Home , , , , , , � Ternyata masih ada orang Indonesia yang diberi Jabatan " MENANGIS " (Curahan hati Dahlan iskandar)

Ternyata masih ada orang Indonesia yang diberi Jabatan " MENANGIS " (Curahan hati Dahlan iskandar)

DAHLAN ISKAN (pengusaha, pecinta seni)

Apa yang menarik sehingga seorang Dahlan Iskan perlu mendapat penghargaan khusus? Bahwasanya kesenian memang tak akan bisa berkembang dengan baik kalau hanya menggantungkan peran seniman. Harus ada pihak lain yang memiliki perhatian besar dan dana yang memadai sehingga kesenian dapat berkembang sebagaimana mustinya. Harus diakui, bahwa kesenian dapat berkembang ketika ada peran maecenas. Pada peran yang disebutkan seperti itulah maka kiprah bos Grup Jawa Pos ini patut mendapat penghargaan.

Dahlan sendiri menjalani kariernya sebagai wartawan. Lahir di Takeran, Magetan, 17 Agustus 1951, membangun karier jurnalistik sejak menjadi koresponden majalah Tempo dari Samarinda, kemudian dipindahkan ke Surabaya. Di kota inilah yang menjadi awal kebangkitan kariernya, ketika menjabat Kepala Biro Tempo Jatim. Dan ketika harian Jawa Pos pindah kepemilikan ke manajemen Tempo tahun 1982, maka Dahlan Iskan yang ditugasi sebagai nakoda. Sejarah kemudian mencatat, JP menjadi koran raksasa, melahirkan puluhan anak perusahaan, bukan hanya berupa koran namun juga sekian banyak jenis perusahaan lainnya.

Sementara dunia kesenian sebetulnya sudah diakrabinya ketika mahasiswa dengan aktif dalam grup band. Dalam perkembangannya, meski sibuk dengan dunia jurnalistik dan mengembangkan perusahaan Jawa Pos, perhatiannya terhadap kesenian tidak juga pudar. Dia sadar betul, bahwa menggabungkan kesenian dan jurnalistik bukan sesuatu yang gampang. Artinya, sebagai bahan berita, urusan kesenian kurang banyak menarik pembaca (dan juga iklan). Karena itu Dahlan lebih suka membantu kesenian dengan cara lain, yang lebih langsung berupa subsidi dana dan fasilitas.

Maka dalam perjalanan JP di Surabaya, tercatat ada kelompok-kelompok kesenian yang pernah didatangkan dan didanai sepenuhnya oleh JP, seperti Teater Gandrik (beberapa kali), Teater Koma, juga subsidi dana untuk kegiatan Parade Seni WR Supratman dan sejumlah kegiatan kesenian lainnya. Pernah ketika Anang Hanani meminta sumbangan buat pertunjukannya, Dahlan langsung membeli semua tiketnya, sehingga Anang lantas menggratiskan pertunjukannya. Bahkan, dalam pemberian penghargaan pada seniman-budayawan tahun 2001, Dahlan Iskan atas nama Jawa Pos memberikan tambahan hadiah berupa cincin emas untuk sepuluh seniman, masing-masing seberat 25 gram.

Belakangan, ketika kesenian Cina mulai mendapat angin segar di negeri ini, Dahlan memberikan perhatian dan bantuan yang memungkinkan barongsai tumbuh kembali dan berkembang. Dia malah menjadi ketua persatuan seni barongsai Surabaya. Sementara gedung Graha Pena yang menjadi milik Grup JP, juga berulangkali menjadi sarana menggelar pameran lukisan, termasuk pameran level nasional sekalipun. Di gedung ini pula dapat disaksikan koleksi lukisan dari pelukis-pelukis ternama yang menghiasi dinding-dinding di sejumlah lantai Graha Pena. Dahlan, dan manajemen Jawa Pos, nampaknya tulus membantu kesenian. Mungkin orang banyak berharap dengan Jawa Pos sebagai media massa, namun Dahlan lebih suka menyediakan Rp 500 juta pertahun untuk membantu kegiatan kesenian. Pilihan ini lebih kongkrit dan realistis.

(sumber: Buku Penghargaan Seniman Jatim, 2002/http://brangwetan.wordpress.com/2007/10/04/dahlan-iskan-pengusaha-pecinta-seni/)

Biografi Dahlan Iskan



Dahlan Iskan (lahir tanggal 17 Agustus 1951 di Magetan, Jawa Timur), dalam bukunya Ganti Hati ada cerita menarik tentang tanggal kelahiranya, Dahlan Iskan menuturkan bahwa tanggal tersebut dikarang sendiri oleh pak Dahlan karena pada waktu itu tidak ada catatan kapan dilahirkan dan orang tuanya juga tidak ingat tanggal kelahirannya. Dan kenapa pak Dahlan memilih tanggal 17 Agustus, karena bertepatan dengan tanggal kemerdekaan Indonesia dan supaya mudah diingat.

Dahlan kecil dibesarkan dilingkungan pedesaan dangan serba kekurangan, akan tetapi sangat kental akan suasana religiusnya. Ada cerita menarik yang saya baca pada buku beliau Ganti Hati yang menggambarkan betapa serba kekurangannya beliau ketika waktu kecil. Disitu diceritakan Dahlan kecil hanya memiliki satu celana pendek dan satu baju, tapi masih memiliki satu sarung!. Dan dengan joke-joke pak Dahlan yang segar beliau menceritakan kehebatan dari sarung yang dimiliki. Disini beliau menceritakan bahwa sarung bisa jadi apa saja. Mulai jadi alat ibadah, mencari rezeki, alat hiburan, fashion, kesehatan sampai menjadi alat untuk menakut-nakuti.

Kalau Dahlan kecil lagi mencuci baju, sarung bisa dikemulkan pada badan atasnya. Kalau lagi mencuci celana, sarung bisa dijadikan bawahan. Kalau lagi cari sisa-sisa panen kedelai sawah orang kaya, sarung itu bisa dijadikan karung. Kalau perut lagi lapar dan dirumah tidak ada makanan, sarung bisa diikatkan erat-erat dipinggang jadilah dia pengganjal perut yang andal. Kalau mau sholat jadilah dia benda yang penting unutk menghadap Tuhan. Kalau lagi kedinginan, jadilah dia selimut. Kalau sarung itu sobek masih bisa dijahit. Kalau ditempat jahitan itu robek lagi, masih bisa ditambal. Kalau tambalanya pun robek, sarung itu belum tentu akan pensiun. Masih bisa dirobek-robek lagi, bagian yang besar bisa digunakan sebagai sarung bantal dan bagian yang kecil bisa dijadikan popok bayi. Ada pelajaran yang bisa kita petik dari cerita beliau, bahwa apapun kondisi kita, baik kurang, cukup atau lebih kita harus tetap bersyukur, sabar dan harus menikmati semuanya dengan apa adanya.



Dahlan Iskan Bersama Jawa POS

Jawa Pos didirikan oleh The Chung Shen pada 1 Juli 1949 dengan nama Djawa Post. Saat itu The Chung Shen hanyalah seorang pegawai bagian iklan sebuah bioskop di Surabaya. Karena setiap hari dia harus memasang iklan bioskop di surat kabar, lama-lama ia tertarik untuk membuat surat kabar sendiri. Setelah sukses dengan Jawa Pos-nya, The Chung Shen mendirikan pula koran berbahasa Mandarin dan Belanda. Bisnis The Chung Shen di bidang surat kabar tidak selamanya mulus. Pada akhir tahun 1970-an, omzet Jawa Pos mengalami kemerosotan yang tajam. Tahun 1982, oplahnya hanya tinggal 6.800 eksemplar saja. Koran-korannya yang lain sudah lebih dulu pensiun. Ketika usianya menginjak 80 tahun, The Chung Shen akhirnya memutuskan untuk menjual Jawa Pos. Dia merasa tidak mampu lagi mengurus perusahaannya, sementara tiga orang anaknya lebih memilih tinggal di London, Inggris.
Pada tahun 1982, Eric FH Samola, waktu itu adalah Direktur Utama PT Grafiti Pers (penerbit majalah Tempo) mengambil alih Jawa Pos. Dengan manajemen baru, Eric mengangkat Dahlan Iskan, yang sebelumnya adalah Kepala Biro Tempo di Surabaya untuk memimpin Jawa Pos. Eric Samola kemudian meninggal dunia pada tahun 2000.

Karir Dahlan Iskan dimulai sebagai calon reporter sebuah surat kabar kecil di Samarinda (Kalimantan Timur) pada tahun 1975. Tahun 1976, ia menjadi wartawan majalah Tempo. Sejak tahun 1982, Dahlan Iskan memimpin surat kabar Jawa Pos hingga sekarang. Dahlan Iskan adalah sosok yang menjadikan Jawa Pos yang waktu itu hampir mati dengan oplah 6.000 ekslempar, dalam waktu 5 tahun menjadi surat kabar dengan oplah 300.000 eksemplar. Lima tahun kemudian terbentuk Jawa Pos News Network (JPNN), salah satu jaringan surat kabar terbesar di Indonesia, dimana memiliki lebih dari 80 surat kabar, tabloid, dan majalah, serta 40 jaringan percetakan di Indonesia. Pada tahun 1997 ia berhasil mendirikan Graha Pena, salah satu gedung pencakar langit di Surabaya, dan kemudian gedung serupa di Jakarta. Pada tahun 2002, ia mendirikan stasiun televisi lokal JTV di Surabaya, yang kemudian diikuti Batam TV di Batam dan Riau TV di Pekanbaru.

