Membongkar Subsidi Terselubung
Oleh : Edy Mulyadi
Kalau mengurangi ‘subsidi' BBM yang cuma Rp. 22 triliun, pemerintah dan DPR terkesan sangat bersemangat. Tapi, barangkali tak banyak yang tahu, setiap tahun, ada subsidi terselubung dalam APBN: subsidi pembayaran bunga obligasi rekapitalisasi (OR) perbankan. Jumlahnya juga jauh lebih besar, Rp. 60 triliun, dan sudah berlangung sejak 2003 hingga 2040!
Pemerintah juga sangat pelit untuk pos belanja yang terkait pemenuhan hak dasar rakyat. Lihat saja anggaran beasiswa bagi 8,2 juta siswa/mahasiswa miskin pada APBN 2012 yang cuma Rp. 5,4 triliun. Jadi, rata- rata tiap siswa/mahasiswa memperoleh Rp. 658.000 per tahun. Juga Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) bagi 76,4 juta jiwa sebesar Rp. 7,3 triliun (atau Rp. 95.555/orang/ tahun).
Anggur Lama Botol Baru
Mencermati sejarah OR, sama saja menguliti kebodohan dan keserakahan para petinggi negeri kala itu. Kedua sifat ini berkolaborasi dengan nafsu imperalisme ekonomi IMF. Lahirlah berbagai kebijakan yang memberangus hak dasar rakyat, pemilik sah negeri ini.
Orba tumbang akhir 1998, lalu kita semua berharap Orde Reformasi memberi perbaikan fundamental terhadap kehidupan bernegara dan berbangsa. Tapi the old wine in the new bottle; anggur lama dalam botol baru. Orba boleh tumbang dan digantikan Orde Reformasi. Tapi kebijakan yang menghamba kepentingan majikan asing dan menafikan hak dasar rakyat, terus berlanjut.
Para majikan asing itu negara-negara Barat dengan berbagai lembaga multilateralnya. Dua aktor utamanya: IMF dan Bank Dunia. Mitos kehebatan mereka, khususnya IMF, sudah digembar-gemborkan para kompradornya yang dijuluki Mafia Berkeley sejak Orde Baru berkuasa di akhir 1960- an. Merekalah peletak dasar dan pelaksana pembangunan ekonomi Indonesia selama lebih dari tiga dasawarsa.
Padahal, namanya juga mitos, kehebatan majikan asing cuma fatamorgana. Kiprah IMF di Indonesia menjadi bukti sahih. Tiga tahap kebijkan IMF sejak Oktober 1997 yang ditujukan menstabilisasi keuangan, justru melahirkan destabilisasi dan kebangkrutan finansial.
Pemicunya tak lain kebijakan moneter superketat yang mengerek bunga antarbank dari sekitar 20 persen menjadi 300 persen. Kesalahan dilanjutkan November 1997 dengan melikuidasi 16 bank tanpa persiapan sama sekali. Trust, basis utama bisnis perbankan, pun runtuh. Kepercayaan publik terjun bebas ke titik nadir. Akibatnya, sekitar US$ 5 miliar (atau US$ 8 miliar) duit masyarakat terbang ke luar negeri. Nilai tukar rupiah yang sudah lunglai pun makin terkulai.
Tahap kedua kebijakan IMF, utang swasta dialihkan jadi utang publik. Akibat saran IMF, utang pemerintah melonjak luar biasa. Khususnya utang domestik yang sebelumnya nyaris nol. Sebelum krisis 1997, total utang kita US$ 136 miliar: US$ 54 miliar utang pemerintah, US$ 82 miliar utang swasta. Pada 2001, pasca program rekapitalisasi dan penjualan berbagai junk bond, utang luar negeri pemerintah melejit US$ 74 miliar dan utang domestik Rp. 647 triliun (US$ 60 miliar untuk OR). Ironisnya, pasca resep IMF, utang swasta justru turun menjadi US$ 67 miliar karena percepatan pembayaran dan restrukturisasi utang.
Pada tahap ketiga, salah obat IMF itu mulai berdampak luas sekaligus mengerikan bagi APBN. Pada 2005, alokasi pembayaran utang dalam dan luar negeri APBN mencapai Rp. 160 triliun. Kombinasi tekanan IMF dan hati tanpa nurani tadi memunculkan pemangkasan pelbagai anggaran pemenuhan hak rakyat secara langsug. Pajak dinaikkan, tarif dasar listrik (TDL) dan bahan bakar minyak (BBM) dikerek tinggi, aset BPPN diobral. Aksi fire sale fenomenal antara lain dilepasnya BCA pada Farallon seharga Rp. 5 triliun. Padahal, dalam BCA ada tagihan pemerintah (berupa obligasi rekap) yang menghasilkan bunga Rp. 7-8 triliun per tahun.
