Home , , , , , , , , , , , , � Risalah Huquq (Serial) Hak Jiwa atas Manusia dan Hak Lisan

Risalah Huquq (Serial) Hak Jiwa atas Manusia dan Hak Lisan







Risalah Huquq; Hak Lisan (Bagian Pertama)



Setelah membahas bersama tentang tiga jenis nafsu yang terdapat dalam diri manusia yaitu, al-Nafs al-Ammarah, al-Nafs al-Lawwamah, dan al-Nafs al-Muthmainnah. Kini kita akan mempelajari lebih jauh hak dan kewajiban yang harus ditunaikan oleh manusia terhadap anggota badannya.

Imam Ali Zainal Abidin as-Sajjad as berkata, "Hak dan kewajiban lisan atas engkau adalah mencegahnya dari ucapan kotor dan membiasakannya dengan perkataan yang baik dan paksalah ia untuk berbicara dengan baik dan sopan. Hindarkan lisanmu dari banyak ucapan yang tidak berguna dengan membiasakan berdiam kecuali ketika diperlukan dan berguna bagi dunia dan akhirat."

Lidah adalah kumpulan otot rangka pada bagian lantai mulut sebagai sarana untuk mengecap rasa makanan dan berbicara. Lidah dikenal sebagai indera pengecap untuk mencicipi berbagai rasa seperti, manis, pahit, asin, asam, dan lainnya. Meski lidah memiliki multi fungsi, namun Imam Sajjad as lebih menekankan pada kegunaan lidah sebagai alat untuk berbicara dan berucap. Sebab lidah berperan penting dalam mentransfer pemahaman, nilai-nilai pendidikan dan konsep kesempurnaan manusia.

Manusia memperoleh berbagai informasi lewat dialog, percakapan, dan pertanyaan sekaligus memperkuat kepribadiannya dengan cara itu. Dengan kata lain, akal dan pikiran manusia merupakan harta karun dan kunci pembukanya adalah lisan. Kedudukan dan posisi manusia akan tampak ketika lidah bergerak mengeluarkan kata-kata. Oleh karena itu Imam Ali as menganggap organ sensitif ini sebagai tanda-tanda kebesaran Allah Swt dan parameter untuk mengukur kepribadian manusia. Imam Ali as berkata, "Kepribadian manusia tersembunyi di balik lisannya."

Atas dasar ucapan itu, seorang penyair kenamaan Iran, Saadi Shirazi berkata:

"Apa arti lisan di mulut pemikir?

Kunci peti harta sang seniman

Kala tertutup tak ada yang tahu

Penjual mutiarakah ia atau perajut sutra"

Kitab suci al-Quran setelah memaparkan proses penciptaan manusia, mengetengahkan masalah pentingnya penjelasan dan bayan (kepandaian berbicara). Seakan-akan salah satu bentuk kemurahan dan kasih sayang Tuhan kepada manusia adalah anugerah nikmat bayan kepadanya. Pada ayat 1-4 surat ar-Rahmaan, Allah Swt berfirman, "Tuhan Yang Maha Pemurah. Yang telah mengajarkan Al Quran. Dia menciptakan manusia. Mengajarkannya pandai berbicara."

Lisan dalam al-Quran adalah petunjuk kepribadian manusia. Ketika kita membaca kisah Nabi Yusuf as dengan Zulaikha dan sebelum utusan Allah Swt ini menceritakan kejadian yang menimpa dirinya, kepribadian Nabi Yusuf as tersembunyi di balik tirai-tirai kebungkaman dan tidak ada yang tahu. Namun setelah Yusuf dibebaskan dari penjara dan ketika menceritakan pengkhianatan yang dilakukan istri pembesar Mesir dan kesucian dirinya, Raja Mesir berkata kepada Nabi Yusuf as bahwa mulai saat ini engkau memiliki kedudukan istimewa dan menjadi kepercayaan raja.

Rasul Saw juga mengajak manusia untuk bertutur kata dengan lemah lembut dan sopan dalam menjalin interaksi. Rasul Saw bersabda, "Kalian akan dikenali ketika berbicara."

Hal yang sangat penting menyangkut lisan adalah bagaimana cara bertutur kata dan memanfaatkannya dengan baik. Organ kecil ini dapat mengantar manusia kepada kebahagiaan dan kesenangan dengan cara mengeluarkan kata-kata yang indah dan pada tempatnya. Sebaliknya, organ ini juga dapat menjerumuskan manusia pada kesesatan dan kesengsaraan jika digunakan secara tidak benar.

