Home , , , , , , , , , , , , , , � 'Wanita Boleh Susui Lelaki Asing : 'Islam "Tidak Toleransi" : Arab Saudi yang Wahabi MENINDAS wanita muslimah : “ Izinkan kami mengemudi atau kami akan menyusui orang asing.”

'Wanita Boleh Susui Lelaki Asing : 'Islam "Tidak Toleransi" : Arab Saudi yang Wahabi MENINDAS wanita muslimah : “ Izinkan kami mengemudi atau kami akan menyusui orang asing.”





Sheikh Obeikan Rilis Fatwa 'Wanita Boleh Susui Lelaki Asing'


RIYADH (voa-islam): Penasehat Hukum di Departemen Kehakiman  Saudi Arabiya, Sheikh Abdul Mohsen Al-Obeikan menegaskan kebenaran berita yang beredar di situs, forum dan berbagai media masa tentang fatwanya yang membolehkan "menyusui lelaki dewasa asing" dalam keadaan tertentu.

Dia menekankan dalam wawancaranya dengan "Alarabiya.net" pada hari Jumat 21/5/2010 bahwa "berita yang telah beredar tidak menyertakan syarat dan kondisi, yaitu tidak boleh menyusui dari payudara secara langsung, dia menegaskan bahwa mengambil susunya harus dengan cara yang sesuai dan jauh darinya, lalu diberikan kepada orang yang bersangkutan".

Dia mencatat bahwa pembicaraannya ketika itu dalam sebuah wawancara dengan salah satu saluran televisi Saudi baru-baru ini, dia mengatakan: "Jika satu anggota keluarga membutuhkan seorang laki asing yang sering memasuki rumah mereka,dan juga orang tersebut hanya memiliki anggota keluarga rumah itu dan sulit memasuki mereka dan menyebabkan mereka malu, terutama jika dalam rumah ada perempuan atau istri, maka istri berhak untuk menyusuinya. "

Dia berhujah dengan riwayat Salim maula Hudzaifah dan beberapa pendapat lain yang dikutip dari Ummul Mukminin Aisha radhiallahu 'anha istri Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, demikian juga yang dikatakan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dia menegaskan bahwa fatwa itu disebutkan dan ada dalam literatur Ibnu Taimiyah, dengan catatan bahwa fatwa "menyusui lelaki asing" disesuaikan dengan batasan yang ditentukan. Jika demikian maka itu menjadi: " kondisi yang tidak terikat waktu, tetapi bersifat umum untuk setiap zaman".

Berita tersebut sering muncul di media masa akhir-akhir ini, terutama setelah satu surat kabar dari "sumber elektronik" memaparkan wawancara televisi Sheikh Al-Obeikan, lalu dihubungkan dengan berbagai fatwa yang serupa dan yang menentangnya, Sheikh Obeikan dalam banyak kesempatan mengingatkan untuk tidak membiarkan para penuntut ilmu menyebarkan fatwa yang akan memicu perdebatan di kalangan umat Islam, di samping menyerukan pembentukan komisi tinggi yang khusus mengurusi kasus ini.

(ar/alarabiya/
Sabtu, 22 May 2010
)


Wanita Saudi Membalikkan Fatwa Menyusui Pria Dewasa

Ultimatum – Biarkan Kami Mengendarai Atau Kami Akan Menyusui Supir Kami
Wanita Arab Saudi telah sejak lama dirugikan dengan perlunya seorang laki-laki untuk melakukan segala sesuatu, tidak dapat satu ruangan dengan lawan jenis kecuali ada hubungan darah dan mereka tidak dapat membawa mobil mereka sendiri. Sekarang sebuah kelompok wanita Arab Saudi sudah lelah dengan hal ini dan mengancam untuk memberlakukan fatwa mengenai menyusui pria dewasa kecuali mereka diizinkan untuk menyetir.
Fatwa Terbaru Mengenai Menyusui Pria Dewasa
Fatwa terbaru yang dikeluarkan oleh Sheikh Abdul Mohsin Bin Nasser Al Obaikan, anggota dari Cendekiawan Arab Saudi, penasehat raja dan konsultan di kementrian hukum menyebabkan sebuah kontroversi. Sheikh Abdul Mohsin Bin Nasser Al Obaikan mengatakan bahwa  cara untuk menghindari pelanggaran terhadap hukum Arab yang tegas mengenai kontak antara wanita dan pria adalah dengan mengganti status dari pria yang sering melakukan hubungan dengan sang wanita, dari yang tidak berhubungan darah menjadi hubungan ibu dan anak. Nampaknya Islam menganggap bawah hubungan menyusui setara dengan hubungan darah.
Sheikh Abdul Mohsin Bin Nasser Al Obaikan mengatakan bahwa supir dapat berinterakasi dengan bebas dengan seluruh anggota keluarga majikannya tanpa melanggar hukum Saudi Arabia jika mereka disusui oleh wanita yang memperkerjakan mereka.
Sheikh Abdul Mohsin Bin Nasser Al Obaikan mengatakan “Seorang perempuan dapat menyusui pria dewasa sehingga ia menjadi anaknya. Dengan demikian ia dapat berinterkasi dengan seluruh wanita dalam rumah majikannya tanpa melanggar hukum Islam.”
Bagaimana Cara Untuk Disusui
Sheikh Abdul Mohsin Bin Nasser Al Obaikan mengatakan “Sang pria harus minum susu ASI, tetapi tidak langsung dari payudara sang wanita. Ia harus meminumnya dan dengan demikian ia menjadi anggota keluarga, dengan demikian ia dapat melakukan interaksi termasuk interaksi fisik dengan wanita tanpa melanggar hukum Islam.”
Tetapi salah satu petinggi agama Saudi lainnya, Sheikh Abi Ishaq Al Huwaini tidak setuju dengan fatwa itu, ia mengatakan bahwa pria harus menyedot langsung susu dari payudara, dan bukan dari gelas.
Kampanye Wanita Mengemudi
Sekarang sekelompok wanita Saudi telah memulai kampanye agar wanita diizinkan untuk mengendarai mobil. Dengan berdasarkan fatwa terbaru dari Abdul Mohsin Bin Nasser Al Obaikan, kampanye ini mempunyai slogan “ Izinkan kami mengemudi atau kami akan menyusui orang asing.” Amal Zahid, seorang anggota dari kampanye ini mengatakan “kampanye kami akan berfokus terhadap hak wanita untuk mengemudi.”
Konyol dan Aneh
Kampanye ini terdengar seperti ultimatum. Izinkan wanita Saudi mengemudi atau izinkan mereka menyusui orang asing. Fatima Al Shammary mengatakan “ Fatwa ini menjadi topik yang cukup panas dikalangan  wanita. Apakah ini satu-satunya cara yang kami dapat lakukan? Memberikan payudara kami kepada supir? Wanita lainnya mengatakan “Apakah Islam mengizinkan kami untuk menyusui pria yang tidak kami kenal tetapi melarang kami untuk mengendarai mobil kami sendiri?
Suzan Al Mashhadi, seorang penulis menanyakan “ Apakah wanita dapat menyusui sang supir tanpa kehadiran suaminya atau harus dengan kehadiran suaminya? Dan pertanyaan susulan “Siapa yang akan melindungi sang istri ketika sang suami masuk kedalam rumah dan melihat sang istri sedang menyusui sang supir?”
Banyak orang menganggap ini sebagai hal yang konyol. Seorang wanita mengatakan “Saya sudah tidak menyusui anak saya sendiri. Bagaimana saya bisa menyusui pria asing? Omong kosong apa ini?
Bagaimana cara menggunakan fatwa dengan cara yang lain?
Seorang wanita Saudi mengusulkan bahwa fatwa terbaru mengenai menyusui ini dapat juga digunakan dengan cara lain. Suami dapat disusui oleh pembantu rumah tangga mereka yang wanita sehingga mereka dapat berinteraksi dengan pembantu wanita mereka.
Pikirkanlah ini
Hukum Saudi Arabia mengenai interaksi antara wanita dan pria seharusnya diterapkan dengan ketat. Tetapi apakah ini juga harus terjadi pada pembantu dan majikannya? Bagaimana cara bagi anggota keluarga untuk tidak terlibat kontak dengan pembantunya yang biasanya bukan berasal dari anggota keluarga yang sedarah? Bagaimana dengan supir yang disewa? Bagaimana bisa supir dapat tidak melanggar hukum ini ketika mereka sedang menyupir dengan anggota wanita dari majikannya? Dapatkah kampanye yang terdengar seperti ancaman ini membuat wanita di Saudi Arabia dapat mengendarai mobilnya sendiri? Dan haruskan pria Saudi memulai kampanye juga mengenai menyusui langsung dari pembantu wanitanya? Bukankan keseluruhan hal ini konyol dan aneh?

