Home , , , , , , , , , , , , � Budha VS Islam "Mau diadu domba Zionis"...!!!!...WARNING...Rohingya dan Anda Umat Muslim Sedunia! : Agenda Tersembunyi Tragedi Rohingya Myanmar

Budha VS Islam "Mau diadu domba Zionis"...!!!!...WARNING...Rohingya dan Anda Umat Muslim Sedunia! : Agenda Tersembunyi Tragedi Rohingya Myanmar


Lembaga Internasional Satu Umat dalam statemennya menjelaskan kondisi warga Muslim Myanmar dan menekankan bahwa Muslim Myanmar bahkan tidak memiliki hak kewarganegaraan.

Fars News (15/7) melaporkan, lembaga ini meminta Kementerian Luar Negeri Iran untuk mereaksi genosida terhadap warga Muslim etnis Rohingya di Myanmar.

Lembaga Internasional Satu Umat merilis statemen setelah tidak ada reaksi dari masyarakat internasional terhadap penderitaan yang dialami oleh etnis Muslim Rohingya, Myanmar.

Mengawali statemennya, Lembaga Internasional Satu Umat menyebutkan ayat:

وَ مَا لَکُمْ لا تُقَاتِلُونَ فِی سَبِیلِ اللَّهِ وَالْمُسْتَضْعَفِینَ مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ وَالْوِلْدَانِ الَّذِینَ یَقُولُونَ رَبَّنَا أَخْرِجْنَا مِنْ هَذِهِ الْقَرْیَةِ الظَّالِمِ أَهْلُهَا وَاجْعَل لَنَا مِنْ لَدُنْکَ وَلِیًّا وَاجْعَل لَنَا مِنْ لَدُنْکَ نَصِیرًا

Dalam statemen itu disebutkan, "Berita menyedihkan pembantaian warga Muslim Myanmar terdengar. Jutaan warga Muslim Myanmar yang merupakan kelompok minoritas di negara itu, selama bertahun-tahun menghadapi berbagai masalah dari pihak pemerintah. Bahkan mereka tidak memiliki hak kewarganegaraan."

"Mereka dilarang menunaikan ibadah. Mereka tidak memiliki masjid atau sekolah. Bahkan mereka tidak berhak melaksanakan akad nikah resmi. Selama bertahun-tahun, ratusan ribu Muslim Myanmar dengan tabah menghadapi kesulitan dan berusaha mengungsi secara ilegal ke berbagai negara di kawasan, dan dalam prosesnya, sebagian orang meninggal dunia dengan kondisi yang sangat menyedihkan."

"Salah satu di antara kasusnya adalah ketika pasukan garda pantai Thailand, membuang ratusan ribu pengungsi Muslim Myanmar ke tengah  laut di atas perahu tanpa motor serta tanpa air atau makanan. Sebagian besar mereka meninggal dunia karena kehausan dan kelaparan."

"Selain itu, banyak imigran Muslim Myanmar yang mendekam di penjara negara-negara regional. Meski demikian, warga Muslim Myanmar lebih memilih untuk menghela nafas terakhir di tengah laut daripada hidup dengan kondisi buruk di negara mereka sendiri."

"Kondisi menyayat hati ini menjadi semakin tragis dalam beberapa bulan terakhir menyusul perseteruan antara penganut Budha dan Muslim di negara itu. Berdasarkan berbagai laporan, ribuan warga Muslim Myanmar dibantai secara brutal oleh para ekstrimis Budhist, sementara aparat hanya menyaksikan peristiwa tersebut. Pada saat yang sama, pemerintah Myanmar mencegah wartawan asing atau perwakilan lembaga-lembaga internasional di kawasan untuk meninjau lokasi."

"Lembaga ini selain menuntut para penguasa media untuk meliput walau sedikit tentang ketertindasan warga Muslim Myanmar, juga meminta kepada Kementerian Luar Negeri Iran untuk mengambil langkah-langkah kongkret demi menjaga nyawa warga Muslim tertindas Myanmar dengan menekan para pejabat negara bersangkutan dan juga melalui lembaga-lembaga internasional." (IRIB Indonesia/MZ/ Senin, 2012 Juli 16 04:51)

Rohingya, Potret Buram Muslim Myanmar

Selasa, 12 Juni 2012, 14:06 WIB
   
Rohingya, Potret Buram Muslim Myanmar
Seorang warga etnis Rohingya tengah menunggu bantuan diluar sebuah masjid di Sittwe, Myanmar. (Damir Sagolj/Reuters)

REPUBLIKA.CO.ID,  "Kami meninggalkan Myanmar karena kami diperlakukan dengan kejam oleh militer. Umat Muslim di sana kalau tidak dibunuh, mereka disiksa," ujar seorang pengungsi, Nur Alam, seperti dikutip BBC, beberapa waktu lalu.

Nur bersama 129 Muslim Rohingya begitu umat Islam yang tinggal di utara Arakan, Myanmar, biasa disebut terpaksa harus meninggalkan tanah kelahirannya.

Ia bersama kawan-kawannya nekat melarikan diri dari Myanmar dengan menumpang perahu tradisional sepanjang 14 meter. Mereka berjejalan di atas perahu kayu dengan bekal seadanya. Akibat mesin perahu yang mereka tumpangi rusak, Muslim Rohingya pun harus rela terkatung-katung di lautan yang ganas.

Hingga akhirnya, mereka ditemukan nelayan Aceh dalam kondisi yang mengenaskan. Menurut Nur, mereka terombang-ambing ombak di lautan ganas selama 20 hari. Kami ingin pergi ke Indonesia, Malaysia, atau negara lain yang mau menerima kami, tutur Nur. Demi menyelamatkan diri dan akidah, mereka rela kelaparan dan kehausan di tengah lautan.

