Harmoni Setan, Amerika dan AlQaeda Bersatu
Russia Today mengkonfirmasikan kerjasama interaktif Amerika Serikat dengan kelompok teroris AlQaeda dalam menggulingkan pemerintahan Suriah.
James Clapper, Direktur Intelijen Nasional Amerika Serikat, menyatakan bahwa AlQaeda tengah berkolaborasi dengan milisi Suriah penentang pemerintahan Presiden Bashar Assad, dan Washington juga meningkatkan dukungannya terhadap kelompok-kelompok milisi.
Editor majalah online Syria Comment, Camille Otrakji mengatakan, kedua pihak, saling beranggapan dapat bekerjasama untuk saat ini dan saling mengontrol. "Misalnya, AlQaeda saat ini beranggapan mereka dapat berkoalisi dengan Amerika Serikat atau kekuatan sekuler lainnya, akan tetapi nanti mereka akan merebut kekuasaan. Di satu sisi, Amerika Serikat juga beranggapan untuk sementara dapat memanfaatkan kekuatan AlQaeda sampai rezim Assad terguling, namun setelah itu AlQaeda juga akan diberangus. Jadi, sangat disayangkan, Amerika Serikat dan AlQaeda sedang berada di satu front."
Kepada Russia Today Otrakji mengatakan, "Sebagian pihak benar-benar tidak memperhatikan fakta soal apa yang akan terjadi di Suriah pasca pemerintahan Bashar Assad? Sebagian pihak hanya berpikir untuk menghukum rezim al-Assad karena pada tahun 1982 dan pasca serangan Hizbullah terhadap pasukan Amerika Serikat di Lebanon, Damaskus mendukung Hizbullah."
Seorang jurnalis dan aktivis perdamaian, Don Debar berpendapat bahwa Amerika Serikat juga beraliansi dengan AlQaeda di Libya. Dikatakannya, "Pertama, Amerika sudah sejak lama bersekongkol dengan AlQaeda di Libya. Kedua, jika kita melihat pada sejarah Al-Qaeda, Amerika sudah bekerjasama dengan kelompok teroris ini sejak era 70-an dalam memerangi Uni Soviet."
Debar juga menyinggung statemen AlQaeda bahwa mereka mendukung kelompok-kelompok pemberontak, kelompok yang bukan hanya didukung, melainkan juga dipersenjatai dan dilatih oleh Amerika Serikat. "Dengan demikian, masalahnya bukan lagi pada apakah kerjasama itu akan terjadi, karena pada hakikatnya sudah terjadi."
Amal Wahdan, seorang pengamat politik kepada Russia Today mengatakan, "Amerika Serikat tidak punya masalah jika seandainya AlQaeda menggunakan taktik brutal termasuk pengeboman yang merenggut nyawa warga sipil, selama mereka terus menyulut instabilitas yang pada akhirnya akan menggulingkan pemerintahan Bashar Assad."
Di lain pihak, Jason Ditz, editor Antiwar.com berpendapat, "Amerika Serikat dan negara-negara Arab anggota Dewan Kerjasama Teluk (GCC) tengah mencari alasan untuk mengintervensi Suriah. Intervensi itu berpotensi memposisikan AlQaeda di puncak kekuasaan. Yang dikhawatirkan AS dan Arab, adalah kemungkinan munculnya kekuatan baru yang tidak pernah ada sebelumnya di Suriah, jika mereka melancarkan intervensi di Suriah."
Sama seperti yang terjadi di Libya. Intervensi asing di Libya tidak menjadi obat penawar bagi krisis di negara itu pasca tumbangnya rezim Gaddafi. Namun para pejabat Amerika Serikat bersikeras mencari peluang untuk dapat terjun ke Suriah, meski tidak mendapat dukungan publik atau akan muncul konsekuensi negatif dari intervensi tersebut.
Menurutnya, pemerintahan Obama dan Republikan di Kongres memendam keinginan besar untuk menyulut perang baru meski akan ditentang keras oleh publik.
