Home , , , , , , , � Tidak boleh bekerja di bank..????Benarkah??!!!

Tidak boleh bekerja di bank..????Benarkah??!!!



Tidak boleh bekerja di bank-bank yang bertransaksi dengan riba karena hal itu berarti membantu mereka di dalam melakukan dosa dan pelanggaran

Tidak boleh bekerja di bank-bank yang bertransaksi dengan riba karena hal itu berarti membantu mereka di dalam melakukan dosa dan pelanggaran

Bekerja di bank konvensional:

Menurut para ulama bahwa bekerja di bank-bank konvensional secara mutlak tidak diperbolehkan, karena termasuk memakan harta riba, atau menuliskannya, atau menyaksikannya, atau membantu mereka yang bermuamalah dengannya

.
Sejumlah ulama besar telah mengeluarkan fatwa haramnya bekerja di bank-bank konvensional, meskipun pekerjaannya tidak berkaitan secara langsung dengan riba, seperti satpam, petugas kebersihan, pelayanan.

seorang muslim tidak boleh bekerja di bank yang bermuamalah dengan riba, meskipun pekerjaannya tidak langsung berkaitan dengan riba, tetapi karena dia menyediakan keperluan para pegawai yang bermuamalah dengan riba dan bantuan yang mereka perlukan untuk muamalah riba. Allah Ta’alaa berfirman: (janganlah kalian tolong menolong dalam dosa dan permusuhan) (QS Al-Maidah:2).

Sementara Allah telah berfirman “Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran” [Al-Ma'idah : 2]

Dan terdapat pula hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam secara shahih bahwasanya “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pemakan riba, pemberi makan dengannya, penulisnya dan kedua saksinya. Beliau mengatakan “Mereka itu sama saja” [Hadits Riwayat Muslim, Kitab Al-Musaqah 1598].”

“Bekerja di sana diharamkan karena dua alasan.

Pertama : Membantu melakukan riba

Bila demikian, maka ia termasuk ke dalam laknat yang telah diarahkan kepada individunya langsung sebagaimana telah terdapat hadits yang shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwasanya beliau : “melaknat pemakan riba, pemberi makan dengannya, penulisnya dan kedua saksinya.

Beliau mengatakan, “Mereka itu sama saja”.

Kedua : Bila tidak membantu, berarti setuju dengan perbuatan itu dan mengakuinya.

Oleh karena itu, tidak boleh hukumnya bekerja di bank-bank yang bertransaksi dengan riba.

“Barangsiapa yang mendapatkan harta yang haram dari hasil riba atau selainnya, kemudian dia bertaubat darinya; maka hendaknya dia menyedekahkannya dan tidak memakannya. Atau mengalokasikannya pada proyek kebajikan dengan tujuan untuk melepaskan diri darinya, bukan untuk tujuan mendapatkan pahala sebab ia adalah harta yang haram, sedangkan Allah Ta’ala adalah Maha Suci dan tidak menerima kecuali yang suci (baik-baik). Akan tetapi, pemiliknya ini mengeluarkannya dari kepemilikannya dan mengalokasikannya pada proyek kebajikan atau memberikannya kepada orang yang membutuhkan karena ia (harta tersebut) ibarat harta yang tidak bertuan yang dialokasikan untuk kemashlahatan. Ini semua dengan syarat, dia menghentikan pekerjaan yang haram tesebut dan tidak terus menerus larut di dalamnya.

“Bertransaksi dengan riba haram hukumnya terhadap perusahaan-perusahaan,bank-bank dan individu-individu. Tidak boleh seorang muslim bekerja pada tempat yang bertransaksi dengan riba meskipun persentase transaksinya minim sekali sebab pegawai/karyawan pada instansi-instansi dan tempat-tempat yang bertransaksi dengan riba berarti telah bekerja sama dengan mereka diatas perbuatan dosa dan melampaui batas. Orang-orang yang bekerja sama dan pemakan riba, sama-sama tercakup dalam laknat yang disabdakan oleh Rasulullah:“Allah telah melaknat pemakan riba, orang yang memberi makan dengan (hasil) riba, pencatatnya serta kedua saksinya dan pencatatnya”.(HR.Muslim)

Jadi disini, Allah Ta’ala melaknat orang yang memberi makan dengan (hasil) riba, saksi dan pencatat karena mereka bekerja sama dengan pemakan riba itu.

Karenanya wajib bagi anda , untuk mencari pekerjaan yang jauh dari hal itu. Allah Ta’ala (artinya): “Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan menjadikan baginya jalan keluar dan menganugerahinya rizki yang tidak dia sangka-sangka”.(Q,.s.ath-Thalaq: 2).

