Imam Khomeini: Pengaruh Amar Makruf dan Nahi Munkar (Bagian Pertama)
Kalian harus berusaha keras menginformasikan model pemerintahan Islam dan perilaku para pemimpin Islam terhadap bangsa-bangsa Muslim kepada seluruh dunia agar menjadi sarana bagi terciptanya pemerintahan yang adil menggantikan pemerintahan jajahan yang dibangun berdasarkan kezaliman dan penjarahan. Bila para pemuda dari pelbagai lapisan masyarakat dapat memahami substansi pemerintah Islam -sayangnya kita hanya dapat menyaksikan beberapa tahun dari kehidupan Rasulullah Saw dan di masa pemerintahan Imam Ali as yang sangat pendek-, niscaya fondasi pemerintahan zalim kolonialis dan aliran sesat komunis dan lain-lainnya dengan sendirinya akan tercerabut. (Sahifah Imam, jilid 2, hal 346)
***
Imam Husein as, Sayyid as-Syuhada bangkit bersama beberapa orang sahabat, keluarga dan sejumlah perempuan. Karena kebangkitan itu dengan niat Lillahi Ta'ala, maka mereka berhasil meruntuhkan fondasi kekuasaan sang penjahat itu. Secara lahiriah, beliau gugur syahid, tapi fondasi kekuasaan sang penjahat yang ingin mengubah Islam menjadi sistem monarki berhasil dihancurkan. Bahaya yang dimunculkan oleh Muawiyah dan Yazid tidak hanya terbatas pada merampas kekhalifahan, karena bahaya ini masih di bawah bahaya yang sebenarnya. Mereka ingin membawa Islam dalam bentuk kekuasaan monarki. Mereka ingin mengubah spiritual dalam bentuk taghut. Dengan nama "Kami adalah Khalifah Allah", mereka ingin mengubah Islam menjadi sebuah rezim taghut.
Sedemikian besarnya upaya dua orang ini untuk merusak Islam atau telah merusak Islam, tidak dilakukan oleh orang-orang sebelumnya. Kedua orang ini ingin membalikkan prinsip Islam. Mereka telah menjadikan sistem Islam menjadi kerajaan dan pada pertemuan-pertemuan mereka ada minuman keras dan judi. Di pertemuan "Khalifah Rasulullah" ada acara minum khamar?! Ada juga permainan judi?! Dan ternyata "Khalifah Rasulullah" juga melakukan shalat jamaah dan menjadi imamnya?! Ini bahaya yang sangat besar bagi Islam. Imam Husein as berhasil melenyapkan bahaya itu.
Masalahnya bukan hanya terbatas pada aksi merampas kekhalifahan.
Imam Husein as bangkit melawan sistem monarki dan taghut. Sistem monarki dan taghut ini ingin mengubah warna Islam, dan bila usaha mereka berhasil, maka Islam akan menjadi sesuatu yang lain. Islam menjadi seperti rezim monarki 2500 tahun Iran.
Islam yang dibawa oleh Rasulullah Saw ingin menghancurkan rezim-rezim monarki dan yang sepertinya dan menciptakan kekuasaan ilahi di dunia. Islam yang ingin menghancurkan "taghut" dan menggantikannya dengan Allah. Tapi mereka menginginkan yang sebaliknya, menggantikan Allah dengan taghut. Masalahnya dari dulu di masa Jahiliyah adalah ini dan sekarang juga sama. Gugur syahidnya Imam Husein as bukan sebuah kekalahan. Karena kebangkitan yang dilakukan atas nama Allah. Kebangkitan karena Allah tidak pernah terkalahkan. (Sahifah Imam, jilid 8, hal 9) (IRIB Indonesia / Saleh Lapadi)
Sumber: Amr-e be Ma'ruf va Nahy az Monkar; Gozideh-i az Kalam va Andisheh Imam Khomeini ra, Tehran, 1383, Moasseseh Tanzim va Nashr Asar Emam Khomeini.
Imam Khomeini: Pengaruh Amar Makruf dan Nahi Munkar (Bagian Kedua)
Kita punya kewajiban untuk tidak memberikan kesempatan kepada orang-orang yang punya tujuan tidak baik. Setiap dari kita berkewajiban untuk waspada dan menjaga diri kita. Setiap dari kita harus melindungi saudara-saudara kita. Nabi harus melindungi dirinya dan juga diperintahkan untuk menjaga kalian. Bukannya beliau diperintahkan untuk dirinya sendiri agar melaksanakan shalat. Tidak demikian! Beliau diperintah untuk menyampaikan kepada kalian agar melakukan shalat. Nabi Muhammad Saw tidak akan mengatakan hal yang buruk kepada masyarakat tanpa alasan. Sementara bila kalian yang melakukan, maka beliau punya kewajiban untuk mencegah kalian melakukannya.
Amr Makruf dan Nahi Munkar merupakan dua prinsip penting dalam Islam yang kandungannya ingin memperbaiki segala sesuatu. Yakni, dua prinsip yang ingin memperbaiki segala lapisan masyarakat muslim. Semua umat Islam diperintahkan untuk melakukan perbuatan yang benar dan mencegah perbuatan yang buruk.
Jangan memahami bahwa kalian hanya memiliki satu tugas untuk melakukan perbuatan baik saja dan menghindari perbuatan buruk. Tugas kita lebih dari itu, bukan hanya untuk diri kita, tapi juga untuk semua. Dalam kewajiban ini tidak ada diskriminasi. Semua harus menaati Allah Swt dan semua harus menjaga hal ini. Ini satu masalah penting. (Sahifah Imam, jilid 10, hal 11)
***
Kita harus berjuang agar semua bangsa-bangsa Muslim di dunia mengerti akan kewajibannya. Bila kalian, mereka, cendekiawan dan ulama di semua negara-negara Islam dan universitas-universitas seluruh negara-negara Islam menginginkan untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi Islam dan negara-negara Islam, maka mereka harus menyadarkan masyarakat. Sejak ratusan tahun kepada mereka telah dipropagandakan dan diyakinkan bahwa tidak mungkin untuk melawan Amerika dan Uni Soviet. Tapi sekarang keyakinan bangsa-bangsa ini sudah berbeda. Kita harus meyakinkan hal ini dan pasti bisa.
