Diembargo, Iran Justru Umumkan Keberhasilan Nuklirnya
Lempengan bahan bakar nuklir pertama yang telah diproduksi di Iran dan penggunaan uranium yang diperkaya hingga 20 persen telah diresmikan dalam sebuah upacara yang dihadiri Presiden Mahmoud Ahmadinejad pada Rabu (15/2) di reaktor riset Tehran.
Bersamaan dengan peresmian tersebut, dioperasikan pula generasi baru pertama sentrifugal di situs pengayaan Natanz. Mata rantai generasi baru sentrifugal tersebut merupakan produksi para ahli dalam negeri Iran.
Dengan pengoperasian sentrifugal- sentrifugal itu, maka kapasitas kemampuan mesin-mesin sebelumnya meningkat menjadi tiga kali lipat. Pembangunan pabrik bahan bakar reaktor Tehran, bertambahnya jumlah sentrifugal dan produksi serta peluncuran generasi baru mesin-mesin sentrifugal merupakan keberhasilan lain Republik Islam Iran setelah keberhasilannya dalam teknologi produksi uranium yang diperkaya dalam skala 20 persen. Untuk melanjutkan produksi isotop-isotop medis yang diperlukan bagi pengobatan kanker, maka reaktor riset Tehran membutuhkan bahan bakar uranium yang diperkaya hingga 20 persen.
2,5 tahun lalu, dalam sebuah surat yang ditujukan ke Badan Energi Atom Internasional (IAEA), Iran mengumumkan bahwa bahan bakar reaktor riset Tehran sedang dalam penyempurnaan. Maka sesuai aturan IAEA, Iran meminta badan ini untuk menjual bahan bakar yang diperlukan reaktor Tehran. Namun, karena adanya pembatasan yang tidak logis, para penyuplai asing tidak memenuhi permintaan Tehran. Dengan alasan ini, Lembaga Energi Atom Iran mengagendakan untuk memproduksi bahan bakar ini secara independen dan dengan menggunakan teknologi dalam negeri yang diawasi IAEA. Kini, upaya para ilmuwan nuklir Iran telah membuahkan hasil dan negara ini mandiri di bidang tersebut.
Dalam kerangka Perjanjian Non-Proliferasi Nuklir (NPT) dan sesuai dengan hak-hak Iran sebagai anggota IAEA, Tehran telah berhasil mengembangkan program nuklirnya. Pada saat yang sama, surat yang dikirim Saeed Jalili Sekretaris Dewan Tinggi Keamanan Nasional Republik Islam Iran kepada Catherine Ashton, Ketua Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa tentang sambutan kesiapan kelompok 5+1 untuk kembali ke meja perundingan serta kesiapan Iran guna melanjutkan dialog, menunjukkan bahwa Tehran tidak mempunyai masalah untuk melanjutkan dialog. Jalili juga menyambut baik pernyataan Catherine Ashton yang menghormati hak Iran dalam mendayagunakan nuklir untuk tujuan damai.
Sementara itu, Amerika Serikat dan sejumlah negara Eropa justru menjatuhkan berbagai sanksi yang tidak ada hubungannya dengan masalah nuklir. Embargo di bidang pendidikan, perdagangan dan teknis hanya bertujuan membendung kemajuan Iran. Serangan dan perusakan reaktor nuklir Iran dengan menggunakan virus, teror dan pembunuhan terhadap para ilmuwan nuklir adalah cara-cara busuk yang dilakukan musuh untuk mencegah kemajuan bangsa Iran.
Saat ini, pemerintah Washington tidak siap untuk mengakui berbagai keberhasilan Tehran, bahkan Amerika meremehkan kemajuan terakhir yang diraih bangsa Iran. Victoria Nuland, Juru bicara Departemen Luar Negeri AS pada Rabu (15/2) kepada para wartawan mengatakan bahwa Iran terlalu berlebih-lebihan dalam menunjukkan keberhasilan-keberhasilannya. Jay Carney, salah satu jubir kantor kepresidenan AS juga mengatakan bahwa upacara peresmian keberhasilan baru nuklir Iran yang diselenggarakan para pejabat negara ini bertujuan mengalihkan opini publik dari penderitaan Tehran akibat sanksi internasional.
Kini muncul pertanyaan, jika sanksi Iran sangat merugikan negara ini dan pemerintah Tehran terlalu membesar-besarkan keberhasilan di bidang nuklirnya, lalu apa alasan musuh-musuh Iran menebarkan ancaman militer ke situs-situs nuklir negara ini?
Kenyataannya adalah perkembangan ilmu dan teknologi nuklir, merupakan parameter utama kemajuan negara di berbagai sektor. Jika Amerika dan sekutunya benar-benar berniat mencegah meluasnya senjata nuklir, seharusnya pada tahun-tahun lalu mereka telah melaksanakan perjanjian pelucutan senjata nuklir. Terkait hal ini, Iran menilai penggunaan senjata nuklir dan pemusnah massal adalah haram. Hal itu berdasarkan tolok ukur agama dan kemanusiaan. Oleh karena itu, Tehran selalu mendesak kepada para pemilik senjata nuklir untuk memusnahkannya dan Iran menginginkan Timur Tengah kosong dari senjata pemusnah massal. (IRIB Indonesia/RA/NA)
Kini, Giliran Iran Mengembargo Eropa
Seorang anggota parlemen Iran menggambarkan keputusan Republik Islam untuk menghentikan ekspor minyak ke beberapa negara Eropa sebagai bentuk hukuman, yang akan menciptakan masalah bagi kilang minyak di benua itu.
