AS Provokasi Arab untuk Sudutkan Iran
Kementerian Luar Negeri Iran membantah tuduhan berulang negara-negara Arab di Teluk Persia bahwa Tehran mencampuri urusan internal mereka.
Dalam sebuah pernyataan pada hari Selasa, Bahrain, Kuwait, Oman, Qatar, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab, yang tergabung dalam Dewan Kerjasama Teluk Persia (P-GCC), kembali menuduh Iran mengintervensi urusan internal Arab.
"Statemen tersebut adalah tudingan palsu dan tak berdasar, yang dibuat oleh pejabat Amerika Serikat," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri Iran, Ramin Mehmanparast pada hari Rabu (12/12). Ditambahkannya, klaim itu tidak benar dan menunjukkan kebijakan unilateral beberapa negara anggota P-GCC.
Seraya mengecam pernyataan P-GCC, Mehmanparast menilai sikap seperti itu bertentangan dengan semangat interaksi Republik Islam Iran dengan negara-negara lain. Ditegaskannya, kebijakan luar negeri Iran didasarkan pada hidup rukun dengan negara-negara tetangga, sikap saling menghormati, dan menghindari intervensi dalam urusan negara lain.
Menurut Mehmanparast, ada baiknya rezim-rezim Arab memenuhi tuntutan sah rakyatnya daripada menindas mereka seperti yang terjadi di Bahrain, Arab Saudi, Yaman, dan Mesir.
"Kekerasan dan penumpasan selain tidak membantu mengurangi masalah yang dihadapi, tetapi juga akan menyebarkan ketidakstabilan dan ketidakamanan di seluruh kawasan," ujarnya.
Pada kesempatan itu, Mehmanparast juga menepis kekhawatiran negara-negara Arab terkait program nuklir Iran. Ditegaskannya, aktivitas nuklir Republik Islam bersifat damai, transparan, dan berada dalam kerangka Badan Energi Atom Internasional (IAEA). (IRIB Indonesia/RM)
Ketika P-GCC Amini Dikte AS
Para pemimpin negara-negara Dewan Kerjasama Teluk Persia (P-GCC) di akhir sidangnya mengungkapkan statemen provokatif yang menyatakan kekhawatirannya terhadap atas apa yang mereka sebut sebagai "Intervensi Iran". Anggota P-GCC Selasa (20/12) dalam sebuah statemen terbarunya di Riyadh menuding Republik Islam Iran mengintervensi negara-negara kawasan.
Anggota P-GCC mengklaim bahwa mereka sangat khawatir atas berlanjutnya intervensi Iran dalam berbagai urusan internal negaranya. Mereka menuntut Iran menghentikan campur tangannya tersebut.
Sementara itu, Republik Islam Iran berulang kali menekankan bahwa kebijakannya untuk urusan regional senantiasa bertumpu pada prinsip menghargai negara tetangga, saling menghormati dan tidak mencampuri urusan internal negara lain. Dan Tehran selama ini memegang teguh komitmennya itu.
Dewan Kerjasama Teluk yang terdiri dari Qatar, Uni Emirat Arab, Bahrain, Arab Saudi, Kuwait dan Oman dibentuk sebagai reaksi atas kemenangan Revolusi Islam Iran. Meski tiga dekade telah berlalu sejak berdirinya organisasi negara Arab di pesisir Teluk Persia itu, namun para pemimpin keenam negara Arab ini tidak mengambil pelajaran dari pengalaman sejarah regional selama ini. Mereka tetap saja mengekor dikte Iranphobia yang dihembuskan Washington dan London dengan menganggap Iran sebagai ancaman di kawasan.
Kawasan Teluk Persia yang memiliki kekayaan sumber daya alam yang melimpah, terutama minyak dan gasnya, menjadi incaran ketamakan negara-negara arogan dunia. Pembentukan P-GCC tidak bisa dilepaskan dari tujuan imperialis Barat menguasai sumber energi itu. Berdirinya negara-negara Arab anggota P-GCC merupakan hasil dari pembagian kekuasaan ala imperialis Inggris di abad 19, yang bertumpu pada sistem kekuasaan tribal dan monarki.
