Revolusi Asyura dan Peran Perempuan (Bagian 1)
Asyura merupakan peristiwa agung yang terjadi pada tahun 61 Hijriyah atau 680 M di Padang Karbala, Irak. Tragedi itu menjadi epik paling mengharukan, sekaligus kejadian paling abadi dalam lembaran sejarah Islam. Hingga kini, Asyura memiliki dimensi individu maupun sosial yang layak untuk dikaji dari berbagai sisi. Peristiwa Asyura juga menjadi sumber inspirasi dari gerakan revolusi besar dalam sejarah Islam. Peran Asyura bagi kehidupan umat Islam tidak diragukan lagi banyak berutang budi kepada Imam Husein as dan pengikutnya yang menumpahkan darah mereka demi membela agama.Ketika rencana keberangkatan Imam Husein as sampai ke telinga para wanita Bani Hasyim, mereka langsung menggelar sebuah pertemuan untuk mempelajari bentuk kontribusi yang bisa diberikan kepada sang pemimpin. Para wanita Bani Hasyim mengetahui bahwa Imam Husein as tidak akan kembali lagi ke kota Madinah dan mereka ingin meluapkan perasaannya dengan tangisan dan jeritan. Imam Husein as datang menemui mereka dan berkata, "Demi Allah, jangan kalian sebarkan berita ini karena akan melanggar perintah Allah dan Rasul-Nya."
Mendengar itu, para wanita Bani Hasyim menjawab, "Bagaimana kami tidak menangis, hari ini sama seperti hari kepergian Rasulullah, hari kesyahidan Ali dan Fathimah, dan juga seperti hari kematian Ruqayyah, Zainab, dan Ummu Kultsum, putri-putri Nabi. Wahai Husein, demi Allah, jadikan kami sebagai tebusan jiwamu dan jauhkan dirimu dari kematian, wahai kekasih orang-orang baik yang telah hilang dari kami."
Ucapan Husein as tidak membuat para wanita Bani Hasyim merasa tenang, mereka lalu pergi ke hadapan Ummu Hani dan berkata, "Wahai Ummu Hani, engkau masih duduk di sini, sementara Husein dan keluarganya akan pergi?" Ummu Hani berbegas mendekati Imam. Menyaksikan itu, Imam Husein as berkata, "Wahai bibiku, mengapa engkau terlihat begitu gelisah?" Ummu Hani menjawab, "Bagaimana aku tidak gelisah saat mendengar pemelihara anak-anak yatim dan terlantar akan pergi dari hadapanku?"
Pada saat itu, Ummu Hani dalam keadaan menangis menyebutkan keutamaan-keutamaan Imam as, "Husein memiliki wajah bercahaya dan warga meminta hujan dari langit dengan berkat parasnya. Dia adalah pelipur lara anak-anak yatim dan pengayom mereka yang terlantar. Dia berasal dari keluarga Bani Hasyim dan mengorbankan dirinya untuk orang lain. Kaum lemah memperoleh nikmat dan keutamaan darinya, dia adalah pribadi yang dicintai oleh Rasulullah."
Setelah mendengar itu, Imam Husein berkata, "Wahai bibiku, engkau tidak perlu khawatir karena apa yang sudah ditetapkan pasti akan terjadi. Musuh tidak akan menang menghadapi putra dari seorang pahlawan di medan perang." Akhirnya, para wanita Bani Hasyim menyertai Imam Husein as karena mereka mengetahui bahwa Islam dan umat hanya bisa diselamatkan dengan pengorbanan beliau.
Sejarah Islam senantiasa mencatat partisipasi kaum perempuan dalam bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Mereka memiliki peran besar untuk kemajuan masyarakat Islam sepanjang sejarah. Revolusi Karbala merupakan sebuah peristiwa penting dan eksklusif dalam sejarah Islam. Kebangkitan itu merupakan hasil dari perjuangan dan perlawanan kolektif antara kaum perempuan dan laki-laki pecinta Tuhan. Dengan kata lain, jika Islam dihidupkan kembali dengan kebangkitan Imam Husein, maka saham besar revolusi itu ada di tangan perempuan dan ini jarang ditemui dalam sejarah.
Laki-laki yang telah mengukir kisah heroik di Padang Karbala rata-rata adalah pribadi yang dibesarkan di pangkuan perempuan-perempuan berani, beriman, dan bertakwa. Mereka mempersembahkan para ksatria kepada masyarakat Islam. Partisipasi kaum pria di peristiwa agung itu harus dilihat sebagai bagian dari pengorbanan dan kearifan kaum perempuan. Kesabaran dan ketangguhan perempuan di kafilah Imam Husein termasuk di antara peran efektif mereka dalam mengobarkan api perjuangan dan melestarikan nilai-nilai Asyura. Peran itu sudah dimulai sebelum peristiwa Asyura dengan mendorong suami dan putra-putra mereka untuk bergabung dengan kafilah Imam Husein. Setelah itu, mereka juga melanjutkan perannya dengan menyebarkan pesan-pesan Asyura ke seluruh penjuru negeri Islam.
Perempuan-perempuan Karbala membuktikan bahwa tugas sosial tidak hanya milik kaum laki-laki. Setiap kali ada seruan untuk membela agama dan menegakkan kebenaran, maka setiap individu berkewajiban untuk memainkan perannya. Namun demikian, Islam tidak mewajibkan perempuan untuk hadir di medan tempur dan jihad. Di Padang Karbala, Imam Husein as bahkan melarang perempuan untuk terlibat di medan perang. Oleh karena itu, perempuan tidak ikut berperang di hari Asyura. Hanya dua perempuan yang memaksa pergi ke garis depan dan Imam Husein as mengembalikan mereka ke kemah. Peran utama kaum perempuan di Karbala adalah menyampaikan pesan kebangkitan itu kepada dunia.
Secara umum, peran perempuan dalam kebangkitan Karbala dapat dikaji dalam tiga bagian; partisipasi mereka sebelum hari Asyura, peran mereka pada hari Asyura, dan peran mereka sebagai pembawa pesan-pesan kebangkitan Imam Husein as kepada masyarakat. Istri Zuhair bin al-Qain, termasuk di antara perempuan yang mendorong suaminya untuk bergabung dengan kafilah Imam Husein as. Saat Imam Husein as meninggalkan Madinah, Zuhair bin al-Qain tak berpikir untuk menyertainya dan tidak pula tertarik ikut dalam rombongan cucu Nabi itu. Tapi di dalam hatinya ada sesuatu yang sangat mengganggu.
Ia terus memikirkan apa yang bakal dialami Imam Husein as setelah meninggalkan Madinah. Kegelisahan seakan tak mau melepaskan dirinya. Untuk itulah, ia memilih untuk membawa serta keluarga dan rombongannya meninggalkan Madinah. Setiap kali rombongan Imam berhenti di satu tempat, ia juga menghentikan langkah dan mendirikan kemah agak jauh dari posisi Imam Husein as. Ketika Imam dan rombongannya bergerak melanjutkan perjalanan, Zuhair pun melangkah mengikuti dari kejauhan. Mentari sudah sampai di ketinggian. Rombongan Imam berhenti. Zuhair sudah tiba terlebih dahulu di tempat itu. Kemah pun sudah ia dirikan. Imam bertanya kepada sahabat-sahabatnya, kemah siapakah itu? Mereka menjawab, kemah itu milik Zuhair bin al-Qain.
