Dubes Iran di Indonesia: Muslim Harus Bersatu dan Contoh Indonesia
"Sekarang bukan lagi waktunya lagi mengatakan kami mengikuti mazhab Ja`fari ataupun Syafi`i. Kami harus sadar bahwa kita mempunyai kesamaan yakni menjadi target kepentingan bagi pihak lain," ujar Mahmoud Farazandeh di Jakarta, Selasa malam.
Farazandeh mengingatkan bahwa umat Muslim harus sadar bahwa negara-negara Barat menggunakan banyaknya mazhab yang ada untuk membuat perpecahan di antara umat Muslim itu sendiri.
"Negara-negara yang mayoritas berpenduduk Muslim hendaknya mencontoh Indonesia yang menerapkan demokrasi tanpa melupakan nilai-nilai Ketuhanan," tambah dia.
Indonesia, lanjut dia, merupakan nilai dengan populasi Muslim terbesar di dunia dengan jumlah penduduk lebih dari 250 juta jiwa namun mampu menjadi negara demokrasi ketiga terbesar di dunia.
"Demokrasi di Indonesia berbeda dengan demokrasi di belahan dunia lain karena tidak melupakan Tuhan," ujarnya.
Menurut dia, demokrasi seperti itulah yang diperlukan negara-negara lainnya. Bukan demokrasi liberal yang tidak menempatkan nilai-nilai kemanusian.
Farazandeh mengaku miris dengan kondisi yang terjadi di wilayah Timur Tengah saat ini. Dimana adanya campur tangan pihak asing yang memaksakan demokrasi yang belum tentu sesuai, ditambah lagi sebagian negara Arab memilih berbasis militer.
"AS berhasil menjual senjata hingga 200 miliar dolar AS ke sejumlah negara Arab pada tahun lalu," ujarnya.
Dia mengatakan tidak mudah menjual senjata dengan nilai begitu besar, apalagi negara-negara tersebut masih tergolong miskin.Tentunya, kata dia, mereka menjual dengan menggunakan dalih-dalih yang belum tentu benar.
"Saat ini yang lebih terpenting adalah bersatu melawan hegemoni Barat," tegas dia. (IRIB Indonesia/Antara/SL)
7-13 Maret, Iran Gelar Pekan Budaya di Indonesia
Walau hubungan antara Indonesia dan Iran ternyata telah terjalin bahkan sebelum datangnya Islam, namun, rupanya budaya Iran masih belum terlalu dikenal di Indonesia. Itulah yang mendorong Kedutaan Besar Iran di Jakarta bekerjasama dengan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif RI dan Kemendikbud RI menggelar acara Pekan Budaya Iran.
"Tujuan diadakanmya acara ini adalah untuk mengenalkan budaya, masyarakat, dan peradaban Republik Islam Iran pada masyarakat Indonesia yang beradab," kata Duta Besar Iran untuk Indonesia Mahmoud Farazandeh di kediamannya di Jakarta, Selasa, 28 Februari 2012.
Farazandeh menambahkan, baru-baru ini film Iran sebagai salah satu produk budaya mereka juga menjadi buah bibir masyarakat dunia setelah film The Separation mendapatkan piala Oscar. Ini menjadi momen yang tepat bagi Iran untuk meperkenalkan film-film mereka lainnya yang juga tidak kalah menginspirasi dalam Festival Film Iran yang termasuk rangkaian acara.
Namun ia menampik jika dikatakan menggunakan diplomasi budaya melalui film sebagai upaya menentang hegemoni Barat. "Revolusi Iran adalah revolusi budaya. Lewat film, kami memiliki pesan untuk disampaikan pada masyarakat yang sama-sama berada di bawah hegemoni," tegas Farazandeh.
Pekan Budaya Iran akan berlangsung di Museum Nasional, Jakarta dari tanggal 7-13 Maret 2012, dari pukul 09.00-17.00. Sementara bagi yang penasaran dengan film Iran dapat menyaksikan Festival Film Republik Islam Iran di Gedung Pusat Perfilman H. Usmar Ismail (PPHUI) dari tanggal 9-12 Maret 2012 pukul 16.00-20.00. (IRIB Indonesia/Vivanews/SL)
Soft Power, Sumber Kekuatan Iran
Dina Y. Sulaeman*
Dalam studi Hubungan Internasional, power, atau kekuatan negara-negara biasanya didefinisikan dalam dua kategori, hard power dan soft power.
Dalam studi Hubungan Internasional, power, atau kekuatan negara-negara biasanya didefinisikan dalam dua kategori, hard power dan soft power.