"Setelah menghentikan ekspor minyak Iran ke Barat, mereka pasti akan menghadapi kesulitan, dan kami berharap mereka akan membuka mata untuk melangkah dan berhenti melakukan tindakan yang tidak rasional," kata Wakil Ketua Komite Keamanan Nasional dan Kebijakan Luar Negeri Majelis Islam Iran, Hossein Ebrahimi pada Rabu (15/2).
Ebrahimi lebih lanjut mengatakan bahwa sekitar 80 kilang minyak Eropa dipasok oleh minyak mentah Iran dan mencatat penghentian ekspor minyak ke Eropa akan menjadi jawaban terbaik bagi energi blok itu dan sanksi perbankan terhadap Tehran.
Pada hari Rabu, Iran memperingatkan enam negara Eropa, termasuk Belanda, Spanyol, Italia, Perancis, Yunani dan Portugal bahwa pihaknya akan menghentikan ekspor minyak, kecuali penawaran jangka panjang dibuat dan pembayaran dengan negara-negara Uni Eropa dijamin. (IRIB Indonesia/RM)
Menteri Intelijen Iran: Ada Perang Habis-habisan Atas Iran
Menteri Intelijen Iran Heidar Moslehi seraya memperingatkan berbagai konspirasi musuh terhadap Tehran, mengatakan ada perang habis-habisan yang sedang dilancarkan terhadap Republik Islam.
"Berdasarkan informasi akurat, Iran saat ini berada dalam situasi berat perang lunak. Musuh telah menyusun beragam skenario terhadap Republik Islam di hampir semua bidang," jelas Moslehi pada Kamis (16/2).
Moslehi menambahkan bahwa sebagai badan intelijen yang paling penting di negeri ini, Kementerian Intelijen Iran sejauh ini telah menggagalkan sejumlah konspirasi musuh. Dia mencatat bahwa perang lunak musuh telah menciptakan ancaman bagi negara, tetapi juga menghadirkan peluang.
Pada bagian akhir pernyataannya, Moslehi menekankan pentingnya menyusun strategi baru dalam menghadapi ancaman baru musuh terhadap Republik Islam. (IRIB Indonesia/RM)
Rusia Peringatkan Barat Soal Nuklir Iran
Rusia memperingatkan tekanan Barat terhadap Iran menyangkut program energi nuklir, karena Republik Islam telah menyatakan kesiapan untuk mengadakan pembicaraan dengan kelompok 5 +1.
Berbicara dalam konferensi pers di Den Haag, Belanda pada hari Rabu (15/2), Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov mengatakan, apa pun yang mungkin melemahkan kerja sama antara Badan Energi Atom Internasional (IAEA) dan Iran, termasuk sanksi, harus dihindari.
"Yang penting adalah bahwa apa pun yang sedang diumumkan dan dilakukan dalam bidang nuklir harus memiliki kontrol penuh dari IAEA," ujar Lavrov.
Pejabat senior Rusia ini juga menyatakan dukungan untuk dimulainya kembali perundingan mengenai program nuklir Iran. "Kami memberi semangat kepada Iran untuk bekerja dengan IAEA. Kami juga mendorong mereka untuk melanjutkan dialog seputar kecurigaan tertentu," tegasnya.
Sementara itu, Iran menyambut pengakuan resmi Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa, Catherine Ashton tentang hak Iran untuk memanfaatkan energi nuklir damai.
Republik Islam menyatakan kesiapannya untuk melanjutkan pembicaraan dengan lima anggota tetap Dewan Keamanan PBB, yaitu Inggris, Cina, Perancis, Rusia, dan Amerika Serikat, ditambah Jerman.
Irandan kelompok 5+1 telah mengadakan dua putaran pembicaraan multifaset di Jenewa, Swiss pada Desember 2010 dan di Istanbul, Turki pada Januari 2011. (IRIB Indonesia/RM)
PM Jepang Peringatkan Israel Atas Konsekuensi Serangan ke Iran
Perdana Menteri Jepang, Yoshiko Noda memperingatkan Israel atas konsekuensi dari serangan militer terhadap Iran.
Hal itu dikemukakan Noda dalam kunjungan Menteri Pertahanan Israel, Ehud Barak ke Tokyo. Demikian dilaporkan Press TV (16/2). Menurut Noda serangan tersebut akan sangat berbahaya dan akan meluas ke seluruh kawasan.
Awal bulan ini, Barak mengklaim bahwa jika sanksi-sanksi Barat terhadap Iran gagal menghentikan program nuklirnya, maka opsi militer terhadap Tehran harus disiapkan dalam agenda.
Namun, ancaman perang dan retorika para pejabat Israel itu dinilai tidak berarti oleh Pemimpin Revolusi Islam Ayatullah Sayid Ali Khamenei serta para pejabat tinggi dan juga para panglima Angkatan Bersenjata Iran, seraya menekankan kesiapan penuh Republik Islam dalam menghadapi dan membalas segala bentuk serangan. (IRIB Indonesia/MZ)
Iran: Pasukan Asing Ancam Stabilitas Regional
Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad mengatakan pada Kamis (16/2) bahwa masalah-masalah regional hanya memiliki solusi regional.
Ahmadinejad membuat pernyataan dalam sebuah wawancara sebelum perjalanannya ke Islamabad untuk menghadiri pertemuan puncak trilateral ketiga antara Iran, Pakistan dan Afghanistan, IRNA melaporkan.