Begitulah potret buram kuam Muslim Rohingya yang tinggal di bagian utara Arakan atau negara bagian Rakhine. Kawasan yang dihuni umat Islam itu tercatat sebagai yang termiskin dan terisolasi dari negara Myanmar atau Burma. Daerah itu berbatasan dengan Bangladesh.

Sejak 1982, Undang-Undang Kewarganegaraan Burma tak mengakui Muslim Rohingya sebagai warga negara Myanmar. Pemerintah di negara itu hanya menganggap mereka sebagai imigran ilegal dari Bangladesh atau keturunannya. Terjebak dalam kondisi yang sangat tidak menguntungkan seperti itu, kaum Rohingya pun memilih untuk meninggalkan Myanmar.

Tak mudah bagi mereka untuk melepaskan diri dari negara yang dikuasai Junta Militer itu. Tak jarang mereka harus mengalami kekerasan dan penyiksaan oleh pihak keamanan. Setelah mereka keluar dari negara tersebut, mereka tidak diperkenankan untuk kembali.

Selain itu, umat muslim Rohingya seperti terpenjara di tempat kelahirannya sendiri. Mereka tidak bisa bebas bepergian ke mana pun. Meskipun hanya ingin ke kota tetangga saja, pihak militer selalu meminta surat resmi. Saat ini, sekitar 200 ribu Muslim Rohingnya terpaksa tinggal di kamp pengungsi seadanya di Bangladesh.

Sebagian besar dari mereka yang tidak tinggal di tempat pengungsian resmi memilih untuk pergi ke negara lain melalui jalur laut, terutama melalui Laut Andaman. Kemudian, pihak Pemerintah Thailand juga mengabarkan bahwa mereka telah menahan sebanyak 100 orang Rohingya beberapa waktu yang lalu.

Pemerintah negeri Gajah Putih itu menolak menerima mereka sebagai pengungsi. Untuk mengatasi masalah ini, PBB sudah bergerak melalui salah satu organisasinya yang mengurusi pengungsi, UNHCR.

                                                                          ***

Populasi Muslim Rohingya di Myanmar tercatat sekitar 4,0 persen atau hanya sekitar 1,7 juta jiwa dari total jumlah penduduk negara tersebut yang mencapai 42,7 juta jiwa. Jumlah ini menurun drastis dari catatan pada dokumen Images Asia: Report On The Situation For Muslims In Burma pada Mei tahun 1997. Dalam laporan tersebut, jumlah umat Muslim di Burma mendekati angka 7 juta jiwa.

Mereka kebanyakan datang dari India pada masa kolonial Inggris di Myanmar. Sepeninggal Inggris, gerakan antikolonialisasi di Burma berusaha menyingkirkan orang-orang dari etnis India itu, termasuk mereka yang memeluk agama Islam. Bahkan, umat Muslim di Burma sering sekali menjadi korban diskriminasi.

Pada tahun 1978 dan 1991, pihak militer Burma meluncurkan operasi khusus untuk melenyapkan pimpinan umat Islam di Arakan. Operasi tersebut memicu terjadinya eksodus besar-besaran dari kaum Rohingya ke Bangladesh. Dalam operasi khusus itu, militer tak segan-segan menggunakan kekerasan yang cenderung melanggar hak asasi manusia.

Selain itu, State Law and Order Restoration Council (SLORC) yang merupakan rezim baru di Myanmar selalu berusaha untuk memicu adanya konflik rasial dan agama. Tujuannya untuk memecah belah populasi sehingga rezim tersebut tetap bisa menguasai ranah politik dan ekonomi.

Pada 1988, SLORC memprovokasi terjadinya pergolakan anti-Muslim di Taunggyi dan Prome. Lalu, pada Mei 1996, karya tulis bernada anti-Muslim yang diyakini ditulis oleh SLORC tersebar di empat kota di negara bagian Shan. Hal tersebut mengakibatkan terjadinya kekerasan terhadap kaum Muslim.

Kemudian, pada September 1996, SLORC menghancurkan masjid berusia 600 tahun di negara bagian Arakan dan menggunakan reruntuhannnya untuk mengaspal jalan yang menghubungkan markas militer baru daerah tersebut. Sepanjang Februari hingga Maret 1997, SLORC juga memprovokasi terjadinya gerakan anti-Muslim di negara bagian Karen.

Sejumlah masjid dihancurkan, Alquran dirobek dan dibakar. Umat Islam di negara bagian itu terpaksa harus mengungsi. Burma Digest juga mencatat, pada tahun 2005, telah muncul perintah bahwa anak-anak Muslim yang lahir di Sittwe, negara bagian Rakhine (Arakan) tidak boleh mendapatkan akta kelahiran.

Hasilnya, hingga saat ini banyak anak-anak yang tidak mempunyai akta lahir. Selain itu, National Registration Cards (NRC) atau kartu penduduk di negara Myanmar sudah tidak diberikan lagi kepada mereka yang memeluk agama Islam.

                                                                           ***

Mereka yang sangat membutuhkan NRC harus rela mencantumkan agama Buddha pada kolom agama mereka.

Bahkan, Pemerintah Myanmar sengaja membuat kartu penduduk khusus untuk umat Muslim yang tujuannya untuk membedakan dengan kelas masyarakat yang lain. Umat Muslim dijadikan warga negara kelas tiga. Umat Islam di negera itu juga merasakan diskriminasi di bidang pekerjaan dan pendidikan.

Umat Islam yang tidak mengganti agamanya tak akan bisa mendapatkan akses untuk menjadi tentara ataupun pegawai negeri.  Tak hanya itu, istri mereka pun harus berpindah agama jika ingin mendapat pekerjaan.

Pada Juni 2005, pemerintah memaksa seorang guru Muslim menutup sekolah swastanya meskipun sekolah itu hanya mengajarkan kurikulum standar, seperti halnya sekolah negeri, pemerintah tetap menutup sekolah itu.

