Home , , , , , , , , , , , , , , � Peran Politik Perempuan dalam Gerakan Kebangkitan Islam : Membandingkan Republik Indonesia (Islam Sunni terbesar) dan Republik Islam Iran (Islam Syi'ah terbesar)

Peran Politik Perempuan dalam Gerakan Kebangkitan Islam : Membandingkan Republik Indonesia (Islam Sunni terbesar) dan Republik Islam Iran (Islam Syi'ah terbesar)


Penulis : Dina Y. Sulaeman, M.Si
Pengantar
Hari ini, kita, semua orang beragama, pasti risau menyaksikan bagaimana dunia dipenuhi dengan imoralitas dan ketidakadilan. Dalam kehidupan sosial, kita melihat bagaimana pornografi, seks, dan maraknya narkoba telah menjadi perpanjangan tangan-tangan setan untuk menghancurkan umat manusia. Dalam kehidupan ekonomi, sistem riba mendominasi perekonomian dunia, termasuk  dunia Islam. Lembaga-lembaga ekonomi dunia seperti IMF, Bank Dunia, atau Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) mendikte laju pertumbuhan ekonomi di dunia Islam. Akibatnya, dunia Islam tenggelam dalam krisis ekonomi dan keuangan. Yang kaya  semakin kaya. Yang miskin makin miskin, bahkan nyawa mereka  tidak dihargai lagi. Perang menyala di berbagai belahan dunia, sebagian besar korban adalah kaum Muslim. Kehidupan umat sekarang tergeletak di kaki para industrialis perang, pedagang senjata dan perusahaan minyak global. 

Selama 150 tahun terakhir, para pemikir Muslim menyatakan bahwa untuk keluar dari situasi ini, umat Islam harus kembali ke identitas Islam. Mereka harus berusaha meningkatkan kesadaran umat untuk menghadapi tantangan dalam rangka gerakan-gerakan Islam. Oleh karena itu, gerakan kebangkitan Islam didefinisikan sebagai sebuah gerakan untuk menolak segala macam penindasan ekonomi, politik, budaya, dan militer yang dilakukan oleh musuh- musuh Islam.1 Tujuan yang hendak dicapai melalui gerakan kebangkitan Islam adalah kembalinya martabat umat Islam ' dan kebebasan dari hegemoni politik, budaya, dan militer dari musuh. Tujuan ini hanya dapat dicapai jika dunia Muslim bergandengan  tangan dan berjalan bersama dalam harmoni.2
Mengingat setengah penduduk muslim dan sumber daya manusia  adalah kaum perempuan, maka peran perempuan dalam gerakan kebangkitan Islam adalah sebuah kebutuhan. Dalam paper ini,  penulis akan menjelaskan pentingnya peran politik perempuan  dalam konteks gerakan ini.