Dia menuturkan, masalah-masalah regional harus diselesaikan melalui kerjasama dan sikap saling menghormati antara negara-negara di kawasan ini. "Campur tangan asing dalam urusan di kawasan telah melahirkan banyak masalah bagi negara-negara regional, khususnya Afghanistan," tegas Ahmadinejad.
Menurutnya, kehadiran pasukan asing di wilayah tersebut telah mengancam perdamaian dan stabilitas regional.
Berbicara tentang KTT Islamabad, Ahmadinejad mengatakan pertemuan puncak trilateral bertujuan untuk memecahkan masalah-masalah regional dan masalah trilateral. Ditambahkannya, tiga negara Iran, Afghanistan dan Pakistan menikmati ikatan sejarah yang dalam dan harus mempromosikan kerjasama untuk tidak membiarkan musuh mendominasi kawasan mereka.
Ahmadinejad berharap KTT Islamabad akan menemukan cara baru untuk konvergensi lebih lanjut dan solidaritas antara bangsa-bangsa regional. (IRIB Indonesia/RM)
Permusuhan Amerika Terhadap Budaya Iran
Beberapa waktu yang lalu tersiar berita aneh namun cukup menyakitkan, di mana berita itu telah mengagetkan budayawan, seniman dan sejarawan. Laporan itu berkaitan tentang komite Senat Amerika yang sedang mengevaluasi sebuah rencana untuk melelang peninggalan-peninggalan kuno Iran yang tersimpan di berbagai museum dan universitas Amerika dengan harga tinggi. Rencana ini sejalan dengan sanksi-sanksi baru yang dirancang Amerika Serikat terhadap Iran. Menurut rencana, hasil penjualan dari barang-barang antik Iran tersebut akan digunakan untuk mendanai gerakan-gerakan anti-Iran.
Senator Robert Menendez telah memaparkan rencana ini dan akan mengirimnya ke Senat Amerika untuk disahkan. Pasti anda akan merasa heran bagaimana mungkin warisan budaya dan barang-barang museum yang sebagian besar merupakan amanah akan dilelang? Dan anehnya tak seorang pun memprotes langkah tersebut? Apakah para anggota parlemen pemerintah AS yang selalu mengklaim cinta budaya dan kebebasan berfikir, juga akan terperosok ke dalam kebencian terhadap budaya dan sejarah bangsa Iran yang kemudian ingin mengesahkan rencana tersebut?
Gerakan anti-budaya Iran merupakan langkah yang tidak sewajarnya dan bertentangan dengan etika diplomasi serta merupakan pencurian besar terhadap kebudayaan. Maka tidak diragukan lagi, rencana ini mendapat kecaman dari para budayawan dan para penuntut kebebasan di seluruh penjuru dunia. Mereka menuntut pencegahan terhadap langkah ilegal tersebut.
Saat ini muncul pertanyaan, seberapa jauhkah upaya Amerika untuk melelang peninggalan sejarah Iran? Berdasarkan hukum internasional, seperti pasal 27 Konvensi di Wina, tak satupun negara diperbolehkan mengabaikan hak-hak negara lain dan mengambil langkah untuk melelang peninggalan sejarah negara itu dengan dalih aturan internal negaranya.
Dengan begitu, amat jelas bahwa Gedung Putih tidak mempunyai hak untuk menjual peninggalan-peninggalan kuno bangsa Iran. Sebagian besar barang bersejarah itu berhubungan dengan manuskrip masa Kekaisaran Akhemenid. Pemerintah AS harus menjaga peninggalan-peninggalan kuno itu. Sebab, barang-barang antik tersebut milik bangsa Iran dan pemerintah Washington harus mengembalikannya kepada pemerintah Tehran. Jika barang-barang itu benar akan dilelang, maka polisi internasional harus menyita dan mengembalikannya kepada Iran. Sebab, peninggalan-peninggalan bersejarah itu sebenarnya hasil rampasan dari negara Persia ini. Saat ini, lembaga-lembaga internasional khususnya UNESCO juga diharapkan ikut berperan dalam masalah ini dan menentang rencana pelelangan tersebut.
Terkait hal itu, kami akan mengenalkan sebuah buku yang di dalamnya terdapat dokumen yang telah dikumpulkan dan menguak kasus pencurian yang dilakukan sejumlah orang yang menamakan diri mereka sebagai budayawan dan arkeolog Amerika. Buku ini bernama "The Great American Plunder of Persia's Antiquities" yang ditulis Mohammad Gholi Majd.
Tema utama buku ini adalah sejarah arkeologi Iran dan kisah-kisah penemuannya pada masa Reza Shah Pahlavi. Kisah terbukanya pintu-pintu warisan budaya Iran kepada asing khususnya Amerika mempunyai berkas yang tebal dan berlanjut hingga masa kemenangan revolusi Islam pada tahun 1979. Terjadi pula pemalsuan dan distorsi peninggalan sejarah Iran.
Dalam buku ini terdapat dokumen Kementerian Luar Negeri Amerika mengenai penjarahan properti bersejarah dan budaya Iran. Doktor Majd mencetak bukunya di Amerika pada tahun 2003 dan dokumen itu berkaitan dengan tahun 1935-1941.
