Home , , , , , , , , , , , , , , , , , , � ZIONISME mengadu domba SUNNI & SYI'AH --->TRAGEDI SAMPANG Madura-Indonesia LAGI !!!!! : “Kira-kira metafora begini, bagi mereka jika ada BINATANG BUAS menyerang WARGA hingga tewas, maka WARGA harus dipindahkan, bukan BINATANG itu yg dikurung. Mereka tak berani mengurung BINATANG tersebut”

ZIONISME mengadu domba SUNNI & SYI'AH --->TRAGEDI SAMPANG Madura-Indonesia LAGI !!!!! : “Kira-kira metafora begini, bagi mereka jika ada BINATANG BUAS menyerang WARGA hingga tewas, maka WARGA harus dipindahkan, bukan BINATANG itu yg dikurung. Mereka tak berani mengurung BINATANG tersebut”







Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menilai, kinerja intelijen kepolisian dan komando teritorial TNI belum optimal mengantisipasi aksi kekerasan terhadap warga komunitas Syiah di Desa Karang Gayam, Kabupaten Sampang, Jawa Timur.
Aksi kekerasan yang pecah pada Minggu pagi, berupa penyerangan yang menewaskan dua orang ini terjadi di lokasi yang sama dalam dua tahun terakhir. “Mestinya kalau intelijen itu bekerja dengan benar dan baik, akan lebih bisa diantisipasi, dideteksi keganjilan yang ada di wilayah itu,” kata Presiden seusai memimpin rapat kabinet terbatas di Kantor Presiden, Jakarta, Senin (27/8/2012).
Presiden mengatakan, penuntasan aksi kekerasan terhadap warga komunitas Syiah pada Agustus 2011 tidak tuntas. Akar kekerasan di daerah tersebut masih ada sehingga memicu aksi kekerasan pada Minggu lalu.
Pada kesempatan itu, Presiden meminta kerja sama antara jajaran intelijen, kepolisian, TNI, pemerintah daerah, pemuka agama, dan tokoh masyarakat, untuk mengatasi berbagai kekerasan horizontal. Dengan demikian, tak ada lagi aksi-aksi kekerasan di masa mendatang.
Kepala Negara juga meminta jajaran penegak hukum, baik kepolisian, kejaksaan, dan Mahkamah Agung, melakukan penegakan hukum secara tegas dan adil. “Kalau tidak tegas dan tidak adil, ini akan memancing hal serupa di masa mendatang,” kata Presiden.

Kapolda Jatim: Bentrokan di Sampang Murni Tindak Kriminalitas
Pascabentrok, Gubernur Jatim, Soekarwo didampingi Kapolda Jatim dalam keterangan persnya di Sampang, Minggu petang menjelaskan, aksi kerusuhan itu berawal dari cekcok antara pengikut Syiah dan warga yang beraliran Sunni. Cekcok itu kemudian berlanjut menjadi kekerasan dan kerusuhan.
“Satu orang korban, bernama Hamama (39), warga Desa Karanggayam, tewas karena terkena bacokan di bagian perutnya. Sementara lima orang korban luka-luka lainnya sudah dibawa ke Puskesmas Omben lalu dirujuk ke RSUD Pamekasan,” ujar Irjen Pol Hadiatmoko, saat mendampingi Pakde Karwo, panggilan akrab Gubernur Jatim Soekarwo di Desa Karanggayam, Minggu petang.
Kapolda Jatim mengungkapkan, konflik tersebut murni tindak kriminalitas. “Seorang perwira polisi terluka di kepalanya akibat lemparan batu, yakni Kapolsek Omben, AKP Aris Dwi (44). Kesimpulan sementara, kejadian ini merupakan kriminal murni,” tandas Kapolda Jatim.   Pihaknya akan dengan tegas akan mengusut kasus ini dengan tuntas.
“Pembakaran dan menghilangkan nyawa ini sudah merupakan kriminal, kami akan menindak tegas para pelakunya,” ujarnya.
Guna mengantisipasi meluasnya peristiwa itu, pihaknya langsung menerjunkan 33 satuan setingkat kompi (SSK) pasukan Brimob dari Surabaya dan Pamekasan, dibantu 200 personel pasukan Sabhara dan satu peleton pasukan dari Polres Sampang, dan satu peleton dari Polres Pamekasan. Untuk pengamanan, personel yang kita terjunkan akan standby di lokasi hingga kondisi kamtibmas di sini benar-benar aman, tandas Kapolda Jatim.
Pakde Karwo menambahkan, langkah pertama dari Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jatim adalah akan memberikan bantuan kemanusiaan bagi para pengungsi, termasuk kenyamanan tempat penampungan, makanan, dan minuman serta MCK. Pemprov akan merumuskan langkah penyelesaian bersifat jangka panjang dan permanen.
Karena itu, pihaknya akan berkoordinasi dengan pemerintah daerah dan tokoh masyarakat untuk menentukan langkah apa yang akan ditempuh selanjutnya.   Sementara itu, Pondok Pesantren (Ponpes) Al-Ma’hadul Islami YAPI di Desa Kenep, Kecamatan Beji, Kabupaten Pasuruan, yang selama ini dikenal sebagai pusat pengajaran Syiah di Jatim, sejak Minggu sore dijaga ketat petugas Kepolisian setempat, menyusul membaranya konflik Islam Syiah-Sunni di Sampang. Sebanyak delapan orang petugas dari Polsek Beji dan Polres Pasuruan, sejak sore hingga semalaman berjaga-jaga di depan ponpes tersebut.
“Penjagaan di pusat pendidikan kelompok Syiah ini, guna mengindari kejadian yang tak diinginkan seperti di Sampang, Madura,” ujar salah seorang petugas yang minta identitasnya tidak disebutkan.
Romli, salah seorang karyawan Ponpes Al-Ma’hadul Islami YAPI mengatakan, saat ini kondisi pondok pesantren tengah sepi karena para santri yang mudik ke kampung halaman masing-masing, belum ada yang kembali. “Para santri masuknya mulai 1   September mendatang, makanya sekarang masih sepi,” ujar Romli.(http://www.indonesiamedia.com/2012/08/27/sampang-memanas-presiden-kritik-intelijen/)

