Home , , , , , , , , , , , , , , � Siapa saja yang banci janganlah berusaha menularkannya ke orang lain.

Siapa saja yang banci janganlah berusaha menularkannya ke orang lain.



Inilah kebebasan itu. Siapa saja yang mabuk janganlah menyetir mobil. Siapa saja yang banci janganlah berusaha menularkannya ke orang lain. Siapa saja yang korup janganlah mengelak ketika ketahuan. Siapa saja yang ingin berbuat sesuka hati jangan membuat kekacauan.



Islam Liberal dan Kebebasan yang Memabukkan



Drink Responsibly. Minum atau mabuklah secara bertanggung-jawab. Kampanye itu terpampang dalam iklan sebuah minuman keras di arena pertandingan Liga Inggris. Kampanye ini juga layak ditujukan kepada Ulil Abshar Abdalla dan kawan-kawan liberalnya di JIL, atau sekalian juga di Partai Demokrat.

Inilah kebebasan itu. Siapa saja yang mabuk janganlah menyetir mobil. Siapa saja yang banci janganlah berusaha menularkannya ke orang lain. Siapa saja yang korup janganlah mengelak ketika ketahuan. Siapa saja yang ingin berbuat sesuka hati jangan membuat kekacauan.

Satu, dua, beberapa, ratusan atau ribuan sekalipun aktivis Islam Liberal yang anti-Islam -yang tidak "liberal" seperti mereka- sekarang ini masih harus berhadapan dengan jutaan, puluhan juta, bahkan ratusan juta orang Islam Indonesia lainnya yang –dianggap- tidak modern. Jika mereka sudah tidak tahan ingin mengubah kondisi masyarakat itu secepatnya, dunia hari ini tidak sempit lagi. Ikuti saja jejak Salman Rushdie ke Inggris, atau bergabung dengan Geert Wilders di Belanda, atau hijrah bersama Irshad Manji ke Kanada. Orang-orang ini ingin menikmati kehidupan damai di tengah masyarakat muslim Indonesia namun mendorong-dorong negara memberikan kebebasan kepada mereka untuk mengusik kedamaian tersebut.

Panitia bedah buku Irshad Manji di Salihara itu tidak memiliki izin, melanggar aturan, tapi tetap bersikeras menolak dibubarkan. Mereka seperti orang yang diberhentikan Polisi di tengah jalan karena mengemudi dalam keadaan mabuk tapi menolak berhenti. Mereka tidak peduli bahwa banyak masyarakat muslim yang menolak Irshad Manji. Mereka merasa menjadi orang paling berhak berbuat bebas sekehendaknya di Republik ini, barangkali karena orang-orang lain di luar itu mereka anggap kolot, tak berbudaya, bukan orang Islam sebenarnya, kaum terbelakang, ekstrimis, teroris dan lain sebagainya -ataukah karena ada Ulil, lalu menjadi berani dan menganggap SBY berdiri di belakangnya?

Bahkan Muhammadiyah yang moderat menolak Irshad Manji. Secara sangat meyakinkan, seratus persen, Islam yang asli mengharamkan homoseksualitas. Dan Irshad Manji yang seorang lesbian menulis buku tentang hakikat Islam? Judul bukunya itu Allah, Liberty and Love -Allah, Kebebasan dan Cinta. Mengetahui jika penulisnya seorang lesbian yang menuntut kebebasan sekuler liberal di dalam agama Islam, judul tersebut berangsur-angsur berubah menjadi Allah dan Kebebasan Bercinta. Tidak aneh jika ada pembacanya yang menilai, di dalam buku-bukunya orang ini hanya mengedepankan egonya yang luarbiasa. Seorang lesbian tentu saja merasa resah karena ajaran agamanya sendiri mengecam kesenangannya itu lalu memimpikan sebuah perubahan.

Jika orang-orang anti-Islam ini ingin membangun paham baru tidak ada yang melarang. Namun, mengajak orang-orang Islam meninggalkan nilai-nilai Islam tentu sudah melanggar wilayah, mengganggu kebebasan berkeyakinan umat Islam. Jadi wajar jika organisasi militan seperti FPI turun ke lapangan. Untungnya, dalam kejadian kemarin kepolisian mampu menjadi penengah yang baik.

Orang Islam yang bukan aktivis, penonton dari kejauhan, hanya bisa mencoba membubarkan ide-ide tentang kebebasan yang memabukkan itu di dalam wilayahnya masing-masing. Mungkin mereka tidak sepintar Ulil Abshar Abdalla tapi sebagian besar umat Islam Indonesia yang "bodoh" itu masih mempunyai Kitab Suci dan Hadis Nabi sebagai sandaran. Sekali waktu mereka akan keliru dalam berpikir dan bertindak, namun mereka selalu memiliki tempat bagi akalnya untuk kembali. Mereka tidak mau membiarkan alam pikirannya berkelana jauh sampai benua lain, terpesona oleh kemegahan, gagap melihat kemajuan ilmu pengetahuan, lalu tersesat jalan.