Imam Husein as lalu berkata, "Siapakah di antara kalian yang siap menyampaikan pesanku untuknya?" Salah seorang sahabat Imam menyatakan kesiapannya untuk melaksanakan tugas itu. Kepadanya Imam berkata, "Semoga Allah mengganjarmu dengan kebaikan. Sampaikan salamku kepada Zuhair dan katakan kepadanya, putra Fathimah memintanya untuk bergabung."
Menerima pesan itu, hati Zuhair terguncang. Ia harus segera mengakhiri keragu-raguan yang selama ini menghantuinya. Hanya ada dua pilihan, tetap hidup atau mengikuti Imam Husein. Zuhair tenggelam dalam pikiran. Mendadak, ia dikejutkan oleh suara istrinya yang menyuruhnya untuk memenuhi panggilan putra Fathimah. "Zuhair! Pergi dan temuilah Husein. Dengarkanlah apa yang hendak ia katakan. Jika kau tak puas dengan kata-katanya kembalilah," kata sang istri.
Kata-kata itu bagai petir yang menyambar hati Zuhair. Ia bangkit dan segera meninggalkan kemahnya untuk menemui Imam Husein as. Zuhair belum tiba di kemah cucu Nabi itu, ketika Husein sudah menantinya di luar. Saat keduanya bertemu, Imam Husein as memeluknya dengan erat seakan bertemu lagi dengan kawan dekat yang sekian lama tak dijumpainya. Tatap mata Husein menghangatkan wujud dan jiwa Zuhair. Kini ia telah memutuskan dan yakin dengan keputusannya untuk menyertai Husein, putra Fathimah.
Zuhair kembali ke kemah dan menemui istrinya. Dia berkata, "Aku akan menyertai Husein. Aku merasakan cinta yang menyelimuti seluruh wujudku. Kau adalah istri yang selama ini selalu setia kepadaku. Aku memuji kesabaranmu. Tapi kini aku harus pergi dalam sebuah perjalanan yang penuh bahaya. Kupersilahkan kau untuk meninggalkanku." Sang istri terkejut mendengar penuturan suaminya dan menjawab, "Akulah yang menyuruhmu untuk menemui Husein dan mengikutinya. Sekarang, ketika kau memutuskan untuk memenuhi panggilan putra Fathimah, aku pun akan menyertaimu." Akhirnya Zuhair dan istrinya bergabung dengan rombongan Imam Husein as.(IRIB Indonesia)
Revolusi Asyura dan Peran Perempuan (Bagian 2)
Karbala meskipun sebuah padang tandus dan tak bertuan, namun kisah heroik terlukis dengan darah suci di bumi itu. Di sanalah terpahat seluruh nilai-nilai luhur agama mulai dari akhlak, keimanan, dan kepemimpinan hingga shalat, amar makruf dan nahi munkar, kesabaran, cinta dan pengorbanan. Para pahlawan Asyura meski jumlah mereka sedikit, tapi mereka adalah paduan dari berbagai lapisan mulai dari bayi yang masih menyusui, anak-anak, remaja, pemuda, orang tua hingga pasangan suami istri. Mereka semua datang untuk membela kebenaran dan menegakkan ajaran agama di bawah kepemimpinan cucu baginda Nabi Saw, Imam Husein as.
Di tengah berbagai dimensi luas peristiwa Asyura, Sang Pencipta memberi ruang khusus kepada perempuan sehingga mereka bisa menampilkan seluruh potensinya dalam memikul tanggung jawab besar dengan cara terbaik dan mengajarkan orang lain bagaimana membela kebenaran. Di Padang Karbala, perempuan – meski harus kehilangan orang-orang yang mereka cintai – memainkan berbagai peran sebagai istri, ibu, dan kakak dengan bentuk terbaik. Mereka ingin kaum perempuan generasi mendatang mampu menolak perlakuan tidak adil melalui gerakan spiritualitas, resistensi, dan pengorbanan di berbagai bidang serta mempersembahkan ide-ide baru kepada dunia.
Para srikandi Karbala membuktikan kepada dunia bahwa mereka bertindak dengan penuh wawasan, pengetahuan, dan emosional. Hal ini berbeda dengan apa yang dituduhkan oleh para pembela hak-hak kaum perempuan, sebuah makhluk yang tidak realistis dan menutup diri dari problema sosial dan politik. Peristiwa Asyura merupakan sebuah kisah seorang srikandi yang selain tidak membutuhkan pengayom dan pelindung, tapi dia sendiri tampil sebagai pengayom dan penolong terbaik bagi para sahabat Imam Husein as. Mental seperti ini muncul dari iman, kearifan dan rasa tanggung jawab mereka.
Di Sahara Nainawa dalam pertempuran antara hak dan batil, kaum perempuan tampil untuk membela keluarga Nabi Saw dan melukiskan kisah heroik yang dikenang sepanjang masa. Beberapa ibu yang hadir di Karbala, dengan penuh cinta memakaikan pakaian perang kepada putra-putra mereka, lalu menyaksikan bagaimana putra mereka bertarung membela agama Allah Swt. Saat musuh melempar kepala-kelapa putra mereka yang telah dipenggal, ibu-ibu tersebut datang menyambut dan mengusap wajah anaknya yang bersimbah darah. Mereka menegaskan apa yang telah dikorbankan di jalan Allah Swt, tidak akan diambil kembali. Ucapan mereka membuat musuh takjub sekaligus ketakutan. Di antara perempuan yang gagah berani itu, ada tiga orang yang termasuk istri-istri sahabat Nabi Saw.
Amr bin Junadah al-Anshari, seorang pemuda dan gagah berani. Tak lama setelah ia melepas kepergian ayahnya, Junadah bin Kaab al-Anshari di Karbala, ia berniat menghibur dan menenangkan hati ibunya. Namun ibunya berkata, "Wahai putraku, bangkitlah dari sisiku dan pergi ke medan perang, berjihadlah melawan musuh-musuh putra Nabi dan bantulah Husein." Amr bangkit dan ingin bergegas ke medan tempur. Menyaksikan itu, Imam Husein as berkata, "Ayahnya baru saja gugur syahid. Kepergian pemuda itu mungkin akan membuat ibunya terpukul. Suruh dia kembali ke kemah."
Amr bin Junadah menjawab, "Ibukulah yang memerintahkan aku untuk bertempur bahkan dia sendiri yang memakaikan pakaian perang ini padaku. Kini, izinkanlah aku untuk mempersembahkan pengorbanan demimu, wahai putra Rasul." Amr maju bagai seorang kesatria. Sambil menari-narikan pedangnya, dia bersenandung, "Tuanku adalah Husein, sungguh dialah sebaik-baik pemimpin, Husein buah hati Rasul, dialah putra Ali dan Fathimah, Adakah seorang pemimpin yang seperti dia? Dengan wajah bagai mentari dan dahi bagai purnama?"