Ketika Luqman al-Hakim menjadi pelayan, tuannya meminta kepadanya untuk menghidangkan bagian tubuh kambing yang paling baik. Luqman menyajikan lidah dan hati kambing kepada tuannya. Hari berikutnya, sang tuan meminta Luqman untuk membawakan bagian tubuh kambing yang paling buruk, lagi-lagi Luqman menghadirkan lidah dan hati kambing kepada majikannya itu.

Kemudian sang tuan bertanya, "Mengapa dalam dua hari ini engkau menghidangkan kepadaku dua jenis hidangan yang sama? Bagaimana mungkin lidah dan hati kambing sama-sama organ yang paling baik dan paling buruk?"

Luqman menjawab, "Lidah dan hati yang bersih dan suci lebih baik dari segala hal, dan jika ternodai dan kotor, maka ia lebih buruk dari semuanya."

Sebagian besar perbuatan baik dan buruk bermuara pada lidah. Perkataan baik dan buruk yang keluar dari lisan seseorang adalah cerminan kedudukannya. Oleh sebab itu, Imam Sajjad as meminta umat manusia untuk mengendalikan lisan dan menunaikan hak-haknya. Di antara hak-hak lisan adalah menghormatinya dan tidak menodainya dengan kata-kata kotor, celaan, dan makian.

Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa pada suatu hari seekor babi mendekati Nabi Isa as. Lalu putra Maryam ini berkata, "Pergilah dengan selamat."

Para sahabat Nabi Isa as memprotes dan berkata, "Wahai Nabi Allah, mengapa engkau bertutur kata seperti itu kepada binatang seperti babi?"

Nabi Isa as menjawab: "Aku tidak suka mengeluarkan kata-kata kotor."

Ucapan yang baik dan penuh pertimbangan memiliki berkah yang sangat banyak. Berkah ini hanya milik orang-orang yang membiasakan lidahnya dengan kata-kata baik. Imam Sajjad as ketika memaparkan dampak-dampak bertutur kata dengan baik, berkata, "Ucapan yang indah akan memperbanyak harta, menambah rezeki, menunda kematian, menjadikan seseorang dicintai oleh anggota keluarganya dan akan mengantarkannya ke surga." (IRIB Indonesia)

Risalah Huquq; Hak Lisan (Bagian Kedua, Habis)



Pada pembahasan sebelumnya kita telah membahas bersama tentang hak dan kewajiban lisan manusia.Pada kesempatan kali ini, kita berusaha mengetahui lebih jauh tentang hak dan kewajiban yang harus ditunaikan oleh manusia terhadap anggota badannya.

Seorang ilmuwan, sastrawan sekaligus pemikir dari Mesir, Sayyid Qutb menulis, "Sungguh! Kemampuan berbicara adalah kekuatan yang menakjubkan. Kekuatan kalam atau perkataan lebih besar dibanding kekuatan yang lain. Ketika kita bertutur kata dengan indah, seakan pintu-pintu langit terbuka lebar dan seluruh realita tampak dengan jelas. Kekuatan perkataan akan mengoyak tirai yang tersembunyi dan menghalau segala rintangan. Rahasia kekuatan kalam tidak hanya terletak pada keindahan kata atau ungkapan yang berirama, tapi tersimpan dalam kekuatan iman yang mengarahkan dan membentuk kata-kata itu. Kemampuan berbicara bahkan menghidupkan kata-kata dan kalimat. Tulisan merupakan bentuk lain dari kalam yang akan membangunkan orang-orang yang terlelap dan menggerakkan manusia yang tak bernyawa. Oleh karena itu rahasia kalam dan kemampuannya ada pada wawasan dan pemikiran manusia."

Dapat kita katakan bahwa lisan dan ucapan memiliki pengaruh luas. Lidah berbicara tentang kebaikan dan keburukan, kebenaran dan kebatilan, dan lain-lain. Namun jika lidah tidak terkendali dan manajemen kehidupan manusia diserahkan secara bulat kepada organ ini, maka masa depan manusia akan terancam.

Imam Ali as berkata,"Lidah bagi pemiliknya ibarat kuda liar. Orang yang bertakwa akan memperoleh manfaat dari ketakwaan ketika mampu menjaga lisannya." Kitab suci al-Quran dalam surat Qaaf juga berbicara tentang keberadaan para pengawas bagi manusia yang merekam setiap ucapan manusia untuk menjadi saksi di hari kebangkitan.

