Tekad Baru: Hidup yang Polos-polos Saja
Oleh : Dahlan Iskan, Menteri BUMN
Saya tidak menyangka persoalan seperti utang negara, impor garam, dan sulitnya swasembada gula sudah menjadi bisik-bisik tetangga di desa. Padahal desa ini berada di lereng Gunung Ciremai nun di Kabupaten Kuningan, Jabar. Saya beruntung Jumat malam lalu bisa bermalam di Desa Bunigeulis dan berdialog dengan ratusan penduduk setempat.
Mengapa penduduk desa sampai gelisah dan pusing memikirkan utang negara? Bahkan impor garam? Ternyata ada virus yang menjalar cepat: virus informasi setengah matang. Mereka hanya tahu sepotong tentang utang negara: jumlahnya yang meningkat.
Saya minta seorang peserta dialog untuk berdiri. Saya ajukan pertanyaan padanya, baik mana Anda punya utang Rp8 juta tapi kekayaan Anda Rp10 juta, dengan punya utang Rp20 juta tapi kekayaan Anda Rp100 juta. Benar bahwa utang itu meningkat. Tapi juga benar kekayaannya meningkat drastis. Inilah yang tidak pernah sampai ke masyarakat. Mungkin memang tidak sampai, mungkin juga sengaja disembunyikan.
Peserta dialog yang saya minta berdiri itu rupanya seorang humoris. Dengan nada bergurau dia menjawab, lebih baik kekayaannya meningkat tapi tidak punya utang! Ini mah mirip khotbah Jumat yang pernah saya dengar: semua orang itu inginnya serba enak. Waktu kecil dimanja, waktu remaja foya-foya, waktu muda kaya raya, waktu tua sehat bahagia, waktu meninggal masuk surga!
Dari dialog di desa malam itu saya melihat penularan hope kalah cepat dengan penularan pesimisme. Begitu cepat virus pesimisme, sinis, keluh-kesah, dan sebangsanya menjalar ke mana-mana. Ini tentu bahaya mengingat hope adalah salah satu faktor utama untuk kemajuan bangsa.
Di sini hope menghadapi persoalan yang sangat berat. Menularkan pesimisme cukup hanya dengan kata-kata. Modalnya pun hanya gombal. Sedang membangun hope harus dengan kerja nyata plus hasil yang bisa dirasa. Setiap kesulitan harus diberikan jalan keluar. Setiap kebuntuan harus ada terobosan. Masyarakat yang ada dalam "kuldesak" yang terlalu lama hanya akan membuat virus anti kemajuan merajalela.
Serbuan virus hopeless dari kota inilah yang kini harus dilawan di desa-desa dengan bukti nyata. Karena itu Bulog, Sang Hyang Sri, Pertani, Pupuk Indonesia, PT Garam, pabrik-pabrik gula, Perhutani, dan banyak BUMN lainnya, tahun ini harus bekerja all-out di lapangan.
Bulog, dengan pasukan semutnya, ternyata bisa. Dalam lima bulan ini saja Bulog sudah berhasil menghimpun beras 2 juta ton! Prestasi yang sangat membanggakan. Kerja lima bulan ini sudah sama dengan hasil pengadaan beras selama dua tahun (2010/2011).
Memang melelahkan, tapi itulah harga yang harus dibayar untuk memulihkan kepercayaan masyarakat. Memang harus muter terus -saya lihat sampai-sampai Dirut Bulog Sutarto Alimoeso kini ganti sepatu kets- tapi dengan hasil yang begitu nyata akan menambah kepercayaan diri kita.
Memulai kerja keras memang sangat berat. Tapi kalau sudah terbiasa bekerja keras, semua pekerjaan akan menjadi mudah.
Dalam dua minggu ini saya juga sudah keliling 14 pabrik gula di tiga propinsi. Sudah pula tampak perubahan: bukan saja pocong-pocong sudah bermetamorfosis menjadi ‘Ayu-ayu Azhari', tapi gigitannya pun sudah berotot. Semua pabrik gula sudah mampu meningkatkan rendemen awal. Semua pabrik gula juga sudah berani memberi jaminan rendemen minimal kepada petani.