Argumentasi paling baik untuk menjelaskan bahwa hal ini mungkin terjadi adalah terjadinya peristiwa itu sendiri. Karena hal ini sudah terjadi di Iran. Pemerintah dan bangsa-bangsa lain jangan berprasangka bahwa Iran memiliki potensi dan sumber daya manusia yang lebih dari mereka. Tidak demikian! Sangat mungkin sekali kelompok nomaden Irak memiliki senjata lebih banyak dari Iran. Tapi yang terjadi adalah otak mereka telah dicuci lewat propaganda luas negara-negara Barat. Propaganda ini berhasil membuat mereka berputus asa dari Islam. Isi kepala mereka dipenuhi dengan satu keyakinan bahwa tidak mungkin melawan kekuatan-kekuatan besar. Propaganda yang dilakukan oleh mereka dan kaki tangannya di dalam negara-negara Islam berhasil mempengaruhi keyakinan umat Islam.
Bagi umat Islam di mana saja berada yang hatinya mengkhawatirkan nasib bangsanya, mereka yang punya keyakinan akan Islam dan menginginkan Islam yang berkuasa, seharusnya berbuat agar bangsanya sadar. Mereka harus berusaha agar bangsa yang kehilangan jati dirinya menemukan kembali jati dirinya. Bangsa-bangsa yang ada saat ini kehilangan jati dirinya. Bahkan negara-negara yang ada juga kehilangan jati dirinya. Yang masuk ke benak mereka adalah satu keyakinan bahwa mereka tidak akan dapat melawan kekuatan-kekuatan besar. Bila melawan, kekutan-kekuatan ini dapat melakukan apa saja. Kita harus mengeluarkan ungkapan "tidak bisa" dari otak bangsa-bangsa Islam dan menggantikannya dengan ungkapan "bisa". Kita bisa melakukan hal ini. (Sahifah Imam, jilid 13, hal 85)
***
Seluruh nabi sejak awal diciptakannya manusia, mulai dari ketika Nabi Adam as datang hingga Nabi Muhammad Saw, pamungkas para nabi memiliki tugas memperbaiki masyarakat. Mereka berusaha mendidik mereka sehingga individu berkorban untuk masyarakat. Kita tidak punya orang yang lebih mulia dan baik dari para imam as. Orang-orang yang mengorbankan dirinya untuk masyarakat. Allah Swt berfirman bahwa kami mengutus para nabi, memberikan mereka bayyinaat (bukti-bukti nyata), li yaquuma an-Naasu bi al-Qisth (supaya manusia dapat melaksanakan keadilan).
Tujuan pengutusan para nabi agar manusia dapat melaksanakan keadilan. Harus ada keadilan sosial di tengah-tengah masyarakat. Segala bentuk kezaliman harus dimusnahkan. Para pelaku kezaliman harus diimusnakan. Harus ada yang memperhatikan orang-orang yang lemah. Harus melaksanakan keadilan.
Setelah itu Allah berfirman, "Wa Anzalnaa al-Hadiid" (Dan Kami turunkanbesi). Apa hubungannya dengan besi? Hubungannya adalah semua ini dapat dilakukan dengan besi, dengan bukti-bukti nyata, dengan mizan (timbangan) dan sekali lagi besi. "Fiihi Ba'sun Syadiidun", yakni bila seseorang atau kelompok ingin merusak sebuah masyarakat atau sebuah pemerintahan yang adil, maka mereka harus diajak bicara dengan "bayyinaat" (bukti-bukti yang jelas). Bila mereka tidak mau, maka mereka diajak untuk berbicara sesuai dengan parameter-parameter logis. Dan bila mereka tidak mau juga, maka dengan "Hadiid" (besi). (Sahifah Imam, Jilid 15, hal 213)
Sumber: Amr-e be Ma'ruf va Nahy az Monkar; Gozideh-i az Kalam va Andisheh Imam Khomeini ra, Tehran, 1383, Moasseseh Tanzim va Nashr Asar Emam Khomeini.
Imam Khomeini: Pengaruh Amar Makruf dan Nahi Munkar (Bagian Ketiga, Habis)
Wahai para Imam Jumat di negara-negara Islam! Apa yang harus dilakukan? Mengapa nasib kita seperti saat ini, dimana Amerika dari dunia sana harus menentukan nasib negara-negara kita? ... Apakah kita tidak boleh mengambil pelajaran dari sejarah Rasulullah Saw? Ada orang datang dan mengerjakan hal-hal seperti ini. Apakah kita tidak boleh belajar dari sejarah dunia, bagaimana seseorang seperti Musa as bangkit dan melawan Fir'aun? Apakah kita tidak boleh mengambil pelajaran?
Suatu hari Rasulullah Saw seorang diri dan tidak ada yang menyertainya. Beliau sendiri menghadapi seluruh musuh, bahkan keluarganya sendiri memusuhinya. Bersandar pada Allah, senantiasa mengingat-Nya dan fana pada-Nya membuat seluruh misinya berhasil. Tidak mungkin seseorang menjadi penyembah dirinya, dan pada saat yang sama menjadi penyembah Allah. Tidak mungkin ada seseorang yang melihat kepentingan pribadinya dan pada saat yang sama juga memperhatikan kepentingan Islam. Harus satu dari keduanya yang dipilih; ilahi atau syaithani. Kalian harus berusaha sehingga rakyat keluar dari hawa nafsunya. (Sahifah Imam, jilid 17, hal 209)
***
Mereka yang mempertanyakan kita, mengapa kalian tidak mau berdamai dengan kekuatan-kekuatan jahat. Mereka melihat segalanya dari kaca mata materialistik untuk menyelesaikan masalahnya. Mereka tidak tahu bagaimana para nabi menyelesaikan masalah? Bagaimana mereka menghadapi kezaliman? Ataukah mereka tahu, tapi membuat dirinya seperti orang yang buta dan tuli?
Berdamai dengan pelaku kezaliman berarti menzalimi orang-orang yang tertindas. Berdamai dengan kekuatan-kekuatan adidaya berarti kita melakukan kezaliman terhadap umat manusia. Mereka yang mengatakan kepada kita agar berdamai tidak keluar dari dua hal; bodoh atau antek. Karena berdamai dengan pelaku kezaliman sama artinya kita memberikan kesempatan kepadanya untuk melakukan kezaliman.