Perempuan dalam Politik: Membandingkan Indonesia dan Iran
Politik dapat didefinisikan sebagai upaya untuk resolusi konflik.3  Kehidupan manusia tidak pernah lepas dari konflik, karena setiap individu selalu memiliki keinginan dan tujuan masing-masing. Pihak  yang lebih kuat akan mampu mencapai keinginannya, sedangkan pihak yang lebih lemah akan cenderung dihilangkan. Di sinilah  politik memainkan peran, yaitu dengan melakukan negosiasi,  kompromi, dan arbitrase untuk menyelesaikan konflik tanpa  kekerasan.4
Umumnya, setiap individu dalam masyarakat memiliki hasrat akan  keadilan atau kesetaraan. Dalam bidang pendidikan, misalnya, setiap orang memiliki keinginan untuk mencapai kesempatan  pendidikan yang sama. Namun, terkadang dalam masyarakat  tertentu, pendidikan tidak dapat dinikmati oleh semua orang. Dalam situasi ini, politik memainkan peran dalam menegosiasikan keinginan masing-masing pihak. Hal ini sebagaimana pernyataan Minogue, "Politik adalah ketidaksepakatan publik yang tak ada ujungnya tentang apa yang keadilan butuhkan."5
Dari perspektif ini, keterlibatan perempuan di parlemen dianggap  sangat penting. Di parlemen, undang-undang disusun, diubah, atau dibatalkan karena permintaan masyarakat akan kesetaraan. Jadi,  itu adalah keharusan bagi perempuan untuk terlibat dalam pelbagainegosiasi politik dan undang-undang. Tanpa upaya perempuan untuk mengakses dan melaksanakan politik, keprihatinan mereka akan berlalu begitu saja, tidak terwakili, atau  disalahpahami. Inilah yang disebut dengan 'politik konstitusional',  politik yang berkaitan dengan penciptaan, pelaksanaan, dan  pemeliharaan kerangka pemerintahan.7
Ada banyak cara untuk meningkatkan jumlah keterwakilan  perempuan di parlemen. Sejak 1990-an, banyak negara  memperkenalkan kuota gender di parlemen. Sejak pemilu 2004, Indonesia mengalokasikan 30% kursi parlemen bagi perempuan duduk kursi parlemen. Saat ini sekitar 40 negara telah  memperkenalkan kuota gender untuk pemilu legislatif.
Sayangnya, kenyataan menunjukkan bahwa di Indonesia, sistem  kuota gender dan peningkatan jumlah kursi perempuan di parlemen tidak berkorelasi dengan peningkatan kondisi perempuan pada  umumnya. Jika kita melihat pada Human Development Report yang diterbitkan oleh United Nations Development Programme (UNDP), seperti Indeks Pembangunan Manusia (HDI) atau Indeks Ketimpangan Jender (GII), kita dapat melihat situasi ini pada  umumnya.9
Penulis ingin membandingkan HDI dan GII antara Indonesia dan  Iran, karena kedua negara memiliki karakteristik yang sama sebagai negara mayoritas Muslim. Indonesia adalah negara muslim  terbesar di dunia, tetapi masih mengadopsi sistem pemerintahan sekuler. Sementara itu, mayoritas Muslim Iran sejak tahun 1979  telah menyetujui konstitusi teokratis.
Tabel of Statistic Comparison Indonesia-Iran 10
Country
Trend of HDI
HDI
Rank 2011
GII
Value/
Rank
Maternal Mortality
Ratio
1980
2011
IND
0.42
0.617
124
0.505/100
240

IRAN
0.437
0.707
88
0.485/92
30




Country
Adolescent
Fertily Rate
Female
Seat in
Parliament
(%)
Population with at least secondary education (%)
Labor Force Participation (%)
F
M
F
M
IND
45.1
18
24.2
31.1
52
86

IRAN
29.5
2.8
39.0
57.2
31.9
73.0

Dari data singkat ini, setidaknya kita bisa menyimpulkan bahwa  tingginya persentase kursi perempuan di parlemen tidak selalu berhubungan dengan perbaikan kondisi perempuan dan  masyarakat. Ada satu hal penting untuk dipertimbangkan lebih dari  jumlah kursi, yaitu kualitas perempuan yang duduk di parlemen.
Sayangnya, akhir-akhir ini, politik di Indonesia dikejutkan oleh  kasus-kasus korupsi yang melibatkan politisi perempuan. Sebagian dari mereka sekarang berada di penjara dan kasus mereka menjadi  berita utama di media massa Indonesia. Menanggapi situasi ini, Direktur Eksekutif Pusat Studi Politik Universitas Indonesia, Sri  Budi Eko Wardhani, menganggap bahwa politisi perempuan di Indonesia belum memiliki kemampuan yang cukup dalam politik.11  Kenyataan menunjukkan bahwa banyak politisi perempuan di Indonesia adalah artis-artis film, penyanyi atau kelopmpk elit tanpa  latar belakang pendidikan politik.