Umat Islam Indonesia tidak menjadi berkurang pluralitasnya sebelum muncul orang-orang yang menamakan diri Islam liberal itu. Sudah lama umat Islam Indonesia hidup dalam diversifikasi keyakinan dan pemikiran. Tidak ada permasalahan dengan pluralitas dan kebebasan selama itu, selama tidak ada yang mabuk dan melanggar aturan. (IRIB Indonesia/Kompas/SL)

Jika Tokoh Islam (HMI) Bangga Berteman dengan Zionis



Oleh: Muhammad Ma'ruf

Perayaan kemerdekaan Israel ke 64, Kamis (25/4) pekan lalu dirayakan di gedung School of the Arts, Singapura, beberapa tokoh politik dan pejabat KADIN tampak hadir. Salah satu tokoh politik yang hadir adalah mantan Politisi dari Partai Golkar, Ferry Mursdian Baldan. Ferry mengakui bahwa dirinya bersama istri memang menghadiri acara Peringatan Hari Kemerdekaan Israel. Menurut dia, ia hanya sebatas memenuhi undangan. Mantan anggota DPR RI itu menyatakan dirinya terbiasa membuka hubungan komunikasi dengan siapa pun termasuk dengan Israel. "Itu undangan pribadi yang dikirim resmi oleh dubes Israel. Dan itu buat saya lumrah.Saya sudah empat tahun menghadiri perayaan kemerdekaan Israel di Singapura," kata salah satu dari mereka yang mengaku bekas sekretaris jenderal Himpunan Mahasiswa Islam ini. Bahkan, ia mengatakan bakal ada rombongan pemuda dari Indonesia yang akan berkunjung ke Israel bulan depan".

Ferry menuturkan mengaku sudah melawat ke Israel tiga tahun lalu. "Saya mengunjungi Hebron, Jericho, dan Yerusalem," ujar pria berkaca mata ini. Dia juga sempat bertemu sejumlah anggota Knesset (parlemen Israel).

Istrinya tak kalah bangga bercerita soal kunjungan mereka ke negara Zionis itu. Menurut perempuan berjilbab ini, situasi Israel tidak seperti yang ia ketahui sebelumnya. "Di Knesset saja ada masjid karena ada anggota mereka keturunan Arab muslim," katanya.

Semua orang Indonesia tidak kikuk berada di resepsi itu. Bahkan, mereka berbincang akrab dengan tuan rumah, yakni Duta Besar Israel buat Singapura Amira Arnon. Amira tampak senang menyambut tetamunya dari Indonesia itu. Bahkan, ia menyebut mereka kawan Israel.

Menurut Irman Abdurrahman, aktifis VOP (Voice of Palestine), tindakan Ferry dan konco-konconya itu merupakan para penghianat konstitusi, tidak bisa di satu sisi mendukung Palestina di sisi lain menjalin komunikasi dengan Israel, sikap ketika mendukung Palestina otomatis harus mengingkari keberadaaan Israel, mau tidak mau, harus berhadap-hadap.

Sikap Fery ini bermuka dua, hal ini dikatakan Mujtahid Hashem, presidium Kahmi Depok, menurutnya orang macam Fery tidak layak mencalonkan diri menjadi anggota legistlatif dari Nasdem, sebagai aktifis HMI, Mujtahid malu mempunyai senior seperti dia, Ferry tidak bisa jadi contoh bagi yuniornya. Mujtahid menambahkan kalau alasan Ferry biasa membuka komunikasi dengan siapa saja artinya Ferry  dengan sadar membuka komunikasi (pintu dengan setan), " sayang sekali karir politik Fery dia hancurkan sendiri" kata Mujtahid.


Orang-orang seperti Ferry hanya cerita kecil dari korban propaganda zionis. Langkah Israel untuk memperoleh dukungan politik sejak 1948 dengan berbagai cara, mulai dari menjalin hubungan diplomatik dan hubungan dagang. Ketika suatu negara tidak mau menjalin hubungan dengan Israel, negara tersebut biasanya di "iming-imingi" keuntungan hubungan dagang dan alih teknologi. Maka seringkali ada ungkapan, "sudahlah menjalin hubungan dagang dengan Israel lebih menguntungkan", Indonesia butuh teknologi pertanian dan teknologi senjata dari Israel".

Propaganda zionis seperti ini di Indonesia ini selalu dipantau perkembanganya, maka ada orang seperti ketua Komunitas Pencinta Yahudi di Indonesia, Unggun Dahana yang pada tahun ini kembali berencana merayakan HUT Kemerdekaan Israel di Jakarta. "Dalam hari jadi Israel ke-64 yang jatuh 14 Mei nanti, komunitas tetap akan menggelar acara peringatan. Namun acara kecil-kecilan saja,"katanya

Acara tersebut tetap akan disertai pengibaran bendera Israel dan bendera Indonesia, serta menyanyikan Hatikva, lagu kebangsaan Israel dan juga Indonesia Raya. "Memang begitu aturannya. Bendera Israel harus lebih rendah dari Merah Putih," ujarnya. Unggun mengatakan, untuk tahun ini acara tidak akan dipublikasikan, mengingat kehebohan yang terjadi pada tahun lalu. Namun, dia berjanji akan melaporkan acaranya ke polisi jika anggota yang hadir lebih dari sepuluh orang.

Menurut pemahaman Gugun, proklamasi negara Israel atau Hakhrazat HaAtzma'ut terjadi pada tanggal 14 Mei 1948, ketika Mandat Britania atas Palestina berakhir. Saat itu pengumuman bahwa negara Yahudi baru bernama Israel secara resmi didirikan di wilayah Mandat Britania atas Palestina dan di tanah di mana kerajaan Israel, kerajaan Yehuda dan Yudea berada. Mengikuti perhitungan kalender Yahudi, acara HUT Kemerdekaan Israel sudah berlangsung lebih dulu di sejumlah Kedubes Israel di beberapa negara.