Sekolah swasta itu dituding mengajak murid-muridnya untuk masuk Islam hanya karena sekolah itu menyediakan pendidikan gratis. Selain itu, pemerintah juga pernah menangkap ulama Muslim di Kota Dagon Selatan hanya karena membuka kursus Alquran bagi anak-anak Muslim di rumahnya. Begitulah nasib Muslim Rohingya.

Nasib buruk yang dialami Muslim Rohingya mulai mendapat perhatian dari Organisasi Konferensi Islam (OKI). Kantor berita Islam, IINA, pada 1 Juni 2011, melaporkan, Sekretariat Jenderal OKI yang bermarkas di Jeddah telah menggelar sebuah pertemuan dengan para pemimpin senior Rohingya. Tujuannya, agar Muslim Rohingya bisa hidup damai, sejahtera, dan memiliki masa depan yang lebih baik.

Dalam pertemuan itu, para pemimpin senior Rohingya bersepakat untuk bekerja sama dan bersatu di bawah sebuah badan koordinasi. Lewat badan koordiansi itulah, OKI mendukung perjuangan Muslim Rohingya untuk merebut dan mendapatkan hak-haknya.
Pertemuan itu telah melahirkan Arakan Rohingya Union (ARU) atau Persatuan Rohingya Arakan. Lewat organisasi itu, Muslim Rohingya akan menempuh jalur politik untuk mengatasi masalah-masalah yang dialami Muslim Rohingya. Semoga.
Redaktur: Heri Ruslan
Reporter: Heri Ruslan

Ahlul Bait Indonesia: Diskriminasi terhadap Muslim Myanmar Langgar Deklarasi HAM


Tragedi yang menimpa Muslim etnis Rohingya di Myanmar memicu perhatian dari berbagai kalangan terutama umat Islam dunia. Ahlul Bait Indonesia (ABI) sebagai bagian dari Muslim dunia menyatakan solidaritas dan keprihatinan yang mendalam atas tragedi kemanusiaan yang menimpa muslim Rohingya di Myanmar.

"Masalah Muslim Myanmar adalah persoalan pelanggaran hak asasi manusia yang bertentangan dengan declaration of human rights," kata Sekjen ABI, Ahmad Hidayat Ahad (17/7).

Dewan Pengurus Pusat Ahlul Bait Indonesia mengecam tindakan tidak manusiawi dan pelanggaran hak-hak dan kebebasan untuk menjalankan keyakinan dan kepercayaan mereka masing-masing, sebagaimana yang menimpa muslim Rohingya.

ABI mendesak lembaga-lembaga muslim internasional seperti Organisasi Konferensi Islam (OKI), Rabitah al-Alam al-Islami dan organisasi lainnya untuk membicarakan masalah ini baik di tingkat negara dengan negara (G to G), maupun lembaga non pemerintah (NGO) yang punya akses dengan persoalan tersebut.

Organisasi Ahlul Bait Indonesia juga mendesak PBB untuk menekan pemerintah Myanmar supaya menghentikan diskriminasi terhadap etnis Rohingya sebagai minoritas di negara itu.

"Kita mendesak PBB dan Human Rights Watch untuk melakukan investigasi mengenai berbagai macam persoalan seperti ini, karena memang ini masalah kemanusiaan yang terjadi di mana-mana. Kalau dibiarkan maka akan menciptakan kondisi yang rumit baik bagi Myanmar sendiri maupun hubungan sosial yang lebih luas antaragama di dunia, "tegas Ahmad Hidayat.

Sejak pemerintahan Junta militer berkuasa tahun 1942, etnis muslim Rohingya menjadi sasaran pelanggaran hak asasi manusia. Sebagian warga Myanmar menganggap muslim Rohingya sebagai orang asing dan bukan bagian dari etnis Burma mayoritas. Kebijakan pemerintah Junta Myanmar pun tidak jauh berbeda dari sikap rakyatnya. Bertahun-tahun mereka menganggap orang Rohingya sebagai imigran ilegal asal Bangladesh. Padahal etnis muslim itu sudah hidup turun temurun di Burma.

Ironisnya, wartawan, peneliti, penulis, dan tokoh Myanmar justru beramai-ramai menyamakan orang Rohingya sebagai sekumpulan muslim garis keras seperti organisasi al-Qaida dan Taliban.

Jumlah warga muslim di Myanmar sendiri mencapai 5% dari 53 juta penduduk Myanmar. Mayoritas di antara mereka adalah etnis Bengali yang menetap di Provinsi Rakhine. Sementara sisanya merupakan Muslim keturunan India dan Cina yang tinggal di Yangon. Hingga kini nasib Rohingya terkatung-katung. Di dalam negeri mereka tidak diakui, di luar negeri pun tidak ada yang mau menampung mereka. (IRIB Indonesia/PH/SL)


ISNA: Myanmar Harus Menghormati Hak Asasi Manusia Muslim Rohingya




Masyarakat Islam Amerika Utara atau The Islamic Society of North America (ISNA) Pada Ahad (15/7) menyatakan keprihatinannya atas apa yang terjadi terhadap anggota Masyarakat Muslim Rohingya. Sejak lama mereka mengalami penderitaan dan penganiayaan di negara mereka, Myanmar. Untuk menikah saja mereka harus mendapatkan surat izin dari pemerintah, hanya diperbolehkan memiliki dua orang anak dan menjadi sasaran perbudakan modern melalui kerja paksa. Mayoritas penduduk Rohingya dirampas tanah milik mereka, karena pemerintah menolak hak kewarganegaraan dan mereka juga dilarang melakukan perjalanan.