Hebatnya lagi semua pabrik gula juga sudah berani memberikan uang jaminan kepada petani tebu. Selama ini petani tebu terjerat oleh pedagang gula. Ini bukan salah si pedagang, tapi karena pabrik gula sendiri yang tidak berdaya: baru bisa membayar sebulan setelah petani menyerahkan tebunya.
Sebaliknya pabrik-pabrik gula kini juga sudah berani menerapkan prinsip BSM kepada petani tebu: bersih, segar, manis. Tebu yang dikirim ke pabrik haruslah tebu yang bersih. Bukan tercampur dengan pucuk-pucuknya, tanah-tanahnya, dan anakan-anakannya. Tebu itu juga tebu yang segar, yang fresh from the field.
Dan yang paling penting, tebu yang dikirim ke pabrik adalah tebu yang sudah cukup manisnya. Jangan menebang tebu sebelum dipastikan (diperiksa dengan alat pengukur) bahwa tebu tersebut sudah matang kadar gulanya.
Saya melihat semangat yang tinggi di semua manajer dan karyawan pabrik gula yang sudah saya kunjungi. Juga semangat untuk "polos-polos saja". Semula dahi saya mengkerut ketika mendengar istilah "polos-polos saja" itu. Saya tidak mengerti apa maksudnya. Ternyata itulah tekad baru untuk tidak mempermainkan angka. Angka rendemen, angka timbangan, angka pupuk, angka tanam, angka angkutan, dan angka-angka yang menggoda lainnya.
Saya paham, membiasakan diri untuk "polos-polos saja" juga sangat berat awalnya. Tapi kalau sudah terbiasa, hidup ini akan dimudahkan jalannya.
Sang Hyang Sri, Pertani, dan Pupuk Indonesia (Pupuk Sriwijaya, Petrokimia Gresik, Pupuk Kaltim, dan Pupuk Kujang), juga bisa menjadi motor besar untuk menggerakkan hope di seantero desa: mendekatkan benih unggul, pupuk, dan pembasmi hama ke desa-desa. Puluhan ribu kios harus di bangun. Di mana-mana.
Jangan sampai petani kesulitan cari pupuk yang akhirnya mendapat pupuk palsu. Sulit cari benih unggul yang akhirnya menanam padi seadanya. Program mendekatkan benih-pupuk ke desa-desa memang akan memakan waktu tapi harus istiqamah jalannya.
Garam pun sebenarnya juga penuh dengan hope. Terutama untuk garam yang dimakan manusia. (Sebagian besar garam diperlukan oleh pabrik kertas!). Sebetulnya, kalau hanya untuk manusia Indonesia keperluan garamnya tidak banyak: 1,4 juta ton per tahun. Kita lebih menyukai yang manis-manis daripada yang asin-asin.
Saya berterima kasih bahwa Menteri Perindustrian, Bapak MS Hidayat, menemukan cara baru: membranisasi ladang garam. Begitu pentingnya program membranisasi ini sehingga saya usul ke Pak Hidayat penyertaan modal negara (PMN) untuk berbagai industri dikurangi saja. Lebih baik dikonsentrasikan untuk menolong jutaan petani garam di seluruh Indonesia. Triliunan rupiah PMN untuk Merpati, misalnya, hasilnya begitu-begitu saja. Merpati harus dicarikan jalan sendiri. Jalan korporasi. Bukan jalan subsidi.
Kalau dari sekitar 20.000 hektar ladang garam di seluruh Indonesia bisa diberikan membran 10 persennya saja, hasilnya bisa mencapai 1,7 juta ton/tahun. Sudah melebihi keperluan garam untuk manusia Indonesia.
