.
Kereta Rp 15 Triliun Setahun Hanya Jalan Tiga Hari
Catatan Dahlan Iskan yang Kembali Berlebaran di Makkah (4-Habis)
Salah satu yang ingin saya lihat di Makkah –di luar ritual umrah– adalah proyek kereta listriknya. Terutama tahap 1 jurusan Makkah–Arafah yang sedang dibangun dengan rugi yang sangat besar oleh Tiongkok itu.
Karena itu, setelah salat Asar, menunggu terik matahari musim panas mereda, saya ke Mina, Mudzdalifah, dan Padang Arafah. Di luar musim haji seperti sekarang ini, tempat-tempat itu tidak berpenghuni sama sekali. Hanya hamparan padang yang bergunung-gunung batu yang cadas. Tapi, ketika musim haji, jutaan jamaah bergerak serentak melakukan perjalanan suci ke lokasi-lokasi itu. Padat, merambat, dan bahkan macet total. Sering kemacetan itu begitu parahnya membuat sebagian jamaah tiba di luar jam yang disyaratkan. Dulu, ketika naik haji, saya memilih jalan kaki pulang pergi untuk rute yang sekali jalan sekitar 25 km itu (bukan 40 km seperti dalam seri pertama tulisan ini).
Problem itulah yang akan dipecahkan pemerintah Arab Saudi dengan pembangunan jaringan kereta cepatnya. Kalau kereta tersebut berfungsi penuh pada musim haji dua bulan lagi, kendaraan yang menuju Arafah bisa berkurang setidaknya 53.000 mobil. Tinggal bus-bus besar yang minimal berisi 25 orang yang diizinkan menuju Padang Arafah. Uji coba sudah dilakukan pada musim haji tahun lalu, namun baru 30 persen dari kapasitas sesungguhnya.
Sekarang pun, saat saya menyusuri rute kereta itu, belum benar-benar selesai. Saya mampir ke stasiun Mudzdalifah yang masih belum tertata. Saya lihat hanya dua pekerja yang memasang tegel di tangga. Halamannya juga masih belum dikerjakan. Saya tentu ngobrol dengan pekerja asal Tiongkok yang tidak punya agama itu mengenai suka-duka bekerja di sebuah negara yang sangat ketat dalam menerapkan ajaran agama. Mereka heran melihat saya bisa berbahasa Mandarin.
Uji coba kereta terus dilakukan tanpa menunggu semua fasilitas selesai. Kereta warna dominan hijau muda dan kuning muda tersebut terus datang dan pergi. Itulah stasiun pertengahan antara Mina dan Arafah. Setiap rangkaian berisi 12 gerbong. Setiap gerbong bisa memuat 250 orang (70 persen berdiri) sehingga satu rangkaian bisa mengangkut 3.000 orang.
Menggunakan listrik 1.500 vdc, 3.000 ampere, dan dengan lebar rel 1,435 meter, kereta itu berkecepatan 120 km/jam sehingga direncanakan setiap jam bisa mengangkut 73.000 orang.
Inilah investasi kereta sepanjang 18 km dengan biaya Rp 15 triliun yang hanya akan digunakan intensif tiga hari saja dalam setahun. Desainnya pun harus dibuat khusus yang harus cocok untuk keperluan haji.
Misalnya, bagaimana rel kereta itu saat harus melewati tempat lempar jumrah (setiap jamaah haji harus melempar batu ke satu tembok yang menyimbolkan setan). Karena tempat melempar jumrah itu kini berupa bangunan empat lantai, sebelum memasuki lokasi tersebut, relnya memecah jadi empat. Ada kereta yang berhenti di lantai 4, ada juga yang berhenti di lantai bawahnya. Lalu, setelah melewati lokasi jumrah, relnya menyatu kembali. Demikian juga ketika kereta sampai Padang Arafah yang luas itu. Di sini, relnya memecah jadi empat, juga dengan jurusan yang berbeda-beda, menyebar ke empat penjuru Padang Arafah.
Di stasiun Mudzdalifah itu pula saya untuk kali pertama tahu diberi nama apakah kereta tersebut. Monorelkah seperti yang selama ini disebut-sebut? Ternyata tidak disebut monorel karena saya lihat relnya memang ganda. Di display layar komputer di stasiun itu, jelaslah namanya: Makkah Metro. Ditulis dalam bahasa Arab bergantian dengan bahasa Inggris. Pengumuman yang dikumandangkan di dalamnya juga dalam dua bahasa itu, tapi sedikit unik: meski rel kereta ini di ketinggian 8 meter dari tanah, istilah yang digunakan adalah istilah kereta bawah tanah London yang disebut tube itu. Misalnya, kalau di kereta bawah tanah di Singapura atau Tiongkok menggunakan kalimat ’’mind your step’’, di sini menggunakan term tube London ’’mind your gap’’.
Tentu jamaah haji dari Indonesia jangan punya mimpi naik kereta itu pada musim haji mendatang. Kereta itu khusus untuk jamaah haji Arab Saudi dan yang datang dari negara-negara Arab di jazirah Arab anggota GCC, seperti ASEAN kita. Orang Arab dari Mesir, Libya, Maroko (Maghribi), dan lain-lain tidak boleh. Ini ada juga masuk akalnya. Mengapa?
Di satu pihak, tentu Arab Saudi ingin mengistimewakan tetangga-tetangga terdekatnya seperti Yaman, Oman, Emirat, Bahrain, Qatar, dan Kuwait. Di lain pihak, jamaah haji dari tetangga itulah yang banyak datang secara perorangan dengan jalan darat menggunakan mobil kecil. Sedangkan yang dari jauh biasanya berombongan yang terorganisasi, termasuk sudah disiapkan bus-bus besarnya. Tentu akan sulit mengatur karcis perorangan untuk rombongan seperti itu. Hehee… tidak jadi iri kan?
Bahkan, kereta itu tidak berkarcis sehingga tidak ada loket penjualan karcisnya. Kalaupun Anda ngotot ingin naik, waktu Anda akan habis untuk mencari tempat di mana karcis dijual. Sedangkan jamaah dari GCC, untuk naik kereta itu, cukup hanya dengan menunjukkan KTP mereka.
Tentu, jamaah non-GCC seperti dari Indonesia tidak boleh kehabisan rasa bersyukur. Dengan adanya kereta itu, kepadatan jalan jalur ke Padang Arafah toh sangat berkurang. Berarti, perjalanan suci Anda juga bertambah lancar.
Maka, anggap saja kereta itu boneka dari China: boleh dipandang tak boleh dipegang.
Alhamdulillah Saya Pernah Sakit Keras
Alhamdulillah saya pernah sakit keras!
Yang membuat saya tidak mungkin lagi aktif memimpin Jawa Pos selama hampir dua tahun. Alhamdulillah saya pernah sakit keras! Yang mengakibatkan saya harus lebih banyak berada di luar negeri sehingga jauh dari posisi kepemimpinan di Jawa Pos.
Alhamdulillah saya pernah sakit keras!
Yang mengakibatkan saya dilarang bekerja keras dan dilarang menjadi pemimpin No 1 di Jawa Pos.
Kalau saja takdir tidak seperti itu, barangkali saya masih terus bercokol di Jawa Pos sampai hari ini, memimpin Jawa Pos dengan gaya saya, lalu ditertawakan oleh yang muda-muda. Sakit keras saya secara tidak langsung membawa implikasi percepatan proses regenerasi di Jawa Pos. Saya dipaksa untuk rela meninggalkan kekuasaan yang hampir mutlak di Jawa Pos itu. Saya juga dipaksa untuk menjalankan apa yang sudah sering saya kemukakan sendiri sebelumnya: percayalah kepada generasi muda!
Tanpa saya sakit keras, barangkali saya akan dicatat sebagai pemimpin yang punya cacat besar: selalu menganjurkan regenerasi tapi dirinya sendiri terus bercokol. Sakit keras saya membuat saya konsekuen terhadap doktrin saya yang selalu saya dengungkan: hanya anak muda yang bisa membawa kemajuan. Orang-orang Jawa Pos Group hafal dengan doktrin tersebut lantaran begitu seringnya saya kemukakan.
Sebenarnya saya sudah berlatih untuk kehilangan kekuasaan sejak lama. Saya sudah berhenti menjadi pemimpin redaksi Jawa Pos atas inisiatif saya sendiri ketika umur saya masih 36 tahun. Saya sudah minta berhenti sebagai pemimpin umum Jawa Pos ketika umur saya ’’baru’’ 38 tahun. Sayangnya, he he, sayangnya, saya meninggalkan jabatan itu karena sudah mendapat jabatan yang lebih tinggi. Misalnya, karena sudah menjadi direktur utama di hampir 100 perusahaan Jawa Pos Group.
Tapi, tidak sepenuhnya begitu. Suatu ketika, saya juga memutuskan untuk berhenti dari semua jabatan direktur utama di semua anak perusahaan Jawa Pos Group. Tujuan saya: biar yang muda-muda di berbagai daerah itu yang menjadi direktur utama di setiap perusahaan setempat. Saya melengserkan diri saya dari jabatan direktur utama untuk menjadi chairman saja di semua anak perusahaan tersebut.
Ketika salah seorang direksi bertanya mengapa tiba-tiba minta berhenti dari semua jabatan direktur utama, saya hanya menjawab dengan sangat enteng: saya ingin merasakan bagaimana kehilangan jabatan yang begitu banyak, sekaligus.
Tapi, ternyata saya belum kehilangan apa-apa. Berhenti dari jabatan Dirut, saya masih menjadi chairman. Karena itu, dua tahun kemudian, saya memutuskan untuk juga berhenti dari semua jabatan chairman di semua anak perusahaan tersebut. Dengan langkah itu, saya tidak punya jabatan apa pun di semua anak perusahaan. Saya ingin kembali merasakan bagaimana kehilangan jabatan yang begitu banyak.
Sekali lagi, ternyata saya tidak bisa kehilangan jabatan. Meski secara formal saya bukan siapa-siapa lagi di semua perusahaan itu, ternyata teman-teman di seluruh Indonesia tidak berubah sikap terhadap saya. Sampai-sampai, saya harus sering memberi tahu bahwa saya ini sudah bukan pemimpin Anda-Anda. Kata-kata saya jangan lagi dituruti dan jangan lagi dianggap perintah.
Rupanya, semua itu ada hikmahnya. Saya menjadi sudah terbiasa kehilangan jabatan. Karena itu, ketika akhirnya sakit keras dan harus meninggalkan jabatan di induknya pun, tidak ada perasaan owel (istilah Jawa, sulit merelakan, Red) sama sekali. Saya bisa menjalani pengobatan saya dengan perasaan yang longgar dan sikap yang sumeleh, tawakal kepada-Nya.
Pindahlah kepemimpinan Jawa Pos kepada yang jauh lebih muda.
Dua tahun saya sakit.
Dua tahun saya di luar negeri.
Dua tahun saya nonaktif.
Ternyata, semua baik-baik saja. Di tangan anak-anak muda, bahkan Jawa Pos terus maju dan kian maju. Justru di tangan yang muda-muda itu Jawa Pos mencapai lebih banyak prestasi, seperti menjadi koran terbaik di jagat raya ini.
Alhamdulillah saya akhirnya sembuh.
Alhamdulillah saya tidak punya keinginan ’’merebut’’ kembali jabatan itu.
Alhamdulillah saya segera punya tekad baru: ingin menjadi guru jurnalistik untuk lembaga pendidikan apa saja, sambil ikut mengurus pesantren di desa saya.
Sambil terus menyaksikan dari jauh kemajuan dan kemajuan yang diraih generasi baru di Jawa Pos.
Sungguh menyesal seandainya saya punya pikiran: tanpa saya Jawa Pos bukan apa-apa! Sungguh menyesal seandainya saya punya sikap: tanpa saya Jawa Pos tidak akan bisa apa-apa!
Memang pernah ada majalah yang menulis artikel dengan judul ’’Jawa Pos adalah Dahlan Iskan dan Dahlan Iskan adalah Jawa Pos’’. Tapi, dalam perjalanannya, judul itu telah terbukti berlebihan dan mengada-ada.