Cara terbaik mencegah penyakit-penyakit lisan adalah berpikir sebelum berbicara dan mengeluarkan kata-kata. Imam Ali as berkata,"Lisan seorang ilmuan terletak di balik hatinya dan hati seorang dungu ada di balik lisannya." Dalam ungkapan ini, Imam Ali as mengingatkan kita bahwa manusia berakal tidak akan angkat bicara tanpa berpikir dan bermusyawarah. Namun orang bodoh akan mengeluarkan setiap ucapan tanpa berpikir dan menimbang.

Menyangkut hal ini, para nabi dan utusan Allah memperingatkan umat manusia bahwa lisan adalah sumber dari sebagian besar kesalahan dan dosa. Berbohong, mengupat, mencela, menghina, dan menghitung kekurangan orang lain merupakan bentuk kesalahan yang bersumber dari lisan.

Setiap sifat jelek tersebut dengan sendirinya akan memperluas kebiasaan buruk di tengah masyarakat. Padahal salah satu tanda orang mukmin adalah tidak menyakiti orang lain baik dengan tangan atau lisan. Imam Sajjad as mengingatkan kita untuk bertutur kata dengan baik. Berbicara tentang hak-hak lisan manusia, Imam Sajjad as berkata,"Jangan biarkan sebuah ucapan keluar dari lisanmu yang hanya akan merugikan dan akal menjadi petunjuk atas untung dan ruginya ucapan tadi. Sebab, hiasan orang berakal adalah tutur katanya yang baik."

Kendati lidah memiliki kemampuan, pengaruh, dan multi fungsi yang luas, namun menurut para pakar, kita dapat mencegah penyakit-penyakit lisan. Orang yang berakal adalah individu yang senantiasa berusaha menjauhkan diri dari penyakit dan dosa yang lahir dari lisan. Berbicaralah dengan penuh pertimbangan, dan jika tidak mampu, maka diam merupakan jalan terbaik untuk lari dari kesalahan dan menjaga kepribadian kita.

Ketika Imam Sajjad as ditanya,"Mana yang lebih utama, berbicara ataukah diam?"

Imam as menjawab,"Tanpa ragu keduanya memiliki nilai negatif masing-masing dan selama keduanya bisa menghindari penyakit lisan, maka berbicara itu lebih baik."

Lalu Imam Sajjad as ditanya lagi, "Mengapa berbicara lebih baik?"

Beliau menjawab,"Allah Swt tidak mengutus para rasul dan wasinya untuk diam, tapi memerintahkan mereka untuk berbicara. Surga tidak akan pernah diperoleh dengan diam, begitu juga dengan neraka. Semua itu diperoleh dengan ucapan dan perkataan." (IRIB Indonesia)

Risalah Huquq; Hak Jiwa atas Manusia (Bagian Pertama)



Hak-hak manusia menurut Islam tidak hanya menyoroti masalah hak sosial dan kemanusiaan seorang insan, tapi juga mengangkat masalah kewajiban (taklif) dan tanggung jawab. Isu-isu ini termasuk masalah yang kurang mendapat perhatian dalam kajian hak asasi manusia produk Barat. Kemuliaan manusia menurut definisi Islam tidak hanya terletak pada kepemilikan hak-hak maksimal, tapi kebesaran manusia terletak pada penerimaan tanggung jawab dan pelaksanaan komitmen dan janji-janjinya. Sebab tanggung jawab dan tugas yang sesuai dengan kemampuan dan kapasitas manusia memiliki pengaruh besar terhadap perkembangan dan kesempurnaan manusia itu sendiri.

Di era kekinian, para sosiolog dan pakar hukum telah banyak mengetengahkan masalah hak-hak manusia dalam berbagai kesempatan, namun kita sama sekali tidak menemukan kajian tentang hak untuk mengembangkan dan meningkatkan spiritual manusia dalam dokumen-dokumen Hak Asasi Manusia (HAM). Padahal manusia yang memiliki kemampuan dalam bidang sains dan juga telah mencapai kemajuan dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan, dapat dan layak untuk mencapai puncak kesempurnaan dan keutamaan dalam bidang spiritual.

Imam Sajjad as ketika menjelaskan hak pertama yang ada pada pundak manusia, mengatakan, "Setelah hak Allah Swt sebagai hak yang paling besar, engkau adalah semata-mata hamba-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dalam menjalankan ibadah dan penghambaan. Saat engkau telah menjadi hamba yang ikhlas dan taat, maka Allah Swt akan mencukupkan dunia dan akhiratmu dan Dia akan menjaga hal-hal yang engkau cintai dari dunia dan akhirat ini untukmu."

