Obama Menyaksikan Lion AirBbeli 230 Pesawat Boeing
Maskapai penerbangan nasional Lion Air dan Boeing mencapai kesepakatan jual beli 201 unit pesawat B-737MAX dan 29 unit Boeing-737-900ERs Next Generation senilai 21,7 miliar dolar AS.
Penandatangangan kesepakatan jual beli itu dilakukan Presiden Direkur Lion Air Rusdi Kirana dan CEO Boeing Jim Albaugh di Grand Hyatt Nusa Dua Bali, Jumat dengan disaksikan Presiden Barack Obama.
"Saya mengucapkan selamat kepada Lion Air untuk keberhasilan mereka yang luar biasa. Saya juga menyampaikan selamat kepada Boeing untuk pesawat yang luar biasa termasuk yang saya gunakan," kata Obama dalam pernyataan pers Gedung Putih.
Penandatangan kerjasama ini bertepatan dengan penyelenggaraan KTT ke-6 Asia Timur yang dihadiri para pemimpin dari 18 negara termasuk Amerika Serikat.
Menurut Obama, transaksi ini merupakan contoh luar biasa dari peluang perdagangan investasi dan bisnis di kawasan Asia Pasifik.
Obama menyebutkan pembelian pesawat Boeing oleh maskapai penerbangan Indonesia tersebut memberikan kembali kesempatan kerja kepada warga Amerika Serikat.
Perjanjian pembelian oleh Lion Air ini merupakan proyek terbesar dalam sejarah pabrik pembuat pesawat yang berada di Seattle AS ini. (IRIB Indonesia/Antara/SL/19/11/2011)
Menhan AS: Serangan ke Iran Guncang Ekonomi Global!
Menteri Pertahanan AS Leon Panetta menyatakan bahwa setiap serangan militer terhadap Iran akan memiliki konsekuensi bagi perekonomian dunia.
"Saya harus memberitahu Anda mengenai konsekuensi ekonomi serangan ke Iran, yang bisa berdampak tidak hanya pada ekonomi AS, tapi juga ekonomi dunia," katanya kepada wartawan pada Kamis (17/11).
Washington dan Tel Aviv berulang kali mengancam Tehran dengan opsi serangan militer yang didasarkan pada tuduhan bahwa Iran mengembangkan program nuklir militer. Namun klaim tersebut dibantah keras oleh Tehran.
Pada 6 November, Presiden Israel Shimon Peres mengancam akan menyerang Iran.
Menyikapi retorika perang agresif terhadap Iran, Tehran menyatakan akan meresponnya dengan menghancurkan setiap serangan militer terhadap negara itu.
Tehran balik mengancam akan mengambil alih kontrol penuh Selat Hormuz yang menjadi jalur strategis bagi transportasi minyak dunia, jika agresi benar-benar diterapkan terhadap Iran.(IRIB Indonesia/PH19/11/2011)
Dewan Gubernur Badan Energi Atom Internasional (IAEA) mengeluarkan resolusi baru mengenai program nuklir Iran.
Sebanyak 32 negara dari 35 anggota Dewan Gubernur IAEA memberikan suara mendukung, sedangkan Indonesia abstain dari pemungutan suara, serta Kuba dan Ekuador memilih menentang resolusi itu.
Resolusi itu menyatakan "keprihatinan" atas program nuklir Tehran dan seruan tegas untuk mengintensifkan dialog antara Iran dan IAEA guna menyelesaikan masalah program nuklir sipil Tehran.
Menyikapi keputusan sepihak IAEA, Duta Besar Iran untuk IAEA, Ali Asghar Soltaniyeh, kepada wartawan menyebut resolusi itu "tidak profesional, tidak seimbang, ilegal dan dipolitisir."
