Home , , , , , , , , , , , , , , � Apakah ISLAM yang berbicara, mengajarkan dan mengamalkan tentang menuju kesempurnaan AKHLAK disebut TERORIS...??!!??

Apakah ISLAM yang berbicara, mengajarkan dan mengamalkan tentang menuju kesempurnaan AKHLAK disebut TERORIS...??!!??

 




Akhlak, Perbedaan Antara Masyarakat Islam dan Non Islam



Deputi Riset Jamiatul Mustafa, Hujjatul Islam Doktor Hasan Kheiri menyatakan, "Kemuliaan masyarakat Islam sangat terikat dengan akhlak. Jika para tokoh selalu berbicara tentang Islam dan taklif, akan tetapi tidak menunjukkan akhlak yang mulia, maka yang akan terjadi adalah persaingan tidak sehat."

Dalam wawancaranya dengan Mehr News (19/2), Doktor Kheiri mengatakan, titik perbedaan antara masyarakat Islam dan non-Islam adalah dari sisi akhlak. Ditambahkannya, yang dimaksud adalah perilaku individu dan sosial yang berdasarkan taklif dan tugas di hadapan hamba-hamba Allah Swt.

Masyarakat Islam adalah yang harus bergerak menuju kemuliaan dan oleh karena itu prinsip masyarakat Islam adalah mencapai kebahagiaan hakiki yang telah disebutkan dalam ayat dan riwayat.

Pakar sosiologi ini menambahkan, "Dalam masyarakat Islam ditekankan ketakwaan politik-sosial dan yang sebagiannya berkaitan dengan akhlak yaitu penghambaan, ketulusan niat, pengkhidmatan terhadap masyarakat, perhatian terhadap masa depan masyarakat, dan lain-lain."

Dikatakannya, "Ketika menyifati masyarakat Islam, Allah Swt menekankan masalah amar makrufdannahy an munkar sebagai pembeda antara masyarakat Islam dan dan non-Muslim." (IRIB Indonesia/MZ)

 




Islam Sesuai dengan Logika Umum Dunia


Hujjatul Islam Sayid Saeed Reza Ameli menyatakan, "Pondasi Islam ditegakkan atas dasar ukhuwah dan persaudaraan dan pesan Islam sesuai dengan logika umum dunia yang diterima oleh setiap manusia."

IRNA (19/2) melaporkan, Reza Ameli mengatakan, "Harus diperhatikan bahwa wawasan masyarakat semakin meningkat mengingat akses luas manusia terhadap teknologi dan ilmu pengetahuan modern."

Dijelaskannya, sejak agama disingkirkan dari kehidupan pribadi, terjadi pertumbuhan yang tidak lengkap dalam kehidupan manusia. Meski ada bermacam penafsiran tentang globalisasi, akan tetapi globalisasi itu bermasalah dengan identitas budaya, dan dalam rangka mendefinisikan kembali identitas budaya tersebut di jalur tunggal sejarah Barat.

Revolusi Islam Iran menurutnya, adalah sebuah fenomena yang terjadi dalam proses pencarian identitas bagi bangsa Iran. (IRIB Indonesia/MZ)

 






Muhammad Nur: Filsafat Islam di Indonesia Butuh Tangga Pemikiran Baru


Definisi filsafat hanya mencakup metafisika dinilai sejumlah kalangan sebagai pemicu tidak aktualnya pemikiran filsafat Islam. Menurut Muhammad Nur, kandidat doktor filsafat Islam ICAS-Jakarta, dinamika filsafat Islam masih mengalami masalah di tingkat implementasi praktis.

"kita terlalu strict menggunakan terminologi filsafat hanya pada metafisika semata," kata pemikir muslim kelahiran Makasar itu.
 
"Tampaknya, kita butuh sebuah tangga pemikiran baru untuk menjembatani terjadinya tranformasi dari filsafat yang bertumpu pada metafisika menuju filsafat terapan," tegasnya.

Selengkapnya simak wawancara lengkap Purkon Hidayat dari IRIB Bahasa Indonesia dengan Muhammad Nur, kandidat doktor filsafat Islam ICAS-Jakarta mengenai dinamika filsafat Islam di Indonesia.

Bagaimana anda melihat dinamika filsafat Islam di Tanah Air, terutama pemikiran filsafat Mulla Shadra yang disebut-sebut mulai marak dikaji di Indonesia dalam satu hingga dua dekade terakhir?

Saya melihat pegiat pemikiran Mulla Shadra di Indonesia lebih banyak didominasi oleh para aktivis filsafat yang notabene belajar di Iran. Kalau saya tidak sepakat dengan asumsi yang menyebut di Indonesia marak dengan kajian Shadra. Bagi saya marak atau tidak diukur oleh seberapa jauh akademisi Indonesia memperbincangkan pemikiran Shadra.