Ditz juga menegaskan bahwa Amerika Serikat dan sekutunya akan terus melanjutkan intervensi bersenjata dan tidak mempedulikan reformasi yang diupayakan oleh rezim Assad. Ditambah lagi fakta bahwa kelompok-kelompok oposisi Suriah juga tidak antusias untuk mencari solusi damai krisis, karena jika solusi itu ada maka mereka tidak akan berguna lagi." (IRIB Indonesia/MZ)
Kesiapan Iran Berunding dan Reaksi Barat
Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Hillary Clinton dan Ketua Kebijakan Luar Negeri Eropa, Catherine Ashton menyambut baik surat Sekretaris Tinggi Dewan Keamanan sekaligus juru runding Iran, Saeed Jalili. Jalili pekan lalu melayangkan surat kepada Ashton menanggapi usulan Uni Eropa untuk memulai perundingan antara Iran dan Kelompok 5+1.
Clinton menilai surat Jalili sebagai langkah penting serta menyambut baik surat tersebut. Di sisi lain, Ashton mengklaim sikap lunak Iran yang bersedia berunding sebagai dampak dari sanksi anti Tehran yang diterapkan AS dan Uni Eropa. Clinton juga menyebut sikap Iran ini sebagai jawaban yang ditunggi Kelompok 5+1.
Sementara itu, statemen ini dirilis di saat Jalili dalam suratnya tidak memberikan usulan baru. Yang jelas Tehran senantiasa menekankan kesiapannya untuk berunding dengan dasar poin-poin yang telah disepakati dan surat Jalili tidak lepas dari kebijakan dasar Tehran ini. Sebelum ini Iran juga telah berunding di Jenewa dan Istanbul. Perundingan menyeluruh antara Iran dan Kelompok 5+1 digelar di Istanbul pada tahun 2011 lalu. Di perundingan Jenewa tahun 2010 telah disepakati bahwa perundingan di Istanbul digelar menurut poin-poin yang telah disepakati serta mengagendakan isu-isu internasional.
Perundingan Istanbul termasuk salah satu kesempatan bagi Barat untuk mengubah kebijakan konfrontatifnya menjadi interaktif. Namun lagi-lagi kesempatan ini hilang akibat arogansi AS dan sejumlah pihak di Kelompok 5+1. Belum lagi sikap irrasional mereka selama perundingan. Meski maraknya sabotase di perundingan ini, namun jawaban Jalili kepada Ashton menunjukkan bahwa Iran tidak keberatan untuk memulai kembali perundingan dengan asas poin-poin yang disepakati. Kini masalahnya adalah friksi internal di Kelompok 5+1.
Amerika Serikat dan sejumlah sekutunya menarget ekonomi Iran dan mencegah kemajuan yang bakal diraih negara ini. Oleh karena itulah, Washington dengan berbagai alasan terus merongrong dan mencegah kemajuan perundingan Iran dan Kelompok 5+1. Teori yang dikembangkan AS adalah memanfaatkan berbagai sanksi serta ancaman militer untuk menekan Iran agar bersedia menghentikan aktivitas nuklir damainya. Padahal strategi ini disadari mandul dan tidak pernah berhasil.
Iran sendiri selama ini tidak pernah menutup pintu dialog. Tehran pun menggalang kerjasama luas dengan Badan Energi Atom Internasional (IAEA) serta mengizinkan lembaga ini untuk mengawasi aktivitas program nuklir damainya secara penuh. Oleh karena itu, sikap positif dan kerjasama luas Iran dengan IAEA, plus penolakan Cina dan Rusia atas sanksi sepihak AS dan Uni Eropa terhadap Tehran termasuk faktor yang memberatkan upaya Barat untuk merongrong Republik Islam Iran.
Meski demikian statemen Ashton terkesan bercabang. Pertama ia membenarkan minat Kelompok 5+1 berunding dengan Iran. Dan kedua statemennya sarat dengan catatan soal jawaban Iran. Hal ini menunjukkan bahwa Barat dengan strateginya berusaha menyudutkan Iran dalam perundingan nantinya. Seperti yang telah mereka lakukan selama delapan tahun lalu. Barat senantiasa berusaha mengesankan di opini publik bahwa aktivitas nuklir Iran dilakukan secara rahasia dan mengarah ke militer.