Tak lama, Amr roboh bersimbah darah setelah menunjukkan kesetiaannya kepada putra Fathimah as. Pasukan Kufah yang kesetanan memenggal kepala pemuda belia itu dan melemparkannya ke perkemahan Imam Husein as. Ibu Amr bin Junadah maju memungut dan mendekap kepala anaknya seraya berkata, "Selamat untukmu wahai buah hatiku." Tanpa diduga, sang ibu melemparkan kepala itu ke arah musuh dan berteriak, "Apa yang telah kupersembahkan di jalan Allah, tidak akan kuambil kembali." Wanita itupun maju ke medan tempur dengan bersenjatakan sebatang kayu sambil berkata, "Memang aku wanita tua yang lemah. Kekuatan dan kepintaranku telah lenyap sedang tubuhku juga semakin layu. Aku bersumpah untuk memukul kalian sekuat tenaga demi membela anak-anak Fathimah." Imam Husein mengembalikan Ibu Amr bin Junadah ke kemah. Sebab beliau tidak mengizinkan seorang wanita pun terjun ke medan tempur.
Musuh yang berjumlah ribuan orang mulai mempersempit gerakan pasukan Imam Husein as yang hanya 72 orang. Satu-satu sahabat Imam gugur syahid di medan tempur dan dari dalam barisan pasukan Imam Husein as, Abdullah bin Umair al-Kalbi yang dikenal pemberani, dan jawara di medan laga serta memiliki postur tubuh yang tinggi dan tegap datang menghadap Imam dan meminta izin untuk berduel. Imam mengizinkan dan berkata, "Dia adalah prajurit yang mahir di medan laga."
Setelah sekian lama bertarung di medan laga, Abdullah kembali ke kemah Imam Husein as. Kedatangan Abdullah disambut oleh istrinya yang lantas mendorongnya untuk kembali ke medan perang. Istrinya berkata, "Abdullah, kembalilah ke medan dan korbankanlah dirimu untuk manusia suci dan anak Rasul ini. Demi Allah tak akan kubiarkan engkau gugur sendirian. Aku akan bersamamu menyongsong syahadah."
Kepada Imam Husein as, Abdullah berkata, "Ya Abu Abdillah, perintahkanlah istriku supaya kembali ke kemah." Imam memerintahkan istri Abdullah untuk kembali dan mengatakan, "Allah membalas jasa baik kalian yang telah membela keluarga Nabi-Nya. Ummu Wahb, kembalilah ke kemah, sebab Allah tidak memerintahkan wanita untuk berperang."
Syimr bin Dzil Jausyan dan beberapa orang prajurit Kufah menyerang perkemahan Imam Husein as. Abdullah bin Umair al-Kalbi datang menghadang laju mereka. Dengan semangat tinggi dan jiwa kepahlawanan, sahabat Imam Husein as itu menari-narikan pedangnya. Beberapa orang roboh terkena sabetan pedang Abdullah yang menyambar-nyambar bagai petir. Namun tak lama kemudian, pedang Hani Shabiy al-Hadhrami berhasil memisahkan tangan kanan Abdullah dari badannya. Ketangkasan Ibnu Umair mulai mengendur. Mendadak sebuah sabetan pedang merobohkan sahabat Imam Husein itu. Abdullah gugur sebagai syahid.
Dengan tergopoh-gopoh, istri Abdullah datang dan memangku tubuh tak bernyawa itu sambil membersihkan darah yang membasahi wajahnya. Kepada suaminya, sang istri berkata, "Berbahagialah, karena engkau kini telah terbang ke surga sana. Aku berharap Tuhan juga memberiku tempat di surga bersamamu." Adegan itu disaksikan oleh Syimr. Dia segera memanggil budaknya dan memerintahkannya untuk menghabisi Ummu Wahb, istri Abdullah. Sang budak yang berhati batu itu melaksanakan perintah tuannya. Tanah Karbala kembali dibasahi oleh darah manusia suci, pembela keluarga Nabi. Pembantaian itu sekaligus menobatkan Ummu Wahb sebagai wanita pertama yang syahid dalam tragedi Karbala.
Spirit perjuangan dan pengorbanan perempuan di Padang Karbala merupakan pelajaran-pelajaran penting Asyura. Mereka mengetahui bahwa Imam Husein as adalah manifestasi dari kebenaran dan keadilan, sementara Yazid bin Muawiyah adalah simbol kebatilan. Kebatilan mungkin saja memiliki kekuatan dan memberangus para pengikut kebenaran, namun cita-cita para penegak dan pencari kebenaran tidak akan pernah padam. Kebenaran akan selalu hidup dan menang sepanjang sejarah. Srikandi-srikandi Karbala bangga bisa hadir membela Imam Husein as dan mempersembahkan pengorbanan tak berarti demi tegaknya kebenaran dan agama Allah Swt. (IRIB Indonesia)
Revolusi Asyura dan Peran Perempuan (Bagian 3)
Asyura merupakan pancaran mata air yang akan terus mengalir menyirami setiap generasi umat manusia. Dalam revolusi agung ini, peran kaum perempuan yang dibarengi dengan pemahaman dan rasa tanggung jawab termasuk faktor-faktor penting keabadian peristiwa Asyura. Pemahaman agama yang baik dan kecintaan kepada Ahlul Bait Nabi as termasuk di antara karakteristik perempuan-perempuan Padang Karbala. Mereka telah menafsirkan ungkapan-ungkapan cinta, pengorbanan, kesabaran, dan perlawanan dalam membela dan melindungi cucu baginda Rasul Saw, Imam Husein as.
Mereka adalah wanita-wanita pengukir sejarah, meskipun jiwa mereka dipenuhi oleh cinta dan kasih sayang kepada anak-anak dan suami, tapi mereka mampu mengalahkan perasaannya demi membela agama dan nilai-nilai yang diperjuangkan oleh kekasih Allah Swt. Menurut para skrikandi Karbala, tugas seorang Muslim adalah kearifan dalam beragama, pengenalan mendalam tentang Ahlul Bait as, dan cinta kepada mereka. Dalam surat ash-Shura ayat 23, Allah Swt berfirman, "Katakanlah, Aku tidak meminta kepadamu sesuatu upah pun atas seruanku kecuali kecintaan dalam kekeluargaan."
Salah satu keistimewaan yang dimiliki oleh para sahabat dan pembela Imam Husein as adalah makrifat dan spiritualitas yang menyatu dalam jiwa mereka. Mereka menjunjung tinggi nilai-nilai etika dan kemanusiaan, fenomena yang jarang ada padanannya dalam sejarah. Pada malam kesepuluh bulan Muharram, Imam Husein as mengumpulkan semua anggota kafilah dan memberi mereka pilihan untuk pergi atau tetap tinggal bersama beliau. Imam berkata, "Wahai para sahabatku! Siapa saja yang tetap tinggal bersamaku dan berperang melawan musuh, maka ia akan terbunuh... Kalian bebas untuk mengambil keputusan. Kalian bisa pergi dan tidak ada seorang pun yang menahan kalian..." Air mata nampak membasahi wajah-wajah penuh kerinduan itu di tengah malam yang membisu.