Tapi membeli membran untuk 2.000 ha ladang garam memang memerlukan biaya besar. Tiap hektar memakan dana Rp 20 juta. Tapi angka itu tidak ada artinya dibanding dengan PMN untuk bidang lain. Padahal angka itu begitu besar artinya bagi petani garam. Belum lagi bagi harga diri bangsa yang selalu dihina dengan kalimat: garam pun harus impor!
Sambil menunggu PMN saya akan minta bank-bank BUMN untuk menghitung. Mungkinkah skema kredit dilakukan untuk membranisasi itu. Menurut hitungan Dirut PT Garam, payback membran ini hanya dua tahun. Berarti petani garam bisa mengembalikan kredit itu dalam dua tahun. Apalagi kalau diizinkan menggunakan dana KPBL BUMN untuk membayarkan bunganya. Agar petani garam tidak dibebani bunga.
Membran adalah sejenis plastik yang dihamparkan di tambak garam. Dengan dihampari membran, keuntungannya dobel: proses pembuatan garamnya lebih cepat (air lautnya lebih panas sehingga lebih cepat menguap), dan semua garamnya menjadi garam kelas satu.
Tanpa membran, lapisan garam yang paling bawah pasti tercampur tanah dan lumpur. Ini membuat sekian persen garam menjadi garam kelas tiga. Sulit dijual. Murah pula harganya. Di Madura saja kini ada 350.000 ton garam jenis ini. Menumpuk. Tidak ada yang beli. Isunya pun negatif: BUMN tidak mau beli garam rakyat.
.
Membran adalah hope baru bagi petani garam. Ini juga belum banyak diketahui.
Selesai shalat Jumat di sebuah masjid di pinggir jalan di Cirebon minggu lalu, ketika mulai mengenakan sepatu DI-19, saya didatangi camat dan kuwu setempat. Sambil melirik DI-19, Pak Camat mengemukakan bahwa di depan masjid itu ada asset BUMN yang sudah puluhan tahun menganggur. Itulah bangunan milik PT Garam yang sudah lama ditinggalkan.
Padahal ada sekitar 1000 petani garam di kawasan dekat masjid itu sampai ke Indramayu. PT Garam sebagai BUMN tidak pernah melakukan pembelian garam rakyat. Kepada Pak Camat saya berjanji untuk menelusurinya. Saya juga bertanya: apakah sudah ada petani garam yang menggunakan membran. Ternyata belum. Bahkan kata membran pun baru sekali itu dia dengar.
Sambil mengemudikan mobil ke pabrik gula Jatitujuh, saya hubungi Dirut PT Garam. Benar. Tidak ada pembelian itu. Bahkan sudah sejak 1992. Tapi PT Garam yang baru mulai tahun ini bisa bernafas, sudah bisa memberikan hope. Tahun ini PT Garam bisa membeli garam rakyat di Cirebon-Indramayu sebanyak 15.000 ton. Indikasi harganya pun sudah bisa disebut: antara Rp700 sampai Rp720 per kilogram, tergantung kualitasnyana. Ini sudah lebih baik dari harga tahun lalu yang Rp620 per kilogram.
Untuk garam, kawasan Cirebon-Indramayu memang tidak sebagus Madura. Di Indramayu petani hanya bisa membuat garam sekitar empat bulan dalam setahun. Bulan ini saat Madura sudah bisa menghasilkan garam, Indramayu masih hujan. Tentu di atas langit masih ada langit. Sebagus-bagus Madura, masih lebih bagus lagi Kupang, NTT. Di sana garam bisa dibuat selama sembilan bulan dalam setahun!
Hanya saja belum ada ladang garamnya. PT Garam baru akan ke sana setelah nafasnya genap. Mungkin tahun depan.
Hope memang tidak membuat perut terasa kenyang. Tapi hope-lah yang bisa membuat hidup terasa lebih hidup!(IRIB Indonesia/Antara)
Mengapa penduduk desa sampai gelisah dan pusing memikirkan utang negara? Bahkan impor garam? Ternyata ada virus yang menjalar cepat: virus informasi setengah matang. Mereka hanya tahu sepotong tentang utang negara: jumlahnya yang meningkat.