Kini permusuhan AS dan Uni Eropa terhadap Iran juga masih terus berlanjut. Eskalasi sanksi bank, minyak, perdagangan dan bahkan ancaman serangan militer ke Tehran menjadi alat bagi pihak-pihak yang berunding dengan Tehran. Secara global, statemen Clinton dan Ashton dapat dicermati sebagai upaya mereka untuk mempengaruhi iklim perundingan Iran dan Kelompok 5+1 nantinya. (IRIB Indonesia/MF)
Perbandingan Kekuatan Armada Laut Inggris dan Iran
Menteri Luar Negeri Inggris, William Hague kembali menyinggung "semua opsi" termasuk serangan militer terhadap Iran atas program nuklir sipilnya di tengah spekulasi yang mencuat bahwa kapal perang Inggris tidak mampu bertahan menghadapi peluncur rudal Iran di Teluk Persia.
"Ini bukan cara kami berurusan [dengan program nuklir Iran] ... untuk memprioritaskan aksi militer. Meskipun demikian saya kembali menekankan, kami tidak membatalkan [opsi] apapun dari meja, " kata Hague.
Hague juga mengklaim Iran "jelas melanjutkan program nuklir militer mereka" dan menambahkan "Jika mereka mencpai senjata nuklir," akan mengakibatkan ancaman "perang dingin baru di Timur Tengah."
Pernyataan Hague itu merupakan lanjutan dari berbagai statemen serupa para pejabat Inggris, termasuk Perdana Menteri David Cameron, yang mengancam Iran dengan serangan militer dari selatan Teluk Persia dan Laut Oman.
Namun, fakta di lapangan justru berbicara lain dan menunjukkan bahwa Inggris akan menderita konsekuensi yang sangat buruk jika bergabung dengan sekutunya Amerika Serikat dan Israel dalam menyerang Republik Islam Iran.
Inggris telah berusaha mengesankan bahwa kekuatan pasukan Iran tidak akan mampu menghadapi pasukan Inggris dan bahwa Iran tidak akan mampu membalas serangan Inggris.
Inggris saat ini telah menempatkan sejumlah kapal tempurnya di Teluk Persia termasuk HMS Sheffield dan HMS Coventry –kapal perusak kuno Type-42—yang pernah dikirim ke Argentina dan ditenggelamkan oleh pasukan Angkatan Laut Argentina dengan menggunakan rudal Exocet subsonik pada Perang Falklands 1982.
Inggris juga mengirim kapal frigat Type-23, yang menggunakan sistem radar dan perlengkapan logistik era 1989. Kapal tersebut sangat rentan menghadapi rudal balistik supersonik anti-kapal milik Iran.
Angkatan Laut Iran telah memamerkan rudal balistik pintar supersonik "Khalije Fars" akhir 2011 lalu.
Rudal berbahan bakar padat itu mampu menghancurkan sasaran pada jarak 300 km dan dilengkapi sistem pencarian target yang akan mengunci target pada tahap akhir sebelum mencapai target. Sistem itu membuat kapal musuh tidak punya kesempatan untuk melarikan diri.
Spesifikasi rudal Khalij Fars, dan rudal Iran lainnya, jauh lebih unggul dibandingkan rudal Exocets yang menenggelamkan kapal perang Inggris 40 tahun lalu.
Beberapa waktu lalu, Iran juga menguji berbagai jenis rudal jarak menengah, dan jauh, termasuk rudal anti-radar Mehrab tipe dari darat ke udara, rudal Nour tipe permukaan-ke-permukaan, dan rudal Qader tipe pantai-ke-laut, dengan kisaran daya tempuh hingga 200 kilometer.
Kemampuan rudal Iran semakin memperbesar kemungkinan skenario tragis bagi Angkatan Laut Inggris seperti yang mereka alami pada manuver perang AS di Teluk Persia tahun 2002.
Pada tahun 2002, AS menggelar manuver Operation Millennium Challenge di Teluk Persia setelah dua tahun perencanaan dan menghabiskan dana 250 juta dolar.
Setelah manuver itu berakhir, Letnan Jenderal Paul Van riper, yang memimpin pasukan musuh atau Red Force dalam manuver tersebut membocorkan fakta kepada Army Times bahwa hasil dari manuver itu adalah banyaknya armada angkatan laut AS yang tenggelam di Teluk Persia dan merupakan bencana terburuk bagi Angkatan Laut Amerika Serikat pasca Pearl Harbor.