ISNA menolak kebijakan kejam ini dan amat sedih dengan pembunuhan ke atas muslim Rohingya baru-baru ini. Kami menentang sepenuhnya pemanfaatan perbedaan etnis dan agama untuk melakukan pembunuhan masyarakat minoritas, terlepas dari negara, agama, atau keadaan. Aksi atau tindakan pemerintah Myanmar saat ini sama sekali tidak dapat diterima, dan masyarakat Rohingya harus menerima hak asasi manusia yang mendasar.

Pasca keganasan sektarian bulan lalu di Arakan, Myanmar, Human Rights Watch melaporkan tindakan militer dan undang-undang yang "bias" dan "kasar" terhadap penduduk Rohingya. Ketika pemerintah Myanmar menyatakan bahwa situasi sedang membaik, the World Food Programme melaporkan keganasan terbaru di Myanmar telah membuat 90.000 orang kehilangan tempat tinggal. Amnesti Internasional menyebutkan orang-orang ini  "kekurangan bahan pangan, air, tempat tinggal, dan perawatan medis" dan terhalang dari mendapatkan bantuan/akses kelompok lokal dan internasional.

Hari Senin, ISNA turut serta dalam konferensi press bersama Amnesti Internasional dan organisasi lain untuk menarik perhatian terhadap krisis kemanusiaan ini. Kami bersama-sama meminta State Department untuk tidak melupakan nasib Muslim Rohingya dalam negosiasi diplomatik dengan Myanmar. Dalam kondisi kritisini, Amerika dan negara-negara lain haruslah menyeru perdamaian di Myanmar dan satu jalan baru untuk Rohingya. (IRIB Indonesia / Rohingya)

Iran Desak Myanmar Segera Hentikan Kekerasan Terhadap Rohingya



Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Iran, Ramin Mehmanparast, menyatakan keprihatinan mendalam atas pembantaian kaum Muslim di Myanmar serta menuntut diakhirinya kekerasan di negara tersebut.

"Pemerintah Myanmar diharap mempersiapkan ruang solidaritas, persatuan nasional dan [penghormatan terhadap] hak umat Islam di negara ini dan hal itu akan mencegah terjadinya kekerasan serta tragedi kemanusiaan," kata Mehmanparast Senin (16/7).

Ia juga menuntut langkah-langkah "cepat dan serius" oleh pemerintah Myanmar, masyarakat internasional dan Organisasi Kerjasama Islam (OKI) untuk memperjelas sebab-sebab insiden dan dalam rangka mengakhiri kekerasan.

Juru bicara Deplu Iran juga menekankan bahwa penghormatan terhadap hak-hak para pengikut agama yang berbeda dan menyediakan tempat bagi kaum minoritas agama dan etnis agar dapat menikmati hak-hak sipil mereka, merupakan prinsip yang diterima oleh semua kelompok.

Berdasarkan laporan terbaru, warga Muslim Myanmar sedang menghadapi bencana. Sejak Juni, ratusan warga etnis minoritas Muslim Rohingya yang populasinya mencapai hampir satu juta orang tewas dan puluhan ribu lainnya mengungsi ke wilayah barat negara tersebut.

Pada 3 Juni, 10 warga etnis Muslim Rohingya tewas ketika segerombolan kelompok ekstrim Rakhines yang sebagian besarnya adalah penganut Budha, menyerang sebuah bus penumpang di negara bagian barat Rakhine Myanmar yang berbatasan dengan Bangladesh.

Menurut keterangan sebuah LSM yang berbasis di Inggris, dari tanggal 10 hingga 28 Juni, 650 Muslim Rohingya tewas, 1.200 hilang, dan lebih dari 80.000 orang lainnya mengungsi akibat kerusuhan, pembakaran, dan siklus serangan balasan.

Selama dua tahun terakhir, para warga Muslim etnis Rohingya berusaha melarikan diri dari Myanmar dengan menggunakan perahu guna menghindari penindasan sistematis oleh pemerintah Myanmar.

Pemerintah Myanmar menolak mengakui mereka. Rohingya dinilai bukan penduduk pribumi dan bahkan menilainya sebagai imigran ilegal, meskipun mereka telah tinggal di Myanmar selama beberapa generasi. (IRIB Indonesia/MZ)


Diskriminasi terhadap Muslim Myanmar Langgar Deklarasi HAM

ABI mendesak lembaga-lembaga muslim internasional seperti Organisasi Konferensi Islam (OKI), Rabitah al-Alam al-Islami dan organisasi lainnya untuk membicarakan pembantaian muslim di Myanmar baik di tingkat negara dengan negara (G to G), maupun lembaga non pemerintah (NGO) yang punya akses dengan persoalan tersebut. 


 Diskriminasi terhadap Muslim Myanmar Langgar Deklarasi HAMMenurut Kantor Berita ABNA, Tragedi yang menimpa Muslim etnis Rohingya di Myanmar memicu perhatian dari berbagai kalangan terutama umat Islam dunia. Ahlul Bait Indonesia (ABI) sebagai bagian dari Muslim dunia menyatakan solidaritas dan keprihatinan yang mendalam atas tragedi kemanusiaan yang menimpa muslim Rohingya di Myanmar.

"Masalah Muslim Myanmar adalah persoalan pelanggaran hak asasi manusia yang bertentangan dengan declaration of human rights," kata Sekjen ABI, Ahmad Hidayat Ahad (15/7).

Dewan Pengurus Pusat Ahlul Bait Indonesia mengecam tindakan tidak manusiawi dan pelanggaran hak-hak dan kebebasan untuk menjalankan keyakinan dan kepercayaan mereka masing-masing, sebagaimana yang menimpa muslim Rohingya.

ABI mendesak lembaga-lembaga muslim internasional seperti Organisasi Konferensi Islam (OKI), Rabitah al-Alam al-Islami dan organisasi lainnya untuk membicarakan masalah ini baik di tingkat negara dengan negara (G to G), maupun lembaga non pemerintah (NGO) yang punya akses dengan persoalan tersebut.