Seraya menyinggung penjarahan peninggalan-peninggalan kuno, penulis menyebutkan bahwa berdasarkan dokumen pemerintah ini, orang-orang seperti Arthur Pope terlibat dalam pencurian barang-barang kuno dari berbagai tempat suci (Imam Zadeh) dan masjid di Iran dan menjualnya ke museum-museum Amerika. Selain itu, sejumlah barang-barang kuno ini juga dibawa ke London untuk dipamerkan di pameran seni Iran pada tahun 1931, namun hingga kini barang-barang berharga itu tidak pernah dikembalikan ke Iran.
Dokumen-dokumen Amerika menunjukkan bahwa Mohammad Ali Foroughi, Perdana Menteri Iran masa itu dan juga putranya terlibat dalam penjarahan dan penyelundupan peninggalan-peninggalan kuno Iran. Sungguh amat disayangkan, selain mencuri warisan budaya Iran, para penyelundup juga berupaya untuk tidak membayar bea cukai, dan anehnya delegasi pemerintah pada masa Shah justeru memberikan instruksi untuk tidak mengambil bea cukai atas keluarnya barang-barang berharga itu.
Buku "The Great American Plunder of Persia's Antiquities", terdiri dari sembilan bab dan menceritakan tentang aktivitas serta masuknya delegasi-delegasi arkeolog asing ke Iran. Di bagian buku inidisebutkan bahwa ada dua kelompok dari museum yang memiliki izin melakukan penelitian dan penjelajahan diberbagai daerah Iran.
Kelompok pertama dari museum-museum resmi dan
kelompok kedua dari museum-museum universitas.
Hubungan kedua kelompok tersebut adalah sebuah kombinasi kerjasama, namun juga persaingan. Mereka menyepakati perjanjian-perjanjian untuk mengadakan penjelajahan ke daerah-daerah bersejarah Iran selama lima atau 10 tahun dan dengan mengeluarkan dana sedikit, mampu merampas area arkeologi Iran. Namun amat disayangkan, hasil dari penjelajahan itu dibawa ke negara mereka.
James Henry Breasted, Direktur Lembaga Orientalisme Universitas Chicago menilai penemuan Persepolis (Takht-e Jamshid), merupakan penemuan terbesar di semua masa. Kelanjutan dari bab ini, menceritakan tentang proses perampasan peninggalan sejarah Persepolis, di mana sebagian besar peninggalan kuno itu berhubungan dengan ribuan tahun lalu. Berdasarkan perjanjian tentang penjelajahan di daerah bersejarah ini, peninggalan yang ditemukan harus dibagi sama rata antardua negara. Namun akhirnya, terjadilah perselisihan antara keduanya soal perjanjian yang telah disepakati. Karena lemahnya diplomasi Reza Shah, akhirnya Iran lah yang menjadi pecundangnya. Kementerian Luar Negeri Amerika mengadakan pesta atas kemenenangan itu dan membawa kekayaan Iran ke negaranya.
Kasus perampasan warisan sejarah Iran tidak terbatas sampai di situ saja. Penulis dalam bab-bab selanjutnya juga menyinggung tentang kunjungan para orientalis yang mencurigakan. Mereka datang ke Iran dengan dalih melakukan penelitian terhadap peninggalan seni Iran dan memulai penelitian mereka di wilayah bersejarah negara ini.
Pengiriman delegasi-delegasi ke Iran oleh Kementerian Luar Negeri AS merupakan trik AS untuk merampas peninggalan-peninggalan budaya Iran. Sebagai contohnya, pada tahun 1926 Hoffman Philip, Menteri AS terpilih untuk Iran berkunjung ke negara ini.
Hari pertama kunjungannya ke Tehran langsung mendapat pesan dari Kemenlu Amerika yang berbunyi "Sebagaimana yang anda ketahui, para arkeolog Amerika melakukan penelitian penting di berbagai wilayah dunia bersama para arkeolog asing. Mereka saat ini mengharap adanya kesempatan untuk melakukan penelitian serupa di Iran. Oleh sebab itu, Kemenlu ingin mengetahui apakah pemerintah Iran ingin meningkatkan hubungan di bidang arkeologi, bagaimana pendapat anda…."
Karena ketidakpedulian pemerintah Pahlevi, peningkatan hubungan itu sangat menguntungkan Amerika. Selama bertahun-tahun arkeologi Iran berada dalam pengawasan Perancis, namun sedikit demi sedikit berada di bawah pengaruh Amerika. Bahkan Amerika juga mengintervensi soal penjagaan dan pelestarian peninggalan nasional Iran. Hal itu dijelaskan dalam buku The Great American Plunder of Persia's Antiquities di halaman 128. Washington juga menyuap sejumlah pejabat Iran untuk memuluskan misi-misinya.
Menurut laporan seseorang yang bernama Maryam, para peneliti yang sebenarnya adalah para perampok Amerika itu terdiri dari enam delegasi arkeologi yang bertugas melakukan penelitian di Iran pada dekade 1930. Aktivitas utama mereka dipusatkan di Persepolis(Takht-e Jamshid) dan menyelesaikan kegiatan itu pada tahun 1939. Dengan berbagai dalih, hasil temuan di tempat bersejarah ini dibawa ke Amerika, di antaranya untuk penelitian dan pameran di museum-museum dunia, khususnya Amerika. Namun, hingga kini barang-barang berharga itu tidak dikembalikan kepada pemerintah Iran.
