Segera MIliki Buku ini yang diterbitkan oleh AR Risallah Islamic Centre Foundation
WARGA BANUA BANJAR BERKATA :
Istilah nikah Mut’ah atau “kawin kontrak” memang sudah sering kita dengar. Bagi kaum Syi’ah, nikah Mut’ah ini hukumnya boleh. Sedangkan bagi kaum Sunni, nikah Mut’ah hukumnya haram. Itulah yang sering kita dengar. Meskipun hal ini sudah sering kita dengar, namun boleh jadi kita belum mengetahui bagaimana sesungguhnya istidlāl atau argumen kaum Syi’ah yang mengatakan nikah Mut’ah itu dibolehkan, dan istidlāl atau argumen kaum Sunni yang mengatakan nikah Mut’ah itu diharamkan.
Saudara H. Busyairi, dalam penulisan tesis Magister pada Program Pascasarjana IAIN Antasari Banjarmasin, telah melakukan penelitian yang cermat terhadap metode istidlal masing-masing dari pihak yang membolehkan dan pihak yang mengharamkan. Hasil penelitian tersebut dia tuangkan ke dalam tesisnya yang diterbitkan menjadi buku ini. De-ngan demikian, buku ini merupakan karya ilmiah yang secara akademik dapat dipertanggungjawabkan. Apalagi dalam penelitian ini penulis berupaya memperoleh data langsung kepada sumber aslinya, terutama tentang pendapat kaum Syi’ah digali dari karya orang Syi’ah sendiri dan pendapat kaum Sunni digali dari karya orang Sunni sendiri. Tentu saja dengan cara seperti ini dapat mendukung obyektifnya hasil penelitian yang terkandung di dalam buku ini.
Saya berpendapat bahwa karya Saudara H. Busyairi ini telah memberikan informasi yang sangat berharga tentang metode istidlāl yang menghasilkan kesimpulan bolehnya nikah Mut’ah sebagaimana yang terdapat di dalam fiqh kaum Syi’ah, dan metode istidlāl yang menghasilkan kesimpulan haramnya nikah Mut’ah sebagaimana yang terdapat di dalam fiqh kaum Sunni.
Akhirnya, kita berharap semoga karya ini dapat bermanfaat bagi siapa saja yang berminat mengetahui persoalan sekitar nikah Mut’ah dan status hukum serta metode istidlāl-nya baik di dalam fiqh Syi’ah maupun di dalam fiqh Sunni.
Banjarmasin, 29 Oktober 2011
Dr. H. Hadariansyah AB, MA
Pembimbing II Tesis
Masalah pembahasan “Nikah Mut’ah” (kawin kontrak-istilah di Indonesia) sangat menarik, ia tenggelam kemudian muncul kembali seiring dengan kondisi problem sosial masyarakat. Mendengar istilah “Nikah Mut’ah” pasti akan memunculkan dua mainstream pemikiran dalam wacana hukum Islam yaitu yang mengharamkannya dan yang menghalalkannya.
Kelompok yang menghalalkannya datang dari kaum Syi’ah dan yang mengharamkannya dari kaum Sunni. Akhir-nya pembahasan tentang hal ini boleh dibilang sangat sensitif namun sangat menarik. Sekalipun hal ini sering kita dengar, namun mungkin saja pengetahuan tentang Istidlal atau argumentasi dari kedua mazhab besar Islam ini (Sunni-Syi’ah) belum banyak diketahui secara tuntas.
Penelitian saudara H. Busyairi dalam tesis Magisternya pada program PascaSarjana IAIN Antasari Banjarmasin dipandang bisa membantu kita untuk melihat secara objektif tentang Istidlal Hukum Nikah Mut’ah menurut persepektif Sunni-Syi’ah. Hasil penelitian tersebut dituangkan dalam bentuk buku yang ada di tangan pembaca saat ini.
Saudara Penulis telah berusaha mengeksplorasi Istidlal Hukum Nikah Mut’ah menurut persepektif kedua mazhab Sunni-Syi’ah dan memaparkannya sesuai dengan referen-si aslinya dalam kitab-kitab dan pendapat yang diakui oleh kedua mazhab.
Menurut saya karya ini sangat bermanfaat, terkhusus bagi pengkaji metode istidlal hukum Islam dan lebih dari itu ia akan memberikan konstribusi yang berharga bagi seluruh lapisan kaum Muslimin Indonesia untuk mengetahui perdebatan yang lama terjadi tentang hukum “Nikah Mut’ah”.
Secara Akademis tesis ini telah diujikan dan menghasilkan nilai yang amat baik. Saya berharap penulis tidak pernah berhenti untuk meneliti berbagai persoalan hukum Islam agar bisa memberikan manfaat kepada masyarakat secara luas.
Akhirnya saya ucapkan selamat atas diterbitkannya bu-ku ini, dan saya berharap semoga bermanfaat bagi segenap pihak yang ingin mengetahui status hukum tentang nikah Mut’ah dari segi Istidlalnya menurut perspektif Fikih Sunni maupun Fikih Syi’ah.
Banjarmasin, 31 Oktober 2011
Prof.DR. Ahmadi Hasan, MH
Direktur program pascasarjana IAIN Antasari
Banjarmasin
Segala puji bagi Allah pemilik segala sesuatu, shalawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada seluruh para nabi dan rasul lebih khusus untuk penutup para nabi dan rasul serta seutama-utamanya yaitu Rasul pilihan pemimpin para nabi dan rasul, Muhammad saw dan keluarganya yang disucikan dari segala kenistaan dan yang menjadi poros teladan bagi segenap umat manusia sampai hari pembalasan.
Buku yang ada di tangan anda ini adalah hasil tulisan tesis Pascasarjana (S2) IAIN Antasari Banjarmasin tahun 2011 yang berjudul “Metode Istidlal Hukum Nikah Mut’ah (Studi Perbandingan Antara Mazhab Ja’fari dan Sunni)” sekarang berkat partisipasi berbagai pihak akhirnya tesis ini bisa dibukukan dengan judul “Nikah Mut’ah Halal atau Haram?”
Tiada kegembiraan yang terindah bagi ku kecuali karunia kemudahan dari Allah swt atas tersusunnya tesis ini sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi di IAIN Antasari Program Pascasarjana program studi Hukum Islam konsentrasi Filsafat Hukum Islam.
Perjuangan penulis untuk memasukan judul tentang tema Mut’ah kepada PRODI Pascasarjana IAIN Antasari Konsentrasi Filsafat Hukum Islam al-hamdulillah tidak mengalami rintangan, artinya pihak yang berwenang langsung mene-rimanya sebagai tema untuk diteliti. Sekalipun, sebelumnya penulis harap-harap cemas menunggu kepastian apakah diterima atau ditolak, karena tema yang penulis angkat sangat sensitif.
Akhirnya sebagaimana banyaknya permintaan dari berbagai pihak, maka tesis ini dibukukan. Tesis ini menggambarkan tentang status hukum nikah Mut’ah yang diperdebatkan di masyarakat, antara halal atau haram, tema yang diangkat adalah perbandingan pendapat status hukumnya antara mazhab Ja’fari (Syi’ah) dan Ahlussunnah.
Di dalam buku ini juga dikemukakan dalil yang lengkap baik dari ayat al-Qur’an, hadis, maupun pendapat Ulama mazhab tentang hukum Nikah Mut’ah dan metode istinbath kedua mazhab akan status nikah Mut’ah. Membaca buku ini berarti anda juga bisa belajar tentang perbedaan dan kesamaan dua mazhab besar Islam Sunni-Syi’ah ditinjau dari metode Ushul Fiqhnya.
Penulis terdorong mengangkat tema ini karena marak-nya pihak-pihak yang menyudutkan mazhab Syi’ah tanpa argumentasi yang bisa dipertanggungjawabkan dalam belantika dunia ilmiah, tema yang selalu laris diangkat oleh orang yang sinis dengan Syi’ah adalah “Nikah Mut’ah”. Akhirnya penulis bersemangat mengangkatnya dalam tulisan ini.
Penulis akui banyak sekali pihak yang sangat apriori de-ngan tema yang penulis angkat ini, baik kecil maupun besar, bahkan penulis pun dianggap ingin menyebarkan Syi’ah di Kal-Sel, sungguh sangat mengherankan manusia tidak bisa membedakan antara penelitian ilmiah dan rekrutmen masa partai politik, aku hanyalah teri yang terkecil dari jutaan teri yang berenang di air ingin menjadi bagian komunitas teri yang selalu berkumpul dalam mencapai pengetahuan, tidak ada tujuan yang terbesar bagi penulis terkecuali ingin mema-parkan data yang objektif terhadap permasalahan hukum Islam yang dipersengketakan antara ”halal/haram” oleh dua mazhab besar Islam “Sunni-Syi’ah”, penulis menghimbau kalau setiap masalah itu diteliti maka terbukalah tabir kebenaran, apalagi hukum Islam adalah bersifat Universal bukan parsial.
Disadari oleh penulis bahwa tesis ini jauh dari kesempurnaan, partisipasi dari berbagai pihak telah memberikan motifasi kepada penulis untuk segera menyelesaikan tesis ini. Banyak sekali kendala yang mengiringi penulisan tesis ini, diantaranya terbentur dengan pekerjaan penulis yang banyak dilapangan atau harus tugas kerja keluar kota, namun doro-
ngan dari berbagai pihak keluarga terkhusus ibunda Siti Fathimah yang tercinta yang selalu mendukung dan memotifasi penulis untuk segera menyelesaikan tesis ini, istri dan anak-anak penulis terkadang menemani penulis di muka komputer bermalam-malam, sahabat, bahkan karyawan penulis menghantarkan selesainya tesis ini, dosen pembimbing dan seluruh yang pernah mentransformasikan ilmu kepada penulis selama studi di Program Pascasarjana IAIN Antasari. Kepada mereka semua pada kesempatan ini penulis ucapkan terima kasih yang tak terhingga semoga Allah swt akan membalasnya dengan yang lebih sempurna, terutama kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Ahmadi Hasan, MH., sebagai Direktur Program Pascasarjana IAIN Antasari Banjarmasin, yang telah memberikan kesempatan dan motivasi kepada penulis untuk melanjutkan studi pada Program Pasca-sarjana IAIN Antasari Banjarmasin.
2. Bapak Prof. Dr. H. A. Athaillah, M.Ag sebagai Pembim-bing I. dan Dr. H. Hadariansyah AB, MA, sebagai Pembimbing II yang telah memberikan bimbingan kepada penulis dalam proses penulisan tesis ini hingga selesai.
3. Seluruh dosen Pascasarjana yang telah memberikan bimbingan, arahan dan pengetahuan kepada penulis selama studi dan semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian tesis ini.
4. Seluruh staf/karyawan Program Pascasarjana yang telah memberikan pelayanan selama mengikuti perkuliahan.
5. Semua pihak yang bertugas di Perpustakaan Wilayah, Tarbiyah, Ushuluddin, Perpustakaan Pusat IAIN Antasari, Perpustakaan Pascasarjana, yang telah memberikan kemudahan bagi penulis dalam peminjaman literatur dan telah banyak memberikan kontribusi hingga terselesaikannya tesis ini.
6. Kepada ibunda tercinta penulis Siti Fathimah yang selalu memberikan dorongan kepada penulis untuk tidak berhenti belajar, kepada alm Ayahanda Hurian Fahmi A. Karim yang semasa hidupnya banyak memberikan konstribusi pertumbuhan intelektual dan spiritual kepada penulis khusus bagi ayah, ku persembahkan karya ini untuk amal jariyah mu di Barzah, untuk istriku tercinta Dian Yuliastuti, S.Pd selalu mengingatkanku dari sifat malas menggarap tesis ini, begitu pula Mariyatul Kibtiyah, S.Sos dan seluruh anak-anak ku yang selalu memberi sema-ngat kepada ku dan kepada ust. Prof. DR. Habib Abdullah Hinduwan yang banyak memberikan konstribusinya, kepada Ust. Abdullah al-Habsyi, yang banyak memberikan pencerahan kepada penulis, kepada Habib Abdillah al-Kaff (Habib Acil panggilan akrab beliau), kepada jama’ah Majelis Pecinta Ahlulbait as dan kepada segenap pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu-persatu, semoga Allah membalasnya dengan yang lebih sempurna.
Penulis berharap, tesis ini bermanfaat bagi setiap insan yang selalu mau menelaah persoalan hukum Islam, memba-ngun basis ukhuwah antar mazhab Islam. Akhirnya saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan guna perbaikan tesis ini baik materi maupun metodologinya.
Penulis H.Busyairi Hurian Fahmi A.Karim
Segera Miliki Buku ini yang diterbitkan oleh AR Risallah Islamic Centre Foundation
Kawin Sesama Jenis Kini Legal di Inggris
Posted by KabarNet pada 11/04/2012
London
– KabarNet: Sebuah berita menggembirakan bagi kaum homoseks dan lesbian
datang dari Inggris. Karena kini Inggris mengikuti jejak beberapa
negara bagian di Amerika Serikat yang sudah terlebih dahulu melegalkan
perkawinan sesama jenis antara lelaki dengan lelaki dan perempuan dengan
perempuan. Dengan legalisasi ini, pasangan berorientasi seksual sesama
jenis di negara Inggris akan diberi hak untuk menikah di kantor catatan
sipil sama seperti hak pasangan normal (heteroseks). Sebagai konsekwensi
dari legalisasi tersebut, seluruh departemen pemerintah dan perusahaan
harus mengubah hal-hal resmi yang menyangkut masalah peristilahan agar
lebih netral. Demikian KabarNet mengutip sari berita ini dari harian Inggris The Daily Mirror, Sabtu (17/3/2012),
Sebagai konsekwensi logis dari legalisasi
tersebut, pemerintah Inggris akan mengganti beberapa kata dalam lafal
ucapan janji pernikahan agar bersifat lebih netral. Sebagai misal, kata
“suami” dan “istri” akan diubah menjadi kata “pasangan” dan “partner”,
untuk menghilangkan konotasi jenis kelamin dalam lembaga perkawinan.
(Artinya, status “suami” atau “istri” dalam pekawinan sah di Inggris
tidak lagi harus dijelaskan apakah yang bersangkutan berjenis kelamin
lelaki ataupun perempuan, red.)
Perubahan yang terbilang sangat mendasar
dalam konstitusi Inggris ini akan memerlukan biaya yang tidak sedikit.
Inggris bahkan akan menyiapkan anggaran tersendiri yang secara khusus
dianggarkan untuk menghilangkan sejumlah peristilahan dari sistem
komputer pemerintah. Misalnya mengubah setiap kata “suami” dan “istri”
menjadi kata “pasangan” atau “partner”.
Implikasi perubahan undang-undang yang
melegalkan perkawinan pasangan sesama jenis ini akan berdampak tambahan
biaya anggaran belanja untuk seluruh departemen dan lembaga pemerintah
pusat dan daerah. Tambahan biaya itu dibutuhkan untuk merubah sistem IT
yang harus menghapus semua referensi pernikahan antara pria dan wanita
yang masih menyebut jenis kelamin atau istilah “suami” dan “istri” dalam
berbagai dokumen resmi. [KbrNet/adl]
Ada Upaya Legalkan Kawin Sesama Jenis Kelamin
Posted by KabarNet pada 11/04/2012
Bandung
– Kabarnet: Kegigihan upaya kelompok pro maksiat dan pro aliran sesat
penggiat paham Sekularisme-Pluralisme-Liberalisme (SEPILIS) dalam
meracuni pemikiran umat manusia, khususnya umat Islam, memang patut
diacungi jempol, meski segala daya upaya mereka selalu gagal. Dengan
berlindung dibalik kedok jargon ‘hak asasi manusia’ (HAM) kelompok ini
kembali berulah, kali ini melalui suatu gerakan yang menuntut agar
pemerintah Indonesia melegalkan perkawinan antar sesama jenis kelamin,
yakni lelaki kawin dengan lelaki, dan perempuan kawin dengan perempuan.
Sinyalemen itu diungkapkan oleh Menteri Agama, Suryadharma Ali, di Bandung, Selasa (10/4/2012).
Menteri Agama, Suryadharma Ali, yang juga
Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) mengungkapkan hal
tersebut saat berada di Bandung. Menurutnya, ada sejumlah pihak yang
menuntut perubahan Undang-Undang Perkawinan, salah satu tuntutannya agar
perkawinan antar sesama jenis kelamin dilegalkan oleh Pemerintah
Indonesia dengan kedudukan hukum setara dengan legalitas perkawinan
normal antara lelaki dan perempuan. ”Saat ini ada keinginan untuk
merubah Undang-Undang Perkawinan, baik oleh Komnas Perempuan atau
lembaga-lembaga lain, termasuk oleh para kaum gay, homoseksual, maupun
lesbian” tutur Suryadharma saat mengisi acara penutup Musyawarah Kerja
Wilayah DPW PPP Jawa Barat, di Bandung.
Selanjutnya Suryadharma mengatakan,
kelompok penuntut perubahan tersebut menilai bahwa selama ini
Undang-Undang Perkawinan bernuansa diskriminatif, karena hanya mengatur
tentang pernikahan antara laki-laki dan perempuan. “Mereka menganggap
itu diskriminatif karena hanya mewadahi pernikahan bagi laki-laki dan
perempuan. Itu yang ingin mereka perjuangkan,” tandasnya.
Namun Suryadharma menolak menjelaskan
secara detail nama kelompok/organisasi mana yang dimaksudkannya. Ia
hanya mengatakan, indikasi gerakan tersebut telah disampaikannya kepada
para alim ulama yang ia kunjungi dalam safari ke sejumlah pondok
pesantren. Tujuan safari tersebut, menurutnya, untuk menyamakan
persepsi tentang masalah perkawinan antar sesama jenis kelamin.
Lebih lanjut lagi Suryadharma
menjelaskan, kelompok penuntut legalitas perkawinan sesama jenis
tersebut beranggapan bahwa substansi Undang-Undang Perkawinan yang
berlaku saat ini telah menghalangi hak asasi mereka untuk kawin dengan
sesama jenis kelamin. ”Sekarang, apakah kita cukup menjaga umat di
pondok pesantren? Kita cukup menjaga umat di majelis ta’lim? Kemudian
apa yang sedang berkecamuk dalam pergulatan politik di dalam pembentukan
hukum yang mengatur tata kehidupan berbangsa, bermasyarakat, termasuk
tata kehidupan beragama, kita akan biarkan? Apa seperti itu?” kata
Suryadharma dalam uraiannya.
Undang-Undang Perkawinan, tegas
Suryadharma, memang sengaja dibuat ”bernafaskan Islam”. Untuk itu,
lanjutnya, dibutuhkan kekuatan politik untuk menjaga undang-undang
tersebut dari pandangan hukum semacam itu.
Selain masalah gugatan agar melegalkan
perkawinan antar sesama jenis kelamin, Suryadharma menambahkan, bahwa
Undang-Undang Perkawinan juga dipermasalahkan setelah penyanyi dangdut
Machica Mochtar mengajukan gugatan Judicial Review ke Mahkamah
Konstitusi terkait hak perdata anak hasil pernikahan sirinya dengan
mendiang mantan Menteri Sekretaris Negara Moerdiono. ”Mahkamah
Konstitusi mengabulkan,” ujarnya.
Namun, lanjut Suryadharma, apa yang
diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi jauh melebihi dari apa yang diminta
oleh penggugat. Machicha, kata Suryadharma, dalam gugatannya hanya
meminta sebatas hak perdata anaknya yang dihasilkan dari pernikahan
siri. ”Kawin siri tidak mengurangi sedikitpun rukun perkawinan,
kekurangannya hanya tidak dicatat. Pencatatan itu tidak masuk rukun
nikah, masalah administrasi belaka,” ujarnya. Namun Mahkamah Agung malah
melangkah lebih dari itu, bahkan “anak haram” hasil perzinahan pun
diakui hak perdatanya dan disamakan dengan hak anak yang lahir dari
pernikahan sirri (pernikahan sah sesuai syariat Islam namun tak
didaftarkan di KUA) yang pada hakikatnya sah menurut syariat Islam.
Meski Menteri Agama, Suryadharma
Ali, belum bersedia mengungkapkan secara jelas nama kelompok/organisasi
yang sedang mengajukan tuntutan kepada Pemerintah RI agar melegalkan
perkawinan antar sesama jenis kelamin, namun mudah ditebak bahwa
kelompok yang dimaksud beliau adalah para penggiat paham SEPILIS
(sekularisme-pluralisme-liberalisme) beserta kroni-kroni mereka sesama
kelompok pro maksiat dan pro aliran sesat. Rakyat Indonesia, khususnya
umat Islam, tidak memerlukan kecerdasan berlebih untuk memahami siapa
kelompok yang dimaksud oleh Menteri Agama. Cukup ditelusuri rekam jejak
sepak terjang mereka selama ini saja sudah bisa ditebak dengan mudah. [KbrNet/adl]
MUI: Tidak Ada Tempat Perkawinan Sejenis
Posted by KabarNet pada 12/04/2012
Tidak Ada Tempat Perkawinan Sejenis
Bandung – KabarNet: Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Barat menegaskan, di Indonesia tidak ada tempat bagi perkawinan sesama jenis, baik sesama laki maupun perempuan. ”Untuk Indonesia, menurut saya tak ada tempat sama sekali bagi perkawinan sesama jenis,” kata Sekertaris Umum MUI Jabar Rafani Achyar saat dihubungi wartawan, Rabu (11/4/2012).
Sebab, sambung dia, Indonesia merupakan negara yang berdasarkan Ketuhanan YME. Artinya, negara memberikan kedudukan penting bagi agama. ”Sedangkan setiap agama kan melarang perkawinan sesama jenis, bukan hanya Islam saja,” katanya.
Menurutnya, gagasan perkawinan sesama jenis muncul bukan berdasarkan agama, tetapi ditopang argumen HAM dan kebebasan.
Rafani memahami kecurigaan Menteri Agama (Menag) Suryadharma Ali yang mencium gerakan legalisasi pernikahan sesama jenis dengan ingin mengubah UU Perkawinan.
Sebenarnya masalah yang dikemukakan Menag sudah diwaspadai MUI Jabar. Dia mengakui ada upaya untuk melegalkan pernikahan sesama jenis dengan cara mengubah UU Perkawinan. ”Memang perkawinan sesama jenis sudah menjadi pembicaraan di MUI, cuma gerakan tersebut belum pasti, baru angin lalu. Kami belum tahu siapa-siapanya,” katanya.
Terlepas serius atau tidak gerakan yang ingin melegalkan perkawinan sesama jenis itu, MUI sudah melakukan antisipasi. “MUI dari sekarang mencegahnya. Jangankan berbentuk RUU, jadi wacana pun tidak boleh,” tegasnya, dalam Okezone.* [KbrNet/ Hidayatullah/adl]
Sumber: Hidayatullah.com
Perbedaan Ta'aruf Dan Pacaran
makna ta'aruf yang sebenarnya adalah berkenalan. Jika yang anda maksudkan adalah taaruf dalam rangka akan menikah, maka kira-kira umumnya dilakukan sebagai berikut:
1. Saling tukar menukar data diri, nama, alamat, tempat tanggal lahir, nama orang tua, suku, hobi, dan lain-lain yang dianggap wajar sebagai perkenalan pertama. Plus foto masing-masing.
2. Jika dari data pertama tersebut, jika kedua pihak setuju, maka pertemuan dilanjutkan sesuai kesepakatan untuk berjumpa pertama kali atau “melihat”. Yang kita sebut "melihat" inilah yang sebenarnya sesuai sunnah Nabi SAW, sebab Beliau SAW ketika salah seorang menyatakan akan menikah dengan si fulanah, beliau bertanya apakah sudah pernah melihat fulanah tersebut? Kemudian Beliau menganjurkan sahabat tersebut untuk melihatnya, dengan alasan: “karena melihat membuat engkau lebih terdorong untuk menikahinya”. Kira-kira demikian. Yang disebut “melihat” ini biasanya dilakukan dengan ditemani orang lain, sesama wanita dari pihak wanita (atau mahramnya yang pria) dan si pria bisa sendiri atau dengan orang lain.
3. Dalam pertemuan pertama tersebut fungsinya membuktikan data foto. Bisa jadi dalam pertemuan tersebut satu sama lain saling bertanya tentang hal-hal yang perlu diperjelas.
4. Seringkali pertemuan tsb dilanjutkan dengan “hubungan” selanjutnya dengan maksud memperjelas perkenalan, yaitu mungkin dengan (1) surat menyurat (2) sms atau telepon (3) atau pertemuan lain dengan komposisi yang sama. Dalam langkah selanjutnya ini umumnya yang dilakukan adalah mendetilkan perkenalan.
5. Jika saling setuju, maka selanjutnya kedua pihak mulai melibatkan ortu, kadang juga ortu terlibat sejak awal, namun biasanya jika sudah melibatkan ortu itu artinya mulai bicara teknis pernikahan.
6. Jika sudah bicara teknis artinya sudah dalam proses menuju pernikahan atau dengan kata lain si wanita sudah dilamar dan tak boleh dilamar pria lain. Seringkali kami juga menganjurkan agar kedua pihak (pada tahap antara nomer 4 dan 5) untuk saling tukar data lebih jauh, misalnya keduanya masing-masing membuat semacam surat perkenalan yang menceritakan tentang diri masing-masing, misalnya kisah singkat tentang dirinya atau tentang hobinya dsb. Ini ijtihad saja yang intinya untuk memberi kesempatan atau sarana bagi kedua pihak untuk taaruf. Bisa juga anda engembangkan cara-cara lain. Apapun juga ada beberapa kesimpulan yang dapat ditarik sebagai “aturan main” taaruf untuk pernikahan pada zaman kita ini
1. Tidak berkhalwat (hadits ttg ini sudah jelas dan dibahas di banyak buku dan kesempatan)
2. Tidak boleh zina hati dan zina mata (termasuk mendekati zina)
3. Agar nomer 2 tidak dilanggar, maka waktu taaruf tak boleh terlalu panjang, apalagi jika sampai tanpa batas yang ditentukan. Jika tak bisa menentukan waktu, sebaiknya pisah saja dulu tanpa ikatan janji. Sebab (1) janji atau yang semacam itu mengundang harap-harap dan itu menjadi zina hati (2) Janji menyebabkan pria lain tak bisa mendekati si wanita dan itu membuat posisinya sudah “setengah milik” bagi pria yang sedang melamarnya tanpa batas waktu kapan menikah. (3) keadaan yang bagaikan “setengah milik” ini menimbulkan kecenderungan mencairkan “hijab dalam pergaulan” antara kedua insan tersebut, ini menjadi mendekati zina. Contohnya adalah timbulnya perilaku cemburu pada pacar atau tunangan yang padahal tak ada kaitan/ikatan apa-apa.
4. Jika sudah ada kata sepakat, segeralah menentukan waktu dan kemudian menikah. Wallahua’lam bishshowwaab. Yang benar datangnya dari Allah SWT, yang salah datang dari kelemahan, kebodohan dan kemaksiyatan manusia.
Adapula perbedaan taaruf dengan pacaran adalah sebagai berikut:
Tujuan
- taaruf (t) : mengenal calon istri/suami, dengan harapan ketika ada kecocokan antara kedua belah pihak berlanjut dengan pernikahan.
- pacaran (p) : mengenal calon pacar, dengan harapan ketika ada kecocokan antara kedua belah pihak berlanjut dengan pacaran, syukur-syukur bisa nikah ...
Kapan dimulai
- t : saat calon suami dan calon istri sudah merasa bahwa menikah adalah suatu kebutuhan, dan sudah siap secara fisik, mental serta materi.
- p : saat sudah diledek sama teman:"koq masih jomblo?", atau saat butuh temen curhat, atau saat taruhan dengan teman.
Waktu
- t : sesuai dengan adab bertamu.
- p : pagi boleh, siang oke, sore ayo, malam bisa, dini hari klo ngga ada yang komplain juga ngga apa-apa.
Tempat pertemuan
- t : di rumah sang calon, balai pertemuan, musholla, masjid, sekolahan.
- p : di rumah sang calon, kantor, mall, cafe, diskotik, tempat wisata, kendaraan umum & pribadi, pabrik.
Frekuensi pertemuan
- t : lebih sedikit lebih baik karena menghindari zina hati.
- p : lazimnya seminggu sekali, pas malem minggu. Kalo bisa lebih.
Lama pertemuan
- t : sesuai dengan adab bertamu
- p : selama belum ada yang komplain, lanjut !
Materi pertemuan
- t : kondisi pribadi, keluarga, harapan, serta keinginan di masa depan.
- p : cerita apa aja kejadian minggu ini, ngobrol ngalur-ngidul, ketawa-ketiwi.
Jumlah yang hadir
- t : minimal calon lelaki, calon perempuan, serta seorang pendamping (bertiga). maksimal tidak terbatas (disesuaikan adab tamu).
- p : calon lelaki dan calon perempuan saja (berdua). klo rame-rame bukan pacaran, tapi rombongan.
Biaya
- t : secukupnya dalam rangka menghormati tamu (sesuai adab tamu).
- p : kalau ada biaya: ngapel, kalau ngga ada absent dulu atau cari pinjeman, terus tempat pertemuannya di rumah aja kali ya? tapi gengsi dong pacaran di rumah doang ?? apa kata doi coba ??
Lamanya
- t : ketika sudah tidak ada lagi keraguan di kedua belah pihak, lebih cepat lebih baik. dan ketika informasi sudah cukup (bisa seminggu, sebulan, 2 bulan), apa lagi yang ditunggu-tunggu?
- p : bisa 3 bulan, 6 bulan, setahun, 2 tahun, bahkan mungkin 10 tahun.
Saat tidak ada kecocokan saat proses
- t : salah satu pihak bisa menyatakan tidak ada kecocokan, dan proses stop dengan menyebut alasannya.
- p : salah satu pihak bisa menyatakan tidak ada kecocokan, dan proses stop dengan/tanpa menyebut alasannya.
makna ta'aruf yang sebenarnya adalah berkenalan. Jika yang anda maksudkan adalah taaruf dalam rangka akan menikah, maka kira-kira umumnya dilakukan sebagai berikut:
1. Saling tukar menukar data diri, nama, alamat, tempat tanggal lahir, nama orang tua, suku, hobi, dan lain-lain yang dianggap wajar sebagai perkenalan pertama. Plus foto masing-masing.