Sejak akhir 2009, Dahlan diangkat menjadi direktur utama PLN menggantikan Fahmi Mochtar yang dikritik karena selama kepemimpinannya banyak terjadi mati lampu di daerah Jakarta. [3][1] Selain sebagai pemimpin Grup Jawa Pos, Dahlan juga merupakan presiden direktur dari dua perusahaan pembangkit listrik swasta: PT Cahaya Fajar Kaltim di Kalimantan Timur dan PT Prima Electric Power di Surabaya.[1]

Ref :
http://id.wikipedia.org/wiki/Dahlan_Iskan
http://korananakindonesia.wordpress.com/2010/01/14/tokoh-indonesia-si-raja-media-dahlan-iskan/
http://hurek.blogspot.com/2008/01/dahlan-iskan-sang-maestro-bertutur.html
Buku Ganti Hati

Dahlan Iskan, Anak Miskin yang Jadi Menteri
Dahlan Iskan dipercaya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjadi Menteri BUMN. Dahlan yang juga wartawan senior ini sebelumnya sudah dipercaya SBY menjadi Direktur Utama PT Perusahaan Listrik Negara (PLN).
SBY pun menyanjung Dahlan sukses membawa perbaikan di tubuh perusahaan setrum tersebut. Dan penuh keyakinan, pemilik grup Jawa Pos ini diminta menjadi pucuk BUMN.
Siapa Dahlan Iskan? Pria yang logat bicarannya renyah itu lahir di Magetan, Jawa Timur 17 Agustus 1951. Ada cerita unik mengenai tanggal kelahirannya tersebut, ternyata orang tuanya tidak ingat tanggal berapa Dahlan dilahirkan. Akhirnya Dahlan memilih tanggal 17 Agustus supaya mudah diingat, karena bertepatan dengan peringatan kemerdekaan Republik Indonesia
Dahlan Iskan kecil dibesarkan dilingkungan pedesaan dangan kondisi serba kekurangan. Meski demikian, desanya kental dengan nuansa religiusnya.
Pada buku yang ditulis Dahlan Iskan setelah sukses menjalani cangkok hati di China, ia ceriterakan kesusahan Dahlan Iskan sewaktu kecil. Ketika itu ia hanya memiliki satu celana pendek dan satu baju dan satu sarung.
Dahlan memulai karirnya sebagai wartawan di Samarinda, Kalimantan Timur pada tahun 1975 dengan menjadi reporter. Setahun kemudian ia bergabung dengan Majalah Tempo. Tak puas menjadi wartawan saja, tahun 1982 ia memimpin surat kabar Jawa Pos.

Berikut profile Dahlan Iskan:
Nama : Dahlan Iskan
Tempat, Tanggal Lahir: Magetan, 17 Agustus 1951
Pendidikan : Lulusan SMA
Karier: : 1. 1975 Reporter surat kabar di Samarinda (Kalimantan Timur) 2. 1976 wartawan majalah Tempo 3. 1982 memimpin surat kabar Jawa Pos hingga sekarang 4. 2009 sebagai Komisaris PT. Fangbian Iskan Corporindo (FIC) 5. 2009 Direktur Utama PLN
Berikut kekayaan Dahlan Iskan :
Terhitung sejak 30 Maret 2010, LHKPN KPK mencatat harta pemilik grup media Jawa Pos itu mencapai lebih dari Rp 48,8 miliar. Harta itu terdiri dari harta tidak bergerak senilai Rp 8,6 miliar berupa tanah dan bangunan, harta bergerak senilai Rp 2,5 miliar, surat berharga Rp 120 miliar, giro dan setara kas lainnya senilai Rp 19,9 miliar. Jumlah tersebut dikurangi utang Dahlan sebesar Rp 102,3 miliar. (Sumber: Kompas.com)


Dari Sini Sumbernya: http://anaxmuda.blogspot.com/2011/10/dahlan-iskan-anak-miskin-yang-jadi.html#ixzz1bwVtaG5d

Artikel Curahan Hati Dahlan Iskandar :

Inikah Kisah Kasih Tak Sampai?

Malam itu saya sudah berada di ruang tunggu Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta. Siap berangkat ke Amsterdam, Belanda. Tas sudah masuk bagasi. Saya cek lagi paspor untuk melihat dokumen imigrasi. Semua beres. Saya pun siap-siap, sebentar lagi boarding. Istri saya sudah berada di Eropa tiga hari lebih dulu. Mendampingi anak sulung saya yang menjabat Dirut Jawa Pos, yang menerima penghargaan dari persatuan koran sedunia. Jawa Pos terpilih sebagai koran terbaik dunia tahun ini.

Saya pun kirim BBM kepada direksi PLN untuk memberi tahu saat boarding sudah dekat. “Kapan pulangnya, Pak Dis?” tanya seorang direktur. “Tanggal 21 Oktober. Setelah kabinet baru diumumkan,” jawab saya. “Ooh, ini kepergian untuk ngelesi ya,” guraunya.

Saya memang tidak kepengin jadi menteri. Saya sudah telanjur jatuh cinta dengan PLN. Instansi yang dulu saya benci mati-matian ini telah membuat saya sangat bergairah dan serasa muda kembali. Bukan karena tergiur fasilitas dan gaji besar, tapi saya merasa telah menemukan model transformasi korporasi yang sangat besar yang biasanya sulit berubah. Saya juga tidak habis pikir mengapa PLN bisa berubah menjadi begitu dinamis. Beberapa faktor terlintas di pikiran saya.

Pertama, mayoritas orang PLN adalah orang yang berotak encer. Problem-problem sulit cepat mereka pecahkan. Sejak dari konsep, roadmap, sampai aplikasi teknisnya.

Kedua, latar belakang pendidikan orang PLN umumnya teknologi sehingga sudah terbiasa berpikir logis.

Ketiga, gelombang internal yang menghendaki PLN menjadi perusahaan yang baik/maju ternyata sangat-sangat besar.

Keempat, intervensi dari luar yang biasanya merusak sangat minimal.

Kelima, iklim yang diciptakan Men BUMN Bapak Mustafa Abubakar sangat kondusif yang memungkinkan lahirnya inisiatif-inisiatif besar dari korporasi.

Lima faktor itu yang membuat saya hidup bahagia di PLN. Dengan modal lima hal itu pula, komitmen apa pun untuk menyelesaikan persoalan rakyat di bidang kelistrikan bisa cepat terwujud. Itulah sebabnya saya berani membayangkan, akhir 2012 adalah saat yang sangat mengesankan bagi PLN.

Pada hari itu nanti, energy mix sudah sangat baik. Berarti penghematan bisa mencapai angka triliunan rupiah. Jumlah mati lampu sudah mencapai standar internasional untuk negara sekelas Indonesia. Penggunaan meter prabayar sudah menjadi yang terbesar di dunia. Rasio elektrifikasi sudah di atas 75 persen. Provinsi-provinsi yang selama ini dihina dengan cap “ayam mati di lumbung” sudah terbebas dari ejekan itu. Sumsel, Riau, Kalsel, Kaltim, dan Kalteng yang selama ini menjadi simbol “ayam mati di lumbung energi” sudah surplus listrik.

Pada akhir 2012 itu nanti, tepat tiga tahun saya di PLN, saatnya saya mengambil keputusan untuk kepentingan diri saya sendiri: berhenti! Saya ingin kembali menjadi orang bebas. Tidak ada kebahagiaan melebihi kebahagiaan orang bebas. Apalagi, orang bebas yang sehat, punya istri, punya anak, punya cucu, dan he he punya uang! Bisa ke mana pun mau pergi dan bisa mendapatkan apa pun yang dimau. Saya tahu masa jabatan saya memang lima tahun, tapi saya sudah sepakat dengan istri untuk hanya tiga tahun.

Niat seperti itu sudah sering saya kemukakan kepada sesama direksi. Terutama di bulan-bulan pertama dulu. Tapi, mereka melarang saya menyampaikannya secara terbuka. Khawatir menganggu kestabilan internal PLN. Mengapa? “Takut sejak jauh-jauh hari sudah banyak yang memasang strategi mengincar kursi Dirut,” ujarnya.

“Bukan strategi memajukan PLN,” tambahnya. “Lebih baik selama tiga tahun itu kita menyusun perkuatan internal agar sewaktu-waktu Pak Dis meninggalkan PLN kultur internal kita sudah baik,” katanya pula.

Saya setuju untuk menyimpan “dendam tiga tahun” itu. Organisasi sebesar PLN memang tidak boleh sering guncang. Terlalu besar muatannya. Kalau kendaraannya terguncang-guncang terus, bisa mabuk penumpangnya. Kalau 50.000 orang karyawan PLN mabuk semua, muntahannya akan menenggelamkan perusahaan.

Sepeninggal saya ini pun tidak boleh ada guncangan. Saya akan mengusulkan ke menteri BUMN yang baru untuk memilih salah seorang di antara direksi yang ada sekarang, yang terbukti sangat mampu memajukan PLN. Kalau di antara direksi sendiri ada yang ternyata berebut, saya akan usulkan untuk diberhentikan sekalian. Tapi, tidak mungkin direksi yang ada sekarang punya sifat seperti itu.

Saya sudah menyelaminya selama hampir dua tahun. Saya merasakan tim direksi PLN ini benar-benar satu hati, satu rasa, dan satu tekad. Ini sudah dibuktikan, ketika PLN menerima tekanan intervensi yang luar biasa besar, direksi sangat kompak menepis.

Kekompakan seperti itu yang juga membuat saya semakin bergairah untuk bekerja keras mempercepat transformasi PLN. Saya menyadari waktu tidak banyak. Keinginan untuk bisa segera menjadi orang bebas tidak boleh menyisakan agenda yang menyulitkan masa depan PLN. Itulah sebabnya moto PLN yang lama yang berbunyi “listrik untuk kehidupan yang lebih baik” kita ganti untuk sementara dengan moto yang lebih sederhana tapi nyata: Kerja! Kerja! Kerja!