Kini, gelombang kebangkitan rakyat di kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara memicu kekhawatiran para penguasa Arab yang tidak demokratis itu. Penandatanganan nota kesepakatan keamanan antara para penguasa rezim-rezim Arab di kawasan Teluk Persia dan AS semakin membuka jalan lebih lapang bagi Washington untuk mengintervensi kawasan dan menjarah sumber daya alamnya.
Gedung Putih memanfaatkan situasi dan kondisi tersebut untuk meningkatkan pengaruhnya demi mewujudkan ambisi haramnya menguasai emas hitam Timur Tengah.
Menghadapi kebangkitan rakyat sejak awal 2011 yang berhasil menggulingkan rezim diktator dukungan Barat semacam Ben Ali di Tunisia, dan Mubarak di Mesir, rezim-rezim monarki Arab berupaya menyelamatkan kekuasaannya dengan berlindung kepada Barat dan mendengarkan seluruh dikte Washington dan London.
Statemen terbaru anti-Iran anggota P-GCC merupakan bagian dari dikte Barat untuk menyulut instabilitas di kawasan. Sejatinya, negara-negara anggota Dewan Kerjasama Teluk Persia (P-GCC) tidak mengambil pelajaran dari ketamakan AS di Irak di masa diktator Saddam.
Ketika negara-negara Arab bahu-membahu mendukung rezim Baath Irak menyerang Iran dalam perang suci yang berlangsung selama delapan tahun, pada akhirnya mereka sendirilah yang merugi. Saddam Husein justru mencaplok Kuwait dengan skenario AS. Dan Washington kemudian menginvasi Irak untuk menumbangkan Saddam, bonekanya sendiri.
Tampaknya, Gedung Putih tidak menutup kemungkinan akan melakukan hal serupa terhadap para penguasa Arab anggota P-GCC, setelah mereka sudah tidak diperlukan lagi. Isu Iranphobia hanya alat untuk menutupi masalah besar ini.(IRIB Indonesia/PH)
Kritik Keras Venezuela atas Pernyataan Intervensif Obama
Hugo Chavez, Presiden Venezuela mengkritik keras pernyataan intervensif Barack Obama, Presiden Amerika soal urusan hubungan Venezuela dan Iran. Chavez menegaskan, "Untuk meraih suara di pemilu presiden mendatang Amerika dan menutup-nutupi krisis ekonomi Amerika, Obama lebih memilih mencampuri urusan dalam negeri negara lain."
Surat kabar El Universal edisi hari Senin (19/12) mempublikasikan teks wawancaranya dengan Presiden Barack Obama yang isinya menyoal hubungan pemerintah Caracas dengan Tehran dan Kuba.
Presiden Obama di wawancaranya mengatakan, "Bangsa Venezuela merupakan bangsa besar dengan banyak prestasi. Amerika tidak punya keinginan untuk mencampuri hubungan luar negeri Venezuela. Sekalipun demikian, saya percaya hubungan pemerintah Venezuela dengan Iran dan Kuba tidak punya manfaat bagi Venezuela sendiri dan rakyatnya."
Menurut para pakar politik, campur tangan Amerika terkait urusan dalam negeri Venezuela punya dua alasan utama. Pertama, kekalahan berturut-turut Amerika dalam memajukan tujuannya di kawasan Amerika Latin. Sementara alasan kedua, kekhawatiran Gedung Putih atas semakin meningkatnya pengaruh para pesaingnya seperti Cina, Rusia, Uni Eropa, Iran, India dan Afrika Selatan di Amerika Latin. Sementara pada saat yang sama rakyat di kawasan ini semakin tidak percaya kepada Amerika. Menurunnya pengaruh Amerika di kawasan Amerika Latin sebenarnya lebih dikarenakan kinerja buruk Amerika sendiri, sejak Monroe Doctrine diterapkan tahun 1823.
Sejak itu hingga sekarang, Amerika senantiasa berusaha memainkan peran God Father di Amerika Latin. Gedung Putih gencar melancarkan serangan militer maupun non-militer di seluruh dunia untuk menumbangkan pemerintahan-pemerintahan yang independen dari Amerika.