Hard power secara singkat bisa dimaknai sebagai kekuatan material, semisal senjata, jumlah pasukan, dan uang yang dimiliki sebuah negara. Umumnya pemikir Barat (atau pemikir Timur yang westernized) lebih memfokuskan pembahasan pada hitung-hitungan hard power ini. Contohnya saja, seberapa mungkin Indonesia bisa menang melawan Malaysia jika terjadi perang? Yang dikedepankan biasanya adalah kalkulasi seberapa banyak senjata, kapal perang, kapal selam, dan jumlah pasukan yang dimiliki kedua negara.
Begitu juga, di saat AS dan Israel berkali-kali melontarkan ancaman serangan kepada Iran, yang banyak dihitung oleh analis Barat adalah berapa banyak pasukan AS yang kini sudah dipindahkan ke pangkalan-pangkalan militer AS di kawasan sekitar Teluk Persia; seberapa banyak rudal yang dimililiki Iran, seberapa jauh jarak jelajahnya, dst.
Bila memakai kalkulasi hard power, harus diakui bahwa sebenarnya kekuatan Iran masih jauh di bawah AS. Apalagi, doktrin militer Iran adalah defensive (bertahan, tidak bertujuan menginvasi Negara lain). Iran hanya menganggarkan 1,8% dari pendapatan kotor nasional (GDP)-nya untuk militer (atau sebesar 7 M dollar). Sebaliknya, AS adalah negara dengan anggaran militer terbesar di dunia, yaitu 4,7% dari GDP atau sebesar 687 M dollar. Bahkan, AS telah membangun pangkalan-pangkalan militer di berbagai penjuru dunia yang mengepung Iran.
Tapi, dalam kasus Iran, memperhatikan kalkulasi hard power saja tidak cukup. Sebabnya adalah karena kunci kekuatan Iran justru di soft power-nya. Dan ini sepertinya diabaikan oleh banyak analis Barat, mungkin sengaja, atau mungkin juga ketidaktahuan. Dalam papernya di The Iranian Journal of International Affairs, Manouchehr Mohammadi (Professor Hubungan Internasional dari Tehran University) menyebutkan bahwa kemampuan Republik Islam Iran untuk bertahan hingga hari ini adalah bergantung pada faktor-faktor yang sangat langka ditemukan dalam masyarakat Barat yang materialistis, yaitu faktor-faktor spiritual. Tentu saja, faktor hard power tetap diperhatikan oleh Republik Islam Iran, namun basisnya adalah soft power.
Apa itu soft power? Secara ringkas bisa dikatakan bahwa subtansi soft power adalah sikap persuasif dan kemampuan meyakinkan pihak lain; sementara hard power menggunakan kekerasan dan pemaksaan dalam upayanya menundukkan pihak lawan. Karena itulah, menurut Mohammadi, dalam soft power, mentalitas menjadi kekuatan utama dan investasi terbesar yang dibangun Iran adalah membangun mental ini, bukan membangun kekuatan militer. Pemerintah Iran berusaha untuk menumbuhkan nilai-nilai bersama, antara lain nilai tentang kesediaan untuk berkorban dan bekerja sama dalam mencapai kepentingan nasional.
Mohammadi mengidentifikasi ada 10 sumber kekuatan soft power Iran,tiga diantaranya adalah sebagai berikut.
1. Rahmat Tuhan.
Faktor Tuhan memang jarang disebut-sebut dalam analisis politik. Tapi, kenyataannya, memang inilah yang diyakini oleh rakyat Iran, dan inilah sumber kekuatan mereka. Menurut Mohammadi, bangsa Iran percaya bahwa orang yang berjuang melawan penentang Tuhan, pastilah dibantu oleh Tuhan. Dengan kalimat yang indah, Mohammadi mendefinisikan keyakinan ini sebagai berikut, "Kenyataannya, mereka [yang berjuang di jalan Allah] bagaikan tetesan air yang bergabung dengan lautan luas, lalu menghilang dan menyatu dalam lautan, kemudian menjelma menjadi kekuatan yang tak terbatas."
Keyakinan ini semakin kuat setelah bangsa Iran pasca Revolusi terbukti berkali-kali meraih kemenangan dalam melawan berbagai serangan dari pihak musuh, mulai dari invasi Irak (yang didukung penuh oleh AS, Eropa, Arab, dan Soviet), hingga berbagai aksi terorisme (pengeboman pusat-pusat ziarah, pemerintahan, dan aparat negara). Salah satu kejadian yang dicatat dalam sejarah Iran adalah kegagalan operasi rahasia Angkatan Udara AS untuk memasuki Teheran. Pada tahun 1980, Presiden AS Jimmy Carter mengirimkan delapan helicopter dalam Operasi Eagle Claw. Misinya adalah menyelamatkan 52 warga AS yang disandera para mahasiswa Iran di Teheran. Operasi itu gagal ‘hanya' karena angin topan menyerbu kawasan Tabas, gurun tempat helikopter itu ‘bersembunyi' sebelum meluncur ke Teheran. Angin topan dan pasir membuat helikopter itu saling bertabrakan dan rusak parah. Mengomentari kejadian ini, Imam Khomeini mengatakan, "Pasir dan angin adalah ‘pasukan' Allah dalam operasi ini."