Ketika ditanya tentang isi Pembukaan UUD 1945 yang sudah jelas menyebutkan Indonesia anti penjajahan, Unggun berkilah, kadang-kadang beda persepsi. Ada yang mengatakan bahwa Israel itu menjajah Palestina. Kalau persepsi dari kami, umat Kristen, Israel itu tidak menjajah. Karena sebenarnya Palestina itu tidak ada. Sejarah Palestina itu tidak ada. Yang ada sekarang itu orang-orang Yordan. Dan Palestina itu baru terbentuk setelah Israel merdeka. Jadi orang Palestina itu orang-orang Arab itu. Negara Palestina itu tidak pernah ada. Nah, itu keyakinan dari kita.

Tingkah Gugun memang fenomena yang menarik, dia berani melawan arus di saat mayoritas jutaan muslim Indonesia mendukung Palestina dan konstitusi Indonesia mengatakan dengan gamblang anti penjajahan. Gugun bisa jadi memang kurang memahami masalah sejarah penjajahan Palestina, tetapi melihat keberanian Gugun, kelihatan lebih bermotif seorang agen zionis dibandingkan dengan kemurnian niat pribadinya. Lebih jelasnya Gugun mendapatkan intruksi dari agen Mossad.

Lalu yang menjadi pertanyaan, apa makna seorang Fery dan Gugun yang gigih ikut mengenang kemerdekaan "Israel Raya"?. Kedua orang ini jelas sekali mendukung politik rasisme, karena "Israel Raya" berarti negara yang didirikan khusus ras Yahudi di atas tanah rampasan Palestina.

Hari kemerdekaan Israel bagi bangsa Palestina adalah hari duka yang mengerikan, hari dimana sejarah penjajahan dimulai.  Hari kemerdekaan Israel, artinya orang seperti Gugun dan Fery ikut merayakan pembersihan etnis, pengusiran massal, penghancuran tanah air Palestina.

Apa sebutan yang paling tepat bagi warga Indonesia yang bergabung dengan seluruh warga dunia pro zionis merayakaan "kembalinya bangsa yahudi  ke tanah zion" sebagai prestasi gerakan zionis dalam mewujudkan mimpi "Israel Raya" (‘Eretz Israel') di seluruh tanah historis Palestina. Kita tidak tahu, tapi paling tidak mereka layak disebut para penghianat bangsa (konstitusi UUD 1945).

Kita tidak tahu apa yang ada dalam benak dan pikiran Ferry dan Gugun, ketidaktahuan atau memang karena tawaran materi, kedua orang ini memang harus diberitahu bahwa saat telinga mereka mendengarkan lagu "hativka"(lagu kebangsaan Israel), ingatan mereka harusnya melayang 64 tahun silam; 685 desa dikosongkan, 805 ribu penduduk Palestina asli Palestina menjadi pengungsi, sekarang menjadi 7 juta, 70 pembantaian Zionis untuk menuntaskan pembersian etnis, 78% tanah Palestina diduduki Israel, artinya 14 kali wilayah yang dimiliki Yahudi, 6 kali wilayah yang zionis rampas dari Palestina saat Israel dideklarasikan: 24 % lebih dari yang direkomendasikan resolusi PBB 181.

Hari kemerdekaan Israel Raya artinya nakba (bencana) bagi Palestina dan telah berlangsung 64 th, pengungsi Palestina terus diingkari hak pulang dan tak jua mendapatkan ganti rugi. Bahkan yang lebih mengerikan, semua penduduk Palestina di tepi barat akan dipindahkan ke Yordania, sehingga sisa tanah Palestina tidak lama lagi tinggal Gaza.

Padahal kalau kita menengok hukum Internasional, 7 juta pengungsi Palestina di seantero dunia berhak untuk pulang, seperti yang tertera dalam Deklarasi Universal HAM Pasal 13; setiap orang memiliki hak untuk  kembali ke tanah airnya, Konvensi Internasional tentang Penghapusan segala Bentuk Diksriminasi Rasial Pasal 5 (d)(ii): hak untuk kembali ke tanah airnya, Konvensi Internasional tentang hak-haka sipil dan Politik 12 (4): tak ada seorangpun yang bisa diingkari haknya untuk kembali ke tanah airnya. Resolusi PBB 194: mengakui hak mutlak bangsa Palestina untuk kembali ke tanah airnya.

Lalu apakah orang seperti  Ferry yang pernah menjadi anggota yang terhormat legislatif  Indonesia dan pernah memimpin Himpunan Mahasiwa Islam Indonesia layak menjadi tokoh di bumi Pancasila ini? Ferry sebagai tokoh HMI harusnya serius memperjuangkan bangsa Palestina, berjuang  memang  perlu konsisten, kesabaran dan tawakal, tanpa itu "sesat pikir", dan tawaran dunia sesaat banyak menjadikan tokoh muslim menjadi terhina di akhir karirnya. (IRIB Indonesia)

* Aktivis Indonesia Pro Palestina dan Kontributor IRIB Indonesia

Irshad Manji: Reformer Islam atau Suara Dominan Imperium?



Oleh: Airlangga Pribadi
Melalui laman media sosial Facebook, saya mendengarkan berita menyedihkan dari tanah air tentang terpasungnya kembali kemerdekaan berekspresi di ruang publik intelektual kita. Tindakan ala fasisme ini diperagakan kembali oleh segerombolan massa berjubah, baik yang mengatasnamakan Laskar Umat Islam Solo (LUIS) maupun Front Pembela Islam (FPI).

Di Jakarta, FPI yang dipimpin Rizieq Shihab, berhasil memaksakan pendapatnya dan mendorong polisi untuk membubarkan sebuah diskusi buku bersama intelektual-cum aktivis perempuan Muslim asal Kanada, Irshad Manji. Manji, yang bukunya sedang didiskusikan di Komunitas Salihara itu, memang sosok yang kontroversial, terutama berkaitan dengan posisi pemikirannya atas homoseksualitas di dalam Islam, pentingnya liberalisme pemikiran bagi komunitas Muslim, dan dukungan Manji atas keutamaan peradaban Barat terhadap peradaban Islam.