Inilah Kronologis Kekerasan 

Warga Syiah di Sampang


nilah kronologis kasus kekerasan atas warga Syiah di Sampang, Madura. Menurut Koordinator Kontras Surabaya, Andy Irfan dalam siaran pers yang diterimaSP di Jakarta,  Senin (27/8), data dan keterangan dari kronologis ini diambil dari keterangan warga, petugas polisi, dan petugas RSUD Sampang yang berada di lokasi kejadian.
Pada sekitar pukul 6.30 WIB, sejumlah anak-anak warga syiah dengan didampingi orang tuanya akan pergi keluar desa dengan tujuan ke beberapa tempat. Di antara ada yang akan bersilaturahmi ke keluarga yang ada di luar Omben, dan beberapa yang lain akan berangkat ke luar kota untuk masuk sekolah dan pesantren mengingat libur lebaran sudah usai.
Ketika rombongan anak-anak warga syiah dan orang tuanya yang berjumlah sekitar 20-an hendak menaikki dua buah mobil sewaan, puluhan lelaki dewasa dari warga non Syiah, dengan membawa senjata tajam mendatangi mereka dan melarang mereka meninggalkan desa.  Bahkan mobil yang akan mereka tumpangi diancam akan dibakar.
Dan selanjutnya, layaknya ‘tawanan perang’ rombongan anak-anak warga syiah digiring kembali ke desa dan di paksa pulang ke rumah masing-masing.
Saat itulah, orang tua dari anak-anak warga syiah berusaha melawan tindakan sekumpulan warga yang mengancam mereka. Akhirnya seluruh anak-anak warga syiah beserta orang tuanya kembali ke rumah mereka masing-masing.
Tidak berselang lama, sekitar pukul 08.00 WIB, puluhan warga non syiah yang mengancam akan menyerang warga syiah telah bertambah menjadi ratusan orang. Dan tersiar kabar bahwa mereka akan menyerang dan membakar semua rumah warga syiah, bagi yang melawan akan dibunuh.
Dan serangan akan dimulai dari rumah Ustad Tajul Muluk, yang saat itu ditempati oleh ibu, istri, dan 5 orang anak-anaknya. Rumah Tajul Muluk sesungguhnya telah dibakar  massa anti syiah pada akhir Desember 2011, dan  saat ini tersisa bangunan seluas 4×5 meter dan ditempati oleh ibu, istri dan anak-anaknya.
Sedangkan Tajul sendiri saat ini sedang berada di LP Sampang. Dia menjalani hukuman dua tahun penjara yang diputuskan oleh PN Sampang dengan dakwaan penodaan agama.
Pada sekitar pukul 9.30 WIB, sekitar 20-an orang lelaki dewasa dari warga syiah berkumpul di rumah Ust. Tajul bersiap untuk melindungi perempuan dan anak-anak yang tinggal di rumah itu dari serangan warga non syiah.
Pada sekitar pukul 10.30, warga non syiah yang berjumlah lebih dari 500 orang, sebagian besar adalah lelaki dewasa yang bersenjatakan aneka macam senjata tajam, batu dan bom ikan (bahan peledak yang biasa digunakan nelayan untuk menangkap ikan  di laut) bergerak mengepung rumah Ust. Tajul. Tidak berselang lama terjadilah perang mulut di antara mereka yang dilanjutkan dengan saling lempar batu.
Tewas Dibacok
Saat kondisi sedang memanas, salah satu warga syiah, Moch Chosim (50), yang biasa dipanggil Pak Hamama berusaha menenangkan massa. Lelaki tua ini maju ke tengah-tengah massa non syiah yang akan menyerang mereka. Naas bagi Chosim, maksud baiknya justru memicu amarah massa.
Sedikitnya 6 orang lelaki dewasa dengan senjata clurit, pedang, dan pentungan mengeroyoknya. Tubuhnya bersimbah darah, perutnya terburai dan meninggal di tempat.
Melihat Chosim dikeroyok, Tohir (45) adiknya berusaha melerai dan melindungi sang kakak. Akibatnya, Tohir mengalami luka berat di bagian punggung dan sekujur tubuhnya akibat sabetan pedang, clurit dan lemparan batu. Untunglah nyawa Tohir masih terselamatkan.
Massa semakin beringas. Ratusan massa beramai-ramai melempari rumah Tajul dengan batu. Semua orang yang berada dalam rumah itu terkena lemparan batu. Ibu Tajul Muluk, Ummah (55), jatuh pingsan karena kepalanya terkena lemparan batu.
Anak-anak menjerit, sebagian di antaranya pingsan. Selain Ummah, 3 orang yang lain juga mengalami luka serius akibat terkena lemparan batu, yaitu Matsiri (50), Abdul Wafi (50), dan Tohir (45).
Akhirnya keluarga Ust. Tajul  dan warga syiah yang terkepung itu tidak lagi melawan dan membawa kerabat mereka yang luka-luka dan meninggal ke Gedung SD Karang Gayam yang berjarak beberapa ratus meter dari rumah itu.
Massa penyerang membiarkan mereka menyelamatkan diri. Selanjutnya massa membakar rumah Ust. Tajul hingga habis. Sampai dengan sekitar pukul 10.30 WIB, yaitu saat serangan massa non syiah dilakukan, Kontras mendapat keterangan dari warga bahwa petugas polisi yang tampak di lapangan hanya dua atau tiga orang.
Padahal beberapa warga telah menyampaikan laporan via telepon kepada polisi sejak pukul 06.30 WIB.   Dan sesungguhnya Polisi juga telah mengetahui bahwa beberapa hari sebelumnya, situasi di wilayah ini telah memanas.
Beberapa warga memberikan keterangan kepada Kontras bahwa pada saat lebaran, warga syiah dilarang oleh pemuka warga non syiah untuk melakukan takbiran. Bahkan beberapa warga non syiah telah mendatangi rumah-rumah warga syiah untuk menanyakan apakah mereka masih menjadi pengikut syiah atau tidak, dan apabila tetap menjadi pengikut syiah, maka rumah mereka akan dibakar, dan apabila melawan akan dibunuh.
Beberapa perwakilan dari Warga Syiah telah melaporkan situasi ini ke beberapa petugas Polisi. Setelah massa non syiah membakar rumah yang didiami istri, ibu, dan anak-anak Ust., Tajul, sekitar pukul 11.30 WIB massa mulai bergerak membakar satu demi satu rumah warga syiah.
Pada sekitar pukul 12.00 WIB, puluhan petugas polisi datang ke lokasi dan memberikan pertolongan kepada sejumlah warga syiah yang terluka. Akan tetapi jumlah polisi sangat tidak memadai untuk mencegah dan melarang massa melakukan pembakaran rumah-rumah warga syiah.
Sampai dengan maghrib, sekitar pukul 18.00 WIB, jumlah rumah yang dibakar berjumlah setidaknya 60 unit bangunan milik warga syiah. Aparat kepolisian tidak berdaya mencegah hal ini terjadi.
Pada sekitar setelah maghrib, yaitu pukul 18.30 WIB sejumlah warga syiah dievakuasi oleh pihak kepolisian di Gedung Olahraga Sampang. Sedang ratusan warga syiah yang lain berlari bersembunyi ke hutan dan persawahan yang berada di sekitar rumah mereka.
Total data warga syiah yang dievakuasi ke Gor Sampang sampai Senin (27/8) pagi adalah 51 orang laki-laki dewasa dan  56 orang perempuan dewasa.(http://www.indonesiamedia.com/2012/08/28/inilah-kronologis-kekerasan-warga-syiah-di-sampang/)

Sikap Berbahaya Menteri Agama + Ketua DPR: 