2. Kepemimpinan dan Otoritas
Peran kepemimpinan dan komando adalah faktor yang sangat penting dalam situasi konflik, baik itu militer, politik, atau budaya. Pemimpin-lah yang menjadi penunjuk arah dalam setiap gerakan perjuangan. Dialah yang menyusun rencana dan strategi untuk berhadapan dengan musuh. Menurut Mohammadi, hubungan yang erat dan solid antara pemimpin dengan rakyatnya adalah sumber power yang sangat penting. Di Iran, karena yang menjadi pemimpin adalah ulama yang memiliki kredibilitas tinggi, kepatuhan kepada pemimpin bahkan dianggap sebagai sebuah gerakan relijius, dan inilah yang menjadi sumber utama kekuatan soft power Iran. Dalam kalimat Mohammadi, "[it] is a source of power per se, that assures the friends and frightens the foes."
3. Mengubah Ancaman Menjadi Kesempatan
Revolusi Islam Iran telah menggulingkan Shah Pahlevi yang didukung penuh oleh Barat. Pra-revolusi Islam, Barat sangat mendominasi Iran, baik dari sisi ekonomi, politik, maupun budaya. Kepentingan Barat di Iran terancam oleh naiknya seorang ulama yang menyuarakan independensi dan sikap anti kapitalisme-liberalisme, yaitu Imam Khomeini. Karena itulah, Barat dengan berbagai cara berusaha menggulingkan pemerintahan Islam, antara lain dengan memback-up Saddam Husein untuk memerangi Iran. Saddam yang sesumbar bisa menduduki Teheran hanya dalam sepekan, ternyata setelah berperang selama 8 tahun tetap tidak mampu mengalahkan Iran. AS dan Eropa kemudian menerapkan berbagai sanksi dan embargo; berusaha meminggirkan Iran dalam pergaulan internasional, mempropagandakan citra buruk terhadap pemerintahan Islam, dll.
Karena didasari oleh dua faktor sebelumnya (keyakinan pada rahmat Tuhan dan faktor kepemimpinan relijius), bangsa Iran mampu bertahan hidup dalam situasi yang sulit dan berjuang untuk mengubah tekanan dan ancaman ini menjadi kesempatan untuk maju dan berdikari. Contoh mutakhirnya adalah, ketika akhir-akhir ini semakin marak pembunuhan terhadap pakar nuklir Iran yang didalangi oleh agen-agen rahasia asing; jumlah pendaftar kuliah di jurusan teknik nuklir justru semakin meningkat. Inilah jenis mental yang berhasil dibangun oleh pemerintah Iran selama 34 tahun terakhir: semakin ditekan, semakin kuat semangat perjuangan mereka.
Dalam pidato terbarunya di Teheran, pemimpin tertinggi Iran, Ayatullah Khamenei, menyinggung masalah ini. Beliau mengatakan, "Ketika kita diembargo, kemampuan kita justru semakin meningkat, potensi kita justru semakin terasah, kita tumbuh dari dalam. Jika kita tidak diembargo senjata, hari ini kita tidak akan mencapai kemajuan yang mengagumkan. Jika kita tidak diembargo dalam pengembangan nuklir –padahal reaktor nuklir Bushehr itu mereka [Barat] yang membangunnya—hari ini kita tidak memiliki kemampuan dalam pengayaan uranium,. Jika mereka tidak menutup pintu-pintu ilmu dari kita, hari ini kita tidak akan mampu menciptakan stem cell, menguasai ilmu antariksa dan mengirim satelit ke angkasa luar. Karena itu, semakin mereka mengembargo kita, semakin besar kita mampu menggali kemampuan dan potensi kita sendiri. Dan semakin hari, potensi kita itu akan semaki mekar berkembang. Karena itulah, embargo sesungguhnya bermanfaat bagi kita."
Belajar dari Iran, kita perlu mengajukan pertanyaan, bagaimana dengan Indonesia hari ini? Faktor kepemimpinan yang lemah dan lebih mendahulukan membeli pesawat produk luar negeri jelas faktor yang sangat melemahkan soft power Indonesia. Namun sebagai bangsa, kita masih memiliki kekuatan untuk membangun dari dalam, dimulai dari diri sendiri, yaitu membangun kekuatan dan keyakinan spiritual; membangun etos perjuangan berbasis relijiusitas. (IRIB Indonesia)
*penulis adalah alumnus magister Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran
Mohammadi mengidentifikasi ada 10 sumber kekuatan soft power Iran,tiga diantaranya adalah sebagai berikut.