Saya minta seorang peserta dialog untuk berdiri. Saya ajukan pertanyaan padanya, baik mana Anda punya utang Rp8 juta tapi kekayaan Anda Rp10 juta, dengan punya utang Rp20 juta tapi kekayaan Anda Rp100 juta. Benar bahwa utang itu meningkat. Tapi juga benar kekayaannya meningkat drastis. Inilah yang tidak pernah sampai ke masyarakat. Mungkin memang tidak sampai, mungkin juga sengaja disembunyikan.
Peserta dialog yang saya minta berdiri itu rupanya seorang humoris. Dengan nada bergurau dia menjawab, lebih baik kekayaannya meningkat tapi tidak punya utang! Ini mah mirip khotbah Jumat yang pernah saya dengar: semua orang itu inginnya serba enak. Waktu kecil dimanja, waktu remaja foya-foya, waktu muda kaya raya, waktu tua sehat bahagia, waktu meninggal masuk surga!
Dari dialog di desa malam itu saya melihat penularan hope kalah cepat dengan penularan pesimisme. Begitu cepat virus pesimisme, sinis, keluh-kesah, dan sebangsanya menjalar ke mana-mana. Ini tentu bahaya mengingat hope adalah salah satu faktor utama untuk kemajuan bangsa.
Di sini hope menghadapi persoalan yang sangat berat. Menularkan pesimisme cukup hanya dengan kata-kata. Modalnya pun hanya gombal. Sedang membangun hope harus dengan kerja nyata plus hasil yang bisa dirasa. Setiap kesulitan harus diberikan jalan keluar. Setiap kebuntuan harus ada terobosan. Masyarakat yang ada dalam "kuldesak" yang terlalu lama hanya akan membuat virus anti kemajuan merajalela.
Serbuan virus hopeless dari kota inilah yang kini harus dilawan di desa-desa dengan bukti nyata. Karena itu Bulog, Sang Hyang Sri, Pertani, Pupuk Indonesia, PT Garam, pabrik-pabrik gula, Perhutani, dan banyak BUMN lainnya, tahun ini harus bekerja all-out di lapangan.
Bulog, dengan pasukan semutnya, ternyata bisa. Dalam lima bulan ini saja Bulog sudah berhasil menghimpun beras 2 juta ton! Prestasi yang sangat membanggakan. Kerja lima bulan ini sudah sama dengan hasil pengadaan beras selama dua tahun (2010/2011).
Memang melelahkan, tapi itulah harga yang harus dibayar untuk memulihkan kepercayaan masyarakat. Memang harus muter terus -saya lihat sampai-sampai Dirut Bulog Sutarto Alimoeso kini ganti sepatu kets- tapi dengan hasil yang begitu nyata akan menambah kepercayaan diri kita.
Memulai kerja keras memang sangat berat. Tapi kalau sudah terbiasa bekerja keras, semua pekerjaan akan menjadi mudah.
Dalam dua minggu ini saya juga sudah keliling 14 pabrik gula di tiga propinsi. Sudah pula tampak perubahan: bukan saja pocong-pocong sudah bermetamorfosis menjadi ‘Ayu-ayu Azhari', tapi gigitannya pun sudah berotot. Semua pabrik gula sudah mampu meningkatkan rendemen awal. Semua pabrik gula juga sudah berani memberi jaminan rendemen minimal kepada petani.
Hebatnya lagi semua pabrik gula juga sudah berani memberikan uang jaminan kepada petani tebu. Selama ini petani tebu terjerat oleh pedagang gula. Ini bukan salah si pedagang, tapi karena pabrik gula sendiri yang tidak berdaya: baru bisa membayar sebulan setelah petani menyerahkan tebunya.
Sebaliknya pabrik-pabrik gula kini juga sudah berani menerapkan prinsip BSM kepada petani tebu: bersih, segar, manis. Tebu yang dikirim ke pabrik haruslah tebu yang bersih. Bukan tercampur dengan pucuk-pucuknya, tanah-tanahnya, dan anakan-anakannya. Tebu itu juga tebu yang segar, yang fresh from the field.