Ini bertentangan dengan seluruh ajaran para nabi. Para nabi begitu serius untuk menghilangkan kezaliman dari manusia zalim, dengan menasihati, Amar Makruf dan Nahi Munkar, Wa Anzalnaa al-Hadiid Fiihi Ba'sun Syadiidun (al-Hadiid: 25) dan Akhir ad-Dawa'a al-Kay (akhir pengobatan dengan besi panas). Artinya, setelah dinasihati ternyata tidak bisa, maka obat terakhir dengan membakar mereka dengan besi membara. Pedang adalah akhir obat. (Sahifah Imam, jilid 18, hal 500)
***
Demi merealisasikan tujuan-tujuan Islam, pengantarnya adalah memotong tangan kekuatan-kekuatan besar dan para penentang Islam dari negara-negara Islam serta menghilangkan kendala internal dan eksternal. Kita harus menghadapi setiap kelompok, pemerintah dan tokoh yang menolak kebangkitan Islam. Alhamdulillah gerakan-gerakan Islam tengah tumbuh dan terbentuk. Jadikan perlawanan terhadap mereka di seluruh dunia sebagai panduan program-program kalian. Percayalah dengan janji Allah segalah keberhasilan dan kemajuan bakal tercapai dan mereka yang tertindas akan selamat dari para pelaku kezaliman. (Sahifah Imam, jilid 19, hal 22) (IRIB Indonesia / Saleh Lapadi)
Sumber: Amr-e be Ma'ruf va Nahy az Monkar; Gozideh-i az Kalam va Andisheh Imam Khomeini ra, Tehran, 1383, Moasseseh Tanzim va Nashr Asar Emam Khomeini.
Pemikiran Imam Khomeini ra: Faktor Pemisah Ulama dari Politik (Bagian Pertama)
Latar Belakang Rencana Pemisahan Ulama dari Politik
Rencana masalah pemisahan politik dari ulama bukan hal yang baru. Masalah ini telah diterapkan sejak masa Bani Umayah dan semakin menguat di zaman Bani Abbasiah. Sementara di masa-masa terakhir, ketika negara-negara asing semakin mudah memasuki dan menjajah negara-negara Islam, mereka tidak tinggal diam, tapi juga menyebarkan masalah pemisahan ulama dari politik.
Sayangnya sebagian tokoh agamis dan ulama yang memiliki komitmen juga percaya bahwa bila seorang alim terjun ke masalah politik, maka hal itu akan merugikannya. Satu dari strategi besar para penjajah adalah ini dan sebagian orang justru mempercayainya. (Pidato Imam Khomeini ra di depan para imam shalat Jumat di kota Bushehr, Sahifah Nour, jilid 16, hal 248) (IRIB Indonesia / Saleh Lapadi)
Sumber: Rouhaniyat va Siyasat az Didgah Imam Khomeini ra, Rasoul Saadatmand, Qom, Tasnim, 1378, cetakan pertama.
Strategi Pemisahan Ulama dari Politik
Satu strategi lain untuk mengosongkan hauzah ilmiah dari politik adalah masalah campur tangan ulama dalam urusan politik. Setiap ulama yang terjun di dunia politik akan dinilai sebagai aib besar. Sangat mungkin sekali sampai saat ini, sebagian orang masih menganggap campur tangan ulama dalam urusan politik sebagai hal yang tabu. Mereka mengatainya, "Mengapa si fulan mencampuri urusan politik? Apa urusan kita dengan apa yang terjadi di dunia?
Jelas ini adalah strategi yang dipaksakan kepada kita! (Pidato Imam Khomeini ra di hadapan para imam shalat Jumat seluruh negeri, 22/7/1361, Sahifah Nour, jilid 17, hal 53). (IRIB Indonesia / Saleh Lapadi)
Sumber: Rouhaniyat va Siyasat az Didgah Imam Khomeini ra, Rasoul Saadatmand, Qom, Tasnim, 1378, cetakan pertama.
Akhir abad 19, bersamaan dengan gerakan Revolusi Konstitusi di Iran, munculnya gerakan nasionalisasi industri minyak Iran membuat negara-negara imperialis semakin tamak untuk mencampuri urusan dalam negeri Iran. Sejak ditemukannya minyak, dua negara besar kala itu yaitu Inggris dan Rusia, lebih dahulu terjun ke kancah ini dan kedua negara mulai mencampuri urusan dalam negeri Iran. Masing-masing pihak berusaha untuk meraih bagian lebih besar dari sumber alam Iran. Akan tetapi, Britania lebih dahulu memahami pentingnya industri minyak dibanding negara-negara rivalnya dan dengan cepat memantapkan pijakan imperialisnya di Iran.
Sebelum meletusnya Perang Dunia I, bagi para pejabat Iran dan negara-negara lain, industri minyak masih sangat asing dan oleh karena itu mereka tidak menunjukkan sensitivitas dalam memberi konsesi kepada negara lain di sektor ini. Perang Dunia I menyingkap pentingnya industri minyak yang dinilai sebagai motor penggerak pasukan perang yang membawa kemenangan bagi pasukan sekutu. Baru setelah Perang Dunia I, para pejabat Iran dan negara lain membuka mata dan menyadari pentingnya industri minyak.
Konsesi D'Arcy
Sejarah perjanjian minyak Iran dimulai dengan konsesi yang diberikan oleh Shah Naseruddin Shah pada tahun 1872 untuk Baron Julius de Reuter, seorang warga Inggris asal Jerman. Konsesi yang mencakup seluruh wilayah Persia itu, memberikan hak eksklusif dan monopoli kepada Reuter untuk mengeksploitasi sumber daya mineral termasuk batubara, besi, tembaga, timah, dan minyak bumi selama 70 tahun untuk membangun dan mengoperasikan jalan, rel kereta api, jaringan telegraf, kanal air, sistem irigasi, dan layanan bea cukai.