Aliran Syiah Tidak Sesat


Pernyataan Suryadharma Ali, yang memojokkan aliran Syiah, sungguh disesalkan. Seharusnya dipahami, sebagai Menteri Agama ia mewakili pemerintah, dan bukannya suara atau kepentingan Partai Persatuan Pembangunan yang dipimpinnya. Sikap yang tak bijak ini hanya akan merusak kebebasan beragama.
Menteri Agama mengatakan bahwa pemerintah sejauh ini menganggap Syiah bukan bagian dari Islam. Dasarnya, menurut dia, Surat Keputusan Bersama Majelis Ulama Indonesia dan Kementerian Agama. Ia juga mengatakan Rapat Kerja Nasional MUI 1984 merekomendasikan umat Islam agar waspada terhadap paham Syiah.
Ucapan seperti itu hanya akan membuat konflik dalam kehidupan beragama memanas lagi. Padahal, sebagai pejabat publik, semestinya ia berupaya menjaga kerukunan beragama. Ia seharusnya justru mengutuk keras pembakaran rumah penganut Syiah di Sampang, Madura, beberapa waktu lalu. Apalagi para penganut aliran ini sampai diusir dari tempat tinggal mereka.
Pak Menteri juga terlihat bersikap plinplan lantaran beberapa hari sebelumnya ia mengatakan Syiah masih dalam koridor Islam. Bahkan Wakil Menteri Agama Nazaruddin Umar mengatakan Syiah tidak menyimpang dari ajaran Islam. Ia juga mengatakan, di negara-negara Islam lain, Syiah diakui dan tidak mendapat penolakan.
Sikap yang tak tegas itu tentu akan membikin bingung masyarakat. Orang pun akan bertanya-tanya, kenapa Menteri Agama selalu merujuk pada pendapat MUI. Bukankah seharusnya ia bersikap atas nama pemerintah, bahkan negara ini? Pedoman yang seharusnya dipegang oleh Menteri Agama pun jelas, yakni konstitusi. Pada Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945 jelas dinyatakan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya itu.
Kebebasan memeluk agama dan meyakini kepercayaan itu ditegaskan pula dalam Pasal 28-E dan 28-I UUD 1945. Bahkan dinyatakan bahwa beragama termasuk hak yang tidak bisa dikurangi dalam keadaan apa pun.
Bukan hanya dalam soal konflik Syiah-Sunni, Suryadharma bersikap aneh. Sikap serupa ia perlihatkan dalam menghadapi kasus pelarangan beribadah jemaat Gereja Kristen Indonesia Yasmin di Bogor. Menteri Agama mengatakan pihaknya angkat tangan lantaran masalah ini lebih bersifat administratif, yakni menyangkut izin mendirikan bangunan. Ia malah menyarankan agar jemaat gereja ini mengalah.
Suryadharma seharusnya memahami kisruh GKI Yasmin bukan lagi soal tidak adanya izin mendirikan gereja. Untuk soal ini, Mahkamah Agung dan Ombudsman RI sudah memutuskan bahwa IMB GKI Yasmin sah. Jadi masalahnya adalah adanya aksi sepihak dari umat lain yang tak menginginkan gereja tersebut berdiri di sana. Karena itu, penyelesaian kisruh yang telah berlangsung selama tiga tahun ini jelas menjadi tanggung jawab Suryadharma.
Sikap sekaligus pandangan Suryadharma yang cenderung bertentangan dengan konstitusi itu amat tak wajar. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mesti menegurnya, bahkan jika perlu mencopotnya, karena sikap itu hanya akan menghancurkan kerukunan umat beragama.
Pernyataan Suryadharma Ali, yang memojokkan aliran Syiah, sungguh disesalkan. Seharusnya dipahami, sebagai Menteri Agama ia mewakili pemerintah, dan bukannya suara atau kepentingan Partai Persatuan Pembangunan yang dipimpinnya. Sikap yang tak bijak ini hanya akan merusak kebebasan beragama.
Menteri Agama mengatakan bahwa pemerintah sejauh ini menganggap Syiah bukan bagian dari Islam. Dasarnya, menurut dia, Surat Keputusan Bersama Majelis Ulama Indonesia dan Kementerian Agama. Ia juga mengatakan Rapat Kerja Nasional MUI 1984 merekomendasikan umat Islam agar waspada terhadap paham Syiah.
Ucapan seperti itu hanya akan membuat konflik dalam kehidupan beragama memanas lagi. Padahal, sebagai pejabat publik, semestinya ia berupaya menjaga kerukunan beragama. Ia seharusnya justru mengutuk keras pembakaran rumah penganut Syiah di Sampang, Madura, beberapa waktu lalu. Apalagi para penganut aliran ini sampai diusir dari tempat tinggal mereka.
Pak Menteri juga terlihat bersikap plinplan lantaran beberapa hari sebelumnya ia mengatakan Syiah masih dalam koridor Islam. Bahkan Wakil Menteri Agama Nazaruddin Umar mengatakan Syiah tidak menyimpang dari ajaran Islam. Ia juga mengatakan, di negara-negara Islam lain, Syiah diakui dan tidak mendapat penolakan.
Sikap yang tak tegas itu tentu akan membikin bingung masyarakat. Orang pun akan bertanya-tanya, kenapa Menteri Agama selalu merujuk pada pendapat MUI. Bukankah seharusnya ia bersikap atas nama pemerintah, bahkan negara ini? Pedoman yang seharusnya dipegang oleh Menteri Agama pun jelas, yakni konstitusi. Pada Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945 jelas dinyatakan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya itu.
Kebebasan memeluk agama dan meyakini kepercayaan itu ditegaskan pula dalam Pasal 28-E dan 28-I UUD 1945. Bahkan dinyatakan bahwa beragama termasuk hak yang tidak bisa dikurangi dalam keadaan apa pun.
Bukan hanya dalam soal konflik Syiah-Sunni, Suryadharma bersikap aneh. Sikap serupa ia perlihatkan dalam menghadapi kasus pelarangan beribadah jemaat Gereja Kristen Indonesia Yasmin di Bogor. Menteri Agama mengatakan pihaknya angkat tangan lantaran masalah ini lebih bersifat administratif, yakni menyangkut izin mendirikan bangunan. Ia malah menyarankan agar jemaat gereja ini mengalah.
Suryadharma seharusnya memahami kisruh GKI Yasmin bukan lagi soal tidak adanya izin mendirikan gereja. Untuk soal ini, Mahkamah Agung dan Ombudsman RI sudah memutuskan bahwa IMB GKI Yasmin sah. Jadi masalahnya adalah adanya aksi sepihak dari umat lain yang tak menginginkan gereja tersebut berdiri di sana. Karena itu, penyelesaian kisruh yang telah berlangsung selama tiga tahun ini jelas menjadi tanggung jawab Suryadharma.
Sikap sekaligus pandangan Suryadharma yang cenderung bertentangan dengan konstitusi itu amat tak wajar. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mesti menegurnya, bahkan jika perlu mencopotnya, karena sikap itu hanya akan menghancurkan kerukunan umat beragama.
Pernyataan Suryadharma Ali, yang memojokkan aliran Syiah, sungguh disesalkan. Seharusnya dipahami, sebagai Menteri Agama ia mewakili pemerintah, dan bukannya suara atau kepentingan Partai Persatuan Pembangunan yang dipimpinnya. Sikap yang tak bijak ini hanya akan merusak kebebasan beragama.
Menteri Agama mengatakan bahwa pemerintah sejauh ini menganggap Syiah bukan bagian dari Islam. Dasarnya, menurut dia, Surat Keputusan Bersama Majelis Ulama Indonesia dan Kementerian Agama. Ia juga mengatakan Rapat Kerja Nasional MUI 1984 merekomendasikan umat Islam agar waspada terhadap paham Syiah.
Ucapan seperti itu hanya akan membuat konflik dalam kehidupan beragama memanas lagi. Padahal, sebagai pejabat publik, semestinya ia berupaya menjaga kerukunan beragama. Ia seharusnya justru mengutuk keras pembakaran rumah penganut Syiah di Sampang, Madura, beberapa waktu lalu. Apalagi para penganut aliran ini sampai diusir dari tempat tinggal mereka.
Pak Menteri juga terlihat bersikap plinplan lantaran beberapa hari sebelumnya ia mengatakan Syiah masih dalam koridor Islam. Bahkan Wakil Menteri Agama Nazaruddin Umar mengatakan Syiah tidak menyimpang dari ajaran Islam. Ia juga mengatakan, di negara-negara Islam lain, Syiah diakui dan tidak mendapat penolakan.
Sikap yang tak tegas itu tentu akan membikin bingung masyarakat. Orang pun akan bertanya-tanya, kenapa Menteri Agama selalu merujuk pada pendapat MUI. Bukankah seharusnya ia bersikap atas nama pemerintah, bahkan negara ini? Pedoman yang seharusnya dipegang oleh Menteri Agama pun jelas, yakni konstitusi. Pada Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945 jelas dinyatakan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya itu.
Kebebasan memeluk agama dan meyakini kepercayaan itu ditegaskan pula dalam Pasal 28-E dan 28-I UUD 1945. Bahkan dinyatakan bahwa beragama termasuk hak yang tidak bisa dikurangi dalam keadaan apa pun.
Bukan hanya dalam soal konflik Syiah-Sunni, Suryadharma bersikap aneh. Sikap serupa ia perlihatkan dalam menghadapi kasus pelarangan beribadah jemaat Gereja Kristen Indonesia Yasmin di Bogor. Menteri Agama mengatakan pihaknya angkat tangan lantaran masalah ini lebih bersifat administratif, yakni menyangkut izin mendirikan bangunan. Ia malah menyarankan agar jemaat gereja ini mengalah.
Suryadharma seharusnya memahami kisruh GKI Yasmin bukan lagi soal tidak adanya izin mendirikan gereja. Untuk soal ini, Mahkamah Agung dan Ombudsman RI sudah memutuskan bahwa IMB GKI Yasmin sah. Jadi masalahnya adalah adanya aksi sepihak dari umat lain yang tak menginginkan gereja tersebut berdiri di sana. Karena itu, penyelesaian kisruh yang telah berlangsung selama tiga tahun ini jelas menjadi tanggung jawab Suryadharma.
Sikap sekaligus pandangan Suryadharma yang cenderung bertentangan dengan konstitusi itu amat tak wajar. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mesti menegurnya, bahkan jika perlu mencopotnya, karena sikap itu hanya akan menghancurkan kerukunan umat beragama.

Ketua DPR: Aliran Syiah
 Tidak Sesat

Ketua DPR RI Marzuki Alie menegaskan, aliran syiah di Indonesia bukan aliran sesat. Majelis Ulama Indonesia (MUI) sudah mengeluarkan fatwa bahwa aliran ini tidak sesat.
Hal itu dikatakan Marzuki Alie di Jakarta, Senin (27/8), menjawab pers terkait kerusuhan di Sampang, Madura, Jawa Timur.
Menurut Marzuki, kalau MUI sudah mengeluarkan fatwa itu tidak sesat, maka persoalan sekarang adalah kenapa masih muncul konflik? Itu pasti sosialisasi keputusan MUI yang masih kurang.
“Itu tugas Kementerian Agama dan MUI,”katanya. Kalau pun sosialisasi sudah dilakukan dan masih juga konflik terulang, kata dia, maka pasti ada yang salah di tahapan sosialisasinya.
Marzuki juga meminta aparat kepolisian untuk mengusut tuntas kasus tersebut, jangan ada diskriminasi dan sebagainya. “Kita memahami jumlah personel polisi sangat terbatas. Karena itu, untuk tahun depan akan ditambah 20.000 personel baru Polri. Tetapi kita harap polisi bekerja keras menuntaskan kasus ini,” katanya.
PKS Bentuk TPF
Sementara itu, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) akan membentuk Tim Pencari Fakta (TPF) untuk mencari tahu akar persoalan munculnya konflik tersebut. Apalagi ini adalah konflik kedua, yang dulu sudah diselesaikan. Hal itu dikatakan mantan
Ketua MPR RI Hidayat Nurwahid dalam jumla pers di DPR RI, Jakarta, Senin siang. FPKS, kata dia, sangat menyesal munculnya kasus ini untuk kedua kali.
“Kami sangat prihatin dan berbelasungkawa dengan tragedi Sampang ini. Ini sangat disesalkan karena terjadi untuk kedua kalinya. Kami mengecam munculnya konflik antar warga,”katanya.
Hidayat juga meminta tokoh-tokoh masyarakat, ormas keagamaan, dan partai politik untuk mengajak masyarakat menghindari konflik. Dia juga meminta kepolisian untuk mengusut tuntas kasus ini dengan adil dan tidak mencari kambing hitam.