Sebenarnya, kalau kita menyadari pentingnya suara-suara alternatif dalam dinamika ruang publik Islam di tanah air maupun dunia Islam, kehadiran pandangan seperti ini justru menguntungkan. Itu akan membuka ruang bagi kita untuk mempertanyakan hal-hal yang telah dianggap sebagai keniscayaan dalam gerak langkah peradaban Islam. Terkait dengan hal ini, saya bersepakat dengan refleksi sastrawan Katholik Arab asal Lebanon Amin Maalouf, dalam kumpulan esainya In The Name of Identity ((1998).

Di sana Maalouf mengutarakan,  secara sosial sudah saatnya kita tidak hanya melihat kehidupan beragama dalam ruang sosial semata-mata dalam konteks bagaimana agama mempengaruhi kehidupan manusia, namun sebaliknya, bagaimana dialektika kehidupan sosial di bumi manusia pada akhirnya ikut mempengaruhi gerakan dinamik agama dan peradaban yang diinspirasikan oleh nilai-nilai agama itu sendiri. Dari basis pijakan inilah, menurut hemat saya, kekuatan sebuah peradaban yang di dalamnya nilai-nilai agama memberi sumbangan penting diukur, bukan dari seberapa kuat ia mengisolasi dan menolak pengaruh budaya atau gagasan-gagasan lain di luar dirinya. Daya hidup sebuah peradaban besar menjadi matang dan dewasa dengan memberi ruang yang luas, bahkan bagi suara-suara di luar arus utama, untuk tetap hidup dan memberi kontribusi bagi gerak vitalitas peradaban itu sendiri.

Demikian pula dengan peradaban Islam. Islam sebagai agama akan mandek dan berhenti memberi kontribusi bagi dinamika peradaban manusia, ketika ummatnya berpretensi menjadi pembela Islam dan pembela Tuhan dengan membubarkan, melarang, membakar buku, dan mengejar-ngejar mereka yang berpikiran bebas atau berpandangan berbeda dengan arus utama pemikiran Islam. Sejarah Islam memberikan pelajaran bagi kita semua, seperti diuraikan dengan brilyan oleh Sosiolog Spanyol Armando Salvatore dalam The Public Sphere: Liberal Modernity, Catholicism and Islam ((2007).  Salvatore mengatakan, ketika ruang publik begitu terbuka, dan kalangan ilmuwan diberi kesempatan yang amat luas untuk mengembangkan ilmu dan filsafat di masa Kekhalifahan Islam Andalusia, khasanah intelektual Islam menjadi tulang punggung dan memberikan sumbangan yang sangat menentukan bagi hadirnya masa pencerahan, era Aufklarung, dan terbitnya fajar peradaban modern. Demikian pula dengan warisan peradaban Islam pada dinasti Fathimiyah Syiah di Mesir, yang menyumbangkan peradaban akademik dunia dengan universitas Al-Azhar dan perpustakaan di Alexandria.

Saat ini dengan perdebatan, pena, dan menggerakkan tuts di laptop, kaum Muslim membela demokrasi dan memberikan kontribusi penting bagi peradabannya, bukan dengan pentungan, pedang dan golok untuk melawan pikiran dan kebebasan. Itulah mengapa setiap tindakan fasis, kekerasan, dan pembelengguan terhadap kemerdekaan berfikir harus kita lawan sehebat-hebatnya dan sekuat-kuatnya.

Namun demikian, ketika secara panjang lebar saya membela kebebasan dalam ruang publik dan tentunya membela hak dari Irshad Manji untuk berbicara dalam ruang publik, tidak berarti  saya membela dan mendukung suara yang ditampilkannya tentang peradaban Islam dalam hubungannya dengan Imperium. Tulisan ini bukanlah puja-puji dan dukungan terhadap Manji, namun sebaliknya, saya akan memberikan tanggapan terhadap kenaifan intelektual Manji dalam melihat komunikasi interkultural antarperadaban. Ketika kita memahami bahwa bukan hanya agama yang memberi kontribusi terhadap peradaban ummatnya, maka dalam konteks peradaban Islam, kita tidak bisa membaca Islam hanya dari Islam itu sendiri, maupun menggunakan pendekatan kultural yang terisoloasi dengan analisis strukturalis, relasi kuasa dan ketegangan sosial yang turut membentuknya.

Cheerleaders Imperium

Seperti diutarakan mendiang Fred Halliday dalam Nation and Religion in the Middle East ((2000),  ketika menjelaskan Timur Tengah dengan segenap dinamikanya,  pendekatan kultural bukanlah satu-satunya yang mendeterminasi analisis untuk melihat Timur-Tengah. Pendekatan budaya harus diletakkan dalam relasinya dengan konteks ketegangan relasi kuasa di internal dan eksternal Timur Tengah, pertarungan kekuatan sosial dan relasinya dengan tarikan pertarungan kekuatan sosial dominan dan sublatern di tingkat global.

Pada hubungan-hubungan interaktif antara kesadaran kultural, ketegangan sosial serta kontestasi kekuasaan di level global dan domestik, kita dapat membongkar kenaifan berpikir Irshad Manji dan posisi politik yang ia ambil dalam arus besar pergerakan imperium dunia. Sebagai seorang yang lahir di Afrika Timur pada saat kepemimpinan diktator Idi Amin di Uganda, Manji dan keluarganya berhasil keluar dan besar di Kanada, dengan membawa trauma dan rasa berterima kasih yang begitu mendalam terhadap kebebasan di dunia Barat yang membesarkan dirinya.