Jelas bahwa hak-hak Allah Swt atas hamba-Nya lebih besar dari yang kita gambarkan. Dalam perspektif al-Quran, nikmat Tuhan tidak dapat dikalkulasi dan juga manusia tidak akan mampu menunaikan karunia pemberian Allah Swt. Seorang penyair mengatakan, "Aku tidak mampu bertahan tanpa Engkau, Karunia-Mu tidak mampu aku hitung, Jika setiap helai bulu di tubuhku menjadi lisan, Aku tetap tidak mampu mensyukuri satu nikmat dari seribu nikmat yang Engkau anugerahkan."

Karena itu, Imam Sajjad as menganggap sebagian hak-hak Allah Swt lebih utama dari seluruh hak lain dan kewajiban terbesar manusia terhadap Sang Pencipta adalah beribadah dan tidak menyekutukan-Nya. Syirik dan politeisme ibarat sarang laba-laba yang rapuh dan tidak memiliki pondasi dan orang-orang yang menyembah selain Allah Swt, pada dasarnya telah bersandar pada tumpuan yang rapuh dan keropos. Dalam pandangan al-Quran, barang siapa yang menyekutukan Allah Swt, maka ia telah kehilangan sandaran dan basis yang aman dan tengah melangkah cepat ke arah kehancuran.

Orang seperti ini seakan-akan tengah terjun bebas dari langit dan disambar oleh burung-burung di tengah perjalanan sebagai santapan mereka atau badai menerbangkannya ke tempat terasing. Dalam surat al-Haj ayat 31, Allah Swt berfirman, "Barangsiapa mempersekutukan sesuatu dengan Allah, maka adalah ia seolah-olah jatuh dari langit lalu disambar oleh burung, atau diterbangkan angin ke tempat yang jauh."

Karena itu, orang musyrik akan menanggung kerugian yang besar. Akan tetapi tauhid dan penghambaan adalah pembersih hati dari kelalaian dan kebodohan. Tauhid mengajak kita memuji Sang Pencipta dengan lisan dan hati dan menyingkirkan jauh-jauh rasa cinta kepada selain Allah Swt dari lubuk hati kita. Jangan sampai kita lalai dari mengingat Allah Swt dan juga tidak mencari selain-Nya dalam bertindak dan beramal.

Hamba Allah Swt yang hakiki meyakini bahwa Sang Pencipta tidak ada sekutu dan serupa yang menyamai-Nya. Semua makhluk membutuhkan-Nya dan Dia tidak butuh terhadap segala sesuatu. Ia Maha Mengetahui dan Maha Kuasa atas segala sesuatu. Ke arah manapun kita menatap, hanya wajah-Nya yang kita saksikan. Dunia adalah ciptaan-Nya dan berdiri kokoh atas kehendak-Nya.

Pada dasarnya Tuhan yang diperkenalkan oleh Islam adalah Sang Pencipta Yang Maha Pengatur dan Maha Bijaksana yang telah menciptakan cinta dan semangat dalam diri manusia. Keyakinan terhadap tauhid akan mengantarkan manusia ke puncak kesempurnaan dan derajat yang tinggi. Untuk itu, sangat layak Dia menjadi tumpuan dan harapan manusia. Oleh sebab itu, seruan pertama para Nabi terhadap umatnya adalah mengesakan Tuhan dan mengucap kalimat syahadat.

Pada masa sekarang, para ilmuan juga menyinggung poin tersebut, yaitu fitrah bertuhan dan kecenderungan kepada hal-hal yang sakral telah tertanam dalam naluri manusia. Jika manusia tidak menemukan Tuhan Yang Maha Esa, maka mereka akan mencari objek lain untuk disembah dan diangungkan. Imam Sajjad as mengingatkan bahwa rasa haus pengembaraan manusia mencari hakikat akan terobati ketika ia menemukan Tuhan dan melakukan penghambaan dengan tulus di hadapan-Nya. Saat itu, Sang Pencipta juga akan menjamin dunia dan akhirat hamba yang tulus tadi dan menjaganya dari kejelekan setan dan godaan hawa nafsu yang merusak.