Dan yang paling penting, tebu yang dikirim ke pabrik adalah tebu yang sudah cukup manisnya. Jangan menebang tebu sebelum dipastikan (diperiksa dengan alat pengukur) bahwa tebu tersebut sudah matang kadar gulanya.
Saya melihat semangat yang tinggi di semua manajer dan karyawan pabrik gula yang sudah saya kunjungi. Juga semangat untuk "polos-polos saja". Semula dahi saya mengkerut ketika mendengar istilah "polos-polos saja" itu. Saya tidak mengerti apa maksudnya. Ternyata itulah tekad baru untuk tidak mempermainkan angka. Angka rendemen, angka timbangan, angka pupuk, angka tanam, angka angkutan, dan angka-angka yang menggoda lainnya.
Saya paham, membiasakan diri untuk "polos-polos saja" juga sangat berat awalnya. Tapi kalau sudah terbiasa, hidup ini akan dimudahkan jalannya.
Sang Hyang Sri, Pertani, dan Pupuk Indonesia (Pupuk Sriwijaya, Petrokimia Gresik, Pupuk Kaltim, dan Pupuk Kujang), juga bisa menjadi motor besar untuk menggerakkan hope di seantero desa: mendekatkan benih unggul, pupuk, dan pembasmi hama ke desa-desa. Puluhan ribu kios harus di bangun. Di mana-mana.
Jangan sampai petani kesulitan cari pupuk yang akhirnya mendapat pupuk palsu. Sulit cari benih unggul yang akhirnya menanam padi seadanya. Program mendekatkan benih-pupuk ke desa-desa memang akan memakan waktu tapi harus istiqamah jalannya.
Garam pun sebenarnya juga penuh dengan hope. Terutama untuk garam yang dimakan manusia. (Sebagian besar garam diperlukan oleh pabrik kertas!). Sebetulnya, kalau hanya untuk manusia Indonesia keperluan garamnya tidak banyak: 1,4 juta ton per tahun. Kita lebih menyukai yang manis-manis daripada yang asin-asin.
Saya berterima kasih bahwa Menteri Perindustrian, Bapak MS Hidayat, menemukan cara baru: membranisasi ladang garam. Begitu pentingnya program membranisasi ini sehingga saya usul ke Pak Hidayat penyertaan modal negara (PMN) untuk berbagai industri dikurangi saja. Lebih baik dikonsentrasikan untuk menolong jutaan petani garam di seluruh Indonesia. Triliunan rupiah PMN untuk Merpati, misalnya, hasilnya begitu-begitu saja. Merpati harus dicarikan jalan sendiri. Jalan korporasi. Bukan jalan subsidi.
Kalau dari sekitar 20.000 hektar ladang garam di seluruh Indonesia bisa diberikan membran 10 persennya saja, hasilnya bisa mencapai 1,7 juta ton/tahun. Sudah melebihi keperluan garam untuk manusia Indonesia.
Tapi membeli membran untuk 2.000 ha ladang garam memang memerlukan biaya besar. Tiap hektar memakan dana Rp 20 juta. Tapi angka itu tidak ada artinya dibanding dengan PMN untuk bidang lain. Padahal angka itu begitu besar artinya bagi petani garam. Belum lagi bagi harga diri bangsa yang selalu dihina dengan kalimat: garam pun harus impor!
Sambil menunggu PMN saya akan minta bank-bank BUMN untuk menghitung. Mungkinkah skema kredit dilakukan untuk membranisasi itu. Menurut hitungan Dirut PT Garam, payback membran ini hanya dua tahun. Berarti petani garam bisa mengembalikan kredit itu dalam dua tahun. Apalagi kalau diizinkan menggunakan dana KPBL BUMN untuk membayarkan bunganya. Agar petani garam tidak dibebani bunga.