Menurut undang-undang pemilu di Indonesia, kualitas utama yang  harus dimiliki oleh politisi adalah "orang-orang yang bertaqwa kepada Allah dan taat hukum". Kualifikasi ini sangat relevan dengan cita-cita dari gerakan Kebangkitan Islam. Pengabdian akan menjadikan para politisi dapat melayani rakyatnya karena kesadaran pengabdian kepada Tuhan. Tapi sayangnya, situasi  politik di Indonesia masih berorientasi partai, alih-alih berorientasi Tuhan atau bahkan negara. Dalam pelbagai negosiasi di parlemen, kepentingan partai dimunculkan, bukan kepentingan bangsa, apalagi kepentingan Islam. Dalam kondisi seperti ini, dengan  kualitas pengabdiannya yang rendah, tidak heran bahwa para  politisi perempuan di Indonesia masih menjadi "sekrup" dalam  sistem politik yang besar.
Oleh karena itu, politisi perempuan muslim harus memiliki ideologi  ketuhanan, jika tidak, mereka akan terlibat dalam politik rasional. Seperti ditulis oleh Kheradmandi12, ada tiga jenis politik. Pertama  adalah politik alami, yang terutama berfokus pada bagaimana menyelesaikan konflik dalam masyarakat, dan dua lainnya adalah  politik yang rasional dan politik ketuhanan. Politik yang rasional mendasarkan pada logika dan pragmatisme, sementara ketuhanan  mengandalkan logika dan aturan-aturan Ilahi (syariat). Berdasarkan syariat, politisi dapat mengubah, atau membatalkan undang-undang  dengan tujuan untuk membawa masyarakat lebih dekat kepada Allah dan mencegah mereka dari kejahatan.
Dan, politik ketuhanan ini dilaksanakan di Iran. Ketika kita  membaca data HDI dan GII di atas, perlu cermati di sini bahwa  indikator ini didasarkan pada paradigma Barat yang mengukur  kemajuan perempuan dalam hal partisipasi mereka dalam pekerjaan. Padahal, dalam paradigma Islam dianut seperti oleh  Republik Islam Iran, indikator keberhasilan perempuan adalah keberhasilannya dalam membangun keluarga yang sehat. Dalam paradigma yang diadopsi di Iran, perempuan dipersilahkan untuk mengaktualisasikan kemampuannya di luar rumah selama dia dapat menjaga tugas utamanya sebagai pembangun unit terkecil  (dan paling penting) dalam masyarakat, yaitu keluarga.
Dengan merangkul paradigma ini, kebijakan pemerintah Iran tidak  menciptakan lapangan kerja di kantor sebanyak mungkin sehingga perempuan dan anak perempuan pergi dari keluarga mereka, tetapi  memberdayakan perempuan untuk membangun industri dalam negeri. 13
Politik Ketuhanan di Iran dan Peran Perempuan
Pada tahun 1979, Revolusi Islam yang dipimpin oleh Imam  Khomeini berhasil menggulingkan monarchi Shah Reza Pahlevi dan membangun sebuah Republik Islam. Kedua pemimpin Iran,  Ayatollah Khomeini dan pemimpin saat ini, Ayatullah Khamenei,  punya pendapat yang sama bahwa perempuan adalah setengah  dari populasi dan karena itu, tidak ada revolusi atau gerakan sosial  apapun yang akan berhasil tanpa partisipasi perempuan. Dan  kedua pemimpin itu berpegang pada satu pendapat yang  merupakan kunci dari keberhasilan Revolusi tersebut, yaitu  semangat Islam.
Seperti dikatakan Ayatollah Khomeini pada tahun 1979,
"Ini adalah sebuah transformasi yang manusia tidak bisa upayakan, ini adalah sebuah transformasi Ilahi, Dia yang mengubah hati untuk melakukan ini. Dia menghilangkan ketakutan rezim ini [Shah  Pahlevi], yang semua orang pendam, dari hati mereka dan meletakkan pada tempatnya, (yaitu) tekad dan keberanian, sehingga perempuan dan anak-anak serta kaum laki-laki, semuanya bangkit untuk melawan. Apakah pernah ada seperti saat ketika kaum perempuan bergegas ke medan seperti ini, berdiri cepat menghadapi (gempuran) tank dan meriam "14?