Dalam karya  The Trouble With Islam Today (2003), misalnya, ia mengritik tradisi yang berkembang dalam kebudayaan Islam dengan menempatkan posisinya sebagai penganut Islam Refusenik. Kata-kata refusenik sendiri, menurut Irhsad Manji, diambil dari sekumpulan karya kalangan terdidik Yahudi yang bersikap kritis dan menolak pandangan-pandangan baku dan tradisi lama dalam komunitas relijius Yahudi. Bagi Manji, sudah saatnya ummat Islam melakukan reformasi intelektual dan melakukan kritik internal terhadap peradaban mereka.

Namun demikian, apakah Manji benar-benar menjadi penganut Islam refusenik dan memahami bagaimana langkah dan pikiran kaum Yahudi refusenik dalam membongkar kesadaran komunitas mereka?

Menurut Justin Podur (2003) dalam majalah Znet, ketika mereview karya Manji, Manji ternyata tidak memahami bahwa adalah kaum Yahudi refusenik, yang pada era perang Arab-Israel, menjadi kaum yang menyeru kepada pemerintah Zionis untuk menarik tentaranya dari tanah negara-negara Arab yang diinvasi pada tahun 1967. Tidak itu saja, mereka juga menolak ikut serta dalam wajib militer (wamil) untuk menyerang warga Arab di tanah pendudukan atas nama nilai-nilai kemanusiaan. Mereka dengan teguh, sampai dipenjara, memperjuangkan pikiran dan sikap politik mereka. Pada saat ini, kaum Yahudi refusenik telah bertransformasi dan di kalangan intelektual Yahudi memunculkan mazhab sejarah baru (new historian jewish) seperti Thomas Baylis, sarjana Yahudi lulusan Yeshima University, yang pada 2009 menulis  The Dark Side of Zionism: Israel's Quest for Security through Dominance. Di buku ini, Baylish memberikan pengakuan getir, bahwa sebagai seorang Yahudi adalah kenyataan pahit untuk menuliskan betapa eksistensi dan keberadaan negara Israel lahir dari penindasan, eksploitasi, dan penghancuran atas bangsa lainnya.

Setelah membaca sekilas tentang identitas sejarah kaum Yahudi refusenik, mari kita melihat posisi Irshad Manji.Dalam karyanya The Trouble With Islam, Manji menyerukan suara reformasi Islam-nya dan surat terbuka kepada ummat Islam dan non-muslim. Ia memulainya dengan  memberikan pertanyaan retoris, ‘mengapa kita harus selalu berhenti pada diskusi tentang Israel dan Palestina, mengapa secara keras kepala kita menyerukan semangat Anti-Semit, siapakah imperialis tulen Arab atau Amerika, mengapa kita ummat Islam selalu menempatkan kaum perempuan sebagai warga kelas dua yang memiliki setengah kesadaran intelektual sebagai manusia?'

Dari pembacaan atas retorika Manji kita dapat menganalisis bahwa reformasi Islam Manji, ia tempatkan pada relasi oposisi biner Islam melawan Barat dan Amerika melawan Islam. Bagi Manji, tidak ada suara alternatif di luar itu semua. Berbeda dengan kaum Yahudi refusenik, yang secara jujur menolak tindakan kekerasan dan imperialisme yang dilakukan kaum Zionis, Irshad Manji dalam atribut-atributnya sebagai reformis Islam, justru meniadakan kenyataan faktual pendudukan Zionisme atas Palestina.

Terkait dengan penjajahan yang dialami bangsa Palestina, baik warga Muslim maupun Kristen di sana, maka bagi Manji yang kerapkali datang ke Israel, dengan bangganya mengutarkan bahwa dirinya tidak seperti kaum penyelundup yang tidak memiliki hak-hak apa-apa. Di negeri Israel, ia merasa seperti di rumah sendiri dan bertemu dengan keluarga mereka sendiri. Ia merasakan betapa kebebasan berpendapat begitu dihargai di Israel, dimana para intelektual memperdebatkan isu-isu publik yang kontroversial secara terbuka di koran-koran.

Posisi Manji ini sungguh aneh bagi saya. Sebagai seorang reformer Islam, yang menyebut dirinya sebagai Islam refusenik, sepertinya Manji menempatkan konflik Israel-Palestina dalam kacamata keagamaan yang harus ia reformasi. Dan dengan itu ia mengingkari prinsip-prinsip kemerdekaan dalam humanisme universal untuk menolak penjajahan di atas dunia. Hal ini membuatnya tidak bersimpati atas penindasan warga Muslim dan Kristen Palestina di dalamnya. Di sini, Irshad Manji gagal melihat persoalan Palestina dalam kacamata problem profan duniawi, yakni sebagai problem penjajahan satu bangsa atas bangsa lainnya. Radar sekularisme Irshad Manji gagal menangkap problem sekular imperialisme Zionis Israel atas Palestina, sebagai problem kemanusiaan bersama.