2. Jika dari data pertama tersebut, jika kedua pihak setuju, maka pertemuan dilanjutkan sesuai kesepakatan untuk berjumpa pertama kali atau “melihat”. Yang kita sebut "melihat" inilah yang sebenarnya sesuai sunnah Nabi SAW, sebab Beliau SAW ketika salah seorang menyatakan akan menikah dengan si fulanah, beliau bertanya apakah sudah pernah melihat fulanah tersebut? Kemudian Beliau menganjurkan sahabat tersebut untuk melihatnya, dengan alasan: “karena melihat membuat engkau lebih terdorong untuk menikahinya”. Kira-kira demikian. Yang disebut “melihat” ini biasanya dilakukan dengan ditemani orang lain, sesama wanita dari pihak wanita (atau mahramnya yang pria) dan si pria bisa sendiri atau dengan orang lain.
3. Dalam pertemuan pertama tersebut fungsinya membuktikan data foto. Bisa jadi dalam pertemuan tersebut satu sama lain saling bertanya tentang hal-hal yang perlu diperjelas.
4. Seringkali pertemuan tsb dilanjutkan dengan “hubungan” selanjutnya dengan maksud memperjelas perkenalan, yaitu mungkin dengan (1) surat menyurat (2) sms atau telepon (3) atau pertemuan lain dengan komposisi yang sama. Dalam langkah selanjutnya ini umumnya yang dilakukan adalah mendetilkan perkenalan.
5. Jika saling setuju, maka selanjutnya kedua pihak mulai melibatkan ortu, kadang juga ortu terlibat sejak awal, namun biasanya jika sudah melibatkan ortu itu artinya mulai bicara teknis pernikahan.
6. Jika sudah bicara teknis artinya sudah dalam proses menuju pernikahan atau dengan kata lain si wanita sudah dilamar dan tak boleh dilamar pria lain. Seringkali kami juga menganjurkan agar kedua pihak (pada tahap antara nomer 4 dan 5) untuk saling tukar data lebih jauh, misalnya keduanya masing-masing membuat semacam surat perkenalan yang menceritakan tentang diri masing-masing, misalnya kisah singkat tentang dirinya atau tentang hobinya dsb. Ini ijtihad saja yang intinya untuk memberi kesempatan atau sarana bagi kedua pihak untuk taaruf. Bisa juga anda engembangkan cara-cara lain. Apapun juga ada beberapa kesimpulan yang dapat ditarik sebagai “aturan main” taaruf untuk pernikahan pada zaman kita ini
1. Tidak berkhalwat (hadits ttg ini sudah jelas dan dibahas di banyak buku dan kesempatan)
2. Tidak boleh zina hati dan zina mata (termasuk mendekati zina)
3. Agar nomer 2 tidak dilanggar, maka waktu taaruf tak boleh terlalu panjang, apalagi jika sampai tanpa batas yang ditentukan. Jika tak bisa menentukan waktu, sebaiknya pisah saja dulu tanpa ikatan janji. Sebab (1) janji atau yang semacam itu mengundang harap-harap dan itu menjadi zina hati (2) Janji menyebabkan pria lain tak bisa mendekati si wanita dan itu membuat posisinya sudah “setengah milik” bagi pria yang sedang melamarnya tanpa batas waktu kapan menikah. (3) keadaan yang bagaikan “setengah milik” ini menimbulkan kecenderungan mencairkan “hijab dalam pergaulan” antara kedua insan tersebut, ini menjadi mendekati zina. Contohnya adalah timbulnya perilaku cemburu pada pacar atau tunangan yang padahal tak ada kaitan/ikatan apa-apa.
4. Jika sudah ada kata sepakat, segeralah menentukan waktu dan kemudian menikah. Wallahua’lam bishshowwaab. Yang benar datangnya dari Allah SWT, yang salah datang dari kelemahan, kebodohan dan kemaksiyatan manusia.
Adapula perbedaan taaruf dengan pacaran adalah sebagai berikut:
Tujuan
- taaruf (t) : mengenal calon istri/suami, dengan harapan ketika ada kecocokan antara kedua belah pihak berlanjut dengan pernikahan.
- pacaran (p) : mengenal calon pacar, dengan harapan ketika ada kecocokan antara kedua belah pihak berlanjut dengan pacaran, syukur-syukur bisa nikah ...
Kapan dimulai
- t : saat calon suami dan calon istri sudah merasa bahwa menikah adalah suatu kebutuhan, dan sudah siap secara fisik, mental serta materi.
- p : saat sudah diledek sama teman:"koq masih jomblo?", atau saat butuh temen curhat, atau saat taruhan dengan teman.
Waktu
- t : sesuai dengan adab bertamu.
- p : pagi boleh, siang oke, sore ayo, malam bisa, dini hari klo ngga ada yang komplain juga ngga apa-apa.
Tempat pertemuan
- t : di rumah sang calon, balai pertemuan, musholla, masjid, sekolahan.
- p : di rumah sang calon, kantor, mall, cafe, diskotik, tempat wisata, kendaraan umum & pribadi, pabrik.
Frekuensi pertemuan
- t : lebih sedikit lebih baik karena menghindari zina hati.
- p : lazimnya seminggu sekali, pas malem minggu. Kalo bisa lebih.
Lama pertemuan
- t : sesuai dengan adab bertamu
- p : selama belum ada yang komplain, lanjut !
Materi pertemuan
- t : kondisi pribadi, keluarga, harapan, serta keinginan di masa depan.
- p : cerita apa aja kejadian minggu ini, ngobrol ngalur-ngidul, ketawa-ketiwi.
Jumlah yang hadir
- t : minimal calon lelaki, calon perempuan, serta seorang pendamping (bertiga). maksimal tidak terbatas (disesuaikan adab tamu).
- p : calon lelaki dan calon perempuan saja (berdua). klo rame-rame bukan pacaran, tapi rombongan.
Biaya
- t : secukupnya dalam rangka menghormati tamu (sesuai adab tamu).
- p : kalau ada biaya: ngapel, kalau ngga ada absent dulu atau cari pinjeman, terus tempat pertemuannya di rumah aja kali ya? tapi gengsi dong pacaran di rumah doang ?? apa kata doi coba ??
Lamanya
- t : ketika sudah tidak ada lagi keraguan di kedua belah pihak, lebih cepat lebih baik. dan ketika informasi sudah cukup (bisa seminggu, sebulan, 2 bulan), apa lagi yang ditunggu-tunggu?
- p : bisa 3 bulan, 6 bulan, setahun, 2 tahun, bahkan mungkin 10 tahun.
Saat tidak ada kecocokan saat proses
- t : salah satu pihak bisa menyatakan tidak ada kecocokan, dan proses stop dengan menyebut alasannya.
- p : salah satu pihak bisa menyatakan tidak ada kecocokan, dan proses stop dengan/tanpa menyebut alasannya.
Oleh:Muchtar Luthfi
“Tulisan ini dimuat sekaligus
sebagai jawaban atas pertanyaan pembaca tentang hukum nikah mut’ah”
Sudah menjadi kesepakatan segenap
kaum muslimin bahwa nikah mut’ah pernah ada pada zaman Rasul sebagaimana yang
tercantum dalam kitab-kitab standar Sunni maupun Syiah. Disebutkan bahwa Rasul
(saww) pernah membolehkan pernikahan jenis tersebut, akan tetapi lantas terjadi
perbedaan pendapat diantara para pengikut Islam adakah Rasul sampai akhir hayat
beliau tetap membolehkan pernikahan itu ataukah tidak? Sebagian dari mereka
mengatakan bahwa sebelum pulangnya Rasul (saww) ke rahmatullah beliau telah
melarang pernikahan tersebut atau dengan istilah yang sering dipakai hukum
dibolehkannya nikah mut’ah telah mansukh (terhapus). Sebagian lagi mengatakan
bahwa sampai akhir hayat beliaupun beliau tidak pernah melarangnya, akan tetapi
seorang yang bernama Umar bin Khatab lah yang kemudian melarangnya sewaktu ia
menjabat kekhalifahan.
Dari dua pendapat diatas dalam
tulisan ini akan di bahas manakah dari pendapat tersebut yang lebih dekat pada
kenyataan? Apakah nikah mut’ah telah dimansukh oleh Rasul atau tidak? Kalaulah
tidak lantas apakah wewenang dan dasar yang dipakai oleh Umar untuk
mengharamkannya? Adakah ia melakukan berdasarkan konsep ijtihad? Sedang Imam
Ali (as) –sebagai khalifah keempat ahlissunnah- tidak pernah mengharamkannya?
Bolehkah dalam Islam melakukan ijtihad walau bertentangan dengan ayat atau
riwayat yang sebagai sumber utama syariat Islam? Kalaulah kita terima bahwa
nikah jenis itu haram karena ijtihad Umar kenapa mut’ah haji (haji tamattu’)
yang juga diharamkan oleh Umar tetap dianggap halal oleh seluruh kaum muslimin?
Bukankah kalau kita menerima ijtihad Umar tentang pelarangan nikah mut’ah
berarti juga harus menerima pelarangannya atas mut’ah haji? Lantas apakah
alasan ahlissunnah menerima pelarangan nikah mut’ah sedang mut’ah haji tetap
mereka halalkan? Dan masih banyak lagi pertanyaan yang bisa kita munculkan dari
permasalahan-permasalahan mut’ah yang sering dipakai sebagai bahan untuk
melumatkan mazhab Syi’ah karena hanya Syi’ahlah (imamiah itsna asyariah) yang
sampai sekarang ini masih tetap menganggapnya halal.
Yang perlu diingat oleh pembaca yang
budiman adalah bahwa kita disini dalam rangka mencari kebenaran akan konsep
hukum mut’ah dan lepas dari permasalahan praktis dari hal tersebut, oleh
karenanya dalam membahas haruslah didasari oleh argumen dari teks agama ataupun
akal dan bukan bersandar pada emosional maupun fanatisme golongan.
Argumentasi dari Kitab-kitab Standar
Ahlissunnah akan Pembolehan Nikah Mut’ah
Sebagaimana yang telah singgung
diatas bahwa nikah mut’ah pernah disyariatkan oleh Allah (swt) sebagaimana yang
telah disepakati oleh seluruh ulama’ kaum muslimin, hal ini sesuai dengan ayat
yang berbunyi:
“dan (diharamkan atas kamu
mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki, (Allah
telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapanNya atas kamu. Dan dihalalkan bagi
kamu selain yang demikian (yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu untuk
dikawini bukan untuk berzina, maka (istri-istri) yang telah kamu nikmati
(campuri) diantara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya sebagai (dengan
sempurna) sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap
sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu,
sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”(Qs; An-Nisaa’:24)
Jelas sekali bahwa ayat tersebut
berkenaan denga nikah mut’ah sebagaimana yang telah dikemukakan oleh para
perawi hadis dari sahabat-sahabat Rasul seperti: Ibnu Abbas, Ubay bin Ka’ab,
Abdullah bin Mas’ud, Habib bin Abi Tsabit, Said bin Jubair, Jabir bin Abullah
al-Anshari (ra) dst.
Pendapat beberapa ulama’ tafsir dan
hadis ahlussunnah
Adapun dari para penulis hadis dan
penafsir dari ahlussunnah kita sebutkan saja secara ringkas:
1. Imam Ahmad bin Hambal dalam
“Musnad Ahmad” jilid:4 hal:436.
2. Abu Ja’far Thabari dalam “Tafsir
at-Thabari” jilid:5 hal:9.
3. Abu Bakar Jasshas dalam
“Ahkamul-Qur’an” jilid:2 hal:178.
4. Abu bakar Baihaqi dalam
“as-Sunan-al-Qubra” jilid:7 hal:205.
5. Mahmud bin Umar Zamakhsari dalam
“Tafsir al-Kassyaf” jil:1 hal:360.
6. Fakhruddin ar-Razi dalam “Mafatih
al-Ghaib” jil:3 hal:267.
7. dst.
Pendapat beberapa Sahabat dan
Tabi’in
Beberapa ungkapan para sahabat Rasul
dan para tabi’in (yang hidup setelah zaman para sahabat) sebagai contoh
pribadi-pribadi yang mengingkari akan pelarangan (pengharaman) mut’ah:
Imam Ali bin Abi Thalib, sebagaimana
diungkapakan oleh Thabari dalam kitab tafsirnya (lihat: jil:5 hal:9) dimana
Imam Ali bersabda: “jika mut’ah tidak dilarang oleh Umar niscaya tidak akan ada
yang berzina kecuali orang yang benar-benar celaka saja”.
Riwayat ini sebagai bukti bahwa yang mengharamkan mut’ah adalah Umar bin Khatab, lantas setelah banyaknya kasus perzinaan dan pemerkosaan sekarang ini –berdasarkan riwayat diatas- siapakah yang termasuk bertanggungjawab atas semua peristiwa itu?
Riwayat ini sebagai bukti bahwa yang mengharamkan mut’ah adalah Umar bin Khatab, lantas setelah banyaknya kasus perzinaan dan pemerkosaan sekarang ini –berdasarkan riwayat diatas- siapakah yang termasuk bertanggungjawab atas semua peristiwa itu?
Abdullah bin Umar bin Khatab (putera
khalifah kedua), sebagaimana yang dinukil oleh Imam Ahmad bin Hambal dalam
kitab musnadnya (lihat: jil:2 hal:95) dimana Abdullah berkata ketika ditanya
tentang nikah mut’ah: “Demi Allah, sewaktu kita dizaman Rasul tidak kita dapati
orang berzina ataupun serong”. Kemudian berkata, aku pernah mendengar Rasul
bersabda: “sebelum datangnya hari kiamat akan muncul masihud-dajjal dan
pembohong besar sebanyak tiga puluh orang atau lebih”. Lantas siapakah yang
layak disebut pembohong dalam riwayat diatas tadi? Adakah orang yang memutar
balikkan syariat Rasul layak untuk dibilang pembohong?
Abdullah bin Masud, sebagaimana yang dinukil oleh al-Bukhari dalam kitab shahihnya (lihat: jil:7 hal:4 kitab nikah bab:8 hadis ke:3), dimana Abdullah berkata: “sewaktu kita berperang bersama Rasulullah sedang kita tidak membawa apa-apa, lantas kita bertanya kepada beliau: bolehkah kita lakukan pengebirian? Lantas beliau melarang kita untuk melakukannya kemudian beliau memberi izin kita untuk menikahi wanita dengan mahar baju untuk jangka waktu tertentu. Saat itu beliau membacakan kepada kami ayat yang berbunyi: “wahai orang-orang yang beriman janganlah kalian mengharamkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kalian dan janganlah kalian melampaui batas…”(Qs Al-Ma’idah:87)
Cobalah renungkan makna ayat dan riwayat diatas lantas hubungkanlah antara penghalalan ataupun pengharaman nikah mut’ah! Manakah dari dua hukum tersebut yang sesuai dengan syariat Allah yang dibawa oleh Rasul?
Abdullah bin Masud, sebagaimana yang dinukil oleh al-Bukhari dalam kitab shahihnya (lihat: jil:7 hal:4 kitab nikah bab:8 hadis ke:3), dimana Abdullah berkata: “sewaktu kita berperang bersama Rasulullah sedang kita tidak membawa apa-apa, lantas kita bertanya kepada beliau: bolehkah kita lakukan pengebirian? Lantas beliau melarang kita untuk melakukannya kemudian beliau memberi izin kita untuk menikahi wanita dengan mahar baju untuk jangka waktu tertentu. Saat itu beliau membacakan kepada kami ayat yang berbunyi: “wahai orang-orang yang beriman janganlah kalian mengharamkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kalian dan janganlah kalian melampaui batas…”(Qs Al-Ma’idah:87)
Cobalah renungkan makna ayat dan riwayat diatas lantas hubungkanlah antara penghalalan ataupun pengharaman nikah mut’ah! Manakah dari dua hukum tersebut yang sesuai dengan syariat Allah yang dibawa oleh Rasul?
Imran bin Hashin, sebagaimana yang
dinukil oleh al-Bukhari dalam kitab shahihnya (lihat: jil:6 hal:27 kitab
tafsir; dalam menafsirkan ayat: faman tamatta’a bil-umrati ilal-hajji (Qs
Al-Baqarah)), dimana Imran berkata: “Diturunkan ayat mut’ah dalam kitabullah
(Al-Qur’an) kemudian kita melakukannya di zaman Rasul, sedang tidak ada ayat
lagi yang turun dan mengharamkannya, juga Rasul tidak pernah melarangnya sampai
beliau wafat”. Riwayat seperti diatas juga dinukil oleh Imam Ahmad bin Hambal
dalam kitan musnadnya.
Dua riwayat ini menjelaskan bahwa tidak ada ayat yang menghapus (nasikh) penghalalan mut’ah dan juga sebagai bukti mahwa mut’ah sampai akhir hayat Rasul beliau tidak mengharamkannya.
Dua riwayat ini menjelaskan bahwa tidak ada ayat yang menghapus (nasikh) penghalalan mut’ah dan juga sebagai bukti mahwa mut’ah sampai akhir hayat Rasul beliau tidak mengharamkannya.
Ibn Abi Nadhrah, sebagaimana yang
dinukil oleh al-Muslim dalam kitab shahihnya (lihat: jil:4 hal:130 bab:nikah
mut’ah hadis ke:8), dimana Ibn abi nadhrah berkata: “Dahulu Ibn abbas
memerintahkan (baca:menghalalkan) nikah mut’ah sedang Ibn zubair melarangnya
kemudia peristiwa tersebut sampai pada telinga Jabir bin Abdullah al-Anshori
(ra) lantas dia berkata: “Akulah orang yang mendapatkan hadis tersebut, dahulu
kita melakukan mut’ah bersama Rasulullah akan tetapi setelah Umar berkuasa
lantas ia mengumumkan bahwa; “Dahulu Allah menghalalkan buat Rasul-Nya sesuai
dengan apa yang dikehendakinya, maka umat pun menyempurnakan haji dan umrah
mereka, juga melakukan pernikahan dengan wanita-wanita tersebut, jika terdapat
seseorang menikahi seorang wanita untuk jangka wanita tertentu niscaya akan
kurajam ia dengan batu”.
Riwayat diatas juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hambal dalam musnadnya (lihat: jil:1 hal:52). Dikatakan bahwa Abi Nadhrah berkata: “Aku berkata kepada Jabir bin Abdullah Anshari (ra), sesungguhnya Ibn zubair melarang nikah mut’ah sedangkan Ibn Abbas membolehkannya”. Kemudian ia (Jabir) mengatakan: “Melalui diriku hadis tersebut didapat, kita telah melakukan mut’ah bersama Rasulullah (saww) juga bersama Abu bakar, akan tetapi setelah berkuasanya Umar, ia (Umar) pun mengumumkannya pada masyarakat dengan ucapan: “Sesungguhnya Al-Qur’an tetap posisinya sebagai Al-Qur’an sedang Rasulullah (saww) tetap sebagai Rasul, ada dua jenis mut’ah yang ada pada zaman Rasul; haji mut’ah dan nikah mut’ah”.
Riwayat diatas juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hambal dalam musnadnya (lihat: jil:1 hal:52). Dikatakan bahwa Abi Nadhrah berkata: “Aku berkata kepada Jabir bin Abdullah Anshari (ra), sesungguhnya Ibn zubair melarang nikah mut’ah sedangkan Ibn Abbas membolehkannya”. Kemudian ia (Jabir) mengatakan: “Melalui diriku hadis tersebut didapat, kita telah melakukan mut’ah bersama Rasulullah (saww) juga bersama Abu bakar, akan tetapi setelah berkuasanya Umar, ia (Umar) pun mengumumkannya pada masyarakat dengan ucapan: “Sesungguhnya Al-Qur’an tetap posisinya sebagai Al-Qur’an sedang Rasulullah (saww) tetap sebagai Rasul, ada dua jenis mut’ah yang ada pada zaman Rasul; haji mut’ah dan nikah mut’ah”.
Dua riwayat diatas dengan jelas
sekali menyebutkan bahwa pertama orang yang mengharamkan nikah mut’ah adalah
Umar bukan Rasul ataupun turun ayat yang berfungsi sebagai penghapus hukum
mut’ah sebagaimana yang dikatakan sebagian orang yang tidak mengetahui tentang
isi kandungan yang terdapat dalam buku-buku standar mereka sendiri.
Sebagai tambahan kami nukilkan
pendapat Fakhrur Razi dalam tafsir al-Kabir, ketika menafsirkan ayat 24 surat
an-Nisa. Ar-Razi mengutip ucapan Umar (“ Dua jenis mut’ah yang berlaku di masa
rasulullah, yang kini ku larang dan pelakunya akan kuhukum, adalah mutah haji
dan mut’ah wanita” ) dalam menetapkan pengharaman nikah mut’ah. Begitu juga
tokoh besar dari kamu Asy,ariyah, Imam al-Qausyaji dalam kitab Syarh At-Tajrid,
dalam pengharamannya mut’ah adalah ucapan Umar (ucapan Umar: Tiga perkara yang
pernah berlaku di zaman Rasulullah, kini kularang, kuharamkan dan kuhukum
pelakuknya adalah mut’ah wanita dan mutah haji serta seruan (azan): hayya ‘ala
khayr al-‘amal (marilah mengerjakan sebaik-baik amal)). Qusyaji membela
tindakan Umar ini, menyatakan bahwa semata-mata takwil atau ijtihad Umar.
Abdullah ibn Abbas, sebagaimana yang
dinukil oleh al-Jasshas dalam Ahkamul-Qu’an (jil:2 hal:179), Ibn Rusyd dalam
bidayatul mujtahid (jil:2 hal:58), Ibn Atsir dalam an-Nihayah (jil:2 hal:249),
al-Qurtubi dalam tafsirnya (jil:5 hal:130), suyuti dalam tafsirnya (jil:2
hal:140) dikatakan bahwa Ibn Abbas berkata: “semoga Allah merahmati Umar,
bukanlah mut’ah kecuali merupakan rahmat dari Allah bagi umat Muhammad (saww)
jikalau ia (Umar) tidak melarang mut’ah tersebut niscaya tiada orang yang
menghendaki berbuat zina kecuali ia bisa terobati”
Riwayat yang dikemukakan oleh Ibn Khalqan dalam kitab Wafayaatul-A’yaan jil:6 hal:149-150, durrul mantsur jil:2 hal:140, kanzul ummal jil:8 hal:293, tarikh tabari jil:5 hal:32, tarikh Ibn khalkan jil:2 hal:359, tajul-arus jil:10 hal:200. Dan masih banyak lagi riwayat dalam kitab-kitab lainnya, .
Untuk mempersingkat tulisan singkat ini kita cukupkan hanya dengan menyebutkan riwayat-riwayat diatas. Untuk melengkapinya akan kita sebutkan beberapa permasalahan yang sering dilontarkan oleh orang-orang yang tidak paham akan maksud dari hikmah Ilahi tentang penghalalan nikah mut’ah dan kita berusaha untuk menjawabnya secara ringkas.
Riwayat yang dikemukakan oleh Ibn Khalqan dalam kitab Wafayaatul-A’yaan jil:6 hal:149-150, durrul mantsur jil:2 hal:140, kanzul ummal jil:8 hal:293, tarikh tabari jil:5 hal:32, tarikh Ibn khalkan jil:2 hal:359, tajul-arus jil:10 hal:200. Dan masih banyak lagi riwayat dalam kitab-kitab lainnya, .
Untuk mempersingkat tulisan singkat ini kita cukupkan hanya dengan menyebutkan riwayat-riwayat diatas. Untuk melengkapinya akan kita sebutkan beberapa permasalahan yang sering dilontarkan oleh orang-orang yang tidak paham akan maksud dari hikmah Ilahi tentang penghalalan nikah mut’ah dan kita berusaha untuk menjawabnya secara ringkas.
Soal: Salah satu fungsi pernikahan
adalah untuk membina keluarga dan menghasilkan keturunan dan itu hanya bisa
terwujud dalam nikah da’im (baca:nikah biasa), sedang nikah mut’ah tujuannya
hanya sekedar sebagai pelampiasan nafsu belaka.
Jawab: Jelas sekali bahwa pertanyaan
diatas menunjukkan akan adanya percampuran paham antara hukum obyek dengan
fungsi/hikmah pernikahan. Yang ia sampaikan tadi adalah berkisar tentang hikmah
pernikahan bukan hukum pernikahan. Karena kita tahu bahwa Islam mengatakan
bahwa sah saja orang menikah walaupun dengan tidak memiliki tujuan untuk hal
yang telah disebutkan diatas, sebagaimana orang lelaki yang sengaja mengawini
wanita yang mandul atau wanita tua sehingga tidak terlintas sama sekali
dibenaknya untuk mendapat anak dari wanita tersebut ataupun lelaki yang
mengawini seorang wanita dengan nikah daim akan tetapi hanya untuk beberapa
saat saja-taruhlah dua bulan saja- setelah itu ia talak wanita tersebut. Dua
contoh pernikahan tersebut jelas tidak seorang ulama pun yang mengatakan bahwa
itu batil hukumnya sebagaimana yang disampaikan oleh penulis tafsir “Al-Manaar”
dimana ia mengatakan: “pelarangan para ulama’ terdahulu maupun yang sekarang
akan nikah mut’ah mengharuskan juga pelarangan akan nikah dengan niat mentalak
(istrinya setelah beberapa saat) walaupun para ahli fiqih sepakat bahwa akad
nikah dikatakan sah walaupun ada niatan suami untuk menikahinya hanya untuk saat
tertentu saja sedang niat tersebut tidak diungkapkannya saat akat nikah, sedang
penyembunyian niat tersebut merupakan salah satu jenis penipuan sehingga hal
itu lebih layak untuk dihukumi batil jika syarat niat tadi diungkapkan sewaktu
akad dilangsungkan” (Tafsir al-Manaar jil:5 hal:17).
Dari sini kita akan heran melihat
orang yang menganggap bahwa mut’ah hanya berfungsi sebagai sarana pelampiasan
nafsu belaka dan bukankah dalam nikah da’im pun bisa saja orang berniat untuk
pelampiasan nafsu saja, niatan itu semua kembali kepada pribadi masing-masing
bukan dari jenis pernikahannya.
Soal: Nikah mut’ah menjadikan wanita
tidak dapat menjaga kehormatan dirinya karena ia bisa berganti-ganti pasangan
kapanpun ia mau, padahal Islam sangat menekankan penjagaan kehormatan terkhusus
bagi para wanita.
Jawab: Justru dalam nikah mut’ah
sama seperti nikah da’im dimana bukan hanya wanita yang ditekankan untuk
menjaga kehormatannya tapi bagi silelaki pun diharuskan untuk menjaga hal
tersebut, karena legalitas pernikahan tersebut sudah ditetapkan dalam syariat
maka dengan cara inilah mereka menjaga kehormatan mereka dan tidak
menjerumuskan diri mereka keperzinaan. Dalam Islam ada tiga alternatif dalam
menangani gejolak nafsu birahi:Nikah da’im, Nikah mut’ah dengan ada beberapa
syarat yang harus dipenuhi dan meredam nafsu dengan puasa misalnya.
Sekarang jika seseorang tidak mampu
melaksanakan nikah da’im dengan berbagai alasan seperti karena masalah ekonomi,
studi ataupun yang lainnya, dan untuk meredam nafsu dengan puasa misalnya iapun
tidak mampu atau gejolaknya muncul diwaktu malam yang tidak memungkinkan untuk
puasa, maka alternatif terakhir dengan nikah mut’ah tadi. Inilah yang diajarkan
Islam kepada pengikutnya karena kita tahu bahwa Islam adalah agama terakhir,
syariatnya pun adalah syariat terakhir yang dibawa oleh Nabi terakhir maka ia
harus selalu up to date dan universal yang mencakup segala aspek kehidupan
manusia yang mampu menjawab apapun kemungkinan yang bakal terjadi, dan ia
merupakan agama yang bijaksana dimana salah satu ciri hal yang bijak adalah
disaat ia melarang sesuatu maka ia harus memberi jalan keluarnya. Lantas jika
seseorang tidak dapat melakukan nikah da’im ataupun meredam nafsunya lantas apa
yang harus ia lakukan, sementara Islam melarang penyimpangan seksual jenis
apapun? Atau jika ada seorang pemuda ingin mengenal seorang wanita lebih dekat
untuk nanti menjadikannya seorang istri dalam masa pendekatan itu –karena boleh
jadi gagal karena tidak ada kecocokan- hubungan apakah yang harus ia lakukan sehingga
ia dapat berbicara dengan wanita tersebut berdua-duaan sedang Islam melarang
berpacaran tanpa ada ikatan pernikahan?
Dan banyak lagi contoh lain yang
Islam sebagai agama terakhir dan sebagai agama yang bijak dituntut untuk mampu
menjawab tantangan tersebut, jika mut’ah diharamkan lantas kira-kira jalan
keluar manakah yang akan diberikan oleh si pengharam mut’ah tadi? Oleh
karenanya jangan heran jika Imam Ali (as) mengeluarkan statemen seperti diatas
( Imam Ali: “jika mut’ah tidak dilarang oleh Umar niscaya tidak akan ada yang
berzina kecuali orang yang benar-benar celaka saja”).
Kesalahan besar yang selama ini
banyak terdapat pada benak kaum muslimin adalah mereka sering mengidentikkan
nikah mut’ah dengan hubungan seksual padahal tidak mesti semacam itu
–sebagaimana nikah da’im dengan anak dibawah usia yang diperbolehkan oleh para
ahli fiqih semuanya- bisa saja siwanita mensyarati untuk tidak melakukan hal
tersebut dalam akad nya sehingga mut’ah hanya sebagai sarana untuk
menghilangkan dosa -semasa berkenalan untuk nantinya menikah daim- dengan
adanya ikatan pernikahan diantara mereka.
Soal: Adanya beberapa sumber dari
ahlussunnah yang menunjukkan adanya pelarangan mut’ah walaupun dari sisi waktu
dan tempat pelarangannya berbeda-beda sehingga menjadi argumen bahwa ayat
mut’ah (an-Nisaa:23) sudah terhapus dengan riwayat-riwayat itu, seperti:
Dibolehkannya mut’ah lantas dilarang
pada seusai perang Khaibar.
Dibolehkannya nikah mut’ah lantas dilarang pada saat Fathul-Makkah.
Hanya dibolehkan pada saat peristiwa Awthas saja.
Diperbolehkan pada saat umrah qadha’ saja.
Jawab: Kita bisa katakan bahwa:
Dibolehkannya nikah mut’ah lantas dilarang pada saat Fathul-Makkah.
Hanya dibolehkan pada saat peristiwa Awthas saja.
Diperbolehkan pada saat umrah qadha’ saja.
Jawab: Kita bisa katakan bahwa:
1- Ungkapan-ungkapan yang
berbeda-beda itu menunjukkan tidak adanya kesepakatan akan pelarangannya karena
perbedaan riwayat menunjukkan bahwa riwayat itu tunggal sifatnya (khabar wahid)
dan riwayat jenis itu tidak bisa dijadikan sandaran sebagai penghapus hukum
yang ada dalam Al-Qur’an, oleh karenanya Imran bin Hashin mengatakan tidak ada
riwayat ataupun ayat yang menghapus hukum mut’ah (lihat kembali riwayat Imran diatas).