Ketika politisi perempuan memiliki ideologi yang jelas dan tahu apa  yang harus diperjuangkan, peran politik mereka bisa membawa hasil yang signifikan. Shahidian menyebutnya sebagai harga diri  tinggi yang memberdayakan perempuan dan membebaskan  mereka dari pelbagai hambatan seperti ketakutan, kerapuhan, atau egoism.15 Ketika kaumperempuan dapat mengetahui peran mereka dalam masyarakat, mereka akan memiliki kekuatan untuk  memperluas aktivitas dan tanggung jawab mereka. Mereka tidak  hanya berpikir tentang rumah tangga mereka, tetapi jauh di luar itu.  Meminjam bahsa Rommelspacher, mereka akan "melepaskan diri dari batasan keluarga dan juga dari eksistensi diri" (ibid).
Ini adalah faktor yang mendorong perempuan Iran untuk turun ke  jalan melawan Shah. Mereka mengintegrasikan prinsip-prinsip Islam, seruan kebebasan Islam, dan semangat 'jihad' (melayani  Islam). Dengan keberanian yang luar biasa, mereka berunjuk rasa  di jalan-jalan untuk memprotes Syah. Itu sebabnya Ayatollah  Khomeini mengatakan,
"Pemberontakan kita berhutang banyak pada kaum perempuan.  Laki-laki mencontoh perempuan untuk turun ke jalan. Perempuan  mendorong kaum laki-laki untuk melakukan pemberontakan, dan  terkadang bahkan memimpin pemberontakan. Perempuan adalah  makhluk yang indah. Dia memiliki kemampuan yang kuat [dan]  menakjubkan "16.
Sistem politik Islam mendorong keterlibatan aktif perempuan dalam  berbagai sektor. Ayatollah Khamenei telah menyatakan,
"Dalam masyarakat Islam, laki-laki dan perempuan menikmati  kebebasan yang cukup. Karya Islam yang ada dalam hal ini dan tugas-tugas sosial yang sama yang Islam bebankan kepada laki- laki dan perempuan memberikan kesaksian akan fakta ini. Nabi Muhammad (saw) mengatakan: "Orang yang menghabiskan malam  tanpa peduli urusan umat Islam bukanlah seorang Muslim." Apa yang Nabi Suci (saw) katakan tidak terbatas pada laki-laki saja.  Wanita juga harus merasa bertanggung jawab terhadap urusan umat Islam, masyarakat Islam, dunia Islam, dan segala sesuatu  yang terjadi di dunia. Ini adalah kewajiban Islam. "
Dalam pandangan Islam, perempuan dan laki-laki memiliki  kesetaraan, tetapi tidak kesamaan dan keseragaman. Oleh karena  itu, Islam menentang pandangan Barat tentang feminisme, yang mencari identitas jenis kelamin. Muthahari menyatakan, "Islam menguraikan kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan, tetapi Islam tidak setuju pada kesamaan hak antara keduanya, tetapi juga, Islam tidak menguraikan kesamaan tanggung jawab dan  hukuman antara laki-laki dan perempuan." 17
Dengan premis ini, Republik Islam Iran mendefinisikan dan  mengatur peran laki-laki dan perempuan dalam masyarakat.  Keterlibatan perempuan dalam politik bukan semata-mata dalam politik konstitusional saja, tetapi dalam kerangka holistik. Perjuangan perempuan dalam Islam bukan untuk mencapai  kesetaraan gender, tapi keadilan gender. Imam Ali menyatakan bahwa keadilan adalah menempatkan sesuatu pada posisi yang  tepat. Lalu, di mana posisi yang benar bagi perempuan?