Pemikiran Shadra di Tanah Air lebih banyak datang dari kalangan yang banyak berafiliasi ke belahan Iran. Sedangkan di universitas-universitas Indonesia sendiri, kita tidak melihat gagasan Shadra digali dengan antusias, khususnya di Universitas Islam Negeri (UIN). Meski mereka tahu ada pemikiran Shadra, tapi mereka belum begitu giat membicarakannya.

Dalam kondisi demikian, kita menyaksikan bersama filsafat Islam di UIN mulai dipinggirkan, dan para peminat filsafatpun semakin menurun. Banyak faktor yang membuat orang tidak memilih jurusan filsafat. Pertama, motivasi kuliah yang berorentasi kerja, dan filsafat tidak menawarkan itu. Kedua, munculnya kekhawatiran bahwa filsafat justru menjauhkan manusia dari agama.

Saya lihat di sini, meski UIN mempunyai jurusan filsafat Islam, namun yang mendominasi di dalamnya justru filsafat dengan basic humanistik. Padahal, jika filsafat Islam di sana berbasis pada Shadra yang berpijak pada tauhid, saya tidak perlu khawatir menyikapi pandangan yang menyatakan bahwa belajar filsafat justru  akan menjauhkan dari religiusitas. Selama ini muncul kecenderungan bahwa orang-orang yang belajar filsafat seolah-olah memiliki kebebasan totalitas yang terkadang jauh dari nilai-nilai religius. Misalnya, di salah satu kampus UIN di pasang tulisan yang berbunyi "Di Sini Area Bebas Tuhan !".

Ironisnya, yang lebih menyedihkan adalah fenomena tersebut terjadi di universitas Islam. Sebenarnya ini merupakan sebuah keresahan filosofis yang justru harus dijawab oleh kalangan pegiat filsafat Islam. Inilah alasan ketidaksetujuan saya terhadap pandangan yang menilai pemikiran Shadra marak dikaji di Indonesia.

Kira-kira apa masalah utamanya, dan apa terobosan yang harus dilakukan ?

Saya melihat ada banyak jalan yang bisa ditempuh untuk mengenalkan Shadra kepada publik Indonesia. Tidak sedikit orang Indonesia yang mengenal pemikiran Islam justru dari Barat, jadi bukan dari Islam itu sendiri. Imbasnya, para pemikir Muslim Indonesia juga mengenal filsafat Islam termasuk pemikiran Shadra justru dari tangan pemikir (yang berada di negara-negara) Barat.

Di kalangan universitas Islam Indonesia, para pengajar filsafat Islam mengenal Shadra dari para pemikir yang tumbuh di Barat seperti Sayyid Hossein Nasr yang cukup dikenal di Indonesia. Tidak diragukan lagi, Nasr memiliki peran besar dalam memperkenalkan Shadra di kalangan kampus.

Di Tanah Air, para pegiat Shadra memikul tanggung jawab besar untuk menjelaskan pandangan filsafat Islam sebagaimana adanya dengan melakukan sebanyak mungkin penerjemahan karya-karya besar Shadra, maupun menuliskan konsep-konsep besarnya bagi publik Indonesia.

Pemikiran Shadra tidak mudah untuk dipahami, dan dia memiliki kerangka filosofis tertentu dengan ciri khasnya. Untuk itu, di sini diperlukan kerja keras dari para pegiat filsafat Islam dalam menebarkan pemikirannya sehingga bisa dicerna publik Tanah Air.

Sebagai perbandingan sederhana, Iran relatif berhasil mengembangkan filsafat Islam, karena ada usaha besar dari kalangan pegiatnya untuk menerjemahkan dan menulis pandangan berbagai karya filosof besar dunia ke dalam bahasa Persia.

Tampaknya di Indonesia upaya tersebut belum gencar dilakukan. Barangkali inilah  salah satu faktor yang menyebabkan pemikiran Shadra kurang dipahami sehingga belum menarik minat publik Indonesia.

Sejauh ini muncul sinisme bahwa filsafat Islam berada di menara gading, mengawang-awang di langit, dan tidak bisa menjawab problem kekinian. Padahal kalau melirik ke Barat, kita justru menemukan implementasi filsafat dalam bentuk filsafat terapan, filsafat praktis, filsafat sosial dll. Sebagai pegiat filsafat Shadra, bagaimana Anda melihat kontribusi filsafat Islam di ranah ilmu sosial dan humaniora?

Masalah kontribusi filsafat Islam dalam disiplin ilmu sosial di Indonesia, saya kira ini bukan hanya problem implementasi pemikiran Shadra, tapi juga filsafat Islam. Mengutip pemikir Iran, Mohsen Javadi, kita memiliki masalah dalam mendefinisikan filsafat yang hanya pada bertumpu pada metafisika semata. Kita tidak pernah menyebut mereka yang menggali politik dari sisi filosofis, ekonomi dari segi filosofis kemudian etika dari aspek filosofis sebagai filosof. Sedangkan di Barat, terminologi filsafat itu bukan hanya bertumpu kepada metafisika.