Pada tanggal 25 Agustus 1941, pasukan Britannia dan Rusia menyerang Iran dan mendudukinya. Reza Khan mengundurkan diri dan diasingkan. Barang-barang bersejarah Iran yang dimasukkan ke dalam delapan peti dibawa ke Amerika. Direktur Lembaga Orientalisme Chicago di masa itu memuji Kementerian Luar Negeri Amerika dan mengucapkan terima kasih kepada lembaga pemerintah tersebut atas upayanya dalam mengirimkan barang-barang berharga itu. Ucapan terima kasih itu disampaikannya melalui sebuah surat pada bulan Maret 1940. (IRIB Indonesia/RA/NA)
Diskriminasi Al Saud dan Dukungan Amerika
Kebijakan diskriminasi yang diterapkan rezim Al Saud menyebabkan meluasnya protes rakyat di Arab Saudi. Anehnya, Amerika Serikat selalu mendukung kebijakan Riyadh dan bersikap bungkam terhadap pelanggaran Hak Asasi Manusia yang semakin tak terkendalikan di Saudi.
Gelombang protes rakyat terhadap kebijakan diskriminatif rezim Al Saud telah memasuki tahap baru. Sikap Riyadh yang membatasi penggunaan fasilitas umum dan mengkhususkan miliaran dolar hasil ekspor minyak negara kepada keluarga kerajaan membuat kondisi semakin tidak dapat ditolerir rakyat.
Dari 22 juta penduduk Saudi, sekitar 2,5 -3 juta warga bermazhab Syiah (12 Imam, Zaidi, dan Ismailiyah). Pemerintah Riyadh memperlakukan mereka seperti warga tingkat kedua atau orang asing. Warga Syiah sama sekali tidak mempunyai peran dan pengaruh di pemerintahan Saudi. Mereka merasa seakan-akan bukan warga Saudi karena pemerintah kerajaan menganggap mereka seperti warga asing dan menempatkannya di tingkat sosial yang terendah.
Mayoritas warga Syiah Saudi tinggal di wilayah timur negara ini yang kaya minyak. Menurut laporan, jumlah warga Syiah Saudi antara 10 hingga 15 persen dari 22 juta penduduk negara itu. Namun warga Syiah meragukan kebenaran data tersebut. Mereka meyakini kebanyakan umat Syiah menyembunyikan mazhab mereka. Hal itu disebabkan tekanan dan diskriminasi pemerintah.
Pandangan Syiah bahwa setiap penguasa tidak dinilai sebagai "Wali Amr" dan penentangan terhadap penguasa zalim adalah kewajiban syariat, dianggap sebagai bahaya besar bagi rezim Saudi. Para pejabat Riyadh menyadari akan hal itu, oleh karena itu mereka mengambil langkah antisipasi dengan cara mengurangi jumlah warga Syiah yang bekerja di bidang-bidang yang dianggap sensitif.
Para pejabat Saudi rata-rata bermazhab Wahabi, di mana dalam pemikiran mereka ingin menghidupkan prinsip dan norma-norma umat Islam sesuai dengan pandangan mereka. Mereka menilai semua umat Islam yang bermazhab selain Wahabi dianggap kafir dan mengkafirkan lembaga-lembaga lain, bahkan untuk memberantas para oposisi, mereka menggunakan istilah "Takfiri" atau pengkafiran.
Selama abad 20, pemerintah Riyadh dan Wahabi telah memberlakukan tiga diskriminasi; mazhab, ekonomi dan politik terhadap warga Syiah, bahkan hingga kini sikap diskriminasi itu tetap subur di Saudi. Rezim Al Saud juga membatasi aktivitas-aktivitas keagamaan warga Syiah, termasuk pembangunan Husainiyyah, masjid, berpakaian khusus seperti pakaian hitam di hari Asyura.
Selain adanya diskriminasi mazhab dan keyakinan , warga Syiah juga menjadi kelompok paling teraniaya di Saudi. Provinsi timur Saudi yang merupakan wilayah berpenduduk Syiah adalah wilayah yang tidak pernah mendapat perhatian serius dari pemerintah kerajaan. Pemerintah Riyadh memperlakukan berbeda terhadap wilayah ini, misalnya dalam hal pendidikan, kesehatan dan pembangunan jalan. Warga Syiah juga tidak mendapat posisi penting dalam pemerintahan. Jabatan-jabatan penting, seperti bagian keamanan, negara, militer dan polisi diserahkan kepada keluarga kerajaan dan kelompok Wahabi. Bahkan warga Syiah di provinsi timur negara ini tidak pernah mendapat pekerjaan penting. Manajemen dan pengelolaan sekolah, universitas, dan lembaga-lembaga lain di wilayah itu diserahkan kepada warga non-Syiah.
Menurut koran Inggris Independent, pada dekade terakhir ini, warga Syiah Saudi menjadi korban diskriminasi dan perlakuan buruk dari para pejabat Riyadh. Koran tersebut menilai kebijakan rezim Al Saud terhadap warga Syiah seperti sikap rezim Apartheidterhadap warga kulit hitam di Afrika Selatan.
Mantan Duta Besar Mesir untuk Riyadh, Fathi al-Shazli menegaskan bahwa rezim Saudi terang-terangan telah melanggar hak-hak warga Syiah negara ini. Ditambahkannya, kezaliman dan diskriminasi Al Saud terhadap wilayah timur Saudi yang berpenduduk Syiah tampak jelas, sehingga tak seorangpun dapat mengingkarinya.