Namun jika manusia lalai terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa, pada dasarnya ia telah menghancurkan hakikat kemanusiaannya dan mendidik selain dirinya. Menyangkut masalah ini, Ustad Syahid Murtadha Muthahhari mengatakan, "Manusia yang mengira hakikat dirinya hanya terbatas pada jasad dan apa yang dikerjakan hanya untuk kepentingan raganya, maka ia telah melupakan dirinya sendiri dan menganggap orang lain sebagai dirinya."

Sebagaimana yang diungkapkan oleh Maulawi, "Ia ibarat seorang yang memiliki sepetak tanah dan dengan kerja keras, ia membangun rumah di atas tanah tersebut dan menghiasinya dengan permadani dan kain hias, namun pada saat ia ingin menempati rumah itu, tiba-tiba ia sadar telah membangun rumah di atas lahan milik orang lain, sementara tanah miliknya dibiarkan kosong dan tidak terawat." (IRIB Indonesia)

Risalah Huquq; Hak Jiwa atas Manusia (Bagian Kedua)



Salah satu syarat kesuksesan manusia adalah pengenalan terhadap diri sendiri (mengenal diri). Seorang ilmuan besar Islam, Imam Muhammad al-Ghazali mengatakan, "Tidak ada yang lebih dekat dengan engkau selain dirimu sendiri, jika engkau tidak mengenal dirimu, bagaimana engkau akan mengenal orang lain?" Pengenalan diri adalah sebuah proses mengenali seluruh dimensi wujud kita dan kapasitas yang kita miliki. Pengenalan diri seperti; "dari mana kita datang, untuk apa kita datang, dan akan kemana kita melangkah", adalah kunci mengenal Zat Yang Maha Esa dan Maha Bijaksana. Imam Ali as berkata, "Barangsiapa yang mengenal dirinya, maka ia telah mengenal Tuhannya."

Manusia dengan kemampuan luar biasanya, memiliki dimensi materi (lahir) yang disebut dengan raga dan juga dimensi non materi (batin) yang dinamakan jiwa dan ruh. Hakikat manusia terletak pada ruh dan jiwanya. Jika ia bersih dan suci, maka akalnya juga akan tercerahkan dan mampu membedakan antara jalan yang benar dengan yang keliru. Dengan kata lain, kebahagiaan dan kesempurnaan luhur manusia bergantung pada program pensucian dan pencerahan jiwa, sebab jasad manusia lebih cenderung mengikuti hawa nafsu. Sebagai contoh, indera penglihatan kita akan menelusuri sebuah pemandangan setelah menerima dorongan hawa nafsu. Karena itu, manusia harus berupaya mengenal jiwanya dan menjaganya dari polusi berupa noda dan dosa sehingga tidak menyimpang dari jalan yang benar.

Menurut para ilmuan, saat ini psikoanalisis dan pengenalan diri merupakan metode penting untuk memahami penyakit-penyakit jiwa dan mental. Imam Ali as juga menganjurkan kita untuk menyingkap berbagai macam penyakit jiwa dan mental lewat metode pengenalan diri. Imam Ali as berkata, "Para pemikir wajib menelusuri dan menyelami jiwanya dan harus mengenal penyakit-penyakit jiwa dan ruhnya dalam konteks iman, akidah, akhlak, dan tatakrama. Selanjutnya, mereka harus merekam dalam benaknya atau menulis dalam catatannya penyakit-penyakit tersebut. Kemudian mereka harus mengambil langkah serius untuk menghilangkan penyakit jiwa dan ruh itu."

Secara umum, ketika para kekasih dan wali Allah Swt ingin mendorong manusia untuk meraih nilai-nilai luhur, terlebih dahulu mereka menyadarkan manusia pada batinnya sehingga mampu menyingkap hakikat wujudnya. Manusia yang menyelami batinnya dengan teliti dan mengidentifikasi kelemahan dan kekurangan dimensi internalnya, maka ia akan menemukan kedudukannya di dunia ini. Manusia akan memahami bahwa kehinaan, kebohongan, nifak dan kerusakan tidak selaras dengan esensi wujudnya. Ia adalah sosok yang bebas dan punya ikhtiyar untuk menentukan masa depannya dan menjaga keasrian dunia.

Manusia adalah ciptaan Tuhan dan keistimewaannya tidak diperoleh secara kebetulan sehingga bisa bersikap arogan dan mengeksploitasi segala yang diinginkan. Dari sisi lain, kapasitas dan kedudukan manusia juga tidak mengizinkannya untuk meremehkan atau menganggap rendah dirinya sendiri dan atau membiarkan orang-orang lain menginjak-injak hak dan harga dirinya.