Organisasi Ahlul Bait Indonesia juga mendesak PBB untuk menekan pemerintah Myanmar supaya menghentikan diskriminasi terhadap etnis Rohingya sebagai minoritas di negara itu.

"Kita mendesak PBB dan Human Rights Watch untuk melakukan investigasi mengenai berbagai macam persoalan seperti ini, karena memang ini masalah kemanusiaan yang terjadi di mana-mana. Kalau dibiarkan maka akan menciptakan kondisi yang rumit baik bagi Myanmar sendiri maupun hubungan sosial yang lebih luas antaragama di dunia, "tegas Ahmad Hidayat.

Sejak pemerintahan Junta militer berkuasa tahun 1942, etnis muslim Rohingya menjadi sasaran pelanggaran hak asasi manusia. Sebagian warga Myanmar menganggap muslim Rohingya sebagai orang asing dan bukan bagian dari etnis Burma mayoritas. Kebijakan pemerintah Junta Myanmar pun tidak jauh berbeda dari sikap rakyatnya. Bertahun-tahun mereka menganggap orang Rohingya sebagai imigran ilegal asal Bangladesh. Padahal etnis muslim itu sudah hidup turun temurun di Burma.

Ironisnya, wartawan, peneliti, penulis, dan tokoh Myanmar justru beramai-ramai menyamakan orang Rohingya sebagai sekumpulan muslim garis keras seperti organisasi al-Qaida dan Taliban.

Jumlah warga muslim di Myanmar sendiri mencapai 5% dari 53 juta penduduk Myanmar. Mayoritas di antara mereka adalah etnis Bengali yang menetap di Provinsi Rakhine. Sementara sisanya merupakan Muslim keturunan India dan Cina yang tinggal di Yangon. Hingga kini nasib Rohingya terkatung-katung. Di dalam negeri mereka tidak diakui, di luar negeri pun tidak ada yang mau menampung mereka. 



Lembaga Internasional Dituntut Peduli

Forum Dunia Pendekatan Antarmazhab Islam selain mengecam pambantaian sadis dan pengusiran ribuan umat Muslim serta penistaan terhadap peremuan, gadis, dan anak-anak Muslim di Myanmar, juga menekankan kerukunan hidup antar penganut agama. 

 Lembaga Internasional Dituntut PeduliMenurut Kantor Berita ABNA, Forum Dunia Pendekatan Antarmazhab Islam menuntut penghentian genosida terhadap umat Muslim Myanmar dan menyatakan, "Menjadi tugas para ulama dan cendikiawan negara-negara Islam untuk menciptakan ketenangan di kalangan umat Muslim dan bersatu dalam menyikapi peristiwa seperti ini."

Fars News (18/7) melaporkan, Forum Dunia Pendekatan Antarmazhab Islam selain mengecam pambantaian sadis dan pengusiran ribuan umat Muslim serta penistaan terhadap peremuan, gadis, dan anak-anak Muslim di Myanmar, juga menekankan kerukunan hidup antar penganut agama.

Dalam statemennya lembaga ini menyatakan, aksi keji dan kejahatan oleh sekelompok ekstrimis yang termasuk genosida terhadap kaum Muslim tertindas di Myanmar, bertentangan dengan nilai-nilai sakral dan kemanusiaan dalam kehidupan harmonis serta penghormatan terhadpa hak-hak umat manusia.

Ditambahkan pula, "Sekarang, adalah tugas para ulama dan cendikiawan negara-negara Islam untuk menciptakan ketenangan di kalangan umat Muslim dan lebih bersatu dalam mereaksi persitiwa seperti ini, karena kebungkaman di hadapan peristiwa ini menunjukkan ketidakpedulian terhadap politik luhur dan hak-hak manusia, padahal umat manusia di manapun mereka berada harus dapat menikmati hak-hak mereka dan tidak tertindas atau terzalimi."

Forum Dunia Pendekatan Antarmazhab Islam meminta lembaga-lembaga internasional khususnya Perserikatan Bangsa-Bangsa, Organisasi Konferensi Islam (OKI), Human Right Watch, dan organisasi HAM dunia lain, menghentikan kebungkaman mereka di hadapan tragedi yang menimpa umat Muslim di Myanmar. 

Resistensi dan Persatuan; Kunci Kemenangan


Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran atau Rahbar Ayatullah al-Udzma Sayid Ali Khamenei, Senin (18/6) pada acara peringatan Hari Raya Bi'tsah atau Hari Kenabian Rasulullah Saw yang dihadiri oleh para pejabat tinggi negara dan perwakilan negara-negara Islam serta keluarga para syuhada, mengatakan, "Di antara sekian banyak percikan cahaya kenabian, umat manusia saat ini sangat memerlukan dua hal yaitu, membangkitkan pemikiran dan menempa akhlak."

Seraya menyampaikan ucapan selamat kepada rakyat Iran dan umat Islam atas tibanya hari besar pengangkatan Rasulullah Muhammad Saw sebagai Nabi, Rahbar menandaskan,  kecenderungan berbagai bangsa Muslim yang dengan penuh semangat mengikuti ajaran Nabi Muhammad Saw menunjukkan bahwa bangsa-bangsa yang sudah mengenyam banyak pendidikan ini menyadari, tidak ada satu pun ideologi materialis Barat dan Timur yang bisa memenuhi tuntutan dan kebutuhan hakiki umat manusia. Tak ada yang bisa membawa umat manusia kepada kesejahteraan dan kemajuan hakiki kecuali ajaran kenabian.