Tanggal 27 Oktober 2011 nanti, bertepatan dengan Hari Listrik Nasional, moto baru itu akan digemakan ke seluruh Indonesia. Kerja! Kerja! Kerja! Sebenarnya ada satu kalimat yang saya usulkan sebelum kata kerja! kerja! kerja! itu. Lengkapnya begini: Jauhi politik! Kerja! Kerja! Kerja!

Tapi, teman-teman PLN menyarankan kalimat awal itu dihapus saja agar tidak menimbulkan komplikasi politik. Tentu saya setuju. Saya tahu, berniat menjauhi politik pun bisa kena masalah politik!

Sudah lama saya ingin naik business class yang baru dari Garuda Indonesia. Kesempatan ke Eropa ini saya pergunakan dengan baik. Toh bayar dengan uang pribadi. Saya dengar business class-nya Garuda sekarang tidak kalah mewah dengan penerbangan terkenal lainnya. Saya ingin merasakannya. Saya ingin membandingkannya. Kebetulan saat umrah Lebaran lalu saya sempat naik business class pesawat terbaru Emirat A380 yang ada barnya itu.

Sejak awal, sejak sebelum menjabat CEO PLN, saya memang mengagumi transformasi yang dilakukan Garuda. Saya dengar di Singapura pun kini Garuda sudah mendarat di terminal tiga. Lambang presitise dan keunggulan. Tidak lagi mendarat di terminal 1 yang sering menimbulkan ejekan “ini kan pesawat Indonesia, taruh saja di terminal 1 yang paling lama itu!”

Beberapa menit lagi saya akan merasakan kali pertama business class jarak jauh Garuda yang baru. Saya seperti tidak sabar menunggu boarding. Di saat seperti itulah tiba-tiba; “Ini ada tilpon untuk Pak Dahlan,” ujar keluarga saya yang akan sama-sama ke Eropa sambil menyodorkan HP-nya.

Telepon pun saya terima. Saya tercenung. “Tidak boleh berangkat! Ini perintah Presiden!” bunyi telepon itu. “Wah, saya kena cekal,” kata saya dalam hati. Mendapat perintah untuk membatalkan terbang ke Eropa, pikiran saya langsung terbang ke mana-mana.

Ke Wamena yang listriknya harus cukup dan 100 persen harus dari tenaga air tahun depan. Ke Buol yang baru saya putuskan segera bangun PLTGB (pembangkit listrik tenaga gas batu bara) agar dalam delapan bulan sudah menghasilkan listrik. Ke PLTU Amurang yang tidak selesai-selesai.

Ke Flores yang membuat saya bersumpah untuk menyelesaikan PLTP (pembangkit listrik tenaga panas bumi) Ulumbu sebelum Natal ini. Saya tahu, teman-teman di Ulumbu bekerja amat keras agar sumpah itu tidak menimbulkan kutukan.

Pikiran saya juga terbang ke Lombok yang kelistrikannya selalu mengganggu pikiran saya. Sampai-sampai mendadak saya putuskan harus ada mini LNG di Lombok dalam waktu cepat. Ini saya simpulkan setelah kembali meninjau Lombok malam-malam minggu lalu. Saya tidak yakin, PLTU di sana bisa menyelesaikan masalah Lombok dengan tuntas.

Pikiran saya terbang ke Bali, membayangkan transmisi Bali Crossing yang akan menjadi tower tertinggi di dunia. Ke Banten Selatan dan Jabar Selatan yang tegangan listriknya begitu rendah seperti takut menyetrum Nyi Roro Kidul.

Meski masih tercenung di ruang tunggu Garuda, pikiran saya juga terbang ke Lampung yang enam bulan lagi akan surplus listrik dengan selesainya PLTU baru dan geotermal Ulubellu.

Juga teringat GM Lampung Agung Suteja yang saya beri beban berat untuk menyelesaikan nasib 10.000 petambak udang di Dipasena dalam waktu tiga bulan. Padahal, dia baru dapat beban berat menyelesaikan 80.000 warga yang harus secara masal pindah mendadak dari listrik koperasi ke listrik PLN.

Pikiran saya juga terbang ke Manna di selatan Bengkulu. Saya kepikir apakah saya masih boleh datang ke Manna tanggal 30 Desember, seperti yang saya janjikan untuk bersama-sama rakyat setempat syukuran terselesaikannya masalah listrik yang rumit di Manna. Saya terpikir Rengat, Tembilahan, Selatpanjang, Siak, dan Bagan Siapi-api yang saya programkan tahun depan harus beres.

Saya teringat Medan dan Tapanuli: alangkah hebatnya kawasan ini kalau listriknya tercukupi, tapi juga ingat alangkah beratnya persoalan di situ: proyek Pangkalan Susu yang ruwet, izin Asahan 3 yang belum keluar, PLTP Sarulla yang bertele-tele, dan Bandara Silangit yang belum juga dibesarkan.

Pikiran saya terus melayang ke Jambi yang akan menjadi percontohan penyelesaian problem terpelik sistem kelistrikan: problem peaker. Di sana lagi dibangun terminal compressed gas storage (CNG) yang kalau berhasil akan menjadi model untuk seluruh Indonesia. Saya ingin sekali melihatnya mulai beroperasi beberapa bulan lagi. Masihkah saya boleh menengok bayi Jambi itu nanti?

Juga ingat Seram di Maluku yang harus segera membangun minihidro. Lalu, bagaimana nasib program 100 pulau harus berlistrik 100 persen tenaga matahari. Ingat Halmahera, Sumba, Timika.

Tentu saya juga ingat Pacitan. PLTU di Pacitan belum menemukan jalan keluar. Yakni, bagaimana mengatasi gelombang dahsyat yang mencapai 8 meter di situ. Ini sangat menyulitkan dalam membangun breakwater untuk melindungi pelabuhan batu bara.

Dan Rabu 23 Oktober lusa saya janji ke Nias. Dan bermalam di situ. Empat bupati di Kepulauan Nias sudah bertekad mendiskusikan bersama bagaimana membangun Nias dengan terlebih dahulu mengatasi masalah listriknya.

Yang paling membuat saya gundah adalah ini: saya melihat dan merasakan betapa bergairahnya seluruh jajaran PLN saat ini untuk bekerja keras memperbaiki diri. Saya seperti ingat satu per satu wajah teman-teman PLN di seluruh Indonesia yang pernah saya datangi.

Dengan pikiran yang gundah seperti itulah, saya berdiri. Mengurus pembatalan terbang ke Eropa. Menarik kembali bagasi, membatalkan boarding, mengusahakan stempel imigrasi, dan meninggalkan bandara.

Hati saya malam itu sangat galau. Saya sudah telanjur jatuh cinta setengah mati kepada orang yang dulu saya benci: PLN. Tapi, belum lagi saya bisa merayakan bulan madunya, saya harus meninggalkannya. Inikah yang disebut kasih tak sampai? (*/http://dahlaniskan.wordpress.com/2011/10/20/inikah-kisah-kasih-tak-sampai/)

Agar Ayam Tak Tercekik di Lumbung Padi

Cap “listrik mati di lumbung energi” sudah lama melekat di lima provinsi ini:?Riau, Sumsel, Kalsel, Kalteng, dan Kaltim. Lebih 15 tahun krisis listrik melanda mereka. Padahal, batu bara dari lima provinsi itulah yang membuat kota-kota besar dunia, seperti Singapura dan Hongkong, terang benderang.

Yang seperti itu tentu tidak boleh berlanjut lebih lama lagi. Akhir tahun ini Sumsel sudah bisa men-delete cap negatif itu. Bulan lalu unit 1 PLTU batu bara di dekat Prabumulih sudah menghasilkan listrik 115 mw. Bulan depan unit 2-nya menyusul beroperasi.?

Belum lagi yang bertenaga gas. Dalam tiga bulan ke depan Sumsel akan dapat tambahan 200 mw dari gas setempat. Dalam tahun ini secara total Sumsel dapat tambahan hampir 500 mw. Maka, mulai Januari nanti, cap “listrik mati di lumbung energi” mesti sudah berubah menjadi “si lumbung energi mulai berbagi rezeki”. Maksudnya, Sumsel akan membagi kelebihan listriknya ke Riau dan Bengkulu melalui transmisi Pagar Alam-Kiliranjau-Payakumbuh-Pekanbaru.

Bersamaan dengan itu, pembangunan gardu induk baru di Baturaja juga sudah selesai. Keluhan masyarakat di wilayah Komering hilir dan hulu akan teratasi. Maka, untuk Sumsel, praktis tinggal wilayah sekitar Sungai Lilin yang masih menderita. Memang sudah ada rencana pembangunan gardu induk yang sangat besar di situ, tapi memerlukan waktu dua tahun. Sambil menunggu proyek itu selesai, tiga kecamatan di sekitar Sungai Lilin akan diperkuat dulu dengan pembangkit diesel.

Gubernur Sumsel Alex Noerdin memang sangat agresif dalam membantu PLN mencari jalan keluar untuk mengakhiri krisis listrik di wilayahnya. Beda dengan gubernur Sumut, yang untuk mengeluarkan izin PLTA Asahan-3 saja sulitnya bukan main. Sampai sekarang pun, izin untuk membangun pembangkit besar yang ramah lingkungan itu belum keluar. Padahal, sudah lebih satu tahun izin itu diminta. Padahal, Sumut sangat memerlukan listrik.