Alhamdulillah, duh Gusti, saya pernah sakit keras! (*)
Ketemu Lokasi PLTA Berkelas Emas, Kelelahan Lunas
Lima Hari CEO PLN Dahlan Iskan Menjelajah Sorong-Bintuni-Nabire-Timika-Wamena-Digul-Merauke-Jayapura.(1)
Hujan turun sepanjang malam di Wamena. Sambil makan sahur di pedalaman Papua yang dingin itu, saya mengkhawatirkan gagalnya acara penting keesokan harinya: ekspedisi menyusuri tebing Sungai Baliem. Mencari lokasi yang cocok untuk pembangunan pembangkit listrik tenaga air (PLTA) bagi penduduk pegunungan tengah Papua.
Pagi itu kami, empat direksi, pimpinan PLN setempat, dan beberapa penunjuk jalan, berangkat diiringi rintik-rintik hujan. Panitia membagikan topi Mbah Surip untuk mengurangi rasa dingin. Dua dokter membawa peralatan medis. Seorang lagi memanggul tabung oksigen.
Setelah 15 menit naik mobil melewati jembatan Sungai Walesi yang lagi ambles digerus banjir, jalan aspal itu tiba-tiba putus. Gunung besar di kanan jalan tersebut, rupanya, longsor menjadi banjir bandang yang menghancurkan apa saja, tak terkecuali jalan aspal itu. Mirip yang terjadi di Wasior, Papua Barat, yang menewaskan ratusan orang itu. Hancurnya jalan raya tersebut membuat banyak anak sekolah harus berjalan kaki sejauh 10 km setiap hari.
Kami pun mulai masuk ke tanah setapak menuruni gunung yang terjal, meloncati sungai kecil, naik lagi ke bukit, menyusuri bibir jurang yang curam, merayapi tebing yang berbatu, dan sesekali kepeleset jalan yang licin. Keringat mulai bercucuran. Jaket dan penutup telinga tidak lagi berfungsi. Gerimis sudah lama berhenti dan langit mulai membiru.
Penduduk setempat, yakni Suku Wamena yang berwajah cendekia, bertanam hortikultura di tebing-tebing seperti itu: ketela, kentang, wortel, berbagai jenis keladi, jagung, jahe, kecipir, dan sebangsanya. Keladi Wamena, apalagi yang berwarna ungu, luar biasa enaknya. Dua malam di Wamena, saya tidak henti-hentinya menikmati keladi ungu itu.
Ketergantungan pada tanaman setempat itulah, rupanya, yang mengakibatkan penduduk terkena bencana kelaparan yang menghebohkan lima tahun lalu ketika terjadi kemarau panjang di situ. Saat ini, dengan hujan yang cukup, semua tanaman kelihatan memberikan harapan. Dan, babi-babi yang berkeliaran di setiap pekarangan kelihatan gemuk-gemulai.
Banyaknya babi itu pula yang mengakibatkan perjalanan ini lebih berat lagi. Penduduk umumnya membuat pagar batu yang menutup jalan setapak tersebut untuk menghalangi babi merusak tanaman. Tapi, kami bukan babi sehingga selalu mampu melompatinya, meski kadang harus merayapinya. Atau, harus dengan cara menaiki sebatang kayu. Sesekali memerlukan pertolongan orang lain agar pantat bisa terangkat.
Bahwa ekspedisi ini tidak menyiksa, semata-mata karena kami memang sedang dalam antusiasme yang tinggi untuk menemukan lokasi PLTA itu. Apalagi, kami bisa menikmati pemandangan yang tidak mungkin ditemukan di tempat lain: alami tapi eksotis. Menengok ke kanan atas, kami melihat perbukitan yang berebut menuding langit. Menengok ke kiri bawah, kami melihat aliran sungai yang berbatu dengan suara air deras yang mistis. Sesekali kami berpapasan dengan banyak anak muda, laki-perempuan, dari Spanyol yang ternyata sangat menyukai wisata jenis ini.?
Yang membuat perjalanan ini juga asyik adalah suhu udara yang sejuk. Seperti di Eropa pada bulan Oktober. Hampir sepanjang tahun Tuhan memberikan AC secara gratis. Siang dan malam. Tidak pilih kasih: manusia, sungai-sungai, gunung-gunung, babi-babi, beserta aneka tanaman di seluruh Wamena. Karena itu, tidak ada hotel atau rumah yang pasang AC.
Ketinggian Wamena yang 1.700 meter di atas laut membuatnya sejuk sepanjang tahun. Sejuk yang nyaman karena humidity yang cukup. Tidak seperti dingin di Eropa yang amat kering yang sering membuat bibir pecah berdarah.
Lebih sedikit dari pukul 11.00, kami sudah tiba di lokasi yang diimpikan. Yakni, satu lokasi yang aliran sungainya menyempit. Kanan-kirinya gunung yang tinggi dan tebingnya terjal. Aliran airnya sangat deras pertanda di hilirnya masih sangat curam. Adanya belokan setelah tebing yang sempit itu sungguh ideal. Gambaran seperti itulah yang sangat cocok untuk sebuah hydro-power. Syarat-syarat untuk dibangunnya PLTA terpenuhi semua. Inilah lokasi yang dikategorikan berkelas emas.
Bersama penduduk setempat, tua-muda, anak-anak dan remaja, gadis-gadis dan ibunya, kami duduk di lereng bukit itu menghadap ke arah lembah aliran sungai. Kelelahan seperti terbayar lunas. Kami sangat menikmati pemandangan sambil beristirahat. Hanya Nur Pamudji, direktur energi primer PLN, yang selama istirahat satu jam itu tetap berdiri. Sebagai pendaki gunung yang andal, dia memberitahukan resep ini: jangan istirahat sampai duduk atau berbaring! Itu akan membuat perjalanan berikutnya lebih berat. Dia tahu, kami tidak boleh lengah karena masih harus kembali menyusuri jalan pulang yang sama beratnya.
Saya bukan pendaki gunung, tapi saya optimistis bisa melakukan perjalanan ini. Saya pernah jalan kaki dari Makkah ke Arafah sejauh 45 km. Yakni, waktu naik haji. Kembali ke Makkah keesokannya juga berjalan kaki. Hanya, saya sekarang sudah 20 tahun lebih tua. Dan masih berstatus pasien transplantasi hati.
Tentu, kami ingin lebih lama di lereng bukit itu. Kami seperti sedang jatuh cinta dengan tanah Wamena. Apalagi, di lokasi itu, kami bisa berkumpul dengan warga setempat dalam suasana yang santai dan akrab. Dialog pun penuh perhatian serta tawa. Mereka mengerti dengan baik bahasa Indonesia. Hanya, kalau mengajukan pertanyaan, masih merasa nyaman dengan bahasa Wamena. Dengan tulus mereka juga mengingatkan agar kami berhati-hati dalam membangun proyek raksasa ini. Gunung-gunung berbatu yang kelihatannya keras itu pada dasarnya mudah longsor.
Merasakan keakraban itu, saya menyesal seandainya tidak jadi ke pedalaman Papua hanya gara-gara berita media yang menggambarkan rusuhnya wilayah tersebut sehari sebelum saya berangkat dari Jakarta. Banyak sahabat yang mencegah saya berangkat Rabu lalu, tapi feeling saya mengatakan akan baik-baik saja.
Rasa kekeluargaan penduduk pedalaman itu juga sangat menonjol. Setiap berpapasan dengan orang yang sama-sama menggunakan jalan setapak itu, mereka selalu mengajak bersalaman. Salamannya pun sangat kuat. Pertanda ingin menjalin persaudaraan dan kepercayaan. Bahkan, beberapa kali, sambil bersalaman itu, mereka sampai merangkul pundak saya.
Tegur sapa seperti itu tidak hanya di jalan setapak, tapi juga di ladang-ladang hortikultura. Melihat kami melintas di situ, seorang petani yang menggarap tanah di lereng bawah sana mendongakkan kepala dan berteriak menyapa. Sebuah keramahan pegunungan yang mestinya bisa melahirkan berkoli-koli puisi. (c5/lk)
Dahlan Iskan
CEO PLN
Atasi Kebutuhan Mendesak, Bangun Minihidro
Lima Hari CEO PLN Dahlan Iskan Menjelajah Sorong-Bintuni-Nabire-Timika-Wamena-Digul-Merauke-Jayapura.(2)
Awan tiba-tiba datang berduyun-duyun. Jam sudah menunjukkan pukul 12.15 WIT. Berarti sudah satu jam kami bercengkerama bersama penduduk suku Wamena di lereng Sungai Baliem itu. Termasuk sempat belajar meracik rokok ala penduduk Wamena yang kertasnya terbuat dari daun tertentu yang dikeringkan dan tembakaunya terbuat dari daun yang lain lagi yang dipadatkan.
Tapi, awan kian gelap saja. Mau tidak mau kami harus segera kembali ke Wamena: kembali harus berjalan kaki 15 km melalui halang rintang, tebing, bukit, dan jalan setapak yang licin itu. Kalau keduluan hujan, bisa-bisa lereng yang terjal menjadi lebih licin lagi.
Meski otot kaki sudah terkuras saat berangkat, awan yang kian gelap memaksa kaki untuk tetap melangkah pergi. Ayunan langkah memang terasa berat, tapi pikiran terasa ringan. Sudah ditemukan lokasi ideal untuk membangun pembangkit listrik tenaga air (PLTA) skala besar untuk daerah Wamena dan lima kabupaten pegunungan sekitarnya. Proyek ini akan kami namakan PLTA Baliem-2. Kelak ada kemungkinan bisa dibangun proyek Baliem-1 di hulunya dan Baliem-3 di hilirnya.?
Proyek Baliem-2 akan memakan biaya Rp 3 triliun. Sebuah bendungan raksasa harus dibangun di situ. Demikian juga terowongan air. Dan, yang pertama harus dilakukan adalah membangun jalan di lereng-lereng gunung itu sepanjang 35 km.
Dengan gambaran lokasi seperti itu kesulitan membangun proyek Baliem-2 sudah bisa dibayangkan. Bukan saja tidak ada jalan dari Wamena ke Baliem-2, bahkan tidak ada jalan menuju Wamena itu sendiri. Semua barang harus didatangkan dari Jayapura dengan pesawat. Mulai semen, baja sampai beras dan gula.?
Karena itu, Nasri Sebayang, direktur perencanaan dan teknologi PLN, harus membuat desain Baliem-2 yang tidak umum. Untuk membangun 50 MW tahap I saja, mungkin sampai memerlukan 10 turbin. Ini pun harus dengan cara yang rumit. Sebab, pada dasarnya pesawat menuju Wamena hanya bisa mengangkut turbin berukuran 1 MW. Akan dicoba menggunakan turbin 5 MW dengan cara dipreteli. Pasti tidak mungkin menggunakan turbin lebih besar dari 5 MW seperti di Jawa.
Ide-ide untuk bisa mengangkut ribuan ton material ke Wamena terus kami pikirkan. Apalagi, pertengahan tahun depan fisik proyek Baliem-2, setidaknya jalan akses, sudah harus dimulai.
Dalam keadaan kelelahan karena perjalanan pulang ke Wamena ini, kami paksakan berbelok dulu ke arah Sungai Walesi. Yakni, untuk melihat proyek minihidro: pembangkit listrik tenaga air berukuran kecil. Kami memang berencana memenuhi kebutuhan mendesak listrik Wamena saat ini dengan minihidro. Sedangkan proyek Baliem-2 yang baru selesai 5-6 tahun mendatang adalah untuk keperluan jangka panjang.
Di Sungai Walesi, ada empat minihidro yang sudah menghasilkan listrik. Satu lagi dalam uji coba. Lalu masih ada dua lagi yang kini dikerjakan fondasinya. Dengan demikian, pertengahan tahun depan Wamena sudah mendapatkan sekitar 4 MW dari tujuh minihidro di Walesi. Ini pun belum cukup. Kota Wamena terus berkembang dengan pesat. Jumlah mobil dan motor kini sudah mencapai 10.000 buah, dua kali lipat daripada lima tahun lalu.
Kota Wamena ternyata jauh lebih besar daripada yang saya bayangkan. Dan, Wamena masih terus berkembang. Ini berarti kebutuhan listriknya terus meningkat.