Van Riper mengatakan jika manuver itu adalah perang nyata, maka 16 kapal perang AS termasuk sebuah kapal induk dan dua kapal induk helikopter tenggelam ke dasar laut Teluk Persia, sementara sisanya berantakan meninggalkan ribuan tentara Amerika tewas, sekarat atau cedera. (IRIB Indonesia/MZ)
Koalisi Arab Saudi, Qatar, AS dan Israel Gulingkan Bashar Assad
Arab Saudi dan Qatar yang getol memusuhi pemerintahan Bashar Assad di Suriah dengan mendukung penuh kelompok bersenjata sejatinya menjadi pelaksana kebijakan Amerika Serikat dan Rezim Zionis Israel untuk mengobrak-abrik stabilitas kawasan Timur Tengah. Seiring dengan merebaknya gelombang kebangkitan Islam di Timur Tengah dan Afrika Utara yang berujung pada lengsernya sejumlah diktator Arab seperti Hosni Mubarak di Mesir, Zein el Abidine ben Ali di Tunisia dan Muammar Gaddafi di Libya, Amerika dan negara Barat berusaha menggulingkan pemerintahan Bashar Assad demi menyelamatkan Israel dari keterkucilan dan mencegah bertambah kuatnya poros muqawama di kawasan.
Untuk merealisasikan ambisinya ini, AS memanfaatkan Arab Saudi dan Qatar, tentunya dengan imbalan seperti sikap bungkam Washington terhadap kondisi Hak Asasi Manusia (HAM) di kedua negara ini. Gedung Putih meminta Riyadh dan Doha mendukung kubu anti Assad serta mengobarkan krisis di Suriah. Arab Saudi dan Qatar dalam hal ini berusaha mengulang kesuksesan mereka di Yaman. Seperti diketahui P-GCC yang dimotori Arab Saudi mengusulkan penggantian Ali Abdullah Saleh, presiden Yaman dengan wakilnya, Abd Rabbu Mansour Hadi dan kini strategi ini akan diterapkan juga di Suriah. Selanjutnya mereka akan menentukan pemerintahan sesuai dengan selera dan kepentingan mereka.
Kini setelah upaya mereka gagal di Suriah, Arab Saudi dan Qatar berusaha menjadikan kasus Damaskus sebagai kasus internasional dan terus menekan Bashar Assad. Kedua negara ini dengan dalih melindungi warga sipil Suriah menuding Damaskus melakukan pelanggaran HAM. Tak cukup sampai di sini, Riyadh dan Doha membawa klaimnya tersebut ke Majelis Umum PBB. Sementara itu, upaya keras kedua negara Arab ini membawa tudingan mereka soal pelanggaran HAM Suriah ke Majelis Umum PBB tidak dibarengi dengan kondisi memuaskan di Arab Saudi dan Qatar sendiri. Kondisi HAM di Riyadh dan Doha sendiri saat ini cukup memprihatinkan.
Arab Saudi saat ini tercatat sebagai rezim yang paling tidak demokratis dan kejam di dunia. Wanita di negara ini tidak mendapat hak-hak sebagaimana mestinya. Mereka dilarang mengendarai kendaraan dan tidak diperkenankan berpartisipasi di pentas politik, termasuk tidak memiliki hak suara. Qatar sendiri tak berbeda jauh dengan Arab Saudi, pemerintahan Doha juga berbentuk kerajaan dan tidak terlihat demokrasi di negara ini.
Navi Pillay, Komisaris Tingggi Dewan HAM PBB menuding Suriah melanggar Hak Asasi Manusia di saat rezim al-Saud di Arab Saudi memenjarakan lebih dari 30 ribu warganya yang tak berdosa dan tanpa dakwaan yang jelas. Selain itu, Riyadh juga gencar menumpas aksi demo damai rakyatnya. Navi Pillay menyebut upaya pemerintah Damaskus melindungi warganya dari serangan kelompok bersenjata yang didukung Arab Saudi, Qatar, Israel, AS dan Turki sebagai pelanggaran HAM. Di sisi lain, Pillay tidak melihat aksi pengiriman tentara Arab Saudi ke Bahrain dan pembantaian warga Manama sebagai pelanggaran HAM.