(Dan sabda Nabi- red) artinya: “Dan barangsiapa yang meninggalkan sesuatu karena Allah Ta’ala maka Allah akan menggantikan dengan yang lebih baik darinya”. (HR.Musnad Ahmad).

(Kebanyakan muamalah keuangan sekarang ini mengandung unsur riba, dan itu haram berdasarkan Al-Qur’an, Sunah dan Ijma umat. Nabi shallallahu ’alaihi wasallam telah menghukumi bahwa orang yang membantu pemakan riba dan wakil yang menuliskannya, atau yang bersaksi untuknya atau semacamnya, maka dia bersekutu dengan pemakannya dan wakilnya dalam laknat dan kutukan dari rahmat Allah.

Telah diriwayatkan dalam Shahih Muslim dan yang lain dari hadits Jabir radhiallahu ’anhu: (Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam melaknat pemakan riba, pemberi makannya, penulisnya, dan para saksinya) dan beliau bersabda: (mereka sama(pent yakni dalam dosa)).

Dan mereka yang bekerja di bank-bank konvensional adalah para pembantu bagi majikan-majikan bank tersebut dalam mengatur pekerjaannya: sebagai penulis, saksi, pemindah dokumen, kasir, atau yang menerima uangnya dsb yang termasuk ”memberi bantuan bagi para pelaku riba”, oleh karena itu jelas bahwa pekerjaan di bank-bank sekarang adalah haram, dan hendaklah setiap muslim menghindarinya, dan mencari pendapatan dengan cara yang dihalalkan Allah, dan itu banyak, hendaklah bertakwa kepada Allah Rabbnya, dengan tidak menjerumuskan dirinya kepada laknat Allah dan Rasul-Nya.

Pertama: bekerja di bank-bank yang bermuamalah dengan riba haram, baik itu di negara Islam atau kafir, karena termasuk tolong-menolong dalam dosa dan pemusuhan yang dilarang oleh Allah Subhanahu wa Ta’alaa dalam firman-Nya: (Tolong- menolonglah kalian dalam kebaikan dan ketakwaan dan jangan tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan) (QS Al-Maidah: 2).

Kedua: Yang nampak bagi kami tidak ada bagian tertentu di bank konvensional yang dikecualikan dalam Syariat yang suci ini, karena tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan terjadi diantara seluruh pegawai bank).

tidak boleh bekerja di lembaga-lembaga riba meskipun hanya sebagai supir atau satpam, karena masuknya dia sebagai pegawai di lembaga riba bermakna dia rela, karena yang mengingkari sesuatu tidak mungkin bekerja untuk kepentingannya, jika bekerja untuk kepentingannya maka berarti dia ridho dengannya, dan yang ridho dengan sesuatu yang diharamkan akan menanggung dosanya.

Adapun orang yang secara langsung bertugas dalam penulisan, pengiriman, penyimpanan, dan semacamnya maka tidak ragu lagi dia berhubungan langsung dengan hal haram. Telah diriwayatkan dari Jabir radhiallahu anhu dalam hadits yang shahih bahwa Nabi shallallahu ’alaihi wasallam melaknat pemakan riba, yang memberi makan riba, kedua saksinya, dan penulisnya dan beliau berkata: mereka semua sama).

Dan banyak lagi fatwa yang masyhur dan terkenal yang mengharamkan bekerja di bank-bank konvensional, apapun posisinya, maka bagi yang masih bekerja di bank-bank tersebut hendaklah bertaubat kepada Allah serta meninggalkan pekerjaannya, dan memohon kepada Allah dengan bertawakal kepada-Nya serta yakin bahwa rizki dari sisi Allah Subhanahu wa Ta’alaa: (Barang siapa yang bertakwa kepada Allah, maka Allah akan memberikannya jalan keluar dan memberikan rizki kepadanya dari arah yang tidak disangka-sangka. Barang siapa yang bertawakal kepada Allah maka Dia Yang mencukupinya. Sesungguhnya Allah akan menyampaikan urusannya. Allah telah menentukan takdir bagi segala urusan) (QS Ath-thalaq:2-3).

Hendaknya kita semua betul-betul mencamkan ayat diatas dan berpegang dengannya dalam segala urusan kita.