Namun, para wanita yang hadir di Karbala meminta suami dan putra-putra mereka untuk selalu bersama Imam Husein as dan keluarganya. Ketika istri Junadah bin Kaab Al-ansari menyaksikan jumlah pasukan musuh, ia berkata, "Meski aku sudah tua dan lemah, tapi dengan pukulan keras, aku akan menghancurkan kalian dan membela putra Fathimah."
Peristiwa Asyura merupakan sebuah peristiwa penting, dimana perempuan dan laki-laki sama-sama melakoni peran masing-masing dengan sempurna. Muslim patut berbangga diri karena Islam telah memberikan hak-hak kemanusiaan perempuan berdasarkan fitrah dan watak mereka, jauh sebelum munculnya mazhab-mazhab baru yang mendewakan hak asasi manusia. Dalam sejarah Islam, kita menemukan wanita-wanita dimana Rasul Saw telah berupaya maksimal untuk meningkatkan pengetahuan dan budaya mereka. Rasulullah Saw mendatangkan pengajar ke rumahnya dan kadang juga membawa beberapa wanita bersama putrinya untuk mengobati tentara Islam yang terluka di medan perang.
Parapengganti beliau juga berupaya maksimal untuk pendidikan dan pengajaran kaum perempuan. Kerja keras mereka telah melahirkan para wanita yang rela berkorban dan menjadi teladan di tengah masyarakat. Hasil dari jihad pendidikan itu dapat ditemukan di tengah wanita-wanita Padang Karbala. Beberapa wanita yang hadir di Karbala adalah putri Imam Ali bin Abi Thalib as seperti, Sayidah Zainab as, Ummu Kultsum, Fathimah, dan Safiyyah. Selain itu, putri-putri Imam Husein as yaitu, Fathimah, Sukainah, dan Ruqayyah, serta Rubab, istri Imam dan Atikah, istri Imam Hasan as juga hadir di sana.
Sayidah Zainab adalah putri tertua Imam Ali as dan Sayidah Fathimah as. Saat pertama kali Rasul Saw menggendong dan mencium Zainab, beliau berkata "Aku mewasiatkan kepada kalian semua agar memuliakan anak perempuan ini, karena ia sama seperti Sayidah Khadijah as." Sejarah menjadi bukti bahwa Sayidah Zainab as sama seperti Sayidah Khadijah yang menanggung banyak kesulitan demi memperjuangkan Islam. Dengan kesabaran dan pengorbanannya, ia mempersiapkan sarana demi pertumbuhan dan kesempurnaan agama ini. Sayidah Zainab as mengikuti perjalanan bersejarah Imam Husein as dari kota Madinah hingga Karbala dan bangkit menghadapi Yazid bin Muawiyah, penguasa zalim dan korup.
Pada malam Asyura setelah semua yakin bahwa perang melawan kebatilan akan pecah dan para sahabat Imam as satu demi satu menyatakan kesetiaan mereka, Sayidah Zainab as merasa lega dan menemui kakaknya sambil tersenyum. Imam Husein as berkata, "Hai saudariku! Sejak kita bergerak dari Madinah, aku sama sekali tidak melihat engkau tersenyum. Sekarang ada gerangan apa hingga engkau tampak gembira?" Sayidah Zainab as hanya menyinggung kesetiaan dan ketulusan para sahabat abangnya itu. Kemudian Imam as kembali berkata, "Wahai Saudariku! Ketahuilah bahwa orang-orang yang ada di sisiku, mereka adalah para sahabat dan pembela setiaku. Kakekku, Rasulullah telah memberi kabar kepadaku tentang kesetiaan dan kecintaan mereka."
Selain menyaksikan saudara-saudaranya gugur syahdi dalam membela Islam, Sayidah Zainab juga mengirim putra-putranya untuk membela Imam Husein as di medan perang. Pada hari Asyura, Sayidah Zainab as memakaikan pakaian baru kepada anak-anaknya, ‘Aun dan Muhammad. Beliau kemudian membersihkan tubuh anak-anaknya dari debu dan kotoran, lalu memberikan sepasang pedang kepada keduanya yang menunjukkan mereka siap untuk jihad. Kemudian beliau membawa keduanya ke hadapan Imam Husein as dan meminta izin agar Imam membolehkan keduanya pergi ke medan perang. Tapi Imam Husein as tidak mengizinkan keduanya pergi ke medan perang. Sayidah Zainab as memaksa beliau agar mengizinkan keduanya. Akhirnya, Imam Husein as mengizinkan mereka pergi ke medan tempur.
Kedua anak Sayidah Zainab as melangkah dengan tegar menuju medan tempur dan setelah bertarung dengan gagah berani, keduanya akhirnya gugur syahid. Imam Husein as mendekati jasad dua remaja itu dan memeluknya lalu menggendong keduanya ke perkemahan. Para perempuan yang ada keluar menyambut jasad anak-anak Sayidah Zainab as. Biasanya, setiap kali ada yang syahid dan dibawa kembali ke tenda, maka Sayidah Zainab as adalah yang pertama menjemputnya. Namun, kali ini beliau tidak terlihat menyongsong jasad kedua anaknya. Beliau tidak keluar dari kemahnya. Sayidah Zainab as tidak keluar khawatir air matanya menetes menyaksikan jasad dua anaknya dan tidak dapat menahan diri. Sayidah Zainab as tidak ingin pahala kedua anaknya berkurang dan di sisi lain, beliau juga tidak ingin Imam Husein as melihatnya dalam kondisi sedih dan merasa malu atau tidak dapat menjawab pandangan matanya. Itulah mengapa Sayidah Zainab as memilih untuk tetap tinggal di dalam kemahnya.
Pertempuran tak seimbang pecah pada sore hari Asyura. Mentari kesucian telah tercabik-cabik di antara jasad-jasad para syuhada Karbala. Luka besar semakin menyesakkan Zainab, namun ia tahu bahwa setelah kepergian Husein, ia harus berada di samping Imam Sajjad as dan memimpin kafilah Karbala. Sekarang, Zainab memikul tugas yang jauh lebih besar yaitu menjadi penyambung lisan Imam Husein as dan penyampai nilai-nilai suci yang diperjuangkan oleh para syuhada. Sayidah Zainab as di puncak kesulitan dan penderitaan setelah syahadah saudara dan orang-orang tercintanya masih tetap tegar dan derajat kesabaran, keberanian, dan tawakkalnya kepada Allah Swt didemonstrasikan dengan indah.
Di hadapan para pemimpin zalim dan haus darah Dinasti Umayyah, Sayidah Zainab as berdiri dan tanpa takut mengecam sikap mereka serta membela kebenaran Ahlul Bait Nabi Muhammad Saw. Beliau menilai Imam Husein as dan sahabat-sahabatnya sebagai pemenang. Pidatonya yang lugas, fasih dan mematikan di istana Yazid begitu mempengaruhi hadirin yang membuat mereka kembali mengenang ayahnya Imam Ali as.