1. Rahmat Tuhan.
Faktor Tuhan memang jarang disebut-sebut dalam analisis politik. Tapi, kenyataannya, memang inilah yang diyakini oleh rakyat Iran, dan inilah sumber kekuatan mereka. Menurut Mohammadi, bangsa Iran percaya bahwa orang yang berjuang melawan penentang Tuhan, pastilah dibantu oleh Tuhan. Dengan kalimat yang indah, Mohammadi mendefinisikan keyakinan ini sebagai berikut, "Kenyataannya, mereka [yang berjuang di jalan Allah] bagaikan tetesan air yang bergabung dengan lautan luas, lalu menghilang dan menyatu dalam lautan, kemudian menjelma menjadi kekuatan yang tak terbatas."
Keyakinan ini semakin kuat setelah bangsa Iran pasca Revolusi terbukti berkali-kali meraih kemenangan dalam melawan berbagai serangan dari pihak musuh, mulai dari invasi Irak (yang didukung penuh oleh AS, Eropa, Arab, dan Soviet), hingga berbagai aksi terorisme (pengeboman pusat-pusat ziarah, pemerintahan, dan aparat negara). Salah satu kejadian yang dicatat dalam sejarah Iran adalah kegagalan operasi rahasia Angkatan Udara AS untuk memasuki Teheran. Pada tahun 1980, Presiden AS Jimmy Carter mengirimkan delapan helicopter dalam Operasi Eagle Claw. Misinya adalah menyelamatkan 52 warga AS yang disandera para mahasiswa Iran di Teheran. Operasi itu gagal ‘hanya' karena angin topan menyerbu kawasan Tabas, gurun tempat helikopter itu ‘bersembunyi' sebelum meluncur ke Teheran. Angin topan dan pasir membuat helikopter itu saling bertabrakan dan rusak parah. Mengomentari kejadian ini, Imam Khomeini mengatakan, "Pasir dan angin adalah ‘pasukan' Allah dalam operasi ini."
2. Kepemimpinan dan Otoritas
Peran kepemimpinan dan komando adalah faktor yang sangat penting dalam situasi konflik, baik itu militer, politik, atau budaya. Pemimpin-lah yang menjadi penunjuk arah dalam setiap gerakan perjuangan. Dialah yang menyusun rencana dan strategi untuk berhadapan dengan musuh. Menurut Mohammadi, hubungan yang erat dan solid antara pemimpin dengan rakyatnya adalah sumber power yang sangat penting. Di Iran, karena yang menjadi pemimpin adalah ulama yang memiliki kredibilitas tinggi, kepatuhan kepada pemimpin bahkan dianggap sebagai sebuah gerakan relijius, dan inilah yang menjadi sumber utama kekuatan soft power Iran. Dalam kalimat Mohammadi, "[it] is a source of power per se, that assures the friends and frightens the foes."
3. Mengubah Ancaman Menjadi Kesempatan
Revolusi Islam Iran telah menggulingkan Shah Pahlevi yang didukung penuh oleh Barat. Pra-revolusi Islam, Barat sangat mendominasi Iran, baik dari sisi ekonomi, politik, maupun budaya. Kepentingan Barat di Iran terancam oleh naiknya seorang ulama yang menyuarakan independensi dan sikap anti kapitalisme-liberalisme, yaitu Imam Khomeini. Karena itulah, Barat dengan berbagai cara berusaha menggulingkan pemerintahan Islam, antara lain dengan memback-up Saddam Husein untuk memerangi Iran. Saddam yang sesumbar bisa menduduki Teheran hanya dalam sepekan, ternyata setelah berperang selama 8 tahun tetap tidak mampu mengalahkan Iran. AS dan Eropa kemudian menerapkan berbagai sanksi dan embargo; berusaha meminggirkan Iran dalam pergaulan internasional, mempropagandakan citra buruk terhadap pemerintahan Islam, dll.
Karena didasari oleh dua faktor sebelumnya (keyakinan pada rahmat Tuhan dan faktor kepemimpinan relijius), bangsa Iran mampu bertahan hidup dalam situasi yang sulit dan berjuang untuk mengubah tekanan dan ancaman ini menjadi kesempatan untuk maju dan berdikari. Contoh mutakhirnya adalah, ketika akhir-akhir ini semakin marak pembunuhan terhadap pakar nuklir Iran yang didalangi oleh agen-agen rahasia asing; jumlah pendaftar kuliah di jurusan teknik nuklir justru semakin meningkat. Inilah jenis mental yang berhasil dibangun oleh pemerintah Iran selama 34 tahun terakhir: semakin ditekan, semakin kuat semangat perjuangan mereka.