Sementara itu, pemerintahan Bashar Assad berbeda dengan Arab Saudi dan Bahrain. Assad mendapat dukungan penuh dari rakyatnya. Hal ini terlihat dari aksi demo warga mendukung pemimpin mereka yang digelar hampir tiap hari. Poin penting di sini adalah baik Arab Saudi, Qatar, AS dan Israel sama-sama memiliki satu tujuan yaitu melemahkan poros muqawama serta mencegah keterkucilan Tel Aviv dengan menggulingkan pemerintahan Bashar Assad. (IRIB Indonesia/MF)
Pasukan Elit Iran Tingkatkan Kesiapan Tempur
Angkatan Darat Korps Pengawal Revolusi Islam Iran (Pasdaran) telah meluncurkan manuver militer besar-besaran di Provinsi Yazd untuk meningkatkan kesiapan tempur pasukan bersenjata jika terjadi serangan, Press TV melaporkan pada Ahad (19/2).
Wakil Komandan Angkatan Darat Pasdaran, Brigadir Jenderal Abdollah Araghi mengatakan bahwa semua aspek pertahanan pasif, penyebaran pasukan militer, pengecohan musuh, penyamaran serta taktik-taktik yang berguna bagi pasukan akan dipraktekkan selama latihan dengan sandi Wal Fajr."
"Setiap prajurit di manapun dia ditempatkan harus menunjukkan kemandirian dalam menggunakan peralatan tempur untuk melawan musuh dan menyelesaikan misinya," tambahnya.
Sebelumnya, Komandan Angkatan Darat Pasdaran, Brigadir Jenderal Mohammad Pakpour mengatakan bahwa manuver itu merupakan bagian dari latihan tahunan Pasdaran untuk meningkatkan kesiapan unit militernya.
"Memperkuat pertahanan dan kemampuan pencegahan Pasdaran, mempromosikan kemampuan defensif, mempraktekkan taktik defensif modern, dan menguji peralatan militer canggih, merupakan tujuan lain manuver tersebut," jelasnya. (IRIB Indonesia/RM)
Bulan Madu Amerika dan Al Qaeda di Suriah
Kelompok teroris Al Qaeda kembali memainkan perannya sebagai alat justifikasi imperialisme dan intervensi Amerika di negara-negara lain dan kali ini giliran Suriah. Amerika sejak tahun 2001 hingga sekarang dengan alasan ancaman Al Qaeda telah berhasil menduduki Afghanistan dan Irak serta mengintervensi dan mengagresi Pakistan, Yaman dan Somalia. Tapi dalam skenario yang terburu-buru, tampaknya ada upaya koordinasi Al Qaeda dengan Amerika di Suriah setelah tertutup semua jalur diplomasi dan rahasia untuk menumbangkan Bashar Assad, Presiden Suriah.
Wacana Bersama Al Qaeda dan Amerika
Anwar al-Awlaki, mantan pemimpin Al Qaeda Yaman menurut media-media Amerika sendiri merupakan tokoh didikan AS. Surat kabar Washington Times mengutip seorang mantan pejabat intelijen AS menulis, al-Awlaki pernah ikut dalam acara makan malam di Pentagon dan beberapa waktu setelah itu ia menyiapkan jalan bagi intervensi Amerika di Yaman dengan alasan bahaya Al Qaeda. Tapi di Suriah, kinerja antara Al Qaeda dan Pentagon atau Ayman al-Zawahiri dan Barack Obama sedemikian dekatnya, sehingga tidak tampak bedanya. Sebelum ini para pejabat Suriah berkali-kali berbicara tentang kelompok-kelompok bersenjata yang menyerang tentara Suriah, khususnya yang berada di perbatasan.
Pasca kegagalan upaya Amerika, Barat dan Arab menggolkan resolusi anti-Suriah di Dewan Keamanan PBB akibat membentur tembok tebal Cina dan Rusia, Amerika tidak punya pilihan lain untuk memunculkan permainan lamanya yang berusaha disembunyikan secara terang-terangan.
Media-media Arab seperti koran Alkhaleej, milik Uni Emirat Arab dalam laporannya menulis, Washington dalam sebuah kontrak tidak tertulis, selain berusaha menutup mata dari pemindahan banyak senjata dari Irak ke Suriah mulai mempersenjatai para penentang Bashar Assad. John McCain, Senator dari kubu Republik secara transparan berbicara tentang pentingnya mempersenjatai kelompok-kelompok bersenjata di Suriah. Sekaitan dengan hal ini, Dubes AS di Suriah Robert Ford yang telah meninggalkan negara ini, tapi tetap menjabat, di laman Facebooknya mengklaim ia telah melanjutkan kerjan sebagai dubes AS di Suriah dan berusaha melakukan pengalihan kekuasaan di Suriah secara damai.