Menurutnya, kebijakan anti-warga Syiah oleh pemerintah Saudi disebabkan ketakutan mereka terhadap ideologi Syiah. Mereka mengangap warga Syiah sebagai ancaman. Oleh sebab itu, pemerintah Wahabi tidak ingin memenuhi hak-hak warga Syiah.
Dalam laporan tahunan lembaga-lembaga pembela HAM tentang kondisi HAM di Arab Saudi menyebutkan bahwa diskriminasi terhadap warga Syiah semakin meningkat. Menurut laporan tersebut, para pejabat keagamaan Saudi tidak mengizinkan warga Syiah melakukan aktivitas keyakinannya, jika hal itu dilanggar maka mereka diancam akan ditangkap. Hal itu tampak jelas di kota Mekah dan Madinah. Gelombang protes warga Saudi terhadap diskriminasi itu memaksa pemerintah Riyadh secara lahiriyah mengurangi tekanannya terhadap warga Syiah.
Bungkamnya negara-negara Barat khususnya Amerika terhadap pelanggaran HAM di Saudi dan mengambil sikap keras terhadap pelanggaran HAM di negara-negara lain membuat para aktivis sipil Barat protes. Mereka menyebut langkah pemerintah Presiden AS Barack Obama sebagai langkah yang hanya berbau pamer dan disesuaikan dengan kepentingannya. (IRIB Indonesia/RA/NA)
Lonceng Kematian Hegemoni Barat
Selama lebih dari tiga dekade, hingar-bingar pujian terhadap globalisasi dan perdagangan bebas masih terus berkumandang, meski kini mulai mereda. Globalisasi disebut-sebut memberikan kontribusi besar bagi kemajuan dunia. Tampaknya, wacana politik dan ekonomi seperti sulit dipisahkan dari isu tersebut. Namun kini kritikan terhadap globalisasi semakin mengalir deras setelah negara-negara pengusungnya mulai limbung dihantam krisis ekonomi yang semakin akut.
Krisis ekonomi di AS dan zona euro, perang ekonomi Cina dan AS, serta upaya Washington memanfaatkan hegemoninya untuk menguasai dunia di bidang ekonomi politik serta budaya ternyata menghasilkan buah getir, bahkan bagi para pengusungnya sendiri.
Setelah globalisasi berhasil memperlakukan negara miskin dan sedang berkembang sebagai sapi perahan, kini negara-negara penghisap itu mulai kelimpungan dengan game yang dibuatnya sendiri.
Berbagai program dari lembaga-lembaga internasional seperti IMF, WTO dan Bank dunia menjadi alat ampuh dari kapitalisme Barat untuk menguasai dunia.
Globalisasi sebagai mesin Kapitalisme selama bertahun-tahun menyebabkan negara-negara miskin terpuruk akibat suatu bentuk pertandingan tak seimbang antara pemodal raksasa dengan buruh gurem. Rakyat kecil tak berdaya di negara-negara miskin menjadi semakin terpuruk dan merana.
Kini, sistem tersebut menjadi bumerang bagi Barat sendiri. Negara-negara adidaya dunia semacam AS dan Eropa dewasa ini dilanda krisis ekonomi akibat penerapan sistem Kapitalisme yang bertumpu pada keserakahan.
Di tengah eskalasi ketidakpuasan rakyat terhadap kebijakan ekonomi pemerintahan Obama, AS sebagai adidaya dunia kian hari semakin terancam dengan munculnya kekuatan ekonomi baru di Asia seperti Cina. Di saat utang negara AS kian membengkak, Negara Paman Sam itu terus digerogoti oleh keserakahan para politisi dan ekonom kakapnya.
Di saat AS semakin terpuruk, langkah Uni Eropa mengamini kebijakan Washington menekan negara lain harus ditebus dengan kondisi getir bagi negara-negara zona euro sendiri. Embargo anti-Iran yang dilancarkan Uni Eropa menyeret negara-negara di Blok Eropa itu ke dalam kubangan krisis yang semakin akut.
Sejatinya, kini saatnya dunia menata kembali hubungan antarnegara berdasarkan prinsip baru, tanpa hegemoni, kemitraan dan saling menghargai. Kebijakan haus perang yang dilancarkan Bush dalam perang di Irak dan Afghanistan bagi AS sendiri tidak membuahkan hasil apapun, kecuali raibnya milyaran dolar yang dikeruk dari saku para pembayar pajak.
Sudah saatnya para pengambil kebijakan di negara-negara maju melihat negara lain sebagai mitra, bukan sapi perahan apalagi lawan yang harus dimusuhi. Inilah era berakhirnya hegemoni. Lonceng kematiannya telah dibunyikan di AS dan Uni Eropa.(IRIB Indonesia)
Krisis ekonomi di AS dan zona euro, perang ekonomi Cina dan AS, serta upaya Washington memanfaatkan hegemoninya untuk menguasai dunia di bidang ekonomi politik serta budaya ternyata menghasilkan buah getir, bahkan bagi para pengusungnya sendiri.
Setelah globalisasi berhasil memperlakukan negara miskin dan sedang berkembang sebagai sapi perahan, kini negara-negara penghisap itu mulai kelimpungan dengan game yang dibuatnya sendiri.
Berbagai program dari lembaga-lembaga internasional seperti IMF, WTO dan Bank dunia menjadi alat ampuh dari kapitalisme Barat untuk menguasai dunia.