“…Tidak diperbolehkan bekerja di bank seperti ini (bank riba), sebab termasuk ta’awun di atas dosa dan permusuhan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُوا عَلَى اْلإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِ

“Dan tolong-menolonglah kalian dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kalian kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (Al-Ma`idah: 2)

.
Disebutkan dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau:

لَعَنَ آكِلَ الرِّبَا وَمُوْكِلَهُ وَكاَتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ: هُمْ سَوَاءٌ

“Melaknat pelaku riba, yang memberi riba, penulis dan kedua saksinya. Beliau berkata: ‘Mereka semua sama’.”

.

dengan dasar firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيْهَا خَالِدُوْنَ يَمْحَقُ اللهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ وَاللهُ لاَ يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيْمٍ

“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Rabbnya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.” (Al-Baqarah: 275-276)

.
Bertaubatlah dengan melakukan kepentingan-kepentingan kebaikan dan menyantuni fakir miskin, disertai dengan taubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala

.
Barangsiapa bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan taubat nasuha niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala menerima taubatnya dan mengampuni kesalahannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا تُوْبُوْا إِلَى اللهِ تَوْبَةً نَصُوْحًا عَسَى رَبُّكُمْ أَنْ يُكَفِّرَ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيُدْخِلَكُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا اْلأَنْهَارُ

“Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya, mudah-mudahan Rabb kalian akan menghapus kesalahankesalahan kalian dan memasukkan kalian ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai.” (At-Tahrim: 8)

.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman pula:

وَتُوْبُوْا إِلَى اللهِ جَمِيْعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُوْنَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ

“Dan bertaubatlah kalian semua kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kalian beruntung.” (An-Nur: 31)

Sistem ekonomi dalam Islam ditegakkan pada asas memerangi riba dan menganggapnya sebagai dosa besar yang dapat menghapuskan berkah dari individu dan masyarakat, bahkan dapat mendatangkan bencana di dunia dan di akhirat.

Hal ini telah disinyalir di dalam Al Qur’an dan As Sunnah serta telah disepakati oleh umat. Cukuplah kiranya jika Anda membaca firman Allah Ta’ala berikut ini:

“Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.” (Al Baqarah: 276)

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketabuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu …” (Al Baqarah: 278-279)

Mengenai hal ini Rasulullah saw. bersabda

“Apabila zina dan riba telah merajalela di suatu negeri, berarti mereka telah menyediakan diri mereka untuk disiksa oleh Allah.” (HR Hakim)1

Dalam peraturan dan tuntunannya Islam menyuruh umatnya agar memerangi kemaksiatan. Apabila tidak sanggup, minimal ia harus menahan diri agar perkataan maupun perbuatannya tidak terlibat dalam kemaksiatan itu. Karena itu Islam mengharamkan semua bentuk kerja sama atas dosa dan permusuhan, dan menganggap setiap orang yang membantukemaksiatan bersekutu dalam dosanya bersama pelakunya, baik pertolongan itu dalam bentuk moril ataupun materil, perbuatan ataupun perkataan. Dalam sebuah hadits hasan, Rasulullah saw. bersabda mengenai kejahatan pembunuhan:

“Kalau penduduk langit dan penduduk bumi bersekutu dalam membunuh seorang mukmin, niscaya Allah akan membenamkan mereka dalam neraka.” (HR Tirmidzi)

Sedangkan tentang khamar beliau saw. bersabda:

“Allah melaknat khamar, peminumnya, penuangnya, pemerahnya, yang meminta diperahkan, pembawanya, dan yang dibawakannya. ” (HR Abu Daud dan Ibnu Majah)

Demikian juga terhadap praktek suap-menyuap:

“Rasulullah saw. melaknat orang yang menyuap, yang menerima suap, dan yang menjadi perantaranya. ” (HR Ibnu Hibban dan Hakim)

Kemudian mengenai riba, Jabir bin Abdillah r.a. meriwayatkan:

“Rasulullah melaknat pemakan riba, yang memberi makan dengan hasil riba, dan dua orangyang menjadi saksinya.” Dan beliau bersabda: “Mereka itu sama.” (HR Muslim)

Ibnu Mas’ud meriwayatkan:

“Rasulullah saw. melaknat orang yang makan riba dan yang memberi makan dari hasil riba, dua orang saksinya, dan penulisnya.” (HR Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah, dan Tirmidzi)2

Sementara itu, dalam riwayat lain disebutkan:

“Orang yang makan riba, orang yang memben makan dengan riba, dan dua orang saksinya jika mereka mengetahui hal itu– maka mereka itu dilaknat lewat lisan Nabi Muhammad saw. hingga han kiamat.” (HR Nasa’i)