11 comments to Wanita Saudi Membalikkan Fatwa Menyusui Pria Dewasa
  • Bunga
    emang wanita2 saudi rela apa menggadaikan harga dirinya HANYA KARENA mereka ingin nyupir mobil sendiri.. pdhal mereka tw betul apa yg mengancam mereka ketika mereka berjalan2 sndiri..khususnya ya d negara mereka.
    Yakin cuma ngomong doang..biasa kan kalo perempuan udah putus asa jadinya ngancem macem2 jd seringnya ga rasional..yah berbicara sbg wanita..dan memang itulah yg akan wanita lakukan :)
  • pengen jelas
    yang paling bikin saya heran, ko’ masih ada aja yang ngikutin orang kaya begini?
  • Hasn
    masyaallah..sepakat dengan pendapat second life di atas..seharusnya pemerintah arab saudi melakukan peninjauan kembali terhadap peraturan tersebut..
    selain itu, mereka (pihak kerajaan) harus belajar watak masyarakat sekarang yang sudah banyak terpengaruh budaya barat..jadi harus lebih hati-hati dalam membuat peraturan dan harus lebih detail serta tegas terhadap penerapannya..
    juga harus belajar untuk mengurangi rasa chauvinisme yang sudah membumbung tinggi di kalangan masyarakat arab saudi..
    kalau ada yang salah dari ucapan saya, saya mohon ma’af..
    wallohu a’lam bis showab..
  • alghifari
    ko bisa orang seperti itu dijadikan mufti???? aneh…. kalo seperti itu kejadiannya maka banyak orang yang batal nikahnya karena setelah sang istri punya anak bayi di sadari/ tidak dia akan meminum meskipun sedikit air asi istrinya. kalo dah seperti itu maka jadi ibunya donk… jika pemahamnnya siapapun orangnya tanpa di batasi umur meminum asi lantas jadi muhrim, gmn nikahnya??? masa nikah sama ibunya sendiri???
  • dintara
    semakin tidak rasional aja nih ulama saudi, maunya apa sih…bukankah menyusui buat anak-anak bukan orang dewasa kalau buat orang dewasa namanya bukan menyusui
  • second_life
    For me, this is just another chance to ‘legalize’ their -read: stupid, moron, sex-only-thought-goats – sexual abuse.
  • otongmarutong
    untung saya tidak hidup di Arab saudi
  • ajeng
    hedeew…mual bin muak baca artikel ini..g kebayang…
  • Bang Hadi
    menurut saya hal itu tdk perlu dilakukan & tdk sepantasnya hal sepele dijadikan alasan untuk melegalkan kemaksiatan, Ittaqillah.. hukum radha’ah bisa diterapkan bgi anak yang yang berumur 2 tahun kebawah (sinnur radha’ah) jd tdk ada status mahram dgn susuan kpd org dewasa. memang Islam memberikan btsan yg sangat ketat berkaitan dgn hubungan antara pria – wanita, namun bukan berarti tdk ada jln sama sekali atau justru dengan cara membuka pintu kemaksiatn lebar2. di zaman ini memng ikhtilat memang sulit dihindarkan namun jika ketakwaan menjadi benteng & khosyatullah ada dlm hati Insya Allah anda akan terjaga dri hal2 yg tdk senonoh. Ittaqillah..Ittaqillah.. karena dengan beralaskan fatwa tersebut akan banyak menimbulkan kesemrawutan & merusak hukum Islam itu sendiri, sehingga seorang suami tdk boleh lagi bersetubuh dgn istrinya setelah ia menyedot susu dari puting payudranya istrinya karena statusnya berubah menjadi ibu & anak, bahkan dikhawatirkan setiap orang berbondong-bondong mencari wanita untuk di isap payudaranya agar interaksi apapun antra mereka tdk haram padahal cuma ingin memuaskan hawa nafsunya, hukum pernikahan akan rusak karena tersebarnya ibu2 susuan & saudara2 sesusuan merajalele sedangkan menikah dgn saudara satu susuan tau dgn ibu susuan hukumnya haram & yg tersisa adalah perzinahan dimana2. jd menurut hemat saya, jelaslah bahwa mafsadat yg ditimbulkan dari fatwa tersebut lebih besar dari manfatnya. Wallaahul Haadii Ilal Haqqi Wasawaais sabiil..
  • Artifax
    kok bisa? bukannya anak bayi disusui oleh ibu lain agar tetap bertahan hidup karena sang bayi belum bisa makan yang lain dan atau sang ibu tak bisa memyusui…. nah orang dewasa kan dah bisa makan sendiri, malahan nafsu tu ntar…
  • Dharma Satyan Thaib
    Supaya TKW indonesia di Saudi Arabia aman dari perkosaan majikan pria mereka maka dalam kontrak harus disebutkan bahwa majikan pria dan anak2 laki2 mereka harus minum susu si TKW yang bekerja pada mereka. (Gila ya, orang Arab !)

    Menelisik Hari Perempuan Sedunia


    Tanggal delapan Maret diperingati sebagai hari perempuan sedunia. Di hari ini, perempuan dari berbagai negara di seluruh dunia memperingati kebangkitan kaum perempuan dalam memperjuangkan kesetaraan gender di berbagai bidang mulai dari budaya, ekonomi, sosial hingga politik. Secara historis, peringatan 8 Maret berkaitan erat dengan peristiwa kebakaran Pabrik Triangle Shirtwaist di New York pada 1911 yang menewaskan 140 orang perempuan.

    Perayaan ini pertama kali mengemuka memasuki abad ke-20 di tengah derasnya gelombang industrialisasi dan ekspansi ekonomi yang menimbulkan gelombang protes mengenai kondisi kerja perempuan. Kaum perempuan dari pabrik pakaian dan tekstil mengadakan protes pada 8 Maret 1857 di New York City. Para buruh garmen memprotes apa yang mereka rasakan sebagai kondisi kerja yang sangat buruk dan tingkat gaji yang rendah. Para pengunjuk rasa diserang dan dibubarkan oleh polisi. Kaum perempuan ini membentuk serikat buruh pada bulan yang sama dua tahun kemudian.
     
    Di Barat, Hari Perempuan Internasional dirayakan sekitar tahun 1910-an dan 1920-an, tetapi kemudian menghilang. Perayaan ini dihidupkan kembali dengan bangkitnya feminisme pada tahun 1960-an. Pada tahun 1975, PBB mulai mensponsori Hari Perempuan Internasional.

    Pada tahun 1975, Lembaga PBB mulai mengubah peringatan Hari Wanita Sedunia untuk diperingati setiap tahun pada 8 Maret. Dua tahun kemudian tepatnya pada bulan Desember 1977, Rapat Umum PBB mengeluarkan sebuah resolusi yang merupakan penegasan resmi dari PBB menjadikan hari ini, 8 Maret untuk diperingati sebagai Hari Perempuan Sedunia.

    Gerakan feminis di Barat muncul dengan beragam pandangan ekstrimnya mengenai kesetaraan gender di berbagai bidang yang memicu masalah serius bagi perempuan. Akibat pandangan ekstrim Feminisme inilah perempuan menghadapi krisis besar dalam memainkan peran utamanya sebagai istri dan ibu demi mewujudkan tujuan kesetaraan gender.

    Dewasa ini perempuan di negara-negara Barat harus menanggung derita besar demi mengejar kebebasan dan kesetaraan dengan pria. Tanpa mempertimbangkan kondisi potensi dan psikis maupun psikologisnya, perempuan dewasa ini terpaksa harus bekerja membanting tulang di masa kehamilan di pabrik-pabrik dan pekerjaan berat lainnya dengan upah yang lebih kecil dari laki-laki.

    Negara-negara Barat mengklaim bahwa persamaan hak antara perempuan dan laki-laki di seluruh sektor merupakan cara terbaik untuk meningkatkan harkat dan martabat perempuan. Padahal faktanya terjadi sebaliknya. Jika dikaji lebih dalam lagi terbukti bahwa cara tersebut justru menyebabkan perempuan semakin menderita. Laporan terbaru Komisi PBB urusan Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) pada tahun 2004 mengungkapkan berbagai diskriminasi mengenai gaji antara perempuan dan laki-laki yang terjadi di Jerman.

    CEDAW dalam laporan tahun 2008 menjelaskan bahwa perempuan Inggris menderita akibat diskriminasi di pasar kerja dan kesenjangan gaji yang begitu timpang dengan laki-laki. Data statistik menunjukkan bahwa gaji rata-rata seorang perempuan yang bekerja penuh sekitar 83 persen dari pendapatan pria.

    Di Amerika terjadi gelombang protes menyikapi tingginya diskriminasi terhadap perempuan. Perempuan merupakan mayoritas orang miskin di Negeri Paman Sam itu. Undang-undang AS dan negara-negara Eropa menyatakan bahwa suami tidak diwajibkan untuk mengeluarkan nafkah bagi istrinya. Untuk itu, ibu yang memiliki kemampuan untuk bekerja di luar rumah, maka dirinya harus membanting tulang untuk mencari nafkah selain mengasuh anaknya. Dengan demikian, tekanan kerja yang dibarengi beratnya beban mengasuh anak menyebabkan tekanan mental bagi mereka.

    Sebuah penelitian yang dilakukan Pusat Riset Perempuan Wellesley College di AS menunjukkan bahwa pendapatan perempuan sangat kecil, sementara mereka harus menghadapi beratnya bebena hidup. Tekanan itu menyebabkan para ibu di AS dan Eropa mengalami gangguan mental, dan amat disayangkan pada sebagian kasus berujung penyiksaan dan pembunuhan anak.