(http://www.indonesiamedia.com/2012/08/29/sikap-berbahaya-menteri-agama/)

PBNU: Pemerintah Harus Lindungi Warga Syiah



“Pemerintah wajib melindungi

 segenap warga negara, 

tanpa membedakan agama 

dan keyakinan.”

Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mendesak pemerintah agar melindungi warga pesantren Syiah di Sampang, Madura, Jawa Timur.
“PBNU mendesak pemerintah bersungguh-sungguh menunaikan kewajibannya, yakni menegakkan hukum serta memberikan perlindungan kepada segenap warga negara, tanpa membedakan agama dan keyakinannya,’ ujar Ketua Umum PB NU, Said Aqil Siroj kepadaVIVAnews.com, Jumat 30 Desember 2011.
Kepolisian juga harus segera mengambil langkah-langkah strategis supaya peristiwa tersebut tidak melebar dan memicu kekerasan serupa lainnya.
Nahdlatul Ulama, kata Said Aqil, siap membantu jika diminta pemerintah dan aparat Kepolisian membutuhkan untuk mencari sumber masalah serta solusinya atas kasus-kasus kekerasan terkait kebebasan beragama.
Said Aqil menilai, mungkin penyebab pesantren Syiah dibakar adalah karena sejarah masa lalu.
“Mengapa Pesantren Syiah bisa dirusak atau diserang, bisa jadi karena mereka (kaum Syiah) mengolok-olok, atau mencaci para sahabat Nabi Muhammad SAW,” ujarnya.
Meski begitu, ia mengimbau semua pihak menahan diri untuk tidak melakukan tindakan-tindakan yang makin memperkeruh suasana. “Ini negara hukum, masyarakat tidak boleh main hakim sendiri,” ujarnya.
Karena itu, dia meminta semua pihak, terutama umat Muslim untuk bisa menahan diri dan tidak terhasut oleh berbagai macam provokasi.
“Sehingga Islam rahmatan lil alamin (Islam yang memberikan kedamaian bagi semua) benar-benar bisa kita tunjukkan, dan wajah ketimuran kita tidak hilang karena tindak kekerasan,” tuturnya.
Seperti diketahui, pada Kamis 29 Desember 2011, kemarin, pesantren milik warga Syiah di Nangkernang, Sampang, Madura, dibakar massa.
Tak hanya pesantren, beberapa rumah warga juga turut dibakar massa. Massa juga akan membakar sejumlah rumah lainnya. Namun usaha itu dicegah oleh aparat.

Kasus Pembakaran Tempat Ibadah, Polisi 

Tetapkan Satu Tersangka



Kepolisian Negara RI saat ini sudah menetapkan satu tersangka kasus pembakaran rumah dan tempat ibadah dan Musala di Sampang, Madura yang terjadi pada hari Kamis (29/12)   “Dari rekaman-rekaman video dan juga keterangan saksi-saksi dan alat bukti di lapangan, Polres Sampang kini menetapkan satu tersangka pembakaran dengan inisial M, warga Desa Pandan,” kata Kepala Divisi Hubungan Masyarakat (Kadiv Humas) Polri, Irjen Pol Saud Usman Nasution di Jakarta, Senin (2/1).
Kejadian bermula dari konflik internal keluarga yang melibatkan adik-kakak, Rois Alhukama yang berseteru dengan Tajul Muluk yang berbeda paham dalam penerapan ajaran agama kepada santri, ujarnya.
“Mereka hanya diperiksa sebagai saksi saja,” kata Saud. Terkait kedua orang yang memicu tindakan anarkis tersebut yang belum ditetapkan sebagai tersangka.
Penangkapan pelaku pembakaran lembaga pendidikan kelompok Islam Syiah di Desa Karang Gayam ini dilakukan, setelah sebelumnya polisi melakukan penyelidikan dan memeriksa sedikitnya 15 orang saksi dari total 21 orang direncanakan akan diperiksa.
Konflik bernuansa SARA antara kelompok Islam Sunni dan kelompok Islam Syiah di Sampang ini telah menyebabkan ratusan keluarga telantar dan mereka terpaksa tinggal di lokasi penampungan.
Sebanyak 270 dari total 351 orang lebih dari kelompok Islam Syiah dievakuasi ke GOR Wijata Kusuma depan kantor Bupati Sampang.
Konflik kelompok Islam Sunni dan kelompok Islam Syiah di Kabupaten Sampang ini sudah terjadi sejak tahun 2006, namun hingga kini belum bisa diredam hingga akhirnya terjadi aksi anarkis berupa pembakaran.


Pluralisme sebagai Benteng Republik




Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa Muhaimin Iskandar, Pemimpin Pondok Pesantren Soko Tunggal KH Nuril Arifin, dan Franz Magnis-Suseno (dari kiri ke kanan) hadir pada peringatan dua tahun meninggalnya KH Abdurrahman Wahid, di Kantor DPP PKB, Jakarta, Kamis (29/12/2011).

Di tengah kekhidmatan malam dua tahun haul wafatnya KH Abdurrahman Wahid lalu, Yudi Latif memberikan sambutan tentang sumbangan Gus Dur—sapaan akrab Abdurrahman Wahid—untuk Islam Indonesia. Kebesaran Abdurrahman Wahid—menurut Yudi—terletak pada paradoksal intelektualitasnya.
Adapun keistimewaan Gus Dur terletak pada kemampuan menghubungkan kosmopolitanisme pengetahuan yang menembus batas sekat-sekat kultural bertemu dengan kesadaran akan pentingnya pijakan tradisi dan kearifan lokal dalam merajut jalinan kebaikan bersama.
Bagi Gus Dur, yang bertahun-tahun menimba ilmu di Timur Tengah, universalitas Islam tidaklah dibangun melalui tegaknya satu model kebenaran tentang Islam yang hanya mengacu pada praktik beragama di tanah Arab untuk dipaksakan di Indonesia. Pembumiannya justru pada kesadaran kultural Nusantara dan pertemuan dengan kebinekaan yang lainlah yang membuat Islam menyatu dengan keindonesiaan kita yang plural.
Dua tahun setelah Gus Dur wafat, seiring dengan pelupaan secara perlahan semangat pluralisme dalam Islam Nusantara yang diusungnya, kita berkali-kali disodorkan oleh tontonan kekerasan untuk memaksakan satu model kebenaran agama terhadap mereka yang berbeda. Belum lama kita mendengar kisah memilukan tragedi pembantaian jemaah Ahmadiyah di Cikeusik, Banten, dan konflik pembangunan Gereja GKI Bogor di pengujung 2011. Kita pun menyaksikan pengusiran dan pembakaran pesantren jemaah Syiah di Sampang, Madura.
Patriotisme Indonesia
Bagi negeri kita, memudarnya semangat pluralisme dan ikatan solidaritas hidup bersama di dalam keragaman ini merupakan hal yang fatal. Ini mengingat dalam konteks keindonesiaan, pluralisme bukan semata-mata jadi alat bagi sebuah tujuan politik lainnya. Pluralisme pun bukanlah hidup demi tujuan pluralisme itu sendiri. Melampaui itu semua, pluralisme dalam konteks keindonesiaan menjadi alasan mengada bagi berdirinya Indonesia.
Di atas fondasi pluralisme-lah Indonesia sebagai negara-bangsa tegak berdiri. Tanpa kehadirannya, Indonesia sebagai sebuah cita-cita akan hancur berkeping-keping.
Untuk mengelaborasi gagasan ini, ada baiknya kita menelusuri bagaimana perbedaan antara pembentukan bangsa di negara-negara Eropa dan di Indonesia secara singkat.
Filsuf republikanisme Italia, Maurizio Virolli (1995)—dalam karyanya For Love of Country: an Essay on Patriotism and Nationalism—menjelaskan, dalam sejarah negara-bangsa di Eropa haruslah dibedakan antara nasionalisme dan patriotisme. Sebagai konsep kultural, nasionalisme sebagai spirit kultural di banyak negeri Eropa dibangun berdasarkan ikatan homogenitas kultural sebagai suatu bangsa. Sementara kesadaran keadaban (civicness) tiap-tiap orang tumbuh dalam komitmen dan pembelaannya terhadap komunitas politik negara.
Hak dan tanggung jawab sebagai warga negaralah yang membentuk kesadaran demokrasi, HAM, dan penghormatan terhadap pluralitas.
Berbeda dengan perjalanan banyak negara Eropa, sejak awal nasionalisme Indonesia dibangun atas rantai keterkaitan gugus entitas kultural yang plural dalam etnis, ras, agama, dan golongan. Sejak awal, pluralisme telah disadari oleh para pendiri republik tidak saja sebagai hak dari tiap-tiap orang yang mengaku menjadi bangsa Indonesia. Lebih dari itu, dalam sejarahnya tiap-tiap bagian bangsa ini telah berkorban, memberi, dan berperan dalam perjuangan membentuk Indonesia.
Dalam narasi sejarah demikian, nasionalisme sebagai ikatan kultural yang berbineka sejak awal telah menubuh dalam kesadaran patriotisme sebagai komitmen politik untuk membentuk negara-bangsa dengan segenap spirit kewargaannya. Konstruksi kebangsaan inilah yang ditekankan Soekarno dalam Lahirnja Pantjasila: ”Kita mendirikan negara Indonesia, yang kita semua harus mendukungnya. Semua buat semua! Bukan Kristen buat Indonesia, bukan golongan Islam buat Indonesia, bukan Hadikoesoemo buat Indonesia, bukan Van Eck buat Indonesia, bukan Nitisemito yang kaya buat Indonesia, tetapi Indonesia buat Indonesia. Semua buat semua!”
Seruan Bung Karno bahwa Indonesia milik semua sejalan dengan ajakan Abdurrahman Wahid. Bahwa, dalam ikatan keindonesiaan tidak boleh ada kelompok yang diistimewakan satu di atas yang lain. Sebab, tiap-tiap bagian dari bangsa Indonesia memiliki kontribusi penting dalam pembentukannya.