Karena itu, kami segera memproses listrik swasta yang izin lokasinya sudah diberikan oleh bupati Wamena. Yakni, minihidro 6 MW yang letaknya sedikit di hilir minihidro milik PLN di Sungai Walesi. Investornya, pengusaha Papua, sanggup mengerjakannya paling lama 18 bulan. Sambil menunggu Baliem-2, kebutuhan listrik Wamena sudah akan terpenuhi 100 persen dari Sungai Walesi.
Ke depan, mesin-mesin genset akan kami matikan. Bukan hanya tidak ramah lingkungan, tapi juga sangat mahal. Bahan bakar untuk genset itu harus diangkut dengan pesawat dari Jayapura. Repotnya bukan main. Juga mahalnya. Setiap 1 kWh listrik memerlukan biaya bahan bakar saja Rp 6.000/kWh. Padahal, PLN menjual listrik kepada masyarakat hanya dengan Rp 650/kWh.
Saya membayangkan, kalau listrik Wamena sudah cukup akhir tahun depan, alangkah kian indahnya kota ini. Juga alangkah majunya. Potensi untuk maju sangat terbuka. Lembah Baliem bukanlah lembah yang sempit yang terjepit di sela-sela gunung. Lembah ini adalah lembah yang sangat luas, yang dikelilingi puncak-puncak gunung tinggi. Yang satu, puncak Gunung Ruphius, tingginya 4.070 meter. Satunya lagi, Gunung Van der Villigen, tingginya 3.500 meter. Masih ada gunung lagi, Puncak Trikora, 4.750 meter.
Begitu luasnya lembah ini sehingga potensi untuk berkembang tidak terhambat oleh lahan. Saya perkirakan lembah ini akan mampu menampung kemajuan yang membuatnya berpenduduk satu juta sekali pun. Kalau listrik cukup, hotel-hotel modern akan tumbuh dengan pesatnya. Wisatawan akan berdatangan. Kota ini tidak boleh menjadi miskin. Kemiskinan hanya akan merusak lingkungan dan keindahannya.
Wamena sebenarnya tidak bisa disebut lembah (valley). Dia lebih tepat disebut dataran tinggi (plateu), karena ketinggiannya yang 1.700 meter. Kini Wamena juga tidak bisa dikatakan sebagai kota yang sulit dijangkau. Jumlah penerbangan ke Wamena terus bertambah. Angkutan manusia praktis tidak ada masalah lagi. Yang jadi persoalan tinggal angkutan barang.
Gagasan membangun jalan darat dari arah utara (Jayapura) ke Wamena pernah terwujud pada akhir zaman Pak Harto. Termasuk sudah selesai dibangun jembatan besar di atas Sungai Membaramo yang terkenal itu. Badan jalannya pernah tersambung, tapi hancur lagi karena tidak ada biaya untuk mempertahankannya. Memelihara badan jalan sejauh 600 km (hampir sama dengan Jakarta-Surabaya) memang tidak mudah.
Kini muncul gagasan baru: Wamena ditembus dari selatan. Ada sungai besar yang muaranya di Laut Aru, tapi hulunya di Pegunungan Jayawijaya. Di hulu sungai inilah dibangun pelabuhan kecil untuk kemudian dibuat jalan darat mendaki menuju Wamena. Jaraknya kurang dari 60 km. Dengan demikian, barang-barang dari luar Papua diangkut dengan kapal, lalu dipindahkan ke tongkang menyusuri sungai selama 2?3 hari, dan diangkut mendaki dengan jalan baru menuju Wamena.
Saya sungguh tertarik dengan gagasan baru yang lebih realistik ini. (c2/lk)
Dahlan Iskan
CEO PLN
Ironi di Bintuni, Mumi Listrik di Digul
Lima Hari CEO PLN Dahlan Iskan Menjelajah Sorong-Bintuni-Nabire-Timika-Wamena-Digul-Merauke-Jayapura.(3 – Tamat)
Inilah safari Ramadan terpanjang yang saya lakukan minggu lalu: Jakarta– Sorong–Sorong Selatan–Bintuni– Nabire–Timika–Wamena–Yahukimo–Digul–Merauke–Sota–Jayapura–Makassar–Surabaya–Jakarta.
Lebih panjang dari perjalanan saya ke Papua tahun lalu: Sorong, Fakfak, Kaimana, Manokwari, Jayapura. Meski begitu, ternyata baru 14 kabupaten di Papua yang saya kunjungi. Masih 13 kabupaten lagi yang belum: Waropen, Yupe Waropen, Asmat, Yappi, Pegunungan Bintang, Biak, Serui, dan seterusnya.
Begitu luas wilayah Papua. Begitu minim fasilitas listriknya. Ada ironi pula di dalamnya. Bintuni contohnya.Ketika saya bermalam di Bintuni, listrik lagi padam di kabupaten yang kaya dengan gas, minyak, dan batubara ini. Bahkan, sudah 10 hari. Ini karena pemda tidak mampu lagi membeli minyak untuk menjalankan genset-gensetnya. PLN memang belum hadir di sini. Listriknya masih ditangani pemda. PLN belum punya apa-apa. Jaringan listriknya pun milik Lisdes. Hanya ada satu orang PLN di seluruh kabupaten itu. Tugasnya membeli listrik milik pemda, menyalurkannya lewat jaringan milik Lisdes, dan menagih rekening bulanannya.Pemda sudah kewalahan. Untuk melistriki Kota Bintuni, pemda harus membeli BBM Rp 80 miliar/tahun. Tidak banyak lagi dana yang bisa dipakai untuk membangun daerah.
Padahal, kabupaten ini berkembang pesat sejak ditemukan gas alam yang gila-gilaan besarnya. Sudah ada bandara kecil di Bintuni. Tiap hari ada pesawat Susi Air jurusan Sorong dan Manokwari. Posisi Bintuni juga berada di pertengahan antara Sorong, Fak-fak, Kaimana, Manokwari, Wasior, dan Nabire. Semua kota tadi memiliki bandara sendiri-sendiri. Jalan darat ke Manokwari pun sudah tembus dengan jarak tempuh tujuh jam. Dari Manokwari bisa terus ke Sorong meski masih menambah waktu tempuh satu hari lagi.
Yang lebih terasa ironi adalah ini: 50 km dari Kota Bintuni, masih berada di wilayah Kabupaten Bintuni, ada sebuah kota baru yang hanya boleh dihuni oleh staf dan karyawan yang luar biasa terang-benderangnya. Ada pembangkit listrik yang sangat besar di kompleks ini. Inilah kompleks industri LNG Tangguh, milik perusahaan asing BP Tangguh.
Perusahaan itulah yang menemukan gas alam dalam jumlah besar, 1.000 bbtud, di Teluk Bintuni. Agar mudah diangkut ke luar negeri, gas tersebut semuanya diproses menjadi benda cair (LNG). Tidak sedikit pun disisakan untuk keperluan masyarakat setempat. Semuanya dikirim ke Tiongkok dan California, USA.
Jalan pikiran seperti itu memang terjadi hampir di semua proyek besar serupa. Termasuk ketika PLN membangun pembangkit listrik tenaga air (PLTA) skala besar. Tidak ada konsep menyisihkan sebagian kecil produksinya untuk keperluan setempat. Akibatnya, banyak desa yang lokasinya di sebelah PLTA besar justru gelap gulita. Ini yang sedang kami koreksi.
PLTA-PLTA baru sudah diputuskan untuk memasukkan sistem kelistrikan bagi desa terdekat. PLTA Peusangan di Aceh, PLTA Asahan-3 di Sumut, PLTA Baliem-2 di Wamena, dan beberapa proyek lagi, perencanaannya sudah mengakomodasikan koreksi tersebut.
Koreksi serupa mestinya bisa dilakukan di Bintuni. Setelah salat Tarawih, saya bertemu bupati, wakil bupati, dan ketua DPRD Bintuni. Kami dijamu makan malam dengan menu utama keladi dan pisang kukus disertai lauk kepiting dan udang Teluk Bintuni. Di meja makan itulah kami bicarakan jalan keluar untuk listrik Bintuni. Tiga alternatif kami sampaikan untuk bisa segera dilaksanakan oleh PLN.
Pertama, PLN akan minta barang dua sendok gas dari proyek LNG Tangguh. Kalaupun tidak ada lagi sisa, setidaknya PLN bisa minta gas yang setiap hari dibakar di menara bakar itu (flare gas). Kalau permintaan dua sendok itu dikabulkan, PLN akan membangun pembangkit kecil berbahan bakar gas di dekat proyek LNG Tangguh. Dari sini listrik dialirkan dengan kabel bawah laut 20 kV menyeberang ke Kota Bintuni. Atau gas tersebut kami kirim ke Bintuni dengan sistem compressed natural gas (SNG). Kalau permintaan itu dikabulkan, dalam hitungan delapan bulan Bintuni sudah akan terang benderang.
Kedua, kalau permintaan gas tersebut tidak dipenuhi, PLN bisa membangun PLTU mini di Bintuni. Kebetulan di samping kaya gas, kabupaten ini juga kaya batubara. Namun, membangun PLTU kecil di Bintuni jatuhnya sangat mahal. Membangunnya juga lama: paling cepat dua tahun.
Ketiga, membangun pembangkit listrik tenaga gas batubara (PLTGB) di daerah perbatasan antara Kabupaten Bintuni dan Manokwari. Di kawasan ini terdapat cadangan batubara dengan kalori sangat tinggi. Batubara kalori tinggi sangat bagus untuk diubah menjadi gas. Gas yang berasal dari batubara ini yang dijadikan bahan bakar listrik. Karena lokasinya di perbatasan, listriknya bisa dialirkan untuk dua kabupaten sekaligus: Bintuni dan Manokwari. Tapi, pilihan ini memerlukan waktu sampai tiga tahun dan dengan nilai proyek yang terlalu besar.
Tepat ketika makan malam selesai, selesai pula perumusan kesepakatan itu. Prioritasnya, PLN dan pemda akan bersama-sama berjuang meminta dua sendok gas Tangguh ke PB Migas. Kami harus minta lewat BP Migas karena inilah badan pemerintah yang mengatur penggunaan gas alam. Waktu makan sahur bersama rombongan PLN, strategi untuk mewujudkan rencana itu kami konkretkan.
Ketika bangun pagi, saya berpikir alangkah lamanya kalau harus berjuang dengan prosedur biasa. Maka, setelah jalan pagi, saya kirimkan SMS dengan bumbu provokasi sedikit untuk pejabat tinggi di PB Migas. Saya tahu masih pukul 04.00 di Jakarta. Perlu beberapa jam untuk menunggu jawaban.
Sikap pejabat tinggi BP Migas itu ternyata sangat baik. Ketika saya mendarat di Nabire, ada SMS masuk. Isinya sangat menggembirakan. BP Migas mendukung gagasan PLN untuk mendapatkan barang dua sendok gas dari BP Tangguh. Sambil mengemudikan mobil menuju lokasi proyek pembangunan PLTU di Nabire, saya tidak henti-hentinya bersyukur. “Ini demi NKRI, Pak,” tulis SMS dari pejabat tinggi BP Migas itu. Saya bayangkan betapa senangnya masyarakat Bintuni kelak.
Di Kabupaten Digul kurang lebih sama: PLN belum terlalu hadir di daerah yang amat terkenal karena Bung Hatta dan Bung Sutan Syahrir pernah dibuang dan dipenjarakan di pedalaman Papua ini. Pembangkit kecil yang ada adalah milik pemda. PLN memang masih punya satu genset, tapi sudah lama menjadi mumi. Ukurannya Cuma 15 kW. Itu pun bikinan Belanda pada 1930. Meski begitu, saya minta genset itu dirawat dengan baik. Siapa tahu inilah genset tertua yang masih bisa ditemukan di Indonesia. Bisa dipindahkan ke museum listrik di TMII Jakarta, atau biar tetap saja di Digul. Sekalian untuk memperkaya peninggalan sejarah kejamnya Belanda, seperti yang terlihat dari penjara yang masih ada di sana.