    Ruth Sidel dan William Gardner menyinggung pembunuhan anak yang dilakukan para ibu di AS dan Inggris. Mereka mengungkapkan, polisi Inggris menemukan jenazah bayi perempuan berusia tiga tahun di rumah seorang ibu berusia 43 tahun. Setelah dilakukan penelitian, tindakan sadis seperti ini kian hari semakin meningkat. Sidel dan Gardner menegaskan bahwa 61 persen pelanggaran hak anak dilakukan oleh ibu, dan 25 persen dilakukan oleh para ayah. Dua peneliti Barat ini dalam laporannya menegaskan bahwa faktor pemicu utama pembunuhan anak yang dilakukan orang tua adalah ketiadaan ketentraman dalam keluarga dan kondisi mental ibu yang labil.

    Kapitalisme Barat menggunakan konsumerisme untuk melangsungkan pertumbuhan produksinya. Untuk itu, setiap detik kehidupan kita dibombardir dengan konsumerisme, terutama dilancarkan terhadap perempuan. Di sisi lain Kapitalisme menggunakan perempuan sebagai alat propaganda untuk menarik pembeli sebanyak-banyaknya. Berdasarkan laporan yang dikeluarkan CEDAW, Portugal merupakan negara yang paling banyak memanfaatkan perempuan sebagai komoditas. Laporan ini juga menyinggung penyelundupan dan kekerasan terhadap wanita pada tahun 2006 di Denmark.

    Pada tahun 2004, laporan CEDAW mengungkapkan bahwa wanita Jerman dijadikan sebagai alat propaganda media.  Terkait hal ini, media massa Barat memainkan peran besar dalam menampilkan sosok perempuan sebagai komoditas dan alat propanda Kapitalisme. Di tengah gegap gempita slogan kesetaraan gender, penindasan terhadap perempuan kian hari semakin meningkat di Barat dan memicu kekhawatiran publik internasional. 

    Berbeda dengan model materialistik yang ditawarkan Feminisme dalam memandang perempuan, Islam memiliki pandangan khusus terhadap perempuan yang meletakkan kedudukannya pada posisi yang tinggi dan mulia. Dalam pandangan agama ilahi, perempuan dari sisi dimensi kemanusiaannya sama seperti lelaki, namun memiliki karakteristik khusus.

    Islam menghidupkan hak-hak perempuan, namun tidak mengabaikan kedudukannya yang berbeda dengan lelaki. Dengan demikian Islam tidak menetapkan hak berdasarkan kesetaraan gender antara perempuan dan lelaki. Sebab hak dan kewajiban keduanya berbeda, sesuai dengan karakteristiknya masing-masing. Misalnya kemampuan laki-laki dalam melakukan pekerjaan berat lebih besar dari perempuan. Allah swt membagi urusan kehidupan dengan menetapkan kebutuhan ekonomi perempuan berada di tangan laki-laki, sedangkan lelaki membutuhkan kelembutan perempuan dalam kehidupannya.

    Sejatinya, Islam tidak menentang perempuan terlibat dalam aktivitas politik, sosial, budaya. Agama Islam menentang terjadinya kepincangan antara dunia kerja dan pemasungan potensinya di bidang sosial dan budaya. Sejarah Islam memberikan bukti bahwa perempuan menemukan kembali posisinya dengan datangnya Islam, dan muslimah memainkan perannya di tengah masyarakat secara lebih manusiawi.

    Sejarah Islam menjadi bukti bahwa Rasulullah menyambut peran aktif perempuan di bidang ekonomi, politik, sosial dan budaya. Sejatinya, tanggal 8 Maret menjadi momentum yang tepat untuk mendukung upaya mengembalikan kedudukan perempuan pada posisi sejatinya.(IRIB Indonesia/PH)


    Aktivitas Ekonomi Perempuan dalam Perspektif Al-Quran (Bagian Pertama)
















    Aktivitas ekonomi, kerja dan usaha senantiasa beririsan ketat dengan kehidupan wanita. Sepanjang sejarah, wanita di samping memiliki pekerjaan rumah tangga juga kerap bermitra dengan laki-laki dalam kegiatan-kegiatan seperti bertani dan beternak. Dengan cara ini, ia dapat menanggung biaya hidup dan membantu ekonomi keluarga.Namun di zaman dahulu, kegiatan-kegiatan tersebut tak ubahnya dengan pekerjaan yang ia lakukan di rumah, dianggap sebagai pekerjaan rumah tangga sehingga ia tidak mendapatkan upah atas pekerjaannya.

    Dinamika masyarakat menuju pencapaian peradaban baru, perubahan tempat kerja dari rumahan dan kecil-kecilan menjadi sebuah pabrik, peralihan sumber daya dari manusia menjadi sebuah alat mesin dan pekerjaan ekonomi bagi perempuan di luar rumah, memiliki nilai-penting yang unik selama beberapa dekade terakhir. Dewasa ini, partisipasi wanita dalam perekonomian dan pekerjaan ekonomi di luar rumah merupakan salah satu permasalahan penting menyangkut kaum Hawa yang mencuat di tengah masyarakat.Mengingat signifikansi topik, beragam isu dan problematika yang terkait pekerjaan perempuan di tempat-tempat umum dan munculnya berbagai perspektif, tulisan ini akan menelaah masalah dari perspektif al-Quran dan riwayat.

    Definisi "Bekerja"
    Secara leksikal, "bekerja" artinya berusaha dan, menurut terminologi ekonomi, merupakan salah satu faktor krusial dalam produksi.Para ekonom mendefinisikan "bekerja" sebagai salah satu penyebab agen produksi yang terdiri dari kekuatan intelektual atau manual, hingga ia mendapatkan upah atas jerih payah atau pekerjaannya"[1]. Berdasarkan definisi ini, kegiatan yang tidak ada pemberian upah karenanya bukanlah "bekerja".Dengan demikian, kegiatan yang dikerjakan kaum wanita di rumah tidak dapat disebut sebagai kegiatan ekonomi, dan para ibu rumah tangga dipandang agen pasif dan penganggur di tengah masyarakat[2].

    Bekerja, dalam ensiklopedia perekonomian, telah diartikan sebagai kesibukan dalam pekerjaan[3]. Berdasarkan definisi ini, segala aktivitas apa pun yang dikerjakan manusia, baik laki-laki atau wanita, baik di rumah atau di luar rumah, disebut sebagai "bekerja".Akan tetapi, beberapa ekonom menambahkan kata upah atas definisi "bekerja" dan menjelaskan bahwa bekerja ialah melakukan kesibukan yang terdapat imbalan di dalamnya. Atas dasar definisi ini, konsep "bekerja" terbatas hanya mencakup tugas dan aktivitas yang terdapat upah di dalamnya.Tetapi pekerjaan yang dilakukan tanpa imbalan seperti beberapa pekerjaan wanita di rumah, tidak akan tercakup dalam kategori "bekerja".Demikian yang dimaksud dengan "bekerja" bagi perempuan dalam terminologi umum.

    Duduk Persoalan
    Pekerjaan kaum perempuan terdeskripsikan dalam dua ranah: pertama, dalam ranah khusus dan aktivitas yang mereka lakukan untuk mengatur urusan dalam rumah seperti: memasak, mencuci, dll. Mengurusi suami dan anak-anak yang sejak dahulu dikenal dengan pekerjaan rumah tangga. Kedua, dalam ranah umum dan sosial yang disebut dengan "pekerjaan luar".Sebagaimana telah dikatakan, kata "bekerja" dalam istilah umum sekarang tidak mencakup aktivitas kaum wanita di dalam rumah[4]. Kesimpulannya, usaha yang dilakukan kaum perempuan untuk mengatur urusan keluarga dalam rumah tidak disebut sebagai kegiatan ekonomi[5]. Diskusi kita dalam makalah ini lebih banyak berhubungan dengan jenis pekerjaan di ranah kedua, sebab masalah yang sedang berkembang dewasa ini menjadi fokus perhatian dari kalangan pendukung sekaligus penentang, yaitu dalam kaitannya dengan pekerjaan kaum wanita di pusat-pusat produksi dan jasa serta administrasi di luar rumah.

    Pertanyaan dasarnya, bisakah kaum wanita beraktivitas ekonomi sebagaimana laki-laki dalam bidang sosial, atau dapatkah mereka membuka usaha di bidang sosial, produksi, bisnis, perdagangan dan jasa umum yang merupakan pekerjaan khas kaum lelaki? Terdapat berbagai macam pandangan dalam menanggapi pertanyaan ini.Tulisan ini mencoba menyelidiki permasalahan tersebut dari kacamata wahyu.

    Al-Quran dan Bolehnya Kegiatan Ekonomi bagi Perempuan
    Kata-kata fi‘l‘amal dan kasb dalam al-Quran berarti pekerjaan dan usaha. Tetapi biasanya kata-kata ini tidak digunakan dalam pengertian ekonomi, yakni kegiatan khas yang dilakukan guna memperoleh penghasilan. Contohnya, kata fi‘l dan derivasinya hampir 108 kali digunakan dalam al-Quran, namun sama sekali tidak ada satu pun dari kata ini dimaksudkan untuk arti ekonomi dan usaha materiil. Kata ‘amal dan derivasinya hampir mencapai 360 kali diulang dalam ayat-ayat yang kebanyakan digunakan untuk arti usaha dalam perkara akhirat.Hanya dalam beberapa ayat saja yang digunakan dalam arti usaha materiil seperti:

    "Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera" (QS. al-Kahfi [18]: 79).