Kontrak Reuter dibatalkan beberapa tahun kemudian akibat tekanan politik kuat dari pemerintah Tsar (Rusia) serta sejumlah tokoh oposisi terkemuka Persia. Namun berkat intervensi Inggris, Shah Naseruddin Shah memberikan konsesi baru kepada Reuter pada tahun 1889, yang kemudian dikenal dengan konsesi Bank-e Shahi (Bank Imperium Persia). Berdasarkan konsesi itu, bank berhak memanfaatkan semua sumber daya mineral di seluruh negeri, kecuali emas, perak, dan logam berharga lainnya. Bank tersebut kemudian menjual hak eksploitasi mineral di Iran itu kepada sebuah perusahaan Inggris Persian Mining Corporation dengan harga 150.000 poundsterling. 10 tahun kemudian, konsesi Persia Mining Corporation itu dibatalkan karena kurang pendanaan.
Rentetan peristiwa itu membuat Persia masuk dalam skema minyak internasional. Langkah pertama diawali oleh Antoine Ketabchi Khan, komisaris jenderal Persia untuk Pameran Paris 1900. Ketabchi Khan, adalah seorang keturunan Armenia yang menjabat beberapa posisi penting dalam pemerintah Persia, termasuk sebagai direktur bea cukai. Meskipun secara lahiriyah Ketabchi Khan hanya bermaksud meninjau Pameran Paris, akan tetapi tujuan utamanya adalah mencari investor dari Eropa yang bersedia mengambil konsesi minyak di Persia. Di Paris, Ketabchi Khan meminta bantuan Sir Henry Drummond Wolff, mantan menteri Inggris di Tehran era 1887-1890, yang menyarankan William Knox D'Arcy untuk merebut konsesi minyak di Persia.
D'Arcy adalah seorang investor Inggris yang sukses di sektor pertambangan emas di Australia dan berhasrat untuk mencoba keberuntungannya di sektor minyak Persia. Pada tanggal 16 April 1901, perwakilan D'Arcy's tiba di Tehran untuk berunding. Persaingan antara Inggris dan Tsar Rusia kala itu mengubah negeri Persia menjadi faktor determinan dalam diplomasi kekuatan adidaya.
Rusia ingin membuktikan politik dominannya atas Persia dan menyingkirkan negara-negara rival. Adapun bagi menteri Inggris untuk Persia, Sir Arthur Henry Hardinge, tujuan utama pemerintah London adalah melawan aksi-aksi seperti itu. Dan di sinilah D'Arcy dan kontribusinya di sektor minyak dapat membantu. Sebuah konsesi minyak tentu akan membantu menyeimbangkan pengaruh dan kekuatan Inggris di hadapan Rusia. Oleh karena itu, Inggris memberikan penuh atas upaya D'Arcy.
Pemerintah Muzaffaruddin Shah pada tahun 1901 memberikan D'Arcy konsesi minyak di seluruh wilayah Iran kecuali Azerbaijan, Gilan, Mazandaran, Gorgan, dan Khorasan, yang berbatasan dengan Rusia. Konsesi itu berlaku selama 60 tahun. Akan tetapi konsesi tersebut tidak hanya terbatas pada minyak melainkan seluruh tambang mineral Persia.
Kontrak D'Arcy mengantar hubungan bilateral Inggris dan Persia pada satu titik bersejarah, mengingat kepentingan Britania di Persia mencakup kepentingan strategis. Persia berada di jalur penting bagi Inggris untuk mencapai wilayah jajahannya, India. Inggris khawatir jika pengaruh Rusia mendominasi, maka jalur menuju India akan terblokir.
Di sisi lain, imperium Persia menghadapi dua kekuatan adidaya itu dengan politik-politik konservatif dan pasif. Oleh karena itu, konsesi D'Arcy tidak mencakup lima propinsi di wilayah utara yang diserahkan kepada Rusia. Namun, Rusia tidak pernah menggunakan konsesinya.
Fajar Minyak Iran
William Knox D'Arcy, adalah raja minyak Iran yang tidak pernah menginjakkan kakinya ke Iran. D'Arcy tidak memiliki organisasi dan perusahaan, hanya seorang sekretaris menangani menangani korespondensi bisnisnya. Untuk masalah penanganan operasi kerja di lapangan, ia merekrut George Reynolds, lulusan Sekolah Tinggi Teknik Kerajaan India yang memilii pengalaman pengeboran di Sumatra.
Situs pertama yang dipilih untuk eksplorasi berada di Chia Sorkh, sebuah dataran tinggi yang nyaris tidak dapat diakses di pegunungan di Kermanshah, Iran barat, Mamatin, Rohmurz, dan zona minyak di Masjed Soleiman. Di Chia Sorkh tidak ditemukan sumber minyak yang cukup berarti. Di Mamatin juga tidak ditemukan minyak.
Kondisi pengeboran minyak di Masjed Soleiman kondisinya berbeda. Ketika sampai di kedalaman 360 meter, pucuk bor berhasil menembus lapisan penutup sumur minyak dan dengan demikian pada 26 Mei 1902, dimulailah fajar minyak di Iran. Akan tetapi, hal itu terjadi di saat D'Arcy diminta untuk menghentikan operasi eksploitasi minyaknya dan merelokasi seluruh perlengkapan minyaknya ke Khorramshahr untuk direlokasi ke Inggris.
Pasalnya, pada April 1904, nyaris tiga tahun operasinya di Iran, biaya operasional yang tinggi menyeret perusahaan D'Arcy, hingga ke ambang bangkrut. Pemerintah Inggris khawatir bahwa D'Arcy kemungkinan terpaksa kehilangan konsesinya dan menjualnya kepada pihak asing. Akhirnya, pada tahun 1905, empat tahun sejak Shah Iran menandatangani konsesi itu, muncul persaingan antara D'Arcy dan perusahaan Burma Oil di London. Kedua pihak sepakat bekerjasama dengan membentuk sindikat bernama Anglo-Persian Oil Company (APOC). Perusahaan operasional D'Arcy menjadi anak perusahaan, dan D'Arcy sendiri ditunjuk sebagai direktur perusahaan baru tersebut.
Pembentukan sindikat konsesi diikuti dengan pergeseran lokasi eksplorasi ke kawasan barat daya Iran di Meidan-e-Naftan. Anglo-Persian Oil Company (APOC), go public pada tanggal 19 April 1909, dan penawaran saham pada hari itu mengakibatkan cabang Glasgow Bank of Scotland dikerumuni para peminat yang bersemangat untuk berinvestasi. Burmah Oil mengambil mayoritas saham sindikat tersebut dan D'Arcy mendapat saham senilai 895.000 poundsterling sebagai kompensasi biaya eksplorasi.