Dalam pidato terbarunya di Teheran, pemimpin tertinggi Iran, Ayatullah Khamenei, menyinggung masalah ini. Beliau mengatakan, "Ketika kita diembargo, kemampuan kita justru semakin meningkat, potensi kita justru semakin terasah, kita tumbuh dari dalam. Jika kita tidak diembargo senjata, hari ini kita tidak akan mencapai kemajuan yang mengagumkan. Jika kita tidak diembargo dalam pengembangan nuklir –padahal reaktor nuklir Bushehr itu mereka [Barat] yang membangunnya—hari ini kita tidak memiliki kemampuan dalam pengayaan uranium,. Jika mereka tidak menutup pintu-pintu ilmu dari kita, hari ini kita tidak akan mampu menciptakan stem cell, menguasai ilmu antariksa dan mengirim satelit ke angkasa luar. Karena itu, semakin mereka mengembargo kita, semakin besar kita mampu menggali kemampuan dan potensi kita sendiri. Dan semakin hari, potensi kita itu akan semaki mekar berkembang. Karena itulah, embargo sesungguhnya bermanfaat bagi kita."
Belajar dari Iran, kita perlu mengajukan pertanyaan, bagaimana dengan Indonesia hari ini? Faktor kepemimpinan yang lemah dan lebih mendahulukan membeli pesawat produk luar negeri jelas faktor yang sangat melemahkan soft power Indonesia. Namun sebagai bangsa, kita masih memiliki kekuatan untuk membangun dari dalam, dimulai dari diri sendiri, yaitu membangun kekuatan dan keyakinan spiritual; membangun etos perjuangan berbasis relijiusitas. (IRIB Indonesia)
*penulis adalah alumnus magister Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran
Iran Adalah Aktor Rasional, Bagaimana Dengan AS?
Dina Y. Sulaeman
Pemberitaan yang dirilis PressTV dan IRIB Indonesia baru-baru terkait pernyataan komandan staff gabungan militer AS, Gen. Dempsey sangat menarik. Dalam wawancaranya dengan CNN, Dempsey menyebut Iran sebagai ‘aktor rasional'. Saya sulit menilai bahwa ini sebuah pujian, sehingga saya mencari transkrip asli wawancaranya. Ternyata, Dempsey menyebut kerasionalan Iran itu terkait dengan sanksi embargo bertubi-tubi yang tengah diarahkan kepada Iran. Dempsey yakin bahwa karena rasionalitas itu, lambat-laun Iran akan tunduk pada kemauan Barat.
Saya pun membuka-buka kembali text-book Foreign Policy Analysis yang sudah pasti memuat bahasan soal ‘aktor rasional'. Dalam kajian Hubungan Internasional, pelaku aktivitas politik internasional itu diistilahkan dengan ‘aktor'. Aktor ini bisa berupa negara, perusahaan, LSM, atau bahkan individu. Dalam analisis Kebijakan Luar Negeri (selanjutnya saya singkat KLN), sebuah negara (yang diistilahkan dengan ‘aktor') diharapkan bertindak rasional sehingga menguntungkan kepentingan nasionalnya. Dalam kasus Iran, ketika sudah ‘habis-habisan' diembargo -menurut perspektif AS- tindakan rasional yang dilakukan Iran seharusnya adalah tunduk kepada AS. Tentu saja, bagi Iran, tunduk kepada AS jelas bukan KLN yang rasional. Dalam tulisan saya sebelumnya, saya sudah menjelaskan bahwa kekuatan soft power Iran justru sangat tangguh dan ketundukan pada AS sangat kontradiktif dengan soft power yang dimiliki Iran.
Dengan demikian pertanyaannya sekarang, rasionalitas itu dari sisi mana? Dari perspektif siapa? Bila sebuah negara menolak solusi yang dipaksakan oleh negara lain, apakah bisa disebut tidak rasional? Sayangnya, sebagaimana diakui oleh Janice Gross Stein (2008), tidak ada konsep yang memuaskan tentang rasionalitas KLN. Stein hanya bisa menjelaskan konsep-konsep dasar soal rasionalitas ini, yaitu bahwa orang-orang yang memiliki posisi sebagai pengambil KLN haruslah mampu berpikir logis, terbuka, sekaligus selektif, terhadap data-data, serta mampu bersikap koheren dan konsisten terhadap argumen-argumen logis.
Di sisi ini, pernyataan Dempsey soal rasionalitas jelas menggelikan. Siapakah pihak yang tidak logis dalam berpikir? Bukankah Bush dan kemudian Obama, yang terbukti menerima mentah-mentah data-data yang salah soal nuklir Iran; menuduh Iran tengah berupaya membuat senjata nuklir; lalu mengambil KLN yang membahayakan perekonomian dunia? Bukankah para presiden AS yang menerima mentah-mentah data-data palsu intellijen soal terorisme, lalu menyerang Irak, Afghanistan, Pakistan, atau Yaman, yang dituduh melindungi teroris?