Albinaa, harian Lebanon dalam laporannya mengungkap manuver duta besar Amerika di Suriah. Surat kabar ini menulis, setelah Robert Ford meninggalkan Suriah, dari Washington ia pergi ke Paris dan di sana ia bertemu dengan dua tokoh oposisi pemerintah Bashar Assad; Burhan Ghalioun dan Basma Qadmani.
Menurut laporan Albinaa, Robert Ford bertemu dengan dua tokoh oposisi Suriah ini dengan agenda agar mereka merusak infrastruktur Suriah, khususnya di Damaskus, sehingga kepentingan vital pemerintah Suriah tidak dapat bekerja dan dengan sendirinya tingkat ketidakpuasan rakyat terhadap pemerintah semakin tinggi.
"Percayalah bahwa perusakan infrastruktur cukup untuk melengserkan Bashar Assad," kata Robert Ford.
Sementara dari sisi lain, Emir Qatar, Sheikh Hamad bin Khalifah Al Thani kepada media menjelaskan, kegagalan upaya diplomatik memberi kesempatan tentara Arab dikirim ke Suriah. Surat kabar Haaretz, Israel mengutip sumber-sumber diplomatik Arab mengkonfirmasikan kesiapan sebagian negara, terutama Qatar dan Arab Saudi untuk membiayai dan mempersenjatai pasukan "Pembebasan Suriah". Koran ini menambahkan bahwa tentara itu akan mendapatkan senjata selundupan lewat Irak, Turki dan Lebanon atau dari gudang-gudang senjata tentara Suriah.
Kembalinya Al-Zawahiri!
Dalam kondisi yang demikian, Pemimpin Al Qaeda, Ayman al-Zawahiri mulai memasuki permainan Amerika di Suriah dan dalam sebuah pesan kepada umat Islam sedunia ia meminta agar mereka membantu rakyat Suriah demi melengserkan pemerintahan Bashar Assad. Baru-baru ini dalam sebuah pesan lewat video berdurasi 8 menit ia mengumumkan dukungannya atas apa yang dinamakannya "Intifada" rakyat Suriah. Ia mengatakan, "Hendaknya singa Syam segera menuju jihad!"
Bersamaan dengan diumumkannya berita ini oleh kantor-kantor berita Barat dari SITE Institute (Search for International Terrorist Entities), AFP dalam sebuah laporan terpisah dengan judul "Mujahidin Sunni sedang berjihad di Suriah" menganalisa tema-tema yang dimuat di situs-situs yang berafiliasi kepada Al Qaeda dan berita-berita terbaru aktivitas kelompok teroris ini di Suriah bersama kelompok-kelompok bersenjata lainnya di sana.
AFP menulis bahwa satu dari forum anggota jihad bernama "Singa Syam kembali ke sarangnya" (ungkapan yang dipakai Ayman al-Zawahiri kepada pendukungnya) telah menyinggung perpindahan para pejuang Al Qaeda dari Irak ke Suriah.
Sebelum publikasi berita ini, Adnan al-Asadi, seorang pejabat senior Kementerian Dalam Negeri Irak dalam sebuah wawancaranya dengan AFP mengatakan, "Kelompok-kelompok dari Irak telah memasuki Suriah." Sekaitan dengan hal ini, sebuah sumber intelijen Suriah di Damaskus kepada AFP mengatakan, sekitar 400 mujahidin Irak telah memasuki Suriah.
Pertanyaannya, apa yang menjadi alasan utama al-Zawahiri dan Al Qaeda, khususnya cabang Irak memasuki atmosfer penuh ketegangan di Suriah saat ini? Kedua, apa analisa intelijen dari pemindahan pasukan Al Qaeda dari Irak ke Suriah?
Standar Ganda Al Qaeda
Sekalipun Ayman al-Zawahiri dalam sebuah pesan internetnya kepada rakyat Suriah meminta mereka agar tidak percaya kepada kepala-kepala negara Arab dan Turki. Mereka harus menentukan sendiri masa depannya. Pernyataan penolakan kepada Barat dan Amerika sama dengan pernyataan berlepas tangan Barat dari kelompok ini, tapi pada akhirnya tujuan dan kinerja Al Qaeda harus didefinisikan dalam keranjang Barat.