Bagaimana perspektif Irshad Manji tentang persoalan-persoalan lain di dunia Islam? Podur dalam review atas karya Manji, membawa kita pada website tentang penderitaan perempuan-perempuan Afghanistan dalam cengkeraman kekuasaan tirani yang didukung Uni Sovyet, dan cengkeraman Taliban yang sebelumnya didukung Amerika Serikat. Irshad Manji menampilkan foto-foto tentang perempuan bercadar yang menutup seluruh tubuhnya, kecuali wajahnya. Bagi Manji potret tersebut adalah ikon perempuan sebagai korban tradisi patriarkhi yang sangat kuat berakar dalam  Islam (memang kemudian Manji membedakan antara tradisi Islam dan tradisi Arab komunal yang kemudian ditransmisikan menjadi tradisi Islam). Tetapi, Manji sepenuhnya melupakan keberadaan sekelompok lapisan perempuan terdidik yang terhimpun dalam Revolutionary Association of Woman Afghanistan(RAWA), yang meneriakkan suara pembebasan perempuan dengan mengajarkan membaca kepada komunitas perempuan, anak-anak, dan warga Afghanistan, mengajarkan kultur kritis dan bersuara tidak terhadap penindasan.

Mengapa Manji luput mengekpos gerak dan aktivitas mereka? Apakah ini semata-mata akibat ketidakpahaman Manji terhadap situasi di Afghanistan? Jawabannya, karena gerakan RAWA tidak saja menolak Taliban tapi juga mengecam keras pemboman Amerika Serikat, maupun dominasi imperium untuk menjarah kekayaan alam di Afghanistan, sebagai praktek-praktek eksploitasi dan penindasan yang tak kalah bengisnya dengan yang dilakukan oleh rezim Taliban. Sementara, posisi Irshad Manji dalam karyanya, justru memberikan dukungan kepada invasi Amerika, karena dianggapnya invasi tersebut telah membebaskan rakyat Afghanistan dari tindasan rezim Taliban yang reaksioner. Pada sisi ini suara reformasi Irshad Manji, adalah manifestasi rasa terima kasih dan stempel bagi langkah-langkah global dari imperium dunia.

Analisis Irshad Manji yang secara tergopoh-gopoh melakukan kritik terhadap tradisi Islam dan berdiri kagum memandang gemerlap Liberty, menara Eiffel Amerika, bukanlah suara pembebasan multikulturalisme demokratik. Suara Manji, bagi saya, adalah suara yang mengamini basis pengandaian dari tesis The Clash of Civilization Samuel Huntington, yang meyakini bahwa peradaban Islam adalah musuh dari peradaban modern Barat, dan komunitas Islam membutuhkan kekuatan Barat untuk melepaskan diri dari penjara kulturalnya. Suara Irshad Manji adalah suara kaum Neo-Conservatif seperti George W Bush dan sekutunya, yang percaya dengan invasi dan peperangan mereka memiliki misi suci untuk membawa kebebasan bagi dunia Islam. Suara-suara seperti ini tidak memiliki sensitivitas terhadap pergolakan internal di kalangan kaum terpinggirkan yang berjuang, tidak saja melawan tirani feodalisme dan kediktatoran militer, namun juga menghadang penetrasi kekuatan transnasional untuk menghisap bumi, air dan kekayaan alam di negeri-negeri mereka sendiri.

Dalam konteks seperti ini, menempatkan Irshad Manji dalam posisi intelektual Islam reformis, sungguh salah kaprah. Manji tidak berada pada barisan reformer Islam seperti Nawal el-Saadawi, Jamaluddin Al-Afghani, Ali Shariati, maupun pejuang Nasrani Arab yang konsisten menyerukan suara pembebasan, seperti Edward W. Said. Irshad Manji adalah penguat dan amplifier dari suara imperium yang menyebar di dunia Islam.

Namun demikian, dengan segala kritisisme ini, saya membela hak Manji untuk berbicara dalam ruang publik Islam, sekaligus menentang tindakan fasis seperti yang diperagakan FPI. Di atas meja intelektual itulah kita bisa mengritik dan menunjukkan kelemahan teoritis, serta posisi politiknya yang bias kepentingan imperialisme. (IRIB Indonesia/Indoprogress/PH)

*) Kandidat PhD Asia Research Centre Murdoch University, Pengajar Ilmu Politik FISIP Universitas Airlangga, Surabaya.

Tanggapan atas buku “Beriman Tanpa Rasa Takut”, Irshad Manji



Oleh: Dina Y. Sulaeman*)

Buku ini ditulis dengan sangat personal, dengan kasus-kasus yang dialami sendiri oleh penulisnya. Karena itu, saya pun akan membahasnya secara personal pula. Saya terus-terang membaca buku ini dengan perasaan kasihan. Irshad adalah perempuan malang yang mengalami banyak masalah di sekitarnya—termasuk kekerasan dari ayahnya. Irshad juga –katanya—berinteraksi dengan orang-orang yang terzalimi atas nama Islam.

Alhamdulillah, saya dilahirkan oleh orang tua saya yang penyayang, "padahal" mereka muslim yang taat dan sangat rajin ke masjid. Mereka menyekolahkan saya ke tempat yang jauh dari rumah; saya pun diizinkan ke luar negeri sendirian, tidak seperti keluhan Irshad tentang kekangan bepergian ke luar negeri sendirian bagi perempuan muslim. Mereka tak pernah menyuruh saya –apalagi memaksa—berjibab, namun saya sendiri dengan penuh kesadaran memakai jilbab. Kalau saja Irshad adalah saya, tentu dia tak akan pernah menyebut jilbab sebagai kondom (!) yang membungkus kepalanya.

Ajaibnya, saya menemukan banyak sekali perempuan muslim yang seperti saya! Mereka maju, tercerahkan, berkarir, berjilbab, sebagian pergi ke luar negeri sendirian, punya keluarga bahagia, punya anak-anak yang lucu. Irshad mengambil contoh-contoh komunitas muslim di berbagai negara yang menurutnya sangat menindas perempuan. Sayang sekali Irshad (mungkin) belum pernah ke Iran.