Sebuah sumber minyak baru telah diamankan di bawah pemerintah Inggris. Namun muncul masalah dalam proses ekstraksi dan penyulingannya. Situs tersebut untuk kilang minyak Abadan. Pada tes pertama tahun 1912, kilang minyak mengalami kerusakan dan kualitas produknya juga rendah. Kembali kelangsungan hidup sindikat Anglo-Persian Oil Company (APOC) terancam. Pada akhir 1912, APOC telah habis modal kerja. Beberapa tahun lalu, perusahaan Burma Oil menjadi penyelamat dan sekarang ia harus mencari juru penyelamat.
Pada Juni 1913 Winston Churchill, Laksamana Agung Angkatan Laut Britania, menyerahkan memorandum kepada kabinet yang isinya suplai minyak untuk armada Angkatan Laut Kerajaan. Kabinet setuju prinsip yang ditawarkan bahwa pemerintah harus meraih saham mayoritas di pihak pemasok bahan bakar terpercaya. Setelah perdebatan panjang di kabinet, diputuskan bahwa pemerintah sendiri akan menjadi pemegang saham Anglo-Persian Oil Company (APOC).
Mulainya Friksi
Setelah pemerintah Inggris menjadi pemegang saham APOC, di lain pihak pemerintah Iran menandatangani kontrak dengan perusahaan lain termasuk Bakhtiari Oil Company, First Exploration Oil Company. Kontrak-kontrak tersebut semakin melemahkan posisi pemerintah pusat Iran dan penentangan dari berbagai etnis dan kelompok nomaden pun semakin meningkat.
Selama Perang Dunia I, meski menyatakan netral, Persia diinvasi oleh tentara Inggris, Rusia, dan Turki. Selain itu, ada pemberontakan suku di selatan dan di utara. Kala itu, kondisi di Iran benar-benar kacau. Situasi carut marut seperti itu, sangat menguntungkan bagi tokoh kuat untuk terjun dan mengisi kekosongan wewenang di ibukota Tehran.
Terdorong oleh kondisi, Reza Khan, seorang perwira militer, merebut kekuasaan pada tahun 1921. Setelah menjabat sebagai menteri pertahanan, ia meningkatkan jabatannya menjadi menjadi perdana menteri pada tahun 1923. Dua tahun kemudian Ahmad Shah digulingkan dan pada tahun 1926 Reza Khan memilih nama Pahlevi sebagai nama dinastinya, dan menobatkan diri sebagai Reza Syah Pahlevi. Di lain pihak, APOC tidak memerlukan waktu lama menyadari bahwa mereka tidak lagi berurusan dengan pemerintahan tradisional yang lemah dari era Qajar, melainkan kini mereka berhadapan dengan sosok otoriter yang kuat.
Di bawah pemerintahan Reza Syah, Iran memulai program modernisasi yang pelaksanaannya pemberdayaannya memerlukan sumber finansial yang sangat besar. Dinasti Pahlevi menolak pinjaman dari luar negeri, karena dinilai akan mengancam independensi nasional. Meski pajak tidak langsung di dalam negeri pada produk-produk harian seperti teh dan gula ditingkatkan untuk mendanai proyek-proyek seperti Kereta Api Trans-Iran, Shah tidak ingin kehilangan pendapatan dengan meningkatkan dari keuntungan yang diterima APOC dan pembayaran pajak.
Pasca Perang Dunia I, muncul friksi antara Iran dan APOC. Sejak tahun 1927, digelar perundingan terperinci untuk menyelesaikan friksi antara Teymourtash, dari dewan menteri Dinasti Pahlevi dan perusahaan Inggris. Akan tetapi kedua pihak gagal mencapai kesepakatan.
Di akhir tahun 1928, Sir John Cadman, Presiden APOC, mengusulkan kepada Teymourtash untuk memperpanjang konsesi D'Arcy guna mendapat dana investasi. Akan tetapi Teymourtash menjawab usulan Codman itu dan mengatakan, "Iran siap untuk merevisi konsesi D'Arcy tapi tidak untuk perpanjangannya."
Pada 26 November 1932, Reza Shah mendiktekan surat pembatalan konsesi D'Arcy. Surat tersebut dipubliasikan secara resmi keesokan harinya. Meski dalam surat itu disebutkan bahwa pembatalan sepihak itu merupakan satu-satunya cara untuk melindungi hak-hak negara, ditekankan pula bahwa pemerintah Iran pada prinsipnya tidak menolak memberikan konsesi baru.
Menyikapi surat tersebut, pemerintah Inggris menyatakan bahwa Iran tidak berhak membatalkan konsesi secara sepihak. Lima bulan kemudian, pada bulan April 1933, Sir John Cadman pergi ke Tehran mencoba menyelamatkan kondisi dan bertemu dengan Shah. Pertemuan itu menjadi peristiwa monumental karena masing-masing memiliki wewenang tak terbantahkan untuk kesepakatan. Kedua pihak pun meraih terobosan baru. (IRIB Indonesia)
Sejarah Nasionalisasi Minyak Iran (Bagian Kedua)
Setelah pendudukan atas Iran oleh Inggris dan Soviet, serta masuknya Amerika Serikat ke kancah Iran pada era Perang Dunia II, persaingan kaum imperialis terhadap sumber minyak di Iran juga semakin meningkat. Menyusul permintaan minyak dari ketiga negara itu, pemerintah Iran menyatakan bahwa segala bentuk konsesi atau kontrak minyak harus ditangguhkan setelah perang. Karena pada masa itu, kondisi perekonomian negara sedang tidak sehat karena perang. Iran secara resmi menolak permintaan minyak ketiga negara.
Penolakan tersebut sangat menyakitkan bagi Uni Soviet yang langsung menghujani pemerintah Iran dengan berbagai kritik. Doktor Mohammad Mosaddeq, mengemukakan pidato panjang di parlemen dan menjawab pertanyaan dari berbagai media massa dalam negeri.