Bagaimana dengan Riau? Itulah lumbung energi yang sangat fakir energi. Provinsi tersebut termasuk yang rasio elektrifikasinya kurang dari 50 persen. Untung, Riau punya gubernur seperti Rusli Zainal, yang terus mengobrak-ngobrak PLN sambil memberikan pemikiran jalan keluar.

Listrik untuk Pekanbaru kini memang sudah cukup. Tapi, mencukupinya dengan cara yang sangat mahal. Sedangkan kabupaten-kabupaten kaya, seperti Palalawan, Indragiri Hulu (Rengat), Indragiri Hilir (Tembilahan), Kepulauan Meranti (Selatpanjang), Siak (Siak Indrapura), dan Rokan Hilir (Bagan Siapi-api), baru sekarang ini mendapat gambaran yang lebih jelas.

Setelah keliling Bagan Siapi-api, Rabu lalu saya kembali ke Riau. Keliling ke kabupaten-kabupaten itu. Kali ini harus melakukan perjalanan 18 jam. Tujuh jam di antaranya melalui sungai dan selat. Dari perjalanan tersebut saya baru tahu bahwa ada perkebunan kelapa hibrida yang sangat besar di pantai timur Riau. Di situ pula terlihat dua pabrik kelapa yang sangat besar. Itulah pabrik yang menghasilkan santan Kara, yang pasarnya meluas ke seluruh dunia.

Di kawasan itu pula banyak tumbuh “kota baru” dengan bangunan-bangunan bertingkat lima yang padat. Penduduknya bukan manusia, melainkan burung-burung walet. Kabupaten-kabupaten yang saya lihat itu, APBD-nya melebihi Rp 1 triliun, tapi listriknya sangat duafa. Di mana-mana bupatinya membangun kota baru, gedung-gedung baru, jembatan baru, dan masjid-masjid baru. Juga membangun jalan-jalan kembar baru. Lengkap dengan tiang-tiang listrik yang berjajar indah, tapi tidak pernah menyala lampunya.

Bahkan, seperti di kota baru Kerinci, banyak tiang listrik yang lampunya sudah hilang. Kabelnya juga sudah dicuri orang. Jaringan listrik yang tidak bersetrum memang menjadi sasaran empuk pencuri.Untuk mengatasi kelistrikan di Kerinci dan Rengat, kami berhasil mendapatkan “lima sendok” gas dari jaringan pipa besar yang mengalirkan gas dari Riau ke Singapura. Meski hanya lima sendok (5 bbtud), tetaplah harus disyukuri. Kami bisa membangun PLTG 25 mw di Sorek, kota kecil antara Kerinci dan Rengat.

Tiga bulan lagi pembangunan tersebut selesai. Bupati baru Rengat, Yopi Arianto yang baru berumur 24 tahun, senang bukan main. Dia menjemput saya di lokasi proyek itu dengan berbinar-binar. Janji kampanyenya dalam pilkada lalu segera terpenuhi. Dalam perjalanan ke Rengat “saya yang menjadi sopir” sang bupati menceritakan betapa fakir dan miskinnya Rengat di bidang listrik.

Cara Rengat itu akan kami teruskan untuk mengatasi Selatpanjang dan Siak. Kepada Bupati Selatpanjang Irwan Nasir yang menjemput saya di dermaga yang gelap, saya kemukakan perlunya ngemis gas barang lima sendok dari sumber gas yang besar di dekat pulau itu. Malam itu juga, sambil makan malam di pinggir selat, saya langsung hubungi pejabat tinggi BP Migas. Ternyata, program tersebut didukung penuh oleh BP Migas. Mendengar kabar itu, sang bupati, ketua DPRD, pimpinan-pimpinan fraksi yang ikut makan malam, semuanya bergembira.

Harapan mereka untuk membangun Selatpanjang tidak bertepuk sebelah tangan. Kota berpenduduk 150.000 jiwa tersebut memang sedang melakukan pembenahan besar-besaran. Jalan-jalan diperbaiki dan dilebarkan. Pelabuhan baru juga dibangun. Jembatan baru menuju Pulau Merbau yang akan dijadikan pusat pemerintahan disiapkan. Jembatan panjang ke arah daratan Sumatera juga dirintis. Tanah untuk bandara sudah diadakan. Instalasi penjernih air laut sudah dalam penyelesaian. Semua itu memerlukan listrik.

Kota itu jauh lebih besar daripada yang saya bayangkan. Sudah ada hotel yang sangat baik. Nama-nama jalan ditulis dengan huruf Latin dan Arab, menandakan budaya Melayu-nya sangat kental. Kelentengnya lebih dari 20 buah, menandakan masyarakat Tionghoa-nya sangat dominan.

Selatpanjang tidak memiliki sumber air minum untuk penduduknya. Air didatangkan dengan kapal atau menunggu saja air hujan. Pembangunan instalasi penjernihan air itu menjadi sangat vital. Dengan gas lima sendok tersebut, tahun depan kota yang hanya 1,5 jam perjalanan speedboat dari Singapura itu akan terang benderang.

Pukul 05.00 saya sudah menuju dermaga lagi untuk meneruskan perjalanan ke Kabupaten Siak. Itulah kabupaten yang pernah menjadi ibu kota Kerajaan Siak, yang peninggalan istana dan sekitarnya masih terawat dengan baik. Kota Siak sendiri sudah diperbarui dengan gegap gempita. Ekonominya sangat maju. Bulan lalu sudah dibuka hubungan feri langsung dari Siak ke Melaka di Malaysia.

Tata kota Siak yang baru itu sangat rapi. Di tengah kota dibiarkan ada hutan kota seluas 30 hektare. Jembatan besar yang megah dan indah dibangun untuk menyatukan dua sisi kota yang terbelah oleh Sungai Siak yang lebar itu. Jalan-jalan rayanya dibuat kembar. Lampu-lampu penerangan jalannya dibuat indah dan masif. Tapi, lampu-lampu tersebut tidak pernah menyala. Tidak ada listrik untuk menghidupkannya.

Kepada wakil bupati Siak yang menjemput saya di dermaga saya ceritakan bahwa PLN juga sedang mengemis gas barang lima sendok untuk kabupaten itu. Siak yang kaya gas tentu tidak pantas kalau gelap gulita.

Saya kembali menghubungi BP Migas. Sekali lagi, sebagaimana di Bintuni, Rengat, dan Selatpanjang, di Siak pun BP Migas mendukung. Dengan lima sendok gas itu Joko Abunaman, pimpinan PLN Riau, akan membangun pembangkit listrik 25 mw untuk Kota Siak dan sekitarnya. Bupati Siak pun, Syamsuar, terlihat sangat senang. “Sarapan dulu di sini,” katanya melalui telepon saat saya masih dalam perjalanan dari Selatpanjang. Kami pun singgah ke rumahnya untuk makan pagi. Kalau gas lima sendok itu benar-benar tersedia, tahun depan Siak sudah terang benderang. Diesel-diesel kecil di berbagai kecamatan bisa dimatikan.

Masih banyak yang akan dibangun di Riau. Kini sudah ditenderkan pengadaan pembangkit listrik 100 mw di Duri. Akhir tahun depan proyek tersebut selesai. Di luar itu masih ada proyek PLTU 2 x 110 mw, yang kini pemancangan tiang fondasinya sedang dikerjakan. Untuk PLTU yang sama besar, sedang disiapkan tanahnya di Dumai. Bahkan, untuk PLTU yang lebih besar lagi, 2 x 300 mw di Peranap, sudah selesai tendernya.

Ayam memang tidak boleh mati di lumbung padi. Kecuali, kita memang tega mencekiknya. (*)

Dahlan Iskan
CEO PLN

Mengatasi Punggung Sumatera yang Mahal

Menyusuri punggung pegunungan Bukit Barisan di pantai barat Sumatera pada Minggu dan Senin lalu (2 dan 3 Oktober 2011), saya terus terpikir betapa akan mahalnya menyediakan listrik untuk wilayah itu. Dari satu kota kecil ke kota kecil lain, jaraknya seperti dari Belanda ke Luxemburg. Bahkan, lebih berat daripada itu. Harus melewati hutan dan gunung. Pilihannya serbasimalakama. Dilayani dengan jaringan kecil, tegangan listriknya rendah. Dilayani dengan transmisi besar, biayanya akan bertriliun-triliun.

Membayangkan semua kesulitan itu, saya bermimpi betapa mudahnya menyiapkan listrik untuk negara seperti Singapura: Wilayahnya kecil, tidak ada hutan dan gunung, kampung-kampungnya berdekatan, bahkan jarak antarrumah seperti amplop dan prangko: Semua rumah saling menempel karena berbentuk rumah susun yang tinggi.

Sedangkan untuk melistriki punggung Sumatera yang panjang itu, otak benar-benar harus diputar. Maka, biarpun perjalanan kali ini berkelok-kelok, naik dan turun, rasanya tidak akan sempat mabuk. Pikiran terjepit di antara pilihan-pilihan yang serbasulit. Apalagi, banyak hutan lindung yang tidak bisa disentuh.

Kota-kota yang saya lalui ini (Pringsewu, Ulubelu, Kota Agung, Wonosobo, Banjarnegoro, Krui, Manna, Binahun, dan berakhir di Bengkulu) memang sudah berlistrik. Tapi, kualitasnya masih jelek. Jarak antarkota itu lebih jauh daripada Zurich di Swiss ke Paris di Prancis.

Kualitas listrik yang jelek itu pun diproduksi dengan cara yang amat mahal. Menggunakan diesel. Sudah biayanya mencapai Rp 2.500/kwh, masih sering mati-mati pula. Padahal, harga jualnya ke masyarakat hanya Rp 650/kwh.