Mengingat pengguna listrik di Boven Digul umumnya rumah tangga (yang pemakaian listriknya kecil), kami merencanakan sebuah jalan yang berbeda. Mungkin lebih baik membangun pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) yang modern di Digul. Sekalian bisa untuk memperkaya wisata di sana. Siapa tahu bisa didapat lahan yang tidak jauh dari lokasi penjara, sel, patung Bung Hatta, dan Taman Makam Pahlawan khusus bagi pejuang yang dibuang ke Digul dan meninggal di situ itu.
Hampir saja kami gagal mendarat di Digul. Menjelang pendaratan, pilot memberi tahu landasan sedang diperbaiki. Pesawat akan terus menuju Merauke. Tentu saya tidak ingin gagal ke Digul. Pilot mengerti itu. Maka sang pilot terbang sangat rendah untuk bisa melihat dengan mata kepala sendiri seberapa mungkin landasan itu bisa didarati. Pesawat pun mondar-mandir terbang rendah di dekat landasan. Setelah lima kali memutari landasan, pilot merasa safe untuk mendarat di Digul. Kami pun bertepuk tangan. (c2/lk)
Murah yang Membuat Marah
He he… ternyata ada juga yang tidak senang dengan diturunkannya biaya penyambungan listrik sekarang ini. Di Blega, Madura, sejumlah orang berdemo ke PLN setempat. Demo itu menghebohkan karena sempat memblokade jalan utama trans Madura. DPRD Bangkalan pun turun tangan dan memanggil pejabat PLN setempat. Di forum yang terhormat itu, sampai keluar kata-kata kasar dari yang terhormat untuk PLN.
Tuntutan pendemo itu kelihatannya memang sangat masuk akal mereka. Inilah aspirasi mereka: “Kalau sekarang bisa begitu murah, berarti yang dulu-dulu itu kemahalan. PLN harus mengembalikan uang selisih kemahalan yang dulu-dulu itu”. Begitu logika mereka.
Di seluruh Indonesia, orang memang kaget melihat murahnya biaya penyambungan listrik sekarang ini. Tapi, hanya di Madura itu yang menuntut pengembalian uang kemahalan pada masa lalu. Di Madura pun hanya terjadi di Blega itu.
Padahal, sebenarnya PLN tidak menurunkan biaya penyambungan. Bahkan, sedikit menaikkannya. Terutama untuk permintaan penyambungan dengan daya agak besar. Yang kami lakukan hanyalah: menerapkan tarif resmi itu apa adanya. Tidak boleh ada embel-embelnya. Apa pun istilahnya. Maka, kelihatannya lantas seperti turun drastis.
Dulu, kata mereka, untuk mendapat sambungan listrik, harus membayar Rp 2 juta, Rp 2,5 juta, bahkan sampai Rp 4 juta. Kok sekarang untuk beban yang sama hanya Rp 650 ribu. Kaget yang berlebihan kelihatannya memang tidak baik. Bisa membuat orang berdemo seperti di Blega itu.
Di samping hanya mengenakan tarif resmi, PLN kini juga tidak mau mencampur-adukkan biaya penyambungan dengan biaya-biaya lain yang mungkin dikenakan kepada calon pelanggan. Hanya biaya penyambunganlah (biasa disingkat BP) yang terkait dengan PLN. Kalau ada biaya-biaya lain, itu di luar ranah PLN dan mestinya jangan dikaitkan dengan PLN.
Dalam hal melakukan penyambungan, tugas PLN itu sebenarnya terbatas. Tidak masuk akal kalau harus minta biaya yang jutaan. Untuk penyambungan baru, tugas PLN itu hanyalah menarik kabel tegangan rendah dari jaringan PLN ke atap rumah, lalu memasang meteran dan memasang MCB. Habis. Berarti, listrik sudah tersambung dan siap digunakan.
Soal bagaimana menggunakannya, perlu berapa bola lampu, kamar mana saja, berapa buah stop kontak, itu bukan urusan PLN. Bukan tugas PLN untuk memasang kabel-kabelnya, stop kontaknya, lampunya, dan segala macam yang ada di rumah tersebut. Itu tugas pemilik rumah sendiri. Itu sudah menyangkut kebutuhan pemilik rumah yang skala keperluannya berbeda-beda.
Pemilik rumah atau kantor biasanya tidak memiliki kemampuan melakukan sendiri. Mereka umumnya minta bantuan kontraktor listrik. Itu terserah sepenuhnya kepada pemilik rumah. Mau cari kontraktor yang murah atau mahal, PLN tidak boleh campur tangan.
Entah mau dikerjakan sendiri atau minta bantuan kontraktor, yang jelas instalasi di rumah-rumah tersebut tidak boleh sembarangan. Ada aturannya. Bukan aturan dari PLN, tapi dari pemerintah. Untuk itu, ada lembaga yang mengontrol, apakah jaringan di dalam rumah tersebut sudah benar atau belum. Lembaga tersebut bernama Konsuil. Bukan PLN. Lembaga Konsuil itu dibentuk pemerintah. Tidak ada hubungan sama sekali dengan PLN.
Tapi, masyarakat umumnya memang salah duga. Semua itu dikira masih kalangan PLN. Pokoknya, semua hal yang berkaitan dengan listrik dikira menjadi tugas dan tanggung jawab PLN.
Anggapan salah masyarakat itu sebenarnya tidak salah-salah amat. Orang-orang yang ditunjuk pemerintah untuk duduk di Konsuil, misalnya, umumnya adalah pensiunan karyawan PLN. Penampilan dan gaya petugas-petugas kontraktor listrik pun tidak berbeda dari orang PLN. Apalagi alat-alatnya. Persis milik PLN.
Pada masa lalu, memang ada semangat agar semua lembaga yang terkait dengan listrik bekerja sama dengan sebaik-baiknya. PLN sendiri pernah memberikan fasilitas agar mereka itu berkantor saja di PLN! Pembayaran-pembayaran untuk mereka sekalian saja dijadikan satu dengan biaya untuk PLN. Begitu erat hubungan itu, sehingga ada istilah sudah dan harus seperti suami-istri.
Inilah yang berubah sekarang. Hubungan itu tidak boleh seperti suami-istri. Hubungan antara PLN, kontraktor listrik, dan Konsuil haruslah hubungan profesional.
Dari sinilah lantas diketahui berapa sebenarnya biaya penyambungan yang dikenakan PLN tersebut. Lalu, banyak yang terkaget-kaget. Lalu, ada yang berdemo seperti yang di Blega itu. Namun, kalau saya Minggu pagi lalu ke Blega, itu bukan hanya karena ada masalah kekagetan tersebut. Kebetulan, saya memang ingin melakukan klarifikasi banyak hal yang selama ini mengganjal di hati. Misalnya, mengapa susut listrik (kehilangan listrik) di Madura itu yang tertinggi di Indonesia.
Saya sungguh tidak enak mendengarnya. Persentase susut listrik di Madura mencapai 20 persen. Padahal, di kabupaten-kabupaten lain di Jawa hanya sekitar 7 persen. Saya sungguh ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. Saya tidak percaya hal itu merupakan wajah Madura yang sebenarnya.
Besarnya susut listrik di Madura tersebut sebagian ternyata memang karena struktural. Lima gardu induk (GI) yang ada di Madura semua berada di pantai selatan. Akibatnya, penduduk di sepanjang pantai utara harus dikirimi listrik dari jaringan 20 kv. Kalau di pantai utara dibangun satu atau dua GI, susut itu sudah akan turun sekitar 5 persen sendiri. Jaringan kabel 20 kv yang terlalu panjang memang menjadi salah satu penyebab susutnya daya listrik.
Masih ada yang lebih mendasar. Hampir 100 persen pelanggan listrik di Madura adalah rumah tangga. Pelanggan besar yang dilayani dengan tegangan menengah (TM) hanya 0,9 persen. Kalau saja ada pabrik yang cukup besar di Madura, komposisi pelanggan akan berubah dan susut listrik bisa membaik. “Kalau ada beberapa pabrik yang mampu menyerap listrik 40 MW saja, susut listrik bisa turun lagi 5 persen,” ujar Bintoro, manajer APJ Madura. “Atau, kalau satu pabrik semen saja berdiri di Madura, sudah bisa memperbaiki struktur listrik di Madura yang lemah,” tambahnya.
Maka, saya akan mengusahakan berdirinya GI di pantai utara Madura. Sekaligus untuk antisipasi siapa tahu para bupati di Madura benar-benar akan mengembangkan kawasan itu sebagai pusat pengembangan ekonomi. Apalagi, PLN sudah memutuskan untuk membangun pembangkit listrik besar di situ yang sekarang tahapnya tender proyek.
Ada agenda lain yang tidak sempat saya lihat di Madura. Yakni, melihat layang-layang Madura. Bulan-bulan ini adalah musim layangan yang paling top di Madura. Ribuan jumlahnya. Besar-besar ukurannya. Menarik desainnya. Dan di waktu malam lebih-lebih lagi menakjubkannya: layang-layang itu berlampu! Ada lampu LED di setiap mainan itu. Betapa banyaknya kerlip lampu di langit. Mengalahkan jumlah bintang yang ada.
Pada musim layang-layang seperti ini, teman-teman PLN Madura pusing kepala. Kian besar layangannya, kian berat pusingnya. Di larut malam, ketika angin sudah surut, banyak layangan yang hinggap ke jaringan listrik. Terjadilah gangguan di mana-mana.
Ada ide agar pemda mengeluarkan larangan main layang-layang. Saya tidak setuju dengan ide itu. Kepada teman-teman di Madura, saya anjurkan justru PLN harus mengadakan lomba layang-layang secara besar-besaran. Kalau perlu memperebutkan Piala Dirut PLN! Soal ancaman gangguan listrik, harus dicarikan cara yang lebih cerdas. Dalam lomba itu, bisa saja sekaligus dilombakan bagaimana mendesain layang-layang yang aman bagi listrik. Pasti akan banyak yang menyumbangkan ide itu.
Sebelum meninggalkan Blega, saya bertanya kepada manajer PLN Madura. Anaknya muda, tinggi (185), ganteng, dan bicaranya firm. Lulusan Fakultas Teknik Elektro Universitas Diponegoro itu pernah dua tahun bertugas di Madura dan kini kembali ke Madura lagi dalam posisi memimpin. Berikut ini dialog saya dengan Bintoro, manajer itu:
- Apakah Anda menyesal telah menerapkan tarif biaya penyambungan yang murah itu?
+ Tentu tidak, Pak.
- Tapi, kan menimbulkan demo?
+ Demo itu baik juga, Pak. Biar orang tahu bahwa biaya penyambungan itu sebenarnya tidak semahal itu.
- Tapi, bagaimana dengan permintaan uang kembali itu?
+ Akan saya anjurkan agar mereka minta saja kepada siapa dulu mereka membayar.
- Kalau mereka bilang membayarnya kepada orang PLN?
+ Tunjukkan saja siapa orangnya. Biar saya pecatnya! (*)
Dahlan Iskan
CEO PLN
Senggolan Nazarudin
Dua kali nama PLN disenggol sedikit dalam kaitan dengan Nazaruddin yang kini lagi buron itu. Yang pertama PLN dikaitkan dengan tender batubara yang sampai membuat Nazaruddin bertengkar dengan partner bisnisnya. Yang kedua sekarang ini dalam kaitan dengan tender proyek PLTU Kaltim/Riau. Saya senang dua hal itu disebut-sebut. Pertama saya bisa numpang ngetop sebentar.Kedua,saya memiliki momentum untuk mengkampanyekan “PLN baru”.
Soal batubara itu misalnya. Konon Nazaruddin memberi uang kepada Daniel Sinambela untuk modal ikut tender batubara di PLN. Daniel menang tender tapi tidak mengembalikan uangnya Nazaruddin. Daniel kemudian dihajar Nazaruddin. Daniel masuk tahanan. Yang terjadi adalah Daniel sebenarnya benar-benar menang tender. Bukan karena ada Nazaruddin didalamnya. Tender itu dilakukan dengan system auction, sehingga tidak ada peluang untuk diatur samasekali. Semua orang tahu system auction itu begitu transparansinya sehingga sangat kecil peluang untuk terjadi permainan. Daniel menang tender karena penawaran harganya memang sangat-sangat rendah.