Saya delapan tahun tinggal di Iran, dan ajaibnya, lagi-lagi saya bertemu dengan banyak perempuan yang sangat educated, menyetir mobil sendiri, menjadi profesor atau dokter bedah dengan makalah-makalah yang dimuat di jurnal internasional, dan… luar biasa… mereka berjilbab! Pasti ini kondisi yang tak terbayangkan oleh Irshad. Dalam bayangan di kepalanya, keluarga muslim taat—apalagi perempuannya berjilbab—adalah keluarga-keluarga penuh kekerasan dan penindasan kepada perempuan.

Saya tidak mengabaikan ada banyak kaum muslim yang melakukan kejahatan, sebagaimana pada saat yang sama, banyak juga kaum non muslim yang kejam. Misalnya, Islam memberikan penghargaan tinggi kepada perempuan, namun masih banyak laki-laki muslim yang memperlakukan perempuan tanpa harga, sebagaimana laki-laki non-muslim pun banyak yang merendahkan perempuan.

Saya juga membaca tentang kekotoran politik di negara-negara Arab, namun jangan lupa, kekotoran politik di Barat pun sangat banyak terjadi. Hanya, kemasan pemberitaannya berbeda sehingga terasa lebih elegan dibanding kekotoran politik di negara-negara mayoritas muslim. Padahal, maaf, seperti kentut, keluar darimanapun, sama-sama bau.

Terkait Palestina, Irshad mengeluarkan argumen-argumen kuno yang sudah sangat sering disampaikan oleh para pembela Israel, saya tidak bisa membahasnya di sini karena akan sangat panjang. Tapi ada satu argumen yang baru saya dengar, yaitu berdasarkan tes DNA, orang Yahudi ternyata satu nenek moyang dengan orang Arab. Karena itu, mereka berhak menganggap Palestina sebagai tanah air mereka. Saya ingin mengajukan pertanyaan kepada Irshad, apa justifikasi DNA juga bisa diberikan kepada orang-orang Kanada (yang disanjung-sanjung Irshad) saat mereka datang ke kawasan itu dan membunuhi orang-orang Indian yang lebih dulu bermukim di sana? Tak akan ada yang percaya laki-laki seganteng aktor Kanada, Bruce Greenwood, ternyata bersaudara dengan orang Indian.

Namun, Irshad juga cukup bijaksana dengan menulis kalimat ini, "Memicu perubahan artinya berhenti untuk memahami Al-Quran secara harfiah dan juga tidak memahami multikulturalisme secara harfiah." Saya setuju (dengan sederet catatan) atas kalimat itu. Tapi, lanjutan kalimatnya, "Mengapa khitan terhadap klitoris perempuan yang dipaksakan harus dituruti?" Oh..oh... di Al Quran tidak ada keharusan khitan bagi perempuan. Tolong cek lagi Quran-mu, Irshad. Sayang sekali, kalimat bijaksana Irshad tadi dilanjutkan dengan contoh-contoh dangkal yang sangat kasuistis.

Ah, terlalu banyak waktu yang saya buang untuk membaca keluh-kesah Irshad. Tapi sekali lagi, bila Irshad ada dalam posisi saya, saya yakin, dia akan melihat Islam yang indah dan tak perlu ada ketakutan apapun. Kasihan sekali..(IRIB Indonesia/majalah Azzikra, Juni 2008)
*)Alumnus Pascasarjana Hubungan Internasional Universitas Padjajaran

Mengapa dalam Islam diyah perempuan harus diberikan setengah dibandingkan dengan diyah pria




Oleh: Asmaul Husna

Masalah diyah pada dasarnya merupakan metode dan solusi ekonomi dalam Islam untuk memberikan kerugian kepada seseorang yang dirugikan. Sampai pada masalah ini, tidak ada keberatan apapun terkait diyah atau tebusan atas kerugian. Tapi yang dipermasalahkan selama ini, mengapa dalam Islam diyah perempuan harus diberikan setengah dibandingkan dengan diyah pria. Apakah ini bukan bentuk lain dari diskriminasi dan ketidakadilan terhadap perempuan?

Menjawab pertanyaan yang semacam ini perlu mencermati dengan seksama konsep masyarakat Islam, dimana aktivitas ekonomi dibebankan di pundak pria. Dalam masyarakat Islam, pria memiliki tugas khusus yang tidak dibebankan kepada perempuan. Perempuan dalam sebuah keluarga bertanggung jawab dan pengelola asli segala bentuk aktivitas di dalam rumah tangga. Perempuan memegang posisi sentral dalam keluarga. Sementara pria bertugas menyediakan sarana kehidupan bagi kesejahteraan keluarganya.

Keseluruhan hukum Islam berdiri atas asas maslahah (kebaikan) dan mafsadah (keburukan) tertentu. Setiap hukum memiliki hikmah dan ada kebaikan di balik setiap pembentukan hukum. Jika Islam melarang sesuatu, alasannya adalah adanya keburukan dan jika memerintahkan sesuatu pasti ada kebaikan di sana. Tentu saja manusia tidak mampu secara keseluruhan mendaftar segala bentuk kebaikan dan keburukan secara sistematis dalam bentuk hukum. Oleh karenanya, selain bersandar pada akal sehatnya, manusia juga perlu tuntunan yang diberikan oleh manusia-manusia suci seperti para nabi dan imam. Mereka yang menentukan bahwa diyah seorang perempuan setengah dari diyahpria. Bila mereka yang menentukan demikian sesuai dengan ajaran Allah Swt, maka pasti ada hikmah di balik ketentuan ini.