Pada dekade 1970-an Amerika berusaha keras memastikan kepentingannya di negara-negara Amerika Latin dengan medukung pemerintahan berhaluan sayap kanan. Dukungan Gedung Putih terhadap Pinochet saat mengkudeta Salvador Allende di Chili, termasuk bagian dari langkah-langkah Amerika di Amerika Latin. Masalah ini dapat dianalisa dengan mudah dari pernyataan terbaru Presiden Barack Obama saat diwawancarai surat kabar El Universal.
Tapi tampaknya Amerika tidak pernah belajar dari pengalaman. Karena biasanya, bimbingan intervensif semacam ini dari politikus Amerika justru menciptakan friksi dan jurang yang lebih besar dari negara-negara tersebut dengan Amerika. Terlebih lagi, dalam hubungan internasional saat ini, rakyat menilai mereka yang berhak menentukan nasib bangsa dan negaranya. Rakyat setiap negara paling benci dengan pernyataan intervensif dari negara lain, sekalipun negara yang mencampuri urusan dalam negerinya lebih kuat. (IRIB Indonesia/SL/NA)
Surat kabar El Universal edisi hari Senin (19/12) mempublikasikan teks wawancaranya dengan Presiden Barack Obama yang isinya menyoal hubungan pemerintah Caracas dengan Tehran dan Kuba.
Presiden Obama di wawancaranya mengatakan, "Bangsa Venezuela merupakan bangsa besar dengan banyak prestasi. Amerika tidak punya keinginan untuk mencampuri hubungan luar negeri Venezuela. Sekalipun demikian, saya percaya hubungan pemerintah Venezuela dengan Iran dan Kuba tidak punya manfaat bagi Venezuela sendiri dan rakyatnya."
Menurut para pakar politik, campur tangan Amerika terkait urusan dalam negeri Venezuela punya dua alasan utama. Pertama, kekalahan berturut-turut Amerika dalam memajukan tujuannya di kawasan Amerika Latin. Sementara alasan kedua, kekhawatiran Gedung Putih atas semakin meningkatnya pengaruh para pesaingnya seperti Cina, Rusia, Uni Eropa, Iran, India dan Afrika Selatan di Amerika Latin. Sementara pada saat yang sama rakyat di kawasan ini semakin tidak percaya kepada Amerika. Menurunnya pengaruh Amerika di kawasan Amerika Latin sebenarnya lebih dikarenakan kinerja buruk Amerika sendiri, sejak Monroe Doctrine diterapkan tahun 1823.
Sejak itu hingga sekarang, Amerika senantiasa berusaha memainkan peran God Father di Amerika Latin. Gedung Putih gencar melancarkan serangan militer maupun non-militer di seluruh dunia untuk menumbangkan pemerintahan-pemerintahan yang independen dari Amerika.
Pada dekade 1970-an Amerika berusaha keras memastikan kepentingannya di negara-negara Amerika Latin dengan medukung pemerintahan berhaluan sayap kanan. Dukungan Gedung Putih terhadap Pinochet saat mengkudeta Salvador Allende di Chili, termasuk bagian dari langkah-langkah Amerika di Amerika Latin. Masalah ini dapat dianalisa dengan mudah dari pernyataan terbaru Presiden Barack Obama saat diwawancarai surat kabar El Universal.
Tapi tampaknya Amerika tidak pernah belajar dari pengalaman. Karena biasanya, bimbingan intervensif semacam ini dari politikus Amerika justru menciptakan friksi dan jurang yang lebih besar dari negara-negara tersebut dengan Amerika. Terlebih lagi, dalam hubungan internasional saat ini, rakyat menilai mereka yang berhak menentukan nasib bangsa dan negaranya. Rakyat setiap negara paling benci dengan pernyataan intervensif dari negara lain, sekalipun negara yang mencampuri urusan dalam negerinya lebih kuat. (IRIB Indonesia/SL/NA)
Gelombang Konspirasi Baru Anti Irak Pasca Penarikan Tentara AS
Bila keluarnya pasukan terakhir Amerika dari Irak merupakan peristiwa yang menyenangkan rakyat Irak, ternyata bukti-bukti menunjukkan Irak masih diancam bahaya anasir dalam dan luar negeri. Sejatinya, konspirasi anti Irak tengah terbentuk yang menarget stabilitas politik dan keamanan negara ini. Mencermati kejadian beberapa hari lalu di Irak dan terungkapnya sebagian berita mengenai pergerakan sebagian negara-negara Arab terhadap Irak dapat dijadikan bukti yang memperkuat asumsi sebelumnya.