Perjalanan tersebut harus menemukan jalan keluarnya. Sepanjang jalan, kami, saya dan beberapa pimpinan PLN setempat, terus mendiskusikannya. Kota kecil seperti Muko-Muko dan Ipoh benar-benar sulit dipecahkan. Sangat jauh. Untuk membangun transmisi ke sana, diperlukan biaya Rp 2 triliun. Padahal, penduduknya hanya sedikit.

Mahalnya itu disebabkan Muko-Muko dan Ipoh terletak di pertengahan antara gardu induk Padang dan gardu induk Bengkulu. Transmisinya harus ditarik dari Padang, yang berjarak hampir 500 km. Sama dengan menarik transmisi dari Jakarta ke Semarang. Padahal, ada gardu induk lain yang jaraknya hanya 70 km. Namun, gardu induk itu berada di balik hutan lindung yang tidak bisa dilewati transmisi. Bagaimana dengan kota-kota lain?

Untunglah, proyek geotermal (panas bumi) Ulubelu di Kabupaten Tanggamus berjalan lancar. Proyek yang kontraknya saya tanda tangani 1,5 tahun lalu dengan Sumitomo itu hampir selesai. Bulan April nanti sudah akan memproduksi listrik 110 mw. Ketika meninjau proyek tersebut, kemudian menelusuri kota-kota kecil di wilayah itu, terpikir ide baru.

Untuk Pringsewu, Kota Agung, dan Wonosobo, diambilkan saja listriknya langsung dari Ulubelu. Caranya, cukup dengan membangun jaringan 20 kv sepanjang sekitar 40 km dari Ulubelu ke Wonosobo dan Kota Agung. Mesin diesel 10 mw yang boros di Wonosobo bisa diakhiri riwayatnya. Alhamdulillah, tiga kota itu bisa menemukan masa depan yang cerah untuk kelistrikan masing-masing.

Saya membayangkan industri kopinya akan maju karena wilayah itu penghasil kopi yang sudah terkenal sejak zaman Belanda. Tambang emasnya juga bisa digarap. Saya terkesan dengan kampung-kampung di Kabupaten Tanggamus tersebut. Begitu banyak rumah panggung tua yang sangat khas masa lalu. Bangunan-bangunan permanennya pun menunjukkan masa lalu yang jaya wilayah itu. Rencana membangun proyek transmisi yang mahal dari Pringsewu ke Kota Agung pun bisa dibatalkan.

Semula, kami bermaksud bermalam di Manna. Setelah dikalkulasi, kira-kira baru pukul 01.00 kami akan tiba di kota itu. Maka, kami pun menyerah di Kota Krui. Di sebuah losmen yang tidak menyediakan handuk dan sikat gigi. Tapi, kami gembira karena bisa bermalam di Krui. Sebuah kota dengan masa lalu yang membuat bangga. Itulah kota yang dulu, di masa jaya kopi dan cengkih, menjadi pusat niaga.

Keesokan harinya, setelah olahraga jalan kaki di Pantai Krui bersama teman-teman PLN setempat, kami berangkat ke Manna. Teman-teman dari Lampung kembali ke Lampung. Diskusi mengenai kelistrikan Lampung sudah selesai. Ganti teman-teman dari PLN Bengkulu yang masuk ke mobil saya. Siap berdiskusi sepanjang jalan mengenai persoalan yang dihadapi Bengkulu.

Sudah lama kota-kota kecil di Bengkulu Selatan itu menderita. Bahkan, masyarakat Kota Binahun pernah sangat marah. Membakar kantor PLN setempat berikut pembangkit listriknya. Sambil singgah untuk menyaksikan puing-puing akibat pembakaran itu, saya mendengarkan kisah pilu petugas PLN setempat. Terutama mengenai seorang istri petugas PLN yang sedang hamil delapan bulan yang harus bersembunyi di kolong tempat tidur untuk menghindari hujan batu. Dia sendirian di rumah itu karena suaminya sedang mencari bantuan ke kantor polisi.

Enam bulan lagi kota tersebut akan mendapat listrik dengan kualitas yang cukup baik. Sebab, proyek transmisi dari Pagar Alam di Sumsel ke Kota Manna sudah hampir selesai. Memang ada dua kendala yang berat, tapi dalam diskusi di perjalanan itu ditemukan cara mengatasinya. Yusuf Miran yang memimpin pembangunan tersebut punya usul yang jitu, yang langsung saya setujui untuk dilaksanakan. Maka, akhir Desember nanti proyek itu selesai.

Mendengar kabar baik tersebut, bupati Bengkulu Selatan yang mencegat saya di pinggir jalan sebelum masuk Kota Manna langsung mengumpulkan pemuka masyarakat di pendapa kabupaten. Saya diminta menyampaikan kabar tersebut langsung kepada tokoh-tokoh setempat.

Bupati itu memang harus bekerja keras. Terpilih jadi bupatinya saja dengan susah payah. Itulah pilkada kabupaten kecil yang diikuti oleh sembilan pasang calon. Pilkadanya pun sampai tiga kali, bahkan nyaris empat kali. (*)

Hidup Bahagia Jakob Oetama

Manis Pembawaannya, tapi Keras Hatinya

Kalau hidup dimulai dari umur 40 tahun (life begins at fourty), Pak Jakob Utama, pemilik grup Kompas-Gramedia itu, baru mulai hidup lagi untuk yang kedua kalinya pada 27 September minggu lalu.

Jarang ada berita wartawan merayakan ulang tahun ke-80 seperti Pak Jakob Oetama. Yang sering adalah berita wartawan mati muda: sakit lever karena bekerja tidak teratur, terkena kanker karena tiap malam stres terkena deadline, terbunuh di medan pergolakan atau terlibat kecelakaan lalu lintas.

Rasanya kini tinggal tiga wartawan yang berusia di atas 80 tahun: Jakob Oetama dan Herawati Diah. Memang, ada tokoh seperti Harjoko Trisnadi yang juga lebih dari 80 tahun dan sangat sehat. Tapi, dia lebih dikenal sebagai pengusaha pers daripada wartawan, meski awalnya juga wartawan.

Yang lumayan banyak adalah calon wartawan berumur 80 tahun: Fikri Jufri (75, Tempo), Rahman Arge Makassar (76), Lukman Setiawan (76, Tempo), Ja”far Assegaf (78, Media Indonesia), dan beberapa lagi.

Ini berarti rekor usia wartawan terpanjang kini dipegang Ibu Herawati Diah. Beliau lahir pada 3 April 1917, yang berarti tahun ini berusia 94 tahun. Pak Rosihan Anwar sebenarnya juga hampir mencapai 90 tahun. Tapi, tak disangka-sangka dia meninggal mendadak pada usia 89 tahun, 14 April lalu.

Mungkin karena beda generasi, saya tidak akrab dengan dua tokoh pers yang dikaruniai usia yang begitu panjang. Saya mengenal Ibu Herawati Diah karena sempat berhubungan bisnis sekitar lima tahun, tapi terbatas hanya bicara perusahaan. Yakni, ketika suaminya, B.M. Diah, pemilik harian Merdeka yang juga mantan Menteri Penerangan, menyerahkan pengelolaan harian Merdeka yang lagi pingsan kepada saya pada 1994.

Setelah B.M. Diah meninggal dan saham Merdeka beralih ke putranya, kerja sama itu berakhir. Sebagian besar pengelolanya, di bawah pimpinan Margiono, kemudian mendirikan Rakyat Merdeka. Margiono, yang masih memimpin Rakyat Merdeka sampai sekarang menjadi ketua umum PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) pusat.

Lima tahun sering rapat bersama, saya bisa menarik kesimpulan mengapa Ibu Herawati Diah bisa berusia begitu panjang. Hatinya sangat baik, berpikirnya longgar, bicaranya sangat terkontrol, dan pembawaannya sangat tenang. Disiplinnya sangat tinggi, termasuk dalam hal makanan. Karena itu, Ibu Herawati terjaga langsing sampai sekarang. Ibu Herawati bisa mewakili sosok wanita intelektual yang bergaya elegan. Beliau tercatat sebagai wanita pertama Indonesia yang sekolah di luar negeri (Amerika Serikat).

Mengapa saya juga tidak akrab dengan Pak Jakob Oetama? Di samping beda generasi, kami berbeda tempat tinggal. Pak Jakob di Jakarta, sedang saya berbasis di Surabaya. Tapi, penyebab utamanya adalah karena kami berdua termasuk orang yang sangat fokus ke perusahaan masing-masing. Kami berdua sama-sama lebih mementingkan sibuk memajukan perusahaan masing-masing daripada misalnya menghadiri pesta-pesta, atau bergentayangan di kafe atau rapat-rapat organisasi. Begitu sulit kami menemukan kesempatan berinteraksi.

Beliau memang sangat lama menjadi ketua umum SPS (Serikat Penerbit Surat Kabar, kini bernama Serikat Perusahaan Pers), namun tidak pernah habis-habisan mempertaruhkan waktunya di situ. Beliau termasuk tokoh yang tidak mau menjadikan organisasi pers sebagai batu loncatan untuk berkarir di politik.

Karena itu, beliau enak saja ketika akhirnya meminta saya agar mau dipilih sebagai ketua umum SPS untuk menggantikannya. Sikap saya juga mirip itu. Saya tidak akan mau dicalonkan sepanjang beliau masih mau menjadi ketua umumnya. Bahkan, ketika suatu saat saya dicalonkan menjadi ketua PWI Jatim, saya mengajukan syarat: asal PWI jangan terlalu aktif.