Saking rendahnya, Daniel barangkali kesulitan mencari batubara yang baik dengan harga yang masih bisa memberikan keuntungan baginya. Maka batubara yang dikirim ke PLN pun batubara yang murah. Tentu tidak bisa memenuhi kualitas yang ditentukan PLN. Yang hebat, petugas PLN di lapangan berani menolak batubara ribuan ton tersebut. Akibat batubara Daniel ditolak oleh PLN, Daniel tidak mendapatkan uang dari PLN. Karena itu Daniel juga tidak bisa mengembalikan uangnya Nazaruddin. Nazaruddin pun kehilangan uang puluhan miliar rupiah gara-gara ketegasan PLN.
Seandainya petugas PLN takut kepada Nazaruddin dan menerima begitu saja batubara yang jelek itu tentu Nazaruddin bisa menyelamatkan uang nya yang puuhan miliar itu. Namun karena batubaranya ditolak maka lenyap kan uangnya yang sangat besar itu. Dalam hal ini saya bangga dengan petugas PLN di barisan paling depan tersebut. Seandainya pegawai PLN tersebut bisa disogok tentu semuanya beres. Toh batubara jelek itu sebentar lagi sudah tercampur dengan batubara ribuan ton lainnya. Tidak akan gampang ketahuan.
Tentu saja saya bangga dengan pegawai PLN di bagian penerimaan batubara itu. Saking bangganya sampai-sampai di DPR saya berseloroh : kalau saja petugas itu seorang wanita akan langsung saya ciumi dia!
Bagaimana dengan tender PLTU Kaltim/Riau yang disebut-sebut Nazaruddin sekarang ini?
Saya pun penasaran. Sungguh saya pun ingin tahu apa yang sebenarny aterjadi ?
Tender tersebut dimenangkan oleh konsorsium PT Adhikarya (Kaltim)dan konsorsium Rekayasa Industri (Riau). Sudah saya cek berulang-ulang bahwa proses tender sangat bersih dan profesional. Sampai-sampai teman terbaik saya yang telah berjasa menyelamatkan hidup saya kalah di tender ini.
Pertanyaannya : siapakah yang memberi uang kepada Nazaruddin terkait dengan proyek ini?
Apakah orang PLN ? Atau pemenang tender ?Sebaiknya ini diusut. Saya sangat berkepentingan dengan hasil pengusutan ini. Kalau orang PLN yang memberikan uang, darimana asal-usul uang itu dan dengan tujuan apa?
Namun kalau, misalnya, pemenang tender yang memberi uang ke Nazaruddin, untuk apa dia memberi uang?
Bukankah dia menang tender bukan karena bantuan Nazaruddin ?
Apakah justru dia mengira menang tender itu berkat dukungan Nazaruddin ?
Tentu saya tidak tahu. Saya justru bertanya-tanya dalam hati. Kalau benar begitu untuk apa pemenang tender itu memberi uang ke Nazaruddin ? Sedekah ? Sumbangan?
Mestinya itu bukan sogok karena dia memenangkan tender bukan karena jasa Nazaruddin. Saya penasaran atas pertanyaan-pertanyaan saya sendiri itu. Karena itu saya mencoba mencari tahu.
Hasil penelusuran saya agak mengecewakan : ternyata masih banyak peserta tender yang tidak percaya diri akan kemampuan mereka,lalu punya backing orang kuat. Mereka belum percaya bahwa PLN sudah berubah. Mereka belum percaya bahwa di PLN bisa berubah. Mereka tidak percaya bahwa backing itu sekarang tidak ada gunanya. Itulah sebabnya mengapa masih ada peserta tender yang merasa perlu memiliki backing.
Keberadaan backing itu sendiri punya dua cerita. Ada peserta tender yang memang mencari backing. Ada juga justru si backing yang mencari-cari peserta tender. Terutama, yang diincar adalah peserta yang sudah kelihatan punya peluang untuk menang. Si backing lantas menakut-nakuti si peserta tender kalau dia tidak dikawal bisa saja kalah.
Emosi peserta tender itu pun menjadi labil. Di satu pihak dia sudah berada di ambang kemenangan. Peserta yang lolos tender tinggal sedikit, katakanlah tiga. Kejiwaannya pun menjadi kemrungsung. Dalam keadaan kemrungsung seperti itu dia ditakut-takuti oleh si backing. Kalau tidak pakai backing dia akan dikalahkan. Ketika mengucapkan kata “akan dikalahkan” itu bisa saja si backing seolah-olah sudah bicara dengan pemilik proyek. Dalam situasi seperti itu peserta tender memilih jalan yang paling save : diterima saja tawaran backing itu.
Celakanya tidak mustahil si backing tidak hanya mendatangi satu peserta tapi juga peserta tender lainnya. Dengan demikian siapapun yang menang backing pulalah yang paling menang. Saya sudah bisa menemukan cara bagaimana menyelenggarakan tender yang bersih. Bahkan sudah mempraktekkannya setahun terakhir ini. Tender-tender di PLN tidak akan terpengaruh oleh backing siapapun.
Bahkan dalam tender terbesar dalam sejarah PLN bulan lalu, yakni tender proyek Rp 30 triliun di Jateng, PLN berhasil mengabaikan tekanan para backing yang tidak hanya dari dalam negeri tapi juga luar negeri. Proyek Kaltim dan Riau itu tidak ada apa-apanya dibanding proyek di Jateng itu. Tapi PLN berhasil lolos dari segala tekanan. PLN sudah tahu bagaimana menyelenggarakan tender yang bersih, tapi belum tahu bagaimana cara meyakinkan peseta tender agar menyadari bahwa backing sudah tidak ada gunanya!
Kecelakaan Kereta Cepat yang Mendebarkan
Berita terjadinya tabrakan kereta cepat di Tiongkok Sabtu malam (23/7) waktu setempat, tentu mengejutkan saya. Apalagi kecelakaan yang menewaskan 35 orang dan melukai 200 orang lebih itu terjadi hanya satu minggu setelah saya mencoba menggunakan kereta cepat yang baru di sana saat bepergian dari Beijing ke Shanghai.
Lebih mengagetkan lagi, karena penyebab kecelakaan kali ini sama dengan penyebab terhentinya kereta cepat Beijing-Shanghai. Yakni sistem listriknya disambar petir. Dalam dua minggu pertama beroperasinya kereta peluru Beijing-Shanghai, terjadi tiga kali kereta tiba-tiba berhenti karena sistem listriknya tiba-tiba tidak berfungsi. Yakni setelah sistem itu disambar petir.
Tentu ngeri membayangkan, bagaimana kereta cepat tiba-tiba berhenti, kemudian ditabrak oleh kereta cepat yang datang berikutnya dari belakang seperti yang terjadi Sabtu malam itu. Berarti, ada dua sistem yang rusak. Di samping sistem relay untuk mencegah pengaruh petir, juga sistem informasi otomatis yang mestinya bisa menghentikan kereta cepat berikutnya.
Saya terus mengikuti perkembangan kecelakaan itu lewat berbagai jalur informasi. Ternyata, yang terlibat kecelakaan ini bukan kereta peluru generasi terbaru seperti jurusan Beijing-Shanghai. Ini kereta peluru generasi pertama yang kecepatannya masih 170 km/jam. Seperti yang saya naiki minggu lalu dari kota Chengdu ke Chongqing.
Setelah generasi ini, lahir generasi kecepatan 350 km/jam. Seperti untuk jurusan Beijing-Tianjin atau Shanghai-Hangzhou. Lalu, lahir pula generasi berikutnya dengan kecepatan 300 (tepatnya 312 km/jam) seperti yang baru saja saya naiki dari Beijing ke Shanghai. Dalam waktu dekat, akan lahir generasi yang dianggap paling tepat, yakni generasi yang kecepatannya 270 km/jam. Yang terakhir itu dianggap tepat karena dari segi kecepatan sudah sangat cepat, dari segi biaya sangat effisien dan dari segi biaya operasi penggunaan listrik paling rendah.
Sekarang ini, Tiongkok sudah memiliki rute sepanjang 8.000 km untuk kereta peluru generasi pertama. Ditambah dengan yang generasi berikutnya, akhir tahun ini akan mencapai hampir 9.000 km. Akhir tahun depan mencapai 13.000 km. Dan akhir tahun 2015 sudah mencapai 16.000 km. Pertumbuhan rute kereta cepat sangat fantastis di sana.
Tentu ancaman petir ini sangat serius. Saya jadi takut untuk mencobanya lagi, terutama di bulan-bulan Juli dan Agustus seperti ini. Dua bulan ini adalah bulan datangnya hujan, badai, petir dan taifun di bagian timur Tiongkok sampai ke Hongkong dan Taiwan. Wenzhou, kota terjadinya kecelakaan kemarin, termasuk di kawasan pantai timur yang menjadi langganan cuaca ekstrem itu.
Kereta yang terlibat kecelakaan itu sebenarnya sudah hampir masuk stasiun Wenzhou. Sudah di pinggir kota. Tiba-tiba petir menyambar dan kereta berhenti mendadak. Malam yang gelap karena cuaca menjadi lebih gelap karena listrik di kereta juga mati. Beberapa menit kemudian tiba-tiba blaaaar! Kereta cepat berikutnya datang dan menabrak dengan keras. Gerbong-gerbong, baik yang ditabrak maupun yang menabrak anjlok keluar rel. Empat gerbong terjun ke jurang, salah satunya masih menggantung di bibir jembatan. Mayat-mayat segera diangkut ke rumah sakit dan yang selamat dikumpulkan di sekolahan setempat.
Daerah Wenzhou ini topografinya memang penuh pegunungan dan jurang. Saya pernah naik kereta (lama) dari Wenzhou ke Jinhua. Kereta selalu merayat di sela-sela gunung dan di bibir jurang. Tapi untuk kereta cepat ini sudah ada jalur baru. Gunung-gunung diterobos dengan terowongan dan lembah-lembah diatasi dengan rel layang. Kecelakaan itu terjadi di kawasan rel layang ini, sehingga kalau ada jembatan di situ bukanlah jembatan karena ada sungai.
Kereta yang tersambar petir tersebut adalah kereta untuk jurusan Hangzhou (ibukota propinsi Zhejiang) menuju Fuzhou (ibukota propinsi Fujian). Kota Wenzhou, lokasi kecelakaan itu ada di tengah perjalanan. Wenzhou sendiri adalah kawasan dagang yang paling menonjol di Tiongkok karena orang Wenzhou dikenal paling pandai dagang di seluruh Tiongkok. Untuk Tiongkok, Wenzhou adalah Belandanya Eropa.
Ketika zaman politik jadi panglima di Tiongkok pun orang Wenzhou tetap bisa berdagang secara diam-diam. Karena itu pedagangan dan peredaran uang bawah tanah sangat menonjol di Wenzhou.
Sepulang dari Tiongkok, kemarin saya harus ke Salatiga dekat Semarang. Lalu ke Solo. Dari Solo saya naik kereta api Argo Wilis ke Surabaya. Ini karena hari Minggu pagi kemarin saya harus ke Madura.
Naik Argo Wilis Solo-Surabaya ternyata enak juga. Naik kereta yang lebih lambat perasaan lebih tenang. Apalagi gerbong dan toiletnya juga selalu dibersihkan. Saya melihat ada kemajuan yang besar dalam pelayanan kereta api di Indonesia. Terutama sejak Dirut PT KAI-nya dipegang Jonathan, arek Suroboyo yang nekat itu.
Memang, kereta tiba terlambat 15 menit di Solo (dari Bandung). Tapi tiba di Surabaya tepat waktu. Rupanya keterlambatan itu bisa dikejar di rute Solo-Madiun. Pada rute ini (juga rute Jogja-Solo) kereta kita bisa melaju 100 km/jam. Ini baru separo kecepatan kereta cepat generasi pertama Tiongkok.
Rute selebihnya lebih rendah lagi. Banyak rute yang keretanya hanya bisa berjalan 80 km/jam. Bahkan untuk rute Malang-Blitar hanya bisa jalan 50 km/jam. Lingkungan dan konsidi rel tidak lagi memungkinkan untuk lebih cepat lagi.