2- Khalifah kedua sebagai pengharam
mut’ah pun tidak menyandaran ijtihadnya –kalaulah itu bisa disebut ijtihad-
kepada ayat ataupun riwayat karena memang tidak ada riwayat yang menghapus
hukum mut’ah tersebut sehingga dari sinilah menyebabkan banyak sahabat yang
menentang keputusan Umar dalam pengharaman mut’ah. Kalau ada ayat atau riwayat
yang mengharamkan nikah Mut’ah, kenapa Umar menyandarkan pelarangannya pada
diri sendiri? Bukankah dengan menyandarkan pada ayat dan riwayat dari Rasul
maka pendapatnya akan lebih kuat?
Soal: Diperbolehkannya melakukan
nikah mut’ah adalah sebagaimana diperbolehkannya memakan daging babi yaitu pada
saat-saat tertentu saja (dharurat) karena mut’ah sama hukumnya seperti zina
yaitu haram, maka sebagaimana haramnya babi dalam saat-saat tertentu halal maka
pada saat-saat tertentupun mut’ah halal juga hukumnya.
Jawab: Jelas penyamaan antara
diperbolehkannya makan daging babi disaat dharurat berbeda dengan mut’ah, salah
satu perbedaannya adalah:
Hukum dharurat hanya pada hal-hal
yang mengakibatkan kelangsungan hidup (jiwa) terancam oleh karenanya
diperbolehkan makan daging babi sebatas untuk menyambung hidup saja sehingga
dilarang untuk makan secara berlebihan, adapun mut’ah apakah ia sama seperti
daging babi sehingga jika seseorang tidak mut’ah lantas ia terancam
kelangsungan hidupnya?
Kalaupun –walaupun alasan ini tidak dapat diterima- mut’ah bisa disamakan sama seperti daging babi yaitu terkenai hukum dharurat, lantas kenapa banyak sahabat yang melakukan mut’ah saat itu padahal gairah seksual tidak mesti muncul bersamaan sebagaimana rasa lapar?
Kalau dikatakan hukum dharurat itu ada, seharusnya hukum setelah hilang nya dharurat, kembali ke hukum awal nya (haram), akan tetapi yang kita dapati bahwa rasulullah tidak mengharamkan sampai akhir hayatnya. Sehingga tidak benar penghalalan hukum mutah itu dikarenakan dharurat.
Penutup
Kalaupun –walaupun alasan ini tidak dapat diterima- mut’ah bisa disamakan sama seperti daging babi yaitu terkenai hukum dharurat, lantas kenapa banyak sahabat yang melakukan mut’ah saat itu padahal gairah seksual tidak mesti muncul bersamaan sebagaimana rasa lapar?
Kalau dikatakan hukum dharurat itu ada, seharusnya hukum setelah hilang nya dharurat, kembali ke hukum awal nya (haram), akan tetapi yang kita dapati bahwa rasulullah tidak mengharamkan sampai akhir hayatnya. Sehingga tidak benar penghalalan hukum mutah itu dikarenakan dharurat.
Penutup
Dari sini jelaslah bahwa nikah
mut’ah diperbolehkan oleh syariat Islam –yang bersumber dari ayat dan hadis
shohih- dimana sepakat kaum muslimin bahwa sumber syariat hanyalah Allah semata
sebagaimana ayat yang berbunyi: “keputusan menetapkan suatu hukum hanyalah hak
Allah”(Qs Yusuf:67). Sedang Rasul diutus untuk menjelaskannya oleh karenanya
apa yang diungkapkan oleh beliau merupakan apa yang sudah disetujui oleh Allah.
Rasul bersabda:“dan tiadalah yang diucapkannya (Muhammad) itu menurut kemauan
hawa nafsunya, ucapan itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan”(Qs
An-Najm:3-4). Oleh karenanya:“apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah
dia dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah”(Qs Al-Hasyr:7).
Adapun ucapan para sahabat jika
sesuai dengan firman Allah atau ungkapan Rasul maka bisa juga dikategorikan
sebagai teks agama, akan tetapi jika tidak maka hal itu telah keluar dari apa
yang telah tercantum dari ayat-ayat diatas tadi karena mereka manusia biasa
seperti kita yang juga bisa salah sehingga tidak bisa dijadikan rujukan dalam
menangani masalah syariat secara independen (mustaqil) tanpa tolok ukur
kebenaran yang lain. Karena jika tidak, apa mungkin akan kita jadikan tolok
ukur sedang kita dapati banyak pendapat mereka yang saling paradoksal
sebagaimana yang kita saksikan tadi, bukankah dalam situasi perbedaan pendapat
semacam itu kita diperintahkan untuk kembali kepada Allah dan Rasul-Nya;“kemudian
jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah ia kepada Allah
dan Rasul jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir”(Qs
An-Nisaa’:59)
Bukanlah Allah dan Rasulnya tetap
menghalalkan nikah mut’ah? Sewaktu sumber syariat adalah Al-Qur’an dan Hadis
shohih lantas apakah diperbolehkan orang berijtihad –yang lantas
hasilnya-hasilnya dianggap sebagai syariat- akan tetapi bertentangan dengan
kehendak Allah dan Rasul yang sebagai sumber syariat?, bukankah dalam Al-Qur’an
telah ditetapkan bahwa; “dan tidak patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak
(pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan
suatu ketetapan akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka,
dan barang siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sesungguhnya dia
telah sesat, sesat yang nyata”(Qs al-Ahzab:36)
Apakah pemberian ketetapan lain yang
tidak sesuai dengan ketetapan Allah dan Rasul tersebut tidak dikategorikan
sebagai bid’ah -yang berarti mengada-adakan hukum syariat- dimana dalam riwayat
disebutkan bahwa semua jenis bid’ah adalah sesat – “kullu bid’atin dholalah”
-sehingga tidak ada lagi lubang untuk membagi bid’ah kepada bid’ah yang baik
dan yang buruk? Lantas apakah konsekwensi bagi orang ahli bid’ah yang berarti
ahli kesesatan yang dalam riwayat tentang bid’ah juga telah disebutkan “wakullu
dhalalatin finnaar”? Kemudian apakah kita akan terus mengikuti ahli bid’ah
dengan mengharamkan nikah mut’ah? Kalaupun nikah mut’ah haram lantas kenapa
kita juga tidak mengharamkan mut’ah haji yang sampai detik ini masih dilakukan
oleh semua kaum muslimin dunia padahal ia termasuk yang diharamkan oleh
khalifah kedua? Dan masih banyak pertanyaan lain yang harus dijawab oleh
saudara-saudara ahlussunnah yang berkisar tentang mut’ah. Renungkanlah dan
bacalah saudara-saudaraku.
Tanggapan to 'NIKAH MUT’AH; Antara Halal dan Haram'
ni berkata,
“Kemudian apakah kita akan terus mengikuti ahli
bid’ah dengan mengharamkan nikah mut’ah?”
Berarti anda memvonis orang yg berkeyakinan bahwa nikah mut’ah itu haram adalah orang2 bid’ah??
Berarti anda memvonis orang yg berkeyakinan bahwa nikah mut’ah itu haram adalah orang2 bid’ah??
pemudaahlulbait berkata,
Menurut saya, kita harus menyamakan dulu definisi
tentang bid’ah. Sebab bila tidak, maka kita tidak akan memiliki kesimpulan yang
sama. Tapi walau demikian, saya akan mencoba mendefinisikan bid’ah menurut
pendapat saya. Bid’ah, menurut saya ada dua. Pertama, sesuatu pekerjaan yang
Rasulullah kerjakan, kita malahan tidak mengerjakannya. Kedua, sesuatu pekerjaan
yang Rasulullah kerjakan, kita bukan saja tidak mengerjakan, akan tetapi
malahan menghilangkannya atau merubahnya. Itu lho, definisi menurut saya.
Definisi yang terakhir inilah yang dilakukan oleh Umar bin Khattab. Buktinya
adalah sebagai berikut : Tiga perkara yang pernah berlaku di zaman Rasulullah,
kini kularang, kuharamkan dan kuhukum pelakuknya adalah mut’ah wanita dan mutah
haji serta seruan (azan): hayya ‘ala khayr al-‘amal (marilah mengerjakan
sebaik-baik amal)). Menyimak hadits diatas degan seksama, maka larangan mut’ah
hanya dilakukan oleh Umar seorang. Sementara Rasulullah sendiri tidak
melarangnya. Tapi karena sifat fanatik buta yang dilakukan oleh sebagian Ulama
Ahlussunnah lainnya, maka yang terjadi justru pembelaan habis-habisan terhadap
Umar. Salah satu contohnya, Imam al-Qausyaji , seorang ulama ahlussunnah dari
kaum Asy’ariyah. Menurut beliau dalam kitab Syarh At-Tajrid, tindakan yang
dilakukan oleh Umar bukan pelarangan, akan tetapi semata-mata takwil atau
ijtihad Umar saja. Artinya, bila pendapat Umar salah, tetap saja dapat pahala.
Padahal, mengharamkan pernikahan mut’ah bukan saja cuma ahli bid’ah, akan tetapi juga telah menolak kemudahan karunia yang telah Allah berikan.
Padahal, mengharamkan pernikahan mut’ah bukan saja cuma ahli bid’ah, akan tetapi juga telah menolak kemudahan karunia yang telah Allah berikan.
Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya
zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk. QS.
17:32
Kalau kia menyimak keseluruhan sejarah. Tindakan
Umar bertentangan dengan Rasulullah bukan saja pada tiga perkara yang
disebutkan diatas, akan tetapi banyak sekali jumlahnya. Salah satu contohnya,
shalat sunnah tarawih. Rasulullah melarangnya. Sementara Umar mengerjakannya.
Lagi-lagi ulama yang fanatik dengan Umar, malahan menyatakan : bahwa yang
dilakukan Umar dalam shalat tarawih itu adalah Ijtihad Umar. Kesimpulannya
adalah : setiap amal perbuatan yang dilakukan oleh Umar bertentangan dengan
Rasulullah. Maka, mereka selalu membelanya dengan mengatakan : Inikan, Ijtihad
Umar.
Ways
pemudaahlulbait berkata,
Larangan Umar ini menunjukkan bahwa Umarlah yang
pertama melarangnya
- Dari Ayyub:’Urwah berkata kepada Ibn Abbas-apakah
kamu tidak takut kepada Allah sampai kamu membolehkan nikah mut’ah? Kata Ibn
Abbas: Tanya ibumu, hai Ariyyah. Kata Urwah:”Tetapi Abu Bakar dan Umar tidak
pernah melakukannya. Kata Ibn Abbas:”Demi Allah, tampaknya kalian tidak akn
berhenti sampai Allah menurunkan azabNYa kepada kalian.kami sampaikan dari Nabi
SAW dan kalian menyampaikan kepada kami dari Abu Bakar dan Umar [‘Zad al-Ma’ad
1:219]
- Ibn Umar ditanya tentang tamatu. Ia berkata”hasan
Jamil”, “Sungguh ayahmu telah melarangnya”, kata orang. Ia berkata: ”Apakah aku
harus mengambil pendapat bapakku atau mengikuti Rasulullah SAW? [Al Qurtubi
2:365; dalam riwayat al-Darimi 2:35; Ibn Umar berkata: Umar lebih baik dariku.
Nabi SAW melakukannya. Nabi SAW lebih baik dari Umar]
Sumber: http://pemudaahlulbait.wordpress.com/nikah-mut%E2%80%99ah-antara-halal-dan-haram/12042012/06:40wita
Siapakah AHLUL BAIT yang sebenarnya itu ?
Ahlulbait dalam Al-Quran(W.Ana Yuniar )
Al-Quran adalah sumber pemikiran, sumber hukum dan sumber segala kebajikan yang esensinya adalah kalam ilahi yang suci. Al-Quran adalah pola bagi hidup dan kehidupan seluruh umat manusia. Maka setiap muslim atau muslimah wajib mengetahui dan memahami bahwa Kitabullah itu adalah syari’ah dan risalah-Nya yang umat manusia harus merealisasikannya dalam hidup dan kehidupannya serta berjalan di atas petunjuk-Nya. Banyak ayat Al-Quran yang menceritakan Ahlulbait atau keluarga Nabi yang disucikan yang antara lain seperti di bawah ini:
1. Surah Al-Ahzab:33
Dalam ayat ini Allah menyebut mereka Ahlulbait. Dalam firman-Nya :”Sesungguhnya Allah hendak menghilangkan al-rijs dan dosa dari kamu wahai Ahlulbait dan mensucikanmu sesuci-sucinya.” (QS Al Ahzab/33).
Imam Ja’far Al-Shadiq ditanya mengenai makna al-rijs yang terdapat pada ayat diatas. Beliau menjawab: “Al-Rijsu itu adalah al-syakk (keraguan)”. (Ma’ani l`Akhbar).
Jika kita tidak taat kepada Allah dalam satu perkara, maka hal itu telah menunjukan kepada keraguan kita terhadap-Nya, semakin banyak ketidaktaatan kita kepadanya, maka semakin besar pula keraguan kita kepada-Nya. Ahlulbait yang disucikan itu sedikit pun tidak pernah ragu kepada-Nya, oleh karena itu tidak ada satu pun keburukan atau kemaksiatan yang mereka lakukan. Dan tidak adanya keraguan dari mereka, dikuatkan dengan pensucian sesuci-sucinya, yang demikian itu menunjukan bahwa mereka memiliki sifat ‘ishmah yang sangat kuat, mereka adalah orang-orang ma’shum (tidak melakukan dosa dan kesalahan).
Sebagian kaum muslim beranggapan bahwa tafsir ahlul bait yang terdapat pada ayat di atas adalah istri-istri Rasulullah saw, mereka menafsirkan demikian barangkali dikarenakan awal ayat tersebut ditujukan kepada istri-istri Nabi yaitu : “Dan hendaklah kamu (istri-istri Nabi) tinggal di rumah-rumah kamu, dan janganlah kamu bersolek seperti kaum jahiliah yang pertama, dan dirikanlah salat, tunaikanlah zakat dan taatlah kepada Allah serta Rasul-Nya…”.
Tafsir seperti itu rasanya tidak benar karena kata ganti (personal pronoun, dhamir) bagi istri-istri Nabi dan untuk ahlulbait berbeda; untuk istri-istri Nabi dhamirnya mu`annats (feminine) sedangkan untuk Ahlulbait dhamirnya mudzakkar (masculine). Kedua mereka tidak memakai tafsir atau penjelasan dari Rasulullah dan para sahabatnya, padahal orang yang paling mengetahui tafsirnya adalah Nabi saw, dan Al-Quran telah memerintahkan kita untuk mengikuti beliau sebagaimana dalam firman-Nya berikut ini (yang artinya):
“Dan telah Kami turunkan Al-Dzikr (Al-Quran) untuk kamu jelaskan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka agar mereka berpikir”. (Al-Nahl 44).
“Dan tidak Kami turunkan Al-Kitab melainkan agar kamu jelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan dan sebagai petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman”. (Al-Nahl 64).
“Apa yang diperintahkan Rasul kepadamu maka laksanakan dan apa-apa yang dia larang maka tinggalkanlah, dan ber-taqwa-lah kepada Allah, sesungguhnya Allah amat keras siksa-Nya”. (QS 59/7).
“Wahai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah Rasul serta Uli l`amri (para khalifah Rasulullah yang dua belas) dari kamu…”. (QS 4/59).
Kemudian siapakah Ahlulbait yang disebutkan dalam Al-Ahzab 33 menurut Nabi dan sebagian sahabatnya itu? Marilah kita perhatikan beberapa riwayat berikut ini :
Ummu l`mu`minin Aisyah mengatakan : “Pada suatu pagi Rasulullah saw keluar dari rumah) dengan membawa kain berbulu yang berwarna hitam. Kemudian datang (kepada beliau) Hasan putra Ali, lalu beliau memasukkannya (ke bawah kain); lalu datang Husayn lantas dia masuk bersamanya; kemudian datang Fathimah,lantas beliau memasukannya; kemudian datang Ali, lalu beliau memasukannya. Kemudian beliau membaca ayat : ‘Sesungguhnya Allah hendak menghilangkan keraguan dari kalian wahai Ahlulbait dan mensucikan kalian sesuci-sucinya’”. (Lihat Shahih Muslim bab fadha`il Ahli bayti l`Nabiyy; Al-Mustadrak ala l Shahihayn 3/147; Sunan Al-Bayhaqi 2/149 dan Tafsir Ibnu Jarir Al-Thabari 22/5).
Amer putra Abu Salamah – anak tiri Rasulullah – mengatakan : “Ketika ayat ini (innama yuridu l`llahu liyudzhiba ‘ankumu l`rijsa ahla l`bayt wa yuthahhirakum tathhira) diturunkan di rumah Ummu Salamah, beliau memanggil Fathimah, Hasan dan Husayn sedangkan Ali as. berada di belakang beliau. Kemudian beliu mengerudungi mereka dengan kain seraya beliau berdoa : ‘Ya Allah mereka ini ahlulbaitku maka hilangkanlah dari mereka keraguan dan sucikan mereka sesuci-sucinya’. Ummu Salamah berkata: ‘Dan aku bersama mereka wahai Nabi Allah?’ Beliau bersabda : ‘Engkau tetap di tempatmu, engkau dalam kebaikan’”. (Al-Turmudzi 2:209, 308 ; Musykilu l`Atsar 1:335; Usudu l`Ghabah 2:12; Tafsir Ibni Jarir Al-Thabari 22: 6-7).
Dari Ummu Salamah bahwa Nabi saw. telah mengerudungkan sehelai kain ke atas Hasan, Husayn, Ali, Fatimah lalu beliau berkata, “Ya Allah, mereka ini Ahlulbaitku dan orang-orang terdekatku, hilangkanlah dari mereka keraguan dan sucikan mereka sesuci-sucinya,”. Kemudian Ummu Salamah berkata: “Aku ini bersama mereka wahai Rasulullah ?”. Beliau bersabda, “Sesungguhnya engkau berada di atas kebaikan”. (HR Al-Turmudzi 2:319).
Anas bin Malik telah berkata : “Rasulullah saw pernah melewati pintu rumah Fatimah ‘alayha l`salam selama enam bulan, apabila beliau hendak keluar untuk shalat subuh, beliau berkata, ‘Salat wahai Ahlulbait! Sesungguhnya Allah hendak menghilangkan keraguan darimu wahai Ahlulbait dan mensucikanmu sesuci-sucinya’”. (HR Al-Turmudzi 2 : 29).
Itulah beberapa kesaksian dari beberapa kitab rujukan bahwa Ahlulbait dalam surah Al-Ahzab itu bukan istri-istri Nabi saw melainkan Ali, Fathimah, Hasan dan Husayn sekalipun ayat tersebut digabungkan penulisannya dengan ayat yang menceriterakan istri-istri Nabi saw sebab di dalam Al-Quran mushhaf ‘utsmani ini terkadang dalam surah makkiyyah terselip di dalamnya beberapa ayat madaniyyah atau sebaliknya atau satu ayat mengandung dua cerita seperti pada ayat diatas dan tentu para ulama telah maklum adanya.
2. Surah Al-Syura:23
Ketika orang-orang musyrik berkumpul di satu tempat pertemuan mereka, tiba-tiba berkatalah sebagian dari mereka kepada yang lainnya : Apakan kalian melihat Muhammad meminta upah atas apa yang dia berikan ? Kemudian turunlah ayat : “Katakanlah aku tidak meminta upah dari kalian selain kecintaan (mawaddah) kepada al-qurba”. (Al-Zamakhsyari dalam tafsirnya Al-Kasysyaf).
Kemudian beliau berkata: Telah diriwayatkan ketika ayat tersebut turun bahawa ada orang yang bertanya: Wahai Rasulullah, siapakah kerabatmu yang telah diwajibkan atas kami mencintai mereka? Beliau menjawab: “Mereka itu adalah Ali, Fathimah dan kedua putranya (Hasan dan Husayn)”.
Ayat tersebut di atas telah mewajibkan seluruh manusia untuk mencintai (mengikuti) keluarga Nabi atau Ahlulbait dan mencintai mereka merupakan dasar di dalam ajaran Islam. Rasulullah saw bersabda (yang artinya): “Segala sesuatu ada asasnya dan asas Islam adalah mencintai Ahlulbaitku”. (Hadits yang mulia). Dan jika kita membenci mereka maka amal baik kita akan menjadi sia-sia dan kita masuk neraka. Sabdanya : “Maka seandainya seseorang berdiri (beribadah) lalu dia salat dan saum kemudian dia berjumpa dengan Allah (mati) sedangkan dia benci kepada Ahlulbait Muhammad, niscaya dia masuk neraka.” Al-Hakim memberikan komentar terhadap sabda Nabi ini sebagai berikut : “Ini hadits yang baik lagi sah atas syarat Muslim”. ( Kitab Al-Mustadrak ‘ala l`Shahihayn 3/148).
3. Surah Ali ‘Imran:61
Ayat ini disebut sebagai ayat mubahalah karena di dalamnya ada ajakan untuk ber-mubahalah dengan para pendeta nasrani. Adapun terjemahannya: “Siapa yang menbantahmu tentang dia (Al-Masih) setelah datang kepadamu ilmu, maka katakanlah (kepada mereka): Marilah, kami memanggil anak-anak lelaki kami dan (kamu memanggil) anak-anak lelaki kamu, perempuan-perempuan kami dan perempuan-perempuan kamu dan diri-diri kami serta diri-diri kamu, kita bermubahalah dan kita tetapkan laknat Allah atas mereka yang berdusta”.
Saksi sejarah yang hidup dan kekal yang diriwayatkan ahli-ahli tarikh dan tafsir telah memberikan kejelasan kepada khalayak akan kesucian keluarga Nabi saw yaitu Ali, Fathimah, Hasan dan Husain. Ayat tersebut menunjukan betapa agungnya kadar dan kedudukan mereka di sisi Allah ‘azza wa jalla.
Diantara kasus yang disampaikan para muarrikh, mufassir dan muhaddits ialah peristiwa mubahalah, yaitu ketika datang utusan dari masyarakat keristen Najran untuk membantah Rasulullah—shalla l`llahu ‘alayhi wa alihi wa sallam—kemudian Allah Ta’ala menurunkan ayat di atas agar beliau memanggil Ali, Fathimah. Hasan dan Husain. Beliau keluar membawa mereka ke lembah yang telah ditentukan dan para pemimpin keristen pun membawa anak-anak dan perempuan-perempuan mereka.
Al-Zamakhsyari dalam tafsirnya Al-Kasysyaf berkata : “Sersungguhnya ketika mereka diseru untuk bermubahalah mereka mengataakan : ‘Nanti akan kami pertimbangkan terlebih dahulu’. Tatkala mereka berpaling (dari mubahalah) berkatalah mereka kepada Al-Aqib—yang menjadi juru bicara mereka : ‘Wahai hamba Al-Masih, bagaimanakah menurutmu?’ Dia berkata: Demi Allah, kalian juga tentu mengetahui wahai umat nasrani bahwa Muhammad adalah seorang Nabi dan Rasul. Dia datang kepadamu membawa penjelasan mengenai Isa (Yesus). Demi Allah tidak ada satu kaum pun yang mengadakan mubahalah dengan seorang Nabi lalu mereka hidup. Dan jika kalian melakukan mubahalah dengannya niscaya kalian semua pasti binasa, dan apabila kalian ingin tetap berpegang kepada ajaran kalian maka tinggalkan orang tersebut dan pulanglah ke kampung halaman kalian”.
Keesokan harinya Nabi saw datang dengan menggendong Husayn dan menuntun Hasan dan Fathimah berjalah di belakang beliau sedang Ali berjalan di belakang Fathimah. Nabi bersabda : “Bila aku menyeru kalian maka berimanlah !”. Melihat Nabi dan Ahlulbaitnya, berkatalah uskup Najran : “Wahai umat keristen, sungguh aku melihat wajah-wajah yang sendainya mereka berdoa kepada Allah agar Dia (Allah) menghilangkan sebuah gunung dari tempatnya pasti doa mereka akan dikabulkan, oleh karena itu tinggalkan mubahalah sebab kalian akan celaka yang nantinya tidak akan tersisa seorang keristen pun sampai hari kiamat”.
Akhirnya mereka berkata : “Wahai Abul Qasim, kami telah mengambil keputusan bahwa kami tidak jadi bermubahalah, namun kami ingin tetap memeluk agama kami.” Rasul bersabda : “Jika kalian enggan mubahalah maka terimalah Islam bagi kalian dan akan berlaku hukum atas kalian sebagai mana berlaku atas mereka (muslimin yang lain).”
Kemudian Al-Zamakhsyari–rahimahu l`llah–menjelaskan kedudukan Ahlulbait ketika menafsirkan ayat mubahalah, setelah dia menjelaskan keutamaan mereka melalui riwayat dari Aisyah dengan mengatakan : “Diantara mereka ada yang diungkapkan dengan anfusana (diri-diri kami); ini adalah untuk mengingatkan akan tingginya kedudukan mereka dan ayat ini adalah dalil yang sangat kuat dari-Nya atas keutamaan ashhabu l`kisa` (Ahlulbait) as”.
Pertunjukan mubahalah yang tidak terjadi itu telah menampilkan dua kekuatan yaitu iman versus syirik, dan manusia-manusia mukmin yang tampil waktu itu (Rasulullah, Ali, Fathimah, Hasan dan Husayn) adalah para tokoh petunjuk, umat terkemuka dan orang-orang suci. Seruan mereka tidak boleh dibantah dan kalimat mereka tidak boleh didustakan. Dari sini kita dapat memahami bahwa apa-apa yang datang dari mereka baik pemikiran, syari’ah, tafsiran, petunjuk maupun pengarahan adalah berlaku; mereka adalah orang-orang yang benar dalam ucapannya, perjalanan hidupnya dan tingkah lakunya.
Al-Quran telah menganggap setiap yang berlawanan dengan mereka adalah musuh-musuh, dan menjadikan musu-musuh mereka sebagai orang-orang yang berdusta serta berpaling dari kebenaran yang sepantasnya mendapat laknat dan azab. “…maka kami jadikan laknat Allah atas mereka yang berdusta.”
Dan juga dari segi bahasa yang sangat dalam pada ayat tersebut yang harus kita perhatikan, yakni ketika mereka disandarkan kepada Nabi. Hasan dan Husayn disebut sebagai “anak-aknak kami”, Fathimah sebagai perempuan-perempuan kami” dan Ali sebagai “diri-diri kami”. Di sini Imam Ali disandarkan kepada diri Nabi yang suci.
Sesungguhnya Rasulullah—shalla l`llahu ‘alayhi wa alihi wa sallam–hanya mengeluarkan empat orang ke arena mubahalah, ini berarti memberikan penjelasan kepada kita bahwa Fathimah Al-Zahra`–‘alayha l`salam–perempuan pilihan yang harus diteladani umat manusia; Imam Hasan dan Imam Husayn as adalah anak-anak umat yang wajib kita taati sedangkan Imam Ali as adalah dianggap diri Nabi sendiri.
Ahlulbait dalam Sunnah Nabi saw
Orang yang membaca sunnah-sunnah Nabi saw, perjalanan hidupnya dan memperhatikan hubungannya dengan Ahlulbaitnya yang telah ditegaskan di dalam Al-Quran yakni Ali, Fathimah adan kedua putranya, pasti dia mengetahui bahwa Ahlulbait Nabi mempunyai tanggung jawab risalah dengan umat ini. Rasulullah saw telah menggariskannya untuk umat agar mereka menerimanya sebagai perinyah dari Allah ‘azza wa jalla.
Langkah pertama yang ditempuh Nabi saw ialah melaksanakan perintah Allah, yaitu menikahkan Fathimah kepada Ali bin Abi Thalib. Beliau menanam pohon yang diberkati agar cabang-cabangnya menjangkau segala ufuk umat ini di sepanjang sejaarahnya.
Tentang pernikahan itu Nabi bersabda kepada Imam Ali—salam atasnya : “Sesungguhnya Allah telah memerintahkanku agar aku menikahkanmu kepada Fathimah dengan mahar empat mitsqal perak jika engkau rela dengan yang demikian.” Dia berkata: “Aku rela dengan yang demikian.”
Dari pernikahan yang diberkati itu lahir Imam Hasan dan Imam Husayn. Dan dari sulbi Imam Husayn lahir sembilan Ahlulbait Nabi yang suci. Dzurriyyah (keturunan) Nabi melalui sulbi Imam Ali as sebagaimana yang beliau katakan : “Sesungguhnya Allah telah menjadikan keturunan setiap nabi dari sulbinya, tetapi dzurriyyahku dari sulbi orang ini yakni Ali.”
Cerita Ahlulbait Rasulullah SAWW dalam sunnahnya lebih banyak lagi, baik tentang Fathimah sebagai sayyidatu nisa l alamin, pengangkatan Ali sebagai khalifah yang pertama, Ahllulbait sebagai padanan Al-Quran, kedudukan mereka, dua belas imam maupun yang lainnya. Di sini kita ceritakan dua hal saja, yaitu yang paling mengikat: Ahlulbait sebagai bahtera keselamatan dan Ahlulbait
pandangan Al-Quran.
Bahtera Keselamatan
Abu Nuaym telah meriwayatkan hadits yang sanadnya dari Sa’id bin Jubayr dari Ibnu Abbas dia berkata bahwa Rasulullah saw telah mengatakan : “Perumpamaan Ahlulbaitku pada kamu adalah semisal bahtera Nuh as barangsiapa yang mengikutinya pasti selamat dan yang berpaling darinya pasti dia tenggelam.” Hadits Nabi ini diriwayatkan Al-Hakim dalam Al-Mustadrak ala l Shahihayn 2/343. Dia berkata : Hadits ini sah berdasarkan persyaratan Muslim. Pesan dari sunnah Nabi ini ialah bahwa kita hanya akan selamat jika mengikuti Ahlulbait Nabi yang disucikan.
Ahlulbait telah dijamin kesuciannya, mereka yang menjaga tafsir Al-Quran dan sunnah-sunnah Rasulullah SAWW, mereka yang menjaga kesucian ajaran Islam dari penambahan dan pengurangan, dari bid’ah, khurafat dan takhayyul.
Supaya umat tidak tersesat, maka Rasulullah SAWW berpesan kepada manusia agar tida tersesat jalan, sabdanya : “Wahai umat manusia! Sesungguhnya telah kutinggalkan pada kamu yang apabila kamu berpegang dengannya kamu tidak akan tersesat; kitab Allah dan ‘itrahku Ahlulbaitku.” (HSR Al-Turmudzi 2/308).