Batang tubuh
Kalau kita hubungkan komitmen kebangsaan dengan mulai munculnya sikap eksklusivisme di kalangan Islam terhadap kelompok minoritas Syiah dan Ahmadiyah, ada baiknya kita membahas sekelumit sumbangan mereka bagi terciptanya Indonesia.
Bagi kaum Syiah yang dipandang sebagai kaum minoritas Muslim Indonesia, sumbangan mereka dalam keislaman Nusantara amatlah penting. Sejak awal masuknya Islam di Nusantara, jejak sumbangan kultural mereka tampak dari tradisi keagamaan pada saat hari Asyura, melalui tradisi upacara bubur merah (lambang keberanian Imam Hussein) dan putih (lambang kesucian Imam Hassan) dari Aceh sampai Maluku. Tradisi kultural inilah yang mengilhami lambang bendera kita: Merah Putih.
Demikian pula halnya dengan Ahmadiyah, yang ketidaksepakatan beberapa kelompok terhadapnya sampai tak membolehkan hak mereka untuk hidup sebagai warga negara. Dalam sejarah perkembangan Islam di Indonesia, salah satu kelompok pergerakan modernisme Islam di Indonesia, yaitu Studenten Islam Studieclub—embrio dari kemunculan aktivis Islam politik seperti Masyumi—dalam publikasi majalahnya sering kali menggunakan tafsir Al Quran dari jemaah Ahmadiyah yang terkenal karena rasionalitas dan saintifiknya (Yudi Latif, 2005; Soekarno, 1964).
Dalam terang sekelumit fakta-fakta sejarah di ataslah sebenarnya ide pluralisme dan toleransi bukanlah ide yang berangkat jauh dari luar dan ditanamkan tanpa penyesuaian di Indonesia. Pluralisme adalah batang tubuh dari keindonesiaan kita. Setelah ide-ide ini digemakan oleh Soekarno dan Abdurrahman Wahid, kita membutuhkan lahirnya generasi baru yang membela pluralisme Indonesia sebagai benteng republik.
Airlangga Pribadi Pengajar Ilmu Politik FISIP Universitas Airlangga


Komisi III DPR Akan Panggil Kapolri Terkait Sampang




Menko Polhukam Djoko Suyanto (tengah), didampingi Panglima TNI Laksamana TNI Agus Suhartono (kanan), dan Kapolri Jenderal Timur Pradopo, memberi keterangan pers seusai menggelar rapat koordinasi bidang polhukam di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta Pusat, Kamis (23/8/2012). Sejumlah isu keamanan terkini seperti video diskriminatif terkait pilkada DKI, penembakan Pos Pengamanan di Solo dan tertembaknya wartawan dalam bentrok antar warga di Sigi, Sulawesi Tengah, dibahas dalam jumpa pers tersebut.

Ketua Komisi III DPR, Gede Pasek Suardika mengungkapkan jika komisinya akan memanggil Kapolri, Jenderal Timur Pradopo, terkait peristiwa pada tanggal 26 Agustus 2012 lalu di Sampang, Madura.
Rencananya, pemanggilan kata Pasek akan direalisasiakan, hari Senin (3/9/2012). “Senin Kapolri dipanggil,” tegas Pasek ketika dikonfirmasi wartawan, Minggu (2/9/2012).
Menurut Pasek dalam pertemuan dengan Kapolri, komisi hukum DPR akan meminta klarifikasi mengenai pola penanganan konflik horizontal.
Sementara dihubungi terpisah, Anggota Komisi III DPR, Didi Irawadi Syamsuddin, membenarkan akan adanya pertemuan komisinya dengan Kapolri.”Senin dipanggil ke Komisi III,” kata Didi di Jakarta, Minggu (2/9/2012).


Menag: Tajul-Rois Selesai, Kasus Sampang Selesai




Menteri Agama Suryadharma Ali mengklaim pemerintah sudah berbuat banyak untuk mengatasi konflik berlatarbelakang agama di Kabupaten Sampang, Madura, Jawa Timur. Akan tetapi, menurutnya, upaya penyelesaian
Pemimpin Syiah di Sampang,Tajul Muluk (tengah) dikawal oleh Aparat Kepolisi setelah Divonis Majelis Hakim Pengadilan Negeri Sampang, Madura, Jawa Timur.Kamis (12/7/2012) PN Sampang memvonis Tajul Muluk alias Ali Murtadho asal Desa Nangkernang, Kabupaten Sampang, Jawa Timur, Dua tahun penjara dengan dakwaan Dugaan penodaan agama. (AFP PHOTO/Juni Kriswanto)

kerap mengalami kendala karena adanya pengaruh dari pimpinan dua kelompok yang bertikai, Sunni dan Syiah, yaitu Rois Al Hukama dan Tajul Muluk.
”Inti permasalahannya ada di Tajul Muluk dan Rois. Jika keduanya selesai, maka masalah juga akan selesai,” kata Suryadharma, seusai melakukan pertemuan dengan Gubernur Jawa Timur, Soekarwo, di Gedung Negara Grahadi, Surabaya, Jumat (7/9/2012) petang.
Ia menekankan, hal yang dapat dilakukan adalah upaya pendekatan kepada keduanya secara kekeluargaan, salah satunya melibatkan ibu dari kedua bersaudara tersebut.
”Rekonsiliasi kekeluargaan tetap kita upayakan, karena itu yang kami anggap paling strategis,” tambahnya.


Tokoh Syiah: Fatwa MUI, Provokasi Kyai, 

dan Sikap Bupati akar Kasus Sampang




Penelusuran akar masalah dalam kasus Sampang sebenarnya cukup simple. Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur, provokasi beberapa kyai dan juga sikap Bupati Sampang bisa dianggap sebagai penyebab penyerangan kelompok Syiah di Sampang Madura.
Pernyataan itu disampaikan tokoh Syiah Muhsin Labib melalui akun Twitter @muhsinlabib.  Muhsin Labib me-retwitt pernyataan FadjroelRachman ‏@fadjroeL: “Yang terpenting adalah pencabutan fatwa sesat MUI Jatim yang menjadi sumber masalah juga vonis penodaan agama atas Tajul Muluk” tulis @muhsinlabib.
Menurut Muhsin Labib, untuk menyelesaikan konflik di Sampang yang terpenting adalah mencabut fatwa sesat MUI Jatim atas warga Syiah. “Yang terpenting adalah pencabutan fatwa sesat MUI yang dipahami oleh sebagian orang awam sebagai ‘license to kill’  terhadap warga Syiah” tulis @muhsinlabib.
“Membedakan Syiah dengan ajaran Tajul Muluk adalah perbuatan konyol dan apologi untuk menghindari kecaman dunia Islam. Fatwa sesaat itulah yang sesat” tulis @muhsinlabib.
Secara khusus Muhsin Labib memuji sikap Rois AamPB Nahdatul Ulama KH Sahal Mahfud terkait eksistensi kelompok Syiah di Indonesia. “Salam takzim kepada KH Sahal Mahfud yang menolak permintaan beberapa orang yang mengatasnamakan kyai untuk menyetujui pensesatan mazhab Syiah” tulis @muhsinlabib.

“Syiah Diakui Negara Indonesia”


Tokoh-syiah-indonesia-Jalaluddin-Rakhmat-

“Sampang diserang karena di situ merupakan kantong Syiah terkecil.”