Sebelumnya, Soltaniyeh (16/11) melayangkan surat protes kepada Dirjen IAEA Yukiya Amano. Pada tanggal 8 November, Amano merilis sebuah laporan yang mengklaim bahwa Iran terlibat dalam kegiatan yang bertujuan mengembangkan senjata nuklir. Dirjen itu kembali mengulangi klaim bahwa Iran tidak kooperatif dalam menyediakan data yang diperlukan untuk membuktikan bahwa Tehran tidak mengejar program nuklir militer.
"Amano perlu mengubah laporan terbaru tentang program nuklir Iran dengan alasan bahwa ia telah melanggar peraturan IAEA dan statuta lembaga dengan membagikan bagian-bagian rahasia laporan ke sejumlah negara sebelum rilis resmi,"tegas Soltaniyeh dalam suratnya.
Dalam suratnya, Soltaniyeh menunjukkan bahwa Amano telah mengkategorikan laporan tanggal 8 November 2011 sebagai ‘distribusi terbatas' dokumen.
"Amano telah mendistribusikan teks rahasia beberapa hari sebelum tanggal 8 November ke negara tertentu, termasuk Amerika Serikat, Perancis, dan Inggris," jelasnya.
"Ini adalah pelanggaran nyata terhadap peraturan organisasi dan sumpah jabatan serta semangat dan Statuta IAEA, karena semua negara anggota diakui punya hak yang sama dan harus diperlakukan setara," protes Soltaniyeh.
AS, Israel dan sekutu mereka, termasuk Inggris dan Perancis, menuduh Iran mengejar program nuklir militer dan telah menggunakan tuduhan ini sebagai dalih untuk meyakinkan Dewan Keamanan PBB guna menerapkan sanksi internasional putaran empat terhadap Iran.
Tehran membantah tuduhan Barat, seraya menegaskan sikap Iran sebagai penandatangan traktat Non-Proliferasi Nuklir (NPT) yang berhak memperoleh dan mengembangkan teknologi atom untuk tujuan damai.
Di saat IAEA semakin gencar menekan Tehran, organisasi internasional itu justru bersikap bungkam terhadap Israel yang kian agresif meningkatkan kemampuan senjata nuklirnya, dan tetap menolak tuntutan publik internasional untuk menandatangani Traktat Non-proliferasi Nuklir (NPT).
Laporan terbaru yang diterbitkan British American Security Information Council (BASIC) menunjukkan bahwa rezim Tel Aviv sedang memperluas jangkauan rudal darat ke darat, Yerikho III, dan mengembangkan kemampuan rudal balistik antar-benua (ICBM).
Israel adalah pemilik tunggal senjata nuklir di Timur Tengah dengan hulu ledak nuklir melebihi 300 buah. Israel juga berencana memperluas kemampuan rudal jelajah yang dirancang untuk diluncurkan dari kapal selam.
Para analis menilai senjata nuklir rezim Zionis Israel meningkatkan potensi bencana nuklir global, terutama mengancam bangsa-bangsa regional. (IRIBIndonesia/PH/19/11/2011)
Barat: Buat Arab Takut akan Iran, Lalu Jual Senjata Sebanyak-banyaknya!
Bersamaan dengan upaya Amerika menyebarkan Iranphobia di Timur Tengah, kalangan politik mengkonfirmasikan perlombaan negara-negara Barat untuk menjual senjata lebih banyak ke negara-negara Timteng, khususnya kepada Uni Emirat Arab.Televisi Perancis, France 24 pada hari Kamis (17/11) dalam laporannya menyebutkan Emirat ingin membeli 60 pesawat tempur jenis Rafale dari Perancis. Padahal konsorsium Eropa pembuat pesawat tempur ini telah menjual 300 pesawat tempur Rafale hingga kini ke 6 negara Teluk Persia, termasuk Arab Saudi.
Sebelum menandatangani kontrak pembelian pesawat tempur Rafale, Angkatan Udara Uni Emirat Arab telah membeli 60 unit jet tempur Mirage 2000 dari Perancis. Para pejabat Emirat mengakui upaya Abu Dhabi membeli jet tempur Rafale dari Perancis dan Eurofighter dari Inggris. Tujuan pembelian pesawat tempur ini untuk meningkatkan kemampuan militer negara ini dalam menghadapi ancaman asing.