Sayidah Zainab as pernah mendengar dari ayahnya Imam Ali as bahwa "Manusia tidak akan pernah mampu mengenal hakikat iman tanpa memiliki tiga hal dalam dirinya; pengetahuan akan agama, kesabaran di tengah kesulitan dan pengelolaan yang baik urusan kehidupannya." Wanita mulia ini menerima tanggung jawab berat dan sulit, namun kesabarannya seperti permata yang menghiasi jiwanya. (IRIB Indonesia)
Revolusi Asyura dan Peran Perempuan (Bagian 4)
Revolusi Asyura memiliki dua fase dan fase pertamanya adalah perang dan jihad, sementara tahap berikutnya adalah dakwah dan penyadaran. Jika kebangkitan Imam Husein as hanya terbatas pada satu fase, pemerintah Yazid dengan segala sarana yang dimilikinya, dengan mudah bisa mendistorsi esensi revolusi Asyura untuk kepentingan-kepentingannya dan menutupi kejahatannya di mata publik.
Bani Umayyah memperkenalkan Imam Husein as dan para penentang mereka sebagai orang-orang yang tidak beragama, pecinta dunia, dan pengacau, namun para penyambung lisan Imam Husein as mampu menjelaskan kebenaran kebangkitan itu kepada masyarakat dan menghancurkan kekuasaan Yazid.
Gerakan kafilah tawanan dari Karbala ke Kufah dan kemudian ke Syam, memiliki peran penting dalam menyampaikan pesan-pesan suci Asyura. Meski harus memikul penderitaan dan duka, para srikandi Karbala mampu menggagalkan tipu daya musuh dan mencerahkan masyarakat. Para tawanan mampu memberi pencerahan kepada masyarakat bahwa apa yang disebut Islam di tengah mereka sungguh berbeda jauh dengan Islam murni dan ajaran-ajaran Rasul Saw. Dan orang yang sesungguhnya menebarkan kerusakan dan kemaksiatan di tengah umat adalah pemerintahan Yazid.
Di antara para pahlawan Nainawa, Ahlul Bait Nabi as sebagai poros utama gerakan itu telah memainkan peran gemilang. Dakwah para tawanan Karbala, khususnya Sayidah Zainab as di sepanjang perjalanan mereka berperan penting dalam mensukseskan kebangkitan Imam as. Para skrikandi Ahlul Bait as tak pernah berhenti memperkenalkan Imam Husein as dan menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi di Padang Karbala. Masyarakat yang awalnya datang untuk menyaksikan para tawanan perang, kini tak kuasa menahan tangis dan menyesali apa yang telah mereka lakukan terhadap keluarga Nabi as. Para pahlawan Karbala menanggung semua derita demi kemuliaan, harga diri, dan wibawa.
Tatkala para tawanan melintasi kota Kufah, warga ingin memberi kurma dan roti kepada bocah-bocah yatim Karbala. Namun, Ummu Kultsum, saudari Imam Husein as berteriak lantang, "Hai warga Kufah! Haram bagi kami menerima sedekah." Dengan begitu, semua mulai mengetahui bahwa mereka adalah Ahlul Bait Nabi as yang diharamkan menerima sedekah.
Fathimah, salah satu putri Imam Husein as, dengan fasih menjelaskan tujuan-tujuan kebangkitan sang ayah. Sebuah tujuan yang telah ditulis dalam wasiatnya kepada Muhammad Hanafiah bahwa "Aku tidak keluar atas dasar kepentingan pribadi dan ingin berfoya-foya atau dengan tujuan ingin merusak dan berbuat kezaliman. Aku keluar dengan tujuan untuk melakukan perbaikan di tubuh umat kakekku. Aku ingin melaksanakan kewajiban amar maaruf dan nahi munkar dan demi menegakkan sirah kakek dan ayahku, Ali bin Abi Thalib as."
Kemudian Ummu Kultsum binti Ali as berpidato dari belakang tabir yang menutupinya dan berkata, "Tahukah kalian siapakah orang-orang yang memperdaya kalian? Dosa apakah yang kalian pikul di pundak kalian? Darah siapakah yang kalian tumpahkan? Siapakah wanita mulia yang kalian zalimi? Siapakah putri kecil yang kalian rampok? Harta apakah yang kalian rampas? Kalian telah membunuh sebaik-baik lelaki setelah Rasulullah Saw. Rasa belas kasihan telah sirna dari hati kalian. Ingatlah bahwa tentara Allah akan menang dan tentara setan akan merugi !"
Perawi berkata, "Orang-orang riuh dengan tangisan, raungan dan ratapan. Para wanita menguraikan rambut mereka, menaburkan pasir di kepala, memukuli wajah, menampar pipi dan mengeluarkan kutukan dan laknat atas para durjana. Sedangkan para lelaki menangis dan menarik-narik janggut mereka. Demi Allah, aku tak pernah menyaksikan orang sebanyak itu menangis bersama-sama."
Ketika rombongan tawanan tiba di istana Yazid di Syam, kepala suci al-Husain as di bawa ke hadapan Yazid bersama dengan para wanita tawanan dan anak-anak mereka. Saat itu, Zainab binti Ali as duduk dengan wajah yang sulit dikenali. Yazid bertanya, "Siapakah dia ?" Terdengar jawaban, "Dia adalah Zainab binti Ali." Yazid berpaling kepadanya dan berkata, "Puji syukur kepada Allah yang telah mempermalukan kalian dan membuka kedok kebohongan kalian!" Zainab menjawab, "Yang sebenarnya dipermalukan adalah orang fasik dan yang mempunyai kebohongan adalah para pendosa, bukan kami."
Yazid kemudian menyahut, "Bagaimana pendapatmu tentang apa yang telah Allah lakukan terhadap saudara dan keluargamu ?" Zainab dengan lantang menjawab, "Aku tidak melihat ketentuan Allah kecuali keindahan. Mereka adalah sekelompok orang yang telah ditakdirkan oleh Allah untuk mati terbunuh. Mereka pun bergegas menuju kematian itu. Allah kelak akan mempertemukanmu dengan mereka. Kelak kau akan dihujani pertanyaan dan disudutkan. Lihatlah! Siapa pemenang di hari itu! Semoga ibumu memakimu, hai anak Marjanah!"
Para perawi juga mengisahkan Sayidah Ruqayyah, putri kecil Imam Husein as. Ia terbangun di tengah malam dan menangis karena rindu sang ayah. Suara tangisan dan jerintannya sampai ke telinga Yazid. Setelah bertanya kepada para pengawalnya, Yazid memerintahkan mereka untuk membawa kepala Imam Husein as kepada putrinya itu. Awalnya, Sayidah Ruqayyah yang masih mungil ketakutan menyaksikan itu. Namun setelah yakin bahwa itu adalah kepala ayahnya, ia memeluk erat kepala itu dan kemudian meninggal dunia sambil mendekap sang ayah.
Pada masa itu, Sayidah Ruqayyah meski belum memiliki kekuatan untuk membela diri dan berpidato, tapi kini makam wanita mulia itu di Damaskus, Suriah menjadi tempat ziarah yang dikunjungi ribuan orang. Makam suci itu telah mengabadikan peristiwa Karbala dengan caranya sendiri dan menarik semua jiwa ke arahnya serta membangkitkan kebencian kepada Dinasti Umayyah. Makam putri Imam Husein as telah menjadi pelipur lara bagi bocah-bocah yatim yang kehilangan tempat bermanja.