Sepekan lalu, Minggu 26 Agustus 2012, penganut Syiah terusir dari kampung mereka sendiri di Sampang, Madura, Jawa Timur. Mereka diserang, rumah mereka dibakar, sehingga mereka terpaksa mengungsi dengan kawalan ketat aparat bersenjata. Korban jiwa tak terelakkan, dua tewas.
Ini bukan peristiwa kekerasan pertama kalinya terhadap warga Syiah di Sampang. Sekitar delapan bulan sebelumnya, Kamis 29 Desember 2011, pesantren milik kaum Syiah di Sampang juga dibakar massa. Penyerangan dua kali dalam setahun terhadap penganut Syiah pun menjadi tanda tanya besar.
Mengapa harus terjadi di Sampang? Apa sesungguhnya “Syiah” dan bagaimana perkembangannya di Indonesia? Berikut wawancara reporter VIVAnews, Dwifantya Aquina, dengan tokoh Syiah di Indonesia sekaligus Ketua Dewan Syura Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI), Jalaluddin Rakhmat.
Bagaimana awal konflik antara Sunni dengan Syiah?
Sebenarnya konflik ini sudah berlangsung sejak seribu tahun lalu, dan konflik ini bukan konflik lokal atau nasional, tetapi internasional. Sama halnya dengan konflik antara Protestan dengan Katolik.
Bagaimana dengan kondisi konflik yang terjadi di Indonesia?
Kalau konflik Syiah di Indonesia baru muncul belakangan, baru sekarang ini.

Sejak kapan Syiah masuk ke Indonesia?

Ada beberapa teori, salah satunya menyebut ada tiga gelombang masuknya Syiah ke Indonesia. Gelombang pertama melalui para penyebar Islam awal. (Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama) Pak Said Aqil Siradj mengatakan menemukan beberapa kuburan yang mencerminkan kuburan Syiah. Selain itu tradisi ziarah dan tahlilan adalah tradisi Syiah yang awal-awal datang ke Indonesia.
Bahkan ada yang menduga sejak zaman Dinasti Abbasiyah, ada orang Syiah yang berangkat ke Indonesia untuk berdakwah. Syiah pertama kali datang ke Aceh. Tapi kemudian pada zaman Syeikh Nuruddin Ar-Raniri (ulama Aceh terkenal yang merupakan penasehat Kesultanan Aceh pada masa Sultan Iskandar Tsani), kekuasaan dipegang oleh ulama Ahli Sunnah (Sunni). Saat itu orang Syiah bersembunyi, tak menampakkan diri sampai muncul gelombang kedua masuknya Syiah ke Indonesia, yaitu setelah revolusi Islam di Iran.
(Sebagai catatan, Ahli Sunnah Waljamaah yang lebih sering disingkat dengan sebutan Sunni ialah pengikut Islam yang berpedoman pada Alquran dan hadits sahih. Sekitar 90 persen umat Islam di dunia merupakan kaum Sunni, sedangkan sisa 10 persennya merupakan penganut aliran Syiah. Syiah sendiri adalah pengikut Islam yang berpedoman kepada ajaran Nabi Muhammad dan Ahlul Bait atau keluarga Nabi Muhammad, yaitu Ali bin Abi Thalib – sepupu sekaligus menantu Nabi Muhammad, Fatimah az-Zahra – putri bungsu Nabi Muhammad dari istri pertamanya Khadijah, Hasan bin Ali dan Husain bin Ali – cucu Nabi Muhammad dari Ali dan Fatimah).
Pada gelombang pertama masuknya Syiah ke Indonesia itu, Syiah kebanyakan dipelihara di kalangan habib (keturunan Nabi Muhammad), tapi khusus di keluarga tertentu, misalnya Al Mukhdor. Sementara keluarga-keluarga lainnya bergabung dengan Sunnah (Sunni).
Dalam kamus Al Munjid (kamus Arab yang dianggap paling lengkap dan komprehensif sehingga dijadikan kamus utama di berbagai universitas Islam dan pondok pesantren tradisional maupun modern di seluruh dunia) cetakan lama, disebutkan penduduk Hadramaut (negeri asal Nabi Hud dan Nabi Saleh yang terletak di sebuah lembah di Yaman) bermahzab Syafii, padahal sebetulnya mereka bermahzab Syiah. Sebagian dari mereka kemudian masuk ke Indonesia untuk menyebarkan agama Islam dan menurunkannya kepada para habib. Oleh karena itu sangat mengherankan belakangan ini para habib juga ikut menyerang Syiah yang merupakan aliran nenek moyangnya.
Lalu datanglah gelombang kedua masuknya Syiah ke Indonesia, yaitu setelah revolusi Islam di Iran (revolusi yang mengubah Iran dari monarki di bawah Shah Mohammad Reza Pahlevi, menjadi Republik Islam di bawah pimpinan Ayatullah Agung Ruhollah Khomeini). Ketika itu orang Syiah mendadak punya negara, yaitu Iran. Dengan biaya negara Iran, Syiah lantas disebarkan ke seluruh dunia.
Di Indonesia muncullah orang-orang yang mula-mula tertarik bukan dengan paham Syiah-nya, melainkan dengan pemikiran Syiah, misalnya pemikiran revolusioner dari Ali Syariati (sosiolog Iran yang terkenal dan dihormati karena karya-karyanya di bidang sosiologi agama). Karya-karya Ali Syariati dibaca di kampus-kampus. Pada saat itu Indonesia berada di akhir Orde Baru, di mana banyak mahasiswa kembali ke masjid-masjid.
Oleh karena itu kelompok Syiah gelombang kedua di Indonesia umumnya merupakan intelektual universitas. Saya sama sekali tidak bermaksud menyebut diri saya intelektual, tapi saya dari universitas yang kemudian menjadi cikal bakal IJABI (Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia). Jadi ini semua berasal dari universitas. Di beberapa daerah, cabang-cabang IJABI pun dipimpin oleh para guru besar di universitas-universitas daerah.
Sementara itu gelombang ketiga masuknya Syiah ke Indonesia berakar dari para habib yang belajar sebelum revolusi. Mereka kemudian kembali untuk mengajar di kalangan yang sangat terbatas. Setelah muncul, kelompok-kelompok intelektual mereka mulai berdakwah dengan pendekatan berbeda.
Jika kelompok Syiah gelombang kedua umumnya tertarik Syiah karena pemikiran revolusionernya, kelompok gelombang ketiga ini datang dengan membawa paham fiqihnya. Saat itu sudah muncul kelompok Syiah yang mempelajari fiqih Syiah-nya. Saat itu pula mulai terjadi benih-benih konflik. Saat kami berada pada tahap pemikiran, tak ada konflik dan semua sepakat. Tapi saat berpada pada tahap fiqih, mulai terjadi perbedaan paham.
(Sebagai catatan, fiqih adalah salah satu bidang ilmu dalam syariat Islam yang secara khusus membahas persoalan hukum yang mengatur berbagai aspek kehidupan manusia, baik kehidupan pribadi, bermasyarakat, maupun kehidupan manusia dengan Tuhannya.)
Berapa banyak jumlah penganut Syiah di Indonesia?
Ada beberapa perhitungan, salah satunya versi pemerintah atau kepolisian. Dari data penelitian yang sudah ada, populasi Syiah berkisar 500 ribu di seluruh Indonesia. Itu perkiraan terendah. Jika perkiraan tertinggi sekitar 5 juta. Tapi menurut saya, perkiraan moderat ada sekitar 2,5 juta.
Hanya, sebagian besar orang Syiah itu tidak tampak sebagai Syiah karena mereka menyembunyikan identitas demi memelihara persatuan. Banyak di antara mereka yang menjadi ustad-ustad di masjid-masjid. Jadi yang tahu tentang Syiah itu hanya orang Syiah itu sendiri. Oleh sebab itu sebetulnya yang harus melakukan penelitian yaitu orang Syiah sendiri. Saya sudah meneliti juga, tapi tidak akan saya beritahukan berapa jumlah persis pengaut Syiah di Indonesia.

Daerah mana saja di Indonesia yang memiliki populasi penganut Syiah terbesar?

Kantong penganut Syiah berdasarkan rangking: nomor satu di Bandung atau Jawa Barat, nomor dua di Makassar, nomor tiga di Jakarta.
Kenapa selalu di Sampang yang terjadi konflik?
Karena di sana merupakan kantong Syiah terkecil. Karena orang umumnya berani kepada yang lemah. Coba kalau mereka menyerang Syiah di Bandung?
Berapa jumlah populasi penganut Syiah di Sampang sebagai kantong Syiah terkecil di Indonesia?
Sekitar 700 orang.
Apakah warga Syiah di Sampang harus direlokasi agar konflik tak lagi terjadi?
Tidak, karena begitu dilakukan relokasi, ada sebuah preseden. Nantinya seluruh orang Syiah akan diganggu dan disuruh pindah semua. Padahal itu hak mereka untuk tinggal di suatu tempat. Mengapa hanya karena perbedaan agama, mereka lantas harus direlokasi?
Relokasi adalah tahap kedua sebelum genosida, sebelum dibunuh. Paling tidak relokasi menunjukkan secara tegas bahwa they must not be here. Oleh karena itu kami akan anjurkan agar orang Syiah tidak boleh direlokasi. Mereka harus tetap tinggal di tempat mereka berada saat ini.
Apa solusi terdekat yang harus diambil atas konflik Sampang?
Pemerintah bertindak tegas. Pelaku kekerasan harus dihukum, siapa pun. Kalau tidak begitu, mereka tidak akan jera. Bayangkan seandainya ada sebuah perusahaan besar yang mau menggali minyak di daerah yang dihuni oleh orang-orang Syiah. Agar minyak bisa digali, sudah saja timbulkan konflik agama agar orang-orang Syiah direlokasi dari daerah itu. Pemerintah pun tidak perlu ganti rugi. Nah, kalau sampai terjadi seperti ini kan bisa repot urusannya.