Bila dilihat sejak kemerdekaan Uni Emirat Arab dan negara-negara di sekirat Teluk Persia belum pernah mendapat ancaman dari pihak asing. Yang pasti, sebagian besar senjata yang di beli negara-negara Teluk Persia lebih ditujukan untuk menumpas demonstrasi damai rakyatnya sendiri. Hal ini dapat disaksikan dari langkah negara-negara Teluk Persia mengirimkan banyak senjata ke Yaman dan Bahrain agar dipakai rezim Abdullah Saleh dan al Khalifa untuk membantai rakyatnya.
Sekaitan dengan pembelian senjata yang dilakukan oleh Uni Emirat Arab dari Perancis, Kantor Berita AFP dari Paris menyebutkan bahwa Alain Juppe, Menteri Luar Negeri Perancis Sabtu besok akan bertolak ke Emirat, sekalipun tidak termasuk agenda kerjanya. Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Perancis, Bernard Valero mengatakan, Nicolas Sarkozy, Presiden Perancis meminta kepada Alain Juppe mengawasi perluasan kerjasama strategis antara Perancis dan Uni Emirat Arab. Ia juga harus berbicara dengan para pejabat Abu Dhabi soal penjualan pesawat tempur Rafale kepada negara ini.
Lembaga Riset Perdamaian Internasional Stockholm (SIPRI) yang meneliti penjualan senjata di dunia mengumumkan bahwa angka pembelian senjata Emirat selama 10 tahun lalu meningkat luar biasa. Bahkan kemungkinan besar Abu Dhabi akan berada di tempat teratas negara-negara pembeli senjata terbesar di dunia di tahun depan.
Usaha Uni Emirat Arab memperkuat persenjataannya dengan membeli pesawat-pesawat tempur Perancis dan Inggris ternyata tidak cukup. Karena sebelum ini Emirat bahkan telah menandatangani kontrak pembelian 40 helikopter tempur, ratusan rudal penghancur bunker senilai 6 miliar dolar dengan perusahaan Lockheed Martin dan Sikorsky Amerika. Perusahaan Sikorsky tahun lalu mendapat pesanan pembelian helikopter militer dari negara Arab Saudi, Yordania dan Bahrain.
Babak baru usaha Barat menjual senjata ke negara-negara Timur Tengah telah dimulai. Beberapa waktu lalu Amerika mengkonfirmasikan keinginannya menjual senjata senilai 60 miliar dolar kepada Arab Saudi. Bila kontrak ini berhasil, maka dapat dikatakan bahwa ini merupakan penjualan senjata paling besar dalam sejarah Washington. Arab Saudi memesan 84 pesawat tempur F-15 dan helikopter Apache dan Black Hawk senilai 30 miliar dolar.
Ketika Washington berusaha menekan negara-negara Teluk Persia agar tidak melakukan perdagangan dengan Iran, penjualan besar-besaran senjata militer Barat ke negara-negara ini hanya dapat dipahami dalam disain besar proyek Iranphobia. (IRIB Indonesia/SL/RA/18/11/2011)
Liga Arab Pelaksana Kebijakan Barat di Timur Tengah
Liga Arab dalam sidangnya Rabu (16/11) di Rabat, Maroko memberikan ultimatum tiga hari kepada Suriah untuk melaksanakan protokol Liga Arab dan sepakat mengirimkan 500 pemantau untuk mengkaji kondisi di negara ini. Dari negara-negara anggota Liga Arab, Mesir terlihat sebagai negara yang paling antusias menginginkan pembahasan kondisi Suriah dan diakhirnya krisis di sana. Sementara Arab Saudi dan negara-negara Teluk Persia pasca kesepakatan penangguhan keanggotan Suriah pada sidang sebelumnya, memboikot sidang selanjutnya Liga Arab.