Dalam pandangan para pemimpin Iran, ada dua hal penting terkait  posisi perempuan. Satu, posisi perempuan dalam kehidupan dan masyarakat. Kedua, posisi perempuan dalam keluarga mereka. 18
a. Posisi Perempuan dalam Kehidupan dan Masyarakat
Tentang posisi perempuan dalam masyarakat, Ayatullah Khamenei mengkritik masyarakat Barat yang menempatkan perempuan dalam posisi sebagai makhluk yang dapat dimanfaatkan oleh laki- laki. Dalam budaya Barat, jika seorang wanita ingin mendapatkan posisi yang baik di masyarakat, dia harus menunjukkan daya tarik seksualnya. Dia harus datang dengan pakaian yang menarik perhatian mata publik. "Menurut pendapat saya, ini adalah  kekurangan terbesar yang terjadi atas seorang wanita. Dalam lingkungan ini, perempuan adalah (pihak) yang dieksploitasi," kata  Ayatollah Khamenei.19
Ayatollah Khamenei mengecam Barat yang melarang penggunaan jilbab atas nama 'pluralisme'. Menurutnya, jilbab bukanlah simbol agama belaka, melainkan sebuah ideologi yang menempatkan  perempuan sebagai makhluk mulia. Dengan jilbab, perempuan akan diakui sebagai dirinya sendiri, bukan sebagai makhluk yang bisa dimanfaatkan untuk kepentingan laki-laki. Ideologi anti-jilbab adalah sebuah ideologi yang ingin mengeksploitasi perempuan. "Itulah  sebabnya saat ini kita melihat nasib perempuan di dunia sangat  buruk. Perdagangan perempuan merajalela dan menjadi bisnis yang  paling cepat berkembang saat ini, " kata Ayatollah Khamenei.
Oleh karena itu, kedua pemimpin itu memiliki pandangan yang  sama: perempuan harus kembali ke nilai-nilai Islam dalam rangka untuk mencapai kemerdekaan, bebas dari eksploitasi kaum laki- laki, dan memiliki peran utama dalam membangun peradaban yang mulia. "Seorang wanita bukanlah benda, tetapi manusia agung  yang ada dan peduli bagi masyarakat. Dekapannya adalah pencipta laki-laki. Dia adalah pengasuh laki-laki, sekaligus sumber kasih  sayang dan kebahagiaan orang-orang, " kata Ayatollah Khomeini.
b. Posisi Perempuan dalam Keluarga
Ayatollah Khamenei mengakui bahwa sayangnya, banyak  perempuan muslim masih menghadapi perilaku tidak adil dari  suami mereka. Namun, hal ini bukan disebabkan oleh aturan Islam.  Sebaliknya, Islam sangat mendorong sikap mulia dan kasih sayang terhadap perempuan. Ayatollah Khamenei mengutip beberapa hadis  yang berkaitan dengan posisi perempuan dalam keluarga. Nabi Muhammad (saw) bersabda, "Al mar'atu sayyidatu baytiha" (wanita  yang paling mulia dalam keluarganya). Imam Ali berkata, "Al mar'atu rayhaanah laysat wa bi qahrimaanah" (wanita adalah  sesuatu yang harum dan bukan pekerja). Nabi Muhammad (saw) bersabda, "Yang terbaik di antara kamu adalah yg terbaik  sikapnyaterhadap perempuan (istri)."
Ayatollah Khamenei mengatakan, "Kata-kata seperti ini sangat  banyak tersebar dalam hadis Nabi dan para Imam. Namun,  sayangnya tidak banyak dipraktekkan. Oleh karena itu,  pelaksanaannya harus didukung oleh undang-undang, hukum dan eksekusi. Hal ini selama bertahun-tahun, sayangnya tidak  dilakukan oleh umat Islam."