Bukti pertama terkait dengan keluarnya anggota list al-Iraqiya yang dipimpin Iyad Allawi dari parlemen Irak. Setelah aksi ini ditempuh koalisi al-Iraqiya, kini kita menyaksikan menteri-menteri dari koalisi ini ikut keluar dari kabinet Irak yang dipimpin Nouri al-Maliki. Langkah koalisi al-Iraqiya ini dilakukan hanya beberapa hari pasca pengumuman berakhirnya perang Irak. Tentu saja langkah ini bukan kebetulan. Para pengamat meyakini bahwa koalisi al-Iraqiya dalam aksinya yang masih satu paket dengan strategi Washington berusaha melemahkan kabinet Nouri al-Maliki agar dapat mengambil poin darinya. Khususnya ketika menteri pertahanan dan keamanan nasional masih kosong hingga saat ini.
Iyad Allawi tahu benar betapa Nouri al-Maliki masih membutuhkan koalisi dengan partai-partai pemenang pemilu demi mempertahankan menteri-menteri di kabinetnya. Untuk itu, keluarnya wakil-wakil koalisi al-Iraqiya dari parlemen dan kabinet bertujuan menekan PM Maliki merusak citra kabinet yang dipimpinnya. Di sisi lain, Amerika masih terus berusaha menekan Maliki agar menerima pemberian kekebalan hukum kepada tentara AS yang masih tinggal di Irak untuk melatih tentara Irak. Dalam lawatan terbaru Nouri al-Maliki ke Washington, secara lantang ia menolak pemberian hak istimewa itu. Tapi yang terjadi saat ini, Amerika berusaha menekan Baghdad lewat kelompok-kelompok Irak yang sejalan dengan Washington.
Tapi kenyataannya, Amerika tidak cukup hanya memprovokasi kelompok-kelompok di Irak sendiri, tapi telah melangkah lebih jauh mengajak sebagian negara-negara Arab sekutunya untuk turut menekan PM Maliki. Sumber-sumber keamanan Irak di hari-hari terakhir mengungkap pergerakan sebagian negara-negara anggota Dewan Kerjasama Teluk Persia (P-GCC) terhadap Irak. Arab Saudi, Qatar dan Uni Emirat Arab merupakan tiga negara anggota organisasi ini yang paling getol menekan Irak. Untuk itu mereka melakukan hubungan dengan anasir Baath untuk melicinkan jalan menekan pemerintahan Baghdad.
Selama beberapa bulan ini kota Dubai dan Doha menjadi tamu bagi para anasir Baath Irak. Mungkin agak terlalu dipaksakan bila menghubungkan kunjungan anasir-anasir Baath Irak ke kedua kota ini. Tapi bila menelisik lebih jauh bahwa dinas rahasia Zionis Israel, Amerika dan Inggris punya kantor di dua kota ini, maka lawatan berulang kali para anasir Baath ke Doha dan Dubai punya makna yang lain. Hal ini diperkuat dengan data bahwa kebanyakan aksi teroris dan peledakan yang merusak stabilitas keamanan Irak didalangi oleh anasir-anasir Baath, Amerika dan Israel.
Sementara di sisi lain, Arab Saudi dan Qatar lewat kanal Wahabi dan Baath berusaha menebar perang etnis dan agama di Irak. Pasukan Irak baru-baru ini menangkap sejumlah teroris yang mengakui tiba di Irak berkat lobi Arab Saudi lewat perbatasan Yordania. Tujuan mereka adalah meneror sejumlah tokoh Ahli Sunnah dan menunjukkan seakan-akan pelakunya berasal dari Syiah.