Globalisasi sebagai mesin Kapitalisme selama bertahun-tahun menyebabkan negara-negara miskin terpuruk akibat suatu bentuk pertandingan tak seimbang antara pemodal raksasa dengan buruh gurem. Rakyat kecil tak berdaya di negara-negara miskin menjadi semakin terpuruk dan merana.
Kini, sistem tersebut menjadi bumerang bagi Barat sendiri. Negara-negara adidaya dunia semacam AS dan Eropa dewasa ini dilanda krisis ekonomi akibat penerapan sistem Kapitalisme yang bertumpu pada keserakahan.
Di tengah eskalasi ketidakpuasan rakyat terhadap kebijakan ekonomi pemerintahan Obama, AS sebagai adidaya dunia kian hari semakin terancam dengan munculnya kekuatan ekonomi baru di Asia seperti Cina. Di saat utang negara AS kian membengkak, Negara Paman Sam itu terus digerogoti oleh keserakahan para politisi dan ekonom kakapnya.
Di saat AS semakin terpuruk, langkah Uni Eropa mengamini kebijakan Washington menekan negara lain harus ditebus dengan kondisi getir bagi negara-negara zona euro sendiri. Embargo anti-Iran yang dilancarkan Uni Eropa menyeret negara-negara di Blok Eropa itu ke dalam kubangan krisis yang semakin akut.
Sejatinya, kini saatnya dunia menata kembali hubungan antarnegara berdasarkan prinsip baru, tanpa hegemoni, kemitraan dan saling menghargai. Kebijakan haus perang yang dilancarkan Bush dalam perang di Irak dan Afghanistan bagi AS sendiri tidak membuahkan hasil apapun, kecuali raibnya milyaran dolar yang dikeruk dari saku para pembayar pajak.
Sudah saatnya para pengambil kebijakan di negara-negara maju melihat negara lain sebagai mitra, bukan sapi perahan apalagi lawan yang harus dimusuhi. Inilah era berakhirnya hegemoni. Lonceng kematiannya telah dibunyikan di AS dan Uni Eropa.(IRIB Indonesia)
Sean Stone Memeluk Islam dan Menjadi Syiah di Iran
|
Menurut Kantor Berita ABNA, sebagaimana dilansir dari IRIB Indonesia, Sean Stone, seorang sutradara film dokumentasi Amerika Serikat, putra Oliver Stone yang juga produsen film terkemuka Amerika, memeluk agama Islam.
Mehr News (14/2) melaporkan, Sean berkunjung ke Iran dalam rangka merekam film dokumentasi tentang Iran, dan hari Selasa (14/2) ia menyatakan memeluk agama Islam, di kota Isfahan.
Dalam wawancaranya dengan AFP, Sean menyatakan bahwa konversi ke agama Islam itu berarti dia telah menerima Muhammad sebagai nabi di antara nabi-nabi lainnya. Ayah Sean, yaitu Oliver Stone adalah seorang Yahudi dan ibunya seorang Kristen. Produsen film dokumenter berusia 27 tahun itu sebelumnya pernah tampil singkat dalam film-film produksi ayahnya.
Sean memilih nama Ali dan ia memilih mazhab Syiah.
Mehr News (14/2) melaporkan, Sean berkunjung ke Iran dalam rangka merekam film dokumentasi tentang Iran, dan hari Selasa (14/2) ia menyatakan memeluk agama Islam, di kota Isfahan.
Dalam wawancaranya dengan AFP, Sean menyatakan bahwa konversi ke agama Islam itu berarti dia telah menerima Muhammad sebagai nabi di antara nabi-nabi lainnya. Ayah Sean, yaitu Oliver Stone adalah seorang Yahudi dan ibunya seorang Kristen. Produsen film dokumenter berusia 27 tahun itu sebelumnya pernah tampil singkat dalam film-film produksi ayahnya.
Sean memilih nama Ali dan ia memilih mazhab Syiah.
Ali Stone: Ketika Mengucapkan Syahadat, Aku Merasa Berhadapan dengan Orang Suci
Sean Stone setelah memeluk Islam dan mengganti namanya Ali Stone mengatakan, "Menurut saya, sebagaimana pemerintahan Babel musnah, kekuatan dunia saat ini juga bakal hancur. Karena masyarakat dengan keimanannya telah memulai kebangkitan di Timur Tengah."
Di sela-sela acara pembacaan dua kalimat syahadat di Isfahan, Fars News sempat mewawancarai Sean Stone yang akhirnya memilih nama Ali Stone setelah memeluk Islam. Kepada Fars Ali Stone mengatakan bahwa Gerakan Occupy Wall Street tidak akan padam. Karena ia berada di hati setiap orang.
"Agama Islam adalah lanjutan dari "Firman Tuhan". Allah yang telah mengutus Nabi Ibrahim as dan Musa as, serta menyatukan seluruh mazhab dan prinsip-prinsip agama," jelas Ali Stone mengenai alasan mengapa ia memeluk Islam.
Seniman Amerika ini juga memaparkan bahwa Nabi Muhammad Saw berhasil menyatukan seluruh masyarakat yang waktu itu penuh dengan kekufuran. Menurutnya, saya dapat memahami keberanian dan ketulusan Nabi Muhammad Saw. "Itulah mengapa saya memeluk Islam," ujar Ali Stone.
Seraya menyinggung bahwa agama-agama lain menyembah Allah sama dengan Islam, Stone menekankan, "Laa Ilaaha Illa Allah" bukan pengertian yang baru. Kalimat ini senantiasa ada bersama agama-agama yang ada. Perbedaannya hanya pada cara penjelasannya."