Ini adalah penegasan bahwa perempuan sangat penting untuk  terlibat dalam aktivitas politik, dalam rangka mendorong pembentukan dan pelaksanaan undang-undang yang berkaitan dengan hak perempuan. Seperti disebutkan di atas, dalam politik ketuhanan, undang-undang ini disusun dengan tujuan untuk  membawa orang lebih dekat kepada Allah dan mencegah mereka  dari kejahatan. Seperti diingatkan oleh Ayatollah Khamenei, kekurangan dalam masyarakat Muslim tidak seharusnya ditangani dengan mencari model dari Barat, tetapi dengan menggali kembali  nilai-nilai Islam dan menerapkannya dengan benar. Apa yang  kurang dalam komunitas muslim tidak seharusnya menunjukkan  kelebihan dari masyarakat Barat. Sebaliknya, data menunjukkan  bahwa banyak perempuan di Barat diperlakukan buruk, mengalami  kekerasan dalam rumah tangga, dan menjadi korban perdagangan  perempuan dan pengabaian.
Legislasi Iran Terkait dengan Perempuan
Ini adalah fakta yang cukup menarik: meskipun hanya satu  perempuan yang terlibat dalam penyusunan konstitusi Iran, tetapi  masih memberikan konsesi besar bagi perempuan. Dalam  Pembukaan konstitusi, ada tiga paragraf yang ditujukan kepada perempuan:
Dalam penciptaan landasan-landasan Islam, semua kekuatan manusia yang telah dalam pelayanan eksploitasi asing umumnya akan memulihkan identitas sejati mereka dan hak asasi manusia. Dengan demikian, perempuan yang telah mengalami tirani lebih sampai sekarang di bawah aturan berhala, tentu akan membela hak-hak mereka lebih lanjut.
Unit keluarga adalah dasar dari masyarakat, dan fokus yang benar untuk pertumbuhan dan peningkatan umat manusia. Harmoni keyakinan dan aspirasi dalam mendirikan keluarga adalah dasar  yang benar dari gerakan menuju perkembangan dan pertumbuhan manusia. Ini telah menjadi prinsip dasar. Memberikan kesempatan bagi tujuan-tujuan yang akan dicapai ini adalah salah satu tugas dari Pemerintah Islam.
Perempuan ditarik jauh dari unit keluarga dan (dimasukkan ke  dalam) kondisi "menjadi hal yang hanya", atau "menjadi sekadar  alat untuk bekerja" dalam pelayanan konsumerisme dan  eksploitasi. Tugas membesarkan laki-laki dan perempuan yang  berpikiran agama (religious), siap untuk bekerja dan berjuang  bersama-sama dalam pelbagai bidang kegiatan kehidupan, adalah  suatu tugas keibuan yang serius dan berharga. Dan sehingga  penerimaan tanggung jawab ini sebagai lebih serius dan -dari sudut  pandang Islam- alasan mulia akan apresiasi terhadap kebesaran  status (lit: nilai) akan datang. 20
Dalam tubuh Konstitusi Iran, ada dua bab khususnya yang berkaitan dengan wanita:
Pasal 20
Semua warga negara, baik pria maupun wanita, sama-sama menikmati perlindungan hukum dan menikmati semua hak asasi manusia, politik, ekonomi, sosial, dan budaya, sesuai dengan  kriteria Islam.
Pasal 21
Pemerintah harus menjamin hak-hak perempuan dalam segala hal, sesuai dengan kriteria Islam, dan mencapai tujuan sebagai berikut:
1. Menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pertumbuhan kepribadian wanita dan pemulihan hak-haknya, baik material maupun intelektual;
2. Perlindungan terhadap ibu-ibu, terutama selama kehamilan dan  melahirkan anak, dan perlindungan terhadap anak-anak tanpa wali;
3. Membentuk pengadilan yang kompeten untuk melindungi dan melestarikan keluarga;
4. Penyediaan asuransi khusus untuk para janda, dan perempuan lanjut usia dan perempuan renta;
5. Pemberian perwalian anak-anak untuk ibu yang layak, dalam rangka melindungi kepentingan anak-anak, karena tidak adanya  wali yang sah.