Tak syak bahwa keluarnya tentara AS dari Irak membuat sebagian kelompok dalam negeri yang berafiliasi dengan Barat dan sekutu Amerika di Arab mengkhawatirkan kombinasi struktur kekuasaan di Irak. Untuk itu mereka sepakat membuat Irak berada dalam kondisi kacau yang dipahami sebagai ketidakmampuan pemerintah mengontrol keadaan pasca penarikan pasukan AS. Dengan demikian, diharapkan muncul wacana baru untuk mengembalikan kehadiran tentara AS di Irak.
Tapi pemerintah Baghdad tidak tinggal diam menyaksikan konspirasi itu dan menyatakan akan menindak tegas setiap pelaku instabilitas politik dan keamanan. Baghdad tidak akan membiarkan pihak asing mengintervensi urusan dalam negeri Irak. (IRIB Indonesia/SL/NA)
Bukti pertama terkait dengan keluarnya anggota list al-Iraqiya yang dipimpin Iyad Allawi dari parlemen Irak. Setelah aksi ini ditempuh koalisi al-Iraqiya, kini kita menyaksikan menteri-menteri dari koalisi ini ikut keluar dari kabinet Irak yang dipimpin Nouri al-Maliki. Langkah koalisi al-Iraqiya ini dilakukan hanya beberapa hari pasca pengumuman berakhirnya perang Irak. Tentu saja langkah ini bukan kebetulan. Para pengamat meyakini bahwa koalisi al-Iraqiya dalam aksinya yang masih satu paket dengan strategi Washington berusaha melemahkan kabinet Nouri al-Maliki agar dapat mengambil poin darinya. Khususnya ketika menteri pertahanan dan keamanan nasional masih kosong hingga saat ini.
Iyad Allawi tahu benar betapa Nouri al-Maliki masih membutuhkan koalisi dengan partai-partai pemenang pemilu demi mempertahankan menteri-menteri di kabinetnya. Untuk itu, keluarnya wakil-wakil koalisi al-Iraqiya dari parlemen dan kabinet bertujuan menekan PM Maliki merusak citra kabinet yang dipimpinnya. Di sisi lain, Amerika masih terus berusaha menekan Maliki agar menerima pemberian kekebalan hukum kepada tentara AS yang masih tinggal di Irak untuk melatih tentara Irak. Dalam lawatan terbaru Nouri al-Maliki ke Washington, secara lantang ia menolak pemberian hak istimewa itu. Tapi yang terjadi saat ini, Amerika berusaha menekan Baghdad lewat kelompok-kelompok Irak yang sejalan dengan Washington.
Tapi kenyataannya, Amerika tidak cukup hanya memprovokasi kelompok-kelompok di Irak sendiri, tapi telah melangkah lebih jauh mengajak sebagian negara-negara Arab sekutunya untuk turut menekan PM Maliki. Sumber-sumber keamanan Irak di hari-hari terakhir mengungkap pergerakan sebagian negara-negara anggota Dewan Kerjasama Teluk Persia (P-GCC) terhadap Irak. Arab Saudi, Qatar dan Uni Emirat Arab merupakan tiga negara anggota organisasi ini yang paling getol menekan Irak. Untuk itu mereka melakukan hubungan dengan anasir Baath untuk melicinkan jalan menekan pemerintahan Baghdad.
Selama beberapa bulan ini kota Dubai dan Doha menjadi tamu bagi para anasir Baath Irak. Mungkin agak terlalu dipaksakan bila menghubungkan kunjungan anasir-anasir Baath Irak ke kedua kota ini. Tapi bila menelisik lebih jauh bahwa dinas rahasia Zionis Israel, Amerika dan Inggris punya kantor di dua kota ini, maka lawatan berulang kali para anasir Baath ke Doha dan Dubai punya makna yang lain. Hal ini diperkuat dengan data bahwa kebanyakan aksi teroris dan peledakan yang merusak stabilitas keamanan Irak didalangi oleh anasir-anasir Baath, Amerika dan Israel.
Sementara di sisi lain, Arab Saudi dan Qatar lewat kanal Wahabi dan Baath berusaha menebar perang etnis dan agama di Irak. Pasukan Irak baru-baru ini menangkap sejumlah teroris yang mengakui tiba di Irak berkat lobi Arab Saudi lewat perbatasan Yordania. Tujuan mereka adalah meneror sejumlah tokoh Ahli Sunnah dan menunjukkan seakan-akan pelakunya berasal dari Syiah.