Ahlulbait Dikenal Umat Terdahulu
Ahlulbait telah dikenal oleh umat-umat terdahulu, antara lain oleh Nabi Adam, Nabi Nuh, Nabi Musa as.
Nabi Adam as telah bermohon kepada Allah dengan hak mereka. Ibn Abbas telah berkata : “Saya telah bertanya kepada Rasulullah SAWW tentang kalimat-kalimat yang telah diterima Adam dari Rabb-nya hingga Dia menerima taubatnya. Nabi saw bersabda : “Dia telah bermohon (kepada Allah) : Dengan hak Muhammad, Ali, Fathimah, Hasan dan Husayn terimalah taubatku, lalu Dia menerima taubatnya”. (Al-Durr al-Mantsur ketika menafsirkan firman Allah ‘azza wa jalla : “fatalaqqa ‘Adamu min Rabbihi kalimat,” (QS. Al-Baqarah 37), baca juga kitab Kanzu l`‘Ummal 1:234.
Sebuah team ahli peneliti Rusia telah menemukan tumpukan kayu bekas kapal Nabi Nuh as. yang di dalamnya terdapat tulisan doa tawassul dengan Nabi Muhammad saw dan Ahlulbaitnya.
Mohammad, Ali, Hassan, Hossain, Fatema
In july 1951 a team of Russian expert search of mines in the vicinity of Mt. Jude on the border of Soviet Union and Tukey came a cross some buried dilapidated wooden planks, etc.,of unusual disposition. Amog the planks was a wooded plate about 14 inches long and ten iches wide. On the plate was engraved some words in old unknown language. In 1953 the Government of Soviet Union appointed an Investigation Commission seven specialits who concluded that these planks were part of the famous Arc of Noah and the wording engraved on the plate belong to a very old language known as Samani. These wordings were transformed into Russian and also translated into English by Professor N.F. Thomas, expert of old language from Manchester, England. There was a small figure of a palm of a hand and five fingers the wording were Mohammed, Alia, Shabber, Shabbir Fatema. “O my God, my helper I keef my hand with mercy with your holy bodies. They are all beggest and honorable. The world was established for them. Help me by their name, you can reform light.”
This plate is savely preserved in the Museum of Archeology and Research, moscow, Soviet Union.
Muhammad, Ali, Hasan, Husayn dan Fathimah
Pada bulan Juli tahun 1951, sebuah team riset Rusia di sekitar gunung Judi di perbatasan Uni Soviet dan Turki secara tidak sengaja, mereka menemukan beberapa kuburan tumpukan kayu-kayu yang telah bobrok yang terssusun secara luar biasa. Di antara tumpukan kayu tersebut ditemukan satu plat kayu yang berukuran sekitar 10 x 14 inci. Pada palat kayu tersebut terukir beberapa kalimat dalam bahasa kuno yang sudah tidak dikenal. Pada tahun 1953 pemerintah Uni Soviet menunjuk sebuah komisi peneliti yang terdiri dari tujuh orang ahli (untuk meneliti penemuan tersebut), mereka menyimpulkan bahwa tumpukan kayu itu adalah bagian bahtera Nabi Nuh as yang terkenal itu. Dan kata-kata yang terukir pada plat kayu adalah kata-kata dari bahasa Samani, yaitu suatu bahasa yang sudah sangat tua. Kata-kata tersebut telah diterjemahkan ke dalam bahasa Rusia dan Inggris oleh Prof. N.F. Thomas, seorang ahli bahasa-bahasa kuno dari Manchester, Inggris.
Pada plat kayu itu terdapat ukiran telapak tangan dengan lima jari. Pada kelima jari tersebut terdapat tulisan masing-masing: Muhammad, Ali, Hasan (syabar), Husayn (Syubayr), dan Fathimah. (Di bawahnya terdapat doa tawassul kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan mereka): “Wahai Tuhanku, wahai penolongku, aku berdoa dengan kemurahan-Mu melalui tubuh-tubuh suci yang Engkau ciptakan, mereka terbesar dan termulia, tolonglah aku melalui nama mereka, engkaulah yang mendatangkan cahaya”.
Plat kayu itu sekarang terpelihara dengan aman pada Museum Arkeologi dan Riset, Moscow, Uni Soviet. (Sumber : The Bulletin of The Islamic Center “UNDER SIEGE” P.O. BOX 32343 Wahington D.C. N.W. 20007 Vol. 7 No. 10 Rabi al-Awwal 6, 1408/Oktober 30,1987)
Pada zaman Nabi Musa as, ketika Bani Isra`il diperintahkan Allah untuk mencari lembu betina dan mereka sangat rewel menerima perintah tersebut hingga akhirnya mereka merasa kesulitan dalam pencariannya sebab sapi betina itu sifat-sifatnya harus kuning langsat yang elok dipandang mata, tidak terlalu muda dan tidak terlalu tua, tidak ada belangnya sedikit pun dan belum pernah digunakan untuk membajak tanah. Kemudian sapi tersebut mereka temukan namun harganya sangat mahal karena memang sapi betina tersebut tidak akan dijual. Akhirnya mereka kumpulkan harta untuk membayarnya. Setelah itu Bani Isra`il jatuh miskin dikarenakan hartanya habis dipakai membayar lembu betina, lantas mereka protes kepada Nabi Musa as. Kemudian Nabi Musa as berkata kepada mereka : “Jahil kamu, alangkah butanya hati-hati kamu tidakkah kamu dengar doa pemuda yang punya lembu betina itu dan kekayaan yang diwarirkan Allah ta’ala kepadanya ? Tidakkah kamu dengar doa orang yang dibunuh yang digergaji yang dikaruniai usia panjang dan kebahagiaan serta kenikmatan dengan inderanya ? Mengapa kamu tidak berdoa semisal doa tawassul mereka agar Dia menutup kemiskinan kamu ?”. Kemudian mereka mengatakan (dalam doanya) : “Ya Allah, kepada-Mu kami berlindung dan kepada karunia-Mu kami bersandar, maka hilangkanlah kemiskinan kami dan tutuplah kebutuhan kami dengan keagungan Muhammad, Ali, Fathimah, Hasan dan Husayn dan orang-orang yang baik dari keluarga mereka.” Kemudian tidak lama setelah mereka berdoa, Allah ta’ala mengembalikan kekayaan mereka. (Qashashu l`Anbiya` Hal 326).
Adapun arti dari doa tawassul tersebut adalah sebagai berikut : “Ya Allah, sesungguhnya kami menghadap kepada-Mu dan berlindung kepada-Mu dari kesulitan dan kemiskinan dengan hak Muhammad, Ali, Fathimah, Hasan dan Husayn”. (Qashashu l`Anbiya`).
Sabda Rasulullah SAWW tentang Mereka
“Fahtimah belahan nyawaku, maka barangsiapa yang membuatnya marah berarti dia telah membuatku marah.” (Shahihu l`Bukhari 2/308).
“Dia (Fathimah) adalah belahan nyawaku, maka barangsiapa yang mencemaskannya berarti dia telah mencemaskan diriku, dan barangsiapa yang manyakitinya berarti dia telah menyakiti diriku”. (Shahihu l`Bukhari 3/265).
“Wahai Ali engkau adalah penghulu di dunia dan penghulu di akhirat. Yang mencintaimu berarti mencintaiku, dan yang mencintaiku berarti mencintai Allah. Musuhmu berarti musuhku, dan musuhku adalah musuh Allah. Dan celakalah orang yang membencimu setelahku”. (Al-Mustadrak ‘ala l`Shahihayn 3/127).
“Barangsiapa mencintai Hasan dan Husayn berarti dia telah mencintaiku, dan barangsiapa yang membenci mereka maka sesungguhnya dia telah membenciku”. (HR. Ibnu Majah, Musnad Al-Imam Ahmad Ibn Hanbal 2/288).
Penutup
Ahlulbait dalam surah Al-Ahzab 33 tidak berkenaan dengan istri-istri Rasulullah saw baik dilihat dari segi bahasa, asbabu l`nuzul, bayan dari Rasulullah SAWW, riwayat dari sebagian istri Nabi maupun secara faktual, karena disucikan sesuci-sucinya itu berarti tidak melakukan dosa-dosa dan kesalahan, sedangkan sebagian dari istri Nabi keadaannya tidaklah demikian.
Ahlulbait dalam Al-Ahzab 33 adalah Ali, Fathimah, Hasan, dan Husayn. Pada waktu ayat tersebut turun, mereka itulah Ahlulbait Rasulullah SAWW yang dihilangkan keraguannya dan disucikan (muthahharun). Ahlulbait Rasulullah yang disucikan masih ada sembilan orang lagi dari keturunan Imam Husayn as, mereka itu adalah : Ali Zaynu Abidin, Muhammad Al-Baqir. Ja’far Al-Shadiq, Musa Al-Kadzim, Ali Al-Ridha, Muhammad Al-Jawad, Ali Al-Hadi, Hasan Al-Askari dan Muhammad Al-Mahdi (Imam Mahdi yang ditunggu-tunggu kehadirannya) –salam atas mereka semuanya. Salman Al-Farisi—semoga Allah merahmatinya—telah mengatakan : “Saya datang kepada Rasulullah dan Husayn sedang berada pada pangkuan beliau, beliau mencium kedua matanya dan mengecup lidahnya seraya beliau mengatakan : Engkau sayyid putra sayyid, engkau imam putra imam ayah para imam, engkau hujjah putra hujjah ayah para hujjah, sembilan orang lagi dari shulbimu dan yang kesembilannya adalah penegaknya (qa`imnya)’”.
Jadi Ahlulbaitnnya Rasulullah SAWW itu tiga belas (13) orang (Fathimah Al-Zahra` dan para khalifah Rasulullah yang dua belas (12). Umat Islam tidak boleh membenci mereka, sebab membenci mereka berarti membenci Rasulullah sedangkan membenci Rasulullah berarti membenci Allah ‘Azza Wa Jalla, dan akhirnya ibadah kita kepada-Nya menjadi sia-sia.
Semoga Allah ta’ala memberi hidayah dan taufiq kepada kita dan kaum muslim yang lain hingga kita dapat menerima apa yang telah dipesankan Rasulullah SAWW : “Wahai manusia telah kutinggalkan padamu yang jika kamu berpegang dengannya niscaya kamu tidak akan tersesat; kitab Allah dan ‘itrahku Ahlulbaitku”.
Nilai- nilai Penting dalam Kehidupan Imam Ali bin Abi Tholib
W. Ana Yuniar S. SSiT
Pertama : Pada saat peristiwa badan syura yang beranggotakan enam orang dan
dibentuk atas perintah Umar bin Khattab dengan tujuan untuk memilih khalifah
setelah dia meninggal dunia, Abdurrahman bin ‘Auf, salah satu kandidat tidak
bersedia untuk dipilih dan pada akhirnya dia mengundurkan diri dari
keanggotaan. Setelah itu, dia berpendapat agar kandidat khalifah hanya terdiri
dari dua orang, yaitu Imam Ali dan Utsman bin Affan. Dia berkeinginan membai’at
Imam Ali dengan syarat harus menjalankan pemerintahan atas dasar kitab Allah,
sunnah Rasul-Nya, dan tradisi atau metode Abu Bakar dan Umar bin Khattab. Imam
Ali menjawab: “Aku akan berusaha menjalankan pemerintahan atas dasar kitab
Allah, sunnah Rasul-Nya dan metodeku sendiri (tidak menggunakan metode 2
khalifah sebelumnya)”.Ketika Utsman bin affan mendapat tawaran di atas, dia langsung menerima dan dengan mudahnya menjadi khalifah.
Kedua : Setelah Utsman bin Affan terbunuh, Imam Ali, berdasarkan desakan mayoritas masyarakat pada kala itu, dengan berat hati menerima menjadi sebagai khakifah. Situasi politik dalam negara pada saat itu sangat tidak memihak kepadanya. Sangat banyak problematika yang muncul di mana-mana . Akan tetapi, dengan segala problematika yang ada, Imam Ali berhasil merombak secara besar-besaran dalam bidang hak-hak asasi, perekonomian dan birokrasi. Dalam bidang hak-hak asasi, Imam Ali telah menghapus sistem perbedaan dalam memberikan santunan kepada anggota masyarakat dan menyamaratakan mereka dalam hal itu. Imam Ali berkata: “Seorang yang hina adalah mulia dalam pandanganku jika aku harus menegakkan haknya dan orang yang kuat adalah lemah dalam pandanganku jika aku harus mengambil hak orang lain darinya”.
Di dalam bidang ekonomi, Imam Ali telah merampas semua tanah dan harta yang telah diberikan oleh Utsman kepada golongan jet-set dan dibagikan secara merata kepada seluruh masyarakat. Imam Ali berkata: “Wahai manusia, aku adalah dari kalian. Jika aku memiliki suatu harta, kalian juga memiliki harta yang sama, jika kalian memiliki suatu tugas, maka aku juga memiliki tugas yang sama. Aku akan membawa kalian menempuh jalan yang telah ditempuh oleh Rasulullah dan setiap yang diperintahkannya, akan kutanamkan di dalam lubuk hati kalian. Setiap tanah dan harta yang telah diberikan oleh Utsman kepada orang lain (dengan tidak benar) harus dikembalikan ke baitul mal. Sesungguhnya tidak ada sesuatu pun yang dapat membasmi kebenaran. Jika kutemukan harta yang telah dijadikan mahar perkawinan, budak dibeli dengannya atau harta yang (tidak diketahui asal-usulnya karena) telah tersebar di berbagai kota, akan kukembalikan ke tempat asalnya. Dalam keadilan tersembunyi sebuah ketenteraman, dan jika seseorang merasa terikat oleh kebenaran, maka kelaliman akan lebih mencekiknya”.
Di dalam bidang birokrasi, Imam Ali telah melakukan dua hal yang sangat penting: pertama, memberhentikan para wali kota yang telah diangkat oleh Utsman, dan kedua, menyerahkan tampuk wali kota kepada orang-orang yang bersih dan bertakwa. Imam Ali menunjuk Utsman bin Hanif sebagai wali kota Bashrah, Sahl bin Hanif sebagai wali kota Syam, Qais bin Ubadah sebagai wali kota Mesir, dan Abu Musa Al-Asy’ari sebagai wali kota Kufah. Berkenaan dengan Zubair dan Thalhah yang pernah menjabat sebagai wali kota Bashrah dan Kufah, beliau menyingkirkan mereka dengan lemah-lembut. Imam Ali juga mencopot Mu’awiyah dari kursi jabatan sebagai seorang wali kota Syam, karena beliau tidak ingin ada seorang yang kotor berkuasa atas masyarakat Syam. Selain itu juga tugas Imam Ali adalah harus membersihkan semua unsur penentang, sehingga masyarakat Islam bersih dari segala tindak dan bentuk penyelewengan. Faktor utama penyebab mengapa Imam Ali harus menyingkirkan Mu’awiyah dan berperang melawannya? dikarenakan aliran pemikiran yang dianut Mu’awiyah (perilaku buruk yang dipoles dengan agama).
Dengan demikian, Imam Ali harus menghadapi dua realita pahit: pertama, Imam Ali harus menangani disintegrasi bangsa dan kedua, Imam Ali harus membasmi setiap penyelewengan dari dalam negara sebagai warisan yang telah ditinggalkan oleh pemerintahan masa lalu.
Dalam hal ini, untuk dapat meluruskan kembali situasi negara yang sudah terlanjur krisis, Imam Ali merampas kembali harta-harta yang berada di tangan para pengkhianat bangsa dan lakukan tanpa mengenal toleransi sedikit pun.
Imam Ali berkata: “Mu’awiyah tidak pernah menjalankan Islam sepenuhnya, bahkan ia ingin melestarikan tradisi jahiliah ayahnya, Abu Sufyan. Dia ingin merubah eksistensi Islam dengan sebuah eksistensi yang lain dan masyarakat Islam dengan masyarakat yang lain. Dia ingin membentuk sebuah masyarakat yang tidak meyakini Islam dan Al Quran. Dia menginginkan khilafah diganti dengan sistem pemerintahan kaisar”.
Dengan berbagai macam kendala yang merintangi, Imam Ali pantang menyerah. Imam Ali tetap tegar dalam memegang prinsip untuk membasmi para pemberontak yang menginginkan disintegrasi bangsa. Walaupun pedang telah melukai kepalanya, Imam Ali tetap menyiapkan pasukan yang siap bertempur menuju Syam untuk membasmi golongan pemberontak tersebut.
Imam Ali, – dalam pandangan muslimin yang sadar- adalah satu-satunya orang yang mampu memerangi segala penyelewengan dan kezaliman yang telah mengakar di tubuh dunia Islam.
Di bawah ini saya nukilkan beberapa khotbah yang pernah diucapkan oleh Imam Ali semasa hidupnya dengan harapan semoga dapat menjadi penerang hati demi menuju kesempurnaan insani.
1. Menyembunyikan amal baik dan musibah
“Termasuk harta simpanan di surga, berbuat kebajikan, menyembunyikan amal baik, sabar atas segala musibah dan menyembunyikan musibah”.
2. Tanda-tanda orang zahid
“Orang yang zahid adalah yang ketabahannya tidak dikalahkan oleh hal-hal yang haram dan hal-hal yang halal tidak melupakannya untuk bersyukur”.
3. Tidak berlebihan dalam mencintai dan membenci
“Cintailah sahabatmu biasa saja, karena mungkin ia akan menjadi penentangmu pada suatu hari, dan bencilah musuhmu biasa saja, karena mungkin ia akan menjadi sahabatmu pada suatu hari”.
4. Harga setiap insan
“Harga setiap orang bergantung kepada amalan baiknya”.
5. Faqih yang sempurna
“Maukah kuberitahukan kepada kalian seorang faqih yang sesungguhnya? Ia adalah orang yang tidak mengizinkan orang lain bermaksiat kepada Allah, tidak memutusasakannya dari rahmat-Nya, tidak menjadikannya merasa aman dari makar-Nya, dan tidak meninggalkan Al Quran dan memilih yang lainnya karena benci terhadapnya. Tiada kebaikan bagi sebuah ibadah yang tidak disertai oleh pemahaman, tiada kebaikan bagi sebuah ilmu yang tidak disertai oleh tafakur, dan tiada kebaikan bagi pembacaan Al Quran yang tidak disertai oleh tadabur”.
6. Bahaya terlalu berharap dan mengikuti hawa nafsu
“Aku sangat mengkhawatirkan dua hal terhadap kalian: pengharapan yang terlalu panjang dan mengikuti hawa nafsu. Karena pengharapan yang terlalu panjang akan menjadikan orang lupa akhirat dan mengikuti hawa nafsu akan mencegahnya dari kebenaran”.
7. Batasan persahabatan
“Janganlah kau jadikan musuh sahabatmu sebagai sahabatmu, karena dengan itu engkau telah memusuhi sahabatmu sendiri”.
8. Macam-macam kesabaran
“Kesabaran itu ada tiga macam: sabar atas musibah, sabar atas ketaatan (kepada Allah) dan sabar atas maksiat”.
9. Kemiskinan yang telah ditakdirkan
“Barang siapa yang jatuh miskin dan ia tidak menganggap bahwa hal itu adalah suatu anugerah dari Allah, maka ia telah melenyapkan sebuah harapan, dan barang siapa menjadi kaya-raya dan ia tidak memikirkan bahwa hal itu adalah sebuah ujian dari-Nya, maka ia telah terjerumus ke dalam sebuah jurang yang menakutkan”.
10. Kemuliaan, bukan kehinaan
“Kematian ya, kehinaan tidak! Keteguhan pendirian ya, ketololan tidak! Masa adalah dua hari: pada satu hari ia akan memihak kepadamu dan pada hari yang lain ia akan membawa bencana bagimu. Jika ia sedang memihak kepadamu, maka jangan terlalu berbahagia, dan jika ia membawa bencana bagimu, maka janganlah susah. Engkau akan diuji dengan keduanya”.
11. Memohon kebaikan
“Tidak akan bingung orang yang beristikharah, dan tidak akan menyesal orang yang bermusyawarah”.
12. Mencintai negara
“Sebuah negeri akan makmur jika (penduduknya) mencintainya”.
13. Tiga macam ilmu
“Ilmu itu ada tiga: fiqih untuk memahami agama, kenujuman untuk menjaga kesehatan badan dan Nahwu untuk menjaga mulut salah ucap”.
14. Nilai seseorang
“Berbicaralah tentang ilmu niscaya harga dirimu akan tampak”.
15. Jangan yakini!
“Jangankan meyakinkan kepada dirimu bahwa engkau miskin dan panjang umur”.
16. Menghormati seorang mukmin
“Mencela seorang mukmin adalah sebuah kefasikan, memeranginya adalah sebuah kekufuran dan kehormatan hartanya seperti kehormatan darahnya”.
17. Kefakiran
“Kefakiran adalah kematian yang paling besar, dan sedikitnya keluarga salah satu dari dua kemudahan. Ini adalah separuh kebahagiaan”.
18. Dua hal yang membahayakan
“Dua hal yang dapat menghancurkan manusia: takut miskin dan berbangga diri”.
19. Tiga orang dianggap zalim
“Pelaku kezaliman, orang yang membantunya dan orang yang diam dengan kezaliman tersebut adalah orang-orang zalim”.
20. Sabar terbaik
“Kesabaran itu ada dua macam: sabar ketika ditimpa musibah. Ini adalah hal yang baik. Dan lebih baik dari itu adalah sabar menahan diri untuk tidak melanggar hal-hal yang telah diharamkan oleh Allah atas dirimu”.
21. Melaksanakan amanat
“Sampaikanlah amanat walaupun kepada pembunuh putra nabi”.
22. Enggan tenar
Imam Ali a.s. berpesan kepada Kumail bin Ziyad: “Tenanglah, jangan berambisi untuk ingin dikenal, sembunyikanlah kepribadianmu jangan sampai disebut-sebut di depan orang lain. Belajarlah niscaya engkau akan mengetahui dan diamlah niscaya engkau akan selamat. Tidak buruk bagimu jika Allah telah memahamkan agama-Nya kepadamu meskipun engkau tidak mengenal orang lain dan ia juga tidak mengenalmu”.
23. Siksa enam golongan
“Allah akan menguji enam golongan dengan enam jenis ujian: menguji bangsa Arab dengan fanatisme, menguji para pembesar desa dengan kesombongan, menguji para pemimpin dengan kelaliman, menguji fuqaha` dengan kedengkian, menguji para pedagang dengan khianat dan menguji para penduduk desa dengan kebodohan”.
24. Rukun-rukun iman
“Iman memiliki empat rukun: tawakal kepada Allah, menyerahkan segala urusan kepada-Nya, menerima segala perintah-Nya, dan rela terhadap semua ketentuan-Nya”.
25. Pendidikan akhlak
“Hiasilah akhlak kalian dengan segala kebajikan, kemudikan ia menuju keagungan (akhlak) dan biasakanlah diri kalian untuk bersabar”.
26. Mempermudah urusan masyarakat dan menjauhi perbuatan hina
“Jangan terlalu mempersulit urusan orang lain dan junjunglah harga diri kalian dengan melupakan perbuatan hina”.
27. Penjaga manusia
“Cukuplah bagi setiap orang sebagai benteng bahwa tidak ada seorang pun (di dunia ini) kecuali ia memiliki para penjaga yang telah diutus oleh Allah untuk menjaganya supaya ia tidak jatuh ke dalam sumur (baca : jurang), supaya tembok tidak jatuh di atas kepalanya dan ia tidak diserang oleh binatang buas. Dan jika ajalnya telah tiba, maka mereka akan meninggalkannya berdua dengan ajalnya itu”.
28. Masa kelaliman
“Akan datang menimpa manusia suatu masa, orang-orang yang tidak memiliki keahlian akan dihormati, tidak ditemukan di dalamnya orang yang cerdas dan cerdik kecuali ia lalim, tidak dipercaya kecuali pengkhianat dan tidak dituduh berkhianat kecuali orang yang terpercaya. Mereka akan menggunakan harta negara untuk kepentingan pribadi mereka, zakat sebagai sumber penghasilan, silaturahmi sebagai sarana untuk mengungkit-ungkit kebajikan dan ibadah sebagai kebanggaan dan menzalimi orang lain. Dan hal ini terjadi ketika wanita menjadi penguasa, budak-budak wanita menjadi tempat rujukan dan musyawarah dan anak-anak kecil menjadi pemimpin”.
29. Cerdik menghadapi fitnah
“Ketika fitnah berkecamuk, jadikanlah dirimu seperti ibnu labun (anak unta yang belum berumur dua tahun), karena ia masih belum memiliki punggung yang kuat untuk dapat ditunggangi dan tidak memiliki air susu untuk dapat diperah”.
30. Manusia yang paling lemah
“Orang yang paling lemah adalah orang yang tidak dapat menjalin tali persahabatan dengan orang lain, dan lebih lemah darinya adalah orang yang mudah melepaskan persaudaraan dengan sahabatnya”.
31. Kaffarah dosa-dosa besar
“Di antara kaffarah dosa-dosa besar adalah menolong orang yang meminta pertolongan dan membahagiakan orang yang sedang ditimpa kesusahan”.
32. Tanda kesempurnaan akal
“Jika akal (seseorang) telah sempurna, maka ia akan sedikit berbicara”.
33. Berhubungan dengan Allah
“Barang siapa telah memperbaiki hubungannya dengan Allah, maka Ia akan memperbaiki hubungannya dengan orang lain, dan barang siapa telah memperbaiki urusan akhiratnya, maka Ia akan memperbaiki urusan dunianya”.
34. Merenungkan
“Renungkanlah berita yang kau dengar secara baik-baik (dan jangan hanya menjadi penukil berita), penukil ilmu sangatlah banyak dan perenungnya sangat sedikit”.
35. Pahala orang yang meninggalkan dosa
“Pahala pejuang yang syahid di jalan Allah tidak lebih besar dari pahala orang yang mampu untuk berbuat maksiat lalu ia meninggalkannya. Tidak mustahil para peninggal dosa akan menjadi malaikat”.
36. Akibat perbuatan dosa
“Ingatlah bahwa segala kenikmatan (dosa) akan sirna dan akibatnya akan kekal abadi”.
37. Kriteria dunia
“(Dunia itu) adalah menipu, membahayakan dan sepintas”.
38. Para pemegang agama di akhir zaman
“Akan datang kepada manusia suatu masa yang tidak tertinggal dari Al Quran kecuali tulisannya dan dari Islam kecuali namanya, pada masa itu masjid-masjid dimakmurkan bangunannya sedangkan ia sendiri kosong dari hidayah, orang-orang yang menghuni dan memakmurkannya adalah orang yang paling jahat di muka bumi. Fitnah bersumber dari mereka dan segala kesalahan kembali kepada mereka. Orang-orang yang tertinggal dari kafilah fitnah tersebut (taubat–pen) akan dipaksa untuk kembali dan orang-orang yang tertinggal di belakang (baca : tidak ikut serta dalam kafilah itu) akan didorong maju ke depan (supaya bergabung dengannya). Allah berfirman: “Demi Dzat-Ku, akan Kukirim untuk mereka sebuah fitnah (besar) yang akan menjadikan orang-orang sabar bingung (menentukan sikap)”. Dan Ia telah melakukan hal itu. Kita memohon kepada-Nya untuk mengampuni kelupaan yang membuat kita tergelincir”.
Oleh: Muchtar Luthfi
Tetapi anehnya, para pengikut Ibnu
Taimiyah yang juga ikut-ikutan mengatasnamakan dirinya “penghidup ajaran Salaf”
(Salafy/Wahaby), masih terus bersikeras untuk diakui sebagai pengikut
Ahlussunah, padahal di sisi lain, mereka masih terus menjunjung tinggi ajaran
dan doktrin Ibnu Taimiyah yang jelas-jelas telah keluar dari kesepakatan
(konsensus) ulama Ahlussunah beserta “ajaran resmi” Ahlussunah wal Jamaah.
Mereka berpikir, jalan pintas yang paling aman dan mudah untuk mendapat
pengakuan itu adalah dengan memusuhi Syiah. Mengangkat isu-isu ikhtilaf
Sunnah-Syiah adalah sarana paling efektif untuk menempatkan kaum Salafy supaya
diterima dalam lingkaran Ahlussunnah.
————————————————————–
ALI BIN ABI THALIB adalah satu sosok sahabat terkemuka Rasulullah saw. Terlampau banyak keutamaan yang disematkan pada diri Ali, baik melalui wahyu yang diturunkan kepada Rasulullah, maupun melalui hadis yang secara langsung disampaikan oleh Rasul. Keutamaan Ali dapat dilihat dari banyak sudut pandang. Dilihat dari proses kelahiran[2] hingga kesyahidannya.[3] Dari kedekatannya dengan Rasulullah, hingga kecerdasannya dalam menyerap semua ilmu yang diajarkan oleh Rasul kepadanya. Dari situlah akhirnya ia mendapat banyak kepercayaan dari Rasul dalam melaksanakan tugas-tugas ritual maupun sosial keagamaan.
ALI BIN ABI THALIB adalah satu sosok sahabat terkemuka Rasulullah saw. Terlampau banyak keutamaan yang disematkan pada diri Ali, baik melalui wahyu yang diturunkan kepada Rasulullah, maupun melalui hadis yang secara langsung disampaikan oleh Rasul. Keutamaan Ali dapat dilihat dari banyak sudut pandang. Dilihat dari proses kelahiran[2] hingga kesyahidannya.[3] Dari kedekatannya dengan Rasulullah, hingga kecerdasannya dalam menyerap semua ilmu yang diajarkan oleh Rasul kepadanya. Dari situlah akhirnya ia mendapat banyak kepercayaan dari Rasul dalam melaksanakan tugas-tugas ritual maupun sosial keagamaan.
Dengan menilik berbagai keutamaan
Ali[4], maka sudah menjadi kesepakatan kaum muslimin –baik Ahlussunnah, maupun
Syiah- bahwa Ali bin Abi Thalib adalah salah satu khalifah pasca Rasulullah.[5]
Walaupun terdapat perbedaan pendapat antara Ahlussunah dan Syiah tentang urutan
kekhilafahan pasca Rasul, tetapi yang jelas mereka sepakat bahwa Ali termasuk
salah satu jajaran khalifah Rasul.
Pada tulisan ringkas ini akan
dibahas perihal pendapat Ibnu Taimiyah tentang keutamaan Ali, yang berlanjut
pada pendapatnya tentang kekhalifahan beliau.