Kesetaraan Gender, Berbeda Fungsi
Permasalahan diyah perempuan jangan dilihat dari sisi kesempurnaan manusia. Karena akan dibayangkan bahwa pria lebih sempurna dari perempuan, ketika melihat diyah perempuan setengahdiyah pria. Dan juga bukan masalah ketakwaan, sehingga kita akan mengatakan bahwa pria lebih baik sisi spiritualnya dari perempuan. Mengingat perempuan seperti Sayidah Maryam juga memiliki hubungan langsung dengan Allah, bukan hanya Musa as. Tapi masalah diyah perempuan harus dilihat secara komprehensif dalam sistem sosial dan ekonomi Islam. Karena yang memberi nafkah dalam konsep Islam menjadi tanggung jawab pria, maka diyah seorang pria lebih ketimbang perempuan. Artinya, setengah diyah perempuan itu kembali pada perannya dalam keluarga muslim. Tapi pada saat yang sama, diyah tidak mengenal perbedaan antara seorang tokoh dan pejabat pemerintah dengan masyarakat biasa. Artinya, penentuan diyah dan perbedaan yang ada antara pria dan perempuan itu kembali pada peran mereka masing-masing dalam tatanan keluarga Islam.

Sekaitan dengan kesetaraan pria dan perempuan dalam meraih kesempurnaan maknawi, Allah Swt dalam surat an-Nahl ayat 97 berfirman, "Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan."

Begitu juga dalam ayat 35 surat al-Ahzab, "Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu', laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar."

Kelembutan Perempuan dan Kekuatan Pria
Islam secara realistis menerima ada perbedaan fisik antara perempuan dan laki-laki. Pada prinsipnya, fisik perempuan lebih lemah dari pria. Dengan demikian harus diterima bahwa mereka lebih terbatas dalam hal mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang mendatangkan keuntungan materi, tidak seperti pria. Siapapun saja akan menerima perbedaan fisik ini dan begitu juga dampaknya dalam kehidupan sehari-hari, bahkan mereka yang menganggap tidak ada perbedaan antara pria dan perempuan.

Sebagai contoh, dengan fisik yang dimilikinya, perempuan harus menerima kenyataan mereka ketika berkeluarga akan melewati masa kehamilan yang berlanjut dengan persalinan dan membesarkan anak. Masa-masa ini sangat menguras energi setiap perempuan. Tapi pada saat yang sama, pekerjaan yang sangat mulia ini ternyata tidak mendatangkan keuntungan materi kepadanya. Kewajiban ini dibebankan kepada perempuan mengingat kondisi dan struktur tubuhnya berbeda dengan pria yang membuatnya lebih tepat untuk melaksanakan tugas mulia ini. Kelembutan perempuan dibutuhkan untuk membesarkan seorang anak dan bukan kekuatan pria.

Di sisi lain, di luar sana banyak pekerjaan yang membutuhkan kekuatan pria. Mereka bekerja si tempat-tempat dengan resiko kecelakaan bahkan hingga meninggal dunia. Dengan melihat kondisi ini, maka sudah sepantasnya bila diyah seorang pria lebih banyak dari diyah perempuan. Bila seorang pria atau kepala rumah tangga meninggal dunia akibat kecelakaan, maka keluarga itu akan sangat kehilangan dan sangat merugi. Karenanya, sudah sepantasnya bila diyah seorang pria lebih dua kali lipat dari perempuan.

Benar, saat ini kita menyaksikan perempuan dan pria atau suami dan istri dalam sebuah keluarga saling bahu membahu untuk memperbaiki taraf kehidupan. Artinya, dalam kenyataannya perempuan tidak diam di rumah menanti suami pulang dari kerja, tapi juga ikut membantu suaminya menambah pemasukan keluarga. Bahkan, perempuan juga mulai aktif melakukan kerja-kerja yang dilakukan oleh pria.

Sebuah kenyataan yang tidak dapat dipungkiri, tapi harus juga dikatakan bahwa apa yang terjadi ini tidak sesuai dengan bangunan masyarakat Islam yang diinginkan oleh Islam itu sendiri. Tentu saja masalah distribusi dan kesempatan kerja akan dibahas dalam kajian sistem ekonomi Islam secara tersendiri, tapi dalam kaitannya dengan pembahasan diyah, tetap saja mengacu pada prinsip masyarakat Islam, dimana yang memikul tanggung jawab kehidupan dan kesejahteraan keluarga adalah pria atau suami.

Itulah mengapa dalam konsep Islam seorang istri dalam sebuah keluarga mendapat perlakuan istimewa. Perlakuan ini bukan disebabkan diskriminasi, tapi kembali pada struktur fisik yang dimilikinya yang menuntut. Selain itu, tanggung jawab istri ketika dimulai dari masa kehamilan hingga menyusui dan membesarkan anak, bukan pekerjaan mudah. Sedikit terjadi masalah dalam jiwanya, akan sangat mempengaruhi pertumbuhan anak.

Oleh karenanya, lagi-lagi masalah diyah tidak dapat dipisahkan dari konsep Islam terkait masyarakat, keluarga dan ekonomi dalam  Islam. Hal inilah yang membuat tidak hanya masyarakat Islam, tapi juga pemerintahan Islam menjadi niscaya, untuk menata umat Islam sesuai dengan ajarah Islam. (IRIB Indonesia)

* Mahasiswi Jurusan Ulumul Quran, Jamiah Bintul Huda Qom.





0 comments to "Siapa saja yang banci janganlah berusaha menularkannya ke orang lain."

Leave a comment