Sebelum melakukan sidang istimewa pada 12 November lalu, Suriah telah menyetujui rencana empat butir yang diusulkan Liga Arab guna mengakhiri krisis internalnya. Namun sebelum dilakukan evaluasi atas penerapan rencana empat butir itu, dalam sidang Sabtu lalu itu Liga Arab memutuskan penangguhan keanggotaan Suriah di organisasi ini. Padahal, Suriah sejak sebelum sidang ini telah menyatakan menerima usulan empat butir Liga Arab dan bersedia melaksanakannya. Akhirnya, keputusan itu tetap diterapkan, sekalipun negara-negara seperti Irak, Aljazair dan Lebanon menolak keputusan itu.
Mereaksi keputusan itu, Suriah meminta diselenggarakannya sidang darurat guna membahas dan meninjau ulang keputusan Liga Arab soal keanggotaannya pada 16 November. Bukannya meninjau kembali keputusan mereka di sidang sebelumnya, negara-negara anggota Liga Arab justru menyepakati pemberlakuan hukum dan sanksi yang lebih berat. Tidak hanya memberikan ultimatum, tapi organisasi ini juga akan mengirimkan 500 pemantau ke Suriah.
Berdasarkan keputusan Liga Arab, para pejabat Suriah harus menyetujui pengiriman delegasi pemantau yang beranggotakan 500 orang yang terdiri dari wakil-wakil organisasi Arab, media dan militer ke negaranya. Pada saat yang sama, Damaskus telah menyatakan kepada Liga Arab tidak akan menolak lawatan delegasi pemantau Liga Arab. Di sini, para pejabat Suriah menyebut Arab Saudi dan Qatar tengah memaksakan keinginan Amerika dan Barat kepada organisasi Liga Arab. Terlebih lagi ketika Qatar saat ini menjadi ketua periodik Liga Arab. Kombinasi Qatar sebagai ketua dan Arab Saudi sebagai pelobi negara-negara lainnya membuat langkah yang ditempuh Liga Arab adalah menekan dan mengisolasi Suriah.
Perang saraf dan propaganda Barat pasca serangan NATO ke Libya kini mengarah ke Suriah. Menurut para pengamat, Liga Arab saat ini memainkan peran pembuka jalan bagi agresi militer NATO ke Suriah. Karena Barat memang mencari kesempatan untuk melakukan intervensi militer di Timur Tengah dan yang memberikan jalan itu adalah Arab Saudi dan Qatar. Jelas, Barat lebih memilih dunia Arab sendiri yang menghadapi Suriah dan pemimpin operasi ini ini berada di tangah salah satu negara Arab guna menekan biaya mahal agresi militer.
Skenario Suriah tidak berbeda dengan Libya. Sebelum terjadi serangan NATO ke Libya, Liga Arab terlebih dahulu menangguhkan keanggotaan negara ini dan meminta campur tangan pihak-pihak asing. Nabil el-Arabi, Sekjen Liga Arab menyatakan perlu mencari cara untuk mendukung rakyat Suriah. Pernyataan ini membawa pesan agresi militer. Namun melihat kondisi yang ada, para pengamat militer melihat Liga Arab tidak lebih dari sebuah organisasi Arab yang tersekat-sekat. Tanpa Amerika dan Barat, negara-negara ini tidak akan pernah bersatu dan selalu terlibat perang kekuasaan satu sama lain. (IRIB Indonesia/SL/RA/18/11/2011)
Di Balik Parade Militer AS ke Asia Pasifik
Presiden Amerika Serikat Barack Obama berjanji untuk tidak membiarkan pengurangan bujet militer negaranya mempengaruhi ambisi ekspansi dan kehadiran militer Amerika di Asia Pasifik.
Farsnews mengutip laporan AFP (17/11) menyebutkan, Obama dalam pernyataannya kemarin (16/11) menyinggung perubahan prioritas Amerika yang mulai memfokuskan wilayah Asia. Ia juga berjanji bahwa program ekspansi dan kehadiran militer negaranya tidak akan terpengaruhi oleh penurunan bujet militer.