Kelemahan Ali di Mata Ibnu Timiyah:
Di sini akan disebutkan beberapa
pendapat Ibnu Taimiyah dalam melihat kekurangan pada pribadi Ali:
Disebutkan dalam kitab Minhaj
as-Sunnah karya Ibnu Taimiyah, bahwa Ibnu Taimiyah meremehkan kemampuan Ali bin
Abi Thalib dalam permasalahan fikih (hukum agama). Ia mengatakan: “Ali memiliki
banyak fatwa yang bertentangan dengan teks-teks agama (nash)”. Bahkan Ibnu
Taimiyah dalam rangka menguatkan pendapatnya tersebut, ia tidak segan-segan
untuk mengatasnamakan beberapa ulama Ahlusunnah yang disangkanya dapat sesuai
dengan pernyataannya itu. Lantas dia mengatakan: “As-Syafi’i dan Muhammad bin
Nasr al-Maruzi telah mengumpulkan dalam satu kitab besar berkaitan dengan hukum
yang dipegang oleh kaum muslimin yang tidak diambil dari ungkapan Ali. Hal itu
dikarenakan ungkapan sahabat-sahabat selainnya (Ali), lebih sesuai dengan al-Kitab
(al-Quran) dan as-Sunnah”[6].
Berkenaan dengan ungkapan Ibnu
Taimiyah yang menyatakan bahwa banyak ungkapan Ali yang bertentangan dengan
nash (teks agama), hal itu sangatlah mengherankan, betapa tidak? Apakah mungkin
orang yang disebut-sebut sebagai ‘syeikh Islam’ seperti Ibnu Taimiyah tidak
mengetahui banyaknya hadis dan ungkapan para salaf saleh yang disebutkan dalam
kitab-kitab standar Ahlusunnah sendiri perihal keutamaan Ali dari berbagai
sisinya, termasuk sisi keilmuannya. Jika benar bahwa ia tidak tahu, maka
layakkah gelar syeikh Islam tadi baginya? Padahal hadis-hadis tentang keutamaan
Ali sebegitu banyak jumlahnya. Jika ia tahu, tetapi tetap bersikeras untuk
menentangnya-padahal keutamaan Ali banyak tercantum dalam kitab-kitab standar
Ahlusunnah yang memiliki sanad hadis yang begitu kuat sehingga tidak lagi dapat
diingkarinya- maka terserah Anda untuk menyikapinya! Lantas, apa kira-kira
maksud dibalik pengingkaran tersebut? Karena kebodohan Ibnu Taimiyah? Ataukah
karena kebencian Ibnu Taimiyah atas Ali? Ataukah karena kedua-duanya? Bukankah
Ali termasuk salah satu Ahlul Bait Nabi,[7] dimana sudah menjadi kesepakatan
antara Sunnah-Syiah bahwa pembenci Ahlul-Bait Nabi dapat dikategorikan Nashibi
atau Nawashib? Lantas manakah bukti bahwa Ibnu Taimiyah adalah pribadi yang
getol menghidupkan kembali ajaran salaf saleh, sedang ungkapannya banyak
bertentangan dengan ungkapan salaf saleh?
Sebagai contoh dapat disebutkan
beberapa hadis yang membahas tentang keilmuan Ali sesuai dengan pengakuan para
salaf saleh yang diakui sebagai panutan oleh Ibnu Taimiyah:
Sabda Rasulullah saw: “Telah
kunikahkan engkau –wahai Fathimah- dengan sebaik-baik umatku yang paling tinggi
dari sisi keilmuan dan paling utama dari sisi kebijakan…”.[8]
1. Sabda Rasulullah saw: “Ali adalah
gerbang ilmuku dan penjelas bagi umatku atas segala hal yang karenanya aku
diutus setelahku”.[9]
2. Sabda Rasulullah saw: “Hikmah
(pengetahuan) terbagi menjadi sepuluh bagian, maka dianugerahkan kepada Ali
sembilan bagian, sedang segenap manusia satu bagian (saja)”.[10]
3. Berkata ummulmukminin Aisyah:
“Ali adalah pribadi yang paling mengetahui dari semua orang tentang
as-Sunnah”.[11]
4. Berkata Umar bin Khattab: “Ya
Allah, jangan Engkau biarkan aku dalam kesulitan tanpa putera Abi Thalib (di
sisiku)”.[12]
5. Berkata Ibnu Abbas: “Demi Allah,
telah dianugerahkan kepada Ali sembilan dari sepuluh bagian ilmu. Dan demi
Allah, ia (Ali) telah ikut andil dari satu bagian yang kalian miliki”.[13]
Dalam nukilan kitab lain ia berkata: “Tidaklah ilmuku dan ilmu para sahabat
Muhammad saw sebanding dengan ilmu Ali, sebagaimana setetes air dibanding tujuh
samudera”.[14]
6. Berkata Ibnu Mas’ud:
“Sesungguhnya al-Quran turun dalam tujuh huruf. Tiada satupun dari huruf-huruf
tadi kecuali didalamnya terdapat zahir dan batin. Dan sesungguhnya Ali bin Abi
Thalib memiliki ilmu tentang zahir dan batin tersebut”.[15]
7. Berkata ‘Adi bin Hatim: “Demi
Allah, jika dilihat dari sisi pengetahuan terhadap al-Quran dan as-Sunnah, maka
dia –yaitu Ali- adalah pribadi yang paling mengetahui tentang dua hal tadi.
Jika dari sisi keislamannya, maka ia adalah saudara Rasul dan memiliki
senioritas dalam keislaman. Jika dari sisi kezuhudan dan ibadah, maka ia adalah
pribadi yang paling nampak zuhud dan paling baik ibadahnya”.[16]
8. Berkata al-Hasan: “Telah
meninggalkan kalian, pribadi yang kemarin tiada satupun dari pribadi terdahulu
dan akan datang yang bisa mengalahi keilmuannya”.[17]
Dan masih banyak lagi hadis-hadis pengakuan Nabi beserta para sahabatnya yang menyatakan akan keluasan ilmu Ali dalam kitab-kitab standar Ahlusunnah.
Dan masih banyak lagi hadis-hadis pengakuan Nabi beserta para sahabatnya yang menyatakan akan keluasan ilmu Ali dalam kitab-kitab standar Ahlusunnah.
Adapun tentang ungkapan Ibnu
Taimiyah yang menukil pendapat orang lain perihal Ali tersebut merupakan
kebohongan atas pribadi yang dinukil tadi. Karena maksud al-Maruzi yang menulis
karya besar tadi, ialah dalam rangka mengumpulkan fatwa-fatwa Abu Hanifah
–pendiri mazhab Hanafi- yang bertentangan dengan pendapat sahabat Ali dan Ibnu
Mas’ud. Jadi topik utama pembahasan kitab tersebut adalah fatwa Abu Hanifah dan
ungkapan sahabat, yang dalam hal ini berkaitan dengan Ali dan Ibnu Mas’ud.
Tampak, betapa terburu-burunya Ibnu Taimiyah dalam membidik Ali dengan menukil
pendapat orang lain, tanpa membaca lebih lanjut dan teliti tujuan penulisan
buku tersebut. Ini merupakan salah satu contoh pengkhianatan Ibnu Taimiyah atas
beberapa pemuka Ahlussunah.
Dalam kitab yang sama, Ibnu Taimiyah
ternyata bukan hanya meragukan akan kemampuan Ali dari sisi keilmuan, bahkan ia
juga mengingkari banyak hal yang berkaitan dengan keutamaan Ali.[18] Di sini
akan disebutkan beberapa contoh ungkapan Ibnu Taimiyah perihal masalah
tersebut:
1. Kebencian terhadap Ali: “Ungkapan
yang menyatakan bahwa membenci Ali merupakan kekufuran, adalah sesuatu yang
tidak diketahui (asalnya)”.[19]
2. Pengingkaran hadis Rasul: “Hadis
ana madinatul ilmi (Aku adalah kota ilmu…) adalah tergolong hadis yang dibikin
(maudhu’)”.[20]
3. Kemampuan Ali dalam memutuskan
hukum: “Hadis “aqdhakum Ali” (paling baik dalam pemberian hukum diantara kalian
adalah Ali) belum dapat ditetapkan (kebenarannya)”.[21]
4. Keilmuan Ali: “Pernyataan bahwa
Ibnu Abbas adalah murid Ali, merupakan ungkapan batil”.[22] Sehingga dari
pengingkaran itu ia kembali mengatakan: “Yang lebih terkenal adalah bahwa Ali
telah belajar dari Abu Bakar”.[23]
5. Keadilan Ali: “Sebagian umatnya
mengingkari keadilannya. Para kelompok Khawarij pun akhirnya mengkafirkannya.
Sedang selain Khawarij, baik dari keluarganya maupun selain keluarganya
mengatakan: ia tidak melakukan keadilan. Para pengikut Usman mengatakan: ia
tergolong orang yang menzalimi Usman…secara global, tidak tampak keadilan pada
diri Ali, padahal ia memiliki banyak tanggungjawab dalam penyebarannya,
sebagaimana yang pernah terlihat pada (masa) Umar, dan tidak sedikitpun
mendekati (apa yang telah dicapai oleh Umar)”.[24]
Dari pengingkaran-pengingkaran
tersebut akhirnya Ibnu Taimiyah menyatakan: “Adapun Ali, banyak pihak dari
pendahulu tidak mengikuti dan membaiatnya. Dan banyak dari sahabat dan tabi’in
yang memeranginya”.[25]
Bisa dilihat, betapa Ibnu Taimiyah
telah memiliki kesinisan tersendiri atas pribadi Ali sehingga membuat mata
hatinya buta dan tidak lagi melihat hakikat kebenaran, walaupun hal itu
bersumber dari syeikh yang menjadi panutannya, Ahmad bin Hambal. Padahal, imam
Ahmad bin Hambal -sebagai pendiri mazhab Ahlul-Hadis yang diakui sebagai
panutan Ibnu Taimiyah dari berbagai ajaran dan metode mazhabnya- juga beberapa
imam ahli hadis lain –seperti Ismail al-Qodhi, an-Nasa’i, Abu Ali an-Naisaburi-
telah mengatakan: “Tiada datang dengan menggunakan sanad yang terbaik berkaitan
dengan pribadi satu sahabat pun, kecuali yang terbanyak berkaitan dengan
pribadi Ali. Ali tetap bersama kebenaran, dan kebenaran bersamanya sebagaimana
ia berada”.[26]
Dalam masalah kekhilafahan Ali, Ibnu
Taimiyah pun dalam beberapa hal meragukan, dan bahkan melecehkannya. Di sini
dapat disebutkan contoh dari ungkapan Ibnu Taimiyah tentang kekhalifahan Ali:
1. “Kekhilafahan Ali tidak menjadi
rahmat bagi segenap kaum mukmin, tidak seperti (yang terjadi pada) kekhilafahan
Abu Bakar dan Umar”.[27]
2. “Ali berperang (bertujuan) untuk
ditaati dan untuk menguasai atas umat, juga (karena) harta. Lantas, bagaimana
mungkin ia (Ali) menjadikan dasar peperangan tersebut untuk agama? Sedangkan
jika ia menghendaki kemuliaan di dunia dan kerusakan (fasad), niscaya tiada
akan menjadi pribadi yang mendapat kemuliaan di akherat”.[28]
3. “Adapun peperangan Jamal dan
Shiffin telah dinyatakan bahwa, tiada nash dari Rasul.[29] Semua itu hanya
didasari oleh pendapat pribadi. Sedangkan mayoritas sahabat tidak menyepakati
peperangan itu. Peperangan itu, tidak lebih merupakan peperangan fitnah atas
takwil. Peperangan itu tidak masuk kategori jihad yang diwajibkan, ataupun yang
disunahkah. Peperangan yang menyebabkan terbunuhnya banyak pribadi muslim, para
penegak shalat, pembayar zakar dan pelaksana puasa”.[30]
Untuk menjawab pernyataan Ibnu
Taimiyah tadi, cukuplah dinukil pernyataan beberapa ulama Ahlusunnah saja, guna
mempersingkat pembahasan.
Al-Manawi dalam kitab Faidh al-Qadir
dalam menukil ungkapan al-Jurjani dan al-Qurthubi menyatakan: “Dalam kitab
al-Imamah, al-Jurjani mengatakan: “Telah sepakat (ijma’) ulama ahli fikih
(faqih) Hijaz dan Iraq, baik dari kelompok ahli hadis maupun ahli ra’yi semisal
imam Malik, Syafi’i, Abu Hanifah dan Auza’i dan mayoritas para teolog
(mutakallim) dan kaum muslimin, bahwa Ali dapat dibenarkan dalam peperangannya
melawan pasukan (musuhnya dalam) perang jamal. Dan musuhnya (Ali) dapat
dikelompokkan sebagai para penentang yang zalim”. Kemudian dalam menukil
ungkapan al-Qurthubi, dia mengatakan: “Telah menjadi kejelasan bagi ulama Islam
berdasar argumen-argumen agama, bahwa Ali adalah imam. Oleh karenanya, setiap
pribadi yang keluar dari (kepemimpinan)-nya, niscaya dihukumi sebagai penentang
yang berarti memeranginya adalah suatu kewajiban hingga mereka kembali kepada
kebenaran, atau tertolong dengan melakukan perdamaian”.[31]
Jelas bahwa pernyataan Ibnu Taimiyah
dengan mengatasnamakan salaf saleh tidaklah memiliki dasar sedikitpun, apalagi
jika ia mengatasnamakan para imam mazhab Ahlusunnah. Lantas, bagaimana mungkin pribadi
seperti Ibnu Taimiyah dapat mewakili pemikiran Ahlusunnah, padahal begitu
banyak pandangan ulama Ahlusunnah sediri yang secara jelas bertentangan dengan
pendapat Ibnu Taimiyah? Lebih-lebih pendapat Ibnu Taimiyah tadi hanya sebatas
pengakuan saja, tanpa memberikan argumen maupun rujukan yang jelas, baik yang
berkaitan dengan hadis (Rasul saw), maupun ungkapan para salaf saleh (dari
sahabat, tabi’in dan tabi’ tabi’in) termasuk nukilan pendapat para imam mazhab
empat secara cermat, apalagi bukti ayat al-Quran.
Yang lebih parah lagi, setelah ia
meragukan semua keutamaan Ali bin Abi Thalib, dari seluruh ungkapannya
tersebut, akhirnya ia pun meragukan Ali sebagai khalifah. Hal itu merupakan
konsekuensi dari semua pernyataan yang pernah ia lontarkan sebelumnya.
Mengingat, dalam banyak kesempatan Ibnu Taimiyah selalu meragukan kemampuan Ali
dalam memimpin umat. Oleh karenanya, dalam banyak kesempatan pula ia
menyebarkan keragu-keraguan atas kekhilafan Ali. Tentu saja, metode yang
dipakainya dalam masalah inipun sama sebagaimana yang ia terapkan sebelumnya
-seperti yang telah disinggung di atas, yaitu; dengan cara menukil beberapa
pendapat yang sangat tidak mendasar, dan tidak jujur sembari mengajukan
pendapat pribadinya sebagai pendapat tokoh-tokoh salaf saleh.
Berikut ini adalah beberapa contoh
dari ungkapan Ibnu Taimiyah dalam masalah tersebut:
1. “Diriwayatkan dari Syafi’i dan
pribadi-pribadi selainnya, bahwa khalifah ada tiga; Abu Bakar, Umar dan
Usman”.[32]
2. “Manusia telah bingung dalam
masalah kekhilafan Ali (karena itu mereka berpecah atas) beberapa pendapat;
Sebagian berpendapat bahwa ia (Ali) bukanlah imam, akan tetapi Muawiyah-lah
yang menjadi imam. Sebagian lagi menyatakan, bahwa pada zaman itu tidak
terdapat imam secara umum, bahkan zaman itu masuk kategori masa (zaman)
fitnah”.[33]
3. “Dari mereka terdapat orang-orang
yang diam (tidak mengakui) atas (kekhalifahan) Ali, dan tidak mengakuinya
sebagai khalifah keempat. Hal itu dikarenakan umat tidak memberikan kesepakatan
atasnya. Sedang di Andalus, banyak dari golongan Bani Umayyah yang mengatakan:
Tidak ada khalifah. Sesungguhnya khalifah adalah yang mendapat kesepakatan
(konsensus) umat manusia. Sedang mereka tidak memberi kesepakatan atas Ali.
Sebagian lagi dari mereka menyatakan Muawiyah sebagai khalifah keempat dalam
khutbah-khutbah jum’atnya. Jadi, selain mereka menyebutkan ketiga khalifah itu,
mereka juga menyebut Muawiyah sebagai (khalifah) keempat, dan tidak menyebut
Ali”.[34]
4. “Kita mengetahui bahwa sewaktu
Ali memimpin, banyak dari umat manusia yang lebih memilih kepemimpinan
Muawiyah, atau kepemimpinan selain keduanya (Ali dan Muawiyah)…maka mayoritas
(umat) tidak sepakat dalam ketaatan”.[35]
Jelas sekali di sini bahwa Ibnu Taimiyah selain ia berusaha menyebarkan karaguan atas kekhalifah Ali bin Abi Thalib kepada segenap umat, ia pun menjadi corong dalam menyebarkan kekhalifahan Muawiyah bin Abu Sufyan. Sedang hal itu jelas-jelas bertentangan dengan akidah Ahlusunnah wal Jama’ah.
Jelas sekali di sini bahwa Ibnu Taimiyah selain ia berusaha menyebarkan karaguan atas kekhalifah Ali bin Abi Thalib kepada segenap umat, ia pun menjadi corong dalam menyebarkan kekhalifahan Muawiyah bin Abu Sufyan. Sedang hal itu jelas-jelas bertentangan dengan akidah Ahlusunnah wal Jama’ah.
Untuk menjawab pernyataan-pernyataan
Ibnu Taimiyah di atas tadi, mari kita simak beberapa pernyataan pembesar ulama
Ahlusunnah tentang kekhilafahan Ali bin Abi Thalib, dan ungkapan mereka perihal
Muawiyah bin Abu Sufyan, termasuk yang bersumber dari kitab-kitab karya imam
Ahmad bin Hambal yang diakui sebagai panutan Ibnu Taimiyah dalam pola pikir dan
metode (manhaj)-nya.
1. Dinukil dari imam Ahmad bin
Hambal: “Barangsiapa yang tidak mengakui Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah
keempat, maka jangan kalian ajak bicara, dan jangan adakan tali pernikahan
dengannya”.[36]
2. Dikatakan bahwa imam Ahmad bin
Hambal pernah mengatakan: “Barangsiapa yang tidak menetapkan imamah
(kepemimpinan) Ali, maka ia lebih sesat dari Keledai. Adakah Ali dalam
menegakkan hukum, mengumpulkan sedekah dan membagikannya tanpa didasari hak?
Aku berlindung kepada Allah dari ungkapan semacam ini…akan tetapi ia (Ali)
adalah khalifah yang diridhai oleh para sahabat Rasul. Mereka melaksanakan
shalat dibelakangnya. Mereka berperang bersamanya. Mereka berjihad dan berhaji
bersamanya. Mereka menyebutnya sebagai amirulmukminin. Mereka ridha dan tiada
mengingkarinya. Maka kami pun mengikuti mereka”.[37]
3. Dalam kesempatan lain, sewaktu
putera imam Ahmad bin Hambal menanyakan kepada ayahnya perihal beberapa orang
yang mengingkari kekhalifahan Ali, beliau (imam Ahmad) berkata: “Itu merupakan
ungkapan buruk yang hina”[38].
4. Dari Abi Qais al-Audi yang
berkata: “Aku melihat umat manusia di mana mereka terdapat tiga tahapan; Para
pemilik agama, mereka mencintai Ali. Sedang para pemilik dunia, mereka
mencintai Muawiyah, dan Khawarij”.[39]
Adapun riwayat-riwayat yang
berkaitan dengan keutamaan Ali terlampau banyak untuk disampaikan di sini.
Untuk mempersingkat pembahasan, kita nukil beberapa contoh riwayat yang khusus
berkaitan dengan keilmuan dan kekhilafan Ali dari kitab-kitab standar
Ahlusunnah wal Jamaah:
1. Dalam kitab Mustadrak
as-Shahihain karya al-Hakim an-Naisaburi dijelaskan dari Hayyan al-Asadi; aku
mendengar Ali berkata: Rasul bersabda kepadaku: “Sesungguhnya umat akan
meninggalkanmu setelahku (sepeninggalku), sedang engkau hidup di atas ajaranku.
Engkau akan terbunuh karena (membela) sunahku. Barangsiapa yang mencintaimu,
maka ia telah mencintaiku. Dan barangsiapa yang memusuhimu, maka ia telah
memusuhiku. Dan ini akan terwarnai hingga ini (yaitu janggut dari
kepalanya)”.[40]
2. Dalam Shahih at-Turmudzi yang
diriwayatkan oleh Abi Sa’id, ia berkata: “Kami (kaum Anshar) tiada mengetahui
orang-orang munafik kecuali melalui kebencian mereka terhadap Ali bin Abi
Thalib”.[41]
3. Dalam kitab Mustadrak as-Shahihain
yang diriwayatkan dari Zaid bin Arqam yang menyebutkan; Rasulullah bersabda:
“Barangsiapa yang menginginkan hidup sebagaimana kehidupanku, dan mati
sebagaimana kematianku, dan menempati sorga yang kekal yang telah dijanjikan
oleh Tuhanku kepadaku, maka hendaknya ia menjadikan Ali sebagai wali
(pemimpin/kecintaan). Karena ia tiada akan pernah mengeluarkan kalian dari
petunjuk, dan tiada akan menjerumuskan kalian kepada kesesatan”.[42]
4. Dalam kitab Tarikh al-Baghdadi
diriwaytkan dari Ibnu Abbas, ia berkata; Rasul bersabda: “Di malam sewaktu aku
mi’raj ke langit, aku melihat di pintu sorga tertulis: Tiada tuhan melainkan
Allah, Muhammad Rasul Allah, Ali kecintaan Allah, al-Hasan dan al-Husein
pilihan Allah, Fathimah pujian Allah, atas pembenci mereka laknat Allah”.[43]
5. Juga dalam kitab Tarikh
al-Baghdadi disebutkan sebuah hadis tentang penjelmaan Iblis untuk menggoda
Rasul beserta para sahabat sewaktu bertawaf di Ka’bah. Setelah Iblis itu sirna,
Rasul bersabda kepada Ali: “Apa yang aku dan engkau miliki wahai putera Abu
Thalib. Demi Allah, tiada seseorang yang membencimu kecuali ia (Iblis) telah
campur tangan dalam pembentukannya (melalui sperma ayahnya .red).” Lantas Rasul
membacakan ayat (64 dari surat al-Isra’): “Wa Syarikhum fil Amwal wal Awlad”
(Dan berserikatlah dengan mereka pada harta dan anak-anak)”.[44]
6. Dalam kitab Mustadrak
as-Shahihain disebutkan, diriwayatkan dari Mujahid dari Ibnu Abbas, ia berkata;
Rasul bersabda: “Aku adalah kota hikmah, sedang Ali adalah pintunya.
Barangsiapa yang menghendaki hikmah hendaknya melalui pintunya”.[45] Dalam
riwayat lain disebutkan: “Aku adalah kota ilmu, sedang Ali adalah pintunya.
Barangsiapa yang menghendaki ilmu hendaknya melalui pintunya”.[46]
7. Dalam kitab Mustadrak
as-Shahihain disebutkan, diriwayatkan dari al-Hasan dari Anas bin Malik, ia
berkata; Nabi bersabda kepada Ali: “Engkau (Ali) penjelas (atas permasalahan)
yang menjadi perselisihan di antara umatku setelahku”.[47]
8. Dalam kitab as-Showa’iq
al-Muhriqah karya Ibnu Hajar disebutkan, sewaktu Rasul sakit lantas beliau
mewasiatkan kepada para sahabatnya, seraya bersabda: “Aku meninggalkan kepada
kalian Kitab Allah (al-Quran) dan Itrah (keturunan)-ku dari Ahlul Baitku”.
Kemudian beliau mengangkat tangan Ali seraya bersabda: “Inilah Ali bersama al-Quran,
dan al-Quran bersama Ali. Keduanya tiada akan berpisah sehingga pertemuanku di
al-Haudh (akherat) kelak, maka carilah kedua hal tersebut sebagaimana aku telah
meninggalkannya”.[48] Dalam hadis lain disebutkan: “Ali bersama kebenaran dan
kebenaran bersama Ali. Keduanya tiada akan pernah berpisah hingga pertemuanku
di Haudh kelak di akherat”.[49]
9. Dalam kitab Usud al-Ghabah karya
Ibnu Atsir disebutkan, diriwayatkan dari Abi Sa’id al-Khudri, ia berkata; Rasul
memerintahkan kami untuk memerangi kelompok Nakitsin (Jamal), Qosithin
(Shiffin) dan Mariqin (Nahrawan). Lantas kami berkata: “Wahai Rasulullah,
engkau memerintahkan kami memerangi mereka, lantas bersama siapakah kami?”,
beliau bersabda: “Bersama Ali bin Abi Thalib, bersamanya akan terbunuh (pula) Ammar
bin Yasir”.[50]
Pernyataan Resmi Ahlusunnah Perihal
Kekhalifahan Ali:
Lihat, bagaimana Ibnu Taimiyah tidak
menyinggung nama Ali dalam masalah kekhalifahan? Dan bagaimana ia berdusta atas
nama imam Syafi’i tanpa memberikan dasar argumen yang jelas? Ibnu Taimiyah
bukan hanya mengingkari Ali, tetapi bahkan memberikan kemungkinan kekhalifahan
buat Muawiyah. Padahal tidak ada kelompok Ahlusunnah pun yang meragukan
kekhalifahan Ali. Berikut ini akan kita perhatikan pernyataan resmi beberapa
ulama Ahlussunah perihal pandangan mazhab mereka berkaitan dengan kekhalifahan
Ali bin Abi Thalib:
1. Dari Abbas ad-Dauri, dari Yahya
bin Mu’in, ia mengatakan: “Sebaik-baik umat setelah Rasulullah adalah Abu Bakar
dan Umar, kemudian Usman, lantas Ali. Ini adalah mazhab kami, juga pendapat
para imam kami. Sedang Yahya bin Mu’in berpendapat: Abu Bakar, Umar, Ali dan
Usman”.[51]
2. Dari Harun bin Ishaq, dari Yahya
bin Mu’in: “Barangsiapa yang menyatakan Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali
(Radhiyallahu anhum) –dan mengakui Ali sebagai pemilik keutamaan, maka ia
adalah pemegang as-Sunnah (Shahib as-Sunnah)…lantas kusebutkan baginya
oknum-oknum yang hanya menyatakan Abu Bakar, Umar dan Usman, kemudian ia diam
(tanpa menyebut Ali .red), lantas ia mengutuk (oknum tadi) mereka dengan ungkapan
yang keras”.[52]
3. Berkata Abu Umar –Ibnu Abdul Bar-
perihal seseorang yang berpendapat sebagaimana hadis dari Ibnu Umar: “Dahulu,
pada zaman Rasul, kita mengatakan: Abu Bakar, kemudian Umar, lantas Usman, lalu
kami diam –tanpa melanjutkannya)”. Itulah yang diingkari oleh Ibnu Mu’in dan
mengutuknya dengan ungkapan kasar. Karena yang menyatakan hal itu berarti telah
bertentangan dengan apa yang telah disepakati oleh Ahlussunah, baik mereka dari
pendahulu (as-Salaf), maupun dari yang datang terakhir (al-Khalaf) dari para
ulama fikih dan hadis. Sudah menjadi kesepakatan (Ahlussunah) bahwa Ali adalah
paling mulianya manusia, setelah Usman. Namun, mereka berselisih pendapat
tentang, siapakah yang lebih utama, Ali atau Usman? Para ulama terdahulu
(as-Salaf) juga telah berselisih pendapat tentang keutamaan Ali atas Abu Bakar.
Namun, telah menjadi kesepakatan bagi semuanya bahwa, sebagaimana yang telah
kita sebutkan, semua itu telah menjadi bukti bahwa hadis Ibnu Umar memiliki
kesamaran dan kesalahan, dan tidak bisa diartikan semacam itu, walaupun dari
sisi sanadnya dapat dibenarkan”.[53]
Jadi jelaslah bahwa menurut para
pemuka Ahlussunah, Ali adalah sahabat terkemuka yang termasuk jajaran tokoh
para sahabat yang menjadi salah satu khalifah pasca Rasul. Berbeda halnya
dengan apa yang diyakini oleh Ibnu Taimiyah, seorang ulama generasi akhir
(khalaf) yang mengaku sebagai penghidup pendapat ulama terdahulu (salaf), namun
banyak pendapatnya justru berseberangan dengan pendapat salaf saleh.