Itu saya maksudkan agar tugas wartawan yang utama tidak terganggu oleh gegap gempita organisasi. Saya tidak ingin PWI-nya maju, tapi mutu koran merosot. Saya juga tidak malu kalau kantor PWI menjadi sepi. Sebab, itu berarti mereka sibuk menggali berita.

Pak Jakob adalah contoh dari sedikit orang yang bisa fokus. Sejak pikiran sampai tindakan. Godaan-godaan di luar pers tidak pernah meruntuhkan kefokusannya mengurus media. Padahal, sebagai pemimpin dan pemilik grup media nasional yang terbesar dan paling berpengaruh, pastilah begitu banyak rayuan dan iming-iming.

Beliau tidak tergoda sama sekali. Beliau terus saja konsentrasi mengurus Kompas dan grupnya. Karena itu, kalau pada akhirnya kita menyaksikan Kompas-Gramedia begitu sukses, kita tidak boleh melupakan bahwa itulah hasil nyata dari karya orang yang sangat fokus.

Generasi yang lebih muda (meski sekarang saya sudah tergolong generasi tua) memberikan dua penilaian kepada Jakob Oetama. Beliau dikecam sebagai wartawan penakut. Bukan sosok wartawan pejuang yang gagah berani menantang maut, seperti Mochtar Lubis (Indonesia Raya), atau Rosihan Anwar (Pedoman), atau Tasrif (Abadi), Aristides Katoppo (Sinar Harapan), Nono Anwar Makarim (Kami), Goenawan Mohamad (Tempo), dan beberapa lagi.

Di pihak lain dia dipuji sebagai wartawan yang santun, mengurus anak buah (termasuk kesejahteraan wartawan) dengan baik, dan sosok yang sangat menonjol tepo seliro-nya. Beliau juga tokoh yang kalau berbicara di depan umum lebih mengedepankan filsafat daripada masalah-masalah yang praktis. Misalnya, filsafat kritik. Sampai-sampai di era Orba itu muncul berjenis-jenis filsafat kritik. Ada kritik pedas macam Mochtar Lubis, kritik manis model Jakob Oetama, atau kritik jenaka model Goenawan Mohamad.

Kepribadian yang manis seperti itulah yang membuat pemerintah Orde Baru sangat percaya kepada Jakob Oetama. Sebuah kepercayaan yang ternyata juga tidak mutlak dan tulus. Pada suatu saat Kompas ikut dibredel juga, meski kemudian diizinkan terbit kembali. Tentu salah Orba juga mengapa memercayai Jakob Oetama. Padahal, di balik kehalusan dan kemanisannya itu tetaplah dia seorang wartawan yang asli. Manis hanyalah pembawaannya. Sikap batinnya tetaplah keras.

Kepercayaan yang begitu tinggi dari pemerintahan Orde Baru itu bukan tidak ada ruginya bagi Kompas. Setidaknya menurut saya. Akibat kepercayaan itu regenerasi di pucuk pimpinan Kompas menjadi terhambat. Umur 37 tahun saya sudah berhenti menjadi pemimpin redaksi Jawa Pos. Ini agar berganti kepada generasi yang lebih muda. Umur 39 tahun saya sudah berhenti menjadi pemimpin umum Jawa Pos. Pak Jakob Oetama terus menjadi pemimpin redaksi dan pemimpin umum sampai usia hampir 70 tahun.

Saya tahu itu bukan kehendak beliau sendiri. Siapa pun tahu bahwa untuk mengganti pemimpin redaksi, saat itu, harus minta izin menteri penerangan. Pemerintah merasa lebih tenang kalau Kompas dipimpin Jakob Oetama daripada misalnya tokoh muda yang mungkin lebih radikal.

Bagi saya pribadi Jakob Oetama adalah “lawan” yang harus saya hormati, tapi juga harus saya kalahkan. Saya menempatkan diri sebagai “penantangnya”. Baik dalam bidang jurnalistik maupun dalam bidang bisnis pers. Sebagai penantang saya merasakan bukan main susahnya hidup di luar dominasi Kompas. Kompas sudah menjadi koran dan koran sudah menjadi Kompas. Semua minta agar koran itu harus seperti Kompas. Bahkan, kalau ada wartawan baru keinginannya menulis ternyata juga harus seperti gaya Kompas.

Tentu saya tidak suka semua itu. Kalau hanya mengikuti Kompas, selamanya hanya akan menjadi ekornya. Tidak akan bisa menjajarinya. Karena itu, saya mengambil jalan yang sangat berbeda. Bukan dari ibu kota menguasai nusantara, tapi dari nusantara menguasai Indonesia. Di bidang jurnalistik juga harus berbeda. Jawa Pos memilih jurnalistik bertutur. Untuk wartawan baru saya langsung mencekokkan doktrin “jangan ketularan penyakit Kompas”.

Kata “penyakit” di situ terpaksa saya pakai bukan karena gaya Kompas itu jelek, tapi hanya karena harus dihindari. Agar wartawan Jawa Pos benar-benar punya gaya yang berbeda. Maafkan saya pernah menggunakan kata penyakit itu, Pak Jakob. Tentu saya tidak akan tersinggung kalau ada pihak lain menggunakan istilah yang sama: penyakit Jawa Pos.

Memang di kalangan pers sempat muncul istilah “perang total” Kompas-Jawa Pos. Tapi, itu hanya di permulaan. Pada akhirnya semua orang tahu bahwa Kompas dan Jawa Pos bergerak di medan yang berbeda. Kompas dengan majalah-majalahnya yang luar biasa, dengan toko bukunya yang the best dan biggest, dengan hotel-hotelnya yang meluas dan dengan bidang usaha yang meraksasa ternyata punya pasarnya sendiri.

Demikian juga Jawa Pos dengan koran-koran daerahnya, pabrik kertasnya, dan jaringan TV lokalnya juga punya dunianya sendiri. Keduanya masih terus membesar tanpa ada salah satu yang kalah. Inilah dinamisnya persaingan yang sehat. “Pertempuran” itu telah berakhir.

Bukan hanya karena masing-masing sudah menempati makom-nya, tapi juga karena masing-masing sudah tua. Pak Jakob sudah 80 tahun. Sudah memilih dan memiliki CEO baru yang sangat andal, Agung Adiprasetyo. Saya sudah 60 tahun dan Jawa Pos juga sudah dipimpin Azrul Ananda yang berumur 34 tahun. Pak Jakob mungkin sudah tinggal menjadi pendetanya di Kompas dan bahkan saya sudah bukan siapa-siapa lagi di Jawa Pos, kecuali hanya pemegang sahamnya.

Hasil pertempuran itu sudah final: saya tidak mampu mengalahkan Pak Jakob Oetama. Kompas Group masih jauh lebih gede daripada Jawa Pos Group meski koran Jawa Pos sudah tidak kalah besar dari koran Kompas.

Yang lebih penting: saya melihat Pak Jakob sangat berbahagia dalam hidupnya. Dia mengerjakan bidang yang sangat disenanginya. Dia berhasil menjadi kaya raya. Dia diberi rahmat sangat panjang usianya. Belum tentu saya bisa sebahagia Pak Jakob Oetama. Belum tentu saya bisa membahagiakan orang lain sebesar dan sebanyak yang dilakukan Pak Jakob Oetama. Belum tentu juga saya bisa mencapai usia 80 tahun seperti Pak Jakob Oetama.(*)

Selamat Datang GIMIN, Banyak Daerah Menantimu

Sebenarnya, hanya ada lima keinginan rakyat yang utama di bidang listrik: (1) jangan ada krisis listrik, (2) jangan ada daftar tunggu, (3) jangan sering-sering mati, (4) tegangannya jangan turun-naik, dan (5) daerah-daerah yang belum berlistrik segeralah berlistrik.

Karena itulah, kalau bulan-bulan pertama saya di PLN lebih sering mengunjungi daerah yang krisis listriknya hebat, sekarang saya lebih sering ke daerah yang tegangan listriknya tidak stabil.

Di Jawa, tinggal Banten Selatan, Cianjur Selatan, dan Sukabumi Selatan yang tegangan listriknya masih kacau. Karena itu, pekan lalu, saya menjelajahi kawasan tersebut. Dua hari kemudian, saya ke daerah-daerah pinggiran Sumatera, tepatnya ke Dumai dan Bagan Siapi-api.

Secara konvensional, mengatasi tegangan yang rendah bisa dilakukan dengan membangun gardu induk (GI). Tapi, membangun GI memerlukan waktu dua tahun. Terlalu lama. Itu pun karena bupati Lebak yang mantan pengusaha yang agresif tersebut, Mulyadi Jayabaya, mau menyediakan tanah 2 hektare untuk GI di Kota Malingping. Perlu terobosan untuk mengatasi tegangan itu dengan cepat.

Saya langsung teringat pada GIMIN. Rasanya, GIMIN-lah bisa diandalkan untuk mengatasi tegangan listrik dengan murah dan cepat. Dengan GIMIN (gardu induk minimalis), tegangan bisa normal. Membangun GIMIN tidak seruwet membangun GI: cukup ada tanah dan trafo besar. Tidak perlu membangun gedung. Peralatan elektroniknya bisa ditempatkan di sebuah kontainer. Hanya, seperti yang dipesankan Nur Pamudji, direktur energi primer PLN yang dulunya selalu mengurus GI, proteksinya harus baik.

Direktorat Perencanaan dan Teknologi PLN langsung merumuskan standar GIMIN yang memenuhi persyaratan. Baik secara teknologi maupun kriteria wilayah. Ada wilayah yang harus diselesaikan dengan GI, tapi banyak juga wilayah yang cukup dengan GIMIN.