Ayatullah Khamenei menyatakan bahwa faktor yang melahirkan berbagai masalah di tengah umat manusia adalah keterasingan mereka dari dua hal utama yang diajarkan oleh nabi. Dua hal itu adalah pemikiran dan penyucian jiwa. Rahbar menambahkan, keterbebasan manusia dari seluruh belenggu dan kelemahan akhlak adalah tujuan dan misi agung para nabi. Dengan terwujudnya dua hal itu, maka pintu bagi teratasinya kesulitan utama umat manusia akan terbuka lebar.

Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran menekankan bahwa salah satu misi utama kenabian adalah menghidupkan kekuatan logika dan pemikiran. Rahbar mengatakan, "Umat manusia hari ini sangat memerlukan pemikiran, logika, nalar, dan pencarian solusi untuk menyelesaikan masalah dan kesulitan yang mengepung bangsa-bangsa di dunia dari segala penjuru."

Menyinggung sepak terjang kekuatan adidaya dunia dalam menebar maut dan kezaliman secara terang-terangan di sejumlah negara kawasan Timur Tengah, Rahbar mengungkapkan, "Dalam perspektif kaum arogan dunia, tak ada tempat bagi manusia. Masyarakat dunia juga sudah menyaksikan bagaimana negara-negara Barat menyelesaikan krisis ekonomi yang menerpa mereka. Kekuatan adidaya dunia hanya berpikir menyelesaikan masalah dan kesulitan sistem perbankan, kartel-kartel ekonomi dan para pemilik modal, bukan mengatasi kesulitan rakyat."

Ayatullah Khamenei kembali menyeru bangsa-bangsa di dunia untuk merenungkan dan memikirkan fenomena yang tampak di depan mata ini. Beliau mengingatkan, akar dari semua masalah ini adalah kekuasaan sistem hegemoni di dunia dan keberadaan dua kutub, majikan dan budak. Jalan penyelesaiannya adalah dengan mengeluarkan bangsa-bangsa ini dari hegemoni atau kekuasaan pihak lain.

Mengenai revolusi bangsa-bangsa di kawasan dan upaya tiada henti dari kubu adidaya untuk mengendalikan dan menyimpangkan gerakan rakyat ini, Ayatullah Khamenei menegaskan, bangsa-bangsa ini hendaknya tetap resisten dengan mengandalkan kekuatan pikiran dan logika pemberian Allah Swt serta percaya akan kebenaran janji pertolongan Ilahi. Dengan terus melanjutkan perjuangan yang gigih melawan kubu hegemoni, mereka akan mengukir kemenangan.

Rahbar menyebut harga diri dan kebesaran bangsa Iran sebagai hasil dari resistensi dan perjuangan bangsa ini. Menyinggung kebersamaan kubu arogansi dalam melawan Republik Islam Iran, Rahbar menambahkan, "Dalam 33 tahun ini, bangsa Iran selalu menjadi sasaran konspirasi dan tipu daya kubu arogansi dunia. Dengan cara itu, mereka berusaha mencegah bangsa Iran menjadi teladan resistensi dan kemajuan bagi bangsa-bangsa lain. Berkat inayah Allah Swt, kali ini pun semua upaya musuh untuk mengeluarkan bangsa Iran dari arena juga akan gagal."

Menurut Rahbar, janji Allah Swt hanya akan didapat lewat usaha, tindakan dan kesiapan menerjang bahaya. Dengan menyebutkan sejumlah ayat al-Quran, Ayatullah Khamenei mengatakan, "Menjadi mukmin saja tidak meniscayakan terlaksananya janji Allah Swt. Karena itu, diperlukan perjuangan dan kesabaran." Mengenai musuh-musuh Republik Islam, Rahbar  menegaskan, "Mereka semestinya mengambil pelajaran dari kegagalan-kegagalan masa lalu dalam menghadapi bangsa Iran. Mereka harus sadar bahwa kesombongan, keangkuhan, dan ambisi yang tidak pada tempatnya tidak akan membuat mereka unggul dalam menghadapi bangsa yang memperoleh ajaran resistensi dan persatuan dari al-Quran dan sudah mengenal dirinya."

Menyinggung upaya tanpa henti kaum arogan dunia untuk menunggangi dan mendistorsi revolusi bangsa-bangsa di kawasan, Rahbar menegaskan, "Dengan berbekal khazanah yang dianugerahkan oleh Allah Swt, akal dan pikiran, itikad baik, serta janji pertolongan dari Allah Swt, bangsa-bangsa dapat mandiri dan menentukan masa depan mereka dengan resistensi melawan para penjajah."
Berbicara tentang skenario musuh-musuh Islam dalam mengadu domba antara Sunni dan Syiah, Ayatullah Khamenei menyebut persatuan Islam sebagai kebutuhan mendesak Dunia Islam saat ini. Seraya mengkritik keras sejumlah kalangan yang terus menerus menebar perpecahan, Rahbar menandaskan, "Orang-orang yang tidak menerima Islam dan sama sekali tidak tahu menahu soal Syiah dan Sunni, justru bertindak memenuhi keinginan dinas-dinas intelijen kubu hegemoni dengan mengaku khawatir akan penyebaran Syiah. Dengan cara itu, mereka menyulut api perselisihan."

Di bagian akhir pembicaraannya, Rahbar mengimbau bangsa-bangsa Muslim untuk menggunakan nalar dan logika yang benar serta memupuk persatuan dan resistensi. Beliau menyatakan bahwa dengan inayah Allah Swt, umat Islam akan mengalahkan musuh-musuhnya dan akan berhasil mewujudkan misi dari pengutusan Nabi Saw.