Tentu saya akan terus mengikuti perkembangan infrastruktur kereta api ini. Baik di Tiongkok maupun di dalam negeri. Saya pasti ingin tahu bagaimana Tiongkok mencari jalan keluar agar kereta api cepatnya bisa anti petir secara sempurna! Saat naik kereta cepat Beijing-Shanghai saya sempat menghitung papas an dengan kereta dari arah berlawanan setiap berapa lama. Ternyata ada yang baru lima menit sudah berpapasan. Ada juga yang baru 7 menit dan 10 menit. Berarti dari belakang pun demikian. Berarti di belakang kereta saya itu banyak sekali kereta cepat yang siap menerkam dari belakang. Alangkah bahayanya kalau system informasi dan pencegahan tabrakan otomatis antar kereta itu mengalami kerusakan!
(*)
Kecepatan Kereta Cepat yang Amat Cepat
Tentu saya mencoba ini: naik kereta cepat jurusan Beijing -Shanghai yang masih kinyis-kinyis. Saya memang sudah mengaguminya sejak kereta ini direncanakan. Waktu itu, sambil berbaring di rumah sakit menunggu dilaksanakannya operasi ganti hati, saya bertekad, kalau saja diberi kesehatan dan umur panjang, saya akan mencoba kereta ini.
Inilah kereta cepat yang direncanakan dengan cepat dan dilaksanakan dengan cepat. Padahal, panjang jalur ini 1.350 km, hampir sama dengan Jakarta-Medan atau Jakarta-Makassar. Tepat 1 Juli lalu, bersamaan dengan hari kelahiran Partai Komunis Tiongkok, kereta ini sudah jadi dan sudah dioperasikan. Kalau saja saya tidak menjabat CEO PLN, tentu saya ingin mencobanya di hari pertama. Tapi, karena sekarang saya bukan lagi orang bebas, kesempatan itu baru datang di hari ke-18, saat saya ada urusan di Chengdu, Chongqing, Beijing, dan Shanghai.
Memasuki gerbong kereta ini, saya tidak begitu kaget. Ini bukan kereta tercepat yang dimiliki Tiongkok. Juga bukan kereta termewah di negeri itu. Saya sudah mencoba kereta tercepat di dunia yang dibangun Tiongkok dengan interior yang lebih mewah: maglev! Yang kecepatannya 430 km/jam. Yang menghubungkan bandara Shanghai Pudong ke kota Shanghai.
Saya juga sudah mencoba kereta yang kecepatannya 350 km/jam dan interiornya juga lebih mewah. Yakni, kereta cepat jurusan Tianjin-Beijing (jarak 200 km ditempuh dalam 29 menit) dan kereta cepat yang sama jurusan Shanghai-Hangzhou yang jaraknya sekitar 300 km.
Sebaliknya, saya juga pernah naik kereta malam tradisional di Tiongkok. Yang kecepatannya masih 120 km/jam. Yang di setiap kabinnya terdapat empat tempat tidur. Yakni, tempat tidur susun dua seperti kereta Bima jurusan Surabaya-Jakarta. Dulu jurusan Beijing-Shanghai dilayani kereta jenis ini. Jarak tempuhnya 9 jam. Harga karcisnya Rp 600.000/orang. Banyak penumpang memilih berangkat petang atau agak malam agar tiba di tujuan pagi hari dalam keadaan segar karena bisa tidur sepanjang perjalanan.
Meski kini sudah ada kereta cepat yang baru, kereta jenis lama itu tidak dihapus. Hanya tinggal dua kali sehari. Sedangkan jadwal kereta cepatnya 42 kali sehari. Dengan kecepatan 300 km/jam, jarak Beijing-Shanghai ditempuh 4,50 menit.
Harga karcis kereta ini cukup mahal: Rp 850.000/orang untuk kelas ekonomi dan Rp 1,2 juta untuk kelas eksekutif. Dengan harga segitu, tentu inilah tiket kereta yang lebih mahal daripada pesawat terbang. Tiket pesawat Beijing-Shanghai bisa diperoleh dengan harga Rp 800.000 untuk kelas ekonomi. Apalagi pada hari-hari pertama beroperasinya kereta cepat ini. Ada penerbangan yang mendiskon tiket pesawat hingga 50 persen. Sebagian karena ketakutan yang tidak berdasar, sebagian lagi memang ngeri kehilangan penumpang.
Setelah kereta cepat ini dua minggu beroperasi, barulah perusahaan penerbangan merasa sedikit lega. Yakni, setelah kereta cepat ini mengalami gangguan. Sistem listriknya down sebanyak empat kali. Bukan disebabkan pemadaman bergilir, tapi karena terjadi gangguan sistem. Penumpang kecewa karena kereta terlambat sampai dua jam. Ternyata memang ada yang kurang sempurna pada sistem listrik kereta ini. Terutama untuk mengahadapi cuaca ekstrem: badai atau petir. Banyak penumpang yang kembali memilih pesawat. Perang diskon pun tidak terjadi lagi. Tarif pesawat kembali normal.
Susunan kursi di kereta ini mirip dengan di pesawat, tapi lebih lapang. Jarak dengan kursi depannya sangat longgar. Dengan kursi seperti itu, banyak penumpang yang langsung terlelap. Apalagi tidak ada gangguan suara glek-glek, glek-glek, glek-glek dari rodanya.
Di tengah lelapnya penumpang itu, tiba-tiba banyak yang terbangun. Yakni, ketika dari balik pintu yang memisahkan satu gerbong dengan lainnya terdengar teriakan orang yang sangat keras dengan nada marah yang hebat. Ketika pintu tertutup, suara itu hilang. Tapi, setiap pintu terbuka karena ada orang yang hendak ke toilet, suara itu kembali mengagetkan seluruh penumpang. Tiga jam lamanya orang itu berteriak-teriak seperti itu di telepon genggamnya. Tanpa henti. Dari kata-katanya dengan jelas bisa diketahui bahwa dia sedang bertengkar dengan ceweknya. Entah istri, entah pacar. Dia mengutuk habis-habisan ceweknya yang keluar rumah sampai jam 02.00. Dan segudang maki-makian lainnya.
Saya sendiri tidak menghiraukan. Saya memang memutuskan untuk tidak tidur sepanjang perjalanan ini. Tapi, itu karena saya ingin tahu apa saja yang terjadi sepanjang perjalanan. Saya juga berjalan-jalan ke gerbong ekonomi, ke gerbong restoran, dan ke toiletnya yang dua macam itu: duduk dan jongkok.
Tentu saya juga ingin tahu bagaimana kalau kereta ini melewati stasiun besar. Apakah tetap dengan kecepatan 300 km/jam atau dilambatkan. Stasiun besar pertama yang harus dilewati adalah Tianjin, kota yang saya pernah lama tinggal di sana. Memang tidak semua kereta cepat singgah di Tianjin. Yang saya naiki ini, GT 98, yang berangkat jam 16.00 dari Beijing, termasuk yang tidak berhenti di Tianjin.
Ternyata untuk kereta yang tidak perlu berhenti di Tianjian tidak perlu melewati stasiunnya. Ada rel khusus yang mem-by-pass. Keretanya tidak perlu masuk kota Tianjin, melainkan melambung di luar kota.
Meski jalur kereta Beijing-Shanghai ini melewati banyak kota, yang saya naiki ini hanya berhenti di dua stasiun: Jinan (ibu kota Provinsi Shandong) dan Nanjing (ibu kota Provinsi Jiangshu).
Ke depan, banyak sekali jalur kereta cepat jarak jauh seperti ini dibangun di seluruh Tiongkok. Tiongkok tidak akan lagi mengembangkan kereta maglev yang kecepatannya 430 km/jam. Terlalu mahal. Juga tidak lagi mengembangkan kereta dengan kecepatan 350 km/jam seperti jurusan Beijing-Tianjin karena terlalu boros listrik.
Menurut hasil studi di Tiongkok, kecepatan kereta yang paling ekonomis adalah 270 km/jam. Dari segi kecepatan sudah sangat cepat. Dari segi pemakaian listrik masih maksimal. “Kalau ingin kereta dengan kecepatan 350 km/jam atau lebih, sebaiknya tidak boleh lagi dengan sistem roda yang menempel di rel,” ujar hasil studi itu. Sepanjang masih menggunakan sistem roda yang menempel di rel, sebaiknya kecepatan maksimal 270 km/jam.
Itu ada pengecualian. Kecepatan 300 km/jam masih ekonomis manakala ditemukan sistem penghemat listrik. Sebenarnya beban listrik yang sangat besar terjadi saat kereta mulai berangkat. Tarikan pertama di setiap stasiun itulah yang memakan banyak listrik. Untuk menghindari hal itu, Tiongkok sedang menyiapkan sistem baru: jangan ada kereta yang berhenti di stasiun. Cukup mengurangi kecepatannya sambil “menyaut” gerbong baru yang sudah disiapkan berikut penumpangnya di stasiun itu.
Kalau sistem itu nanti berhasil, penumpang di suatu stasiun sudah harus naik gerbong sebelum kereta tiba di situ. Gerbong tersebut letaknya di atas dan harus siap digendong kereta yang segera menyautnya di stasiun itu. Dengan demikian, keharusan berhenti di stasiun bisa dihindari dan konsumsi listrik bisa lebih kecil.
Kini juara I, juara II, dan juara III kereta tercepat di dunia ada di Tiongkok. Ini kian meneguhkan posisi negara itu sebagai calon superpower baru. Kian bulat pendapat ahli yang mengatakan bahwa Tiongkok akan berhasil melampaui Amerika Serikat tahun 2016. Tidak lama lagi. Pada tahun itu, size ekonomi Tiongkok naik USD 8 triliun, dari USD 11 triliun saat ini menjadi USD 19 triliun pada tahun 2016. Sedangkan zise ekonomi Amerika Serikat hanya naik USD 3 triliun, dari USD 15 trilun saat ini menjadi USD 18 triliun pada tahun 2016. Semoga saya masih bisa menyaksikannya! (*)
Membangun Dua Pondasi Tanpa Banyak Bunyi
Meski sudah 1,5 tahun saya jadi direktur utama tapi belum juga hafal singkatan penting di PLN yang satu ini : P2APST. Singkatannya saja tidak hafal apalagi kepanjangannya! Padahal sesekali saya harus mengucapkannya. Misalnya kalau lagi rapat direksi. Setiap kali harus mengucapkannya saya harus menengok dulu ke Pak Murtaqi Direktur Bisnis dan Manajemen Resiko. Beliaulah yang paling fasih mengucapkan singkatan itu karena memang beliau yang membidani kelahirannya merancang sistemnya dan dengan antusias mengembangkannya. Biar pun tidak hafal singkatannya saya sangat paham kegunaannya : agar pembayaran listrik bisa dilakukan secara on-line real time dan terpusat. Inilah sistem untuk mengakhiri zaman pembayaran listrik tradisional : antri di loket PLN berjam-jam setiap menjelang tanggal 20.
Tentu tujuan utamanya bukan untuk menghilangkan antrian itu. Ada yang lebih mendasar: agar uang yang masuk ke PLN bisa terkontrol rapi sejak dari pembayaran oleh pelanggan sampai ke kas perusahaan di kantor pusat. Jangan lagi ada sistem uang dibayarkan di loket ranting baru disetorkan ke cabang lalu ke wilayah lalu ke pusat. Apalagi kalau pencatatan uang itu dilakukan secara manual dan transfer ke jenjang-jenjang berikutnya masih secara tradisional.
Lebih hebat dari itu sistem apa tadi —eh P2APST– itu mampu langsung tersambung ke komputer yang memproses pekerjaan keuangan berikutnya : pembuatan laporan dan audit. Maka, dengan sistem ini proses keuangan di PLN menjadi sangat terkontrol, canggih dan modern. Sudah bisa dipertandingkan dengan perusahaan kelas dunia lainnya.
Manfaat besar lain dari sistem ini adalah : menyelamatkan teman-teman PLN di seluruh Indonesia dari resiko terperosok lubang yang dalam. Peluang untuk menyeleweng bagi ribuan kasir PLN di seluruh pelosok nusantara menjadi hilang. Peluang untuk terjadinya sebuah kolusi juga berkurang.