Pernyataan Ulama Ahlusunnah Perihal
Pandangan Ibnu Taimiyah Tentang Ali:
Pada bagian kali ini akan kita nukil
beberapa pernyataan ulama Ahlusunnah perihal pernyataan Ibnu Taimiyah yang
cenderung melecehkan Ali bin Abi Thalib:
1. Ibnu Hajar al-Asqalani dalam
menjelaskan tentang pribadi Ibnu Taimiyah mengatakan: “Ia terlalu berlebihan
dalam menghinakan pendapat rafidhi (Allamah al-Hilli seorang ulama Syiah. red)
sehingga terjerumus kedalam penghinaan terhadap pribadi Ali”.[54]
2. Allamah Zahid al-Kautsari
mengatakan: “…dari beberapa ungkapannya dapat dengan jelas dilihat kesan-kesan
kebencian terhadap Ali”.[55]
3. Syeikh Abdullah Ghumari pernah
menyatakan: “Para ulama yang sezaman dengannya menyebutnya (Ibnu Taimiyah)
sebagai seorang yang munafik dikarenakan penyimpangannya atas pribadi Ali”.[56]
4. Syeikh Abdullah al-Habsyi
berkata: “Ibnu Taimiyah sering melecehkan Ali bin Abi Thalib dengan mengatakan:
Peperangan yang sering dilakukannya (Ali) sangat merugikan kaum muslimin”.[57]
5. Hasan bin Farhan al-Maliki
menyatakan: “Dalam diri Ibnu Taimiyah terdapat jiwa ¬nashibi dan permusuhan
terhadap Ali”.[58]
6. Hasan bin Ali as-Saqqaf berkata:
“Ibnu Taimiyah adalah seorang yang disebut oleh beberapa kalangan sebagai
‘syeikh Islam’, dan segala ungkapannya dijadikan argumen oleh kelompok tersebut
(Salafy). Padahal, ia adalah seorang nashibi yang memusuhi Ali dan menyatakan
bahwa Fathimah (puteri Rasulullah. red) adalah seorang munafik”.[59]
Dan masih banyak lagi ungkapan ulama
Ahlusunnah lain yang menyesalkan atas prilaku pribadi yang terlanjur terkenal
dengan sebutan ‘syeikh Islam’ itu. Untuk mempersingkat pembahasan, dalam
makalah ini kita cukupkan beberapa ungkapan mereka saja. Namun di sini juga
akan dinukil pengakuan salah seorang ahli hadis dari kalangan wahabi (pengikut
Ibnu Taimiyah sendiri .red) sendiri dalam mengungkapkan kebingungannya atas
prilaku imamnya (Ibnu Taimiyah) yang meragukan beberapa hadis keutamaan Ali bin
Abi Thalib. Ahli hadis tersebut bernama Nashiruddin al-Bani. Tentu semua
pengikut Salafy (Wahabi) mengenal siapa dia. Seusai ia menganalisa hadis
al-wilayah[60] (kepemimpinan) yang berkaitan dengan Ali bin Abi Thalib, lantas
ia mengatakan: “Anehnya, bagaimana mungkin syeikh Islam Ibnu Taimiyah
mengingkari hadis ini, sebagaimana yang telah dia lakukan pada hadis-hadis sebelumnya
(tentang Ali), padahal ia memiliki berbagai sanad yang sahih. Hal ini ia
lakukan, tidak lain karena kebencian yang berlebihan terhadap kelompok
Syiah”.[61]
Dari sini jelas bahwa akibat
kebencian terhadap satu kelompok secara berlebihan menyebabkan Ibnu Taimiyah
terjerumus ke dalam lembah kemungkaran dan kesesatan, sehingga menyebabkan ia
telah menyimpang dari ajaran para salaf saleh yang selalu diakuinya sebagai
pondasi ajarannya. Bukankah orang yang disebut ‘syeikh Islam’ itu mesti telah
membaca hadis yang tercantum dalam Shahih Muslim –kitab yang diakuinya sebagai
paling shahihnya kitab- yang menyatakan: “Aku bersumpah atas Dzat Yang
menumbuhkan biji-bijian dan Pencipta semesta, Rasul telah berjanji kepadaku
(Ali); Tiada yang mencintaiku melainkan seorang mukmin, dan tiada yang
membenciku melainkan orang munafik”.[62] Sedang dalam hadis lain, diriwayatkan
dari ummulmukminin Ummu Salamah: “Seorang munafik tiada akan mencintai Ali, dan
seorang mukmin tiada akan pernah memusuhinya”.[63] Dan dari Abu Said al-Khudri
yang mengatakan: “Kami dari kaum Anshar dapat mengenali para munafik melalui
kebencian mereka terhadap Ali”.[64]
Jika sebagian ulama Ahlusunnah telah
menyatakan, akibat kebencian Ibnu Taimiyah terhadap Ali dengan
ungkapan-ungkapannya yang cenderung melecehkan sahabat besar tersebut sehingga
ia disebut nashibi, lantas jika dikaitkan dengan tiga hadis di atas tadi yang
menyatakan bahwa kebencian terhadap Ali adalah bukti kemunafikan, maka apakah
layak bagi seorang munafik yang nashibi digelari ‘Syeikh al-Islam’? ataukah
pribadi semacam itu justru lebih layak jika disebut sebagai ‘Syeikh
al-Munafikin’? Jawabnya, tergantung pada cara kita dalam mengambil benang merah
dari konsekuensi antara ungkapan beberapa ungkapan ulama Ahlusunnah dan
beberapa hadis yang telah disebutkan di atas tadi.
Penutup:
Dari sini jelaslah, bahwa para ulama
Salaf maupun Khalaf -dari Ahlussunah wal Jamaah- telah mengakui keutamaan Ali,
dan mengakui kekhalifahannya. Lantas dari manakah manusia semacam Ibnu Taimiyah
yang mengaku sebagai penghidup mazhab salaf saleh namun tidak
menyinggung-nyinggung kekhalifahan Ali, bahkan berusaha menghapus Ali dari
jajaran kekhilafahan Rasul? Masih layakkah manusia seperti Ibnu Taimiyah
dinyatakan sebagai pengikut Ahlusunnah wal Jama’ah, sementara pendapatnya
banyak bertentangan dengan kesepakatan ulama salaf maupun khalaf dari
Ahlussunah wal Jamaah? Ataukah dia hanya mengaku dan membajak nama besar salaf
saleh? Tegasnya, pandangan-pandangan Ibnu Taimiyyah tadi justru lebih layak
untuk mewakili kelompok salaf yang dinyatakan oleh kaum muslimin sebagai salaf
thaleh (lawan dari kata salaf saleh), seperti Yazid bin Muawiyah beserta
gerombolannya.
Tetapi anehnya, para pengikut Ibnu
Taimiyah yang juga ikut-ikutan mengatasnamakan dirinya “penghidup ajaran Salaf”
(Salafy/Wahaby), masih terus bersikeras untuk diakui sebagai pengikut
Ahlussunah, padahal di sisi lain, mereka masih terus menjunjung tinggi ajaran
dan doktrin Ibnu Taimiyah yang jelas-jelas telah keluar dari kesepakatan
(konsensus) ulama Ahlussunah beserta “ajaran resmi” Ahlussunah wal Jamaah.
Mereka berpikir, jalan pintas yang paling aman dan mudah untuk mendapat
pengakuan itu adalah dengan memusuhi Syiah. Mengangkat isu-isu ikhtilaf
Sunnah-Syiah adalah sarana paling efektif untuk menempatkan kaum Salafy supaya
diterima dalam lingkaran Ahlussunnah. Sehingga mereka pun berusaha sekuat
tenaga agar semua usaha pendekatan, pintu dialog ataupun persatuan antara
Sunnah-Syiah harus ditentang, ditutup dan digagalkan. Karena, jika antara
Sunnah-Syiah bersatu, maka kedok mereka akan tersingkap, dan hal itu akan
mengakibatkan nasib mereka kian tidak menentu.[]
Penulis: Mahasiswa S2 Jurusan
Perbandingan Agama dan Mazhab di Universitas Imam Khomeini, Qom-Republik Islam
Iran,
Rujukan:
________________________________________
________________________________________
[2] Dalam kitab Mustadrak
as-Shohihain Jil:3 Hal:483 karya Hakim an-Naisaburi atau kitab Nuur al-Abshar
Hal:69 karya as-Syablanji disebutkan, bahwa Ali adalah satu-satunya orang yang
dilahirkan dalam Baitullah Ka’bah. Maryam ketika hendak melahirkan Isa
al-Masih, ia diperintahkan oleh Allah untuk menjauhi tempat ibadah, sedang
Fatimah binti Asad ketika hendak melahirkan Ali, justru diperintahkan masuk ke
tempat ibadah, Baitullah Ka’bah. Ini merupakan bukti, bahwa Ali memiliki
kemuliaan tersendiri di mata Allah. Oleh karenanya, dalam hadis yang dinukil
oleh Ibnu Atsir dalam kitab Usud al-Ghabah Jil:4 Hal:31 dinyatakan, Rasul
bersabda: “Engkau (Ali) sebagaimana Ka’bah, didatangi dan tidak mendatangi”.
[3] Pembunuh Ali, Abdurrahman bin
Muljam al-Muradi, dalam banyak kitab disebutkan sebagai paling celakanya
manusia di muka bumi. Lihat kitab-kitab semisal Thobaqoot Jil:3 Hal:21 karya
Ibnu Sa’ad, Tarikh al-Baghdadi Jil:1 Hal:135, Usud al-Ghabah Jil:4 Hal:24 karya
Ibnu Atsir, Qoshos al-Ambiya’ Hal:100 karya ats-Tsa’labi.
[4] Dalam kitab Fathul-Bari
disebutkan bahwa pribadi-pribadi seperti imam Ahmad bin Hambal, imam Nasa’i,
imam an-Naisaburi dan sebagainya mengakui bahwa hadis-hadis tentang keutamaan
Ali lebih banyak dibanding dengan keutamaan para sahabat lainnya.
[5] Lihat Tarikh at-Tabari Jil:2
Hal:62
[6] Minhaj as-Sunnah Jil:8 Hal:281,
karya Ibnu Taimiyah al-Harrani
[7] Lihat Shohih Muslim Kitab:
Fadho’il as-Shohabah Bab:Fadhoil Ahlul Bait an-Nabi, Shohih at-Turmudzi Jil:2
Hal:209/319, Tafsir ad-Dur al-Mantsur karya as-Suyuthi dalam menafsirakan surat
33:33 Jil:5 Hal:198-199, Musnad Ahmad bin Hambal Jil:1 Hal:330 atau Jil:6
Hal:292, Usud al-Ghabah karya Ibnu al-Atsir Jil:2 Hal:20 atau Jil:3 Hal:413,
Tarikh al-Baghdadi Jil:10 Hal:278…dsb
[8] Jamii’ al-Jawami’ Jil:6 Hal:398,
karya as-Suyuthi
[9] Kanz al-Ummal Jil:6 Hal:156,
karya al-Muttaqi al-Hindi
[10] Hilliyah al-Auliya’ Jil:1
Hal:65, karya Abu Na’im al-Ishbahani
[11] al-Istii’ab Jil:3 Hal:40, karya
al-Qurthubi, atau Tarikh al-Khulafa’ Hal:115 karya as-Suyuthi
[12] Tadzkirah al-Khawash Hal:87,
karya Sibth Ibn al-Jauzi
[13] al-Istii’ab Jil:3 Hal:40
[14] Al-Ishobah Jil:2 Hal:509, karya
Ibnu Hajar al-Asqolani, atau Hilliyah al-Auliya’ Jil:1 Hal:65
[15] Miftah as-Sa’adah, Jil:1
Hal:400
[16] Siar A’lam an-Nubala’
(khulafa’) Hal:239, karya adz-Dzahabi
[17] Al-Bidayah wa an-Nihayah Jil:7
Hal:332
[18] Minhaj as-Sunnah Jil:7 Hal:511
& 461
[19] Ibid Jil:8 Hal:97
[20] Ibid Jil:7 Hal:515
[21] Ibid Jil:7 Hal:512
[22] Ibid Jil:7 Hal: 535
[23] Ibid Jil:5 Hal:513
[24] Ibid Jil:6 Hal:18
[25] Ibid Jil:8 Hal:234
[26] Dinukil dari Fathul Bari Jil:7
Hal:89 karya Ibnu Hajar al-Asqolani, Tarikh Ibnu Asakir Jil:3 Hal:83, Siar
A’lam an-Nubala’ (al-Khulafa’) Hal:239
[27] Minhaj as-Sunnah Jil:4 Hal:485
[28] Ibid Jil:8 Hal:329 atau Jil:4
Hal:500
[29] Pernyataan aneh yang terlontar
dari Ibnu Taimiyah. Apakah dia tidak pernah menelaah hadis yang tercantum dalam
kitab Mustadrak as-Shahihain Jil:3 Hal:139 dimana Abu Ayub berkata pada waktu
kekhilafahan Umar bin Khatab dengan ungkapan; “Rasulullah telah memerintahkan
Ali bin Abi Thalib untuk memerangi kaum Nakitsin (Jamal), Qosithin (Shiffin)
dan Mariqin (Nahrawan)”. Begitu pula yang tercantum dalam kitabTarikh
al-Baghdadi Jil:8 Hal:340, Usud al-Ghabah karya Ibnu Atsir Jil:4 Hal:32, Majma’
az-Zawa’id karya al-Haitsami Jil:9 Hal:235, ad-Dur al-Mantsur karya as-Suyuthi
dalam menafsirkan ayat ke-41 dari surat az-Zukhruf, dsb? Ataukah Ibnu Taimiyah
sudah tidak percaya lagi kepada para sahabat yang merawikan hadis tersebut?
Bukankah ia telah terlanjur menyatakan bahwa sahabat adalah Salaf Saleh yang
ajarannya hendak ia tegakkan?
[30] Ibid Jil:6 Hal:356
[31] Faidh al-Qodir Jil:6 Hal:336
[32] Minhaj as-Sunnah Jil:2 Hal:404
[33] Ibid Jil:1 Hal:537
[34] Ibid Jil:6 Hal:419
[35] Ibid Jil:4 Hal:682
[36] Thobaqoot al-Hanabilah Jil:1
Hal:45
[37] Aimmah al-Fiqh at-Tis’ah Hal:8
[38] As-Sunnatu Halal Hal:235
[39] Al-Isti’aab Jil:3 Hal:213
[40] Mustadrak as-Shahihain Jil:3
Hal:142. Hadis serupa –dengan sedikit perbedaan redaksi- juga dapat ditemukan
dalam kitab-kitab lain semisal; Tarikh al-Baghdadi Jil:13 Hal:32, Usud
al-Ghabah Jil:4 Hal:383, Majma’ az-Zawa’id Jil:9 Hal:131, ar-Riyadh an-Nadhrah
Jil:2 Hal:213, dsb.
[41] Shahih at-Turmudzi Jil:2 Hal:299. Hadis serupa –dengan sedikit perbedaan redaksi- juga dapat ditemukan dalam kitab-kitab semisal; Shahih Muslim kitab al-Iman, Shahih an-Nasa’I Jil:2 Hal:271, Musnad Ahmad bin Hambal Jil:1 Hal:84, Mustadrak as-Shahihain Jil:3 Hal:129, Tarikh al-Baghdadi Jil:3 Hal:153, Majma’ az-Zawa’id Jil:9 Hal:133, dsb.
[42] Mustadrak as-Shahihain Jil:3 Hal:128. Hadis semacam ini –walau dengan sedikit perbedaan redaksi- juga dapat ditemukan dalam kitab-kitab semisal; Usud al-Ghabah Jil:4 Hal:23 atau Jil:6 Hal:101, al-Ishabah karya Ibnu Hajar Jil:3 Bagian ke-1 Hal:20, ar-Riyadh an-Nadhrah Jil:2 Hal:215, Tarikh al-Baghdadi Jil:4 Hal:102, dsb.
[43] Tarikh al-Baghdadi Jil:1
Hal:259.
[44] Ibid Jil:3 Hal:289-290
[45] Mustadrak as-Shahihain Jil:11
Hal:204. Hadis yang sama dengan sedikit perbedaan redaksi juga dapat ditemukan
dalam Shahih at-Turmudzi Jil:2 Hal:229.
[46] Ibid Jil:3 Hal:128. Hadis yang
sama dapat juga ditemukan dalam kitab lain semacam; as-Showa’iq al-Muhriqah
karya Ibnu Hajar Hal:73, Tarikh al-Baghdadi Jil:2 Hal:377, ar-Riyadh an-Nadhrah
Jil:2 Hal:193, Kunuz al-Haqa’iq karya al-Manawi Hal:43, dsb.
[47] Ibdi Jil:3 Hal:122. Hadis
serupa juga dapat ditemukan dalam kitab Hilliyat al-Auliya’ karya Abu Na’im
Jil:1 Hal:63.
[48] As-Showa’iq al-Muhriqoh Hal:75.
Hadis semacam ini dapat pula dilihat dalam kitab-kitab semisal Mustadrak
as-Shahihain Jil:3 Hal:124, Majma’ az-Zawa’id Jil:9 Hal:134, dsb.
[49] Tarikh al-Baghdadi Jil:14
Hal:321. Hadis serupa juga dapat dijumpai dalam kitab Shahih at-Turmudzi Jil:2
Hal:298, Mustadrak as-Shahihain Jil:3 Hal:119, Majma’ az-Zawa’id Jil:7 Hal:235,
Kanzul Ummal karya al-Muttaqi al-Hindi Jil:6 Hal:157, dsb dengan sedikit
perbedaan redaksi.
[50] Usud al-Ghabah Jil:4 Hal:32-33.
Hadis serupa juga dapat ditemukan dalam kitab-kitab lain seperti; Mustadrak
as-Shahihain Jil:4 Hal:139, Tarikh Baghdadi Jil:8 Hal:340 atau Jil:13 Hal:186,
Majma’ az-Zawa’id Jil:9 Hal:235, Tafsir ad-Dur al-Mantsur karya as-Suyuthi
dalam menafsirkan ayat 41 dari surat az-Zukhruf, dsb.
[51] Al-Isti’aab Jil:3 Hal:213
[52] Ibid
[53] Ibid Jil:3 Hal:214
[54] Lisan al-Mizan Jil:6 Hal:319-320
[55] Al-Hawi fi Sirah at-Thahawi
Hal:26
[56] Ar-Rasail al-Ghomariyah
Hal:120-121
[57] Al-Maqolaat as-Saniyah Hal:200
[58] Dinukil dari kitab Nahwa Inqod
at-Tarikh al-Islami karya Sulaiman bin Shaleh al-Khurasyi hal:35
[59] At-Tanbih wa ar-Rad Hal:7
[60] Hadis yang mengatakan: Ali
waliyu kulli mukmin min ba’dy (Ali adalah pemimpin setiap mukmin setelahku)
[61] Silsilah al-Ahadis as-Shohihah,
Hadis no: 2223
[62] Shohih Muslim Jil:1 Hal:120
Hadis ke-131 Kitab: al-Iman, atau Shohih at-Turmudzi Jil:5 Hal:601
Hadis ke-3736, dan atau Sunan Ibnu
Majah Jil:1 Hal:42 Hadis ke-114
[63] Shohih at-Turmudzi Jil:5
Hal:594 Hadis ke-3717
[64] Ibid Hal:593
Siapakah AHLUL BAIT yang sebenarnya itu ?
Ahlulbait dalam Al-Quran(W.Ana Yuniar )
Al-Quran adalah sumber pemikiran, sumber hukum dan sumber segala kebajikan yang esensinya adalah kalam ilahi yang suci. Al-Quran adalah pola bagi hidup dan kehidupan seluruh umat manusia. Maka setiap muslim atau muslimah wajib mengetahui dan memahami bahwa Kitabullah itu adalah syari’ah dan risalah-Nya yang umat manusia harus merealisasikannya dalam hidup dan kehidupannya serta berjalan di atas petunjuk-Nya. Banyak ayat Al-Quran yang menceritakan Ahlulbait atau keluarga Nabi yang disucikan yang antara lain seperti di bawah ini:
1. Surah Al-Ahzab:33
Dalam ayat ini Allah menyebut mereka Ahlulbait. Dalam firman-Nya :”Sesungguhnya Allah hendak menghilangkan al-rijs dan dosa dari kamu wahai Ahlulbait dan mensucikanmu sesuci-sucinya.” (QS Al Ahzab/33).
Imam Ja’far Al-Shadiq ditanya mengenai makna al-rijs yang terdapat pada ayat diatas. Beliau menjawab: “Al-Rijsu itu adalah al-syakk (keraguan)”. (Ma’ani l`Akhbar).
Jika kita tidak taat kepada Allah dalam satu perkara, maka hal itu telah menunjukan kepada keraguan kita terhadap-Nya, semakin banyak ketidaktaatan kita kepadanya, maka semakin besar pula keraguan kita kepada-Nya. Ahlulbait yang disucikan itu sedikit pun tidak pernah ragu kepada-Nya, oleh karena itu tidak ada satu pun keburukan atau kemaksiatan yang mereka lakukan. Dan tidak adanya keraguan dari mereka, dikuatkan dengan pensucian sesuci-sucinya, yang demikian itu menunjukan bahwa mereka memiliki sifat ‘ishmah yang sangat kuat, mereka adalah orang-orang ma’shum (tidak melakukan dosa dan kesalahan).
Sebagian kaum muslim beranggapan bahwa tafsir ahlul bait yang terdapat pada ayat di atas adalah istri-istri Rasulullah saw, mereka menafsirkan demikian barangkali dikarenakan awal ayat tersebut ditujukan kepada istri-istri Nabi yaitu : “Dan hendaklah kamu (istri-istri Nabi) tinggal di rumah-rumah kamu, dan janganlah kamu bersolek seperti kaum jahiliah yang pertama, dan dirikanlah salat, tunaikanlah zakat dan taatlah kepada Allah serta Rasul-Nya…”.
Tafsir seperti itu rasanya tidak benar karena kata ganti (personal pronoun, dhamir) bagi istri-istri Nabi dan untuk ahlulbait berbeda; untuk istri-istri Nabi dhamirnya mu`annats (feminine) sedangkan untuk Ahlulbait dhamirnya mudzakkar (masculine). Kedua mereka tidak memakai tafsir atau penjelasan dari Rasulullah dan para sahabatnya, padahal orang yang paling mengetahui tafsirnya adalah Nabi saw, dan Al-Quran telah memerintahkan kita untuk mengikuti beliau sebagaimana dalam firman-Nya berikut ini (yang artinya):
“Dan telah Kami turunkan Al-Dzikr (Al-Quran) untuk kamu jelaskan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka agar mereka berpikir”. (Al-Nahl 44).
“Dan tidak Kami turunkan Al-Kitab melainkan agar kamu jelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan dan sebagai petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman”. (Al-Nahl 64).
“Apa yang diperintahkan Rasul kepadamu maka laksanakan dan apa-apa yang dia larang maka tinggalkanlah, dan ber-taqwa-lah kepada Allah, sesungguhnya Allah amat keras siksa-Nya”. (QS 59/7).
“Wahai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah Rasul serta Uli l`amri (para khalifah Rasulullah yang dua belas) dari kamu…”. (QS 4/59).
Kemudian siapakah Ahlulbait yang disebutkan dalam Al-Ahzab 33 menurut Nabi dan sebagian sahabatnya itu? Marilah kita perhatikan beberapa riwayat berikut ini :
Ummu l`mu`minin Aisyah mengatakan : “Pada suatu pagi Rasulullah saw keluar dari rumah) dengan membawa kain berbulu yang berwarna hitam. Kemudian datang (kepada beliau) Hasan putra Ali, lalu beliau memasukkannya (ke bawah kain); lalu datang Husayn lantas dia masuk bersamanya; kemudian datang Fathimah,lantas beliau memasukannya; kemudian datang Ali, lalu beliau memasukannya. Kemudian beliau membaca ayat : ‘Sesungguhnya Allah hendak menghilangkan keraguan dari kalian wahai Ahlulbait dan mensucikan kalian sesuci-sucinya’”. (Lihat Shahih Muslim bab fadha`il Ahli bayti l`Nabiyy; Al-Mustadrak ala l Shahihayn 3/147; Sunan Al-Bayhaqi 2/149 dan Tafsir Ibnu Jarir Al-Thabari 22/5).
Amer putra Abu Salamah – anak tiri Rasulullah – mengatakan : “Ketika ayat ini (innama yuridu l`llahu liyudzhiba ‘ankumu l`rijsa ahla l`bayt wa yuthahhirakum tathhira) diturunkan di rumah Ummu Salamah, beliau memanggil Fathimah, Hasan dan Husayn sedangkan Ali as. berada di belakang beliau. Kemudian beliu mengerudungi mereka dengan kain seraya beliau berdoa : ‘Ya Allah mereka ini ahlulbaitku maka hilangkanlah dari mereka keraguan dan sucikan mereka sesuci-sucinya’. Ummu Salamah berkata: ‘Dan aku bersama mereka wahai Nabi Allah?’ Beliau bersabda : ‘Engkau tetap di tempatmu, engkau dalam kebaikan’”. (Al-Turmudzi 2:209, 308 ; Musykilu l`Atsar 1:335; Usudu l`Ghabah 2:12; Tafsir Ibni Jarir Al-Thabari 22: 6-7).
Dari Ummu Salamah bahwa Nabi saw. telah mengerudungkan sehelai kain ke atas Hasan, Husayn, Ali, Fatimah lalu beliau berkata, “Ya Allah, mereka ini Ahlulbaitku dan orang-orang terdekatku, hilangkanlah dari mereka keraguan dan sucikan mereka sesuci-sucinya,”. Kemudian Ummu Salamah berkata: “Aku ini bersama mereka wahai Rasulullah ?”. Beliau bersabda, “Sesungguhnya engkau berada di atas kebaikan”. (HR Al-Turmudzi 2:319).
Anas bin Malik telah berkata : “Rasulullah saw pernah melewati pintu rumah Fatimah ‘alayha l`salam selama enam bulan, apabila beliau hendak keluar untuk shalat subuh, beliau berkata, ‘Salat wahai Ahlulbait! Sesungguhnya Allah hendak menghilangkan keraguan darimu wahai Ahlulbait dan mensucikanmu sesuci-sucinya’”. (HR Al-Turmudzi 2 : 29).
Itulah beberapa kesaksian dari beberapa kitab rujukan bahwa Ahlulbait dalam surah Al-Ahzab itu bukan istri-istri Nabi saw melainkan Ali, Fathimah, Hasan dan Husayn sekalipun ayat tersebut digabungkan penulisannya dengan ayat yang menceriterakan istri-istri Nabi saw sebab di dalam Al-Quran mushhaf ‘utsmani ini terkadang dalam surah makkiyyah terselip di dalamnya beberapa ayat madaniyyah atau sebaliknya atau satu ayat mengandung dua cerita seperti pada ayat diatas dan tentu para ulama telah maklum adanya.
2. Surah Al-Syura:23
Ketika orang-orang musyrik berkumpul di satu tempat pertemuan mereka, tiba-tiba berkatalah sebagian dari mereka kepada yang lainnya : Apakan kalian melihat Muhammad meminta upah atas apa yang dia berikan ? Kemudian turunlah ayat : “Katakanlah aku tidak meminta upah dari kalian selain kecintaan (mawaddah) kepada al-qurba”. (Al-Zamakhsyari dalam tafsirnya Al-Kasysyaf).
Kemudian beliau berkata: Telah diriwayatkan ketika ayat tersebut turun bahawa ada orang yang bertanya: Wahai Rasulullah, siapakah kerabatmu yang telah diwajibkan atas kami mencintai mereka? Beliau menjawab: “Mereka itu adalah Ali, Fathimah dan kedua putranya (Hasan dan Husayn)”.
Ayat tersebut di atas telah mewajibkan seluruh manusia untuk mencintai (mengikuti) keluarga Nabi atau Ahlulbait dan mencintai mereka merupakan dasar di dalam ajaran Islam. Rasulullah saw bersabda (yang artinya): “Segala sesuatu ada asasnya dan asas Islam adalah mencintai Ahlulbaitku”. (Hadits yang mulia). Dan jika kita membenci mereka maka amal baik kita akan menjadi sia-sia dan kita masuk neraka. Sabdanya : “Maka seandainya seseorang berdiri (beribadah) lalu dia salat dan saum kemudian dia berjumpa dengan Allah (mati) sedangkan dia benci kepada Ahlulbait Muhammad, niscaya dia masuk neraka.” Al-Hakim memberikan komentar terhadap sabda Nabi ini sebagai berikut : “Ini hadits yang baik lagi sah atas syarat Muslim”. ( Kitab Al-Mustadrak ‘ala l`Shahihayn 3/148).
3. Surah Ali ‘Imran:61
Ayat ini disebut sebagai ayat mubahalah karena di dalamnya ada ajakan untuk ber-mubahalah dengan para pendeta nasrani. Adapun terjemahannya: “Siapa yang menbantahmu tentang dia (Al-Masih) setelah datang kepadamu ilmu, maka katakanlah (kepada mereka): Marilah, kami memanggil anak-anak lelaki kami dan (kamu memanggil) anak-anak lelaki kamu, perempuan-perempuan kami dan perempuan-perempuan kamu dan diri-diri kami serta diri-diri kamu, kita bermubahalah dan kita tetapkan laknat Allah atas mereka yang berdusta”.
Saksi sejarah yang hidup dan kekal yang diriwayatkan ahli-ahli tarikh dan tafsir telah memberikan kejelasan kepada khalayak akan kesucian keluarga Nabi saw yaitu Ali, Fathimah, Hasan dan Husain. Ayat tersebut menunjukan betapa agungnya kadar dan kedudukan mereka di sisi Allah ‘azza wa jalla.
Diantara kasus yang disampaikan para muarrikh, mufassir dan muhaddits ialah peristiwa mubahalah, yaitu ketika datang utusan dari masyarakat keristen Najran untuk membantah Rasulullah—shalla l`llahu ‘alayhi wa alihi wa sallam—kemudian Allah Ta’ala menurunkan ayat di atas agar beliau memanggil Ali, Fathimah. Hasan dan Husain. Beliau keluar membawa mereka ke lembah yang telah ditentukan dan para pemimpin keristen pun membawa anak-anak dan perempuan-perempuan mereka.
Al-Zamakhsyari dalam tafsirnya Al-Kasysyaf berkata : “Sersungguhnya ketika mereka diseru untuk bermubahalah mereka mengataakan : ‘Nanti akan kami pertimbangkan terlebih dahulu’. Tatkala mereka berpaling (dari mubahalah) berkatalah mereka kepada Al-Aqib—yang menjadi juru bicara mereka : ‘Wahai hamba Al-Masih, bagaimanakah menurutmu?’ Dia berkata: Demi Allah, kalian juga tentu mengetahui wahai umat nasrani bahwa Muhammad adalah seorang Nabi dan Rasul. Dia datang kepadamu membawa penjelasan mengenai Isa (Yesus). Demi Allah tidak ada satu kaum pun yang mengadakan mubahalah dengan seorang Nabi lalu mereka hidup. Dan jika kalian melakukan mubahalah dengannya niscaya kalian semua pasti binasa, dan apabila kalian ingin tetap berpegang kepada ajaran kalian maka tinggalkan orang tersebut dan pulanglah ke kampung halaman kalian”.
Keesokan harinya Nabi saw datang dengan menggendong Husayn dan menuntun Hasan dan Fathimah berjalah di belakang beliau sedang Ali berjalan di belakang Fathimah. Nabi bersabda : “Bila aku menyeru kalian maka berimanlah !”. Melihat Nabi dan Ahlulbaitnya, berkatalah uskup Najran : “Wahai umat keristen, sungguh aku melihat wajah-wajah yang sendainya mereka berdoa kepada Allah agar Dia (Allah) menghilangkan sebuah gunung dari tempatnya pasti doa mereka akan dikabulkan, oleh karena itu tinggalkan mubahalah sebab kalian akan celaka yang nantinya tidak akan tersisa seorang keristen pun sampai hari kiamat”.
Akhirnya mereka berkata : “Wahai Abul Qasim, kami telah mengambil keputusan bahwa kami tidak jadi bermubahalah, namun kami ingin tetap memeluk agama kami.” Rasul bersabda : “Jika kalian enggan mubahalah maka terimalah Islam bagi kalian dan akan berlaku hukum atas kalian sebagai mana berlaku atas mereka (muslimin yang lain).”
Kemudian Al-Zamakhsyari–rahimahu l`llah–menjelaskan kedudukan Ahlulbait ketika menafsirkan ayat mubahalah, setelah dia menjelaskan keutamaan mereka melalui riwayat dari Aisyah dengan mengatakan : “Diantara mereka ada yang diungkapkan dengan anfusana (diri-diri kami); ini adalah untuk mengingatkan akan tingginya kedudukan mereka dan ayat ini adalah dalil yang sangat kuat dari-Nya atas keutamaan ashhabu l`kisa` (Ahlulbait) as”.