Kantong Kiri Kantong Kanan
Obligasi Rekap adalah piutang bank-bank milik pemerintah pada pemerintah. Atau pemerintah berutang pada bank miliknya sendiri. Ibaratnya, utang dari kantong kiri ke kantong kanan pada kemeja yang sama. Menurut mantan Menko Perekonomian Kwik Kian Gie, solusi mencegah beban amat berat di APBN adalah menarik obligasi rekap itu. Namun teknik penarikannya termasuk domain sub ilmu pengetahuan yang sama sekali tidak dipahami para teknokrat Mafia Berkeley dan IMF. Atau mungkin mereka paham, tapi sengaja mengobral bank-bank dengan harga murah seraya membangkrutkan negara.
Bersama Menkeu (saat itu) Bambang Sudibyo, Kwik diam- diam mengganti OR dengan zero coupon bond (ZCB) atau Obligasi Rekap tanpa Bunga. Isinya berupa angka yang harus dianggap modal/ekuiti agar CAR-nya 8 persen. Lalu, semua bank diberi tenggat lima tahun untuk sehat atas kekuatan sendiri lewat perbaikan kinerja. Kalau tidak, bank ditutup. Kalau sudah sehat, obligasi rekap tanpa bunga ditarik. Sayang, prinsip dan ide Zero Coupon Bond ini sama sekali tidak digubris. Akibatnya kita rasakan sendiri sekarang; mengeluarkan uang sekitar 25 persen dari APBN sejak 2003 hingga 2040.
Pemerintah sebaiknya menarik semua OR di perbankan untuk meringankan beban APBN. Penarikan obligasi rekap juga demi mempertimbangkan rasa keadilan rakyat yang selama ini patuh bayar pajak. Selain itu, OR juga harus untradeable (tidak dapat diperjualbelikan). Sebab, memperjualbelikan akan membuka pintu masuk perbankan asing menguasai bank nasional lebih dominan lagi.
Mengingat extraordinary crime policy itu telah, sedang, dan akan terus berlangsung, setiap warga negara yang waras dan berhati nurani punya kewajiban untuk terus menyuarakannya. Jika perlu, melakukan semacam class action untuk menghentikan kesewenang-wenangan ini. Jangan tunggu sampai 2040. (IRIB Indonesia/Prioritasnews)
*)Edy Mulyadi, Direktur Program Centre for Economic and Democracy Studies (CEDeS)
BUMN dan Korupsi
Media Indonesia dalam editorialnya hari ini (Rabu,6/6) menyebut badan usaha milik negara (BUMN) sebagai 'sapi perah' pejabat dan partai politik. Perusahaan pelat merah itu dijadikan tambang uang ilegal. Kecenderungan tersebut tidak hanya membuat BUMN sulit berkembang secara bisnis, tapi juga turut melestarikan praktik korupsi.
Praktik korupsi sudah berurat berakar dan menggurita dalam tubuh BUMN. Bahkan, menurut Menteri Negara BUMN Dahlan Iskan, 70% perusahaan pelat merah mendapatkan proyek lewat permainan uang atau sogok-menyogok.
Dahlan tidak sedang membuat sensasi. Semua itu hasil survei internal kementerian yang dipimpinnya. Hanya 30% perusahaan milik negara yang mendapat proyek tanpa sogok.
Dengan demikian, sekitar 98 dari 140 BUMN terlibat dalam korupsi yang bersifat sistematis dan terstruktur. BUMN yang bergerak dalam bidang jasa konstruksi paling rawan terlibat permainan busuk itu.
Sudah menjadi rahasia umum, perusahaan pelat merah konstruksi harus berkompetisi dengan swasta untuk mendapatkan proyek. Kebanyakan BUMN konstruksi jelas kalah kelas bila berkompetisi mengandalkan profesionalitas. Karena itu, tidak ada cara lain, mereka memainkan jurus suap-menyuap.
Saat ini terdapat 14 BUMN yang bergerak dalam bidang jasa konstruksi, termasuk Adhi Karya dan Wijaya Karya yang terlibat dalam proyek pembangunan sport centre di Hambalang, Jawa Barat.
Kasus Hambalang merupakan contoh paling aktual dan faktual soal dugaan korupsi yang melibatkan penguasa, pengusaha, dan pimpinan partai yang berkuasa. Penguasa pemilik proyek bermain mata dengan politisi yang mempunyai otoritas anggaran di DPR, dan pengusaha rela merogoh kocek dalam-dalam untuk memuluskan proyek. Kasus Hambalang sedang diusut Komisi Pemberantasan Korupsi.
Nilai total proyek Hambalang mencapai Rp2,5 triliun. Perinciannya, Rp1,1 triliun untuk konstruksi dan Rp1,4 triliun untuk biaya pengadaan barang. Ini termasuk proyek ajaib, sebab nilai pengadaan barang lebih besar ketimbang pembangunan gedung.
Lebih ajaib lagi, pembiayaan proyek menggunakan program tahun jamak (multiyears) tanpa sepengetahuan Komisi X DPR yang menjadi mitra kerja Kementerian Pemuda dan Olahraga, sang pemilik proyek. Kok bisa DPR tidak tahu? Bukankah DPR memiliki hak anggaran?