Pasca Perang Dunia II, Inggris dan Uni Soviet, diwajibkan menarik mundur pasukannya dari wilayah Iran dalam kurun waktu enam bulan. Akan tetapi Uni Soviet menolak keluar dari Iran dan bahkan menambah jumlah pasukannya di wilayah utara. Pada masa itu, Ahmad Qavam yang menjabat sebagai Perdana Menteri dengan berbagai kebijakan yang diambil akhirnya mampu memaksa Uni Soviet menarik mundur pasukannya dari utara Iran.
Ditandatangani kesepakatan antara pemerintah Iran dan Duta Besar Uni Soviet di Tehran. Berdasarkan kesepakatan tersebut, pasukan Soviet harus keluar dari wilayah Iran dalam waktu satu setengah bulan dan akan dibentuk sebuah perusahaan kolektif Iran-Soviet, yang proposalnya harus diserahkan kepada parlemen hingga tujuh bulan berikutnya.
Akan tetapi, di tengah meningkatnya nasionalisme Iran, ditetapkan satu pasal hukum pada 22 Oktober 1947 oleh pemerintah Iran guna merevisi konsesi Anglo Iranian Oil Company (AIOC), yang menjadi isu dominan dalam kehidupan politik di Iran selama beberapa tahun ke depan.
Menariknya, pemerintah Inggris tidak tampak kecewa atas penentapan hukum tersebut karena dengan demikian, Uni Soviet kehilangan kesempatan untuk menjamah minyak Iran. Di satu sisi, para pejabat Inggris mulai berunding dengan para pejabat Iran untuk menjaga kepentingan minyak mereka di wilayah selatan Iran. Hasilnya adalah bahwa kedua pihak menyepakati revisi
Akan tetapi kesepakatan tersebut memancing penentangan hebat di dalam negeri termasuk dari kalangan anggota parlemen dan pengamat. Akan tetapi pada akhirnya tanggal 17 Juli 1949, kesepakatan tambahan untuk konsesi 1933 ditandatangani oleh direktur AIOC Neville Gass dan Menteri Keuangan Iran, Abbasqoli Golshaiyan. Kesepakatan tersebut memang memihak pada Iran, akan tetapi pemerintah Inggris mampu mengeruk berbagai konsesi hukum untuk kesepakatan D'Arcy yang juga ditandatangani oleh parlemen. Inggris berhasil memperpanjang kesepakatan tersebut hingga 33 tahun. Selama itu penguasaan minyak Iran oleh pemerintah Inggris akan dijamin pemerintah Tehran.
Berdasarkan pasal keepuluh dalam kesepakatan tersebut memiliki legalitas hukum dan pemerintah Iran tidak dapat dengan mudah membatalkan kesepakatan tersebut. Akan tetapi berbagai dialog dan pembahasan meluas tentang masalah ini telah menyadarkan masyarakat Iran yang akhirnya menyulap upaya memperjuangkan hak bangsa dari bentuk perjuangan diplomatik menjadisebuah gerakan nasional.
Ayatullah Kashani tampil untuk membimbing gerakan perjuangan tersebut. Dia merilis pernyataan keras kepada AIOC dan menuntut pembatalan kontrak. Meluasnya tuntutan pembatalan kontrak tersebut dalam masyarakat sangat buruk bagi AIOC dan rezim Shah. Ayatullah Kashani akhirnya diasingkan ke Lebanon.
Pembentukan Majlis ke-16 dan Terpilihnya PM Razmara
Majlis ke-16 dibentuk pada tanggal 20 Bahman 1328 (9 Februari 1950) dan pemerintahan Saed pada tanggal 27 Esfand tahun yang sama (18 Maret 1950), jatuh setelah tidak mendapat mosi percaya. Ali Mansour ditunjuk sebagai penanggung jawab pembentukan kabinet baru atas permintaan Kedutaan Besar Inggris terhadap Shah. Guna mendapat dukungan sebanyak-banyaknya dari kalangan agamis Mansour mengundang Ayatullah Kashani yang kala itu di pengasingannya di Lebanon untuk kembali pulang.
Akan tetapi kembalinya Ayatullah Kashani bukan hanya tidak menguntungkan Mansour, namun justru meningkatkan demonstrasi rakyat sepekan setibanya di Iran, Ayatullah Kashani melayangkan surat kepada Majlis, yang dibacakan oleh Doktor Mosaddeq. Surat itu dalam rangka mereaksi kesepakatan tambahan dengan AIOC.
Di satu sisi Mansour kehilangan dukungan terkuatnya yaitu dari Inggris, dan di sisi lain menghadapi penentangan hebat dari kubu Ayatullah Kashani. Akhirnya selang lima bulan berkuasa Mansour terpaksa mengundurkan diri, dan Razmara menggantikan posisinya sebagai Perdana Menteri.
Salah satu tugas utama Razmara adalah menetapkan kesepakatan tambahan dengan AIOC yang diajukan oleh Mansour kepada parlemen dan tengah dibahas di komisi energi. Komisi itu harus menganalisa kesepakat tersebut dan menyerahkan hasilnya kepada parlemen.
Setelah melalui pembahasan panjang akhirnya komisi itu merampungkan analisanya pada tanggal 19 Azar 1328 (9 Desember 1949) dan memaparkan penjelasannya kepada Majlis. Komisi tersebut menyatakan penentangannya terhadap kesepakatan dengan AIOC karena dinilai bertentangan dengan kepentingan bangsa Iran.
Pada tanggal 26 Azar 1328 (17 Desember 1949) parlemen menyetujui hasil analisa komisi energi dan dengan demikian kesepakatan dengan AIOC dibatalkan.
Nasionalisasi Minyak
Di sela-sela laporannya, komisi energi menyinggung masalah nasionalisasi minyak. Ketika laporan itu diratifikasi, komisi minyak Iran mengajukan sebuah program yang ditandatangani anggotanya sebanyak 11 orang kepada Majlis. Akan tetapi karena kurang dukungan akhrinya program tersebut gagal dibahas dalam sidang Majlis.