Pertunjukan mubahalah yang tidak terjadi itu telah menampilkan dua kekuatan yaitu iman versus syirik, dan manusia-manusia mukmin yang tampil waktu itu (Rasulullah, Ali, Fathimah, Hasan dan Husayn) adalah para tokoh petunjuk, umat terkemuka dan orang-orang suci. Seruan mereka tidak boleh dibantah dan kalimat mereka tidak boleh didustakan. Dari sini kita dapat memahami bahwa apa-apa yang datang dari mereka baik pemikiran, syari’ah, tafsiran, petunjuk maupun pengarahan adalah berlaku; mereka adalah orang-orang yang benar dalam ucapannya, perjalanan hidupnya dan tingkah lakunya.
Al-Quran telah menganggap setiap yang berlawanan dengan mereka adalah musuh-musuh, dan menjadikan musu-musuh mereka sebagai orang-orang yang berdusta serta berpaling dari kebenaran yang sepantasnya mendapat laknat dan azab. “…maka kami jadikan laknat Allah atas mereka yang berdusta.”
Dan juga dari segi bahasa yang sangat dalam pada ayat tersebut yang harus kita perhatikan, yakni ketika mereka disandarkan kepada Nabi. Hasan dan Husayn disebut sebagai “anak-aknak kami”, Fathimah sebagai perempuan-perempuan kami” dan Ali sebagai “diri-diri kami”. Di sini Imam Ali disandarkan kepada diri Nabi yang suci.
Sesungguhnya Rasulullah—shalla l`llahu ‘alayhi wa alihi wa sallam–hanya mengeluarkan empat orang ke arena mubahalah, ini berarti memberikan penjelasan kepada kita bahwa Fathimah Al-Zahra`–‘alayha l`salam–perempuan pilihan yang harus diteladani umat manusia; Imam Hasan dan Imam Husayn as adalah anak-anak umat yang wajib kita taati sedangkan Imam Ali as adalah dianggap diri Nabi sendiri.
Ahlulbait dalam Sunnah Nabi saw
Orang yang membaca sunnah-sunnah Nabi saw, perjalanan hidupnya dan memperhatikan hubungannya dengan Ahlulbaitnya yang telah ditegaskan di dalam Al-Quran yakni Ali, Fathimah adan kedua putranya, pasti dia mengetahui bahwa Ahlulbait Nabi mempunyai tanggung jawab risalah dengan umat ini. Rasulullah saw telah menggariskannya untuk umat agar mereka menerimanya sebagai perinyah dari Allah ‘azza wa jalla.
Langkah pertama yang ditempuh Nabi saw ialah melaksanakan perintah Allah, yaitu menikahkan Fathimah kepada Ali bin Abi Thalib. Beliau menanam pohon yang diberkati agar cabang-cabangnya menjangkau segala ufuk umat ini di sepanjang sejaarahnya.
Tentang pernikahan itu Nabi bersabda kepada Imam Ali—salam atasnya : “Sesungguhnya Allah telah memerintahkanku agar aku menikahkanmu kepada Fathimah dengan mahar empat mitsqal perak jika engkau rela dengan yang demikian.” Dia berkata: “Aku rela dengan yang demikian.”
Dari pernikahan yang diberkati itu lahir Imam Hasan dan Imam Husayn. Dan dari sulbi Imam Husayn lahir sembilan Ahlulbait Nabi yang suci. Dzurriyyah (keturunan) Nabi melalui sulbi Imam Ali as sebagaimana yang beliau katakan : “Sesungguhnya Allah telah menjadikan keturunan setiap nabi dari sulbinya, tetapi dzurriyyahku dari sulbi orang ini yakni Ali.”
Cerita Ahlulbait Rasulullah SAWW dalam sunnahnya lebih banyak lagi, baik tentang Fathimah sebagai sayyidatu nisa l alamin, pengangkatan Ali sebagai khalifah yang pertama, Ahllulbait sebagai padanan Al-Quran, kedudukan mereka, dua belas imam maupun yang lainnya. Di sini kita ceritakan dua hal saja, yaitu yang paling mengikat: Ahlulbait sebagai bahtera keselamatan dan Ahlulbait
pandangan Al-Quran.
Bahtera Keselamatan
Abu Nuaym telah meriwayatkan hadits yang sanadnya dari Sa’id bin Jubayr dari Ibnu Abbas dia berkata bahwa Rasulullah saw telah mengatakan : “Perumpamaan Ahlulbaitku pada kamu adalah semisal bahtera Nuh as barangsiapa yang mengikutinya pasti selamat dan yang berpaling darinya pasti dia tenggelam.” Hadits Nabi ini diriwayatkan Al-Hakim dalam Al-Mustadrak ala l Shahihayn 2/343. Dia berkata : Hadits ini sah berdasarkan persyaratan Muslim. Pesan dari sunnah Nabi ini ialah bahwa kita hanya akan selamat jika mengikuti Ahlulbait Nabi yang disucikan.
Ahlulbait telah dijamin kesuciannya, mereka yang menjaga tafsir Al-Quran dan sunnah-sunnah Rasulullah SAWW, mereka yang menjaga kesucian ajaran Islam dari penambahan dan pengurangan, dari bid’ah, khurafat dan takhayyul.
Supaya umat tidak tersesat, maka Rasulullah SAWW berpesan kepada manusia agar tida tersesat jalan, sabdanya : “Wahai umat manusia! Sesungguhnya telah kutinggalkan pada kamu yang apabila kamu berpegang dengannya kamu tidak akan tersesat; kitab Allah dan ‘itrahku Ahlulbaitku.” (HSR Al-Turmudzi 2/308).
Ahlulbait Dikenal Umat Terdahulu
Ahlulbait telah dikenal oleh umat-umat terdahulu, antara lain oleh Nabi Adam, Nabi Nuh, Nabi Musa as.
Nabi Adam as telah bermohon kepada Allah dengan hak mereka. Ibn Abbas telah berkata : “Saya telah bertanya kepada Rasulullah SAWW tentang kalimat-kalimat yang telah diterima Adam dari Rabb-nya hingga Dia menerima taubatnya. Nabi saw bersabda : “Dia telah bermohon (kepada Allah) : Dengan hak Muhammad, Ali, Fathimah, Hasan dan Husayn terimalah taubatku, lalu Dia menerima taubatnya”. (Al-Durr al-Mantsur ketika menafsirkan firman Allah ‘azza wa jalla : “fatalaqqa ‘Adamu min Rabbihi kalimat,” (QS. Al-Baqarah 37), baca juga kitab Kanzu l`‘Ummal 1:234.
Sebuah team ahli peneliti Rusia telah menemukan tumpukan kayu bekas kapal Nabi Nuh as. yang di dalamnya terdapat tulisan doa tawassul dengan Nabi Muhammad saw dan Ahlulbaitnya.
Mohammad, Ali, Hassan, Hossain, Fatema
In july 1951 a team of Russian expert search of mines in the vicinity of Mt. Jude on the border of Soviet Union and Tukey came a cross some buried dilapidated wooden planks, etc.,of unusual disposition. Amog the planks was a wooded plate about 14 inches long and ten iches wide. On the plate was engraved some words in old unknown language. In 1953 the Government of Soviet Union appointed an Investigation Commission seven specialits who concluded that these planks were part of the famous Arc of Noah and the wording engraved on the plate belong to a very old language known as Samani. These wordings were transformed into Russian and also translated into English by Professor N.F. Thomas, expert of old language from Manchester, England. There was a small figure of a palm of a hand and five fingers the wording were Mohammed, Alia, Shabber, Shabbir Fatema. “O my God, my helper I keef my hand with mercy with your holy bodies. They are all beggest and honorable. The world was established for them. Help me by their name, you can reform light.”
This plate is savely preserved in the Museum of Archeology and Research, moscow, Soviet Union.
Muhammad, Ali, Hasan, Husayn dan Fathimah
Pada bulan Juli tahun 1951, sebuah team riset Rusia di sekitar gunung Judi di perbatasan Uni Soviet dan Turki secara tidak sengaja, mereka menemukan beberapa kuburan tumpukan kayu-kayu yang telah bobrok yang terssusun secara luar biasa. Di antara tumpukan kayu tersebut ditemukan satu plat kayu yang berukuran sekitar 10 x 14 inci. Pada palat kayu tersebut terukir beberapa kalimat dalam bahasa kuno yang sudah tidak dikenal. Pada tahun 1953 pemerintah Uni Soviet menunjuk sebuah komisi peneliti yang terdiri dari tujuh orang ahli (untuk meneliti penemuan tersebut), mereka menyimpulkan bahwa tumpukan kayu itu adalah bagian bahtera Nabi Nuh as yang terkenal itu. Dan kata-kata yang terukir pada plat kayu adalah kata-kata dari bahasa Samani, yaitu suatu bahasa yang sudah sangat tua. Kata-kata tersebut telah diterjemahkan ke dalam bahasa Rusia dan Inggris oleh Prof. N.F. Thomas, seorang ahli bahasa-bahasa kuno dari Manchester, Inggris.
Pada plat kayu itu terdapat ukiran telapak tangan dengan lima jari. Pada kelima jari tersebut terdapat tulisan masing-masing: Muhammad, Ali, Hasan (syabar), Husayn (Syubayr), dan Fathimah. (Di bawahnya terdapat doa tawassul kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan mereka): “Wahai Tuhanku, wahai penolongku, aku berdoa dengan kemurahan-Mu melalui tubuh-tubuh suci yang Engkau ciptakan, mereka terbesar dan termulia, tolonglah aku melalui nama mereka, engkaulah yang mendatangkan cahaya”.
Plat kayu itu sekarang terpelihara dengan aman pada Museum Arkeologi dan Riset, Moscow, Uni Soviet. (Sumber : The Bulletin of The Islamic Center “UNDER SIEGE” P.O. BOX 32343 Wahington D.C. N.W. 20007 Vol. 7 No. 10 Rabi al-Awwal 6, 1408/Oktober 30,1987)
Pada zaman Nabi Musa as, ketika Bani Isra`il diperintahkan Allah untuk mencari lembu betina dan mereka sangat rewel menerima perintah tersebut hingga akhirnya mereka merasa kesulitan dalam pencariannya sebab sapi betina itu sifat-sifatnya harus kuning langsat yang elok dipandang mata, tidak terlalu muda dan tidak terlalu tua, tidak ada belangnya sedikit pun dan belum pernah digunakan untuk membajak tanah. Kemudian sapi tersebut mereka temukan namun harganya sangat mahal karena memang sapi betina tersebut tidak akan dijual. Akhirnya mereka kumpulkan harta untuk membayarnya. Setelah itu Bani Isra`il jatuh miskin dikarenakan hartanya habis dipakai membayar lembu betina, lantas mereka protes kepada Nabi Musa as. Kemudian Nabi Musa as berkata kepada mereka : “Jahil kamu, alangkah butanya hati-hati kamu tidakkah kamu dengar doa pemuda yang punya lembu betina itu dan kekayaan yang diwarirkan Allah ta’ala kepadanya ? Tidakkah kamu dengar doa orang yang dibunuh yang digergaji yang dikaruniai usia panjang dan kebahagiaan serta kenikmatan dengan inderanya ? Mengapa kamu tidak berdoa semisal doa tawassul mereka agar Dia menutup kemiskinan kamu ?”. Kemudian mereka mengatakan (dalam doanya) : “Ya Allah, kepada-Mu kami berlindung dan kepada karunia-Mu kami bersandar, maka hilangkanlah kemiskinan kami dan tutuplah kebutuhan kami dengan keagungan Muhammad, Ali, Fathimah, Hasan dan Husayn dan orang-orang yang baik dari keluarga mereka.” Kemudian tidak lama setelah mereka berdoa, Allah ta’ala mengembalikan kekayaan mereka. (Qashashu l`Anbiya` Hal 326).
Adapun arti dari doa tawassul tersebut adalah sebagai berikut : “Ya Allah, sesungguhnya kami menghadap kepada-Mu dan berlindung kepada-Mu dari kesulitan dan kemiskinan dengan hak Muhammad, Ali, Fathimah, Hasan dan Husayn”. (Qashashu l`Anbiya`).
Sabda Rasulullah SAWW tentang Mereka
“Fahtimah belahan nyawaku, maka barangsiapa yang membuatnya marah berarti dia telah membuatku marah.” (Shahihu l`Bukhari 2/308).
“Dia (Fathimah) adalah belahan nyawaku, maka barangsiapa yang mencemaskannya berarti dia telah mencemaskan diriku, dan barangsiapa yang manyakitinya berarti dia telah menyakiti diriku”. (Shahihu l`Bukhari 3/265).
“Wahai Ali engkau adalah penghulu di dunia dan penghulu di akhirat. Yang mencintaimu berarti mencintaiku, dan yang mencintaiku berarti mencintai Allah. Musuhmu berarti musuhku, dan musuhku adalah musuh Allah. Dan celakalah orang yang membencimu setelahku”. (Al-Mustadrak ‘ala l`Shahihayn 3/127).
“Barangsiapa mencintai Hasan dan Husayn berarti dia telah mencintaiku, dan barangsiapa yang membenci mereka maka sesungguhnya dia telah membenciku”. (HR. Ibnu Majah, Musnad Al-Imam Ahmad Ibn Hanbal 2/288).
Penutup
Ahlulbait dalam surah Al-Ahzab 33 tidak berkenaan dengan istri-istri Rasulullah saw baik dilihat dari segi bahasa, asbabu l`nuzul, bayan dari Rasulullah SAWW, riwayat dari sebagian istri Nabi maupun secara faktual, karena disucikan sesuci-sucinya itu berarti tidak melakukan dosa-dosa dan kesalahan, sedangkan sebagian dari istri Nabi keadaannya tidaklah demikian.
Ahlulbait dalam Al-Ahzab 33 adalah Ali, Fathimah, Hasan, dan Husayn. Pada waktu ayat tersebut turun, mereka itulah Ahlulbait Rasulullah SAWW yang dihilangkan keraguannya dan disucikan (muthahharun). Ahlulbait Rasulullah yang disucikan masih ada sembilan orang lagi dari keturunan Imam Husayn as, mereka itu adalah : Ali Zaynu Abidin, Muhammad Al-Baqir. Ja’far Al-Shadiq, Musa Al-Kadzim, Ali Al-Ridha, Muhammad Al-Jawad, Ali Al-Hadi, Hasan Al-Askari dan Muhammad Al-Mahdi (Imam Mahdi yang ditunggu-tunggu kehadirannya) –salam atas mereka semuanya. Salman Al-Farisi—semoga Allah merahmatinya—telah mengatakan : “Saya datang kepada Rasulullah dan Husayn sedang berada pada pangkuan beliau, beliau mencium kedua matanya dan mengecup lidahnya seraya beliau mengatakan : Engkau sayyid putra sayyid, engkau imam putra imam ayah para imam, engkau hujjah putra hujjah ayah para hujjah, sembilan orang lagi dari shulbimu dan yang kesembilannya adalah penegaknya (qa`imnya)’”.
Jadi Ahlulbaitnnya Rasulullah SAWW itu tiga belas (13) orang (Fathimah Al-Zahra` dan para khalifah Rasulullah yang dua belas (12). Umat Islam tidak boleh membenci mereka, sebab membenci mereka berarti membenci Rasulullah sedangkan membenci Rasulullah berarti membenci Allah ‘Azza Wa Jalla, dan akhirnya ibadah kita kepada-Nya menjadi sia-sia.
Semoga Allah ta’ala memberi hidayah dan taufiq kepada kita dan kaum muslim yang lain hingga kita dapat menerima apa yang telah dipesankan Rasulullah SAWW : “Wahai manusia telah kutinggalkan padamu yang jika kamu berpegang dengannya niscaya kamu tidak akan tersesat; kitab Allah dan ‘itrahku Ahlulbaitku”.
Istri Nabi SAWW (Kisah tentang Hadits al-Ifk)
Istri Nabi SAWWWAYS
Kisah tentang Hadits al-Ifk ( tuduhan kepada salah seorang arti Nabi SAWW ) sangat popular.Bahkan surat al – Nur secara mendetail menyinggung kisah tersebut. Ayat – ayat yang berhubungan dengan kisah ini dimulai dari ayat ke 11 hingga ayat ke 26
Buku-buku tafsir, hadis, dan sejarah Islam memiliki 2 persepsi seputar wanita yang menjadi tertuduh: Pertama, para mufassir, ahli hadis, dan sejarawan Ahlussunnah berpendapat bahwa dia adalah Aisyah, putri Abu Bakar. Pendapat ini bersumber dari hadis yang perawinya adalah Aisyah sendiri; denga penjelasan yang akan kami uraikan nati. Sebagaian tafsir sejarah Syiah,lantaran tidak jeli, juga berpendapat yang sama.
Kedua, sebagian besar kitab-kitab tafsir Syiah menulis bahwa peristiwa Ifk ( berita bohong ) terjadi dikarenakan Aisyah melempar tuduhan terhadap istri Nabi SAWW yang bernama Mariah, yang berasal dari Mesir.
Sekarang marilahkita bahas pendapat pertama, dan setelah itu kita akan sampaikan pendapat kita, yaitu pendapat kedua
Aisyah berkata, “ Tradisi Nabi, ketika hendak bepergian, adalah mengundi nama-nama istrinya; dan nama siapa saja yang keluar, maka dia akan dibawa bersamanya. Pada peperangan dengan bani Musthalik, nama saya keluar dalam undian dan saya saat itu pergi bersamanya.”
“Setelah peperangan usai dan musuh pun dapat dikalahkan, pada salah satu pemukiman di pertengahab jalan Madinah, pada suatu malam ketika kafilah hendak beranjak pergi, saya menuju ke suatu tempat untuk membuang hajat. Dan ketika saya kembali, ternyata kalung saya hilang. Saya pergi ke tempat semula untuk mencari hingga dapat. Ketika saya kembali ke pemukiman, ternyata kafilah telah berlalu dengan anggapan bahwa saya berada dalam tandu. Mereka mengangkat dan mengikatnya pada tubuh unta dan pergi.”.
“Saat itu,salah seorang berasal gurun pasir mendekati saya. Dan karena dia mengenali saya, maka dia rebahkan untahnya,menaikkan saya, dan mengantar saya hingga ke kafilah. Karena kejadia ini, orang – orang munafik membuat sebuah keributan, sehingga Nabi SAWW mengirim saya pulang kerumah ke rumah orng tua saya. Ketika ayat – ayat Ifk turn dan Allah telah membersihkan nama saya dari apa yang mereka tuduhkan kepada saya, barulah pandangan Nabi terhadap saya berubah!”
Inilah ringkasan kisah Ifk dan turunnya 16 ayat dalam surat al-Nur yang m eriwayatkan Aisyah. Apabila kisahnya memang demikian, sesuai dengan apa yang dikatakan Aisyah, maka dalam hadis tersebut terdapat sanggahan yang harus dijawab :
1. Mungkinkah Nabi SAWW mengizinkan istri mudanya keluar robongan di
malam hari dan pergi sendirian ke tempat yang gelap serta jauh di gurun pasir
tanpa sepengetahuan beliau ?
2. Begitu teledorkah Nabi SAWW ( kami berlindung kepada Allah ) terhadap
Istrinya sehingga ketika akan pergi beliau tidak tahu apakah istrinya berada
di tandu atau tertingga? Sampai-sampai, seorang Badui menemukan, memberikan tumpangan, dan menghantarkannya hingga ke rombongan?
3. Sejauh itukah ketidaktahuan Nabi SAWW tentang benar atau bohongnya
tuduhan orang-orang munafik, sampai-sampai ayat Ifk harus turun, dan
barulah kemudian beliau yakin bahwa perkataan orang-orang munafik itu
hanyalah tuduhan belaka dan Aisyah terbebas daru tuduhan, sehingga dia pun diterima kembali oeleh Nabi SAWW dan kembali ke rumah?
4. Pantaskah bagi Nabi SAWW menjauhi istrinya dan berburuk sangka kepada
Aisya hanya karena isu yang dihembuska orang-orang munafik, sehingga dapat menyebabkan kepribadian dan harga diri istri serta beliau sendir?
Semua ini adalh poin-poin belum jelas yang dapat dilihat dalam hadis Ifk secara transparan, dan menerima kisah tersebut dari Aisyah tentu mendatangkan keraguan.
Adapun dalam hadis-hadis mu’tabar (yang diakui) Syiah berkenaan dengan Hadits Al-Ifk, dengan jelas disebutkan bahwa masalahnnya tidalah seperti itu. Dengan demikian,
Sanggahan-sanggahan diatas diatas tak satupun mengena.
Dalam kasu ini, Syiah meriwayatkan bahwa pada suatu hari, Nabi SAWW menunjukkan
Ibrahim, putta kecil beliau dari istrinya yang berkebangsaan Mesir bernama Mariah, kepada Aisyah dan berkata, “ Lihatlah, alangkah miripnya (ia) dengan saya .”
Aisyah menjawab, “Tidak! Saya tdak melihat adanya kemiripan denganmu!”
Aisyah ingin menuduh Mariah melalui jalur ini, Sebab, dialah (Mariah) satu-satunya wanita yang mempunyai anak dari Nabi SAWW, Setelah Khadijah. Sementara Aisyah hanyalah wanita muda yang di persunting Nabi SAWW. Dia tidak bisa menyaksikan pemandangan ini dan harus bersabar ( dengannya). Aisyah sendiri berkata, “ Keadaan yang dialami oleh setiap wanita telah terjadi padaku.”
Namun, menurut Almarhum Allamah Sayyid Abdul Husain Syarafudin al-Amili, “Allah membersihkan nama Ibrahim beserta ibunya dengan perantara Amirul Mukminin Ali bin Abi Tholib.” Hakim al- Naisyaburi, menukilkan kisah itu dari Aisyah, dalam hadis sahih Mustadrak, dan Dzahabi mengutp dalam al-Talkhis-nya. Lihatlah Mustadrak jilid ke-4 dan al-Talkhis halaman 39 dan bersiaplah anda terheran-heran!
Sebagaimana yang terdapat dalam Hadis al-Ifk berkenan dengan buruk sangka dan iri hati Aisyah kepada Mariah, Isri lain Nabi SAWW, dapat di simpulkan bahwa karean Aisyah tahu bahwa dirinya tidak mempunyai anak, sementara dia melihat anak tirinya digenong Nabi SAWW, maka dia menuduh Mariah dengan melibatkan seluruh keluarga dan orang banyak serta membuat keributan. Tujuan Allah menurunkan ayat-ayat Ifk adalah membersihkan nama Mariah dari tuduhan Aisyah orang-orang munafik yang telah mengatur rencana (jahat) dan berakhir dengan sesuatu yang tidak sesuai dengan tujuan Aisyah; lantaran beberapa alasan (fakta):
1. Allah telah membersihkan nama Mariah, bukan Aisyah.
2. Aisyahlah yang telah mnuduh Mariah, sehingga menyebabkan orang-orang . munafik pemperpanjang masalah dan membuat keributan
3. Ayat-ayat Ifk diturunkan dalam rangka mencibir Aisyah, bukan membela-
nya, apalagi setelah adanya cerita yang tidak sesuai fakta.
4. Dengan fakta ini jelaslah bahwa tujuan Aisyah dalam membuat hadis terse
but adalah menyesatkan arah turunya ayat-ayat Ifk dan mengarahkannya
pada kepentingan sendiri. Sebab, saat itu, kekuasaan berada ditangan ayah
nya . Dia dapat menghapus perbuatan dan kesalahan dirinya serta mengubah
nya untuk membersihkan namanya. Adapun berkenaan dengan masalah lain,
ia malah membuatnya tampak semakin jelas.
Inialah terjemahan ayat-ayat Ifk yang tentunya saja para pembaca terhormat tidak akan mengira seperti itu:
Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita kebohongan itu adalak dari golongan kamu juga. Janganlah kamu kira bahwa berita itu buruk bagi kamu, bahkan ia adalah baik bagi kamu. Tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang mengambil bahgian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu baginya azab yang besar.(al-Nur:11)
Mengapa di waktu kamu mendengar berita bohong itu orang-orang
mukminin dan mukminat tidak bersangka baik terhadap diri mereka sendiri,
dan (mengapa tidak) berkata: “Ini adalah suatu berita bohong yang nyata.”
(al-Nur:12)
Mengapa mereka (yang menuduh itu) tidak mendatangkan empat orang
saksi atas berita bohong itu? Oleh karena mereka tidak mendatangkan saksi-
saksi maka mereka itulah pada sisi Allah orang-orang yang dusta.
(al-Nur: 13)
Sekiranya tidak ada karunia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu semua di
dunia dan di akhirat, niscaya kamu ditimpa adzab yang besar, karena
pembicaraan kamu tentang berita bohong itu.(al-Nur: 14)
(Ingatlah) di waktu kamu menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut
dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikit
juga, dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja. Padahal dia pada
sisi Allah adalah besar. (al-Nur:15)
Dan mengapa kamu tidak berkata, di waktu mendengar berita bohong itu:
“Sekali-kali tidaklah pantas bagi kita memperkatakan ini. Maha Suci Engkau
(Ya Tuhan kami), ini adalah dusta yang besar.” (al-Nur; 16)
Allah memperingatkan kamu agar (jangan) kembali memperbuat yang
seperti itu selama-lamanya, jika kamu orang-orang yang beriman,
(al-Nur; 17)
dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kamu. Dan Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (al-Nur; 18)
Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji
itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka adzab yang
pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah mengetahui, sedang, kamu tidak
mengetahui. (al-Nur; 19)
Dan sekiranya tidaklah karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu
semua, dan Allah Maha Penyantun dan Maha Penyayang, (niscaya kamu
akan ditimpa adzab yang besar). (al-Nur; 20)
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengikuti langkah-langkah.
syaitan. Barang siapa yang mengikuti langkah-langkah syaitan, maka
sesungguhnya syaitan itu menyuruh mengerjakan perbuatan yang keji dan
yang mungkar. Sekiranya tidaklah karena karunia Allah dan rahmat-Nya
kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorang pun dari kamu bersih (dari
perbuatan-perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya, tetapi Allah
membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Mendengar lagi
Maha Mengetahui. (al-Nur; 21)
Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di
antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan)
kepada kaum kerabat (nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang
berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang
dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah
adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (al-Nur; 22)
Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik,
yang lengah lagi beriman (berbuat zina), mereka kena laknat di dunia dan
akhirat, dan bagi mereka adzab yang besar, (al-Nur; 23)
pada hari (ketika), lidah, tangan dan kaki mereka menjadi saksi atas mereka
terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan. (al-Nur;24)
Di hari itu, Allah akan memberi mereka balasan yang setimpal menurut
semestinya, dan tahulah mereka bahwa Allahlah Yang Benar, lagi Yang
menjelaskan (segala sesuatu menurut hakikat yang sebenarnya).
(al-Nur; 25)
Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang
keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik
adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-
wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang).
dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka ampunan dan rezeki
yang mulia (surga). (al-Nur; 26)
Manakah yang terbodoh ?
Ada tiga orang anak yang saling bertanya:
Agus bertanya : Antara Batman dan Superman manakah yang paling bodoh?
Ani menjawab : Tentu saja Batman
Tono bertanya : Mengapa Batman?Agus menjawab : Karena sama-sama mempunyai kain dibelakannya tapi Batman tidak bisa terbang.
Agus bertanya : Antara Batman,Robin dan Superman manakah yang terbodoh?
Ani menjawab : Tentu saja Robin,ya kan gus?
Tono bertanya : Mengapa Robin?
Agus menjawab: Jelas Robin…sudah tahu Batman bodoh tidak bisa terbang …eh masih diikutin juga….
( Orang yang bijak pasti mengerti akan cerita tersebut diatas )
Segera mIliki Buku ini yang diterbitkan oleh AR Risallah Islamic Centre Foundation
Nikah Mut'ah sama dengan menganggap wanita pemuas hawa nafsu, tidak adabeda dengan orang ke komplek pelacuran, hanya perlu sepakat harga dan lamanya tidak perlu saksi dst, walau seribu dalil di keluarkan syiah tetap saja menganggap wanita sebagai budak nafsu, ( Bagaimana kalau adik perempuanmu ku Mut'ah dulu ) biar mencapai derajatnya Husein (Huseinnya hayalan Syiah)
Bagi kami Ahlu sunnah istri nabi adalah Ahlul Bait Buakan seperti kalian syiah mengkafirkan Istri Rasulullah karena ayat Al Ahzab 31 - 33 Jelas mengatakan Istri Nabi sebagai Ahlul Bait (Baca Tafsir) mau dikatkan dengan hadist kitsa itu cuma paham syiah sendiri, dan yang lebih aneh lagi menurut kalian syiah Ahlul bait harus dari keturunan Rasulullah, tapi nyatanya Ali bin Abi Thalib bukan keturunan Rasulullah tapi keponakan dan sekaligus menantu, kami ahlu sunnah mengakui Ali r.a Bin Abi Thalib sebagai Ahlul bait, tetapi jelas beliau bukan keturunan Rasulullah
tunjukan kitap Ilbnu Taimiah yang menyimpang dari Ahlu Sunnah
Tunjukan Kitap ahlu sunnah yang mana Ibnu Taimiah di sepakati olaeh ulama keluar atau menyimpang dari ahlu sunnah
Tunjukan Kitap Ibnu Taimiah Yang menyangkal ke utamaan Ali Bin Abi Thalib
kalau anda tidak bisa menunjukkan ber arti anda memfitnah
begitu banyak kitap yang anda miliki tapi tidak tau kalau Rasulullah melarang menghujat orang yang telah mati
Dialog Ringan 1 (Mut’ah)
Sugeng : Syiah menghalalkan Mut'ah?
Jamal : Ya. Semua nikah pada dasarnya adalah mut'ah. Coba liat sebagian ayat yang menjelaskan nikah, menggunakan kata istamta'tum. Lagi pula, tidak ada orang waraspun yang mau nikah utk tersiksa.
Sugeng : Lho itu kan ayat yg dijadikan Syiah sbg dalil ttg Mut’ah?
Jamal : Ya, tapi karena diharamkan, kami pun menjadikannya sbg dalil untuk nikah secara umum.
Sugeng : Ya, kami yakini ayat itu ttg nikah tak bejangka.
Jamal : Lho, semua nikah berjangka.
Sugeng : Tidak bisa!
Jamal : Bisa dan anda Ahlussunnah juga mempercayainya.
Sugeng : Apa dalilnya?
Jamal : Perceraian dan kematian adalah jangka akhir nikah. Karena itu, wanita yang diceraikan atau ditinggal wafat dibolehkan nikah lagi. Ini yang disepakati oleh seluruh ulama. Jadi, pada dasarnya.semua nikah adalah mut’ah dan semua nikah berjangka.