Membran adalah sejenis plastik yang dihamparkan di tambak garam. Dengan dihampari membran, keuntungannya dobel: proses pembuatan garamnya lebih cepat (air lautnya lebih panas sehingga lebih cepat menguap), dan semua garamnya menjadi garam kelas satu.
Tanpa membran, lapisan garam yang paling bawah pasti tercampur tanah dan lumpur. Ini membuat sekian persen garam menjadi garam kelas tiga. Sulit dijual. Murah pula harganya. Di Madura saja kini ada 350.000 ton garam jenis ini. Menumpuk. Tidak ada yang beli. Isunya pun negatif: BUMN tidak mau beli garam rakyat.
.
Membran adalah hope baru bagi petani garam. Ini juga belum banyak diketahui.
Selesai shalat Jumat di sebuah masjid di pinggir jalan di Cirebon minggu lalu, ketika mulai mengenakan sepatu DI-19, saya didatangi camat dan kuwu setempat. Sambil melirik DI-19, Pak Camat mengemukakan bahwa di depan masjid itu ada asset BUMN yang sudah puluhan tahun menganggur. Itulah bangunan milik PT Garam yang sudah lama ditinggalkan.
Padahal ada sekitar 1000 petani garam di kawasan dekat masjid itu sampai ke Indramayu. PT Garam sebagai BUMN tidak pernah melakukan pembelian garam rakyat. Kepada Pak Camat saya berjanji untuk menelusurinya. Saya juga bertanya: apakah sudah ada petani garam yang menggunakan membran. Ternyata belum. Bahkan kata membran pun baru sekali itu dia dengar.
Sambil mengemudikan mobil ke pabrik gula Jatitujuh, saya hubungi Dirut PT Garam. Benar. Tidak ada pembelian itu. Bahkan sudah sejak 1992. Tapi PT Garam yang baru mulai tahun ini bisa bernafas, sudah bisa memberikan hope. Tahun ini PT Garam bisa membeli garam rakyat di Cirebon-Indramayu sebanyak 15.000 ton. Indikasi harganya pun sudah bisa disebut: antara Rp700 sampai Rp720 per kilogram, tergantung kualitasnyana. Ini sudah lebih baik dari harga tahun lalu yang Rp620 per kilogram.
Untuk garam, kawasan Cirebon-Indramayu memang tidak sebagus Madura. Di Indramayu petani hanya bisa membuat garam sekitar empat bulan dalam setahun. Bulan ini saat Madura sudah bisa menghasilkan garam, Indramayu masih hujan. Tentu di atas langit masih ada langit. Sebagus-bagus Madura, masih lebih bagus lagi Kupang, NTT. Di sana garam bisa dibuat selama sembilan bulan dalam setahun!
Hanya saja belum ada ladang garamnya. PT Garam baru akan ke sana setelah nafasnya genap. Mungkin tahun depan.
Hope memang tidak membuat perut terasa kenyang. Tapi hope-lah yang bisa membuat hidup terasa lebih hidup!(IRIB Indonesia/Antara)
Hemat Energi dan Pemborosan Pemerintah
Gerakan penghematan energi kembali diserukan pemerintah. Padahal, seruan bagi penghematan energi selama ini terbukti bak peluru kosong karena begitu miskin keteladanan justru dari pemerintah.
Selasa (29/5) malam, di Istana Negara Jakarta, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengumumkan dimulainya gerakan nasional penghematan energi, baik bahan bakar minyak maupun listrik, mulai Juni ini.
Ada lima langkah penghematan. Pertama, mengendalikan sistem distribusi di setiap stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU). Kedua, melarang kendaraan pemerintah, BUMN, dan BUMD memakai BBM bersubsidi. Ketiga, melarang BBM bersubsidi untuk kendaraan perkebunan dan pertambangan. Keempat, konversi BBM ke bahan bakar gas untuk transportasi. Dan kelima, penghematan penggunaan listrik dan air di kantor-kantor pemerintah, BUMN, BUMD, dan penerangan jalan.