Banyak sekali kasus seseorang itu mula-mula sangat jujur dan terpercaya. Dia berubah menjadi penyeleweng semata-mata karena diberi peluang untuk itu. Dalam kasus seperti ini mungkin dosa perbuatan tersebut harus dipikul bersama antara yang menyeleweng dan yang memberikan peluang untuk menyeleweng.
Tapi dengan sistem yang satu itu peluang untuk terjadi penyalahgunaan keuangan kian tertutup. Dengan sendirinya. Kadang sistem memang lebih efektif mencegah kejahatan daripada khotbah –terutama untuk hal-hal yang manusiawi seperti itu. Semoga pencipta sistem anti-kejahatan juga mendapatkan pahala sama besar dengan para pengkhotbah. Maka tak salah bila banyak tokoh Islam yang menyebutkan Amerika Serikat itu lebih islami dari banyak negara berpenduduk mayoritas Islam. Ini antara lain karena banyaknya sistem di sana yang menutup peluang orang untuk berbuat jahat.
Tentu masih banyak manfaat lain dari P2APST yang terlalu panjang untuk dirinci di sini. Yang pasti P2APST harus dicatat dalam sejarah PLN. Bahwa kita di tahun 2011 ini sudah mampu mengubah sistem pengelolaan pembayaran rekening listrik yang semula sangat ruwet itu.
Sebenarnya P2APST direncanakan baru akan berhasil diterapkan di seluruh Indonesia akhir tahun 2012. Namun berkat kerja keras dan kerja cerdas teman-teman PLN di bawah komando Pak Murtaqi ini P2APST bisa diselesaikan bulan lalu. Maju 1,5 tahun! Wilayah sejauh, seterpencil dan serumit Papua pun sudah melaksanakan P2APST.
Maka sejak Juli ini, kalau ada orang di Kaimana, atau Nabire, atau Wamena yang hari ini membayar listrik, hari ini juga, jam ini juga, uangnya sudah sampai di Bu Tjutju Kurnia yang berkantor di lantai 6 PLN Pusat di Jakarta. Ketika semua direksi rapat kerja di Melak, pedalaman Kaltim, dua minggu lalu sistem ini juga sudah bisa berjalan di “ibukota” suku Dayak itu. Warga di tengah hutan itu bisa membayar listrik di agen-agen pembayaran melalui sistem komputer dan uangnya langsung masuk ke sentral keuangan. Maka sekarang ini, Bu Tjutju sudah bisa tahu persis berapa uang masuk setiap hari dari seluruh Indonesia. Tidak lagi tergantung dari laporan yang berjenjang itu.
Saya sangat bersimpati pada teman-teman PLN yang menyiapkan dan mengembangkan sistem ini. Kerjanya siang malam tapi tidak banyak orang yang tahu. Inilah mereka yang bekerja secara diam-diam tapi menghanyutkan! Inilah teman-teman PLN yang bekerja keras tapi tidak akan pernah mendapat apresiasi secara luas. Kerja ikhlas lebih menonjol di sini.
Dengan selesainya P2APST masih ada pekerjaan berikutnya yang menanti kita. Kali ini menjadi giliran teman-teman yang ada di jajaran distribusi di seluruh Indonesia: mencocokkan jumlah kWh yang tersalur dengan berapa besar uang masuk yang seharusnya. Tanpa P2APST pengecekan seperti itu akan memakan energi yang luar biasa dan belum tentu kita mampu melakukannya. Tapi, sekarang, dengan sistem itu teman-teman di jajaran distribusi bisa lebih fokus untuk melihat pelanggan mana yang pembayaran listriknya tidak sesuai dengan jumlah kWh yang tersalur dari jaringan tegangan menengah di suatu lokasi.
Satu lagi pondasi penting yang lagi dibangun di PLN : Si Ujo. Teman-teman di jajaran SDM sedang menyiapkan program uji kompetensi untuk seluruh karyawan PLN. Inilah pekerjaan berat yang untuk menyelesaikannya diperlukan kecerdasan dan ketekunan. Inilah pekerjaan besar yang jauh dari pujian banyak orang.
Sistem uji kompetensi yang dirancang ini tidak kalah canggih dengan P2APST. Penyiapannya sudah selesai. Uji coba sudah dilakukan. Tinggal pelaksanaan uji kompetensinya saja yang Insya Allah dilakukan awal September, setelah lebaran.
Melihat materi uji kompetensi itu saya bisa membayangkan betapa besar pekerjaan ini. Kalau pemrakarsanya tidak memiliki passion yang tinggi tidak mungkin bisa terwujud. Begitu komplit materinya (untuk semua sektor pekerjaan di PLN) dan begitu canggih sistemnya. Sampai-sampai di dalam hati saya terpikir: alangkah cocoknya kalau ujian nasional sekolah menggunakan system Si Ujo ciptaan teman-teman direktorat SDM PLN ini.
P2APST dan Si Ujo adalah dua pondasi penting PLN yang ikut menentukan kejayaan PLN ke depan. Kalau uji kompetensi sudah terlaksana maka enam program besar utama telah terselesaikan oleh PLN tahun ini: mengakhiri krisis listrik, menyelesaikan daftar tunggu, mengakhiri wabah gangguan trafo, menerapkan P2APST di seluruh Indonesia, uji kompetensi untuk seluruh karyawan PLN dan mengakhiri wabah gangguan feeder (penyulang).
Bagaimana dengan mencukupi kebutuhan gas? Tentu direksi tidak akan mau kalah dengan anak buah!
*) P2APST : Pengelolaan dan Pengawasan Arus Pendapatan Secara Terpusat
Mulai Daging Babi sampai Mikro LNG
Kalau Indonesia tahun lalu dipusingkan oleh lonjakan harga cabai, di Tiongkok kini sedang mengalami persoalan serupa. Bahkan dalam bentuk yang lebih berat: kenaikan drastis harga daging babi.
Kalau harga cabai saja bisa membuat raport inflasi Indonesia merah, apalagi pengaruh harga daging babi di Tiongkok. Gara-gara kenaikan harga daging babi itu, inflasi Tiongkok mengejutkan: 6,4 persen. Padahal, targetnya hanya 4 persen. Ini angka inflasi tertinggi di Tiongkok sejak 2008.
Setahun terakhir harga daging babi memang naik lebih 50 persen di Tiongkok, mencapai hampir Rp 35.000/kg. Seperti harga cabai di Indonesia tahun lalu, tingginya harga daging babi di Tiongkok juga menjadi pembicaraan yang meresahkan masyarakat hampir di seluruh negeri. Sampai-sampai pemerintah memutuskan untuk melepaskan cadangan daging babi nasional. Saat harga daging babi murah tahun lalu, pemerintah memang membuat lumbung daging babi. Tapi, jumlahnya belum sempat besar, baru 200.000 ton. Padahal, keperluan daging babi seluruh Tiongkok mencapai 40 juta ton setahun. Cadangan itu hanya cukup untuk keperluan satu hari saja!
Seperti juga cabai, mengatasi persoalan ini tidak mudah. Rangsangan untuk para peternak babi memang sudah diberikan. Tapi, untuk menunggu babi sampai bisa dijual di pasar, perlu waktu 1 tahun. Kalau persoalan cabai bisa diatasi dengan impor cabai besar-besaran (meski orang Indonesia mengeluh bahwa cabai impor kurang pedas), persoalan kurangnya daging babi di Tiongkok tidak bisa diselesaikan dengan cara yang sama. Harga daging babi di luar negeri lebih mahal. Di Surabaya, misalnya, harga daging babi mencapai Rp 60.000/kg atau hampir dua kali lipatnya. Maka, sampai Imlek tahun depan, tidak ada harapan harga daging babi turun drastis.
Ada kegelisahan lain di Tiongkok: wanitanya kian menyukai melahirkan dengan cara cesar. Persentasenya naik secara drastis dalam waktu yang singkat. Kini 51 persen wanita Tiongkok melahirkan dengan cara cesar. Ini merupakan persentase tertinggi di dunia. Amerika Serikat saja, yang metode cesarnya sudah sangat lama, baru mencapai 30 persen.
Kenyataan itu dipicu oleh banyak hal. Terutama oleh banyaknya rumah sakit yang karena tuntutan bisnis merangsang wanita untuk melakukan cesar. Juga disebabkan oleh majunya teknologi yang membuat cesar lebih menjamin keselamatan bayi yang dilahirkan. Padahal, wanita di Tiongkok hanya boleh punya satu anak sehingga harta satu-satunya itu harus lahir sempurna.
Memang kebijakan hanya boleh punya satu anak sudah mulai dilonggarkan. Penduduk minoritas boleh punya anak banyak. Penduduk pedesaan yang memerlukan tenaga kerja muda untuk pertanian boleh memiliki dua anak sepanjang anak pertamanya perempuan dan jaraknya harus tujuh tahun. Kini kebijakan itu melonggar lagi untuk wilayah tertentu: boleh punya dua anak sepanjang bapak dan ibunya adalah anak tunggal. Provinsi Guangdong, misalnya, kini minta kelongaran seperti itu karena kian sulitnya mendapatkan tenaga kerja.
Dulu, untuk provinsi yang ekonominya luar biasa ini, bisa dengan mudah mendapatkan buruh dari daerah-daerah pedalaman. Kini, dengan pembangunan besar-besaran di daerah pedalaman, merantau ke Guangdong tidak lagi menarik.
“Dulu mimpi setiap anak yang baru lulus sekolah adalah pergi ke Guangzhou atau Shenzhen,” ujar seorang manajer pabrik mesin perminyakan di Chongqing, pedalaman Tiongkok, saat saya ajak ngobrol tentang ini Jumat lalu di kantornya di Chongqing. “Sekarang mimpi seperti itu tidak ada lagi,” katanya.
Kota Chongqing sendiri (dulu dikenal dengan sebutan Chunking) memang sudah berkembang menyerupai Shenzhen. Hutan pencakar langitnya, bandaranya, stasiun keretanya, monorelnya, jaringan jalan tolnya, hampir sudah tidak bisa dibedakan dengan kota besar lain di Tiongkok.
Kali ini saya ke Chongqing untuk melihat teknologi mengubah gas menjadi benda cair (LNG) dan teknologi memadatkan gas (CNG). Dengan teknologi ini, gas bisa disimpan untuk dipakai di saat masyarakat menggunakan listrik terbanyak pada pukul 17.00-22.00. Ini sekaligus bisa dimanfaatkan untuk menghindari penggunaan bahan bakar minyak (BBM) yang sangat-sangat mahal itu.
Dulu teknologi LNG dan CNG memang seperti kemewahan yang sulit dijangkau. Bayangan kita, membangun LNG itu harus seperti Bontang atau Tangguh atau Arun. Padahal, kini teknologi itu sudah lebih terjangkau. Bukan saja sudah ada mini LNG, bahkan sudah ke tingkat mikro LNG. Sedangkan kita, jangankan mini LNG. CNG pun, kita belum menggunakannya. Akibatnya, kita terus terbelit untuk menggunakan BBM yang mahal. Padahal, seperti di Tiongkok ini, mikro CNG sudah digunakan sejak 20 tahun lalu. Waktu itu saya sudah meninjaunya di banyak daerah di Tiongkok seperti di Qingdao.
Ketika di Chongqing sekarang ini, saya melihat perkembangan mikro LNG dan CNG yang tidak terbendung lagi. Di kota Chongqing saja kini sudah ada 80 buah stasiun bensin yang menggunakan CNG. Kian banyak mobil yang tidak menggunakan BBM lagi. Bahkan, kini sedang dibangun stasiun mikro LNG yang kapasitasnya hanya 30 m3.
Ketika saya meninjaunya, proyek ini sedang diselesaikan. Tangkinya sudah terpasang, instalasi pengubah gas cair menjadi gas biasa (regasifikasi) juga sudah ada di tempatnya. Dari sini, LNG dialirkan ke stasiun pengisian gas yang ada di sebelahnya sehingga taksi atau bus kota bisa mendapatkan gas dari LNG itu. Saya bayangkan bagaimana kalau pembangkit listrik di daerah-daerah kecil menggunakan teknologi itu. Hanya dengan empat buah mikro LNG seperti itu, pembangkit listrik sebesar 5 MW bisa berjalan selama sebulan. Atau cukup dengan satu mikro LNG yang kapasitas tangkinya empat kali lipat dari itu. Kini sudah tersedia tangki dengan ukuran 30 m3, 40 m3, 60 m3, dan 150 m3.