Hadits-hadits sahih yang sharih itulah yang menyiksa hati orang-orang Islam yang bekerja di bank-bank atau syirkah (persekutuan) yang aktivitasnya tidak lepas dari tulis-menulis dan bunga riba. Namun perlu diperhatikan bahwa masalah riba ini tidak hanya berkaitan dengan pegawai bank atau penulisnya pada berbagai syirkah, tetapi hal ini sudah menyusup ke dalam sistem ekonomi kita dan semua kegiatan yang berhubungan dengan keuangan, sehingga merupakan bencana umum sebagaimana yang diperingatkan Rasulullah saw.:

“Sungguh akan datang pada manusia suatu masa yang pada waktu itu tidak tersisa seorangpun melainkan akan makan riba; barangsiapa yang tidak memakannya maka ia akan terkena debunya.” (HR Abu Daud dan Ibnu Majah)

Kondisi seperti ini tidak dapat diubah dan diperbaiki hanya dengan melarang seseorang bekerja di bank atau perusahaan yang mempraktekkan riba. Tetapi kerusakan sistem ekonomi yang disebabkan ulah golongan kapitalis ini hanya dapat diubah oleh sikap seluruh bangsa dan masyarakat Islam. Perubahan itu tentu saja harus diusahakan secara bertahap dan perlahan-lahan sehingga tidak menimbulkan guncangan perekonomian yang dapat menimbulkan bencana pada negara dan bangsa. Islam sendiri tidak melarang umatnya untuk melakukan perubahan secara bertahap dalam memecahkan setiap permasalahan yang pelik. Cara ini pernah ditempuh Islam ketika mulai mengharamkan riba, khamar, dan lainnya. Dalam hal ini yang terpenting adalah tekad dan kemauan bersama, apabila tekad itu telah bulat maka jalan pun akan terbuka lebar.

Setiap muslim yang mempunyai kepedulian akan hal ini hendaklah bekerja dengan hatinya, lisannya, dan segenap kemampuannya melalui berbagai wasilah (sarana) yang tepat untuk mengembangkan sistem perekonomian kita sendiri, sehingga sesuai dengan ajaran Islam. Sebagai contoh perbandingan, di dunia ini terdapat beberapa negara yang tidak memberlakukan sistem riba, yaitu Iran

=========================

Bekerja di bank syariah:

Adapun bekerja di bank-bank syariat maka tidak mengapa apabila dapat dibuktikan bahwa itu benar-benar bank islami yang tidak bermuamalah kecuali dengan yang dihalalkan Allah.

Akan tetapi saat ini banyak Bank yang cuma berlabel syari’ah, misal : mereka cuma mau bagi untung tetapi tidak mau bagi rugi maka BANK berlabel syari’ah tersebut bukan Bank Syariah yang saya maksudkan disini

Sesungguhnya bank-bank syariat muncul sebagai upaya dari sebagian kaum muslimin yang sadar ingin membebaskan kaum muslimin dari dosa-dosa riba dan buruknya muamalah dengan riba, sehingga dibentuklah bentuk-bentuk transaksi yang diterapkan dalam muamalah sesama manusia yang lebih mendekati maksud syariat Insya Allah, akan tetapi muamalah-muamalah ini belum seluruhnya selamat dari riba atau syubhat riba.

Oleh karenanya, maka bermuamalah seperti ini dengan setiap lembaga yang hartanya masih bercampur, ada diantara ulama yang memfatwakan kebolehannya. Maka saya berpendapat tidak mengapa- Insya Allah – untuk menerima pekerjaan ini.

Ini benar Insya Allah, karena selama pihak manajemen bank menyatakan bahwa manajemen bank syariatnya terpisah dengan bank induknya yang konvesional, demikian juga menyatakan bahwa muamalahnya telah diusahakan sesuai dengan muamalah syariat maka kita tidak perlu lagi untuk memaksakan diri menyelidiki kebenarannya, karena Nabi shallallahu ’alaihi wasallam pernah diberi daging bakar oleh seorang wanita yahudi dan beliau tidak memaksakan diri untuk mencari tahu kepastian kehalalannya, seperti kita tahu bahwa makanan mereka dihalalkan untuk kita, padahal mereka termasuk orang yang bermuamalah dengan yang diharamkan seperti minuman keras atau daging babi dan sebagainya. Wallahu A’lam.

Melakukan muamalah riba adl dosa besar. Dan madzhab syi’ah imamiyah tidaklah menghukumi pelaku dosa besar sebagai kafir selama dia tdk menghalalkannya.Bahkan mereka tetap menetapkan ada keimanan si pelaku maksiat yg mensahkan keislaman sehingga ia tdk keluar dari lingkaran Islam.