Pengenalan diri akan memberikan arti dan makna lain bagi kehidupan manusia dan akan membuka peluang untuk meraih kebaikan dan keutamaan moral. Dalam kitab suci al-Quran, Allah Swt menyinggung masalah tersebut dan menyatakan bahwa jiwa manusia diciptakan dengan baik dan juga telah diilhami dengan kecenderungan untuk berbuat baik dan taqwa, namun keberuntungan hanya milik orang-orang yang mensucikan diri.

Pengenalan diri dan pensucian jiwa (Tazkiyyatun Nafs) memiliki beragam cara. Salah satu metode penting dalam masalah ini adalah perenungan atau kontemplasi (tafakkur) dan menyendiri. Manusia perlu melakukan instrospeksi diri dan mengevaluasi setiap tindakan yang telah dilakukan. Menyangkut masalah ini, para pakar psikologi menyarankan kita untuk berdiam diri di sebuh ruangan yang jauh dari gangguan dan kebisingan guna memusatkan pikiran. Kita dapat mengubah kepribadian kita dengan cara mengeveluasi pekerjaan sehari-hari. Selain itu, dengan mewujudkan energi positif dalam diri sendiri, kita akan mampu memilih nilai-nilai dan tujuan-tujuan baru bagi kehidupan kita.

Ketika Imam Ali Zainal Abidin as-Sajjad as ditanya tentang orang yang paling penting dan memiliki karakter sempurna di tengah seluruh masyarakat, Imam menjawab, "Orang yang tidak menilai dunia sama dengan jiwanya." Artinya ia adalah orang menghargai kemuliaan dan harga diri. Dan jika seluruh isi dunia berada di salah satu timbangan, sementara kemuliaan dan harga diri berada di bagian lain, maka ia tidak akan bersedia melakukan transaksi dalam masalah ini.(IRIB Indonesia)

Risalah Huquq; Hak Jiwa atas Manusia (Bagian Ketiga)



Dalam diri manusia tertanam potensi kebahagiaan dan kesengsaraan. Barang siapa yang menjaga jiwanya dari bisikan hawa nafsu dan berbagai macam godaan, maka ia telah mempermudah langkahnya menuju jalan kesempurnaan dan akan menemukan kebenaran dan hakikat.

Saat itu, cahaya kebenaran akan menerangi setiap sisi manusia, menghadirkan kebahagiaan dan mensucikan jiwa dan raga dari debu-debu dosa dan kotoran. Kebenaran akan memusnahkan rasa iri, dengki, dan seluruh penyakit jiwa dan moral dari masyarakat. Manusia yang haus kebenaran tidak akan pernah merasa puas kecuali setelah mengenal dirinya dan melangkah di jalan yang benar.

Manusia yang mengabaikan sifat-sifat batinnya akan terseret ke dalam lembah kesesatan, sebab polusi dan gangguan jiwa dan batin sangat merusak diri manusia. Oleh karena itu, kebahagiaan manusia tidak mungkin terwujud tanpa kesehatan dan kesucian jiwa dan keseimbangan potensi-potensi jiwa. Hawa nafsu berupa ketamakan, amarah, iri dan seluruh kecenderungan-kecenderungan negatif lain harus dibenahi.

Imam Ali Zainal Abidin as-Sajjad as dalam kitab "Risalatul Huquq" menilai langkah menyucikan jiwa atau tazkiyatun-nafs sebagai tugas manusia. Setelah menjelaskan hak dan kewajiban terhadap Allah Swt, Imam Sajjad as menyebutkan kewajiban kedua manusia yaitu kewajiban atas jiwanya. Imam Ali Zainal Abidin as berkata, "Kewajibanmu atas dirimu adalah memanfaatkan seluruh potensi dan kemampuan yang diberikan Allah Swt dan melangkah di jalan ketaatan. Karena itu, tunaikanlah hak lisanmu, pendengaranmu, penglihatanmu, kedua tanganmu, kedua kakimu, dan...Mintalah pertolongan Allah Swt dalam menunaikan hak-hak tersebut dan bertawakkallah kepada-Nya."