Karakteristik yang sangat khas filsafat Islam adalah pembatasan filsafat hanya pada metafisika, sehingga menyebabkan kurangnya para peneliti yang menggali lebih jauh sebenarnya tentang aspek filosofis ekonomi, hukum dll. Di Barat banyak kita temukan para filosof yang tidak paham tentang metafisika, sebab mereka hanya fokus terhadap satu kajian khusus misalnya tentang ekonomi.

Tampaknya kita butuh sebuah tangga pemikiran untuk menjembatani terjadinya tranformasi dari filsafat yang bertumpu pada metafisika semata menjadi filsafat terapan.

Saya pikir kritikan itu benar adanya bahwa di kalangan pemikir Islam belum gencar dilakukan upaya besar ke arah itu, meskipun dalam beberapa tahun terakhir tanda-tanda optimisme ke aras sana semakin terlihat nyata. Misalnya, di Iran sejumlah jurnal sudah membahas mengenai filsafat Islam terapan yang mulai mengisi kekosongan yang terjadi begitu lama di dunia filsafat Islam.

Nah, mungkin benar yang dikatakan Mohsen Javadi bahwa kita terlalu strict menggunakan terminologi filsafat hanya pada metafisika semata. Sementara di Barat, seseorang disebut sebagai filosof tidak mesti harus menguasai metafisika, bisa juga seorang ahli etika disebut filosof etika ketika ia mengkaji masalah tersebut secara filosofis.

Saya tertarik dengan istilah yang Anda gunakan tentang tangga pemikiran baru filsafat Islam. Bisa dijelaskan lebih jauh hal ini dalam konteks Indonesia?

Kalau kita meletakkan masalah ini ke dunia akademis Indonesia mungkin warnanya akan berbeda. Sebab, pemahaman filsafat Islam di Indonesia belum tertata secara baik, sehingga untuk masuk ke ranah filsafat terapan masih butuh kerja ekstra besar, karena basic-nya pun belum tertata dengan baik. Maksud saya, kalangan intelektual Indonesia, termasuk di universitas-universitas Islam hingga kini masih belum meletakkan keberadaan filsafat Islam sebagaimana mestinya. Filsafat Islam yang dipelajari merupakan bagian dari filsafat dengan pijakan humanistik.

Di sini, ICAS-Jakarta sebagai institusi yang concern di bidang filsafat Islam di Indonesia punya tantangan besar. Pertama, bagaimana dia mempromosikan filsafat Islam sebagaimana adanya. Kedua, upaya mempromosikan kajian-kajian filsafat terapan atau filsafat praktis, yang disebut di Iran sebagai falsafe-ye mozaf (the philosophy of).

Meski demikian, saya melihat terjadi kemajuan besar dengan adanya jurnal dan seminar filsafat Islam yang intensif digelar di Tanah Air. Semua ini menunjukkan optimisme bagi perkembangan filsafat  Islam di Indonesia.(IRIB Indonesia/PH)

 





Persamaan Antaragama Harus Dicari Demi Kerukunan dan Persaudaraan


Menteri Kebudayaan dan bimbingan Islam, Sayid Mohammad Hoseini, menyatakan bahwa persamaan antaragama harus dicari untuk saling mendekatkan. Menciptakan keakraban antara berbagai agama merupakan salah satu dari kebanggaan Republik Islam Iran.

IRNA (19/2) melaporkan, Sayid Hoseini mengatakan, "Kehidupan yang penuh dengan kedamaian dan keakraban dengan seluruh agama merupakan kebanggaan Republik Islam Iran."

"Di Iran, kelompok minoritas hidup damai dengan pemeluk agama lain dengan menemukan persamaan dan dengan dasar penghormatan timbal balik."

Menurutnya, Imam Khomeini ra sebelum menjadi seorang politisi, dia adalah seorang hamba yang selalu bermunajat kepada Allah Swt. Orang yang menjadikan ketauhidan sebagai pijakan dasar seluruh amal perbuatannya, maka para pengikut tauhid pun juga akan mencintainya.

Dijelaskannya pula bahwa Imam Khomeini selelu menghormati semua rakyat dari agama, etnis, kabilah, dan mazhab mana pun, dan ini dinilai sebagai tugasnya. "Orang yang bertauhid dan meyakini Ketuhanan Yang Maha Esa, maka dia tidak akan menzalimi."