Modus korupsi yang sering dilakukan BUMN ialah menyubkontrakkan pekerjaan kepada perusahaan yang tak layak, terutama perusahaan milik politikus atau mereka yang dekat dengan anggota DPR dan penguasa.
Dalam kasus Hambalang, misalnya, terdapat 17 perusahaan yang menjadi subkontraktor. Salah satunya PT Dutasari Citralaras yang mendapat pekerjaan subkontrak dari Adhi Karya senilai Rp300 miliar.
Dutasari Citralaras milik Mahfud Suroso yang dikenal sebagai kerabat Anas Urbaningrum, ketua umum partai berkuasa, Partai Demokrat. Istri Anas, Athiyyah Laila, pernah menjadi komisaris perusahaan tersebut.
Sudah saatnya pemerintah berusaha sekuat tenaga untuk membebaskan BUMN dari posisi sebagai 'sapi perah' dan menjadi pusat korupsi. Upaya itu harus datang dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang merangkap Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat.
Yudhoyono harus melarang seluruh politikus partai berkuasa bermain dalam proyek pemerintah. Tanpa ketegasan itu, sulit membersihkan BUMN dari korupsi. (IRIB Indonesia/Mediaindonesia)
Praktik korupsi sudah berurat berakar dan menggurita dalam tubuh BUMN. Bahkan, menurut Menteri Negara BUMN Dahlan Iskan, 70% perusahaan pelat merah mendapatkan proyek lewat permainan uang atau sogok-menyogok.
Dahlan tidak sedang membuat sensasi. Semua itu hasil survei internal kementerian yang dipimpinnya. Hanya 30% perusahaan milik negara yang mendapat proyek tanpa sogok.
Dengan demikian, sekitar 98 dari 140 BUMN terlibat dalam korupsi yang bersifat sistematis dan terstruktur. BUMN yang bergerak dalam bidang jasa konstruksi paling rawan terlibat permainan busuk itu.
Sudah menjadi rahasia umum, perusahaan pelat merah konstruksi harus berkompetisi dengan swasta untuk mendapatkan proyek. Kebanyakan BUMN konstruksi jelas kalah kelas bila berkompetisi mengandalkan profesionalitas. Karena itu, tidak ada cara lain, mereka memainkan jurus suap-menyuap.
Saat ini terdapat 14 BUMN yang bergerak dalam bidang jasa konstruksi, termasuk Adhi Karya dan Wijaya Karya yang terlibat dalam proyek pembangunan sport centre di Hambalang, Jawa Barat.
Kasus Hambalang merupakan contoh paling aktual dan faktual soal dugaan korupsi yang melibatkan penguasa, pengusaha, dan pimpinan partai yang berkuasa. Penguasa pemilik proyek bermain mata dengan politisi yang mempunyai otoritas anggaran di DPR, dan pengusaha rela merogoh kocek dalam-dalam untuk memuluskan proyek. Kasus Hambalang sedang diusut Komisi Pemberantasan Korupsi.
Nilai total proyek Hambalang mencapai Rp2,5 triliun. Perinciannya, Rp1,1 triliun untuk konstruksi dan Rp1,4 triliun untuk biaya pengadaan barang. Ini termasuk proyek ajaib, sebab nilai pengadaan barang lebih besar ketimbang pembangunan gedung.
Lebih ajaib lagi, pembiayaan proyek menggunakan program tahun jamak (multiyears) tanpa sepengetahuan Komisi X DPR yang menjadi mitra kerja Kementerian Pemuda dan Olahraga, sang pemilik proyek. Kok bisa DPR tidak tahu? Bukankah DPR memiliki hak anggaran?
Modus korupsi yang sering dilakukan BUMN ialah menyubkontrakkan pekerjaan kepada perusahaan yang tak layak, terutama perusahaan milik politikus atau mereka yang dekat dengan anggota DPR dan penguasa.
Dalam kasus Hambalang, misalnya, terdapat 17 perusahaan yang menjadi subkontraktor. Salah satunya PT Dutasari Citralaras yang mendapat pekerjaan subkontrak dari Adhi Karya senilai Rp300 miliar.
Dutasari Citralaras milik Mahfud Suroso yang dikenal sebagai kerabat Anas Urbaningrum, ketua umum partai berkuasa, Partai Demokrat. Istri Anas, Athiyyah Laila, pernah menjadi komisaris perusahaan tersebut.
Sudah saatnya pemerintah berusaha sekuat tenaga untuk membebaskan BUMN dari posisi sebagai 'sapi perah' dan menjadi pusat korupsi. Upaya itu harus datang dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang merangkap Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat.
Yudhoyono harus melarang seluruh politikus partai berkuasa bermain dalam proyek pemerintah. Tanpa ketegasan itu, sulit membersihkan BUMN dari korupsi. (IRIB Indonesia/Mediaindonesia)
0 comments to "Membongkar Subsidi Terselubung dan Permasalahan BUMN dan Korupsi"