    "
    Dan Kami telah tundukkan (pula kepada Sulaiman) segolongan setan-setan yang menyelam (ke dalam laut) untuknya dan mengerjakan pekerjaan selain dari itu; dan Kami-lah yang memelihara mereka itu"(QS. Anbiya' [21]: 82).
    "Dan sebagian dari jin ada yang bekerja di hadapannya (di bawah kekuasaannya) dengan izin Tuhan-nya"(QS. Saba [34]: 11).

    Kata ‘kasb' digunakan dalam al-Quran sebanyak 67 kali, namun biasanya tidak bermakna pekerjaan ekonomi.‘Kasb' yang berarti usaha materiil dan mencari pendapatan hanya digunakan dalam satu masalah, yaitu pada ayat: "(Karena) orang laki-laki memiliki bagian dari apa yang mereka usahakan, dan para wanita (pun) memiliki bagian dari apa yang mereka usahakan"(QS. Nisa' [4]: 32) yang dapat digunakan untuk menetapkan legalitas aktivitas ekonomi bagi kaum wanita. Sebab jika kaum wanita tidak diperbolehkan bekerja, maka ayat al-Quran memandang mereka sebagai pemilik hasil jerih usaha sendiri. Dengan demikian, kata-kata ‘fi‘l'‘‘amal', dan‘kasb' dalam ayat-ayat ini galibnya tidak berarti usaha materiil, adapun dalam ayat-ayat yang mengandung arti usaha materiil biasanya tidak dapat menyelesaikan permasalahan topik ini.

    Kesimpulannya, meskipun arti leksikal dari kata-kata tersebut adalah pekerjaan dan usaha, khususnya kata ‘‘amal' yang digunakan dalam arti usaha ekonomi dalam literatur bahasa Arab kontemporer, namun dalam pembahasan al-Quran kita tidak dapat menggunakan ayat-ayat tersebut sebagai pijakan dalam menetapkan atau menolak asas "bekerja" bagi kaum wanita. Ayat-ayat lain yang dapat membantu kita dalam topik ini adalah ayat-ayat yang tidak menyebutkan makna ‘bekerja' secara denotatif dan tekstual, tetapi dari kata-kata tersebut dapat dimengerti makna usaha materiil dalam arti konotatif. Ayat-ayat ini dapat ditelaah dalam empat kelompok:

    Pertama, ayat-ayat yang mengingatkan manusia untuk menepati kontrak.

    Kedua, ayat-ayat yang membolehkan manusia untuk melakukan "usaha materiil" dan ayat-ayat ini lebih banyak menggunakan dalam bentuk frasa"ibtighâ' fadhl".

    Ketiga, ayat-ayat yang menghalalkan dan mengharamkan beberapa transaksi.

    Keempat, ayat-ayat yang dapat digunakan untuk beberapa pekerjaan tertentu.

    Kelompok Pertama: Ayat-ayat tentang Menepati Kontrak
    "
    Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu"(QS. al-Maidah [5]: 1).

    Kedua kata ‘wafa''dan ‘awfa' berarti melengkapi dan menyempurnakan[6]. ‘Uqud' adalah kata plural dari‘‘aqd' (akad) yang berarti mengikat sesuatu dengan sesuatu lain[7]. Meskipun kata ini pada dasarnya diletakkan untuk perkara inderawi, akan tetapi digunakan juga dalam aneka transaksi dan kontrak non-inderawi yang diamati dari aspek ‘pengikatan'-nya[8].

    Kalimat "Penuhilah akad-akad itu" adalah sebuah perintah; manusia diperintahkan agar menepati segala sesuatu yang disebut dengan ‘akad'.Ayat ini mencakup dua aspek:pertama, aspek wujud konkret akad, karena di dalamnya tidak disebutkan akad tertentu dan, oleh karena itu, mencakup segala bentuk transaksi atau perjanjian apa pun yang legalitasnya diperoleh dari syariat, baik itu perjanjian antara dua pihak seperti: jual-beli, sewa, bercocok tanam, menyiram kebun, ataupun perjanjian satu pihak seperti: perpinjaman dan pertitipan.Aspek kedua adalah objek audiensi yang mencakup laki-laki dan perempuan; tidak terdapat dalam ayat mana pun, termasuk ayat ini, yang menjelaskan bahwa hukum tentang menepati akad dan janjiterbatas hanya pada kalangan atau jenis tertentu.Oleh karena itu, diwajibkan bagi pria dan wanita agar menepati akad dan perjanjian mereka dalam bentuk apa pun.Kewajiban menepati perjanjian sesuai syariat bagi laki-laki dan perempuan ini sedemikian jelasnya hingga para fuqaha dalam berdalil dengan ayat ini semua sistem hukum fikih tentang keharusan menepati akad dan perjanjian, dan mereka tidak membahas masalah gender dalam makna keharusan pada ayat tersebut dalam satu masalah pun.

    Tidak dijumpai seorang faqih pun yang ragu bahwa jika seorang wanita harus berkomitmen sepenuhnya tatkala telah menandatangani sebuah kontrak, jual beli, mudharabah dan segala perjanjian legal dengan orang lain. Ini berarti bahwa hukum yang dijelaskan dalam ayat tersebut adalah sama, bagi pria maupun wanita.Konsekuensi dari perintah yang sama ini ialah sebagaimana laki-laki dapat melakukan kontrak bisnis atau melakukan kontrak sewa dengan seseorang, kaum wanita pun dapat melakukan hal serupa.Jika perempuan tidak diperbolehkan melakukan kontrak bisnis atau perdagangan apa pun, atau seperti anak di bawah usia yang tidak diperbolehkan melakukan transaksi, maka kewajiban menepati janji secara mutlak menjadi tak lagi bermakna baginya. Pada hakikatnya, ia tidak melakukan kontrak sehingga harus ditepati. Atas dasar ini, kewajiban menepati janji dan kesamaan perintah untuk laki-laki dan perempuanmerupakan bukti bahwa kaum wanita diperbolehkan melakukan kegiatan ekonomi dan menghasilkan pendapatan dengan cara sewa, bisnis, perniagaan dan kontrak-kontrak legal (syar'i) lainnya.

    Memang, kata "ûfû" adalah bentuk mudzakkar, akan tetapi tidak merupakan dalil atas spesifikasi hukum ini hanya untuk orang laki-laki, sebab metode al-Quran dalam menjelaskan hukum-hukum yang sama bagi laki-laki dan perempuan berdasar pada objek komunikasi mudzakkar. Sebagai contoh, kita tidak meragukan bahwa kewajiban shalat dan membayar zakat diungkapkan dengan menggunakan objek komunikasi mudzakkar, yaitu dalam ayat, "Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat" di berbagai permasalahan dalam surat Al-Baqarah dan beberapa surat lainnya secara terulang-ulang. Kewajiban berpuasa di bulan Ramadhan dalam ayat, "Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, supaya kamu bertakwa" (QS. al-Baqarah [2]: 183), telah dijelaskan bagi laki-laki juga bagi perempuan. Apakah dapat diterima bahwa kewajiban shalat, zakat dan puasa dikhususkan bagi kaum laki-laki saja dengan dalil bahwa objek komunikasi dalam kata "aqîmû", "âtû", "alladzîna âmanû" dan "alaykum" menggunakan bentuk kata mudzakkar?!

    Kelompok Kedua: Ayat-ayat Penghalalan dan Pengharaman Sejumlah Kontrak[9]

    Dalam ayat, "
    Allah telah menghalalkan jual beli" (QS. al-Baqarah [2]: 275), Allah telah menghalalkan jual beli yang merupakan satu modus dari "bekerja". Ayat "Allah telah mengharamkan riba" (QS. al-Baqarah [2]: 275), "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda" (QS. Ali Imran [3]: 130) dan ayat-ayat lainnya secara tegas memerangi riba dengan kata-kata yang bermacam-macam[10], dan menganggap penghasilan serta peningkatan modal yang didapatkan melalui riba sebagai praktek tidak sah.

    Ayat-ayat di atas secara mutlak menghalalkan kontrak berjenis jual beli dan mengharamkan kontrak berjenis riba. Dari sisi lain, tidak terdapat ayat atau riwayat yang menunjukkan adanya permasalahan gender. Oleh karena itu, penjelasan hukum berkenaan dengan jual beli dan riba merupakan hukum-hukum yang berlaku umum: atas laki-laki maupun perempuan. Sebagaimana seorang laki diperbolehkan menandatangani kontrak jual beli dengan pihak lain—dimana dengan cara ini ia berdagang dan memperoleh keuntungan, demikian pula seorang wanita diperbolehkan demikian.Ini juga sesungguhnya tercantum dalam beberapa ayat, di antaranya: "Dan janganlah kamu memakan harta orang lain di antara kamu dengan jalan yang batil"(QS. al-Baqarah [2]: 188), dan "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu"(QS. al-Nisa' [4]: 29).