Beda hal dgn Khawarij yg mengkafirkan pelaku dosa besar atau Mu’tazilah yg mengeluarkan pelaku dosa dari keimanan dan berada pada manzilah baina manzilatain tdk Islam tdk pula kafir.

Madzhab ahlusunnah wal jama’ah tidaklah menghukumi pelaku dosa besar sebagai kafir selama dia tdk menghalalkannya !! Mazhab Sunni Menghalalkan Kejahatan Mu’awiyah dan Oknum Sahabat Nabi dengan alasan salah ijtihad dan semua mereka adil !! jika Muawiyah mencela Imam Ali mereka mati-matian menyatakan salah ijtihad

.

Hukuman Bagi Pelaku Riba

Abdullah bin Mas’ud berkata:

لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّبَا وَمُؤْكِلَهُ

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yg memakan riba dan yg memberi riba.”
Ketika mendengar hadits tersebut dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu ‘Alqamah berkata: “ juru tulis dan dua saksinya?” Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata: “Yang kami sampaikan hanyalah yg kami dengar .”
Akan tetapi pada hadits yg diriwayatkan oleh Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu pertanyaan ‘Alqamah di atas terjawab. Beliau radhiyallahu ‘anhu berkata:

لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّبَا وَمُؤْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ، وَقَالَ: هُمْ سَوَاءٌ

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yg memakan riba memberi riba juru tulis dan dua saksinya. Beliau mengatakan: ‘Mereka itu sama’.”

Dua hadits di atas diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim rahimahullahu dlm Shahih- kitab Al-Musaqat bab Lu’ina Akilur Riba wa Mu’kiluhu no. 4068 dan 4069

.

muamalah yg tdk barakah ini telah menggurita di tengah masyarakat kita seolah menjadi bagian yg tdk terpisahkan dari denyut nadi perekonomian kita. Wallahul musta’an. Padahal keharaman riba demikian jelas dinyatakan dlm syariat yg mulia ini. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menurunkan ayat-Nya dari atas langit-Nya yg ketujuh:

الَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ الرِّبَا لاَ يَقُوْمُوْنَ إِلاَّ كَمَا يَقُوْمُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُوْنَ. يَمْحَقُ اللهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ وَاللهُ لاَ يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيْمٍ

“orang2 yg makan riba tdk dapat berdiri melainkan seperti berdiri orang yg kemasukan setan krn penyakit gila. Keadaan mereka yg demikian itu disebabkan mereka berkata sesungguh jual beli itu sama dgn riba padahal Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang2 yg telah sampai kepada larangan dari Rabb lalu berhenti mk bagi apa yg telah diambil dahulu dan urusan kepada Allah. Siapa yg mengulangi mk mereka itu adl penghuni neraka mereka kekal di dalamnya. Allah memusnahkan riba dan menumbuh-kembangkan sedekah2. Dan Allah tdk menyukai tiap orang yg tetap dlm kekafiran dan selalu berbuat dosa.”
Dalam ayat lain Dia Yang Maha Tinggi berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِيْنَ. فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللهِ وَرَسُوْلِهِ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوْسُ أَمْوَالِكُمْ لاَ تَظْلِمُوْنَ وَلاَ تُظْلَمُوْنَ

“Wahai orang2 yg beriman bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba jika kalian orang2 yg beriman. mk jika kalian tdk mengerjakan mk ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangi kalian. Dan jika kalian bertaubat mk bagi kalian pokok harta kalian kalian tdk menzalimi dan tdk pula dizalimi.”

.
Penyebutan dgn sifat jelek ada ancaman dan hukuman yg disebutkan dlm ayat-ayat di atas sangat cukup utk menunjukkan tdk diridhai perbuatan riba alias haram. Apalagi secara jelas Allah Subhanahu wa Ta’ala menegaskan:

وَحَرَّمَ الرِّبَا

“Dan Dia mengharamkan riba.”

.

“Ayat-ayat yg mulia di atas menunjukkan secara jelas tentang keras keharaman riba dan bahwa perbuatan riba termasuk dosa besar yg memasukkan pelaku ke dlm neraka. Sebagaimana pula ayat-ayat di atas menunjukkan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memusnahkan penghasilan orang yg melakukan riba dan menyuburkan sedekah. Yakni Allah Subhanahu wa Ta’ala menjaga dan menumbuhkembangkan harta sedekah utk pelaku sehingga harta yg sedikit menjadi banyak bila diperoleh dari penghasilan yg baik. dlm ayat yg akhir disebutkan secara jelas bahwa orang yg melakukan riba adl orang yg memerangi Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya. Yang wajib dia lakukan adl bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mengambil pokok dari harta tanpa tambahannya.”

“Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan tentang pemakan riba dan jelek akibat yg mereka tuai. Dikabarkan bahwa mereka tdk akan bangkit dari kubur mereka pada hari kebangkitan nanti melainkan ‘seperti berdiri orang yg kemasukan setan krn penyakit gila’. Mereka bangkit dari kubur dlm keadaan bingung mabuk goncang dan merasa pasti akan ditimpakan hukuman yg besar serta bencana yg menyulitkan..”

.

ketika menafsirkan ayat:

فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللهِ وَرَسُوْلِهِ

“Maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangi kalian.”
Beliau berkata: “Makna ayat ini ada dua sisi:
Pertama: Jika kalian tdk berhenti dari perbuatan riba mk Aku akan memerintahkan Nabi utk memerangi kalian.
Kedua: Jika kalian tdk berhenti dari perbuatan riba berarti kalian adl orang yg diperangi oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya.”
Dari empat ayat dlm Surat Al-Baqarah di atas dapat disimpulkan bahwa akibat buruk/ hukuman yg diperoleh pelaku riba adl sebagai berikut:
1. Dibangkitkan dari kubur pada hari kiamat nanti seperti orang gila krn kerasukan setan.
Qatadah rahimahullahu berkata: “Yang demikian itu merupakan tanda pada hari kiamat bagi orang yg melakukan riba. Mereka dibangkitkan dlm keadaan berpenyakit gila.”
Adapula yg memaknakan: “Manusia pada hari kiamat nanti keluar dari kubur mereka dgn segera. Namun pemakan riba menggelembung perut ia ingin segera keluar dari kubur namun ia terjatuh. Jadilah dia seperti keberadaan orang yg jatuh bangun kesurupan krn gila.”
2. Diancam kekal dlm neraka.
3. Harta yg diperoleh dari riba akan dihilangkan barakahnya. Bila pelaku menginfakkan sebagian dari harta riba tersebut niscaya ia tdk akan diberi pahala bahkan akan menjadi bekal bagi dia utk menuju neraka. Demikian dinyatakan Al-Allamah Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah.
4. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَاللهُ لاَ يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيْمٍ

“Dan Allah tdk menyukai tiap orang yg tetap dlm kekafiran dan selalu berbuat dosa.”

.

Dari hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yg disebutkan di awal pembahasan pun kita dapatkan ‘uqubah atau hukuman yg didapatkan oleh pihak-pihak yg bersentuhan dgn muamalah ribawi dan menjadi saksi atas muamalah ribawi tersebut. Sehingga kita dapatkan kejelasan tentang haram tolong menolong di atas kebatilan.

laknat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap orang yg mengambil dan memberi riba mencatat transaksi ribawi dan menjadi saksinya. Mendapatkan laknat berarti mendapatkan celaan dan terjauhkan dari rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena laknat memiliki dua makna:
Pertama: bermakna celaan dan cercaan.
Kedua: bermakna terusir dan terjauhkan dari rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Dengan demikian pihak-pihak yg bersentuhan dgn muamalah ribawi ini terjauhkan dari rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Padahal seorang hamba amat sangat membutuhkan rahmat-Nya

.
“Mereka semua mendapatkan laknat krn bersekutu dlm berbuat dosa.”
Di dlm ayat yg telah lewat penyebutan Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

يَمْحَقُ اللهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ

“Allah memusnahkan riba dan menumbuhkembangkan sedekah.”

.
Pemusnahan harta riba itu bisa jadi dgn musnah seluruh harta tersebut dari tangan pemilik ataupun dgn Allah Subhanahu wa Ta’ala menghilangkan barakah dari harta tersebut sehingga pemilik tdk dapat mengambil manfaatnya. Bahkan ia akan kehilangan harta itu di dunia dan nanti di hari kiamat ia akan beroleh siksa. Karena yg nama harta riba –walaupun kelihatan banyak– akhir akan sedikit dan hina. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ رِبًا لِيَرْبُوَ فِي أَمْوَالِ النَّاسِ فَلاَ يَرْبُو عِنْدَ اللهِ

“Apa yg kalian datangkan dari suatu riba guna menambah harta manusia mk sebenar riba itu tdk menambah harta di sisi Allah.”

.