Ketika ditanya apakah keluarganya mengetahui ia berencana memeluk Islam dan apa reaksi mereka, Ali Stone mengatakan, "Tidak. Mereka tidak banyak tahu tentang masalah ini. Dengan memeluk Islam, pada dasarnya saya mengikuti seluruh agama. Kita semua satu di mata Allah yang Maha Kuasa."
Kembali Ali Stone ditanya mengapa di usia 27 tahun ia memutuskan untuk memeluk Islam. "Saya telah membaca al-Quran. Tapi tentu saja orang tidak bisa menjadi muslim hanya dengan membaca al-Quran semalaman. Karena seseorang harus membaca al-Quran selama hidupnya. Proses saya memeluk Islam merupakan perintah Allah. Saya bukan orangnya yang menentukan kapan saya harus muslim," ujar anak sutradara terkenal Amerika, Oliver Stone.
Sekaitan dengan perasaannya saat mengucapkan dua kalimat syahadat, Ali Stone mengatakan, "Saya berhadapan dengan seorang alim rabbani dan suci. Saya berpikir ia memiliki hubungan khusus dengan Allah."
Berbicara mengenai masa depan umat Islam di Timur Tengah, Ali Stone menjelaskan bahwa sebagaimana pemerintahan Babel musnah, kekuatan dunia juga akan tumbang. "Di sinilah perbedaan antara seseorang yang beriman dengan Barat yang tidak percaya," tambahnya.
Ketika ditanya mengenai masa depan gerakan Occupy Wall Street, Ali Stone mengatakan, "Wall Street merupakan sebuah gerakan yang tidak pernah padam. Karena ia ada di hati setiap orang". (IRIB Indonesia/SL/MZ)
Ali Stone: Saya akan Membuat Film Mengenai Asyura
Ali Stone dalam sebuah wawancara yang dilansir Fars News Rabu (15/2) menyatakan, "Di Iran ini saya berencana membuat lima film dokumenter, dan sementara masih dalam tinjauan dan penelitian."
"Di antara film yang ingin saya buat adalah mengenai biografi Maulana Rumi, tokoh besar Persia yang sangat dikagumi di Barat. Maulana Rumi memiliki banyak penggemar di seluruh dunia dan tentu sangat bermanfaat jika biografinya difilmkan. Namun sesungguhnya bagi saya peristiwa Asyura jauh lebih menakjubkan dan lebih banyak memiliki pecinta di seluruh dunia, dan manfaat pembuatan filmnya jauh lebih besar. Saya juga bertekad akan membuat film mengenai Asyura suatu waktu nanti." Tambah putra produsen film terkemuka di Amerika Serikat Oliver Stone tersebut.
Sean Stone (27) yang kemudian setelah memeluk Islam mengganti namanya menjadi Ali Stone mengaku banyak mengenal mahasiswa Iran dari jurusan Sejarah dan Perbandingan Agama. "Pekerjaan saya selama di Iran mengharuskan saya banyak berinteraksi dengan mereka. Sebelumnya saya sudah mengenal Yahudi dan Kristen karena saya tumbuh dari keluarga yang memadukan dua agama besar tersebut. Yang menarik dari Islam, adalah penjelasan mengenai hubungan antara Tuhan dan manusia. Dalam Islam manusia bisa berhubungan langsung dengan Tuhan tanpa melalui perantara. Dan ini sangat menakjubkan bagi saya."
Lebih lanjut ketika ditanyakan mengenai ketertarikannya membuat film mengenai Asyura, ia menuturkan, "Islam tidak bisa dilepaskan dari peristiwa Asyura. Karenanya umat muslim di Iran senantiasa menghidupkan Asyura dengan perayaan-perayaan. Dari Asyuralah saya melihat semangat pembebasan dan cinta keadilan itu lahir dan tumbuh."
"Saya kagum terhadap Iran yang memberikan kebebasan berkeyakinan kepada warganya. Meskipun mayoritas Syiah, warga asli Iran pun juga ada yang bermazhab lain. Dan masing-masing mengerjakan amalannya sendiri-sendiri tanpa pernah bersengketa. Jika ada yang berselisih bukan disebabkan oleh perbedaan mazhab, melainkan sekedar perselisihan pribadi." Jelasnya lagi.
Ketika ditanyakan mengapa memilih Ali sebagai nama muslimnya, Stone menjawab, "Imam Ali as tokoh pembebasan yang sangat diagungkan dalam mazhab Syiah. Saya sejak dulu telah mengenakan kalung yang berbentuk pedang kecil yang bertuliskan Ali. Saya sudah mengaguminya sejak lama." (IRIB Indonesia/IA/PH)
Ketika ditanyakan mengapa memilih Ali sebagai nama muslimnya, Stone menjawab, "Imam Ali as tokoh pembebasan yang sangat diagungkan dalam mazhab Syiah. Saya sejak dulu telah mengenakan kalung yang berbentuk pedang kecil yang bertuliskan Ali. Saya sudah mengaguminya sejak lama." (IRIB Indonesia/IA/PH)
0 comments to "Peninggalan Kuno milik negara ISLAM dijual Zionis Amerika dan sekutunya dan uangnya digunakan untuk mendanai gerakan anti negara ISLAM...!!!!!! Hingga Sean Stone, seorang sutradara film dokumentasi Amerika Serikat, putra Oliver Stone yang juga produsen film terkemuka Amerika, memeluk agama Islam."