    Dalam ayat-ayat ini, segala bentuk penghasilan dari modal yang diperoleh melalui jalan yang tak sah dianggap sebagai "memakan harta dengan cara yang batil" dan terlarang. Yang dimaksud dengan "memakan" di sini adalah segala bentuk penggunaan, baik dalam bentuk barang maupun jasa, tidak diperbolehkan[11]. termasuk dalam praktek-praktek konkret dari "memakan harta dengan cara yang batil" dalam beberapa riwayat adalah pengumpulan harta melalui perjudian dan sumpah palsu[12]. Dalam menjelaskan ayat, para ahli tafsir berpandangan bahwa memperoleh harta melalui permainan, ghashab dan kezaliman termasuk dalam praktek nyata dari "memakan harta dengan cara batil". Begitu pula riba yang dilarang dalam sejumlah ayat termasuk praktek konkret dari "memakan harta dengan cara yang batil"[13]. Kalimat pengecualian yang berbunyi "kecuali suatu perdagangan yang didasari atas kerelaan" mengungkapkan bahwa menggunakan harta hendaklah melalui salah satu cara yang diperbolehkan dan legal, yaitu perdagangan dengan kerelaan kedua belah pihak[14].

    Dalam ayat-ayat tersebut, kriteria legal atau tidaknya suatu kegiatan ekomoni ialah berlaku atau tidaknya kategori "memakan harta dengan cara yang batil" atau kategori "perdagangan melalui kerelaan kedua belah pihak".Segala aktivitas yang berada dalam kategori "memakan harta dengan cara yang batil" adalah terlarang, sedangkan pekerjaan yang tercakup dalam kategori "perdagangan dengan kerelaan kedua belah pihak" ialah legal. Contoh-contoh konkret dari "memakan harta dengan cara yang batil" juga telah dijelaskan dalam sejumlah ayat dan riwayat. Kendati begitu, itu sama sekali tidak berarti bahwa aktivitas wanita di luar rumah sebagai bentuk dari "memakan harta dengan cara yang batil". Dengan demikian, aktivitas wanita di luar rumah tercakup dalam kategori "perdagangan dengan persetujuan kedua belah pihak", dan hukumnya adalah legal dan boleh.

    Kelompok Ketiga: Ayat-ayat yang Memerintahkan Berusaha dan Bekerja Materiil

    Sekelompok ayat-ayat lain yang, meskipun tidak mengandung kata-kata yang populer dalam ekonomi dan fikih, darinya dapat disimpulkan hukum bolehnya aktivitas ekonomi baik bagi pria maupun wanita, seperti ayat-ayat berikut:
    "Dan Dia-lah, Allah, yang menundukkan lautan (untukmu) agar darinya kamu dapat memakan daging yang segar dan mengeluarkan perhiasan yang kamu pakai; kamu melihat bahtera berlayar di atasnya, dan supaya kamu mencari (keuntungan) dari karunia-Nya, serta supaya kamu bersyukur" (al-Nahl [16]: 14); "Tuhan-mu adalah yang melayarkan kapal-Kapal di lautan untukmu agar kamu mencari sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyayang terhadapmu" (al-Isra' [17]: 66); "Dan Kami jadikan malam dan siang sebagai dua tanda (keesaan dan keagungan Kami), lalu Kami hapuskan tanda malam dan Kami jadikan tanda siang itu terang agar kamu mencari karunia dari Tuhanmu"(al-Isra' [17]: 12); "Dan karena rahmat-Nya, Dia jadikan untukmu malam dan siang, supaya kamu beristirahat pada malam itu dan supaya kamu mencari sebagian dari karunia-Nya (pada siang hari) dan agar kamu bersyukur kepada-Nya"(al-Qashash [28]: 73); "Apabila salat telah ditunaikan, maka bertebaranlah kamu di muka bumi, carilah karunia Allah, dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung"(al-Jumuah []: 10); dan, "Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Tuhanmu" (al-Baqarah [2]: 198).

    Para ahli tafsir menafsirkan frasa "mencari karunia" dalam kalimat "agar engkau mencari karunia-Nya", "agar engkau mencari karunia dari Tuhan kalian", dan kalimat "Dan carilah karunia-Nya" sebagai perdagangan, bisnis dan usaha ekonomis [15]. Di sisi lain, ayat-ayat tersebut mengandung pengertian bahwa objek komunikasi dalam kata kerja "engkau mencari" dan "carilah" tidak khusus hanya untuk kaum laki-laki, akan tetapi seperti juga seluruh objek komunikasi yang sama bagi kaum laki-laki dan kaum perempuan yang terdapat dalam al-Quran, kecualipada suatu kasus terdapat dalil yang mengkhususkannya untuk kaum tertentu. Begitu pula dari aspek jenis pekerjaan, ayat tersebut tidak menjelaskan hal-ihwal tentang pekerjaan tertentu. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa dengan bertolak dari motivasi dan dorongan umum dari Allah Swt untuk memohon rahmat, maka segala macam bentuk usaha ekonomi yang sah dan merupakan bentuk dari "perdagangan dengan persetujuan kedua belah pihak", diperbolehkan untuk kaum laki-laki dan kaum wanita.Jadi, berdasarkan ayat ini, prinsip utama ialah wanita diperbolehkan memberdayakan alam, melakukan transaksi dan perdagangan, kecuali hal-hal yang dikecualikan oleh dalil yang kuat dan pasti.

    Allah Swt berfirman, "Dia-lah yang menjadikan bumi itu mudah bagimu. Maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah dari sebagian rezeki-Nya"(al-Mulk [67]: 15). Ayat ini juga termasuk ayat-ayat umum yang memerintahkan manusia untuk memanfaatkan alam, berusaha dan bekerja. Kalimat perintah "makanlah dari rejeki-Nya" dalam ayat ini, menurut Allamah Thaba'thaba'i, berarti berbagai cara mencari dan upaya pemanfaatan di bumi [16]. Oleh karena itu, memakan di sini bukan berarti mengunyah dan menelan, akan tetapi bermakna menggunakan seperti dalam ayat, "Dan janganlah kamu memakan harta orang lain di antara kamu dengan jalan yang batil"(al-Baqarah [2]: 188).

    Berdasarkan penafsiran di atas, ayat ini mengingatkan manusia bahwa bumi telah Allah Swt diciptakan sedemikian rupa agar mereka dapat mencukupi kehidupan materiilnya dengan memanfaatkan segala macam isi dan kandungannya. Kemudian melalui kata perintah "makanlah", Allah Swt juga memotivasi manusia agar berusaha dan bekerja seperti: berburu, bertani, beternak, dan berbagai usaha pemanfaatan di bumi sebagai sumber rejeki dari-Nya.Di sisi lain, perintah dalam kata "makanlah" tidak dikhususkan hanya bagi kelompok tertentu. Menggunakan karunia Ilahi dan memanfaatkan yang ada di bumi seperti: air, pohon, hutan dan binatang, ialah dalam rangka untuk semua manusia. Dalam ayat mana pun tidak ada dalil yang mengkhususkan ayat tersebut, misalnya, hanya untuk kaum laki-laki. Memang, "makanlah" adalah kata kerja berbentuk jamak mudzakkar, akan tetapi sebelumnya sudah diterangkan bahwa metode al-Quran biasanya menjelaskan hukum yang sama antara pria dan wanita dengan menggunakan objek komunikasi dalam bentukmudzakkar .
    Kelompok Keempat: Pekerjaan Khusus