Tak syak bahwa keluarnya tentara AS dari Irak membuat sebagian kelompok dalam negeri yang berafiliasi dengan Barat dan sekutu Amerika di Arab mengkhawatirkan kombinasi struktur kekuasaan di Irak. Untuk itu mereka sepakat membuat Irak berada dalam kondisi kacau yang dipahami sebagai ketidakmampuan pemerintah mengontrol keadaan pasca penarikan pasukan AS. Dengan demikian, diharapkan muncul wacana baru untuk mengembalikan kehadiran tentara AS di Irak.
Tapi pemerintah Baghdad tidak tinggal diam menyaksikan konspirasi itu dan menyatakan akan menindak tegas setiap pelaku instabilitas politik dan keamanan. Baghdad tidak akan membiarkan pihak asing mengintervensi urusan dalam negeri Irak. (IRIB Indonesia/SL/NA)
"Mereka sendiri (Barat) telah menimbun ribuan bom atom, tapi menuduh bangsa kita sedang mengejar senjata nuklir," kata Presiden Republik Islam Iran Mahmoud Ahmadinejad dalam salah satu pidatonya.
Irandituduh oleh Amerika Serikat, rezim Zionis Israel dan sekutu Baratnya memproduksi senjata nuklir, dan mengancam dengan sebuah serangan militer jika tidak menghentikan kegiatannya. Namun, Tehran membantah tuduhan itu dan menilainya sebagai gerakan tipu daya Barat terhadap bangsa Iran dan dunia.
Iranterus-menerus digambarkan sebagai ancaman bagi dunia dan Tehran dituding berniat untuk memperoleh senjata nuklir. Ironisnya, mereka yang berada di garis depan menentang bangsa Iran adalah produsen terbesar dan pemasok senjata nuklir, baik itu AS, Inggris, Israel, Perancis ataupun Jerman. Kekuatan-kekuatan super ini juga telah menjadi pelopor dalam pelanggaran hak asasi manusia internasional dengan mengobarkan perang dan penggunaan senjata mematikan. Perang di Afghanistan, Irak dan pembunuhan sehari-hari di Gaza dan Tepi Barat adalah bukti kekejaman mereka.
Berbeda dengan semua klaim Barat, Tehran tidak pernah menolak akses tim inspektur nuklir PBB, bahkan sepenuhnya bekerja sama dengan mereka dalam semua kunjungan ke situs nuklir Iran. Badan Energi Atom Internasional (IAEA) telah melakukan inspeksi tak terhitung ke fasilitas nuklir Iran, tetapi tidak pernah menemukan bukti pengalihan dalam program nuklir damai Tehran.
Namun, kontroversi meletus lagi setelah IAEA merilis laporan terbaru. Laporan Dirjen IAEA Yukiya Amano menyatakan bahwa Tehran telah terlibat dalam kegiatan, yang berkaitan dengan pengembangan senjata nuklir sebelum tahun 2003 dan kegiatan itu mungkin masih berlanjut. Ini jelas merupakan trik untuk menekan bangsa berdaulat dan alasan untuk menjatuhkan sanksi atas negara-negara yang menolak tunduk terhadap ambisi Barat.
Anehnya, seluruh dunia berbicara tentang laporan tersebut, tetapi tidak memberikan bukti-bukti untuk mendukung klaim mereka. Iran menyatakan bahwa sebagai penandatangan Traktat Perjanjian Non-Proliferasi (NPT), memiliki hak untuk mengembangkan teknologi nuklir bertujuan damai.
Di sisi lain, meskipun adanya keberatan internasional atas program nuklir militer Israel, PBB dan badan pengawas nuklir tidak pernah mengambil langkah-langkah serius untuk mengecam atau menjatuhkan sanksi terhadap rezim Zionis.