Di pihak lain, Ummu Rubab, istri Imam Husein as adalah perempuan mulia, beriman, dan rela berkorban demi membela agama Allah Swt. Dalam perjalanan ke Karbala, Ummu Rubab senantiasa menyertai dan mendampingi Imam Husein as. Ia memikul semua beban perjalanan panjang dengan penuh cinta dan setia. Ummu Rubab adalah simbol cinta, kesetiaan, ketulusan, dan pengorbanan. Ia bersama para srikandi Karbala lainnya juga aktif menyebarkan pesan-pesan kebangkitan sang suami tercinta. Di istana Yazid, Ummu Rubab mencium kepala Imam Husein as dan meletakkan di pangkuannya seraya berkata, "Aku tidak akan pernah melupakanmu wahai Husein. Musuh-musuh telah menghujani tombak pada tubuhmu dan membiarkan jasadmu tergelatak di atas tanah."
Sekitar 14 abad sudah berlalu dari tragedi Karbala. Namun sampai saat ini, peristiwa agung itu tetap mengilhami kebangkitan kaum tertindas dan para pejuang kebenaran. Tak syak bahwa kebangkitan Islam yang kita saksikan saat ini di berbagai belahan dunia Islam terinspirasi oleh gerakan Imam Husein as di Karbala. Bagi pihak musuh, apa yang dilakukan para srikandi Karbala ini terkesan kecil dan remeh. Namun tanpa mereka sadari, kesan yang ditimbulkannya sangat besar dan berhasil melahirkan gelombang penentangan terhadap kekuasaan Bani Umayyah.
Para skrikandi Karbala ini menerima tanggung jawab berat dan sulit, namun kesabaran mereka seperti permata yang menghiasi jiwanya. Bagi Sayidah Zainab as sendiri, ketegaran di jalan kebenaran dan pengorbanan di jalan Allah Swt senantiasa indah. Demikianlah setelah peristiwa Asyura, Sayidah Zainab as berkata, "Aku tidak menyaksikan sesuatu kecuali keindahan." (IRIB Indonesia)
Revolusi Asyura dan Peran Perempuan (Bagian 5)
Sepanjang sejarah kaum perempuan senantiasa menampakkan perannya dalam dua arena; kebenaran dan kebatilan, keimanan dan kekufuran, kebaikan dan keburukan. Kaum perempuan penjunjung akhlak, spiritual, kemuliaan dan kesucian dengan pengetahuan dan tanggung jawabnya telah menjamin kebahagiaan masyarakat. Sebaliknya kaum perempuan yang mengabaikan naluri kemanusiaannya, mereka cenderung pada kemungkaran dan kehancuran.
Al-Quran telah menggambarkan sejumlah perempuan baik-baik dan buruk untuk menjadi pelajaran dan contoh bagi yang lainnya. Kitab ilahi ini telah mengenalkan perempuan-perempuan bertakwa yang terkenal seperti Maryam, Asiyah istri Firaun dimana keduanya adalah sumber perubahan-perubahan positif. Al-Quran juga mengenalkan perempuan-perempuan seperti istri Nabi Luth dan Nabi Nuh as. Pemikiran dan perbuatannya bertentangan dengan suaminya yang mengakibatkan jatuhnya keutamaan manusia termasuk dirinya dan orang lain.
Tentunya karakter dan watak perempuan sama seperti laki-laki. Ia memiliki tiga ciri khas kemanusiaan yakni ikhtiar, tanggung jawab dan kemampuan meningkatkan kesempurnaan. Perempuan sama seperti laki-laki memiliki kapasitas untuk berkembang dan maju.
Al-Quran ketika menyebutkan nikmat surgawi, ia memberikan kabar gembira kepada keduanya. Dalam surat Hadid ayat 2 disebutkan, "(yaitu) pada hari ketika kamu melihat orang mukmin laki-laki dan perempuan dimana cahaya mereka bersinar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, (dikatakan kepada mereka): "Pada hari ini ada berita gembira untukmu, (yaitu) surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, yang kamu kekal di dalamnya. Itulah keberuntungan yang besar."
Kenyataan dan wajah hakiki perempuan yang merupakan setengah dari anggota masyarakat ini bisa disaksikan di sela-sela peristiwa masa lampau dengan memperhatikan peran positif dan negatifnya. Peran positif perempuan di Karbala dan penyampaian pesan Imam Husein as lebih mencolok daripada peran negatifnya. Peran Sayidah Zainab as merupakan sebuah teladan luar biasa dan abadi untuk menuju pada ketinggian dan membela kebenaran serta kepemimpinan. Selain para srikandi Karbala, di kalangan penduduk Kufah dan Syam ada juga perempuan-perempuan mulia yang menolak membela Yazid, tidak seperti suami-suami mereka. Perempuan-perempuan itu mendukung Imam Husein as, menolong para tawanan dari Ahlul Bait dan membela kebenaran mereka.
Dukungan dan pembelaan ini merupakan sebuah refleksi dari syahadah Imam Husein as dan sahabat-sahabatnya yang muncul di tengah-tengah masyarakat pada sore Asyura itu juga. Kaum perempuan dalam gerakan ini telah menunjukkan bahwa mereka melihat semua peristiwa dan kejadian-kejadian itu dengan kepekaan hati dan pengetahuan.
Saat itu syahadah Imam Husein as dan sahabat-sahabatnya baru saja berlalu. Asap masih mengepul, api masih berkobar dan darah-darah masih mengalir segar. Musuh sedang melakukan perampokan dan pembakaran kemah-kemah keluarga Ahlul Bait. Tiba-tiba muncul teriakan dan ajakan untuk melakukan pembalasan atas tumpahnya darah Imam Husein as, "Tidak ada hukum selain hukum Allah! Ayo lakukan tuntutan atas pertumpahan darah karena Allah!"
Suara itu adalah suara panggilan seorang perempuan dari suku Bakr bin Wail bersama suaminya di tengah-tengah hiruk pikuk pasukan musuh. Ketika ia menyaksikan kebrutalan dan kebuasan pasukan Ibnu Ziyad, ia mengangkat pedangnya dan berkata, "Hai keluarga Bakr bin Wail! Apakah kalian hanya sebagai penonton saja ketika putri-putri Rasulullah Saw ditawan dan pakaian-pakaiannya dirampok?!"
Perempuan ini meminta bantuan dan pertolongan, tapi tak seorang pun mau mendengarkannya. Suaminya datang dengan marah-marah dan menarik tangannya menghalangi agar ia tidak menyerang musuh.
Pasca syahadahya Imam Husein as dan sahabat-sahabat setianya, Umar bin Saad komandan pasukan Ibnu Ziyad memerintahkan seorang bernama Khauli untuk membawa kepala Imam Husein as dari Karbala menuju Kufah dan menyerahkannya kepada Ibnu Ziyad. Khauli sampai di Kufah sudah malam dan istana Ibnu Ziyad sudah tutup. Terpaksa ia harus membawa kepala Imam Husein as ke rumahnya.