    Kelompok lain dari ayat-ayat yang membolehkan bekerja bagi kaum wanita dalam beberapa profesi tertentu ialah pekerjaan berburu.Perlu kiranya digarisbawahi bahwa ayat-ayat yang akan dikemukakan nanti bukan dalam rangka menjelaskan profesi atau pekerjaan manusia, akan tetapi guna mengkhabarkan sejumlah pekerjaan yang diperbolehkan, yakni pekerjaan-pekerjaanyang umum di kalangan orang-orang terdahulu yang masih dilakukan oleh orang-orang pada masa sekarang. Dengan memperhatikan rekomendasi al-Quran terhadap pekerjaan-pekerjaan yang tidak dikhususkan bagi kalangan tertentu, dapat dipahami bahwa wanita diperbolehkan untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan tersebut menurut kacamata al-Quran.
    _______________________________
    [1] Manouchehr Farhangg, Farhangge Buzurge Egteshodi, Teheran, Alborz, 1371 HS.
    [2] Murteza Gore Baqban, 
    Farhangge Egteshodi va Bozergoni. Jld. II, Rasa, 1376 HS.
    [3] Siyvush Muridy & Ali Reza Nurouzi, 
    Farhangge Egteshodi.
    [4] & [5], Muhammad Vali Kyanmehr, "Ta'sir-e Eshtigal-e Zanon dar Khonevodeh", dalam
    Majaleh-e Kar va Jame`eh , no, 23, Azar & Dey, 1378 HS.
    [6] Ibnu Manzdur, 
    Lisan Al-Arob, Beirut.
    [7] Fazl bin Hasan Thabarsi, 
    Majma` Al-Bayan, Jld. II. Tehran, Naser Khoshrow, Jld. III, hlm. 258.
    [8] Sayyed Muhammad Hossein Tabatabai, 
    Al-Mizan, Qom, Entisharate Islami, jld. 5, hlm. 152.
    [9] Al-Baqarah [2]: 43, 45, 83, 110.
    [10] "
    Dan riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah dalam harta manusia, maka riba itu tidak bertambah di sisi Allah. Dan zakat yang kamu berikan dengan maksud untuk mencapai keridaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang memiliki pahala yang berlipat ganda"(Al-Rum[30]: 39), "Allah akan memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak mencintai setiap orang yang tetap dalam kekafiran lagi selalu berbuat dosa" (al-Baqarah [2]: 276), "Orang-orang yang makan (mengambil) riba, (pada hari kiamat) mereka tidak akan dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kerasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila" (al-Baqarah [2]:275) atau, "Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa-sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman" (al-Baqarah [2]: 278).
    [11]Silakan merujuk: Sayyed Muhammad Hossein Thabathabai, 
    al-Mizan, jld. II, hlm. 51.
    [12]Silakan merujuk: Fazl bin Hassan Tabarsi, Majma‘ al-Bayan, jld. II, hlm. 24; Muhaqiq Ardebili, 
    Zubdat Al-Bayan, edisi Mohammad Bagir Behbudy, Maktabatul Murtadhawiah, hlm. 427; Muhammad Ya`kub Kulaini, Ushul Al-Kafi, Tehran, Eslamiyah, 1350, jld. 5, hlm. 122.
    [13]Silakan merujuk: Ali bin Ibrahim Qomi, 
    Tafsir Al-Qommi, jld. III, Qom, Dar Al-Kutub, jld. 1, hlm. 136.
    [14] Muhaqiq Ardabili, 
    Zubdat Al-Bayan, hlm. 427.
    [15]. Ibnu Katsir Al-Qurashi, 
    Tafsir Al-Qur'an Al-Azdim, Beirut, Dar Al-Ma`rifah. 1412 H, jld. III, hlm. 54; Muhammad bin Ahmad Qurthubi, al-Jami` li Ahkam Al-Qur'an, Beirut, Dar Ihya`i Al-Tutats Al-Arabi, 1415 H, jld. 10, hlm. 290; Ibnu Jauzi, Zad al-Masir, jld. 5, hlm. 44; Raghib Isfahani, Mufradat fi Gharib al-Quran, Tehran, Nashre Kitab, 1404 H, hlm. 381; Muhammad bin Jarir Thabari, Jami` al-Bayan an Ta`wil Al-Qur'an, Beirut, Dar Al-Fikr, 1415 H, jld. 15, hlm. 153; Sayyed Mohammad Hossein Thabathabai, al-Mizan, jld. 13, hlm. 152; Maula Mohsen Feiz Kashani, Tafsir al-Shafi, karya riset Husein A`lami, jld. II, Qom, Al-Hadi, 1416 H, jld. 3, hlm. 181.
    [16] Allamah Thabathabai dalam penafsiran ayat ini mengatakan, "Dialah yang telah menjadikan bumi ... untuk kalian dimana kalian dapat menghuni dan berjalan di atasnya, serta memakan dari rizki-Nya yang telah ditentukan untuk kalian dengan aneka macam permohonan dan pemanfaatan" (
    Al-Mizan, jld. 20,hlm. 13). (IRIB Indonesia/Taqrib/SL)


    Aktivitas Ekonomi Wanita dalam Perspektif Al-Quran (Bagian Kedua)




    Dengan memperhatikan rekomendasi al-Quran terhadap pekerjaan-pekerjaan yang tidak dikhususkan bagi kalangan tertentu, dapat dipahami bahwa wanita diperbolehkan untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan tersebut menurut kacamata al-Quran. Pekerjaan-pekerjaan itu adalah sebagai berikut:

    1.Berburu: "Dan apabila kamu telah menyelesaikan ihram, maka bolehlah kamu berburu"(al-Maidah [5]: 2). Di awal surat al-Maidah, Allah Swt. telah menghalalkan berburu binatang berkaki empat dan memakan dagingnya. Dia berfirman, "Dihalalkan bagi kalian binatang ternak". Kemudian di ayat berikutnya, yakni dengan kalimat: "Ketika kamu sedang mengerjakan ihram, janganlah kamu menghalalkan berburu", orang-orang yang sedang melakukan manasik haji dan mengenakan kain ihram dilarang berburu binatang.Juga dalam ayat: "Janganlah kamu membunuh binatang buruan, ketika kamu sedang ihram" (al-Maidah [5]: 95) dan, "Diharamkan atasmu (menangkap) binatang buruan darat selama kamu dalam ihram"(al-Maidah [5]: 96) menjelaskan tentang larangan berburu tatkala mengenakan kain ihram.

    Dari objek komunikasi ayat-ayat tersebut dapat dipahami bahwa hukum larangan tersebut mencakup kaum pria dan kaum wanita.Oleh karena itu, berburu diharamkan baik untuk kaum pria maupun kaum wanita yang sedang mengenakan kain ihram.Ayat kedua ditujukan kepada mereka yang diharamkan untuk berburu, "Dan apabila kamu telah menyelesaikan ihram, maka bolehlah kamu berburu".Perintah dalam ayat ini datang, dengan catatan setelah adanya larangan berburu, hanya menunjukkan diperbolehkannya berburu: tidak lebih dari itu, karena larangan ini ditujukan kepada kaum pria dan kaum wanita, maka hukum diperbolehkan ini pun mencakup mereka semua.

    Larangan berburu bagi para jemaah haji, khususnya dalam keadaan berihram, dan diperbolehkan berburu setelah selesai berihram, menunjukkan bahwa pekerjaan berburu binatang itu sendiri bukan ilegal dan tidak dilarang. Apabila berburu binatang itu sendiri merupakan pekerjaan yang ilegal, maka al-Quran tidak akan mengizinkan pekerjaan ini dalam kondisi apa pun. Dari sisi lain, perhatian al-Quran terhadap masalah berburu binatang dan larangan bagi para jemaah haji yang sedang mengenakan pakaian ihram di berbagai ayat dalam surah ini menunjukkan signifikansi topik ini [17], di samping itu juga menunjukkan bahwa perkerjaan ini adalah susuatu yang sering dialami kebanyakan para jemaah haji. Dengan berburu, mereka akan mendapatkan daging yang mereka butuhkan, juga berburu merupakan kegiatan ekonomi serta produksi, dan bukan untuk hiburan. Kecil kemungkinannya, penisbatan hal ini kepada al-Quran yang memiliki metode luar biasa hanya menjelaskan urgensi dan kebutuhan manusia. Dan mengatakan bahwa pada semua ayat tersebut memperhatikan segelintir permasalahan saja sebagai hiburan dimana pengharamannya telah diulang-ulang dalam berbagai ayat.

    Oleh karena itu, yang dapat dipahami secara meyakinkan dari ayat tersebut ialah diperbolehkan berburu setelah selesai mengenakan pakaian ihram.Sekarang pertanyaannya, untuk siapa hukum tersebut diperbolehkan?Jawabannya adalah bahwa ayat tersebut mutlak, maka hukum yang ada berlaku untuk semua orang, baik kaum laki-laki ataupun kaum perempuan.Lalu, bagaimana berburu dapat diperbolehkan? Apakah berburu sebagai hiburan atau sebagai pekerjaan dan penghasilan?Ayat ini juga mutlak.Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa pekerjaan berburu merupakan hal yang dapat dilakukan oleh setiap perempuan dan laki-laki.Al-Quran bukannya melarang, tetapi bahkan membolehkannya secara tegas dan, dalam hal ini, tidak membedakannya antara pria dan wanita.

    2 & 3.Memancing dan menyelam: "Dan Dia-lah, Allah, yang menundukkan lautan (untukmu) agar darinya kamu dapat memakan daging yang segar dan mengeluarkan perhiasan yang kamu pakai" (al-Nahl [16]: 14).Dalam ayat ini, Allah Swt. telah menyinggung dua macam pekerjaan dengan menghitung beberapa kenikmatan: pertama ialah pekerjaan memancing ikan, karena maksud dari memakan daging segar dari laut adalah daging ikan yang diperoleh dengan menangkap.Oleh karena itu, penjabaran ayat tersebut adalah demikian: "agar engkau menangkap ikan dan memakannya". Kedua ialah pekerjaan menyelam dan mengeluarkan perhiasan seperti: mutiara dari dasar laut.Ayat ini juga tidak ditujukan kepada gender dan kelompok tertentu. Siapapun, entah laki-laki ataupun wanita, boleh memancing ikan dari laut.Tidak ada ayat maupun riwayat yang mengkhususkan pekerjaan perikanan, misalnya, hanya untuk laki-laki.Begitu pula tidak ada dalil yang mengkhususkan menyelam dan mendapatkan mutiara dan perhiasan lain hanya untuk laki-laki.Oleh karena itu, pekerjaan ini juga adalah aktivitas ekonomi yang tidak dikhususkan hanya untuk kaum Adam.

    4.Mengasuh anak: "Dan jika mereka menyusui (bayi itu) untukmu, maka berikanlah upah kepada mereka"(al-Thalaq [65]: 6). Dalam ayat ini, diperintahkan kepada kaum laki-laki yang telah menceraikan istrinya dan memiliki anak bayi, dimana sang ibu bersedia menyusuinya, untuk memberikan upah apabila sang ibu telah menyusui anak-anak mereka.Kemudian pada urutan ayat selanjutnya, dinyatakan: "Jika kamu menemui kesulitan (untuk mencapai sebuah kesepakatan), maka perempuan lain boleh menyusui anak itu".Berkenaan dengan makna ayat ini, para mufasir mengatakan bahwa jika suami dan istri dalam hal menyusui anak tidak mencapai kata mufakat lantaran istri tidak bersedia menyusuinya atau istri meminta upah melebihi pada umumnya, maka dalam kondisi demikian ini suami harus mengambil juru asuh agar anak tidak terlantar [18].