Di Sumatera, GIMIN bisa dipakai untuk mempercepat elektrifikasi. Kelistrikan di Sumatera masih jauh tertinggal oleh Jawa. Banyak kota besar yang hanya dilayani dengan satu atau dua GI. Kota Bengkulu, misalnya, hanya punya satu GI. Kalau ada persoalan di GI tersebut, seluruh Kota Bengkulu padam total. Pekanbaru yang begitu pesat hanya dilayani dua GI. Sumatera masih memerlukan ratusan GI baru.

Di Kota Bagan Siapi-api, saya mendapati kenyataan lebih parah: kota ini tidak punya GI sama sekali. Mungkin karena dianggap hanya kota nelayan yang kecil yang amat jauh. Padahal, saya benar-benar dibuat terkejut oleh perkembangan kota tua ini. Bagan Siapi-api ternyata lagi membangun diri secara besar-besaran. Bupati Dumai H Annas Maamun, yang meski sudah berumur 74 tahun terpilih kembali, kini sedang membenahi kota lama sekaligus membangun kota baru. Kota baru itu sangat dibanggakan penduduk setempat dengan menyebutnya “Putra Jaya Junior”. Putra Jaya adalah kota baru di Kuala Lumpur yang sekarang menjadi pusat pemerintahan Malaysia. Kota baru Bagan Siapi-api dibuat seperti Putra Jaya dalam ukuran kecil.

Jalan rayanya kembar, masing-masing tiga jalur. Bangunan-bangunan kantornya dibuat cukup jauh dari jalan raya. Dan yang membuatnya berpredikat “Putra Jaya Junior” adalah arsitekturnya. Seluruh bangunan di kota baru itu menggunakan model dua kubah. Bangunan kecil berkubah kecil. Yang besar berkubah besar.

Hampir semua gedung dinas, kejaksaan, dan pengadilan sudah jadi. Demikian juga, tiga gedung museumnya sudah berwujud: museum Tionghoa, museum Melayu, dan museum ikan. Sangat mengesankan. Baru kali inilah saya melihat ada kota baru yang dibuat di Indonesia dengan karakter yang kuat. Saya sudah sering melihat kota baru seperti ini di Tiongkok atau Malaysia, tapi baru di Bagan Siapi-api ini saya menemukannya dilakukan di Indonesia.

Di Jawa, tentu sudah banyak kota baru yang berkarakter. Tapi semuanya dibangun swasta. Seperti Citraland di Surabaya, BSD di Jakarta, Karawaci di Tangerang dan seterusnya. Tapi yang di Bagan Siapi-api ini yang membangun adalah pemerintah. Pemerintah daerah. Kabupaten kecil pula.

Karena saya tiba di Bagan Siapi-api sudah pukul 19.00, maka saya langsung tahu kelemahan terbesar kota baru ini: gelap gulita!

Malam itu juga, setelah sembahyang Isya yang agak telat di masjid baru yang cantik, kami membuka peta kabupaten Rokan Hilir yang beribukota di Bagan Siapi-api ini. Sambil duduk di karpet masjid yang masih harum itu wakil bupati H. Suyatno dan pimpinan wilayah PLN Riau Joko Abunaman menjelaskan pilihan-pilihan langkah yang harus diambil untuk mengatasi kegelapan itu.

Kabupaten ini punya ambisi besar untuk tidak kalah dengan kota-kota kecil di depan sana. Maksudnya kota-kota kecil di Malaysia yang jaraknya hanya 1,5 jam naik speedboat dari Bagan Siapi-api. Kota pantai Port Dickson di Malaysia, misalnya, adalah tetangga terdekat Bagan Siapi-api.

Di samping membangun kota baru bupati Maanan juga sedang membangun dua jembatan besar. Panjang totalnya hampir 1,5 km! Rasanya seperti mustahil sebuah kabupaten yang namanya jarang disebut di level nasional bisa mempunyai ide dan mampu membangun jembatan sebesar ini. Arsitekturnya sangat modern pula. Malam itu juga saya minta diantar untuk melihat proyek jembatan itu. Jam 4 subuh saya sudah harus meninggalkan Bagan Siapi-api.

Jembatan ini ternyata sudah setengah jadi. Lagi dikebut. Akhir tahun depan sudah harus berfungsi. Inilah jembatan kembar yang menghubungkan kota baru dengan wilayah terisolasi yang dikenal sebagai wilayah suku Kubu yang dulu disebut suku terasing itu. Jembatan ini untuk meloncati muara sungai Rokan yang lebar. Dibuat kembar karena di tengah-tengah sungai itu ada pulau seluas 3.000 ha. Pulau inilah yang dirancang untuk dijadikan tempat rekreasi. Termasuk lapangan golf. Pemain golf dari Singapura dan Malaysia akan dirangsang datang ke sini.

Begitu jembatan selesai, bupati tua tapi sangat gesit ini akan langsung membangun lapangan terbang. Lokasinya di kecamatan Kubu, kira-kira 3 km dari ujung jembatan. Tanahnya sudah disiapkan dan ijin-ijin ke pusat sudah diurus. Tanpa bandara, tidak akan ada orang yang mau datang ke Ba Yen, sebutan Bagan Siapi-api dalam bahasa Mandarin. Mana ada orang yang mau jalan darat selama 7 jam dari Pekanbaru ke kota ini.

Ada tujuan lain dibangunnya jembatan itu. Membuka isolasi kecamatan Kubu yang menjadi konsentrasi penduduk termiskin di propinsi Riau yang kaya-raya. Bupati Maanan ingin ada jalan raya dari Bagan Siapi-api sampai ke wilayah Sumatra Utara.

Melihat semangat bupati yang begitu menggebu-gebu dalam membangun negeri saya pun malu. Listrik harus segera baik di sini. Saya berjanji akan ke sini lagi untuk meresmikan gardu induk pertama di kota yang klentengnya saja lebih dari 25 buah. Rencana menambah mesin diesel di situ saya batalkan. Rencana membangun pembangkit listrik gas batubara juga saya urungkan. Semua itu tidak akan menyelesaikan masalah. Harus ada gardu induk di sini, seminimal apa pun! (*)

Alhamdulillah, Si Ujo Tidak Lancar

Alhamdulillah, pelaksanaan Si Ujo 22 September kemarin kurang lancar.

Kalau tidak, kita tidak tahu bahwa masih ada yang harus diperbaiki di bidang infrastruktur kita.

Alhamdulillah, infrastruktur kita ternyata diketahui belum sempurna. Kalau tidak, banyak program lain yang lebih penting dari Si Ujo akan menjadi korban. Misalnya sentralisasi layanan 123 yang langsung menyangkut hajat hidup rakyat pada umumnya.

Alhamdulillah, ada Si Ujo meski pelaksanaan hari pertamanya kurang lancar.

Manfaatnya sudah cukup banyak. Misalnya sudah banyak karyawan yang untuk menghadapi Si Ujo ini kembali mempelajari teori bidang tugasnya dan bahkan menyadari perlunya kompetensi seorang karyawan di bidang yang dikerjakannya. Kalau tidak, maka karyawan PLN akan semakin jauh dari kompetensinya.

Alhamdulillah, Si Ujo gagal dilaksanakan secara simultan. Sehingga masih ada waktu sedikit bagi karyawan untuk meningkatkan sendiri kompetensi di bidangnya. Baik melalui belajar teori maupun memperbaiki praktek di pekerjaan sehari-hari. Kalau tidak, maka akan semakin banyak konsultan yang dipekerjakan di PLN. Padahal kemampuan konsultan itu belum tentu lebih hebat dari kemauan karyawan PLN.

Alhamdulillah, Si Ujo gagal dilaksanakan secara serentak 22 September kemarin. Berarti masih ada waktu tambahan satu hari untuk menyempurnakan diri. Yang berkemungkinan tidak lulus pun semakin kecil. Kalau tidak, akan terlalu banyak karyawan yang merasa gagal dalam hidup gara-gara tidak lulus Si Ujo. Kalau sampai perasaan itu muncul di kalangan karyawan dampaknya sangat negatif pada pengembangan jati diri seorang manusia. Padahal seandainya seorang karyawan tidak lulus Si Ujo pun sebenarnya bukan berarti karyawan tersebut bodoh atau tidak mampu.

Alhamdulillah, Si Ujo gagal dilaksanakan serentak untuk pertama kalinya di PLN ini. Sehingga manajemen memiliki lebih banyak waktu untuk meneruskan sosialisasi mengenai binatang apakah yang disebut Si Ujo itu. Agar lebih banyak karyawan yang tahu maksud sesungguhnya Si Ujo. Kalau tidak, maka ada saja yang buruk sangka kepada Si Ujo. Misalnya dikira inilah cara untuk mem-PHK karyawan. Atau inilah cara untuk mengurangi karyawan. Atau inilah cara untuk menjual PLN –he he agak Joko Sembung, di mana nyambungnya?

Alhamdulillah, Si Ujo belum bisa dilaksanakan serentak kali ini. Sehingga bisa dipikirkan kelak sosialisasinya yang lebih sistematis.

Kalau tidak, tidak akan cukup waktu untuk menjelaskan bahwa tidak lulus Si Ujo itu sebenarnya tidak apa-apa. Yang penting si karyawan mau belajar lagi mengenai ilmu yang terkait dengan pekerjaannya dan mau terus meningkatkan kompetensinya. Untuk itu si karyawan, setelah merasa kompetensinya meningkat, bisa ikut Si Ujo lagi. Bagaimana kalau tidak lulus lagi? Bisa belajar lagi dan mengikuti Si Ujo lagi. Bagaimana kalau lagi-lagi tidak lulus? Tetap tidak akan ada penilaian bahwa yang bersangkutan adalah seorang yang bodoh. Kalau sudah tiga kali ikut Si Ujo tetap tidak lulus, maka kesimpulan utama yang akan diambil adalah: karyawan tersebut tidak menyenangi pekerjaannya sekarang. Baik karena tidak cocok dengan jiwanya maupun tidak cocok dengan lingkungannya. Jalan keluarnya: akan dicarikan pilihan-pilihan bidang tugas yang lebih cocok dengan kompetensinya.