Dalam kajian HI, sayangnya, standar rasionalitas tidak dijelaskan secara gamblang. Bila semua pihak menggunakan rasionalitas dari kacamatanya masing-masing, sudah tentu akan timbul konflik. Dan, justru banyak pemikir HI di Barat (dan diadopsi oleh penstudi HI di berbagai penjuru dunia) yang melanggengkan paradigma konflik ini. Menurut mereka, karena masing-masing negara akan bersikap rasional dan memperjuangkan kepentingan nasional masing-masing, situasi konflik (diistilahkan dengan ‘anarkhi') memang akan terus-menerus terjadi. Mereka pun menyarankan agar masing-masing negara memperkuat militer nya dan bersiap siaga, karena setiap saat negara lain mungkin menyerang.
Sekilas, logika ‘anarkhi' ini terlihat benar. Namun bila kita menelisik lebih lanjut, apakah benar ini berlandaskan rasionalitas? Mari kita lihat kasus perang Afghanistan. AS menyerang Afghanistan dengan alasan mengamankan kepentingan nasionalnya yang terancam oleh Al Qaida. Dari sisi ini, seolah-olah AS bertindak ‘rasional'. Padahal, tidakkah ini hanya sekedar strategi untuk bertahan hidup dan justifikasi untuk menundukkan negara lain atas nama kepentingan nasional?
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, rasional artinya ‘cocok dengan akal'. Islam adalah agama yang sangat menjunjung tinggi rasionalitas dan akal. Banyak sekali ayat yang memerintahkan manusia agar berpikir. Bila melihat kepada konsep Islam, kita akan menemukan kejanggalan pada konsep rasionalitas yang dikembangkan oleh ilmuwan HI Barat itu. Konsep rasionalitas yang dikembangkan pemikir HI Barat berlandaskan pada keyakinan bahwa manusia adalah animus dominandi atau hewan yang haus kekuasaan dan egois. Karena itulah, sebuah negara menyerang negara lain demi ‘menyelamatkan kepentingan nasional' dianggap rasional.
Sebaliknya, Islam percaya bahwa manusia itu diciptakan dalam berbagai ras dan suku untuk saling berinteraksi berdasarkan kesamaan kebenaran yang disepakati bersama (lita'aarafuu). Sehingga, pola hubungan internasional dalam pandangan Islam adalah pola hubungan yang berlandaskan akal sehat. Inilah yang kemudian diterjemahkan Iran dalam interaksinya dengan negara-negara Barat. Pemimpin Iran selalu menggunakan logika yang sangat kuat dan sulit dibantah saat mengkritik perilaku AS dan sekutunya.
Misalnya, dalam pidatonya di PBB tahun 2011, Ahmadinejad mengatakan:
"Sudah bukan zamannya lagi sebagian negara menjadikan dirinya sebagai definisi demokrasi dan kebebasan, sekaligus mengangkat diri sebagai hakim dan eksekutornya. Sementara pada saat yang sama mereka juga memerangi negara lain yang [dibangun] berlandaskan demokrasi hakiki."
"Kini, [sekelompok negara] tidak boleh lagi melakukan pendudukan militer terhadap satu negara dengan slogan melawan terorisme dan narkotika, sementara produksi narkotika menjadi berkali lipat, wilayah terorisme menjadi lebih luas, ribuan orang tak berdosa tewas, cidera dan mengungsi, infrastruktur hancur dan keamanan regional terancam. Lucunya, para pelaku utama tragedi kemanusiaan ini malah terus menuduh pihak lain sebagai pihak yang harus bertanggung jawab."
"Kini, [sekelompok negara] tidak boleh lagi meneriakkan slogan persahabatan dan solidaritas kepada bangsa-bangsa dan bersamaan dengan itu mereka memperluas pangkalan-pangkalan militer di dunia, termasuk Amerika Latin."
Pidato Ahmadinejad jelas meruntuhkan bangunan rasionalitas ala AS bagaimana mungkin AS meneriakkan demokrasi dan perdamaian jika pada saat yang sama justru AS-lah negara dengan anggaran militer terbesar di dunia dan menebarkan perang di berbagai negeri? KLN Iran pun dibangun atas rasionalitas semacam ini: bagaimana mungkin sebuah negara yang mengaku berlandaskan Islam mau tunduk patuh pada negara yang menebarkan kejahatan di muka bumi? Justru tidak rasional buat Iran bila menyerah kepada AS.