Dengan paradigma ini, Iran telah menetapkan undang-undang yang sesuai. Misalnya, pasal 39 dan 75 dari UU Ketenagakerjaan, Iran menyatakan bahwa:
• untuk pelaksanaan pekerjaan yang sama dalam kondisi yang sama, dan di tempat kerja yang sama, pria dan wanita harus mendapatkan gaji yang sama.
• pekerjaan yang berbahaya tidak boleh dibebankan kepada  karyawan perempuan.
Undang-Undang Perlindungan Pekerja menyebutkan bahwa peran  dan pekerjaan utama wanita adalah dalam keluarga. Berdasarkan pandangan awal ini, sejumlah artikel dalam UU tentang Perlindungan Pekerja Perempuan memberikan dukungan besar kepada pekerja perempuan sehingga mereka masih dapat melakukan fungsinya sebagai ibu. Antara lain, pasal 76 dan 78 menyatakan bahwa:
• Pekerja perempuan berhak atas cuti hamil dan melahirkan, dan berhak mendapatkan fasilitas penitipan anak selama jam kerja.
• Tempat Kerja yang memiliki karyawan perempuan, harus memberikan setengah jam setiap tiga jam, kepada perempuan untuk menyusui anaknya, sampai anak berusia dua tahun dan  setengah jam cuti harus dihitung sebagai jam kerja.21
Menurut pendapat penulis, ini adalah tujuan nyata bahwa politisi perempuan muslim harus mencapai: kebebasan untuk membela hak-hak mereka atas dasar prinsip-prinsip Islam. Ini adalah politik ketuhanan yang harus dilakukan oleh politisi perempuan muslim.
Kesimpulan dan Rekomendasi
1. Karena setengah dari populasi manusia adalah perempuan, perempuan harus dilibatkan dan terlibat aktif dalam pengembangan kualitas masyarakat.
2. Demi Kebangkitan Islam, peran politik perempuan harus didasarkan pada ideologi Islam. Mereka harus melaksanakan politik ketuhanan, bukan pragmatisme / politik yang rasional.
3. Perempuan harus mendidik diri mereka sendiri dalam rangka untuk memiliki ideologi Islam yang kuat dan visi politik yang tajam sehingga ketika mereka bergabung dengan sistem non-Islam, mereka mampu memberikan kontribusi positif yang signifikan, bukannya dikooptasi oleh sistem.

Referensi:
Hoffman, John. 2007. Sebuah Istilah Teori Politik. Edinburgh:  Edinburgh University Press
Khaz Ali, ansia. 2010. Iran Wanita Setelah Revolusi. Makalah yang  dipresentasikan oleh Forum Konflik: Beirut. (Http://conflictsforum.org/briefings/IranianWomenAfterIslamicRev.pdf )
Khomeini, Imam. 2001. Posisi Perempuan Dari Sudut Pandang  Imam Khomeini. (Versi Bahasa Inggris). The Institute For  Penyusunan dan Publikasi Pekerjaan Imam Khomeini: Teheran.
Kheradmandi, Husain R. 2012. Manajemen Politik: Perspektif  Khajeh Nashiruddin. Jakarta: Sadra Press.
Minogue, Kenneth. 2000. Politik, Sebuah Pengantar Sangat  Singkat. New York: Oxford University Press.
Muthahhari, Murthadha. 2000. Hak-Hak Wanita Dalam, Islam.  Lentera: Jakarta.
Shahidian, Hammed. 2002. Perempuan di Iran: Offline Politik di  Republik Islam. Westport: Greendwood Press.
Sulaeman, Dina Y. 2005. Perempuan Iran: Observasi ANTARA HDI  Dan Konstitusi (makalah yang disajikan dalam Seminar Mahasiswa Indonesia di Timur Tengah, yang diselenggarakan di Qom, Agustus  2005).
