Ustadz Tajul Muluk (kiri) saat mengikuti sidang pembacaan vonis di Pengadilan Negeri Sampang, Madura, Kamis (12/7).
Sampang dan Peradilan Sesat (1)
Sabtu, 14 Juli 2012, 20:15 WIB
Antara/Saiful Bahri
Oleh: Hertasning Ichlas*
Tanggal 12 Juli 2012 bertempat di Pengadilan Negeri (PN) Sampang, akhir sebuah kriminalisasi terhadap Ustad Tajul Muluk yang berpaham Syiah dan dianggap menyebarkan ajaran sesat ditutup dengan gagah oleh vonis ketua majelis hakim dengan menghukum Tajul Muluk berdasarkan dalil Penodaan Agama Pasal 156a KUHP selama dua tahun penjara dikurangi masa tahanan.
Tajul Muluk dengan suara lantang mengajukan banding atas putusan tersebut. Mukanya menandakan marah dan kekecewaan. Bukan karena tak siap, tapi tak menyangka dasar hakim menghukumnya karena dirinya dianggap terbukti menyebarkan ajaran Alquran yang tidak asli.
Dakwaan mengada-ada itu sendiri sebenarnya sudah dilawan dengan hebat oleh Tajul Muluk di dalam persidangan. Pengacaranya menghadirkan 16 saksi untuk membantah tuduhan itu beserta seluruh tuduhan penyesatan lainnya.
Sementara jaksa penuntut hanya bisa menghadirkan dua saksi. Tajul juga sudah membawa Alquran yang dia gunakan, yang jelas sekali tidak berbeda dengan Alquran umat Islam lainnya.
Tapi entah mengapa hakim punya keyakinan sendiri bahwa Tajul menyembunyikan keyakinannya (taqiyyah). Bahwa Tajul mendakwahkan Alquran yang tidak asli, betapa pun pembuktian persidangan oleh jaksa penuntut dan saksi-saksi tak mampu menunjukkan hal tersebut.
Hakim telah memaksa Tajul Muluk bersalah dengan keyakinan hakim bahwa Tajul Muluk sedang bertaqiyyah, meskipun bukti-bukti dan saksi tidak menunjang keyakinan hakim tersebut.
Putusan majelis hakim tersebut jelas sekali menabrak salah satu indikator penting tentang peradilan yang adil yakni asas Non-Self Incrimination di dalamInternational Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang telah diratifikasi Indonesia dalam Undang-Undang Nomor 12 tahun 2005.
Bahwa peradilan dengan Asas Praduga Tidak Bersalah menjamin sepenuhnya hak seseorang untuk tidak dinyatakan bersalah sebelum terbukti secara hukum. Asas itu mengatur bahwa dalam penentuan tuduhan pelanggaran pidana, setiap orang berhak untuk tidak dipaksa memberikan kesaksian yang memberatkan diri sendiri atau mengaku bersalah padahal bukti-bukti dan saksi menunjukkan sebaliknya.
Buruknya kualitas putusan majelis hakim yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Purnomo Amin Cahyo dengan mudah menimbulkan spekulasi tidak sedap bahwa majelis hakim telah memutus berdasarkan tekanan yang dihadapinya. Apalagi di dalam pledoi pembelaan kuasa hukum Tajul Muluk dijelaskan secara panjang lebar bagaimana buruknya perjalanan persidangan.
Di dalam pledoi Tajul Muluk berjudul “Mengadili Perbedaan” kuasa hukum menulis sebanyak 260-an halaman yang sebagian besar bermaksud menjelaskan buruknya kualitas persidangan. Asfinawati, salah satu pengacara Tajul Muluk mengatakan ini peradilan tentang penodaan agama yang paling jorok dan bodoh yang pernah dihadapinya.
Ada prosedur yang dilanggar, surat dakwaan yang kabur, serta percepatan sidang yang merugikan terdakwa. Jaksa penuntut bahkan lupa akan pasal tuntutannya sendiri sehingga harus diingatkan berkali-kali oleh saksi ahli Tajul Muluk. Jaksa juga menghadirkan saksi ahli yang tidak kredibel hingga harus terpaksa didiskualifikasi oleh hakim. Hakim juga disebut kerap membatasi kuasa hukum dalam menguji saksi ahli versi jaksa penuntut.
*Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan
Redaktur: Chairul Akhmad
Tanggal 12 Juli 2012 bertempat di Pengadilan Negeri (PN) Sampang, akhir sebuah kriminalisasi terhadap Ustad Tajul Muluk yang berpaham Syiah dan dianggap menyebarkan ajaran sesat ditutup dengan gagah oleh vonis ketua majelis hakim dengan menghukum Tajul Muluk berdasarkan dalil Penodaan Agama Pasal 156a KUHP selama dua tahun penjara dikurangi masa tahanan.
Tajul Muluk dengan suara lantang mengajukan banding atas putusan tersebut. Mukanya menandakan marah dan kekecewaan. Bukan karena tak siap, tapi tak menyangka dasar hakim menghukumnya karena dirinya dianggap terbukti menyebarkan ajaran Alquran yang tidak asli.
Dakwaan mengada-ada itu sendiri sebenarnya sudah dilawan dengan hebat oleh Tajul Muluk di dalam persidangan. Pengacaranya menghadirkan 16 saksi untuk membantah tuduhan itu beserta seluruh tuduhan penyesatan lainnya.
Sementara jaksa penuntut hanya bisa menghadirkan dua saksi. Tajul juga sudah membawa Alquran yang dia gunakan, yang jelas sekali tidak berbeda dengan Alquran umat Islam lainnya.
Tapi entah mengapa hakim punya keyakinan sendiri bahwa Tajul menyembunyikan keyakinannya (taqiyyah). Bahwa Tajul mendakwahkan Alquran yang tidak asli, betapa pun pembuktian persidangan oleh jaksa penuntut dan saksi-saksi tak mampu menunjukkan hal tersebut.
Hakim telah memaksa Tajul Muluk bersalah dengan keyakinan hakim bahwa Tajul Muluk sedang bertaqiyyah, meskipun bukti-bukti dan saksi tidak menunjang keyakinan hakim tersebut.
Putusan majelis hakim tersebut jelas sekali menabrak salah satu indikator penting tentang peradilan yang adil yakni asas Non-Self Incrimination di dalamInternational Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang telah diratifikasi Indonesia dalam Undang-Undang Nomor 12 tahun 2005.
Bahwa peradilan dengan Asas Praduga Tidak Bersalah menjamin sepenuhnya hak seseorang untuk tidak dinyatakan bersalah sebelum terbukti secara hukum. Asas itu mengatur bahwa dalam penentuan tuduhan pelanggaran pidana, setiap orang berhak untuk tidak dipaksa memberikan kesaksian yang memberatkan diri sendiri atau mengaku bersalah padahal bukti-bukti dan saksi menunjukkan sebaliknya.
Buruknya kualitas putusan majelis hakim yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Purnomo Amin Cahyo dengan mudah menimbulkan spekulasi tidak sedap bahwa majelis hakim telah memutus berdasarkan tekanan yang dihadapinya. Apalagi di dalam pledoi pembelaan kuasa hukum Tajul Muluk dijelaskan secara panjang lebar bagaimana buruknya perjalanan persidangan.
Di dalam pledoi Tajul Muluk berjudul “Mengadili Perbedaan” kuasa hukum menulis sebanyak 260-an halaman yang sebagian besar bermaksud menjelaskan buruknya kualitas persidangan. Asfinawati, salah satu pengacara Tajul Muluk mengatakan ini peradilan tentang penodaan agama yang paling jorok dan bodoh yang pernah dihadapinya.
Ada prosedur yang dilanggar, surat dakwaan yang kabur, serta percepatan sidang yang merugikan terdakwa. Jaksa penuntut bahkan lupa akan pasal tuntutannya sendiri sehingga harus diingatkan berkali-kali oleh saksi ahli Tajul Muluk. Jaksa juga menghadirkan saksi ahli yang tidak kredibel hingga harus terpaksa didiskualifikasi oleh hakim. Hakim juga disebut kerap membatasi kuasa hukum dalam menguji saksi ahli versi jaksa penuntut.
*Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan
Redaktur: Chairul Akhmad
Sampang dan Peradilan Sesat (2-habis)
Sabtu, 14 Juli 2012, 21:15 WIB
Antara/Saiful Bahri
Ustadz Tajul Muluk (kiri) saat mengikuti sidang pembacaan vonis di Pengadilan Negeri Sampang, Madura, Kamis (12/7).
Oleh: Hertasning Ichlas*
Hukum yang tersesat
Tajul Muluk dan pengikutnya Muslim Syiah di Dusun Nangkernang, Desa Karang Gayam, Omben, Sampang sebenarnya adalah korban. Semula dirinya dan warga Syiah kerap diintimidasi dan diancam keselamatannya oleh sekelompok pihak yang tak suka dengan sepak terjang Tajul Muluk dan ajaran Syiah.
Sebagai solusinya, Tajul rela terusir ke luar Sampang. Dia menuruti kehendak itu demi kepentingan ratusan warga Syiah pengikutnya dan demi ketentraman kampungnya.
Namun tiba-tiba pada 29 Desember 2011, jauh dari tempat pengucilannya, Tajul mendengar pesantren, mushalla, koperasi, rumahnya, rumah ibunya dan saudara-saudaranya dibakar ratusan orang dari luar kampungnya seraya berteriak ingin membunuh di depan polisi yang kewalahan tak berdaya.
Pembakaran itu mengakibatkan pengungsian 350-an warga muslim Syiah lebih dua pekan lamanya ke Sampang. Dalam pengungsian, mereka kehilangan hak-hak dasar, kerap dilecehkan aparat pemerintah karena keyakinannya, dan yang paling menyakitkan, mengetahui harta benda di rumah mereka telah dijarah. Mungkin sebagai “hukuman” karena keyakinannya, sehingga polisi tak merasa perlu melakukan tindakan.
Di negara yang lebih beradab dan adil, kita tak akan gamang menyebut pengikut Syiah itu sebagai korban. Dan menyaksikan bagaimana hukum akan segera menangkap pelaku pembakaran, aktor penggerak dan penyuruh, termasuk menindak setiap pidato kebencian dari mereka yang ingin mengobarkan pengkafiran dan kekerasan atas nama agama.
Kita seharusnya melihat bagaimana negara dan kepemimpinan politik mengambil sikap tegas memisahkan urusan kesesatan dari keadilan hukum. Tetapi kita tahu, negara seperti itu mungkin telah terkubur bersama seluruh pembiaran negara dan kebiadaban manusia yang mengaku bertuhan terhadap golongan minoritas dan kelompok rentan yang selama ini kita saksikan. Di mana negara hanya bersedia menjadi penonton.
Alih-alih menangkap pelaku pembakaran dan aktor penggerak kekerasan, negara memilih menahan dan kemudian mengkriminalisasi Tajul Muluk bernama Tajul Muluk dengan dalil penodaan agama 156a KUHP dan perbuatan tidak menyenangkan pasal 335 ayat 1 KUHP di PN Sampang.
Meskipun kita tahu, tak ada fatwa dan selembar pun surat penyesatan Syiah telah dikeluarkan oleh MUI dan bahkan oleh majelis ulama seluruh dunia tentang Syiah. Justru yang ada adalah sebaliknya.
Persidangan Tajul Muluk adalah contoh telanjang sesatnya negara dan hukum terhadap hak-hak warganya. Kasus ini kembali menjadi ujian bagi negara.
Hukum yang tersesat
Tajul Muluk dan pengikutnya Muslim Syiah di Dusun Nangkernang, Desa Karang Gayam, Omben, Sampang sebenarnya adalah korban. Semula dirinya dan warga Syiah kerap diintimidasi dan diancam keselamatannya oleh sekelompok pihak yang tak suka dengan sepak terjang Tajul Muluk dan ajaran Syiah.