Hal itu dikemukakan Obama sehari setelah pengumuman rencana penempatan 2.500 marinir Amerika Serikat di wilayah utara Australia. Keputusan itu diambil Amerika Serikat dalam rangka menanggulangi peningkatan kekuatan Cina yang mengancam keseimbangan kekuatan di kawasan Asia Pasifik.
Ditujukan kepada para anggota parlemen Australia, Obama mengatakan bahwa Asia Pasifik sangat penting untuk menjadi korban pengurangan bujet pertahanan Amerika Serikat. Obama juga mengklaim bahwa program pengurangan bujet militer itu hanya untuk perang di Irak dan Afghanistan.
Dikatakan Obama bahwa masalah ini harus disadari oleh semua pihak di kawasan. Bersamaan dengan berakhirnya perang di Irak dan Afghanistan, Obama akan menginstruksikan tim keamanan nasionalnya untuk memprioritaskan kehadiran militer Amerika di Asia Pasifik. Menurutnya, Amerika Serikat adalah kekuatan besar di Asia Pasifik dan akan tetap mempertahankan statusnya sebagai adidaya di kawasan itu.
Dalam pidatonya, Obama juga menyinggung hubungan rentan Amerika Serikat dan Cina, reformasi di Myanmar, dan peringatan kepada Korea Utara yang telah menyisihkan bujet untuk memproduksi senjata destruksi massal.
Pekan lalu, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Hillary Clinton, juga menyinggung parade militer Amerika Serikat ke Asia Pasifik setelah mengakhiri perang di Irak dan Afghanistan. Hal itu menurut Clinton sebagai pesan peringatan kepada Cina untuk memperhatikan kondisi hak asasi manusia di dalam negeri.
Akan tetapi, para pengamat berpendapat bahwa target di balik parade militer Amerika ke Asia Pasifik adalah untuk mencegat Cina yang tumbuh pesat sebagai kekuatan ekonomi dan militer baru.
Saat ini, neraca perdagangan Amerika dihadapan Cina, negatif dan selain itu Cina juga yang membeli surat utang Amerika senilai 300 milyar dolar pasca krisis ekonomi 2008. Amerika Serikat hingga kini terus mendesak Cina agar menaikkan nilai tukar mata uangnya untuk menyeimbangkan pasar. Akan tetapi, pemerintah Beijing menolak tuntutan tersebut dan tetap mempertahankan nilai tukar yuan di tingkat rendah sehingga Cina dapat mendongkrak ekspornya.(IRIB Indonesia/17/11/2011)
Pendekatan Rezim-Rezim Arab dengan Israel
Rezim-rezim Arab di sekitar Teluk Persia telah merencanakan langkah-langkah untuk mendekatkan diri dengan Israel. Situs berita al-Nakhil menyebutkan bahwa sejumlah negara di sekitar Teluk Persia termasuk Arab Saudi telah menyiapkan langkah-langkah untuk memperkokoh hubungannya dengan rezim Zionis Israel dan Tel Aviv menyebut negara-negara Arab itu sebagai sekutunya di kawasan.
Dalam laporannya yang bertajuk "Negara-Negara Sekitar Teluk Persia akan mendekati Israel" yang mengutip pernyataan seorang analis Zionis Ariel Kohana disebutkan, sejumlah negara Arab di Teluk Persia menjalin kerjasama terselubung dengan Israel pasca maraknya revolusi dan gerakan anti-rezim di dunia Arab.
Disebutkan pula bahwa langkah-langkah pendekatan itu dilakukan setelah Amerika Serikat meninggalkan sekutu-sekutu kuatnya di kawasan sendirian seperti Hosni Mubarak di Mesir dan Muammar Gaddafi di Libya. Oleh karena itu, sejumlah negara Arab mulai memperkokoh hubungan mereka dengan Israel.