Di sisi lain Razmara berusaha mencari jalan keluar dari kebuntuan yang ditimbulkan oleh komisi minyak tersebut. Dia berusaha mencegah prakarsa nasionalisasi minyak. Pada tanggal 3 Dey 1328 (24 Desember 1949), Razmara hadir dalam sidang tertutup Majlis dan di sana dia menentang keras gagasan nasionalisasi minyak. Di akhir pernyataannya Razmara mengatakan, "Nasionalosasi minyak adalah pengkhianatan terbesar."
Dua hari berikutnya, menteri keuangan, Gholammohsen Forouhar mendatangi Majlis dan selain menentang nasionalisasi minyak dia juga mengajukan sebuah prakarsa baru
Tanggal 8 Dey, atas imbauan Ayatullah Kashani dan sejumlah partaifront nasional, dan puluhan ribu warga berkumpul di bundaran Baharestan. Di akhir demonstrasi itu dirilis statemen yang menentang kesepakatan dengan AIOC. Pasca berbagai pekanggaran dan berbagai intrik Razmara, para pemimpin gerakan pendukung nasionalisasi minyak berpendapat bahwa kendala utama bagi mereka adalah Razmara. Kala itu gerakan rakyat dipimpin oleh Ayatullah Kashani, berusaha dengan kerjasama front nasional yang dipimpin oleh Doktor Mosaddeq, bersama sejumlah anggota Majlis, dan kelompok Fadaeyan-e Eslam yang dipimpin oleh Shahid Navab Safavi. Fadaeyan-e Eslam dan Safavi memutuskan untuk melakukan sebuah gerakan revolusioner dalam merealisasikan program dengan menyingkirkan kendala utama yaitu Razmara terlebih dahulu.
Dengan tersingkirnya Razmara, maka tidak ada lagi pihak yang menghalangi program nasionalisasi minyak. Oleh karena itu, komisi minyak di Majlis kembali mengajukan program nasionalisasi minyak dan akhirya disetujui. Akan tetapi mengingat sempitnya waktu untuk membahas program tersebut, komisi meminta perpanjangan waktu hingga dua bulan untuk membahas implementasi program tersebut.
Pada tanggal 17 Esfand 1329 (8 Maret 1951), Majlis menyetujui permintaan komisi minyak dan memutuskan dua ketetapan;
1. Komisi minyak dapat memanfaatkan ahli asing dan lokal dan jika oerlu mengundang mereka.
2. Mereka dapat hadir (tinggal) sampai 15 hari pasca pembentukan komisi.
Nasionalisasi minyak Iran disetujui pada tanggal 24 Esfand di Majlis dengan suara mutlak dan resmi ditetapkan pada tanggal 29 Esfand 1329 (20 Maret 1951). Dengan isi ketetapan sebagai berikut;
Bismillahirrahmanirrahim
Atas nama kesejahteraan bangsa Iran dan dalam rangka mewujudkan perdamaian dunia, kami para penandatangan di bawah ini mengusulkan nasionalisasi minyak Iran di seluruh kawasan tanpa pengecualian, yakni seluruh operasi eksplorasi, penambangan, dan pemanfaatan harus ditangani pemerintah.
Penetapan tersebut menjadi program kerja pemerintah dan seluruh zona minyak Iran berada di bawah kontrol pemerintah. Situasi tersebut membuat para pegawai dan pekerja asing di sektor minyak Iran tidak puas dan akhirnya mereka semua meninggalkan Iran pada 10 Mehr 1330 (2 Oktober 1951). (IRIB Indonesia).
Sejarah Nasionalisasi Minyak Iran (Bagian Ketiga, Habis)
Para anggota parlemen, pejabat, dan tokoh masyarakat Iran, berhasil mengembalikan sektor industri perminyakan ke tangan bangsa ini. Pada hakikatnya, industri perminyakan ini telah melalui berbagai proses dan liuk jalan yang sangat rumit, yang akhirnya pengaruh tangan asing dapat direduksi.
Upaya tersebut tidak sederhana karena sebelum upaya tersebut berhasil, jumlah pejabat atau karyawan lokal di sektor industri perminyakan Iran baik yang bekerja di bidang administrasi maupun di lapangan, tidak lebih dari 30 orang. Oleh karena itu, nasionalisasi minyak Iran dapat dikatakan merupakan momentum bersejarah dalam upaya pengembalian sektor ini ke tangan rakyat Iran. Sektor industri yang sebelumnya sangat asing bagi bangsa ini.
Perlu digaris bawahi bahwa sektor industri dan reduksi pengaruh perusahaan minyak Iran dan Inggris (Anglo-Persian Oil Company) itu tidak terjadi secara mendadak dan lenyap tiba-tiba. Karena setelah perusahaan gabungan Iran-Inggris itu tersingkir, terbentuk pula perusahaan-perusahaan serupaya dan juga berbagai konsorsium baru seperti yang terjadi pada tanggal 29 Oktober 1954. Pada hari itu ditandatangani kontrak antara pemerintah Iran di satu sisi dan sebuah konsorsium yang terdiri dari sejumlah perusahaan perminyakan ternama.
Anggota konsorsium minyak Iran itu adalah Perusahaan Eksplorasi Minyak dan Produksi Iran dan Perusahaan Penyulingan Minyak Iran yang membentuk sebuah konsorsium bernama Iranian Oil Participants Ltd (IOP).
Kedua perusahaan diberi ijin untuk melakukan eksplorasi dan produksi minyak mentah dan gas alam di zona yang telah ditentukan di selatan Iran yang dinamanakan, "Zona Kontrak", serta menyuling minyak dan gas yang diproduksi. Masing-masing perusahaan tersebut dibentuk berdasarkan undang-undang Belanda dan diresmikan di Iran. Masing-masing perusahaan itu juga membentuk sebuah perusahaan cabang perdagangan yang juga dicatat di Iran yang beraktivitas secara independen. Perusahaan itu membeli minyak dan gas alam yang diproduksi dari zona di kawasan selatan kemudian menjualnya ke luar negeri.
Kedua perusahaan minyak tersebut juga menyuling minyak yang telah dibeli dan diekspor ke luar negeri. Komitmen finansial perusahaan dagang yang merupakan cabang dari perusahaan anggota konsorsium tersebut adalah membayar sebagian dari keuntungan dari penjualan minyak mentah yang diekspor dan juga pajak dari hasil penjualan sesuai dengan harga saat itu. Persentasenya mulai dari 23 persen meningkat hingga 55 persen.