Kecenderungan dan daya tarik akan menciptakan sebuah ikatan dan ketertarikan antara manusia dengan lingkungan sekitar. Manusia akan terdorong untuk mendekati objek luar tadi. Manusia yang tunduk di hadapan tuntutan hawa nafsunya, maka ia telah menyerahkan nasibnya kepada sebuah kekuatan luar. Sebuah kekuatan yang akan menyeret manusia ke segala arah. Namun di sisi lain, menguasai hawa nafsu dan membentuk diri akan membangun kepribadian manusia. Ketika manusia mampu menguasai hawa nafsunya dengan tekad dan semangat, maka ia dapat membebaskan diri dari segala macam bahaya. Menguasai diri dan hawa nafsu merupakan tujuan utama pendidikan agama khususnya Islam.

Imam Sajjad as menilai langkah mensucikan diri atau tazkiyatun-nafs sebagai sebuah hak dan kewajiban manusia sehingga mereka tidak terpesona oleh berbagai hiasan dunia sekaligus dapat menjaga kemuliaan dirinya. Karena itu, manusia harus menemukan kebesaran dan keagungan dirinya dan perlu berpikir tentang esensi wujudnya.

Imam Ali bin Abi Thalib as dalam sebuah untaian kata yang indah berkata, "Wahai manusia, penawar penyakit pada dirimu ada dalam dirimu sendiri. Engkau tidak melihat penawar itu. Rasa sakitmu juga berasal dari dirimu sendiri tapi engkau tidak menyadarinya. Engkau ibarat buku alam semesta dan jika engkau menyelami dirimu dengan teliti, maka sebagian besar hakikat akan nampak. Apakah engkau mengira bahwa dirimu hanya sebuah benda kecil di alam semesta, padahal dalam dirimu terdapat sebuah alam besar."

Manusia perlu mengenal hakikat eksistensi dirinya dan berjalan pada jalur yang benar hingga bisa sampai pada tujuan penciptaan, yaitu ibadah dan ketaatan kepada Allah Swt. Dalam surat adz-Dzaariyaat ayat 56, Allah Swt berfirman, "Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku."

Melihat tujuan penciptaan yang dipaparkan al-Quran, Imam Sajjad as menilai hak jiwa manusia yang paling besar adalah mematuhi dan menghambakan diri kepada Allah Swt dan tujuan luhur ini tidak boleh dilupakan begitu saja, terlebih badai kehidupan sekarang membuat manusia lalai untuk memikirkan tujuan penciptaan.

Paham-paham berbahaya berupa pemikiran dan budaya telah mengepung umat manusia dan kita selalu menyaksikan peristiwa-peristiwa baru yang lahir dari "Manusia Berperadaban". Imam Sajjad as yakin bahwa orang-orang yang melangkah meraih tujuan penciptaan dan menyembah Tuhan Yang Maha Esa, ia termasuk golongan yang menunaikan kewajiban atas dirinya. Manusia yang memahami penghambaan dan keagungan Sang Pencipta akan sampai pada kebesaran dan saat itulah ia akan mencapai derajat yang lebih tinggi dibanding makhluk-makhluk yang lain. Sementara orang yang melalaikan tujuan penciptaan, maka ia telah mendahulukan penghambaan kepada selain Tuhan dan melecehkan hakikat kemanusiaannya.

Kebergantungan terhadap pangkat, jabatan, dan harta benda dan bersandar pada kekuatan-kekuatan besar termasuk contoh penyembahan kepada selain Allah Swt. Pada dasarnya, manusia yang menyembah selain Allah Swt tidak mengenal hak dan kewajibannya. Manusia perlu menggunakan berbagai sarana pendukung guna menunaikan kewajiban-kewajibannya termasuk anggota badan yang ia miliki. Allah Swt dengan menciptakan dua tangan, kaki, penglihatan dan lain-lain, bermaksud mengantarkan manusia ke puncak kesempurnaan dan membebaskannya dari berbagai belenggu duniawi. (IRIB Indonesia)

Risalah Huquq; Hak Jiwa atas Manusia (Bagian Keempat, Habis)



Konsep pembentukan diri dan mensucikan jiwa memainkan peran penting dalam kebahagiaan manusia. Karena itu seluruh utusan Allah Swt menempatkan masalah pensucian jiwa dan pendidikan generasi umat manusia sebagai misi utama mereka. Para nabi as berupaya mendidik manusia untuk mencapai derajat kesempurnaan dan derajat yang tinggi. Keberadaan naluri dan hawa nafsu dalam diri manusia juga sebagai kelaziman hidup mereka dan dipandang perlu demi meniti jalan kesempurnaan. Namun jika naluri ini keluar dari batas-batas kewajaran dan lepas dari kontrol, maka ia akan menguasai dan menentukan langkah-langkah pemiliknya.