Al-Nakhil menambahkan, Mubarak telah selama puluhan tahun menjadi sekutu terpenting Amerika Serikat di kawasan, namun Gedung Putih justru membantu mempersiapkan kondisi bagi runtuhnya kekuasaan Mubarak di Mesir. Di sisi lain, Libya telah membatalkan niatnya dalam merealisasikan program nuklirnya, ikut dalam program pemberantasan terorisme, menjalin kerjasama kuat dengan negara-negara Barat, dan bahkan berlaku seperti polisi di pesisir Mediterania, Namun Amerika Serikat justru membantu menggulingkan Muammar Gaddafi.
Kohana menegaskan pula bahwa negara-negara Arab tidak akan tinggal diam membiarkan Qatar ikut tergilas gerakan kebangkitan rakyat, dan mereka kini menyadari bahwa Amerika Serikat saja tidak cukup, melainkan harus mencari rekan baru di kawasan.
Mereka tidak menemukan sekutu yang lebih baik daripada Israel, yang memiliki hubungan tak tergoyahkan dengan Amerika Serikat. Diharapkan kerjasama dengan Israel itu akan mengamankan kekuasaan mereka. Oleh karena itu, negara-negara Teluk Persia termasuk Arab Saudi, membuka kanal-kanal rahasia dengan Israel.
Analis Israel itu menambahkan bahwa kerjasama tersebut dirahasiakan karena rezim-rezim Arab mengkhawatirkan kemarahan rakyat mereka.
Namun pertanyaannya, apakah kerjasama rahasia tersebut akan mampu menyelamatkan rezim-rezim despotik Arab dari gelombang protes rakyat mereka yang telah letih dengan kondisi yang ada saat ini?(IRIB Indonesia/17/11/2011)
Khatib Jumat Tehran: Persatuan Islam Gagalkan Konspirasi Musuh
Khatib shalat Jumat Tehran menegaskan pentingnya pengokohan persatuan antarumat Islam.
Ayatollah Mohammad Emami Kashani dalam khutbah shalat Jumat hari ini (Jumat, 18/11) seraya menegaskan untuk menjahui perpecahan antarumat Islam mengatakan, "Dengan memperkuat persatuan nasional, umat Islam mampu melawan berbagai konspirasi musuh."
Seraya menyinggung pesan Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran atau Rahbar Ayatollah al-Uzdma Sayid Ali Khamenei soal ancaman Amerika anti-Iran menegaskan, "Rakyat Iran adalah rakyat yang penuh pengabdian dan pengorbanan. Hingga kini rakyat Iran dengan dukungan Rahbar dan pengokohan persatuan nasional mampu menggagalkan konspirasi musuh."
Pada akhir khutbahnya, Ayatollah Emami Kashani menyinggung insiden ledakan baru-baru ini di salah satu pangkalan Pasukan Garda Revolusi Islam Iran sebelah barat Tehran yang menyebabkan gugur syahidnya 17 perwira pasukan tersebut. Berkaitan peristiwa itu beliau mengatakan, "Kita mendoakan para syuhada dalam insiden itu supaya mendapat derajat yang tinggi." (IRIB Indonesia/RA/SL/18/11/2011)
Membongkar Kebijakan Ganda Liga Arab di Timur Tengah
Transformasi cepat yang terjadi di Timur Tengah selama setahun ini mengungkap banyak hal. Perubahan ini membongkar wajah keji dan kemunafikan negara-negara zalim dan pendukung Barat. Negara-negara Barat biasanya menyebut negara-negara yang bergantung kepada mereka dengan "Negara Moderat". Kemoderatan negara-negara ini tidak lain adalah tunduk pada politik rakus dan hegemoni negara-negara Barat dan menekan rakyatnya sendiri. Satu dari lembaga negara-negara Arab yang patut dikaji lebih jauh dalam menyikapi transformasi Timteng adalah Liga Arab.