Sebagai solusinya, Tajul rela terusir ke luar Sampang. Dia menuruti kehendak itu demi kepentingan ratusan warga Syiah pengikutnya dan demi ketentraman kampungnya.
Namun tiba-tiba pada 29 Desember 2011, jauh dari tempat pengucilannya, Tajul mendengar pesantren, mushalla, koperasi, rumahnya, rumah ibunya dan saudara-saudaranya dibakar ratusan orang dari luar kampungnya seraya berteriak ingin membunuh di depan polisi yang kewalahan tak berdaya.
Pembakaran itu mengakibatkan pengungsian 350-an warga muslim Syiah lebih dua pekan lamanya ke Sampang. Dalam pengungsian, mereka kehilangan hak-hak dasar, kerap dilecehkan aparat pemerintah karena keyakinannya, dan yang paling menyakitkan, mengetahui harta benda di rumah mereka telah dijarah. Mungkin sebagai “hukuman” karena keyakinannya, sehingga polisi tak merasa perlu melakukan tindakan.
Di negara yang lebih beradab dan adil, kita tak akan gamang menyebut pengikut Syiah itu sebagai korban. Dan menyaksikan bagaimana hukum akan segera menangkap pelaku pembakaran, aktor penggerak dan penyuruh, termasuk menindak setiap pidato kebencian dari mereka yang ingin mengobarkan pengkafiran dan kekerasan atas nama agama.
Kita seharusnya melihat bagaimana negara dan kepemimpinan politik mengambil sikap tegas memisahkan urusan kesesatan dari keadilan hukum. Tetapi kita tahu, negara seperti itu mungkin telah terkubur bersama seluruh pembiaran negara dan kebiadaban manusia yang mengaku bertuhan terhadap golongan minoritas dan kelompok rentan yang selama ini kita saksikan. Di mana negara hanya bersedia menjadi penonton.
Alih-alih menangkap pelaku pembakaran dan aktor penggerak kekerasan, negara memilih menahan dan kemudian mengkriminalisasi Tajul Muluk bernama Tajul Muluk dengan dalil penodaan agama 156a KUHP dan perbuatan tidak menyenangkan pasal 335 ayat 1 KUHP di PN Sampang.
Meskipun kita tahu, tak ada fatwa dan selembar pun surat penyesatan Syiah telah dikeluarkan oleh MUI dan bahkan oleh majelis ulama seluruh dunia tentang Syiah. Justru yang ada adalah sebaliknya.
Persidangan Tajul Muluk adalah contoh telanjang sesatnya negara dan hukum terhadap hak-hak warganya. Kasus ini kembali menjadi ujian bagi negara.
Apakah negara akan membiarkan sebuah kelompok yang ingin eksis sendirian dengan pahamnya melakukan apa saja untuk mencapai caranya termasuk memberangus dan memecah-belah Indonesia. Karena jika negara hanya ingin menjadi penonton, maka yang kemudian terjadi adalah penindasan, konflik yang konstan dan mungkin pembantaian.
*Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan
Redaktur: Chairul Akhmad
*Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan
Redaktur: Chairul Akhmad
Siaran Pers Aliansi Solidaritas Kasus Sampang
Peradilan Sesat Tajul Muluk
Kriminalisasi Ustad Tajul Muluk telah berakhir dengan vonis Ketua Majelis Hakim PN Sampang Purnomo Amin Cahyo tanggal 12 Juli 2012 dengan keputusan yang sangat tidak adil dan dipaksakan karena hakim memutuskan dengan keyakinan ceroboh bahwa terdakwa sedang bertaqiyyah (menyembunyikan keyakinannya) tanpa bukti-bukti dan saksi-saksi yang menunjang putusan tersebut.
Kami dari aliansi telah melakukan monitoring persidangan dan menganggap inilah kasus persidangan paling jorok dan bodoh yang kami temui terkait penggunaan dalil penodaan agama pasal 156a KUHP. Kami mengecam keputusan tersebut dan menganggap hakim dan jaksa telah bertindak dalam tekanan (pesanan) sehingga sangat keterlaluan dan memalukan secara hukum.