Istrinya bernama Nawar salah seorang pecinta Imam Husein dan Ahlul Bait as kepadanya berkata, "Bagaimana kabar bepergianmu?"
Khauli berkata, "Aku membawa harta karun untukmu. Penggalan kepala Husein kini ada di rumahmu."
Begitu Nawar mendengar nama Imam Husein as, detak jantungnya berhenti, kedua kakinya melemas dan wajahnya memucat. Dengan marah ia berteriak, "Celakalah kamu! Orang-orang dari bepergian kembali ke rumahnya membawa emas dan perak, sementara kau membawa penggalan kepala putra Rasulullah Saw?!"
Khauli berkata, "Besok, bila kepala ini aku serahkan kepada Ibnu Ziyad, maka aku akan mendapatkan hadiah yang besar."
Nawar berkata, "Demi Allah! Aku tidak akan hidup seatap bersamamu. Kau telah menyakiti Rasulullah Saw dengan membunuh keluarganya. Apakah kau tidak takut kepada Allah, sehingga kau mencari hadiah dengan perantara kepala putra perempuan penghulu dunia Fathimah Zahra?"
Dengan mata bercucuran air mata, Nawar meninggalkan suaminya.
Durrah as-Shadaf putri Abdullah bin Umar Anshari adalah seorang perempuan pemberani dan salah satu pecinta Ahlul Bait Rasulullah Saw. Ketika ia mendengar kabar tentang syahadah Imam Husein dan ditawannya keluarga beliau, ia menangis tersedu-sedu. Kepada ayahnya ia berkata, "Wahai Ayah! Setelah syahadahnya penunjuk hidayah, tidak ada lagi kebaikan di dunia. Demi Allah, aku akan mengajak masyarakat untuk bangkit. Aku akan membebaskan para tawanan dan mengambil kepala Imam Husein as dari tangan mereka, kemudian memakamkannya di rumahku.
Durrah as-Shadaf keluar dari rumahnya dan meminta bantuan kepada warga Halaf dan sekitarnya. Menurut catatan sejarah ada 70 orang perempuan datang membantunya. Semuanya memakai pakaian tempur dan pergi mengintai musuh dan rombongan tawanan yang mereka bawa. Perempuan-perempuan ini menangis ketika mendengar suara tawanan dan tangisan anak-anak. Dari tempat persembunyiannya mereka menyelidiki kondisi musuh kemudian menyerang mereka. Dalam perang yang tak seimbang ini Durrah as-Shadaf mencapai syahadah. Setelah kematiannya, yang lainnya menjadi kocar kacir.
Tidak berapa lama pasca syahadahnya Imam Husein as dan sahabat-sahabatnya, para perempuan Bani Asad melewati Karbala. Mereka melihat jenazah-jenzah para syuhada berserakan di bawah terik matahari. Mereka benar-benar takjub dan kembali menuju kabilahnya. Mereka meminta orang-orang laki untuk memakamkan jenazah-jenazah para syuhada itu. Namun karena rasa takut kepada Ibnu Ziyad, para lelaki itu tidak mau memenuhi permintaan mereka. Akhirnya para perempuan Bani Asad sendiri yang membawa cangkul, kampak dan tikar menuju Karbala. Sikap para perempuan ini membangkitkan semangat para laki-laki. Akhirnya orang-orang laki itu menyusul para perempuan bergerak menuju Karbala. Pada saat itu suara jeritan dan tangisan para perempuan dan laki-laki mengaung. Badan-badan tidak berkepala dan tak dikenal. Dengan sedih para perempuan Bani Asad menepuk-nepuk wajah dan kepala mereka. Gerakan para perempuan Bani Asad ini merupakan gerakan pertama melawan Ibnu Ziyad dan Bani Umayah pasca peristiwa Karbala.
Hindun, salah satu istri Yazid pernah belajar dan menjadi murid Sayidah Zainab as di Madinah. Ketika dikabarkan kepadanya bahwa para tawanan yang masuk ke Syam dan istana suaminya adalah Ahlul Bait Imam Husein as, dengan suara tangisan dan jeritan ia keluar dari tempat tinggalnya dengan kaki telanjang dan tanpa memakai hijab menuju ke arah suaminya. ketika itu Yazid sedang duduk-duduk bersama tamu-tamu spesialnya.
Hindun berteriak, "Hai Yazid? Apakah kau memerintahkan agar kepala Husein dipancung di atas tombak lalu dipajang di pintu gerbang Syam?"
Melihat istrinya seperti itu Yazid segera berdiri dan menutupi istrinya dan dengan tipu muslihat ia berkata, "Iya. Menangis dan menjeritlah untuk putra dan putri Rasulullah! Semoga Allah melaknat Ibnu Ziyad yang tergesa-gesa membunuh Husein! Ketika Yazid memakaikan hijab kepada Hindun. Dengan suara lantang Hindun berkata, "Celakalah kau, hai Yazid! Kau ingin menunjukkan dirimu laki-laki dengan menutupi aku? Mengapa kau tidak melakukan ini untuk putri Fathimah Zahra? Kau telah menyingkap hijab-hijab mereka dan membuka wajah-wajah mereka serta meletakkan mereka di reruntuhan puing-puing. Melihat sikap Hindun, para perempuan lainnya yang ada istana Yazid bangun dan menangis histeris.
Dengan demikian, filsafat amar makruf dan nahi mungkar dan perbaikan agama yang dilakukan Imam Husein as sebagai tujuan kebangkitannya, menjadi pembangkit gerakan para perempuan pasca peristiwa Asyura, peristiwa heroik Kufah dan Syam. Setiap perempuan menggunakan tujuan ini sesuai dengan kemampuan dan kondisinya masing-masing untuk berbicara, membela kebenaran, membongkar dan melawan kejahatan dan kezaliman. (IRIB Indonesia / Emi Nur Hayati)
Revolusi Asyura dan Peran Perempuan (Bagian 6, Habis)
Sejarah telah membuktikan bahwa kaum perempuan seperti Sayidah Zainab as di dalam peristiwa besar Karbala mampu menciptakan sebuah gerakan konstruktif dan penentu. Mereka telah membuktikan bahwa perempuan bisa tampil dan berperan di tengah medan kebangkitan dan perlawanan yang paling sulit dan bahkan mengerikan. Imam Husein as dan para sahabatnya telah menciptakan peristiwa heroik ini dan para perempuan dari tenggelamnya matahari saat itu sampai kini sebagai pembawa pesan peristiwa besar kemanusiaan ini. Sebuah peristiwa yang di dalamnya semua faktor-faktor kehidupan, kebanggaan, kemuliaan dan keteguhan membuncah. Kini, seorang muslimah dengan mengikuti dan meneladani gerakan para perempuan di dalam kebangkitan Imam Husein as dan setelahnya bisa berperan sebagai seorang istri sekaligus seorang ibu yang hebat. Di rumah ia bertanggung jawab mendidik anak-anaknya dan di tengah-tengah masyarakat ia bertanggung jawab akan nasib masyarakat. Ia menyebarkan nilai-nilai kebangkitan Imam Husein as.