Penghematan energi memang langkah yang wajib dilakukan. Sebab, beban anggaran subsidi terus membengkak dari waktu ke waktu, apalagi setelah pemerintah gagal menaikkan harga BBM bersubsidi.
Anggaran subsidi energi untuk tahun ini yang ditetapkan sebesar Rp225 triliun bisa membengkak di atas Rp300 triliun dengan terus meningkatnya konsumsi BBM. Bahkan kuota yang ditetapkan APBN Perubahan 2012 sebesar 40 juta kiloliter hanya cukup sampai hari kesepuluh Oktober mendatang.
Bukan kali ini saja Presiden menyerukan perlunya penghematan energi. Pada 2005, ia bahkan telah mengeluarkan Inpres Nomor 10 Tahun 2005 tentang Penghematan Energi. Hasilnya? Pemborosan terus saja terjadi.
Instruksi Presiden itu dianggap angin lalu saja karena miskin teladan. Kini, Yudhoyono kembali menegaskan agar para pejabat pusat maupun daerah memberikan contoh nyata dalam gerakan penghematan energi.
Sebenarnya banyak contoh yang bisa ditunjukkan. Dan mestinya itu dimulai dari Yudhoyono sendiri. Misalnya saja, mengurangi jumlah kendaraan yang mengiringi pejabat tinggi di jalan raya. Bukankah sebaiknya hal itu dimulai dengan mengurangi jumlah kendaraan yang mengiringi Presiden? Begitu juga ketika Presiden datang ke daerah, kendaraan yang menyambut perlu ada pembatasan.
Selain itu, gerakan penghematan energi haruslah ditempatkan dalam konteks yang lebih besar, yakni penghematan anggaran. Pembangunan kantor dan rumah dinas yang mewah, misalnya, jelas pemborosan. Pengadaan mobil-mobil mewah bagi pejabat pemerintah maupun lembaga-lembaga negara yang umumnya di atas 2000 cc dan kerap menggunakan
premium juga pemborosan dan karena itu layak segera dihentikan.
Masih banyak langkah penghematan lain yang bisa dilakukan. Celakanya, keteladanan yang ditunjukkan pejabat hanya sesaat. Cuma heboh ketika ada instruksi Presiden, tapi kemudian lenyap tak berbekas.
Karena itu, selain perlu dibarengi dengan pemberian sanksi, keteladanan yang dicontohkan pejabat mestinya konsisten dan berkesinambungan hingga menciptakan budaya dalam keseharian. Dan itu, tidak bisa lain, haruslah dimulai dari pimpinan tertinggi di negeri ini. Tanpa itu, gencarnya seruan penghematan energi ibarat berperang dengan peluru kosong karena bermodal omong kosong.
Sementara itu, dari 2.285 desa atau pekon di Lampung, 660 desa di antaranya atau 30 persennya belum mendapatkan aliran listrik, terutama dari PT PLN. Menurut Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Lampung Prihantono GZ, sekitar 30 persen desa di Provinsi Lampung yang belum mendapat aliran listrik, selain kondisi geografis, faktor dana merupakan kendala bagi pemerintah untuk mensuplai kebutuhan listrik di pedesaan.
Karena itu, kata Prihantono, Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Lampung dengan program listrik pedesaan menargetkan mengurangi desa yang belum tersentuh aliran listrik. Caranya dengan membangun pembangkit listrik baru.
"Tugas bersama semua pihak untuk meningkatkan kapasitas kelistrikan di daerah Lampung ini, sehingga bisa mengejar ketertinggalannya," ujarnya, di Bandarlampung, ketika dihubungi, Minggu (3/6).
Prihantono mengemukakan, setelah program listrik perdesaan yang didukung dana APBN berjalan secara nasional, saat ini rasio elektrifikasi di pedesaan di Indonesia telah mengalami peningkatan, pada tahun 2010 masih mencapai 67,2 persen, meningkat menjadi 72,95 persen pada 2011.