Al-Quran menilai fenomena ini sebagai bentuk penghambaan terhadap hawa nafsu dan sumber kelalaian dan kekufuran. Sebab dimana saja hawa nafsu berkuasa, maka agama dan akal akan terpinggirkan.

Menurut perspektif al-Quran, manusia yang dibekali naluri berada di persimpangan jalan dan harus memilih antara jalan yang lurus dengan jalan yang menyimpang. Dari satu sisi, ada daya tarik positif yang mengarahkan manusia kepada kesucian dan kesempurnaan. Daya tarik lain berupa kecenderungan negatif dan godaan syaitan yang akan menyeret manusia ke lembah kehinaan dan materialis. Kedua potensi utama ini ada dalam diri manusia.

Kitab suci al-Quran menilai nafs memiliki beberapa tingkatan dan sifat-sifat tertentu. Ada tiga jenis nafs sebagaimana yang digambarkan oleh Al-Quran, salah satunya adalah "al-Nafs al-Ammarah". Nafsu jenis ini akan mendorong manusia pada kejelekan dan kejahatan. Dalam surat Yusuf ayat 53, Allah Swt berfirman, "Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku."

Al-Nafs al-Ammarah terdapat dalam setiap diri manusia dan terkadang menguasai perilaku mereka, tapi kadang-kadang manusia yang mengalahkan nafsu itu. Jika keinginan dan nafsu manusia tidak disalurkan melalui aturan tertentu dan dibiarkan lepas tanpa kontrol, maka setan dan godaannya akan menancapkan kakinya di lubuk hati dan jiwa manusia dan merampas tali kekang pikiran dan kehendak manusia.  

Jenis lain nafsu manusia yang disinggung al-Quran adalah "al-Nafs al-Lawwamah" atau jiwa yang mencela dirinya. Al-Nafs al-Lawwamah akan mereaksi setiap perbuatan menyimpang dan mencela manusia karena melakukan perbuatan jelek. Nafsu seperti ini juga terdapat dalam diri setiap manusia dan mencegahnya agar tidak melakukan perbuatan kotor. Nafsu jenis ini memiliki pengaruh penting terhadap nasib manusia hingga al-Quran pun dalam salah satu suratnya bersumpah dengan al-Nafs al-Lawwamah.

Al-Nafs al-Lawwamahakan memperkuat keyakinan manusia tentang Sang Pencipta dan Hari Kiamat. Nafsu ini juga memperingatkan manusia terhadap perilaku keliru dan menyimpang. Karenanya, al-Nafs al-Lawwamah berperan memperbaiki diri manusia khususnya bagi orang-orang yang yakin bahwa Allah Swt selalu mengawasi perbuatan mereka.

Jenis lain nafsu manusia versi al-Quran adalah al-Nafs al-Mutmainnah. Pada tahap ini, manusia sudah terlepas dari barbagai keraguan yang bersumber dari al-Nafs al-Ammarahdan membuatnya tenang dan damai karena punya hubungan dengan Allah Swt. Dalam al-Quran ayat 27-30 surat al-Farj, Allah Swt berfirman, "Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku."

Al-Nafs al-Mutmainnahakan menghadirkan sebuah ketenangan yang didapat dari keimanan yang tulus dan murni. Orang-orang yang berjiwa tenang yakin terhadap jalan yang dipilihnya dan juga meyakini janji-janji Tuhan. Dengan kata lain, mereka adalah orang-orang yang menaati perintah Sang Pencipta dan selalu bersikap tenang dalam menghadapi badai kehidupan, sebab mereka menyandarkan diri kepada sandaran yang sangat meyakinkan.

Secara umum dapat kita katakan bahwa benih-benih petunjuk dan kesempurnaan begitu juga dengan dekadensi dan kemerosotan terdapat dalam diri manusia. Manusia harus mengambil manfaat dari sumber-sumber petunjuk hingga terbebas dari kesesatan dan keterpurukan.

Imam Sajjad as dalam kitab "Risalatul Huquq" memperingatkan manusia untuk menjaga dan menunaikan kewajiban-kewajibannya. Imam as juga mengingatkan manusia untuk menunaikan hak-hak anggota badan hingga dapat meraih keberuntungan dan kebahagiaan. (IRIB Indonesia)                  





0 comments to "Risalah Huquq (Serial) Hak Jiwa atas Manusia dan Hak Lisan"

Leave a comment