Organisasi Liga Arab merupakan organisasi yang dibentuk dalam kerangka Pan-Arabisme pasca Perang Dunia II. Setelah runtuhnya Dinasti Ottoman, para pendiri organisasi ini berusaha mengumpulkan negara-negara Arab dalam sebuah bendera. Pada masa Perang Dingin, Liga Arab menjadi sebuah organisasi yang benar-benar pasif. Karena negara-negara anggota Liga Arab ada yang memihak blok Barat dan ada yang membela blok Timur.
Ketika Gamal Abdul Naser berkuasa di Mesir, ia berusaha mengaktifkan kembali organisasi ini dan menghidupkan pemikiran Pan-Arabisme. Manuver Gamal Abdul Naser ternyata belum mampu menyatukan sikap negara-negara anggotanya, bahkan setelah melewati empat perang antara Arab dan Israel. Lambat laun, Liga Arab menjadi organisasi negara-negara Arab yang kerjanya melayani Amerika. Organisasi ini mulai memilih-milih dalam mengambil sikap, sesuai dengan kepentingan AS. Sementara pada saat yang sama bersikap diam atas aksi interfensif AS atau negara-negara Barat di kawasan.
Menariknya, organisasi menjadi sangat pasif saat menghadapi politik agresi rezim Zionis Israel terhadap Palestina dan Lebanon. Sikap pasif dan diskriminatif ini juga muncul saat harus menyikapi kebijakan para penguasa negara-negara Arab yang zalim dan bergantung pada Barat. Sikap-sikap semacam ini menunjukkan betapa organisasi ini sebenarnya tidak menganggap penting Arab dan Islam. Bagi mereka yang terpenting adalah berlanjutnya kekuasaan zalim mereka yang muncul dari ketaatan terhadap kebijakan hegemoni Amerika.
Benar, sebagian dari penguasa zalim ini seperti Muammar Gaddafi berbalik 180 derajat dari pendukung blok Timur menjadi loyalis blok Barat. Sekalipun demikian, para penguasa zalim tidak pernah menemukan satu identitas bagi mereka sendiri. Hosni Mubarak, diktator Mesir yang dilengserkan rakyatnya dan Al Saud selama beberapa dekade berusaha keras mengontrol Liga Arab untuk menjamin kebijakan Amerika di Timur Tengah dan utara Afrika. Liga Arab juga pernah mendukung agresi Saddam Husein ke Iran hanya dengan alasan Saddam berasal dari etnis Arab. Namun Liga Arab pada tahun 2006 diam menyaksikan agresi brutal rezim Zionis Israel ke Lebanon yang jelas-jelas adalah satu dari negara Arab.
Bersamaan dengan kebangkitan rakyat di Timur Tengah dan utara Afrika, Liga Arab memulai babak baru kehidupannya. Babak yang seharusnya dapat menjadi awal sebuah organisasi yang lebih dinamis demi mempersatukan negara-negara Arab ataukah tetap menjadi sebuah organisasi yang pasif dan tunduk pada kebijakan AS. Reaksi Liga Arab terhadap transformasi Timteng sejak setahun lalu menunjukkan berlanjutnya sikap pasif dan pilih kasih organisasi ini.
Lengsernya Hosni Mubarak menjadi titik perubahan besar dan mendasar bagi Liga Arab. Mesir di masa kekuasaan Hosni Mubarak memainkan peran utama dalam pengambilan keputusan Liga Arab. Tumbangnya Hosni Mubarak membuat Arab Saudi dan Qatar yang menjadi ketua periodik Liga Arab berusaha memenuhi kekosongan yang ada guna mengontrol organisasi ini. Namun menyaksikan kebijakan kerajaan Arab Saudi dan Qatar yang masih juga bergerak dalam koridor politik Amerika, maka sudah barang tentu tidak akan ada perubahan dalam pengambilan keputusan di Liga Arab, pasca dimulainya gerakan Kebangkitan Islam di Timteng. Sikap berbeda yang didemonstrasikan Liga Arab menyikapi transformasi setahun lalu di Timteng menjadi bukti semua ini.