Lebih buruk lagi, Israel tidak pernah mengizinkan inspektur nuklir untuk mengakses situs nuklirnya dan menolak untuk bergabung dengan NPT. Israel juga tercatat sebagai satu-satunya negara di Timur Tengah yang memiliki senjata nuklir. Lalu mengapa para pengusung isu kebebasan dan HAM, tidak terganggu dengan senjata nuklir Israel dan kejahatan Zionis di kawasan?
Bukankah Israel yang membunuh warga Palestina setiap hari adalah ancaman bagi perdamaian dunia? Dan bukanlah AS yang membom Pakistan, Irak, dan Afghanistan adalah pelanggar kebebasan dan HAM?
Terlepas dari sanksi yang tak terhitung jumlahnya, operasi spionase, pembunuhan para ilmuwan, operasi hitam, perang cyber, kampanye propaganda yang tak ada habisnya, namun Iran semakin kuat dalam menghadapi segala rintangan. Sanksi-sanksi yang dikenakan AS dan Eropa hanya memperkuat perekonomian Iran dan bukan melemahkannya.
Menurut Asosiasi Riset Energi Cambridge, rencana untuk memberlakukan sanksi terhadap industri minyak Iran bisa menaikkan harga minyak dan menciptakan malapetaka di pasar global. Laporan itu mengatakan, pendapatan minyak Iran akan mencapai rekor lebih dari 100 miliar dolar tahun ini, dan hasil dari setiap sanksi yang mungkin adalah keuntungan yang lebih tinggi bagi Tehran, karena akan menjual minyak kepada konsumen lain.
Di tengah semua propaganda itu, sangat sedikit orang tahu bahwa Iran adalah salah satu dari 20 negara yang telah menandatangani dan meratifikasi konvensi internasional untuk pemusnahan senjata pembunuh massal. Konvensi tersebut secara efektif melarang pengembangan, produksi, akuisisi, transfer, retensi, penimbunan dan penggunaan senjata biologis dan kimia. Kesepakatan itu juga merupakan elemen kunci dalam upaya masyarakat internasional untuk mengatasi proliferasi senjata pemusnah massal. (IRIB Indonesia/RM)
Pasdaran: Iran Berhasil Gagalkan Invasi Musuh
Komandan Korps Pengawal Revolusi Islam Iran (Pasdaran), Jenderal Mohammad Ali Jaafari mengatakan, sepanjang tahun 2000-2011, Iran berhasil mencegah invasi yang direncanakan musuh terhadap negara.
"Selama masa itu, musuh berusaha untuk meluncurkan aksi militer terhadap kami dengan mempersiapkan kondisi yang diinginkan, baik di dalam negeri maupun di sekitar Iran," kata Jenderal Ali Jaafari pada hari Rabu (21/12).
Dia menambahkan bahwa karena berbagai alasan, termasuk kemampuan rudal Iran, musuh gagal melaksanakan rencananya. Dijelaskannya, Amerika Serikat telah mengerahkan pasukan ke Afghanistan dan Irak dengan berbagai dalih, tetapi tujuan utama mereka adalah untuk menghadapi Iran.
"Kegagalan opsi militer AS terhadap Iran telah mendorong mereka untuk menggunakan sanksi dan tekanan atas Republik Islam," tandasnya.
Menurut petinggi Pasdaran ini, kekuatan pertahanan Iran bersumber pada keyakinan bangsa Iran terhadap Islam dan kepercayaan mereka atas kemampuan angkatan bersenjata. (IRIB Indonesia/RM)
Rahbar: Pesan 9 Dey, Rakyat Iran Ingin Tetap Bergerak Bersama Agama
|
Rahbar atau Pemimpin Besar Revolusi Islam Ayatollah al-Udzma Sayyid Ali Khamenei Senin (12/12) pagi dalam pertemuan dengan anggota panitia peringatan 9 Dey menyebut kehendak Ilahi dan keimanan kepada taufik Ilahi sebagai faktor utama yang mengarahkan hati rakyat Iran untuk terjun ke berbagai medan.
Beliau menambahkan, partisipasi rakyat yang luas dan besar pada tanggal 9 Dey 1388 HS (30 Desember 2009) adalah manifestasi menonjol dari identitas dan esensi revolusi Islam yaitu semangat keberagamaan yang mendominasi jiwa rakyat ini.