Dalam definisi ini, peran Al Qaeda ada pada hadirnya anggota kelompok ini untuk menumbangkan pemerintahan Bashar Assad dengan modus mengangkat senjata di Suriah dan di sisi lain, "ancaman Al Qaeda" yang kembali ditonjolkan Amerika di Suriah setelah kegagalan upaya AS mencapai kesepakatan di DK-PBB. Kebijakan ini dapat ditelusuri lewat pernyataan-pernyataan terbaru para pejabat Amerika.
Artinya, Al Qaeda di Suriah akan memainkan dua perang; pertama sebagai kelompok bersenjata yang ingin melengserkan Bashar Assad, dan kedua ancaman bagi Amerika dan Barat. Dengan demikian, Al Qaeda memegang posisi kunci keterlibatan Amerika dan Barat di Suriah nantinya.
Peringatan Bermuatan Intervensif
Menurut laporan Kantor Berita Amerika United Press International, Leon Panetta, Menteri Pertahanan Amerika dan mantan Direktur CIA di awal reaksinya beberapa hari pasca publikasi berita tentang kehadiran Al Qaeda di Suriah mengatakan, "Ketika Amerika tengah berkonsentrasi menyelesaikan krisis Suriah lewat tekanan diplomasi dan politik, upaya Al Qaeda di Suriah sangat mengkhawatirkan."
Mencermati kehadiran dan ancaman Al Qaeda di Suriah, Panetta menjelaskan langkah selanjutnya Amerika seperti ini, "Kami tidak punya informasi tentang penetrasi anggota Al Qaeda di dalam tubuh oposisi Suriah, tapi kita harus mengetahui peran dan pentingnya mereka secara terperinci, sekalipun keberadaan mereka sendiri saja sudah sangat mengkhawatirkan."
Kekhawatiran Menhan Panetta tampaknya menjadi rencana baru Washington yang mempermudah militer negara ini mengintervensi Suriah. Tapi langkah Washington tidak akan berhenti di sini saja. Pernyataan James Clapper, Direktur Intelijen Nasional Amerika juga menggambarkan ancaman Al Qaeda ini.
Menurut laporan The Christian Science Monitor, Clapper dalam laporan rahasia terbaru yang disampaikan dalam sidang dengar pendapat Kongres dan di hadapan Komite Angkata Bersenjata Senat Amerika mengumumkan, tampaknya Al Qaeda cabang Irak yang melaksanakan ledakan-ledakan terbaru di Suriah.
"Seluruh jejak yang ada menunjukkan Al Qaeda terlibat dalam ledakan itu. Oleh karenanya, kami yakin bahwa Al Qaeda Irak telah memperluas infiltrasinya hingga ke Suriah," tambah Clapper.
Dijelaskannya bahwa anasir-anasir Al Qaeda telah berada di tengah-tengah kelompok oposisi Suriah dan menyebut Al Qaeda sebagai ancaman lain agar dapat menyempurnakan skenario mendatang Amerika di Suriah. Ditambahkannya, "Dinas Rahasia Amerika memonitor dengan seksama gudang-gudang senjata kimia Suriah yang ancamannya lebih berbahaya ketimbang senjata Moammar Gaddafi, pemimpin Libya!"
Apa yang disinggung Clapper tentang Irak dan Suriah pada dasarnya menjelaskan pentingnya dua negara ini dalam kebijakan luar negeri Amerika dan bahkan sebuah peringatan atau proyek baru untuk kembali menekan para pejabat Irak!
Posisi Al Qaeda Irak dalam Puzzle Amerika
SITE Institute yang mempublikasikan pernyataan terbaru Ayman al Zawahiri ternyata milik seorang perempuan Yahudi, Rita Katz.
Kantor Berita al-Nakheel, Irak sekitar satu tahun lalu telah menurunkan laporan bahwa dengan mengkaji proses publikasi pernyataan kelompok-kelompok yang berafiliasi dengan Al Qaeda menunjukkan satu kenyataan bahwa pernyataan yang dikeluarkan oleh al-Awlaki sama dengan pemimpin Al Qaeda yang lain. Begitu juga dengan pernyataan yang dikeluarkan kelompok "Negara Islam Irak", ternyata semuanya dirilis oleh SITE Institute (Search for International Terrorist Entities).
Berdasarkan laporan ini, SITE Institute dikelola oleh seorang perempuan Yahudi bernama Rita Katz yang lahir di Basrah, Irak.