Reaksi Liga Arab terhadap transformasi yang terjadi di negara-negara seperti Yaman, Bahrain, Arab Saudi, dan Suriah menunjukkan organisasi ini masih tetap menjamin kepentingan Amerika. Bedanya, kali ini Liga Arab dinakhodai oleh Arab Saudi dan Qatar. Yaman dan Bahrain sebagai negara Arab dan Islam menghadapi gelombang Kebangkitan Islam. Rakyat kedua negara ini menuntut diakhirinya kekuasaan zalim yang diterapkan Ali Abdullah Saleh dan Al Khalifa.
Bila negara-negara Barat mengubah kebijakannya dalam mendukung kekuasaan Hosni Mubarak di Mesir dan Zine El Abidine di Tunisia, tapi dalam menyikapi kebangkitan rakyat Yaman dan Bahrain tidak ada tanda-tanda perubahan. Bukan hanya itu, negara-negara Barat bahkan mendukung aksi penumpasan rakyat di kedua negara ini. Ali Abdullah Saleh di Yaman dan Al Khalifa di Bahrain menggunakan segala cara untuk menumpas demonstrasi damai rakyatnya. Di sisi lain, rezim Al Saud juga tidak malu-malu lagi untuk terlibat langsung mendukung para penguasa zalim dua negara ini. Liga Arab juga mengambil langkah yang sama, tidak mereaksi serius aksi kekerasan di Yaman dan Bahrain. Hal ini tidak lain, karena Liga Arab sudah di bawah kontrol Arab Saudi dan Qatar.
Liga Arab hingga kini dalam transformasi Yaman dan Bahrain belum menyatakan dukungannya kepada rakyat. Namun pada saat yang sama mendukung rakyat Suriah yang melakukan protes terhadap pemerintahnya. Poin yang patut dicermati dalam hal ini, gerakan Liga Arab dalam menghadapi transformasi Suriah benar-benar sesuai dengan kebijakan Amerika. Qatar sebagai ketua periodik Liga Arab menawarkan diri menjadi mediator di Suriah, bahkan dalam sebagian sikapnya, Qatar mengancam akan mengeluarkan Suriah dari Liga Arab. Bahwa di Suriah sedang terjadi protes dan ketidakpuasan rakyat, tidak ada yang meragukan hal itu. Namun para pengamat politik menegaskan bahwa sekalipun ada protes, tapi jangan sampai membiarkan ketidakpuasan di Suriah ini sampai pada satu batas, dimana pihak-pihak asing melakukan campur tangan di sana.
Masalah Suriah sungguh harus dilihat berbeda dari negara-negara lain. Suriah berada di barisan terdepan dalam melawan rezim Zionis Israel. Oleh karenanya, diharapkan pemerintah Suriah mengambil sikap yang tepat dan tidak memberikan kesempatan kepada negara-negara Barat dan Zionis Israel memanfaatkan instabilitas dalam negara yang ada ini sebagai alasan untuk menerapkan tujuan hegemoninya di Timteng.
Sikap pasif dan pilih kasih yang ditunjukkan Liga Arab terkait transformasi di kawasan menunjukkan organisasi ini tengah menuju akhir umurnya. Karena bila kekuasaan di negara-negara Timur Tengah dipegang oleh rakyat dan menjadikan Islam sebagai dasar negaranya, maka dengan sendirinya pemikiran Pan-Arabisme bakal musnah. Bila hal itu terjadi, tidak ada lagi legitimasi untuk Liga Arab. Namun segalanya berbeda ketika pemerintahan baru di negara-negara Arab mampu mengambil alih kontrol Liga Arab dari rezim-rezim pendukung Barat dan mengaturnya lebih independen dan sesuai dengan aspirasi rakyat. (IRIB Indonesia/SL/NA/12/11/2011)
0 comments to "Negeri ku sang "Penghasil Pesawat" ( CN 235 Gatot Kaca ) mesti beli..bahkan "wajib" beli kenegeri asing....IRONI....hiks..."