Semangat saya lebih berkibar lagi manakala pergi ke Kota Chengdu, ibu kota Provinsi Sechuan. Meski tujuan saya sama, yakni untuk melihat pabrik lain yang bergerak di bidang mini-mikro CNG dan LNG, tapi di situ saya mendapat penjelasan mengenai teknologi baru yang setengah tidak bisa dipercaya. Mereka menemukan teknologi mengubah udara menjadi benda cair dengan menggunakan kekuatan listrik.
Setelah udara menjadi benda cair, pada jam-jam beban puncak (17.00-22.00) cairan tersebut diubah lagi menjadi udara. Proses perubahan ini bisa untuk memutar turbin dengan efisiensi 60 persen. Memang ini sedikit lebih rendah daripada persentase teknologi hydro pumped storage seperti yang akan dibangun PLN di Jawa Barat, namun banyak sekali kelebihannya. Kalau pumped storage memerlukan masa pembangunan sampai lima tahun, ini hanya 1 tahun. Kalau pumped storage tergantung lokasi dan jarang ada lokasi seperti itu, ini bisa dilakukan di mana saja.
Teknologi ini sekarang lagi dipasang di London, Inggris, dengan kapasitas 20 MW. “Akhir Agustus ini sudah bisa dilihat hasilnya,” ujar pemilik teknologi di Kota Chengdu tersebut saat rapat bersama tim PLN di kantornya.
Dengan gambaran seperti itu, perang melawan bahan bakar minyak (BBM) rasanya benar-benar siap dimulai di PLN. Musuh nomor 5 PLN ini harus sudah tumbang tahun depan. Seperti yang sudah saya kemukakan, musuh nomor 1 PLN (krisis listrik) sudah teratasi. Demikian juga musuh nomor 2 (daftar tunggu) dan musuh nomor 3 (wabah kerusakan trafo). Tahun ini musuh nomor 4 (wabah gangguan jaringan) akan selesai. Tahun depan musuh nomor 5 itu, yang mengakibatkan PLN boros triliunan rupiah, semoga menyusul tumbang.
Begitu banyak senjata yang bisa disiapkan untuk memerangi BBM itu. Keterlaluan juga kalau BBM begitu saktinya
PLTS Bunaken Model untuk 100 Pulau Lain
Genset Dibongkar Disedekahkan ke Masjid
Inilah perjalanan yang happy ending. Meski awalnya menghadapi persoalan berat di Gorontalo, tapi bisa diakhiri dengan melihat proyek pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) di pulau Bunaken yang menyenangkan.
Kini memang lagi dicoba dua model pengembangan PLTS. Dua-duanya sudah beroperasi selama lima bulan. Sudah bisa dievaluasi baik-tidaknya. Model pertama berupa lampu Sehen yang dicoba di pedalaman Sumba Barat Daya. Model kedua dicoba di lima pulau termasuk pulau Bunaken di Sulut ini.
Model Sehen dirancang untuk desa-desa pedalaman yang rumahnya terpencar” seperti di NTT atau Papua. Model Bunaken didesain untuk pulau-pulau kecil yang terpencil yang jumlahnya ribuan itu.
Kesimpulannya: dua model ini sangat oke. Tidak ditemukan kelemahan mendasar. Masyarakat di dua wilayah tersebut juga menyenanginya. Maka model Sehen akan segera dimasalkan di NTT. Sedang model Bunaken segera dipakai di 100 pulau tahun ini juga. Kelak, 1000 pulau akan menyusul.
Perjalanan ke Bunaken Rabu lalu itu saya mulai dari Gorontalo. Meski baru mendarat pukul 21.00 kami langsung ke kabupaten Bone Bolango meninjau proyek PLTU di pantai teluk Tomini itu. Pertemuan dengan karyawan PLN Gorontalo baru dilakukan keesokan harinya pukul 05.00 sekalian dengan olahraga jalan pagi. Menjelang matahari terbit itu, dengan cara duduk lesehan di halaman, kami membicarakan keluhkan masyarakat setempat: seringnya listrik padam.
Mati lampu seperti itu seharusnya tidak sering terjadi lagi. Penyebab utamanya, yakni krisis listrik, sudah teratasi tahun lalu. Kerusakan-kerusakan trafo juga sudah sangat minim. Tapi mengapa masih sering mati lampu di Gorontalo” Yang kalau dijumlah di seluruh propinsi, masih tercatat 223 kali mati lampu di bulan Juni 2011?
Tidak sulit mencari tahu penyebab mati lampu itu. Penyebabnya tinggal satu: gangguan feeder (penyulang). Yakni terganggunya jaringan listrik. Karena tinggal inilah persoalan yang dihadapi maka semua karyawan sepakat bisa mengatasinya” dalam tiga bulan (Juli-Agustus-September). Bahkan pimpinan wilayah PLN Sulut-Sulteng menetapkan harus selesai sebelum datangnya bulan puasa yang tinggal kurang sebulan lagi. Bulan puasa termasuk bulan yang memerlukan pelayanan listrik secara khusus di Gorontalo.?
Meski penyebabnya satu, rintangannya cukup banyak. Misalnya ada jaringan yang panjangnya 160 km yang melewati hutan lindung. Ranting-ranting pohon yang menimpa jaringan listrik di situ tidak boleh dipotong. Ada UU yang mengatakan barang siapa memotong pohon di hutan lindung masuk penjara.
Begitu matahari terbit kami meninggalkan Gorontalo. Tidak sempat makan pagi tapi ada nasi kuning dan jagung rebus di dalam mobil. Inilah perjalanan panjang, berliku dan melelahkan. Tentu kami mampir-mampir di proyek dan di kantor ranting. Di ranting PLN Kwandang misalnya, saya lihat ada genset di belakang kantor. Saya minta genset itu dibongkar dan disedekahkan ke masjid terdekat. Kantor pelayanan PLN tidak boleh punya genset. Itu sama saja artinya tidak mempercayai pelayanan listriknya sendiri. Biarlah kantor PLN ikut mati lampu agar bisa merasakan penderitaan orang yang listriknya mati.
Di ranting Bolaang Mongondow Utara seorang ibu melaporkan prestasinya. Selama enam tahun menjadi manajer keuangan di situ tunggakan pembayaran listriknya nol! Hebat! “Tapi pangkat saya tidak naik-naik pak,” katanya. Saya pun mencatat namanya di dalam hati.
Di Baroko ada proyek penting yang hampir selesai. Gardu Induk di Baroko melakukan energise. Ini berarti transmisi dari Bitung sampai Gorontalo yang panjangnya 400 kms itu sudah bisa nyambung. Gorontalo yang 10 tahun lalu memisahkan dari dari Sulut pun kini tersambung lagi, di sektor listriknya.
Setelah delapan jam perjalanan, kami tiba di Motong, dekat Kotamubago. Kami mampir ke pembangkit listrik tenaga minihydro yang lokasinya di tengah pepohonan kelapa. Bulan lalu PLTM ini tenggelam oleh banjir. Untungnya pimpinan PLN Kotamubago sangat trampil. Dalam waktu seminggu PLTM ini berfungsi kembali. Peristiwa ini sangat menyedihkan teman-teman PLN Kotamubago karena seperti ikut menenggelamkan prestasi mereka selama ini. Yakni prestasi terbaik dalam menangani gangguan trafo maupun penyulang.
Di Motong kami memperoleh kenikmatan luar biasa –kenikmatan yang malamnya membawa sengsara. Ibu-ibu PLN di situ menyajikan makanan yang enaknya luar biasa: lembaran daun papaya yang digulung bersama daun singkong dengan bumbu-bumbu tertentu di dalamnya. Dimakan dengan udang goreng dan ikan rica-rica pedas, nikmatnya ampun-ampun.
Apalagi laparnya sudah berlebihan karena sudah lewat pukul 14.00. Saya pun makan bertambah-tambah. Bahkan saya tidak malu untuk minta dibungkuskan, untuk makan malam di perjalanan!
Kami pun meneruskan perjalanan ke Kotamubago dengan perut sangat kenyang. Inilah satu-satunya kota di seluruh Indonesia Timur yang belum saya kunjungi. Saya memang pernah ke sini, tapi 30 tahun lalu ketika menyiapkan koran pertama di Sulut. Kini Kotamubago majunya bukan main. Pantas disediakan listrik berapa pun selalu kurang!
Pukul 16.00 kami masih di Kotamubago. Makan siang di Motong tadi terlalu lama. Kami pun memperkirakan tengah malam baru akan tiba di Manado. Ini karena masih ada satu proyek lagi di Amurang yang menanti. Benar. Pukul 23.00 kami baru tiba di Manado. Perjalanan ini ternyata bukan 16 jam, tapi 18 jam!?
Tentu, saya memimpikan tidur yang lelap. Keesokan harinya harus bangun pagi-pagi untuk melihat PLTS Bunaken. Tapi baru satu jam memejamkan mata, perut saya berontak! Beberapa kali ke toilet tetap saja rasa mulas tidak berhenti. Hampir tiap jam saya harus ke belakang. Saya periksa isi toilet itu agar bisa tahu apakah ada yang berbahaya. Isinya ternyata daun singkong semua!
Menjelang pukul 05.00 saya mempertimbangkan untuk membatalkan perjalanan ke Bunaken. Apalagi saya sempat sempoyongan. Tapi teman-teman sudah menunggu di loby. Saya sendiri memang harus ke sana. Inilah PLTS yang akan jadi model untuk pembangunan proyek serupa di 100 pulau tahun ini dan kelak di 1000 pulau. Kalau proyek ini ternyata tidak baik biarlah bisa segera dibatalkan kelanjutannya.
Tiba di dermaga Bunaken saya jalan sangat cepat menuju lokasi proyek. Teman-teman mengira saya begitu bersemangatnya. Padahal saya punya maksud tersendiri: ingin cepat-cepat ke toilet. Untuk keenam kalinya.?
Perut saya memang masih menyimpan persoalan tapi PLTS di Bunaken ini” berfungsi dengan baik. Layak untuk contoh 100 pulau lainnya. Saya pun banyak bicara dengan anak muda yang menjadi penganggungjawab PLTS itu. Juga memeriksa data selama lima bulan. Termasuk melihat kotoran apa saja yang suka singgah ke panel surya dan bagaimana cara membesihkannya. Bahkan saya minta dilakukan pembersihan saat itu agar bisa tahu tingkat kesulitannya. Ternyata tidak sulit. Saya sendiri mencoba naik tangga untuk mempraktekkan cara pembersihan panel surya.
Selama lima bulan itu hanya sekali terjadi gangguan, tapi sangat kecil. Yakni ketika mcb (Mini Circuit Breaker) tidak bisa off. Tapi begitu alatnya diganti langsung teratasi. Gangguan terbanyak justru dari luar: dari penyulang yang terganggu pohon.
Kelelahan dua hari, ditambah hilangnya cairan yang terlalu banyak, ditambah sudah selesainya misi perjalanan ini, membuat keadaan asli badan saya muncul: lemas. Saya bergegas dibawa ke kapal, dijemput dokter dan diistirahatkan di hotel.
Memang masih ada satu acara, tapi masih beberapa jam lagi: saya harus menemui Gubernur Sulut Bapak Sinyo Sarundayang. Ini untuk membicarakan penyelamatan danau Tondano yang terancam pendangkalan sangat cepat. Ini danau legendaris kebanggaan masyarakat Sulut yang harus diselamatkan. Juga karena Danau Tondano menjadi sumber air bagi PLTA Tonsea yang menghasilkan listrik 50 MW untuk wilayah itu. Gubernur bertekad memulihkan danau itu. PLN menyediakan kapal keruknya.?(*)
0 comments to "Ternyata masih ada orang Indonesia yang diberi Jabatan " MENANGIS " (Curahan hati Dahlan iskandar)"