Katz menguasai bahasa Arab dengan fasih dan lahir tahun 1963 dari keluarga Yahudi, Irak. Setelah partai Baath menguasai Irak pada tahun 1968, ayahnya ditangkap dengan tuduhan melakukan aksi spionase untuk Israel, tapi ibunya bersama tiga orang anaknya, termasuk Katz pergi ke Iran di masa rezim Shah. Di masa itu, ibu Rita Katz berhasil mencari suaka ke Palestina pendudukan (Israel) dan tinggal di kota pantai Bat Yam.
Katz sempat bergabung dengan militer Israel dan beraktivitas di sektor politiknya, sambil melanjutkan kuliahnya di jurusan sejarah dan riset Timur Tengah di Universitas Tel Aviv. Pada tahun 1997 Katz pergi ke Amerika dan pada tahun itu ia memulai aktivitasnya di pusat-pusat riset Timur Tengah.
Masih berdasarkan laporan ini, Katz untuk beberapa lama sempat melakukan aksi mata-mata di pusat-pusat keislaman Amerika dengan memakai pakaian muslim. Ia juga ikut hadir sejumlah konferensi Islam dengan memakai jilbab. Ia juga ikut dalam aksi pengumpulan sumbangan, pergi ke pelbagai masjid dan ikut aksi-aksi protes mendukung Palestina di Amerika.
Setelah itu Katz mendirikan pusat SITE Institute pada bulan Juli 2002 bersama Josh Devon dengan dukungan agen-agen federal dengan tujuan melakukan perang saraf.
Kini semua tahu mengapa Amerika memanfaatkan "bayangan" bernama Al Qaeda di negara-negara yang ingin diintervensi! Hal ini menunjukkan betapa negara tengah mempersiapkan jalan bagi intervensi Amerika urusan dalam negeri Suriah lewat isu Al Qaeda. (IRIB Indonesia/SL/NA)
Terbongkarnya Sebuah Persekongkolan!
Di masa Kekhalifahan Umar bin Khattab ada dua orang yang menitipkan sebuah barang kepada seorang perempuan dan mewanti-wantinya agar saat menyerahkan barang titipan harus dihadiri oleh keduanya.
Beberapa waktu berlalu, salah seorang dari keduanya mendatangi perempuan itu dan mengklaim bahwa temannya telah meninggal dan ia meminta barang titipan mereka. Pada awalnya perempuan itu menolak untuk memberikan barang titipan itu, tapi akhirnya diberikanjuga setelah tidak tahan didatangi berkali-kali.
Namun tidak lama kemudian, temannya yang satunya lagi mendatangi perempuan itu dan meminta barang titipan. Perempuan itu menceritakan apa yang terjadi, tapi orang itu tidak terima dan akhirnya mereka mengadukan masalah ini kepada Khalifah Umar bin Khattab.
Kepada perempuan itu Khalifah berkata, "Dalam masalah ini engkau menjadi penjamin barang titipan itu dan karena tidak ada, maka engkau harus menggantikannya."
Kebetulan dalam pengadilan itu Imam Ali as juga ikut hadir dan perempuan itu meminta kepada Khalifah agar beliau menjadi hakim memutuskan perkaranya dan orang yang meminta barang titipannya. Khalifah Umar bangkit dan berkata, "Wahai Ali! Berdiri dan jadilah hakim di antara mereka!"
Imam Ali as kemudian menatap orang tersebut dan berkata, "Bukankah engkau telah mewanti-wanti kepada perempuan ini agar tidak memberikan barang titipan kalian bila yang hadir hanya seseorang? Saat ini barang titipan berada di tangan saya. Pergilah! Cari temanmu dan bawa ia bersamamu ke sini, pasti aku serahkan barang titipan kalian. Perempuan ini bukan penjamin barang itu."
Dengan cara itu, Imam Ali as mengungkap persekongkolan mereka. Karena beliau mengetahui bahwa dua orang ini berencana ingin membohongi perempuan itu dan mendapat keuntungan dari cara ini. (IRIB Indonesia/Saleh Lapadi)
Sumber: Allamah Muhammad Taqi at-Tustari, Qadhau Amiril Mukminin Ali bin Abi Thalib as, Qom, 1408 HQ, cetakan ke-2.
0 comments to "Terbongkarnya Sebuah Persekongkolan untuk menghancurkan ISLAM...!!!!!!"