Rasionalitas yang benar haruslah dibangun di atas landasan akal. Nilai-nilai keadilan, sikap mulia, tidak saling merugikan, adalah nilai-nilai universal yang diterima oleh semua umat manusia yang berakal sehat. Namun, sayangnya segelintir negara -dikomandani AS- terus-menerus memaksakan nilai-nilai kejahatan yang dibungkus 'rasionalitas', dan menuduh pihak lain yang sedang benar-benar berusaha rasional dalam membangun perdamaian dunia sebagai pihak yang salah dan harus diperangi. (IRIB Indonesia)
Israel Inside
Dina Y. Sulaeman
Membaca analisis orang ‘luar' terhadap Israel, mungkin sudah biasa. Mendengar Ahmadinejad berkali-kali menyatakan prediksinya bahwa Israel sebentar lagi akan tumbang, juga sudah biasa. Namun, cukup menarik bila kita membaca analisis orang Israel terhadap negaranya sendiri. Di dalam Israel, sesungguhnya ada juga segelintir orang yang ‘tercerahkan' dan bisa menilai dengan jernih kebobrokan ‘negara' dan pemerintahan Zionis. Mereka menulis, melakukan aksi-aksi perdamaian, dan berorasi di berbagai negeri untuk membangkitkan kesadaran sesama Yahudi dan umat manusia umumnya, supaya berhenti mendukung Zionisme. Kelompok "Women in Black" misalnya. Mereka secara rutin melakukan aksi berdiri dalam diam dengan mengenakan pakaian hitam-hitam, sambil membawa spanduk-spanduk anti penjajahan Palestina. Tak pelak, mereka dikata-katai ‘pelacur' dan ‘pengkhianat' oleh orang-orang Israel.
Apa yang membangkitkan kesadaran orang-orang itu? Tak lain, karena kondisi di dalam negeri Israel memang sangat buruk. Uri Avnery dan Gilad Atzmon adalah dua penulis Israel yang sering menyuarakan kritik terhadap pemerintahan Zionis. Dalam tulisanberjudul"Why Israel Will Not Attack Iran", Avnery dengan gaya sarkasmenya menyebut Israel bagaikan anak sekolah yang mengancam "Hold me back, before I break his bones!"
Israel sesumbar akan menyerang Iran, dengan atau tanpa persetujuan AS. Omong besar ini disiarkan tanpa henti oleh media massa di seluruh dunia; memicu berbagai analisis dan talkshow. Di dalam negeri pun, para pemimpin Zionis tak henti-hentinya menyuarakan perang terhadap Iran. Menurut Avnery, Israel sesungguhnya sedang sok-sokan di depan AS, dan berkata, "Gue serang Iran nih… Ayo, coba tahan gue, gue serang nih, sekarang!"
Dalam analisis Avnery, Israel sama sekali tidak mungkin menyerang Iran tanpa persetujuan AS karena memang secara militer, Israel yang disebut-sebut sebagai ‘kekuatan militer terbesar di Timur Tengah' sangat bergantung pada suplai dari AS. Dengan sederhana, Avnery berupaya ‘menjelaskan' kepada orang-orang Israel bahwa Iran punya kekuasaan atas sebuah selat ‘sempit', yaitu Selat Hormuz, yang lebarnya 35 km. Jarak itu sama jauhnya dari Gaza ke Beer Sheva, yang ternyata bisa ‘dilalui' dengan mudah oleh roket sederhana milik pejuang Palestina.
Begitu pesawat Israel memasuki wilayah udara Iran, selat Hormuz akan segera ditutup dan angkatan laut Iran punya sangat banyak kapal pengangkut rudal untuk menjaga selat itu, jelas Avnery. Belum lagi, penutupan selat Hormuz artinya menghalangi sepertiga suplai minyak dunia dan akan menimbulkan kekacauan ekonomi yang sangat besar di dunia. Dan untuk membuka paksa selat itu, dibutuhkan operasi militer yang sangat mahal; yang akan sangat berat ditanggung olehAS dan NATO; apalagi oleh Israel. Avnery bahkan menambahkan bahwa bila perang terjadi, "Rudal pun akan menghujani Israel, tidak hanya dari Iran, tetapi juga dari Hizbullah dan mungkin Hamas. Kita tidak punya kekuatan yang cukup untuk mempertahankan kota-kota kita."
Namun, ancaman Israel untuk menyerang Iran sudah cukup untuk membuat pemerintah AS kalang-kabut dan mengirim misi untuk membujuk ‘ sang adik'. Komandan Staff Gabungan Militer AS, Gen. Dempsey bahkan menyebut Iran sebagai ‘aktor rasional', untuk menenangkan Israel agar tidak menyerang Iran (baca tulisan saya sebelumnya).