Bagaimana cara penganut Syiah melakukan ibadah? Apakah secara terbuka atau tertutup?

Terbuka. Tapi umumnya kaum Syiah di Indonesia tidak punya masjid. Tidak ada kan masjid-masjid Syiah di sini. Banyak juga khatib-khatib Syiah yang berkhotbah di masjid-masjid Ahli Sunnah (Suni) tanpa diketahui bahwa mereka Syiah. Kami memang sengaja tidak membangun masjid-masjid. Kalau pun sekarang ada masjid orang Syiah di Jakarta, itu punya Iran yang ada di ICC (Islamic Cultural Center). Itu pun sebetulnya lebih sekedar sebagai tempat pertemuan saja.
Mengapa kami tidak membangun masjid? Saya memang menganjurkan kepada IJABI untuk tidak membangun masjid. Bukan karena kami tidak punya uang, tapi karena beberapa alasan. Satu, karena takut dibakar. Kedua, karena khawatir dianggap memprovokasi orang-orang. Kami lebih mencintai persatuan ketimbang masjid.
Ada sebuah lagu berjudul Using Things and Loving People dari BJ Thomas. Jadi kalau “things” itu kami “use”, kalau orang itu “we  love.” Jadi bukannya “we do not love masjid,” karena masjid itu “thing.” Yang kami cintai itu “people.” Maka daripada bertengkar, lebih baik kecintaan ini kami lebur, lebih baik kami tidak dirikan masjid dan kami bergabung dengan mereka.
Dengan banyaknya kesimpangsiuran tentang ajaran Syiah di masyarakat awam, apa yang sebenarnya ingin Anda luruskan tentang ajaran ini?
Saya minta bantuan media untuk menjernihkan masyarakat dari tuduhan-tuduhan palsu. Tapi masalahnya kan kadang masyarakat lebih percaya kepada berita-berita yang dibawa oleh para ulamanya. Jadi yang bisa kami sampaikan, tolonglah kalau ada berita atau opini tentang Syiah yang bersifat menghujat, jangan dimuat. Sebab umumnya hal tersebut berdasarkan fitnah, bukan data. Itu mungkin imbauan yang bisa kami sampaikan.
Bagaimana hubungan Syiah sendiri dengan pemerintah Indonesia?
Sebetulnya baik, paling tidak secara politis. Saya misalnya pernah dikirim Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai wakil Syiah untuk ke luar negeri. Kemudian bila Kementerian Luar Negeri mengirim perwakilan Syiah, saya juga yang dikirim. Artinya, Syiah sesungguhnya diakui. Kami punya organisasi yang diakui secara resmi oleh negara. Kami juga terdaftar di Kementerian Dalam Negeri.
Jadi secara politik, kami sama seperti kelompok-kelompok lain. Kami mempunyai hak yang sama sebagai Warga Negara Indonesia. Saya ingat, sekitar satu atau dua tahun lalu, pernah ada para ulama mengirim surat kepada Presiden untuk membubarkan Syiah. Surat itu mendarat dulu di Sekretariat Negara, kemudian Setneg memanggil kami. Kami memberi penjelasan tentang Syiah, dan alhamdulillah pihak pemerintah mendukung kami.
Tapi kenapa pemerintah saat ini lemah menyikapi konflik Sampang?
Mungkin pertanyaan kenapa pemerintah lemah bukan hanya dalam hubungan antara Sunni dengan Syiah, tapi dalam semua hal. Kelemahan pemerintah misalnya tampak ketika kadang kepentingan kelompok bisa mengambil alih kepentingan negara secara keseluruhan. Maaf, saya harus memberikan contoh, dan ini misalnya dalam kasus penggunaan isu SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan) dalam kampanye Pilkada DKI Jakarta.
Sebenarnya belum pernah dari dulu orang mengungkit masalah agama orang yang jadi gubernur. Tapi sekarang kok muncul? Kenapa bisa muncul begitu? Dan kenapa itu jadi menunjukkan negara lemah? Karena hal itu ternyata dibiarkan oleh pemerintah. Malah bukan hanya dibiarkan, tapi bahkan dibebaskan. Padahal ini akan menjadi preseden buruk ke depannya. Jadi boleh saja di kemudian hari kita menuding orang itu Cina, rasis, atau beragama seperti ini itu, karena bicara seperti itu tidak dianggap melanggar konstitusi.
Hubungan Syiah dengan Iran sebenarnya bagaimana?
Sebetulnya Syiah dengan Iran cuma punya hubungan ideologis. Iran negara Syiah, tapi sesungguhnya Iran hampir tidak pernah membantu orang-orang Syiah di Indonesia. Boleh tanya ke orang Syiah mana pun. Tidak ada bantuan Iran di sini.
Saya misalnya pernah protes ke Kedutaan Iran karena ketika saya mendirikan sekolah-sekolah di berbagai tempat, orang lantas memuji itu sebagai bantuan Iran, menyebut saya dapat bantuan dari Iran. Maka saya bilang ke Kedutaan Iran, saya yang susah-payah mengumpulkan uang untuk membangun sekolah, kamu yang dapat pujian, apa kamu tidak malu?
Sampai sekarang ini tidak ada bantuan Iran, kecuali bantuan-bantuan seperti buku atau seminar. Bantuan macam itu pun masih sering nombok, misalnya mereka kasih biaya Rp60 juta, ternyata biaya yang diperlukan Rp150 juta. IJABI sekarang mulai kapok juga bekerja sama Iran karena lebih sering rugi daripada untungnya.
Tapi secara ideologi, Syiah memang sama dengan Iran?
Ya, secara ideologi sama, yaitu mereka menganut paham agama Syiah Itsna Asyariyah (mempercayai 12 orang pemimpin, dengan pemimpin pertama adalah Ali bin Abi Thalib, dan pemimpin terakhir adalah Imam Mahdi Al-Munthazar atau Imam Mahdi yang Ditunggu untuk menghancurkan kezaliman dan menegakkan keadilan di bumi sebelum datangnya kiamat). Paham Syiah Itsna Asyariyah  itu dicantumkan dalam Undang Undang Iran.
Kami di sini juga menganut Syiah Itsna Asyariyah. Ada juga Syiah lainnya di Indonesia, yaitu Syiah Ismailiyah. Mereka ada di Bali dan Sulawesi, kebanyakan orang-orang keturunan India dan Pakistan. Yang membedakan Syiah Itsna Asyariyah dengan Syiah Ismailiyah adalah jumlah imamnya. Asyariyah imamnya ada 12, sedangkan imam Ismailiyah tidak terbatas. Asyariyah tidak punya imam-imam baru, dari dulu tetap 12, sementara imam Ismailiyah bisa berkembang sesuai perkembangan zaman.
Anda pernah mengatakan sikap Syiah berbeda dengan Ahmadiyah, karena jika pengikut Ahmadiyah diserang, maka membalas dengan senyuman. Namun ketika Syiah diserang, maka sewaktu-waktu akan melawan. Bisa dijabarkan?
Begini, kami melihat orang Ahmadiyah dibantai dan dipukuli dalam keadaan sudah tak mengenakan baju lagi. Tapi orang-orang Ahmadiyah menyambut mereka yang zalim itu dengan senyuman. Sementara Alquran mengizinkan kepada orang-orang yang diperangi untuk memerangi, to fight back. Jadi bukan untuk balas dendam, tapi untuk kami melindungi diri sendiri.
Masak kami diserang, diserbu, rumah dibakar, lalu kami tersenyum dan berkata “You are so good and so kind to me?” Selama ini saya menganjurkan kepada pengikut Syiah untuk tidak melakukan tindak kekerasan, kecuali kalau dalam keadaan terdesak. Seperti saat ini, ketika mereka mau dibunuh. Maka mereka terpaksa melawan. Kalau mereka tidak melawan, semua mati dong.
Tapi kami melarang mereka menyerang lebih dulu karena itu diharamkan. Sepanjang sejarah, belum pernah ada cerita tentang kaum Syiah yang menyerang Sunni, kecuali dalam dongeng-dongeng ulama di Sampang dan cerita para majelis ulama di televisi. Mereka bilang itu ada berdasarkan data di lapangan, tapi sesungguhnya itu hanya ada dalam imajinasi mereka.
Apa Anda selama ini pernah mendapat ancaman teror sebagai tokoh intelektual Syiah?
Saya sekarang ini berambut gondrong bukan karena ingin tampak lebih muda, tapi karena saya sedang membuat disertasi di Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar. UIN diprotes oleh serombongan orang karena saya orang Syiah. Mereka minta saya dipecat dari kandidat Doktor.
Mereka menuntut, kalau pihak UIN tidak mengharamkan Jalaludin Rakhmat sebagai kandidat Doktor, maka mereka akan menghalalkan darah saya. Saya diancam, kalau nanti saya ujian akhir Doktor, mereka akan menumpahkan darah saya. Tapi UIN mempertahankan saya karena mereka menentukan kandidat Doktor berdasarkan pertimbangan ilmiah, bukan berdasarkan mazhab. UIN Makassar menyatakan tidak apa-apa jika nanti mereka dipanggil polisi.
Disertasi saya soal “Pergeseran dari Sunnah Nabi kepada Sunnah Sahabat Nabi.” Maksudnya, kita kan beragama Islam berdasarkan sunnah Nabi. Padahal sebetulnya menurut hipotesis saya, yang kita jalankan bukan Sunnah Nabi, tapi sunnah Sahabat. Sunnah Nabi malah ditinggalkan. Itulah yang menimbulkan kemarahan beberapa ulama di sana yang tergabung dalam kelompok Wahdah Islamiyah.
Oleh karena itu mereka menuntut saya untuk dihukum mati. Mereka juga pernah melaporkan saya ke polisi untuk ditangkap, tapi tidak digubris. Saya sebenarnya bisa menuntuk balik karena mereka mengancam nyawa saya. Saya pernah dianjurkan oleh Menteri Koordinator Politik Hukum dan HAM untuk berhubungan dengan Mabes Polri supaya saya dapat perlindungan keamanan, karena ancaman kepada saya sudah riil.
Kompas juga waktu itu pernah memberitakan, pernah datang rombongan teroris dari Mindanao ke sebuah pesantren di Flores. Dikatakan mereka akan menyerang santri-santri Syiah dan membunuh tokoh-tokoh Syiah di Indonesia. Menurut berita lain, disebutkan nama-nama tokoh itu, antara lain Jalaludin Rakhmat.