Di Lampung, rasio elektrifikasi baru mencapai 53,9 persen, berarti masih berada di bawah kondisi rata-rata elektrifikasi secara nasional yang kini telah mencapai rata-rata 65 persen. Ke depan, menurut dia, daerah Lampung perlu mengejar ketertinggalan itu dengan meningkatkan rasio elektrifikasinya paling tidak mencapai rata-rata rasio nasional itu.
Ketersediaan daya listrik di Lampung saat ini mencapai 330 megawatt (MW) dari kebutuhan daya listrik pada beban puncak yang diperlukan mencapai 490 MW, sehingga terdapat kekurangan (defisit) daya listrik sebesar 160 MW atau 32,6 persen. Kekurangan daya listrik itu selama ini masih dipasok oleh jaringan interkoneksi listrik Sumbagsel.
Kondisi tersebut, menurut Prihantono, menjadikan daerah Lampung masih mengalami pemadaman aliran listrik secara bergiliran, meskipun sudah lebih baik dibandingkan sebelumnya.
Karena itu, diupayakan penambahan pembangkit listrik baru di Lampung, antara lain PLTU Tarahan dan pembangkit listrik panas bumi di Ulubelu, sehingga ditargetkan pada tahun 2012 ini akan mengalami kelebihan daya listrik (surplus).
Di sisi lain, Wali Kota Batam Ahmad Dahlan mengatakan pemadaman listrik bergilir di kawasan itu murni karena kerusakan mesin pada pembangkit listrik Panaran.
"Pemadaman listrik murni karena Panaran bukan karena masalah supply gas," kata Ahmad, di Batam, Minggu (3/6).
Ia mengatakan Pemerintah Kota Batam belum pernah menerima surat pemberitahuan pengurangan pasokan bahan bakar gas untuk PLTG PT Pelayanan Listrik Nasional Batam. Memang, kata Wali Kota, pemerintah daerah sudah mengirimkan surat ke Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral untuk meminta tidak mengurangi pasokan gas ke perusahaan listrik swasta itu.
"Surat itu berisi permintaan supaya bila ada pemeliharaan pipa, jangan sampai dikurangi," kata dia.
Kepala Dinas Penjualan Gas, PGN Batam, Afdal, juga membantah PGN mengurangi pasokan gas untuk anak perusahaan PLN (Persero). Menurut dia, pemadaman listrik di Batam disebabkan rusaknya mesin pembangkit milik PLN Batam, bukan karena pengurangan pasokan gas.
"PLN jangan menimpakan kesalahan kepada kami, karena hal itu merupakan pemutarbalikan fakta namanya," kata dia.
Menurut dia, memang benar ada pemeliharaan alat di sumber gas, tetapi bukan pipa PGN yang menyalurkan gas ke PLN Batam. Pemeliharaan itu, kata dia, memang membuat produksi gas dari sumur tersebut berkurang, tapi tidak untuk pasokan ke PLN Batam.
"Berkurang untuk industri, tapi untuk PLN Batam tetap normal, 40 bbtud," kata dia.
Sebelumnya, pada Kamis (31/5), Manajer Senior Komunikasi PT Pelayanan Listrik Nasional Batam Agus Subekti mengatakan PLN Batam terpaksa melakukan pemadaman listrik bergilir karena penghentian pasokan gas dari PGN akibat pemeliharaan pipa gas dari sumber di Grisik.
Agus mengatakan, akibat rencana pemeliharaan pipa itu, PLN defisit daya lebih dari 40 megawatt lagi. Padahal saat ini, PLN sudah kekurangan daya sekitar 20 megawatt. Akibatnya, pemadaman akan lebih parah dari satu hingga dua jam per hari menjadi empat jam per hari.
"Dengan begitu, PLN defisit daya sekitar 70 megawatt," kata dia. (IRIB Indonesia/micom)
0 comments to "Hemat Energi dan Pemborosan Pemerintah atau Hidup yang Polos-polos Saja...."