Lalu, untuk apa Israel sesumbar akan menyerang Iran? Selain untuk menekan AS agar mau menuruti berbagai kehendak Israel, ternyata juga untuk konsumsi politik dalam negeri. Kondisi ekonomi Israel semakin buruk dan memicu demo-demo besar-besaran anti pemerintah. Tidak ada yang lebih mudah untuk mengalihkan perhatian warga dari masalah ekonomi selain adanya ancaman perang. Karena itulah ‘ancaman Iran' sangat laku dijual. Iran terus-menerus disebut sebagai pembuat bom nuklir yang akan digunakan untuk menghancurkan Israel. Ucapan legendaris Ahmadinejad, "Israel harus dihapus dari muka bumi" adalah mantra yang sangat mempan untuk menimbulkan rasa takut di tengah warga. Itulah sebabnya Avnery dengan sarkasme menutup tulisannya, "Untung ada Ahmadinejad, kalau tidak apa jadinya kita hari ini?"
Sebenarnya, seperti apakah kekacauan ekonomi di Israel? Bukankah berbagai media menyebut Israel sebagai salah satu negara dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi di dunia? Gilad Atzmon, dalam artikelnya "Israel Economy For Beginners" menjelaskan hal ini. Atzmon mengajukan dengan pertanyaan kritis, "Dari mana Israel memperoleh kekayaannya?"
"Bukankah selain alpukat dan jeruk, kita tidak menjumpai produk Israel?" tulis Atzmon. Israel tidak memproduksi mobil, alat elektronik, dan sangat sedikit membuat barang-barang konsumsi lainnya. Dengan sarkasme, Atzmon menulis, "Di tanah yang mereka rampok dari bangsa asli Palestina, mereka juga tidak menemukan mineral berharga atau minyak."
Jadi, darimana datangnya kekayaan Israel? Atzmon menyodorkan faka-fakta –dan kebanyakan dari kita sebenarnya sudah tahu—bahwa Israel mendapatkan ‘sedekah' dari orang-orang kaya Yahudi di seluruh dunia. Dalam artikel lain di Haaretz (koran Israel), disebutkan bahwa ada istilah Ibrani yang menjadi standar nilai moral di kalangan Yahudi, yaitu ‘tzedakah'. Haaretz mengutip seorang peneliti yang menyebutkan bahwa orang-orang kaya Yahudi memiliki keterikatan kekeluargaan yang sangat erat dan menjadikan ‘tzedakah' sebagai sebuah kewajiban moral.
"Enam dari tujuh konglomerat yang menguasai 50% ekonomi Rusia tahun 1990-an adalah orang Yahudi," tulis Atzmon, dan banyak pengusaha Yahudi Rusia yang juga memiliki paspor Israel. Tentu saja, sudah banyak diketahui, kebanyakan konglomerat AS juga orang Yahudi. Dalam artikel di Haaretz itu juga dipaparkan betapa berbagai organisasi sosial, sekolah, dan universitas di Israel sangat menggantungkan diri dari tzedakah.
Selain itu, Israel meraup keuntungan besar dari bisnis pencucian uang. Israel merupakan surga untuk mencuci uang haram yang dilakukan mafia-mafia dan pengusaha kotor. Israel juga mendapatkan uang dari industri berlian. Israel mengimpor berlian mentah dari negara-negara miskin Afrika lalu mengolahnya menjadi perhiasan dan mengekspornya ke berbagai negara dunia. Mengingat bahwa penambangan berlian banyak mengorbankan rakyat miskin di Afrika, dan bahwa berlian menjadi salah satu pilar utama ekonomi Israel yang merupakan penjajah Palestina, maka berlian produksi Israel sering disebut sebagai ‘blood diamond' (berlian berdarah).
Parahnya, di pasar, konsumen tidak mendeteksi, mana ‘berlian berdarah' produk Israel, mana berlian produk negara lain. Tak heran bila LSM-LSM pro-boikot produk Israel menyuarakan protes terkait tidak bisa terdeteksinya negara asal produksi berlian.
Israel juga mendapat uang dari penjualan alat-alat militer (dan sayangnya, Indonesia termasuk pembelinya!), bahkan dari penjualan organ tubuh manusia. Pendek kata, Israel memiliki perekonomian yang maju karena melakukan aktivitas ekonomi yang sangat kotor.
Dan, berita buruknya (atau baiknya?), orang-orang Yahudi kasta rendah di Israel sama sekali tidak menikmati kekayaan itu. Pertumbuhan ekonomi yang pesat di Israel pada saat yang sama justru disertai dengan ketidakadilan sosial. Di Israel, ada 18 keluarga yang mengontrol 60% perusahaan. "Jurang antara si kaya dan si miskin di Israel sangat besar," tulis Atzmon.
Menariknya, kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang kaya Zionis di berbagai penjuru dunia lewat aktivitas ekonomi kotornya, membuat Atzmon menyimpulkan, "Kita semua ini adalah bangsa Palestina dan kita memiliki satu musuh yang sama." (IRIB Indonesia)
0 comments to "ISRAEL "TOLAK" ISRAEL....!!!!!!"