Sugeng : Tidak bisa!
Jamal : Kalau begitu, jangan nikah!
Kunjungi (kalau berani???) http://satriasyiah.wordpress.com/
Dialog Ringan (3) Sahabat Nabi
Sugeng : Orang-orang Syiah tidak menghormati sahabat Nabi, bahkan mencaci maki mereka.
Jamal : Syiah tidak akan mencaci sahabat.
Sugeng : Alaaah… Itu taqiyah.
Jamal : Syiah tidak akan mencaci sahabat karena dalam definisi umum, Ali bin Abithalib, Fathimah Zahra juga sahabat.
Sugeng : Mereka kan dianggap Ahlulbait...
Jamal : Mereka adalah keluarga (Ahlulbait) sekaligus sahabat.
Sugeng : Bukankah Syiah, dalam beberapa riwayatnya, mengecam para sahabat Nabi….?
Jamal : Benar sebagian Syiah mengecam sebagian sahabat Nabi.
Sugeng : Nah, jelas kan, Syiah memang mengecam para sahabat!?
Jamal : Oh, itu… Mengecam sebagian sahabt Nabi tidak hanya dilakukan oleh Syiah. Sebagian ulama non Syiah juga melakukannya.
Sugeng : Tidak mungkin. Ulama kami sepakat untuk menganggap seluruh sahabat itu adil (udul).
Jamal : Sejauh yang saya ketahui, kebanyakan orang yang memanggil Nabi saat berada di kamar (al-hujarat) dikecam oleh Allah sebagai orang-orang yang “tidak berakal”. Dan semua ayat yang melaknat para pembohong dan ayat2 kecaman lainnya berlaku berlaku atas setiap manusia, termasuk sahabat Nabi.
Sugeng : Bisa aja!
Jamal : Emang bisa!
Sugeng : Ya, tapi kan ada riwayat dalam kitab Syiah yang mencaci sahabat-sahabat besar yang sangat kami hormati.
Jamal : wah, itu hanya satu riwayat. Toh dalam kitab riwayat non Syiah juga terdapat banyak riwayat yang menghina sahabat Nabi yang sangat kami hormati.
Sugeng : Mana mungkin?
Jamal : Mungkin dan ada, namun kami tidak menganganggap riwayat itu sebagai bukti bahwa mazhab anda mengecam para sahabat.
Sugeng : Dimana? Sebutkan.
Jamal : Dalam tafsir Ibnu Katsir, disebutkan sebuah riwayat bahwa ayat pengharaman mabuk saat shalat turun karena Ali bin Abi Thalib sedang shalat dalam keadaan mabuk. Telah menceritakan kepada kami Musaddad yang berkata telah menceritakan kepada kami Yahya dari Sufyan yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Atha’ bin As Saaib dari Abu Abdurrahman As Sulami dari ‘Aliy bin Abi Thalib “bahwa ada seorang laki-laki dari golongan Anshar memanggilnya dan Abdurrahman bin ‘Auf kemudian ia memberi mereka khamar sebelum diharamkan. Kemudian Ali mengimami mereka dalam shalat maghrib dan membaca “qul yaa ayyuhal kaafiruun” dan ia pun salah dalam membacanya. Maka turunlah ayat “janganlah kamu shalat sedang kamu dalam keadaan mabuk sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan” [Sunan Abu Dawud 2/350 no 3671]
Sugeng : Mana mungkin?
Jamal : Tidak mungkin kami menganggap Ahlussunnah mencaci Ali bin Abithalib hanya karena sebuah riwayat yang tidak mu’tabar. Nah, tidak mungkin Ahlussunnah yang bijak menganggap Syiah mengecam sahabat Umar karena sebuah riawayat yang tidak popular dan mu’tabar.
Kunjungi (Kalau Berani???)http://jakfari.wordpress.com/
TARIF NIKAH MUT’AH DI IRAN
IRAN (voa-islam.com) – Kabar tarif kawin kontrak (nikah Mut’ah) khas Syi’ah Iran yang dirilis aansar.com ini membuat bulu kuduk merinding. Para wanita bisa disewa untuk dinikahi beberapa jam (short time) hingga beberapa hari (long time) dengan tarif hingga 300 dolar. Khusus kawin kontrak dengan gadis yang masih perawan dapat bonus 150 dolar. Pelacuran yang dihalalkan berkedok agama?
Sejak lama, Astan Quds Al-Ridhawy mengumumkan permintaan untuk mendatangkan para gadis yang umurnya berkisar antara 12 hingga 35 tahun untuk melakoni profesi Mut’ah. Astan Quds Al-Ridhawy adalah yayasan yang mengurus wakaf dan urusan agama serta beberapa perusahaan bisnis besar di dalam dan di luar kawasan Khurasan.
Pengumuman ini dirilis seiring meningkatnya jumlah permintaan terhadap servis Mut’ah dari para turis yang datang ke Kota Masyhad, demi terciptanya iklim spiritual yang nyaman bagi para turis (tentu saja untuk kalangan pria dari mereka!!), serta untuk mendekatkan diri kepada Tuhan melalui pelaksanaan ritual ini.
Berikut ini terjemahan lengkap dokumen pengumuman tarif nikah Mut’ah tersebut:
Bismillahirrahmanirrahim
Nikah itu adalah sunnahku
Yayasan Astan Quds Ridhawy (Propinsi Masyhad, Kota Al-Ridha) mengumumkan tentang maksudnya untuk mendirikan sebuah markas tempat melangsungkan akad nikah untuk waktu pendek (short time) di dekat kuburan Imam Al-Ridha alaihissalam, demi meningkatkan iklim spiritual dalam masyarakat dan demi menciptakan iklim rohani dan ketenangan bagi kawan-kawan peziarah yang mengunjungi kawasan makam Imam sementara mereka jauh dari keluarga mereka.
Untuk itu, maka pihak Yayasan meminta kepada seluruh wanita mukminah yang masih perawan, yang usianya belum melampaui 12 sampai 35 tahun, pihak Yayasan mengajak mereka untuk memberikan bantuan dan terlibat dalam proyek ini.
Masa kontrak bagi wanita yang mau terlibat dalam pekerjaan ini adalah 2 tahun, dan yang menjadi kewajiban bagi wanita yang terikat kontrak dengan Yayasan al-Ridhawy adalah melakukan Nikah Mut’ah selama 25 hari setiap bulan selama masa kontrak kerja.
Dan masa kontrak akan dihitung dari bagian masa kerja, dan masa kerja untuk setiap akad (Mut’ah) berkisar antara 5 jam hingga 10 hari dengan setiap pria.
Nilai bayaran yang ditetapkan untuk setiap akad Mut’ah adalah berikut:
a. Mut’ah 5 jam : 50.000 Tuman (50 Dolar)
b. Mut’ah 1 hari: 75.000 Tuman (75 Dolar)
c. Mut’ah 2 hari: 100.000 Tuman (100 Dolar)
d. Mut’ah 3 hari: 150.000 Tuman (150 Dolar)
e. Mut’ah 4 s/d 10 hari: 300.000 Tuman (300 Dolar)
f. Khusus bagi para wanita perawan yang baru pertama kali melakukan nikah Mut’ah akan mendapatkan bonus 150.000 Tuman sebagai pengganti penghilangan keperawanannya!
Persis seperti orang ke komplek pelacuran cukup harga dan waktu tanpa saksi, tidak perlu diberi Nafkah, tidak mewarisi dll hanya menjadikan wanita sebagai budak sex atas nama agama syiah yang juga menghalalkan homo sex
Apa Hubungannya Mencaci sahabat dengan Larangan Mabuk ketika sholat, karena waktu itu belum ada larangan minum Khamar, kemudian dilarang mabuk pada waktu Sholat (An nisaa 43) kemudian dilarang secara keseluruhan (Q.S Al Maa'idah 90) makanya tidak ada orang yang mencela perbuatan tersebut.
Kalian Agama Syiah (Dikatakan Jalal Agama kita masing masing " Masihkah Tokoh syiah ini ISLAM") melaknat mencela Sahabat terutama Abu Bakar r.a, Umar r.a, Ustman r.a karena menganggap mereka merampok ke khalifahan dari Ali bin Abi Thalib, dengan dalil dalil yang dipaksakan dengan hawa nafsu untuk mewujudkan wilayah
Wani mamadahakan Ibnu Taimiyah macam macam inbah ditakuni mana buktinya kada manjawab jawab, kada salah amum di padahakan tukang sebar FITNAH DAN KARAMPUT JA
Aneh @Anonymous nih, minta bukti rujukannya, tapi admin sudah menulis buktinya diatas disambat kadada buktinya/rujukannya...aneh...bawa istighfar ja dulu nyaman kapala dingin. kada usah telalu betaklid buta wan suatu mazhab..yang jelas admin disini nih mambawai "persatuan Islam", kada usah mambawa ngaran Sunni, Syi'ah wan Wahabi, nang kada basambahyangan ja di Banjar neh hibak ja, tapi urang "Kada mauk"..jangan piragah situ aja nang ampun Banjar, mun ada nang salah ditulisan admin tuh ditulis aja balasannya disini dengan baik-baik/santun, kaitu urang baiman wan batuah tuh pintarai..kada usah pina "hamuk" banar pina situ aja "Ampun surga", jadi pembaca malihat mana nang "Bujur-bujur Ba akhlak kaya Nabi"
Aneh @Anonymous nih, minta bukti rujukannya, tapi admin sudah menulis buktinya diatas disambat kadada buktinya/rujukannya...aneh...bawa istighfar ja dulu nyaman kapala dingin. kada usah telalu betaklid buta wan suatu mazhab..yang jelas admin disini nih mambawai "persatuan Islam", kada usah mambawa ngaran Sunni, Syi'ah wan Wahabi, nang kada basambahyangan ja di Banjar neh hibak ja, tapi urang "Kada mauk"..jangan piragah situ aja nang ampun Banjar, mun ada nang salah ditulisan admin tuh ditulis aja balasannya disini dengan baik-baik/santun, kaitu urang baiman wan batuah tuh pintarai..kada usah pina "hamuk" banar pina situ aja "Ampun surga",(Banyaki mambaca buku Sunni,Buku Wahabi wan Buku Syi'ah jadi kawa mambandingakan) jadi pembaca malihat mana nang "Bujur-bujur Ba akhlak kaya Nabi" mun masalah tarif nikah mut'ah disini sudah lawas ditulis admin dibuka disini http://banjarkuumaibungasnya.blogspot.com/2012/01/wahabi-is-best-iran-berdusta-arab-saudi.html#axzz1uxfqtoxR
ADMIN KENAPA DUA KOMENTAR TERDAHULU KENAPA DIHAPUS, KU TULIS LAGI AWAN BUNYI NANG KURANG LABIH SAMA @Bubuhan Sungai Tabuk jangan dikira aku kada baca kitap yang di ditulis admin, Masalahnya aku handak Admin menulis secara LENGKAP kada SAPANGGAL SAPANGGAL, sehingga menyesatkan bagi nang mambaca, kalau JUJUR harusnya menulis secara lengkap, kanapa atau mengapa Ibnu Taimiyah menulis kitap Minhaj as Sunnah dan untuk apa, ini kada masalah persatuan tapi ini masalah KEBENARAN
Masalah sopan kada sopan itu tergantung nang menilai ja.
Amun ikam manyuruh aku banyaki mambaca ber Arti ikam sudah banyak membaca kaya apa kalau kita diskusikan malah Kitap Minhaj as Sunnah Ibnu Taimiyah atau Nikah Mut'ah, atau masalah lain agama Syiah kah, atau apa garang sabujurnya WAHABI
Sorang timbul rasa cucuk wan @Buhan Sungai Tabuk, sorang copy paste nah....kada usah mambawa ngaran Sunni, Syi'ah wan Wahabi, nang kada basambahyangan ja di Banjar neh hibak ja, tapi urang "Kada mauk"..jangan piragah situ aja nang ampun Banjar, mun ada nang salah ditulisan admin tuh ditulis aja balasannya disini dengan baik-baik/santun, kaitu urang baiman wan batuah tuh pintarai..kada usah pina "hamuk" banar pina situ aja "Ampun surga", jadi pembaca malihat mana nang "Bujur-bujur Ba akhlak kaya Nabi", mun panderan @Anonymous kaya ngitu busiah kita ditakuni kita umpat sunni& syi'ah kanapa? umpat wahabi kanapa???adakah dalil al Qur'an nya jar??,mun ada dalilnya mana jar? tarus mun nang manafsir babeda urang dan tafsirnya kaya apa? yang sorang tahu tu buhan Hadral Maut ja nang banyak Sunni, mun di Dammaj tu maka am banyak wahabi..... nang sorang pikirakan bujur admin "Parsatuan Aja", napa garang ngalihnya??? Kada usah parasa "Pambujurnya"...mun marasa pambujurnya ngitu ngarannya "Hamuk"...Kita nang bahualan admin ja "Hinip" za, soalnya adminnya "Bapikir", kadapang "Hamuk mambela banar wan Ibnu Taymiah..jaka mabela Nabi Kah??"...Damai ja wal ai....Hidup ISLAM (Mun Hamuk Banar "nyata ai dihapus urang"????? Mun manurut sorang dibulik akan kadiri aja, situ pakai dalil urang gen pakai dalil...sorang-sorang ja...
@Cinta damai, terserah ikam kalau menganggap copy paste, kalau aku di takuni masalah umpat siapa dan mana dalil dalam Al-Qur’an Ku jawab ADA dan salah satunya (Q.S At Taubah 100)
artinya “Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang muhajirin dan Ansar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah rida kepada mereka dan mereka pun rida kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar”
Allah meridai muhajirin dan anshar, dan Allah merekomendasikan untuk mengikuti mereka dengan baik (rincinya baca tafsir) dan ini AYAT yang JELAS kada kawa di tafsirkan kesana kemari
Sudah ku tulis ini lain masalah persatuan tapi masalah kebenaran supaya jangan menyesatkan, awan larangan Rasulullah mencela atau melaknati orang nang sudah mati.
@Cinta Damai, ku doakan ikan ada kelapangan rezeki supaya kawa ke Dammaj biar malihat saurang jadi kada pakai jar dan jar lagi
@Cinta Damai kada hanya masalah Ibnu Taimiyah, tapi jua masalah Mut'ah nang ku tunjukan dalilnya (komentar diatas) Hadist dari Ali bin Abi Thalib dan perkataan Imam Ke enam Syaih dan ada dalam kitap syiah saurang, amun masih Mut'ah pertayaannya umpat siapa, bujurlah umpat Ali Bin Abi Thalib ????
Masalah admin badiam ja tergantung siapa yang menilai, tapi kaedah umum manulis atau memuat tulisan harus siap menjawab, menjawab awan dalil Al-Quran dan Hadist
@Anonymous says:
Assalamualaikum mang…
Umpat bapandir, pian membawakan (Q.S At Taubah 100) pian menerjemahkan “Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam)” emang siapa garang orang-orang yang terdahulu lagi pertama-tama (masuk islam) yang masih hidup pada ayat itu turun…
Pian jua mengatakan :
Allah meridai muhajirin dan anshar, dan Allah merekomendasikan untuk mengikuti mereka dengan baik (rincinya baca tafsir) dan ini AYAT yang JELAS kada kawa di tafsirkan kesana kemari
tapi ayat berikutnya juga membari peringatan (Q.S At Taubah 101)
Di antara orang-orang Arab Badwi yang di sekelilingmu itu, ada orang-orang munafik; dan (juga) di antara penduduk Madinah. Mereka keterlaluan dalam kemunafikannya. Kamu (Muhammad) tidak mengetahui mereka, (tetapi) Kamilah yang mengetahui mereka. Nanti mereka akan Kami siksa dua kali kemudian mereka akan dikembalikan kepada azab yang besar.
Coba pang pian jalasakan lawan ulun, biar lun paham mangai
tks, salam
@arsy Baca ja tafsir Ibnu Katsir langsung tentang ayat2 tersebut, amun kada baisi cari di mesjid pal 4/5 Banjarmasin ada jadi kada jar.
Baca mulai ayat 97 sampai 104
@Anonymous, mun marasa "alim" tu jalasakan ja disini, nyaman @Arsy tahu, kada usah manyuruh urang kasana kamari, sorang yg bisi dalil, manulis disini, harusnya jawab jua disini "Kesah harat ja pang "...kesah "Paiya nya", tapi imbah ditakuni urang , urang disuruh "Mancari sorang pulang".....Bulik ja ka Damaj sana "kalau pina syahid" masuk surga kalu....papadaan ISLAM "Bakalahian"...ya rasa diri sorang ja pambujurnya..."karas hati"....mun sorang nang manakah mazhabnya, mun mambawa i "Persatuan ISLAM"...ngitu ngarannya "Banjar Banar" jar Anang Khair...Hidup Persatuan ISLAM ngitu biasa disambat @Cinta Damai
@SUNGAI TABUK, nang di minta malihati saurang ikam kada, nang bersangkutan haja kada komentar, supaya kada taklik buta, bandingkan dari berbagai sumber, hanyar pikirakan supaya akal kita mamfaat, diminta malihat mambaca saurang supaya jangan jar dan jar lagi karena jar itu bisa salah, amun ikam pernah baca tafsir tahu tu kalau kangalihan menuliskan disini, makanya ku jawab BACA ayat 97 sampai 104, amun ikam kada handak malihat kada usah, sudah unda padahakan ini lain masalah persatuan atau bakalahian tapi ini masalah KEBENARAN. komentar ikam tu ku anggap takutan amun ada urang mau membaca saurang, amun ikam handak panjang lebar hub aku di Email simpangan.03@gmail.com
@Buhan Sungai Tabuk, bujur banar @Anonymous tu sakalinya " "Kesah harat ja pang "...kesah "Paiya nya", tapi imbah ditakuni urang , urang disuruh "Mancari sorang pulang"...Komentar urang nang handak "Minta Panjalasan" dianggap "Takutan"...Dasar Aneh...disuruh ma email pulang ka simpangan.03@gmail.com...apa hajat..."Bapander baduaan sasama talajuk"..iiiya kada supan kah???..ni misal lah urang batakun "Kelelepon tu apa yolah?" lalu dijawab Si A," Wadai Banjar jar buku "Masakan Banjar" karangan Anang Kelelepon,lalu si B manjawab "Wadai Banjar nang dalamnya ada gula habang, biasanya pakai nyiur, tapi disambat wadaai basah Banjar jua jar buku "Bahimat Bamasak" karangan Julak Tuha, lalu mun "beda" sadikit lalu urang "kada bujur"lah jawabannya....bepander "Kebenaran"..tapi gawian "Manyalahkan urang za" ,papadaan batiwasan...nang kada basumbahyangan ja di Banjar neh kada "Bagaduh urang", bujur jar @Buhan Sungai Tabuk Bulik ja ka Damaj sana "kalau pina syahid" masuk surga kalu....
@cinta Damai aku membari kesempatan supaya kawa manulis/berdiskusi awan dalil seluas luasnya, amun saurang nang di bawai langsung tu pang kutanggapi, tahu amun bubuhan syiah tu, nang pasti di beri sedikit dalil ja diatas kada kawa manjawab awan dalil, agama tu awan dalil kada awan fitnah dan hawa nafsu, bisanya ngeles kada fokus awan masalah, tu lihati Ustadz Roisul Hukama, Mantan Pengurus Ikatan Jama’ah Ahlul Bayt Indonesia ja tobat, Amun kada tahu JIHAD tu nang kaya apa nang sesuai awan nang di contoh kan Rasulullah kada usah bapander jadi kada mambari supan
@cinta damai, mana tulisan unda nang manyalahkan, amun ada silakan bantah kuat kuat, jangan bisa umpat mencaci, menghina awan melaknat urang nang sudah meninggal dunia ja, tuh diatas sudah unda tulisakan larangan mencela urang nang sudah mati
arsy batakun :
Assalamualaikum mang…
Umpat bapandir, pian membawakan (Q.S At Taubah 100) pian menerjemahkan “Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam)” emang siapa garang orang-orang yang terdahulu lagi pertama-tama (masuk islam) yang masih hidup pada ayat itu turun…
Pian jua mengatakan :
Allah meridai muhajirin dan anshar, dan Allah merekomendasikan untuk mengikuti mereka dengan baik (rincinya baca tafsir) dan ini AYAT yang JELAS kada kawa di tafsirkan kesana kemari
tapi ayat berikutnya juga membari peringatan (Q.S At Taubah 101)
Di antara orang-orang Arab Badwi yang di sekelilingmu itu, ada orang-orang munafik; dan (juga) di antara penduduk Madinah. Mereka keterlaluan dalam kemunafikannya. Kamu (Muhammad) tidak mengetahui mereka, (tetapi) Kamilah yang mengetahui mereka. Nanti mereka akan Kami siksa dua kali kemudian mereka akan dikembalikan kepada azab yang besar.
Coba pang pian jalasakan lawan ulun, biar lun paham mangai
tks, salam
@anonymous Tatakunannya "Ikam tu umpat siapa? dijalasakan,apa ngalihnya, tulis ja disini, adminnya ja "kada baburinik" karna sorang paham misinya "Parasatuan Islam"...lalu..mun kada bisa manjawab balajar ja lg ka Damaj sana, hanyar manyalahakan urang..cuba banyaki baguru tuh kadanya tahu guru di Damaj ja (mun wani..!!! baguru wan sunni wan syi'ah atau wahabi kl perlu ahmadiyah wan urang nang kada basambahyangan di Banjar neh)...Hidup Persatuan Islam...
sorang mambari contoh aja lah, mun situ nah baisi dingsanak ada yang Sunni ada yang syi'ah wan ada yang wahabi tarus ada yang nang kada basambahyangan, lalu sorang paragah harat manyambat ngitu urangnya kada berada dalam "KEBENARAN", ngitu ngarannya rasa sorang ja nang pambujurnya, padahal urang baisian dalil jua, mun sorang "nafsi nafsi ja" soalnya kanapa,talalu malawanakan sunni, syi'ah atau wahabi atau urang nang kada basambahyangan kena tabulik kadiri sorang pulang, mun nya manyambati kita "doakan kabaikan hagan inya, karna inya mangaku muslim jua wan santun "Mamadahi tuh kada pang "Kesah sorang aja pambujurnya"..jangan talalu "Batklid Buta"...Hidup Persatuan Islam...
@anonymous Geliat Aliran Wahabi di Negeri Ahlus Sunnah
“Faktor aliran dana dari Arab Saudi dan sebagian negara Arab lainnya yang mentransfer dana untuk perjuangan gerakan Wahabi ekstrem itu turut menyuburkan penyebaran aliran ini”
GERAKAN Wahabi masuk ke Indonesia, menurut beberapa sejarawan, dimulai pada masa munculnya Gerakan Padri Sumatera Barat pada awal abad XIX. Beberapa tokoh Minangkabau yang tengah melaksanakan ibadah haji melihat kaum Wahabi menaklukkan Mekah dan Madinah yang pertama pada tahun 1803-1804.
“Mereka sangat terkesan dengan ajaran tauhid dan syariat Wahabiyah dan bertekat menerapkannya apabila mereka kembali ke Sumatera. Tiga di antara mereka adalah Haji Miskin, Haji Sumanik, dan Haji Piobang. Bersama-sama dengan Tuanku Nan Renceh, mereka memimpin Gerakan Padri,” ungkap oleh Habib Soleh Al Hadar, Rois Aam Barisan Pemuda Salafun assalihin Ahlussunnah Wal Jama’ah (Barda Salama) kepada Indonesia Monitor, Minggu (23 / 8).
Dalam perkembangan berikutnya, Ahmad Dahlan (1868-1923) menunaikan ibadah haji saat Arab Saudi sedang terjadi pergolakan kekuasaan, di mana Abdul Azis bin Abdurrahman tengah mendirikan negara Arab Saudi. Pada saat yang sama, gerakan Salafiyah Wahabi dicanangkan oleh Muhammadi Abduh dan Rasyid Ridla.
“Tampaknya, Ahmad Dahlan memiliki hubungan pribadi dengan Rasyid Ridha antara tahun 1903-1905. Karenanya, Ahmad Dahlan mendapatkan dukungan kuat dari Rasyid Ridha untuk menyebarkan paham Wahabi di Indonesia, “ujar Habib Soleh.
Namun, lanjut dia, fanatisme yang dipertontonkan kaum Wahabiyah di jazirah Arab, tidak bisa dipraktikkan Ahmad Dahlan di Indonesia melalui gerakan Muhammadiyah yang didirikannya pada tahun 1912. Sebab, perlawanan keras muncul dari para ulama dan mayoritas umat Islam Indonesia yang sangat kuat memegang teguh ajaran Ahlussunnah Wal Jama’ah.
Pada tahun 1905, penyebaran ajaran Wahabi diperkuat oleh datangnya Ahmad Surkati (18701943), ulama Wahabi keturunan Arab-Sudan. Melihat perlawanan yang cukup keras dari mayoritas penganut Ahlussunnah Wal Jamaah, terlebih setelah berdirinya Nahdlatul Ulama pada 1926 yang diprakarsai Hasyim Asy’ari, penyebaran ajaran Wahabiyah lebih condong dilakukan melalui jalur pendidikan, dengan mendirikan sekolah-sekolah semi modern.
Sementara kalangan Ahlussunnah Wal Jamaah masih mengandalkan sistem pendidikan tradisional pesantren. Sekretaris Moderate Muslim Society (MMS) Hasibullah Satrawi melihat, ada arus besar dari gerakan penyebaran Wahabi yang ekstrem di Indonesia yaitu melalui sebagian generasi Indonesia yang belajar di Arab Saudi. Sebagian dari mereka itulah yang kemudian membawa ideologi radikal itu. Sebaliknya, sebagian orang Indonesia juga dikirim untuk memperdalam gagasan ekstrem itu ke sana.
“Faktor aliran dana dari Arab Saudi dan sebagian negara Arab lainnya yang mentransfer dana untuk perjuangan gerakan Wahabi ekstrem itu turut menyuburkan penyebaran aliran ini,” ujar Hasibullah Satrawi kepada Indonesia Monitor, Kamis (20 / 8).
Paham Wahabi cepat berkembang di Indonesia, menurut dia, karena mereka punya dana tak terbatas. “Anda bayangkan, siapa yang tidak mau kalau ada donator dari Arab Saudi yang mau manyumbang pembangunan masjid di Indonesia, atau untuk kegiatan-kegiatan lainnya. Pasti semua mau, apalagi diembel-embeli dakwah. Kita tidak anti-Arab, tapi masyarakat kita terlalu mengagung-agungkan Arab. Apapun yang datangnya dari Arab dianggap mulia dan benar. Itulah kesalahan kita sendiri yang tidak selektif,” paparnya.
Semua pelajar yang belajar di Timur Tengah, kata dia, punya potensi untuk membawa ideologi Wahabi ke Indonesia. Pada umumnya, ada pengaruh kultural bagi mereka yang tidak selektif memilih gagasan, kemudian itu dikembangkan di Indonesia.
Namun, menurut KH Taman Qaulani, Ketua Pondok Pesantren Alhikmah Al Islamiyah, paham Wahabi sebenarnya tidak bisa berkembang. “Sekarang Wahabi tidak berkembang karena lain mazhab. Di Indonesia yang berkembang mazhab Syafiiyah, sementara dia kan mazhab Hambali,” ujar Taman Qaulani kepada Indonesia Monitor, Sabtu (22/8).oleh:
Moh Anshari, Sri Widodo, Syarif Hidayatullah
@ Untuk semua komentator : Pada zaman Al-Makmun (?), ada seorang ulama yang mengkritiknya dengan kata-kata yang penuh dengan hinaan dan cacian. Setelah selesai ulama itu berkata kasar, khalifah balik bertanya, “Apakah engkau merasa lebih baik daripada Musa alaihi salam? Apakah saya lebih buruk daripada Firaun?” Jawab ulama itu, “Tidak.” Khalifah itu berkata, “Allah telah memerintahkan Musa untuk berbicara kepada Firaun dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut.” (QS. 20: 44).
Allah tahu bahwa Firaun—meskipun diceramahi dengan bahasa lemah lembut—tidak akan kembali beriman, hanya saja hal tersebut akan menjadi hujah akan kezalimannya. Bayangkan jika Musa atau ulama tersebut datang dengan bahasa kasar, tentu Firaun akan berkata, “Bagaimana mungkin saya mau menerima ajakannya, sementara dia berkata kasar?” Sehingga dalam ayat yang disebutkan pertama tadi, selain ilmu yang diwakili oleh Alquran, seseorang juga harus memiliki hikmah, yakni kebijaksanaan dalam menyampaikan ilmu-ilmu tersebut.
@cinta damai
Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam)
SIAPA LAGI KALAU KADA SAHABAT DAN AWAN SAHABAT RASULULLAH HIJRAH DARI MEKAH KE MADINAH
di antara orang-orang muhajirin dan Ansar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik,
ALLAH MEREKOMENDASIKAN UNTUK MENGIKUTI SAHABAT BAIK DARI MUHAJIRIN DAN ANSHOR TERMASUK ORANG YANG MENGIKUTI MEREKA DENGAN BAIK, (BERPEGANG PADA AL QURAN DAN SUNNAH) APA ISLAM INI ADA KALAU KADADA PARA SAHABAT NANG BERGURU LANGSUNG AWAN RASULULLAH, DAN KALAU MEREKA (SAHABAT) SALAH PASTI LANGSUNG DITEGUR OLEH RASULULLAH MAKAMYA ALLAH REDA DENGAN MEREKA (SAHABAT)
Allah rida kepada mereka dan mereka pun rida kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.
DAN MEREKA SAHABAT REDA KEPADA ALLAH MAKANYA ALLAH MENYEDIAKAN SURGA UNTUK MEREKA
MASALAH AYAT 101 SUDAH KU JAWAB BACA MULAI AYAT 97 SAMPAI 104
@sungai tabuk nang unda maksud menisbatkan ke muhammad bin abdul wahab sebagai wahabi itu salah dalam kaedah bahasa arab, contoh mazhab syafi'i di nisbatkan kepada imam syafi'i, mazhab maliki di nisbatkan kepada imam malik jadi penamaan mazhab tu ber dasarkan nama orangnya kada bin nya makanya tasalah kalau WAHABI di nisbatkan awan muhammad bin abdul wahab harusnya ngarannya kada wahabi tapi Muhammadiyah atau yang semisal
@cinta damai, sudah sedikit ku jelaskan masalah ayat at taubah 100, Jelas beragama umpat nang di ajarkan Rasulullah melalui Al Qur'an dan Hadist dan kaya apa para sahabat dan orang orang nang mengikuti mereka dengan baik karena Allah menyuruh taat kepada Allah (Al Qur'an) dan taat kepada Rasul (Sunnah)(An nisaa 59), nah syiah umpat siapa