Alhamdulillah, Si Ujo gagal terlaksana serentak di hari pertama itu. Kalau tidak, saya tidak akan menulis CEO Noted mengenai Si Ujo ini. Kalau tidak, saya tidak akan terbangun jam 03.00 dan langsung tahajud di depan laptop ini. Kalau tidak, saya pun tidak akan belajar lebih banyak mengenai wisdom kekaryawanan.

Ada Alhamdulillah yang lain.

Direktorat SDM PLN Pusat baru saja selesai melakukan survey EES (Employee Engagement Survey) terhadap karyawan PLN. Hasilnya sangat menggembirakan. Begitu menggembirakannya sehingga sebenarnya sebagian tujuan Si Ujo sudah terbaca di hasil survey ini. Survey apa pula itu? Ini adalah survey untuk mengetahui keterikatan seorang karyawan (termasuk keterikatan emosionalnya) kepada perusahaan. Dalam hal ini: seberapa besar rasa keterikatan emosional seorang karyawan PLN kepada PLN.

Ini penting untuk mengetahui lebih lanjut apakah karyawan PLN itu mencintai secara sungguh-sungguh perusahaannya atau tidak. Tegasnya, apakah masih banyak karyawan yang masa bodoh atau apatis terhadap PLN bahkan memusuhi PLN. Kalau banyak karyawan yang apatis bisa diartikan bahwa si karyawan tidak sungguh-sungguh dalam bekerja. Bagaimana hasil EES itu? “Di banding survey di masa lalu hasilnya meningkat drastis,” ujar Bu Diana dari direktorat SDM. “Dulu levelnya hanya 5. Dari hasil survey EES sekarang ini terbukti sudah meningkat menjadi 7,” tambahnya. Apakah survey ini valid? “Valid. Survey ini diikuti oleh 20.000 karyawan,” tambah Pak Dadang Daryono yang mengepalai divisi sistem SDM. Kalau pesertanya memang sudah sampai 20.000 orang tentu hasilnya sangat valid. Bahkan ini bisa disebut bukan survey lagi, melainkan (untuk meminjam istilah Pak Murtaqi Syamsuddin) sudah sensus.

Alhamdulillah, tinggal sedikit lagi karyawan yang masih merasa tidak memiliki hubungan emosional dengan PLN.

Kalau begitu, apakah Si Ujo masih tetap akan diadakan? Tentu. Hanya saja menunggu infrastrukturnya dibenahi dulu. Siapa tahu, sebagian kecil karyawan yang keterikatan emosionalnya kepada perusahaan masih rendah itu datang dari mereka yang kurang memiliki kompetensi. Kalau mereka ini bisa diketahui dan kemudian bisa dicarikan jalan keluar (belajar sendiri, disekolahkan, dialihkan bidangnya) tentu hasilnya jauh lebih sempurna bagi PLN. Mengapa kita harus lebih baik lagi? Bukankah nilai 7 sudah baik? Karena: PLN harus harry jaya, eh, harus kembali jaya!

Alhamdulillah Si Ujo masih belum dilaksanakan kali ini.

Dahlan Iskan

CEO PLN

Bila Dua Gajah Bertempur, Listrik yang Mati

Pekanbaru, ibu kota Provinsi Riau yang kaya raya itu, gelap gulita tadi malam. Entah sampai kapan. Lampu penerangan jalan umumnya dimatikan total oleh PLN. Penyebabnya, tunggakan listriknya hampir mencapai langit. Sudah Rp 30 miliar lebih. Tidak ada kejelasan kapan wali kota Pekanbaru bisa membayarnya.

Wali kota Pekanbaru memang tidak punya uang. Bahkan, Kota Pekanbaru tidak punya wali kota. Masa jabatan wali kotanya sudah habis. Dia tidak boleh mencalonkan lagi karena sudah menjabat dua periode.

Pemilihan wali kota sudah dilaksanakan. Tapi, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan agar dilaksanakan pilkada ulang. MK menemukan bukti terjadi kecurangan yang masif dan terstruktur. Dalam putusannya MK memberikan batas waktu pilkada ulang tersebut harus terlaksana dalam 90 hari.

Tapi, sampai batas yang ditetapkan itu habis, hari ini, pilkada ulang tidak terlaksana. Penyebabnya sama dengan mati listrik tadi. Tidak ada dana. Terpaksa MK bakal bersidang lagi, entah apa yang akan diputuskan.

Pilkada di daerah yang kaya raya ini termasuk miskin calon. Hanya dua pasang yang maju. Tapi, dua-duanya gajah. Yang satu, Firdaus (Demokrat-PKS-PDIP), adalah mantan kepala Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Riau yang tentu kaya akan misi dan gizi. Satunya lagi, seorang Srikandi yang tidak kalah bergizinya. Dia adalah Septina Primawati (Golkar-PAN-PKB-PPP-Gerindra), yang tak lain istri Gubernur Riau yang lagi menjabat sekarang.

Karena itu, bisa disimpulkan begini: ketika dua gajah bertempur, listrik yang mati!

Lampu penerangan jalan memang menimbulkan banyak persoalan. Rakyat merasa memiliki hak agar jalan raya terang benderang. Sebab, rakyat sudah membayar retribusi penerangan jalan. Yakni, yang ditarik bersamaan dengan membayar rekening listrik di rumahnya. PLN yang ditugasi memungutkan pajak itu juga sudah menyetorkannya ke kas pemda.

Kalau saja disiplin anggaran bisa diterapkan, tentu tidak akan terjadi seperti di Pekanbaru ini. Masalahnya, pungutan dari rakyat itu sering tidak dipakai untuk membayar lampu jalan raya. Akibatnya, rakyat di perumahan sering memasang lampu penerangan jalannya sendiri dengan cara menggaet listrik dari PLN. Pihak PLN menilai yang seperti ini adalah pencurian listrik. Yang menggaet merasa tidak mencuri karena sudah membayar retribusi penerangan jalan umum.

Ada baiknya PLN di setiap kota mengumumkan kepada masyarakat berapa nilai uang retribusi penerangan jalan umum yang ditarik dari rakyat itu. Juga berapa pemkot/pemkab membayar listrik kepada PLN setiap bulan. Dengan demikian, rakyat di setiap kota bisa tahu apakah pemkot/pemkab sudah menggunakan uang retribusi penerangan jalan umum itu dengan baik dan benar.

Seperti di Pekanbaru itu, PLN telah menyetorkan hasil penarikan retribusi dari rakyat kepada kas pemkot lebih Rp 2 miliar per bulan. Ini berarti lebih Rp 24 miliar setahun. Dengan demikian, sebenarnya Pemkot Pekanbaru mampu membayar listrik untuk penerangan jalan umum tersebut.

Tentu saya ingin belajar juga dari kasus Pekanbaru itu. Maka, saya ingin mencarikan jalan keluar yang sangat meringankan pemda di seluruh Indonesia. Saya ingin menyerukan: jangan mau lagi membayar listrik ke PLN. Berswadayalah untuk listrik penerangan jalan umum. Jangan gunakan listrik dari PLN yang membebani anggaran daerah itu. Pemda bisa membuat listrik sendiri. Caranya mudah. Saya akan minta semua pimpinan PLN setempat menjadi konsultan gratis untuk setiap pemda.

Bagaimana caranya? Gunakanlah lampu penerangan jalan umum bertenaga matahari. Teknologinya sudah tersedia dan kini sudah teruji. Harganya juga sudah lebih murah dibanding dulu. Tanpa korupsi dan komisi, harga per lampu (tiang, lampu, dan baterai) hanya Rp 15 juta. Dengan investasi sebesar itu pemda tidak perlu lagi membayar listrik ke PLN. Pungutan retribusi penerangan jalan umum bisa terus dipergunakan untuk menambah lampu penerangan jalan sampai ke kampung-kampung.

Bagaimana kalau pemda tidak punya modal? Jangan pakai modal. Kerja sama saja dengan swasta. Mintalah perusahaan swasta membangun lampu tenaga matahari tersebut. Bayarlah swasta itu setiap bulan, seperti pemda membayar ke PLN. Dalam waktu lima tahun pembayaran itu sudah lunas. Untuk selanjutnya pemda sudah terbebas sama sekali dari kewajiban membayar lampu penerangan jalan. Retribusi penerangan jalannya bisa dipergunakan untuk terus menambah penerangan jalan di seluruh kota.

Dampak dari penerapan ide ini akan sangat besar. Indonesia akan menjadi terkenal di seluruh dunia sebagai pelopor lampu penerangan jalan yang paling besar. Industri dalam negeri juga hidup. Lapangan kerja bertambah-tambah.

Dengan melaksanakan ide ini, instruksi presiden agar hemat energi bisa dilaksanakan dengan nyata. Bukan hanya pepesan kosong. Kini semuanya berpulang kepada kepemimpinan di setiap daerah.

Sekali lagi, jangan seperti di Pekanbaru. Mau listriknya tidak mau bayarnya. Padahal, ada jalan yang lebih gagah: tidak perlu bayar listrik ke PLN, tapi jalan raya tetap terang benderang. (*)

Dahlan Iskan
CEO PLN


0 comments to "Ternyata masih ada orang Indonesia yang diberi Jabatan " MENANGIS " (Curahan hati Dahlan iskandar)"

Leave a comment