Dan seluruh pihak yg terlibat di dlm terkena laknat mulai dari pihak yg mengambil riba tersebut maupun pihak yg memberi . Karena riba itu tdk akan berlangsung/terjadi jika tdk memberinya. Oleh sebab itulah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan . Begitu pula juru tulis dan saksi semua melanggar firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَلاَ تَعَاوَنُوا عَلَى اْلإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ

“Janganlah kalian berta’awun dlm melakukan dosa dan permusuhan.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ يَتَصَدَّقُ أَحَدٌ بِتَمْرَةٍ مِنْ كَسْبٍ طَيِّبٍ إِلاَّ أَخَذَهَا اللهُ بِيَمِيْنِهِ، فيُرَبِّيْهَا كَمَا يُرَبِّي أَحَدُكُمْ فَلُوَّهُ أَوْ قَلُوْصَهُ، حَتَّى تَكُوْنَ مِثْلَ الْجَبَلِ أَوْ أَعْظَمَ

“Tidaklah seseorang menyedekahkan sebuah kurma dari penghasilan yg baik melainkan Allah akan mengambil dgn tangan kanan-Nya lalu Dia memelihara sebagaimana salah seorang kalian memelihara anak unta yg telah disapih dari induk hingga sedekah itu menjadi semisal gunung atau lbh besar lagi.”

Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: أَكْلُ الرِّباَ arti “makan riba.” Beliau menyebut dgn “makan” krn makan merupakan sisi kemanfaatan yg paling umum. Demikian dikatakan ahlul ilmi. Karena itulah Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentang Bani Israil:

وَأَخْذِهِمُ الرِّبَا وَقَدْ نُهُوا عَنْهُ

“Dan disebabkan mereka mengambil riba padahal sesungguh mereka telah dilarang darinya”
Allah tdk menyatakan: أَكْلِهِمُ الرِّباَ krn kata اْلأَخْذُ lbh umum daripada اْلأَكْلُ. Sehingga makan riba makna adl mengambil riba. Sama saja baik dimanfaatkan utk dimakan atau utk permadani bangunan tempat tinggal atau yg selainnya.

Hukum Pengambilan Pajak dari Barang-barang atau Perbuatan Haram

Hukum Pengambilan Pajak dari Barang-barang atau Perbuatan Haram

Sudah menjadi rahasia umum serta didukung dengan dalil-dalil qath’i bahwa khamr, perjudian dan perzinahan adalah perbuatan yang diharamkan Allah swt.

Oleh karena itu tidak diperbolehkan bagi negara mengambil pajak dari perdagangan khamr, judi atau tempat-tempat perzinahan berapa pun besar prosentasenya dan apa pun alasannya.

Mengambil pajak darinya bisa berarti ridho dengan kemunkaran tersebut dan termasuk bekerjasama dalam perbuatan dosa dan maksiat yang dilarang Allah swt:

وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ

Artinya: “Dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (QS. Al-Maidah [5] : 2)

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil.” (QS. An-Nisaa [4] : 29)

Pajak hanya bisa diambil dari barang-barang yang dihalalkan Allah yang disertai persyaratan tidak cukupnya keuangan baitul mal dan diharuskan pengembalian manfaat dari pajak seluruhnya kepada rakyat.

Abu Daud meriwayatkan dari ‘Uqbah bin ‘Amir, ia berkata; “Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Tidak akan masuk surga orang yang mengambil pajak secara zhalim’.”

segala sesuatu yang mengarahkan atau mendekatkan manusia kepada perbuatan haram maka hukumnya adalah haram

Tunduk Kepada Syariat Allah Sikap Seorang Mukmin

Diwajibkan bagi seorang Mukmin untuk menerima semua hukum Allah swt serta tunduk kepadanya baik dalam perkara-perkara yang bisa dicerna oleh akalnya maupun tidak. Seorang mukmin haruslah meyakini bahwa tidaklah Allah menentukan halal atau haram pada sesuatu kecuali didalamnya terdapat kebaikan dan kemaslahatan bagi hamba-hamba-Nya. Firman Allah swt:

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا (36)

Artinya: “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. dan Barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya Maka sungguhlah Dia telah sesat, sesat yang nyata.” (QS. Al-Ahzab [33] : 36)

إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ (51)

Artinya: “Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan. “Kami mendengar, dan Kami taat”. dan mereka Itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. An-Nuur [24] : 51)

Bertahap dalam Penerapan bukan Bertahap dalam Hukum Syariat

Adapun alasan perlunya bertahap dalam menghilangkan khamr, perjudian atau perzinahan dengan cara-cara menaikan pajak, melokalisir, atau membatasi pengunjungnya dengan berdalil pada tahapan pengharaman khamr pada masa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah tidak benar dan menggunakan dalil yang benar untuk tujuan yang salah.