Sulaeman, Dina Y. 2011. Views dari pemimpin Republik Islam Iran tentang Perempuan (makalah yang disajikan dalam Seminar Internasional, "Dunia Islam: Peran Perempuan dan Tanggung Jawab  Wanita Muslim", yang diselenggarakan di Universitas Muhammadiyah Jakarta, Desember 2011).
Dobrowolsky, Alexandra dan Vivien Hart (ed). 2003. Perempuan  Membuat Konstitusi. New York: Palgrave Macmillan.
---------------------------
Dia adalah seorang penulis dan penulis lebih dari 12 buku,  termasuk "Journey to Iran". Dia memperoleh gelar Master of  Science (Hubungan Internasional) dari Universitas Padjadjaran,  Bandung (2011) dan menjadi rekan penelitian dari Institute Global  Future. Dia menerima beasiswa dari Yayasan JAL untuk belajar di  Sophia University, Tokyo (1996). Dia tinggal di Iran selama 8 tahun  (1999-2007), belajar di Fakultas Teologi, Universitas Teheran (1999 -2000), Jamiah Al Musthafa, Qom (2001), kemudian bekerja  sebagai penulis, editor, dan penerjemah di Republik Islam Iran  Broadcasting (2002-2007). Sekarang dia tinggal di Bandung,  Indonesia. E-mail: bundakirana@yahoo.com Makalah ini adalah  untuk Konferensi Dunia tentang Perempuan dan Kebangkitan Islam,  8-11 July2012 di Tehran, Iran 
1http://www.taqrib.info/english/index.php?option=com_content&view=article&id=385:islamic-awakening-conference-final-communique-&catid=35:2009-08-31-05-01-28&Itemid=63
2 ibid
3 Hoffman, 2007: 143
4 ibid. 144
5 Minogue, 2000: 81
6 Dobrowolsky dan Hart, 2003:2
7 ibid
8 ibid
9 HDI adalah ukuran ringkasan perkembangan manusia yang  diterbitkan oleh United Nations Development Programme (UNDP).  IPM mengukur pencapaian rata-rata di suatu negara dalam tiga  dimensi dasar pembangunan manusia, yaitu harapan hidup, angka  melek huruf, dan GDP per kapita. GII adalah ukuran untuk  mengekspos perbedaan dalam distribusi pencapaian antara  perempuan dan laki-laki. Negara-negara dengan ketidaksetaraan  gender tinggi juga mengalami ketimpangan distribusi pembangunan  manusia. Thera lima indikator GII, yaitu kematian ibu, kesuburan  remaja, perwakilan parlemen, attaintment pendidikan, dan  partisipasi angkatan kerja. (Sumber: http://hdr.undp.org)
10 Sumber: http://www.ipu.org/wmn-e/classif.htm dan  http://hdrstats.undp.org
11 http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/12/02/09/lz4dg0-politisi-perempuan-mudah-terjerat-korupsi
12 Kheradmandi, 2012:108
15 Shahidian, 2002:56
16 Khaz Ali, 2010
17 Muthahhari (versi Indonesia, 2000:74)
18 Pidato diupload di you tube, http://www.youtube.com/watch? v=fN0vah1uamY, bagian ini dikutip dari kertas Sulaeman s (2011)
19 Khomeini (versi bahasa Inggris, 2001)
20 terjemahan Bahasa Inggris diambil dari:  http://www.iranchamber.com/government/laws/constitution.php
21 Makalah Sulaeman yang Dikutip (2005)

Mainsource:http://theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=9209&type=4

0 comments to "Peran Politik Perempuan dalam Gerakan Kebangkitan Islam : Membandingkan Republik Indonesia (Islam Sunni terbesar) dan Republik Islam Iran (Islam Syi'ah terbesar)"

Leave a comment