    Mengasuh dan menyusui anak-anak yang ibunya tidak memiliki susu atau telah meninggal dunia merupakan hal yang lumrah di kalangan para wanita pada zaman dulu. Sebagaimana Halimah Sa`diyah dan beberapa wanita lain datang ke Makkah untuk pekerjaan yang sama [19]. Para juru asuh mendapatkan upah atas pelayanan mereka memberikan susu kepada anak-anak. Al-Quran tidak hanya membolehkan pekerjaan ini dan tidak menganggap upah atas pekerjaan ini sebagai "memakan harta dengan jalan yang batil", bahkan kitab suci ini sendiri telah memerintahkan kepada kaum bapak, tatkala tidak mencapai kesepakatan dengan ibu anak mereka dalam hal menyusui, untuk mengambil juru asuh. Dengan demikian, mengasuh anak juga merupakan salah satu dari pekerjaan khusus wanita yang telah disinggung oleh al-Quran.

    5.Beternak: "Dan tatkala ia sampai di sumber air negeri Madyan, ia menjumpai di sana sekumpulan orang yang sedang meminumkan (ternak mereka), dan ia menjumpai di belakang orang banyak itu dua orang wanita yang sedang menghambat (ternaknya). Musa berkata, ‘Apakah maksudmu (dengan berbuat begitu)?' Kedua wanita itu menjawab, ‘Kami tidak dapat meminumkan (ternak kami), sebelum para pengembala itu memulangkan (ternak mereka), sedang ayah kami adalah orang tua yang telah lanjut umurnya.'"(al-Qashash [28]: 23).

    Dari ayat ini, dapat dipetik beberapa poin berikut:

    Pertama: kalimat "Kami tidak dapat meminumkan" yang merupakan kata kerja mudhari‘dan menunjukkan keberlangsungan sesuatu, dapat dipahami bahwa memberi memberi minum domba merupakan rutinitas mereka. Kalimat "Ayah kami adalah orang tua yang telah lanjut usia" juga merupakan penguat duduk masalah ini, sebab hal itu sebuah simbol bahwa tidak ada orang lain lagi yang melakukan pekerjaan tersebut, maka kami sendiri yang memberi minum kepada domba-domba.

    Kedua: meskipun dalam ayat tidak terdapat pembicaraan berkenaan dengan pengembala putri-putri Nabi Syuaib as, akan tetapi dari kalimat "Kami tidak dapat meminumkan (ternak kami), sebelum para pengembala itu memulangkan (ternak mereka), sedang ayah kami adalah orang tua yang telah lanjut umurnya", dapat dipahami bahwa segala urusan terkait dengan hewan ternak yang salah satunya adalah memberi minum dan mengembala menjadi tanggung jawab anak-anak perempuan nabi mulia ini, sebab jika mereka berkata, "Ayah kami adalah orang tua yang lanjut usia", adalah konotasi dari maksud "kami tidak punya seseorang untuk memberi air", maka sudah barang tentu tidak ada orang untuk mengembala dan memberi makan ternak. Oleh karena itu, kecil kemungkinan bahwa pekerjaan putri-putri beliau hanya memberi minum. Nabi Syuaib as berkata kepada Nabi Musa as, "Aku ingin menikahkan salah satu dari dua putriku ini kepadamu dengan syarat bahwa selama delapan tahun engkau harus bekerja untukku, dan jika engkau sempurnakan menjadi sepuluh tahun, maka itu merupakan kecintaan darimu" [20]. Beberapa ahli tafsir mengatakan bahwa Nabi Syuaib as telah menyewa beliau untuk mengembala [21]. Hal ini juga merupakan bukti bahwa sebelum Nabi Musa as, pekerjaan mengembala domba sudah dilakukan oleh anak-anak perempuan.

    Namun, bisa jadi pekerjaan putri-putri Nabi Syuaib as. tersebut tidak dapat dijadikan dalil untuk melegalkan pekerjaan semacam itu bagi kaum wanita, sebab putri Nabi Syuaib as melakukan pekerjaan tersebut karena kondisi terdesak, dimana tidak ada orang lain lagi yang mengerjakannya.Oleh karena itu, ketika Nabi Musa as. bertanya kepada mereka, "Untuk apa Anda berdiri di sini?", mereka mengungkapkan maksudnya melalui kalimat "ayah kami orang tua yang lanjut usia" dengan menyebutkan alasan melakukan pekerjaan tersebut. Mereka menjelaskan hal itu sebagai sebuah keterdesakan bagi diri mereka.Dengan demikian, pekerjaan yang dilakukan putri-putri Nabi Syuaib as. di luar rumah dikarenakan kondisi khusus dalam rumah mereka, bukan karena kondisi normal lalu mereka pilih pekerjaan ini.

    Riwayat yang Membolehkan Kegiatan Ekonomi bagi Wanita

    Banyak wanita di awal era Islam, di zaman Nabi Saw dan para imam suci as, melakukan kegiatan ekonomi [22]. Tidak hanya membolehkan mereka berusaha dan bekerja, bahkan dalam beberapa hal, nada pembicaraan atau indikasi sikap Nabi Saw maupun para imam as menunjukkan adanya dorongan motivasi yang kepada kepada para wanita pekerja untuk terus bekerja. Pekerjaan-pekerjaan tersebut adalah sebagai berikut:

    1.Pekerjaan bertenun: Ummu Hasan Nakhi`ah berkata, "Imam Ali as berpapasan denganku di jalan dan berkata, ‘Hai Ummu Hasan, apa pekerjaanmu?' Aku menjawab, ‘Aku bertenun.'Imam berkata kepadaku, ‘Ketahuilah, pekerjaan itu adalah yang paling halal[23].'" Berdasarkan riwayat ini, tatkala Imam Ali as melihat Ummu Hasan, pertama-tama bertanya tentang pekerjaan; hal ini menunjukkan legalitas bekerja bagi para wanita. Hal lain, yakni di saat Ummu Hasan menjawab, "Pekerjaanku bertenun danpengahasilanku dengan cara ini", Imam Ali as bukan saja tidak melarang pekerjaan itu, bahkan ia telah memberikan motivasi kepada Ummu Hasan agar terus bekerja dengan perkataannya, "Pekerjaan yang paling halal adalah bertenun". Dengan demikian, pekerjaan kaum perempuan yang dianggap halal dalam Islam adalah boleh, bahkan bagus untuk dikerjakan.

    2.Melantun narasi duka: Hanan bin Sudair mengatakan, "Di tempat kami, ada seorang wanita yang memiliki pembantu seorang pelantun narasi duka. Wanita itu menafkahi hidupnya dengan lantunan narasi duka pembantunya.Dia mendatangi ayahku dan berkata, ‘Anda tahu bahwa hidupku dari Allah Swt dan terpenuhi dengan lantunan narasi duka pembantu perempuan ini.Aku ingin engkau bertanya kepada Imam Shadiq as: jika pekerjaan ini halal, maka aku akan melanjutkannya dan, jika tidak, aku akan menjual pembantu perempuanku itu sehingga aku dapat bertahan hidup dari hasil penjualan ini sampai Allah memunculkan Imam Mahdi as.' Ayahku berkata, ‘Menanyakan hal ini kepada Imam bagiku merupakan perkara yang sulit. Ayahku berkata lagi, ‘Tatkala aku sampai di tempat Imam as, aku sendiri yang menanyakan persoalan wanita itu. Imam berkata, ‘Apakah wanita itu memberikan syarat upah atau tidak?' Aku berkata, ‘Aku bersumpah demi Allah, aku tidak tahu apakah dia memberi syarat demikian atau tidak.' Imam berkata, ‘Katakan kepadanya, janganlah memberikan syarat dan terimalah apa saja yang diberikan[24].'" Dalam riwayat ini, lantunan narasi duka seorang perempuan juga telah direkomendasikan Imam as.Jika pekerjaan lantunan narasi duka tidak diperbolehkan bagi perempuan, maka beliau as. sudah pasti melarangnya.

    Patut diingat bahwa jawaban Imam Ali as yang mengatakan, "Janganlah engkau menentukan upah atas pekerjaannya dan harus menerima apa saja yang diberikan kepadanya", bukan merupakan dalil pelarangan atas pekerjaan tersebut melalui cara semacam itu, sebab jika pekerjaan tersebut dilarang, imam secara langsung pasti akan memperingatkan agar tidak melanjutkan pekerjaannya. Jika dari kata-kata Imam di atas dipahami dalam bentuk larangan, maka hal itu terkait dengan penentuan kompensasi, bukan pekerjaan itu sendiri. Kemungkinan besar, larangan penentuan kompensasi juga dikarenakan kriteria pekerjaan, bukan spesifikasi terhadap pelantun narasi duka dan persoalan gender, entah dia laki-laki atau perempuan.

    Pengrias: Ibnu Abi Umair tidak secara langsung mengutip perkataan Imam Shadiq as yang berbunyi, "Salah seorang wanita yang bekerja sebagai pengrias datang kepada Nabi Saw. Beliau berkata kepadanya, ‘Apakah engkau sudah meninggalkan pekerjaanmu ataukah engkau masih tetap bekerja?' Wanita itu berkata, ‘Wahai Utusan Allah, aku masih bekerja dan akan meneruskan pekerjaan ini, kecuali engkau melarangku, maka aku akan berhenti.'" Nabi Saw. bukan saja tidak melarangnya, bahkan mengijinkannya meneruskan pekerjaan itu dan juga mengarahkannya dengan beberapa etika dalam pekerjaan tersebut[25].