Ustad Tajul Muluk telah dihukum pidana melakukan penodaan agama selama 2 tahun penjara dengan dakwaan yang sangat mengada-ada karena dianggap terbukti mengajarkan Alquran yang tidak asli. Jaksa dan hakim sebenarnya telah kehilangan seluruh alasan untuk mengkriminalisasi Tajul Muluk karena tak punya cukup bukti dan saksi yang memadai. Jaksa hanya memiliki dua saksi yang tidak cakap dan tanpa bukti. Sementara pengacara Tajul Muluk telah menghadirkan 16 saksi meyakinkan untuk membantah seluruh dakwaan sesat beserta bukti Alquran yang digunakan Ustad Tajul Muluk yang sama sekali tak berbeda dengan Alquran umat Islam lainnya.
Jaksa penuntut bekerja begitu joroknya seperti menghadirkan saksi ahli yang tidak kredibel dan lupa terhadap pasal yang dia tuntutkan sendiri sehingga harus diingatkan saksi ahli Tajul Muluk berkali-kali. Hakim pun berkali-kali memarahi dan membatasi kuasa hukum Tajul Muluk ketika hendak menguji saksi ahli yang dihadirkan Jaksa Penuntut.
Bagaimana mungkin hakim memaksakan putusan hanya dengan dasar taqiyyah tentang asli dan tidaknya sebuah Alquran yang diajarkan Tajul Muluk tanpa bukti-bukti? Putusan ini telah melanggar prinsip Non-Self Incrimination pada International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang telah diratifikasi Indonesia dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005: asas itu mengatur dalam penentuan tuduhan pelanggaran pidana, setiap orang berhak untuk tidak dipaksa memberikan kesaksian yang memberatkan diri sendiri atau mengaku bersalah padahal bukti-bukti dan saksi menunjukkan sebaliknya. Peradilan dengan Asas Praduga Tidak Bersalah menjamin sepenuhnya hak seseorang untuk tidak dinyatakan dan dipaksa bersalah sebelum terbukti secara hukum. Asas itu mengatur bahwa dalam penentuan tuduhan pelanggaran pidana, setiap orang berhak untuk tidak dipaksa memberikan kesaksian yang memberatkan diri sendiri atau mengaku bersalah
Melihat unsur dagelan yang mencolok dalam persidangan itu, pengacara Tajul Muluk telah berusaha menutup semua celah bagi hakim dan jaksa untuk menyesatkan dan mengkriminalisasi Tajul Muluk dalam pledoinya sekitar 266 halaman berjudul "Mengadili Perbedaan". Isi pledoi itu sebagian besar merekam buruknya kinerja jaksa dan hakim dalam peradilan tersebut .
Kami dari aliansi selain mengajukan banding juga akan melakukan langkah-langkah berikut: 1. Melaporkan monitoring kinerja dan putusan hakim kepada Komisi Yudisial (KY) agar KY dapat melakukan kewenangannya terhadap hakim tersebut. 2. Melaporkan ke Ketua Muda Mahkamah Agung Bidang Pengawasan. 3. Melaporkan kinerja Jaksa Penuntut ke Komisi Kejaksaan. 4. Membuat eksaminasi publik atas putusan tersebut bekerjasama dengan Pukat UGM. 5. Membuat rekam jejak Ketua Majelis Hakim Purnomo Amin Cahyo. 6. Membuat Individual Complaint dan Join Complaint ke United Nations.
Demikian siaran pers Aliansi Solidaritas Kasus Sampang pada 16 Juli 2012. (IRIB Indonesia / SL)
Kontras, YLBH-Universalia, YLBHI, LBH Jakarta, LBH Surabaya, HRWG, Sejuk, Elsam, ILRC, Aman Indonesia, ANBTI, ICRP, Ahlul Bait Indonesia
0 comments to "Oh Indonesiaku : PERADILAN "SESAT" (Lagi Sunni dan Syi'ah diadu-domba "Khawarij berbaju AGAMA...WARNING...!!!!!!"