Di awal pertemuan yang dihadiri oleh Presiden Mahmoud Ahmadinejad, ketua parlemen, ketua Badan Yudikatif dan ketua Dewan Penentu Kebijaksanaan Negara itu, Ahmadinejad dalam kata sambutannya menyampaikan ucapan selamat atas tibanya peringatan Hari Raya Bi'tsah Nabi Muhammad Saw dan mengatakan, "Hari ini kebutuhan umat manusia kepada ajaran Ilahi dan pesan kenabian Rasulullah Saw semakin terasa."

Pada kesempatan itu, Ahmadinejad menyinggung ketidakmampuan kekuatan-kekuatan materi dalam menjawab tuntutan umat manusia. Dia menambahkan, "Berdasarkan janji Ilahi dan berkat kebijakan dan perjuangan bangsa-bangsa di dunia, kekuasaan kubu arogansi dan Zionis pasti akan berakhir dan jalan untuk mewujudkan perdamaian, kedamaian, kebahagiaan dan kemajuan umat manusia akan terbuka lebar."(IRIB Indonesia)


Agenda Tersembunyi Tragedi Rohingya Myanmar




Nasib Muslim Rohingnya semakin mengkhawatirkan. Di negaranya sendiri dianggap sebagai illegal Citizens, dan di luar negara tidak diterima. Ribuan orang Muslim Rohingya menjadi korban pembantaian. Tidak hanya itu, presiden Myanmar, Thein Sein melontarkan pernyataan kontroversial mengusir Muslim Rohingya sebagai penyelesaian konflik bernuasa etnis dan agama di negara itu. Bahkan dia menawarkan kepada PBB jika ada negara yang bersedia menampung mereka.

Bagi Direktur Global Future Institute, Jakarta, yang terjadi di Arakan ini bukan hanyaMuslim Cleansing, tapi juga Budha Cleansing. Menurut pengamat internasional ini, yang menjadi korban bukan hanya masyarakat  muslim maupun Budha, tapi juga terjadi benturan peradaban di Myanmar.

"Ada permainan korporasi tertentu yang berkolaborasi dengan Junta militer Myanmar," kata penulis buku "Tangan-tangan Amerika di Pelbagai belahan Dunia" itu.

"Kayaknya, di Arakan ini pemicunya mirip dengan Ambon, sebuah masalah kriminal yang kemudian dipolitisasi. Untuk itu harus dipahami skema besarnya. Yang sesungguhnya terjadi adalah Cleansing masyarakat." Tegas Hendrajit.

Simak selengkapnya wawancara eksklusif  Purkon Hidayat dari IRIB Bahasa Indonesia dengan Hendrajit, Direktur Global Future Institute Jakarta mengenai persoalan di balik tragedi kemanusiaan yang menimpa Muslim etnis Rohingya di Myanmar.

Kalau kita lihat dari perspektif korban, persoalan inikan sudah bertahun-tahun. Memang faktanya suku Rohingya ini merupakan mayoritas di Arakan, tapi dianggap sebagaiillegal citizens. Bahkan kini, jumlahnya tinggal sejutaan karena sebagian sudah migrasi ke negara lain. Saya melihat persoalan ini, entah itu Karena yang Budha maupun Rohingya yang Muslim, bagi saya tetap sebagai prakondisi yang rawan di Myanmar sendiri. Jadi artinya ada sesuatu yang sebetulnya harus dilihat dari gambaran yang jauh lebih besar.

Saya amat menyayangkan baru-baru ini di Jakarta misalnya ada yang menyebut fenomena di Myanmar sebagai Muslim Cleansing. Bagi saya, ini bukan hanya Muslim Cleansing, tapi juga Budha Cleansing. Kalau melihat skema konfliknya mengarah pada konflik peradaban. Tapi intinya ini masuk pada desakan untuk menghantam pola rezim Myanmar sendiri. Kalau dilihat lebih jauh ada permainan korporasi tertentu yang berkolaborasi dengan Junta militer.

Saya lihat, selain mengorbankan warga dan masyarakat juga membenturkan peradaban. Dan kebetulan dalam konteks di Arakan ini yang memang kondusif adalah isu agama.

Tadi Anda menyebutkan adanya kolaborasi antara Junta militer dengan korporasi asing. Bagaimana bentuknya ?

Pada tahun 1988, muncul sistem baru di Myanmar. Walaupun rezim otoriter militer yang memimpin, tapi Myanmar menggunakan sistem pasar. Ketika itu ada undang-undang baru yang namanya The Union of Myanmar Foreign Investment Law. Payung hukum ini adalah perlindungan terhadap sektor eksplorasi dan pengembangan sektor minyak dan gas alam yang melibatkan korporasi-korporasi asing.

Pada kasus Arakan ini adalah pertarungan soal minyak dan gas bumi. Pada tahun 2005, perusahaan gas Cina menandatangani kontrak gas dengan pemerintah Myanmar untuk mengelola eksplorasi minyak.

Kita harus lihat, sebagaimana kasus yang terjadi di Indonesia seperti di Sampang, Mesuji dan lainnya yang menunjukkan bahwa konflik-konflik horizontal menandakan ada sesuatu yang yang diincar dari sisi geopolitik. Yang menarik dari sisi rezim militer di Myanmar dari era Ne Win hingga sekarang ini, ternyata melibatkan perusahaan asing semacam Chevron AS maupun Total Perancis, padahal kedua negara ini kan di permukaan mengangkat isu hak asasi manusia.  Jelas ada pertarungan bisnis yang bermain melalui pintu belakang dari rezim militer Myanmar.

Saya melihat konflik soal Islam dan Budha yang belakangan ini semakin memanas, bahkan ada istilah konyol dari presidennya, "Udah saja Rohingya itu diusir dari Myanmar," Masalah ini harus dilihat sebagai hilir saja, hulunya adalah adanya satu hal yang diincar di Arakan yaitu minyak dan gas alam.

Jadi Arakan ini menyimpan sumber daya migas yang besar ya ?