Betul bahwa syariat islam diturunkan tidak sekaligus akan tetapi dengan cara bertahap, sedikit demi sedikit sehingga menjadi sempurna. Hal ini bisa kita lihat pada diturunkannya al Qur’an sebagaimana firman Allah swt :

وَقُرْآَنًا فَرَقْنَاهُ لِتَقْرَأَهُ عَلَى النَّاسِ عَلَى مُكْثٍ وَنَزَّلْنَاهُ تَنْزِيلًا (106)

Artinya: “Dan Al Quran itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian.” (QS. Al-Israa [17] : 106)

Begitu juga dengan pengharaman khamr dan riba dengan cara bertahap kepada generasi pertama umat ini di masa-masa awal islam. Akan tetapi tahapan-tahapan yang disebutkan pada dalil-dalil diatas bukan menjadi alasan pada hari ini untuk bertahap pula dalam pengharaman khamr, judi dan zina secara mutlak.

Karena tahapan-tahapan tersebut terjadi pada masa-masa awal islam sementara pada hari ini agama islam telah sempurna dan syariat Allah telah diteguhkan,

sebagaimana firman-Nya:

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا

Artinya: “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu.”(QS. Al-Maidah [5] : 2-3)

Jadi bertahap yang dimaksudkan di sini adalah bertahap dalam penerapan undang-undang syariat bukan bertahap dalam hukum syariat karena hukum terhadap khamr, judi atau zina telah final yaitu haram.

Hal ini mengandung pengertian bahwa segala sesuatu yang mengarahkan atau mendekatkannya kepada perbuatan haram tersebut adalah haram.

وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا (32)

Artinya: “Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Isra [17] : 32)

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (90)

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah Termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Al-Maidah [5] : 90)

… kata yang digunakan pada kedua ayat tersebut adalah “janganlah kamu mendekati” dan “jauhilah” hal ini mengandung pengertian bahwa segala sesuatu yang bisa mendekatkan kepada perbuatan haram tersebut adalah haram.

Kalaulah dibolehkan seseorang berpendapat hari ini bahwa untuk menghilangkan khamr, judi atau zina dengan cara menaikkan pajaknya hingga puluhan persen, atau hanya diberlakukan di tempat-tempat khusus, atau untuk orang-orang tertentu saja maka bisa pula kemudian dikatakan pada saat sekarang ini riba dibolehkan jika sedikit, atau dibolehkan untuk orang-orang tertentu, atau boleh jika di tempatkan pada lokasi-lokasi tertentu?!

Jika demikian sama saja artinya mengharamkan khamr atau riba pada keadaan tertentu dan menghalalkannya pada keadaan yang lain, mengharamkannya terhadap orang-orang tertentu dan menghalalkannya terhadap yang lainnya padahal syariat Allah swt terhadap pengharamannya telah sempurna.

Inilah yang dimaksud dengan tidak tadarruj (bertahap) dalam hukum syariat yang telah ditetapkan Allah swt.

Adapun bertahap dalam penerapan hukum-hukum syariat adalah menerapkan perundang-undangan yang berdasarkan syariat Allah itu disesuaikan dengan kesiapan negeri tersebut. Jika suatu negeri baru memiliki kesiapan untuk menerapkan hukum pengharaman riba didalam setiap pratek-pratek muamalah maka hukum pengharaman riba ini harus diterapkan.

Kemudian apabila negeri ini telah memiliki kesiapan untuk penerapan had (hukum Islam) terhadap para pencuri maka penerapan hukum islam terhadap pencuri ini pun harus segera diterapkan. Dengan terus berusaha dan memiliki kemauan kuat untuk merubah hukum buatan manusia dengan hukum Allah swt secara bertahap, sedikit demi sedikit maka hukum Allah seluruhnya bisa diterapkan di negeri tersebut.

Firman Allah swt :

Artinya : “Maka bertakwalah kepada Allah menurut kesanggupanmu.” (QS. at Taghabun : 16)

2 comments to "Tidak boleh bekerja di bank..????Benarkah??!!!"

  1. Anonymous says:

    di saat kondisi cari kerja susah. apakah tetap diharamkan kerja di bank konvensional? bagaimana dengan anak & istrinya ? mau diberi makan apa?

  2. Anonymous says:

    Masih banyak pekerjaan yang halal koq. :) . "Bagaimana dengan anak istri?.. Mau diberi makan apa?". Subhanallah!!.. Bertobatlah dari ucapanmu. Karna sesungguhnya Allah tidak akan mengurangi rezkimu jika kamu berjuang di jalan yang haq..!!

Leave a comment