"Terdapat berbagai persamaan antaragama langit yang dapat dijadikan landasan untuk menciptakan kerukunan dan persaudaraan," tegas Sayid Hoseini. (IRIB Indonesia/MZ)

 




Mahasiswa Columbia AS Berikan Informasi Tentang Islam dan Muslim



Asosiasi Mahasiswa Muslim (MSA) di Universitas Columbia menggelar Pekan Kesadaran Islam yang mencakup pelaksanaan pembahasan dan dialog terbuka yang menekankan hakikat dan pesan Islam serta penolakan penisbatan setiap peristiwa kekerasan kepada Islam dan Muslim.

Mehr News (19/2) melaporkan, dalam Pekan Kesadaran Islam itu, lembaga mahasiswa Muslim Universitas Columbia berusaha memperkenalkan agama Islam dan umat Muslim yang sejati.

Irem Bilgic, Ketua Asosiasi Mahasiswa Muslim di Universitas Columbia, berharap program ini akan menambah wawasan non-Muslim mengenai Islam, Muslim, dan budaya umat Islam.

Bilgic, Muslim keturunan Turki mengatakan, "Satu adat khusus tidak dapat dijadikan perwakilan dari seluruh budaya Islam yang ada, karena umat Islam memiliki kebudayaan yang berbeda-beda dan semua budaya tersebut yang membentuk masyarakat Islam."

Untuk menjelaskan masalah budaya Muslim dan budaya Islam, serta keragaman budaya umat Islam sebagai pemeluk agama Islam, MSA pekan ini menggelar Pekan Kesadaran Islam yang diharapkan dapat meningkatkan wawasan dan informasi mahasiswa tentang Islam.

Ali Sayid seorang anggota panitia program itu menyinggung serangan verbal terhadap warga Muslim di Amerika Serikat yang terus meningkat pasca serangan 11 September dan mengatakan, "Sebagian di antara mereka bahkan tidak tahu sebab mengapa mereka harus mengolok atau menghina kami yang juga kawan mereka."

Salah satu program dalam Pekan Kesadaran Islam itu adalah "Tetangga Muslim" yang membahas berbagai masalah berkaitan dengan tuduhan dan penisbatan tidak benar terhadap warga Muslim.(IRIB Indonesia/MZ)


"Jangan Memohon Allah Membukakan Pintu Dunia Bagi Kalian!"


رُوِيَ عَن الصّادق عليه السلام قال:
مَا فَتَحَ اللَّهُ عَلَى عَبْدٍ بَاباً مِنْ أَمْرِ الدُّنْيَا إِلَّا فَتَحَ اللَّهُ عَلَيْهِ مِنَ الْحِرْصِ مِثْلَیه.[*]

Diriwayatkan Imam Ja'far as berkata:

Allah Swt tidak akan membuka satu pintu pun dari urusan dunia ini kepada hamba-Nya, kecuali Allah telah membuka dua pintu keserakahan dunia di hadapannya."

Ayatullah Mojtaba Tehrani menjelaskan hadis dari Imam Ja'far as-Shadiq as dan mengatakan, "Jika Allah Swt membuka satu pintu dunia ini kepada seorang hamba, maka di sisi lain, dua pintu keserakahan terhadap dunia juga akan dibuka di hadapannya. Apakah pintu keserakahan tersebut? Pintu pertama adalah keserakahan untuk menjaga apa yang telah didapatkannya dari dunia. Pintu kedua adalah keserakahan terhadap hal yang belum dimiliki dari dunia ini."

"Masalahnya adalah jangan pernah kau meminta agar Allah Swt membukakan pintu dunia kepadamu. Karena kalian akan menjadi duniawi. Akan tetapi mintalah kepada Allah agar memberikan apa yang kalian perlukan, dan kalian butuhkan, sehingga kita tidak memerlukan apapun dari manusia. Ini juga merupakan salah satu masalah yang ditekankan dalam agama bahwa jika jika kalian mengalami kesulitan, mintalah kepada Allah Swt agar Ia membuka jalan bagimu!"

"Salah jika kalian meminta Allah membukakan pintu dunia bagi kalian. Karena selain tidak ada manfaatnya bagi kalian, bahkan akan membuka dua pintu keserakahan bagi kalian. Akan tetapi memohonlah kepada Allah agar kalian mendapatkan apa yang kalian perlukan sehingga tidak membutuhkan uluran tangan manusia."

"Jika kalian ingin Allah membukakan pintu untuk kalian, maka seharusnya itu di bidang maknawi. Katakanlah, ya Allah bukakanlah pintu maknawi Mu! Dan agar sisi maknawi yang aku miliki saat ini tetap terjaga dan terus bertambah." (IRIB Indonesia/MZ)

[*]بحارالانوار، جلد75، صفحه 254 تحف العقول ص370



0 comments to "Apakah ISLAM yang berbicara, mengajarkan dan mengamalkan tentang menuju kesempurnaan AKHLAK disebut TERORIS...??!!??"

Leave a comment