Cukup besar ya saya kira. Dengan dasar itu, eksplorasi minyak dan gas bumi itu menjadi incaran bukan hanya Cina tapi juga AS. Apalagi Chevron leading bermain di situ, ada juga Petro China, Tiongkok Petroleum, Petronas Malaysia dan lain.

Repotnya rezim militer ini memproteksi lewat undang-undang The Union of Myanmar Foreign Investment Law. Cina dan beberapa negara yang diluar AS dan Eropa Barat kelihatannya lebih unggul. Sementara AS ketinggalan. Nah, yang menarik masalah Muslim di Arakan ini cenderung memberi ruang bagi pendekatan symmetric Bill Clinton yang diterapkan oleh Obama dan Hillary Clinton. Dengan dasar, "Konflik wilayah itu perlu advokasi hak asasi manusia nih, LSM, LSM perlu masuk." Dari pintu ini, mereka masuk dengan memakai konflik Islam dan Budha tersebut. Tapi tampak sasaran strategisnya adalah sama yaitu penguasaan minyak dan gas bumi.

Berkaitan dengan stetemen presiden Myanmar, Thein Sein yang mengatakan bahwa penyelesaian kasus konflik bernuasa etnis dan agama di Myanmar adalah mengusir muslim etnis Rohingya dari negara ini. Bahkan dia menawarkan kepada PBB jika ada negara yang bersedia menampung mereka. Anda melihatnya seperti apa masalah ini ?

Sebetulnya kalau dilihat dari konteks pernyataan presiden Myanmar yang menunjukkan kekonyolan-kekonyolan yang tidak didasari oleh satu kerangka yang benar, tapi itu malah menjebaknya dalam pertarungan besar. Dia sudah masuk ke dalam perangkapThe Clash of Civilizations. Sebab kalau dasarnya adalah ideologis dalam kerangka kontraskema global harusnya dia enggak memakai istilah-sitilah itu. Dia justru masuk ke dalam perangkap itu. Di sana, seakan-akan Islam dan Budha bertempur, padahal dua-duanya korban.

Kalau kita lihat dalam konteks skema ini, modus dari rezim militer memproteksi korporasi model Total, Chevron, Petrochina dan lain-lain. Itu caranya ekstrim seperti pembakaran desa-desa. Nah di sana, warga yang menjadi korban. Cleansing yang paling efektif tanpa melibatkan penguasa adalah konflik agama. Kalau di Indonesia mungkin Cleansing agama tidak laku, tapi Cleansing suku sama dasyatnya. Malah lebih efektif karena mereka paham betul masalah kesukuan di Indonesia lebih mudah disulut daripada masalah agama. Di Burma ini terperangkap masalah tersebut.

Di sini, pernyataan presiden Myanmar justru membuatnya masuk ke dalam perangkap. Yang menarik sikap seperti Aung San Suu Kyi walaupun dalam bahasa yang agak terselubung, ia menyatakan bahwa etnis Muslim jadi sasaran. Seharusnya dia menegaskan bahwa Budha juga jadi korban.

Maksudnya jadi korbannya gimana ?

Maksudnya dalam skema korporasi global itu. Misalnya yang terjadi di Papua, yang disasar adalah benturan antarasuku dari tujuh suku itu. Dalam urusan duit aja bisa pecah apalagi urusan yang melibatkan simbol-simbol tradisional kesukuan masing-masing.

Kayaknya, di Arakan ini pemicunya mirip dengan Ambon ya, sebuah masalah kriminal yang kemudian dipolitisasi. Untuk itu harus dipahami skema besarnya. Yang sesungguhnya terjadi adalah Cleansing masyarakat.

Ini pra kondisi dari sesuatu yang dulunya tidak bisa ditangani secara tepat dalam konteks keadilan antara mayoritas dan minoritas yang menjadi bom waktu. Dan bom waktu itu meletus jika prakondisi ini dipicu. Nah triggering factor itu kan enggak mungkin alami seperti sekarang ini. Jika terjadi benturan maka daerah itu akan dinyatakan sebagai kawasan darurat, menjadi close area. Nah di situlah agenda sebenarnya baru dimunculkan. Makanya harus dipahami apa agenda besar sebenarnya.

Yang disayangkan dalam rezim militer mulai dari Ne Win sampai sekarang ini yang seakan-akan sosialis negara justru pada dasarnya kapitalis negara. Sejatinya, dengan undang-undang The Union of Myanmar Foreign Investment Law, Myanmar pada dasarnya sedang mengarah pada pasar, tapi di bawah kendali penuh negara. Dan dia memproteksi korporasi-korporasi untuk berkolaborasi dengan penguasa. Tentu dengan segala bayaran sosialnya.

Kebetulan korporasi yang masuk seperti Chevron, Total, PetroChina dan sebagainya, isi kepalanya bukan hanya sebagai Company. Seperti juga Freeport, pikiran korporasi ini seperti negara. Jadi ketika menentukan lokasi seperti Arakan itu perhitungannya bukanfeasibility study lahan bisnis saja, tapi geopolitiknya dihitung juga seperti komposisi populasi penduduk. Kalau itu masih wajar. Karena semua itu harus memenej. Tapi yang ada dipikiran opensif jahat korporasi itu adalah "Apa yang bisa dimainkan" dari fakta-fakta yang ada. Kasarnya, "kalau diadu domba mainkannya bagaimana?" Nah komposisi-komposisi ini sudah dihitung oleh mereka. Selain perlunya politik pemilihan lokasi juga yang harus dilihat adalah Winning Coalition dari korporasi itu. (IRIB Indonesia / PH)

0 comments to "Budha VS Islam "Mau diadu domba Zionis"...!!!!...WARNING...Rohingya dan Anda Umat Muslim Sedunia! : Agenda Tersembunyi Tragedi Rohingya Myanmar"

Leave a comment