Rahbar menegaskan bahwa 9 Dey bukan peristiwa kecil tapi sebuah gerakan besar rakyat yang akan terus hidup dan abadi seperti gerakan besar rakyat ini di hari-hari pertama revolusi Islam. Karena itu harus diusahakan, supaya pesan rakyat yang paling urgen dalam peristiwa ini terjelaskan dengan benar. Pesan itu, adalah bergerak di bawah naungan agama dan terwujudnya janji-janji Ilahi.
Pemimpin Besar Revolusi menyatakan bahwa Imam Khomeini telah melibatkan rakyat ke tengah medan. Ketika rakyat terlibat dengan berani, arif dan tindakan yang sesuai dengan keimanan, maka semua kesulitan akan teratasi dan hambatan sebesar apapun pasti akan tersingkirkan, berkat tekad rakyat.
Di semua tempat di dunia ini, kata beliau, ketika rakyat terjun ke tengah arena dengan tujuan dan slogan yang jelas serta tindakan yang sesuai, tak ada kekuatan apapun yang bisa melawannya.
Mengenai keimanan rakyat sebagai unsur kedua keabadian peristiwa 9 Dey, Ayatollah al-Udzma Khamenei menandaskan, unsur ajaib yang membuahkan fenomena yang mirip mukjizat, mampu mengerahkan semua orang ke tengah medan, dan membuat mereka bertahan meski harus menghadapi banyak kesulitan, adalah keyakinan hati dan agama. "Sebab, hanya dengan iman, Anda akan menang dalam kondisi apapun tanpa ada kata kalah," imbuh beliau.
Pemimpin Besar Revolusi Islam menyebut peristiwa 9 Dey sangat mirip dengan apa yang terjadi di awal sejarah Islam dan serupa dengan saat bangsa Iran meraih kemenangan revolusi Islam. "Di hari itu, rakyat melaksanakan apa yang menjadi kewajiban agama mereka dan terjun ke tengah medan untuk mementaskan satu fakta besar yang berlawanan dengan apa yang dipropagandakan kubu fitnah. Rakyat dengan menyatakan tetap setia kepada pemerintahan Republik Islam Iran juga menunjukkan kokohnya tekad dan keyakinan agama mereka," tegas beliau.
Menyinggung fitnah yang terjadi tahun 1388 HS (2009 M, pasca pemilu presiden) Rahbar mengatakan, "Fitnah tidak terbatas pada sekelompok orang yang turun ke jalan-jalan. Fitnah ini muncul karena penyakit yang tidak bisa diatasi dengan langkah politik dan keamanan, tapi memerlukan partisipasi besar rakyat, dan inilah yang terjadi."
Beliau juga menyatakan bahwa lahirnya peristiwa 9 Dey tak lepas dari peran peringatan Asyura dan Muharram. "Di awal revolusi, Muharram juga membantu rakyat seperti dikatakan oleh Imam Khomeini (ra) tentang kemenangan darah atas pedang. Begitu pula halnya dengan peristiwa 9 Dey. Asyuralah yang telah menciptakan peristiwa besar yang terabadikan ini," kata beliau
Untuk itu, Ayatollah al-Udzma Khamenei mengimbau supaya peristiwa 9 Dey selalu dihidupkan, dihormati dan diperingati. "Dalam memperingati 9 Dey sisi slogan jangan sampai berlebihan, dan kedua slogan yang digunakan harus mendalam dan memperhatikan suara rakyat Iran yang utama," kata beliau menasehati.
Di awal pertemuan Ketua Dewan Koordinasi Tabligh Islam, Ayatollah Jannati menerangkan kinerja lembaga yang sudah berumur 32 tahun ini seraya menambahkan, "Peristiwa 9 Dey jauh lebih besar dari apa yang diprediksikan dan peristiwa ini telah sepenuhnya memupuskan harapan kubu kontra revolusi Islam."
0 comments to "Bahrain, Kuwait, Oman, Qatar, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab, yang tergabung dalam Dewan Kerjasama Teluk Persia (P-GCC) di "HASUT" Amerika & Inggris musuhi "negara Islam""