Perlakuan diskriminasi seperti apa yang pernah diterima oleh orang-orang Syiah di Indonesia?

Macam-macam, bisa dikriminasi sosial, politik, maupun ekonomi. Diskriminasi sosial misalnya, ada kawan saya yang disuruh segera menceraikan istrinya karena diketahui bahwa dia Syiah. Ini baru terjadi dua minggu lalu. Terjadi hanya karena diketahui bahwa suaminya itu Syiah. Lalu banyak sekali keluarga saya yang bercerai karena dipaksa oleh tuntutan sosial. Ada juga yang mau menikah, tapi diminta segera dibatalkan.
Sementara diskriminasi ekonomi, bisa jadi ketika orang berdagang lalu diketahui dia Syiah, maka perdagangannya dibatalkan. Mengenai diskriminasi politik, saat ini banyak orang Syiah di lembaga legislatif. Sekiranya ketahuan Syiah, maka sudah pasti dipecat.


Relokasi Syiah Ala Priyo Ancam Persatuan Bangsa



Pernyataan Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso mengenai relokasi warga muslim Syiah di Sampang dinilai oleh pendiri Institut Kebajikan Publik dan aktivis change.org Usman Hamid sebagai bentuk ancaman terhadap persatuan bangsa. Pasalnya, relokasi terhadap warga negara apapun dalihnya melanggar norma hukum dan hak asasi manusia terntang perlindungan terhadap warga negara.
“Usulan Priyo (tentang relokasi) ini menunjukkan ketidaksiapan untuk hidup bersama sebagai sebuah bangsa di atas kaidah negara hukum. Ini (usulan relokasi) juga membuktikan rendahnya kesadaran berdemokrasi sekaligus ketidakmampuan dalam menjalankan konsekuensi memilih bentuk negara Kesatuan dan Republik. Jadi otomatis usulan relokasi Priyo itu mengancam persatuan bangsa yang dibangun dari tiga pilar tadi,” ujar Usman Hamid kepada wartawan di Jakarta, Selasa (11/9/2012).
Usman menjelaskan, para pendiri bangsa terlebih lagi Soekarno atau Bung Karno memilih dasar landasan yang di bangun dalam bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia karena tiga pilar yaitu persamaan hak pada warga yang setara dan sederajat (equal citizenship), negara hukum (rule of law), dan penghormatan atas martabat manusia (human dignity).
Pernyataan Priyo yang juga politisi Golkar tersebut, lanjutnya, justru bertolak belakang terhadap yang dibangun Bung Karno, pasalnya dalam ide relokasi warga muslim Syiah di Sampang menjurus pada keterlibatan negara untuk lebih jauh dalam mengeliminir hak warga Syiah, yang notabene rakyatnya sendiri.
Kemampuan dan cara pandang Priyo, terangnya, kurang lebih sama dengan Menteri Agama Suryadharma Ali. Kedua politisi tersebut menurut Usman sama sekali tak memakai norma hukum dan hak-hak asasi manusia tentang perlindungan warga yang jadi korban persekusi atas nama agama.
“Kira-kira metafora begini, bagi mereka jika ada binatang buas menyerang warga hingga tewas, maka warga harus dipindahkan, bukan binatang itu yg dikurung. Mereka tak berani mengurung binatang tersebut,” tambah Usman.
Dia menambahkan, logika relokasi ini perlahan memperkuat kekecewaan publik dalam berbagai hal, contohnya dapat dilihat dalam kasus korupsi. Jika ada serangan hukum KPK terhadap politisi Partai Politik atau birokrat Departemen Agama, terangnya, maka KPK harus dikurung.
Dia menjabarkan, logika dua politisi ini yaitu relokasi dan asimilasi adalah logika keliru. Dia menyarankan Priyo sebaiknya banyak belajar pada ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD yang menjelaskan bahwa relokasi termasuk pelanggaran konstitusi. “Priyo harus membaca baik-baik teks dan konteks Konstitusi agar mengerti maksud Ketua MK Mahfud MD yang menjabarkan relokasi termasuk pelanggaran terhadap konstitusi,” ujarnya.
Usman yang juga dewan pembina KontraS menjelaskan menurut kaidah konstitusi, baik nasional dan internasional, relokasi termasuk dalam bentuk kekerasan terhadap sekelompok warga tertentu atau persekusi. Relokasi menurutnya adalah unsur kejahatan terhadap kemanusiaan. Bila persekusi ditambah dengan relokasi, bahkan asimilasi, maka hal itu dapat mengarah pada kejahatan genosida, yang juga dapat diartikan negara makin dianggap melakukan pelanggaran HAM berat lewat kebijakannya.
Sebelumnya, Wakil Ketua DPR, Priyo Budi Santoso mengungkapkan warga muslim Syiah di Sampang boleh direlokasi di tempat lain. Sebab, masalah kasus Sampang murni urusan keluarga bukan permasalahan antara perbedaan mahzab Syiah dan Sunni.
“Jadi tolong diluruskan karena seolah ada konflik NU dengan Syiah atau antara Sunni dan Syiah ternyata tidak semengerikan yang kita sangka. Oleh karena itu rencana relokasi menurut pandangan saya silakan dilakukan karena inti masalah bukan gesekan antara Sunni dan Syiah tapi hanya motif perselisihan keluarga,” ujar Priyo di gedung DPR, Jakarta, Senin (10/9/2012).
Sedangkan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD yang juga tokoh masyarakat Sampang Madura menjelaskan usulan relokasi warga Syiah dari Sampang, Madura, bertentangan dengan konstitusi. Ia menegaskan, konstitusi menyebutkan, merelokasi warga di suatu negara termasuk dalam tindakan diskriminatif.
“Saya sangat tidak setuju relokasi (warga Syiah) karena itu bertentangan dengan konstitusi. Dalam konstitusi dikatakan, orang dapat memilih tempat tinggal dan tidak boleh dipindah (relokasi). Di mana pun orang bebas memilih tempat tinggal. Orang tidak boleh dipaksa relokasi,” kata Mahfud seusai mengisi acara Silaturahim Kompas Gramedia, di Jakarta, Kamis (6/9/2012) malam







0 comments to "ZIONISME mengadu domba SUNNI & SYI'AH --->TRAGEDI SAMPANG Madura-Indonesia LAGI !!!!! : “Kira-kira metafora begini, bagi mereka jika ada BINATANG BUAS menyerang WARGA hingga tewas, maka WARGA harus dipindahkan, bukan BINATANG itu yg dikurung. Mereka tak berani mengurung BINATANG tersebut”"

Leave a comment