    3.Berjualan Parfum: Husein bin Zaid Hasyimi meriwayatkan dari Imam Shadiq as., "Seorang wanita bernama Zainab Atharah datang kepada istri-istri Nabi Saw. Ia memasuki rumah dan melihatnya bersama istri-istri beliau, lalu beliau berkata kepadanya, ‘Engkau telah tebarkan aroma wangi di rumah kami.' Zainab berkata, ‘Rumah ini lebih semerbak oleh aroma Anda!' Setelah percakapan itu, Nabi Saw menjelaskan etika dan hukum jual beli kepadanya[26]. Sebagaimana dapat dipahami dari riwayat ini, Nabi Saw bukan saja tidak menentang pekerjaan Zainab sebagai penjual parfum, bahkan beliau memberikan motivasi kepadanya untuk melanjutkan pekerjaan tersebut dengan perangai yang indah dan beberapa etika transaksi[27].

    Kesimpulan:
    Dari aneka ayat dan bukti-bukti riwayat tersebut di atas dapat dipahami bahwa Islam tidak memandang negatif terhadap pekerjaan kaum wanita dan tidak melarang mereka untuk bekerja dan berusaha di dalam ataupun di luar rumah. Jika ayat yang berbunyi, "Janganlah engkau memakan harta orang lain di antara kalian dengan jalan yang batil" melarang beberapa transaksi dan menganggapnya batil, maka itu berlaku untuk semua gender dan tidak ada bedanya antara laki-laki dan perempuan. Persoalan gender sama sekali tidak bersangkutan dengan pelbagai transaksi dan perdagangan. Tidak demikian bahwa wanita dilarang melakukan beberapa transaksi dan laki-laki diperbolehkan karena faktor gender. Dengan alasan ini, kita melihat bahwa dalam kitab-kitab Fikih, tidak terdapat pengecualian bagi wanita dalam berdagang dan bertranskasi atau larangan atas mereka untuk memilih pekerjaan tertentu. Tentu, pekerjaan-pekerjaan seperti pengadilan, kepemimpinan dan imam shalat berjamaah dilarang untuk para wanita [28]. Akan tetapi pekerjaan-pekerjaan tersebut secara otomatis terkecualikan dari topik pembahasan ini, sebab dalam literatur Islam, tugas-tugas ini tidak dipandang sebagai pekerjaan sehingga dikatakan bahwa dalam Islam, beberapa pekerjaan dikhususkan hanya untuk laki-laki sehingga tidak ada lagi peluang bagi para wanita.

    Penting juga untuk diperhatikan bahwa sesuatu yang telah dijelaskan dalam kaitannya dengan pekerjaan perempuan menurut kacamata al-Quran adalah sejauh hubungannya dengan pekerjaan dan usaha ekonomi itu sendiri dan penjelasan tentang diperbolehkannya pekerjaan tersebut bagi kaum wanita. Adapun syarat apakah yang harus diperhatikan para wanita sehubungan dengan kehadiran mereka di tempat kerja? Pekerjaan apakah yang paling cocok untuk para wanita? Pekerjaan manakah yang lebih sesuai untuk kondisi fisik dan psikologis wanita? Manakah yang harus didahulukan antara pekerjaan rumah dengan pekerjaan di luar rumah? Dan manakah yang harus dipilih ketika terjadi benturan antara mengurusi anak-anak dan suami dengan pekerjaan di luar? Pertanyaan-pertanyaan ini dan puluhan pertanyaan lainnya yang tidak dapat dijelaskan dalam tulisan singkat ini harus dibahas pada tempatnya secara terpisah.

    Akan tetapi, secara global perlu dicatat bahwa dalam Islam, keluarga merupakan pondasi utama berdasarkan ajaran-ajaran agama dan wajib dibina dan dilestarikan. Wanita adalahsalah satu pilar keluarga, jelmaan penciptaan Allah dan pengemban tanggung jawab melahirkan generasi, merawat dan membina keluarga.Hak bekerja bagi wanita tidak boleh berdampak pada kehancuran keluarga dan mengesampingkan tugas merawat generasi yang tangguh. Oleh karena itu, dalam kondisi terjadinya benturan antara pekerjaan dengan pernikahan atau bertugas sebagai seorang istri, merawat dan mendidik anak serta tidak memungkinkan untuk menjalankan semua tugas-tugas tersebut, maka keluargalah yang lebih penting berdasarkan prinsip "mendahulukan yang terpenting di atas yang penting". Alhasil, dalam kondisi berbenturan (tazahum), pekerjaan wanita harus dikorbankan demi keutuhan keluarga. (IRIB Indonesia/Taqrib/SL)

    Oleh: Ahmad Taheriniya
    ____________________________
     
    [17] "Ketika kamu sedang mengerjakan ihram, janganlah kamu menghalalkan berburu"(Al-Maidah []: 1), "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan, ketika kamu sedang ihram" (Al-Maidah []: 95), "Dan diharamkan atasmu (menangkap) binatang buruan darat selama kamu dalam ihram" (Al-Maidah []: 96).
    [18] Fazl bin Hasan Tabarsi, 
    Majma‘ Al-Bayan, jld. 10, hlm. 48; Sayyed Muhammad Hossein Thabathabai, Al-Mizan, jld. 19, hlm. 317; Ibnu Jauzi, Zad AmlMasir, jld. 8, hlm. 45; Muhammad bin Ahmad Qurthubi, Al-Jami‘ li Ahkam Al-Qur'an, jld. 18, hlm. 169; Muhammad binHasan Al-Thusi, Al-Tibyan fi Tafsir Al-Qur'an, penelitian Ahmad Habib Ghasir Alamili, Maktabul A`lamil Islami, 1409 H, jld. 10, hlm. 37.
    [19]Silakan merujuk: Muhammad Hadi Yusufi Gharavi, 
    Tarikh-e Tahqiqi Eslom, terj. Hussein Ali Arabi, Qom, Muasseseh Omuzeshi va Pezuheshi Imam Khomeini, 1382 HS, jld. 1, hlm. 222.
    [20] "
    Dia (Syu‘aib) berkata, ‘Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja untukku selama delapan tahun, dan jika kamu sempurnakan sepuluh tahun, maka itu adalah (suatu kebaikan) darimu'" (Al-Qashash: 27).
    [21]Silakan merujuk: Muhammad bin Hasan Al-Thusi, 
    Al-Tibyan fi Tafsir Al-Qur'an, jld. 8, hlm. 145; Mohammad Shekh Ali Sharif Lahiji, Tafsir Sharif Lahiji, Tehran, Ilmiah, 1363 HS, jld. 3, hlm. 68.
    [22] Ahmad bin Hanbal, 
    Musnad Al-Imam Ahmad ibn Hanbal, jld. 3, hlm. 503; Muhammad bin Ya`qub Al-Kulaini, Ushul Al-Kafi, jld. 5, hlm. 86 dan 119.
    [23] & [24] Muhammad bin Ya`qub Al-Kulaini, 
    Ushul Al-Kafi, jld. 5, hlm. 151, jld. 5, hlm. 86.
    [25] Ibid., hlm. 119.
    [26] Ibid., hlm. 151.
    [27] Rasulullah saw. bersabda, "Apabila engkau menjual barang, maka berlakulah dengan baik dan jangan engkau menipu karena hal itu merupakan ketaqwaan yang paling tinggi dan harta yang paling kekal." (
    ibid., hlm. 151).
    [28] Tentunya, seorang wanita menjadi imam shalat jamaah diperbolehkan apabila makmumnya juga wanita menurut beberapa mujtahid.
    [29] Majalah 
    Ma`rifat, no. 83, Edisi Khusus Ilmu Al-Quran.




1 comments to "'Wanita Boleh Susui Lelaki Asing : 'Islam "Tidak Toleransi" : Arab Saudi yang Wahabi MENINDAS wanita muslimah : “ Izinkan kami mengemudi atau kami akan menyusui orang asing.”"

  1. Anonymous says:

    ULAMA WAHABY SAUDI MEMANG TERKENAL NYELENEH.

    PENDIRINYA MUHAMMAD BIN ABDUL WAHAB TERMASUK YG SECARA KEJAM MENGELUARKAN FATWA "KAFIRNYA" ORANG ISLAM LAIN DILUAR WAHABY. SEHINGGA TIDAK TERHITUNG UMAT ISLAM DI MEKKAH,MADINAH, HIJAZ YG DIBANTAI OLEH WAHABY PADA AWAL KEMUNCULANNYA.

    SEMUA ALIRAN DILUARNYA, MEREKA ANGGAP SESAT. DAN YANG PALING MEREKA MUSUHI ADALAH MAZHAB SYIAH.

    BARU-BARU, ULAMA WAHABY JUGA MENGELUARKAN FATWA UNTUK MERUSAK GEREJA-GEREJA (RUMAH IBADAH AGAMA LAIN) SEJAZIRAH ARAB.

    ULAMA SYIAH DAN SUNNI TELAH MENGELUARKAN PERNYATAAN TENTANG "FATWA NGAWUR ULAMA WAHABY SAUDI" TERSEBUT.

Leave a comment