Tugas dan Hak Perusahaan Minyak Nasional Iran Sebelum Revolusi Islam
Sebelum kemenangan Revolusi Islam Iran, Perusahaan Minyak Nasional Iran bertanggung jawab mendistribusi dan menjual produk minyak dan gas alam untuk digunakan di dalam negeri. AdapunIranian Oil Participants Ltd (IOP) bertugas menyerahkan minyak mentah yang dituntut oleh pasar dalam negeri kepada Perusahaan Minyak Nasional Iran.
Perusahaan Nasional Minyak Iran juga bertanggung jawab memenuhi, menjaga, dan mengatur sarana dukungan produksi dengan istilah "jasa non-minyak". Sementara seluruh sektor industri perminyakan sendiri secara eksklusif dipegang oleh pihak asing. Fasilitas permanen industri minyak Iran dalam tahap ini meski secara resmi adalah milik Perusahaan Nasional Minyak Iran, akan tetapi berdasarkan kontrak, perusahaan anggota konsorsium, berhak menggunakannya secara eksklusif selama kontrak berlaku.
Dengan dimulainya aktivitas konsorsium tersebut dan meski menurut rencana sebelumnya undang-undang nasionalisasi minyak akan diberlakukan, akan tetapi pada praktiknya, pemerintah dan Perusahaan Minyak Nasional Iran memiliki wewenang yang terbatas dalam hal ini. Hingga September 1974, para anggota konsorsium secara arbitrer menetapkan tingkat produksi dan harga minyak yang menjadi faktor utama pendapatan negara, tanpa berkonsultasi dengan pemerintah Iran. Pada hakikatnya, pemerintah Iran tidak memiliki hak dan wewenang apa pun dalam hal ini.
Pada sejak tahun 1974 dan pembentukan perusahaan jasa perminyakan Iran OSCO, terjadi perubahan besar dalam mekanisme pengawasan dan peran pemerintah dalam kinerja konsorsium. Akan tetapi pada faktanya adalah bahwa sampai terjadinya Revolusi Islam, pemerintah Iran tidak memiliki hak penuh di sektor paling vital ini.
Revolusi Islam dan Aksi Mogok Massal di Sektor Minyak
Kemarahan rakyat terhadap rezim Shah Pahlevi, meluas ke seluruh penjuru negeri. Minyak, yang industri utama dan sangat vital untuk perekonomian negara, sudah tidak mampu lagi bersabar di hadapan pengaruh luas pihak asing dan penistaan terhadap bangsa ini yang dimulai sejak penandatanganan kontrak D'Arcy.
Akhirnya pada bulan Oktober 1978, percikan pertama protes dan aksi mogok di wilayah-wilayah kaya minyak di selatan terpantik dan dalam sebuah aksi terkoordinasi, para pegawai di sektor ini secara serentak melakukan melakukan aksi mogok. Secara gradual aksi mogok dan protes terhadap perusahaan OSCO meningkat yang juga dikontrol oleh pihak asing.
Dengan cepat gelombang protes dan aksi mogok meluas ke berbagai kawasan. Sektor perminyakan Iran tengah mengambil langkah historis. Para pegawai dan buruh pernyulingan minyak Tehran juga masuk ke jantung gerakan Revolusi Islam di Tehran. Adapun di wilayah selatan, kondisinya tidak semudah itu. Jumlah pegawai lokal di bidang administrasi dan lapangan di zona-zona minyak Iran, bertambah seiring dengan pelaksanaan undang-undang nasionalisasi minyak. Selain di sektor manajemen, nyaris semua bidang di sektor minyak Iran dipegang oleh pegawai lokal. Oleh karena itu, pihak keamanan berusaha keras untuk menyeret para pegawai tersebut kembali bekerja dan mereka melancarkan berbagai tekanan hebat yang terus meningkat terhadap para pegawai dan buruh lokal.
Tersumbatnya kran minyak Iran semakin memperburuk kondisi dan semakin mendekatkan gerakan Revolusi Islam kepada kemenangannya. Dikhawatirkan, rezim akan berhasil mengakhiri aksi mogok tersebut dan dapat kembali bernafas dengan dimulainya ekspor minyak. Jika hal itu terjadi maka semangat Revolusi Islam akan terkoyak. Akan tetapi, para pegawai minyak di selatan bertahan dalam menghadapi berbagai tekanan dan tetap melanjutkan aksi mereka.
Pada tanggal 27 Desember 1978, para penguasa negara-negara Barat dan Amerika Serikat, menggelar sidang singkat di Guadalupe, guna membahas kondisi di Iran, dan dalam konferensi pers, media massa dunia dikejutkan dengan pengumuman bahwa "Hari ini ekspor minyak Iran terputus total."
Keluarnya Pihak Asing
Akhirnya seluruh wewenang dan manajemen fasilitas minyak Iran berada di tangan para pegawai Iran dan para pegawai asing untuk kedua kalinya bersiap-siap untuk meninggalkan Iran. Di kawasan yang dihuni oleh warga asing di Ahwaz, Abadan, dan seluruh kawasan di Iran, para analis Amerika dan Eropa dengan cepat mengemas seluruh perabotan mereka serta menjual kendaraan, rumah, dan vila-vila mereka agar segera hengkang dari Iran.
Bandara Ahwaz yang sebelumya digunakan untuk mempermudah ketibaan para analis asing, pada hari-hari itu sibuk untuk melayani penerbangan secara silih berganti ke luar negeri dalam rangka mempercepat proses pemulangan para warga asing.
Di pintu terakhir terakhir sebelum menuju pesawat, seorang insinyur asal Amerika Serikat yang sedang berjalan menuju pesawat berpaling ke arah seorang pegawai bandaran lokal berkata; "Kita akan segera bertemu lagi kawan! Kami akan segera kembali!"
Pegawai bandara itu dengan cepat menjawab: "Tidak untuk kali ini! Saya kita kalian tidak akan kembali setelah ini!" (IRIB Indonesia/MZ)
0 comments to "Sejarah Minyak negara ISLAM dan Amar Makhruf, Nahi Munkar serta "Mitos'' Ulama dan Politik harus berpisah..!!!!!"