Pada hakikatnya, peran perempuan di pelbagai tahapan penentu sejarah Islam tidak terbatas pada arena kebangkitan Karbala saja. Sejarah telah membuktikan bahwa perempuan didikan ajaran Imam Husein as senantiasa tampil aktif dan semangat di pelbagai arena keilmuan, ekonomi, sosial dan politik. Teriakan menuntut kebebasan dan kemulian wanita didikan ajaran Imam Husein as membuat ketakutan jiwa para penguasa despotik dan diktator dan sebaliknya malah menarik hati-hati yang suci. Para perempuan ini terkadang di puncak perasaan dan kasih sayang keibuannya rela mengirimkan anak-anak mudanya menuju medan perang. Sementara ia meyakini anak-anak mudanya tidak akan kembali dan pasti akan mencapai syahadah. Terkadang juga para perempuan ini menebarkan benih-benih keilmuan dan makrifat di dalam jiwa-jiwa anaknya dan mempersenjatai mereka dengan senjata ilmu dan hikmah.
Bulan Khordad tahun 1342 Hs, Imam Khomeini memulai perjuangannya melawan rezim despotik Shah Pahlevi. Sejumlah penduduk nomaden Iran mengumumkan kesiapannya untuk berjuang melawan rezim despotik Shah Pahlevi, setelah mereka mendengar Imam Khomeini ra memulai perjuangannya. Kepada istri-istrinya mereka berkata, "Sebaiknya pergi saja ke rumah famili kalian!" Salah satu dari perempuan di situ berkata, "Para perempuan nomaden tidak tertinggal di belakang kaum laki-lakinya. Bagaimana mungkin kami para perempuan akan membiarkan laki-laki kami sendirian dalam berjuang. Sementara Fathimah az-Zahra dan Zainab sebagai contoh dan teladan kami?!"
Para laki-laki nomaden bersama keluarganya menyerang pusat-pusat militer rezim Shah Pahlevi dan berhasil menyita banyak senjata dan amunisi. Setelah bertempur melawan anasir-anasir Shah, mereka mencapai syahadah. Di antara syuhada nomaden, tercantum nama seorang perempuan "Bakhtar Biglari". Ia saat itu berusia 30 tahun dan memiliki dua orang anak yang masih kecil. Ketika ia tahu Imam Khomeini memulai perjuangannya melawan Shah, karena ingin meneladani Sayidah Zainab as, ia tinggal di pegunungan bersama suami dan anak-anaknya. Ketika peluru-peluru pasukan keamanan Shah menghujani mereka, suami dan anaknya yang berusia 3 tahun telah mencapai syahadah. Dengan tegar dan berani Bakhtar menghadapi mereka dan diapun mencapai syahadahnya. Bakhtar Biglari tercatat sebagai syahid perempuan Revolusi Islam Iran yang pertama.
Dengan kemenangan Revolusi Islam Iran, ketika semangat revolusi semakin memuncak, para perempuan sepenuhnya menunjukkan solidaritas dan pengabdiannya kepada revolusi untuk mencapai kemenangan.
Di antara slogan-slogan mereka antara lain:
Kau harus ciptakan epik
Sebagaimana para pengikut Husein
Kau harus mengundang matahari
Dan sampaikan pesan cinta ke dalam hati-hati
Para perempuan kader ajaran Imam Husein as adalah perempuan pemberani, teguh dan peka hati. Pada masa perang pertahanan suci yang dipaksakan oleh Saddam Husein, para perempuan Iran berdiri kokoh bak gunung. Mereka mengambil alih peran suami-suaminya yang telah mencapai syahadah dan mendidik serta mengasuh anak-anaknya. Sebagian dari ibu-ibu telah menyerahkan tiga sampai empat anaknya untuk membela agama dan tanah airnya dan berjuang di jalan Allah. Dengan cara ini mereka membela ideologi yang dipertahankan oleh Imam Husein as selama ini. Kesabaran perempuan-perempuan ini sulit untuk dipercaya oleh kebanyakan orang. Mereka telah mengikuti dan meneladani Sayidah Zainab as dimana kesabaran dan keteguhan beliau di hari Asyura menjadi teladan bagi perempuan-perempuan dunia. Seorang perempuan yang dalam setengah hari saudara-saudara, anak-anak dan semua keluarganya mencapai syahadah. Namun dia tetap bersabar. Puncak kesabaran ini terjadi ketika di samping jenazah saudaranya Imam Husein as dengan segala keimanan meminta kepada Allah agar menerima korban ini dari keluarga Rasulullah Saw.
Perempuan yang menjadikan kebangkitan Imam Husein as sebagai teladan adalah perempuan yang pemberani dan penyebar agama dan nilai-nilai. Ummu Yasir salah seorang perempuan yang berada di barisan Imam Husein as. Kehidupan perempuan Lebanon ini dipenuhi dengan jihad dan pengorbanan. Ia bersama suaminya Syahid Abbas Musawi (Sekjen Hisbullah Lebanon) telah melakukan perubahan dasar dalam urusan agama para perempuan. Ia telah mengasuh dan mendidik para pemudi dan ibu-ibu. Dia sendiri adalah seorang guru yang penuh kasih sayang yang melangkahkan kakinya di jalan Sayidah Fathimah as. Ia telah mencapai syahadah di jalan ini. Meski syahadahnya telah lama berlalu, sampai saat ini kota-kota, huseiniyah-huseiniyah dan pusat-pusat pendidikan di Jabal Amil dan Bekaa di Lebanon membuktikan peran aktif dan menentukan syahidah ini.
Rumah Ummu Yasir senantiasa menjadi tempat perkumpulan para pecinta Ahli Bait Rasulullah Saw. Acara duka dan doa Kumail senantiasa diselenggarakan di rumahnya. Ia bercita-cita bisa berziarah ke makam Imam Husein as di Karbala. Ia benar-benar menunjukkan kegembiraannya ketika semua persayaratan untuk pergi ke Karbala telah siap. Karena dia adalah salah seorang pecinta Imam Husein as.
Suatu Hari Ummu Yasir bersama suaminya Abbas Musawi mendaki gunung Jabal Safi. Tiba-tiba suaminya berkata, "Ummu Yasir! Bila engkau memperoleh derajat syahadah peluru-peluru artileri Israel yang akan mengenaimu."
Sambil tersenyum Ummu Yasir menjawab, "Saya menerima segala yang ditentukan Allah untukku dan aku siap untuk mencapai syahadah."
Tidak lama Allah mengabulkan doanya untuk mencapai syahadah. Ummu Yasir mencapai syahadah oleh tembakan roket Zionis Israel.
Perempuan yang dibesarkan dengan ajaran Asyura, akan senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai dengan kemuliaan dan hijabnya. Ketika nilai-nilai itu dihina dan dinjak-injak, ia akan bangkit membelanya. Anda pasti mengenal seorang perempuan bernama Marwa Sherbini. Kedua orang tuanya adalah ahli kimia. Ia lulus dari universitas pada tahun 1995. Pada tahun 2003 ia berhijrah ke Jerman bersama suaminya.
Ketika Marwa Sherbini di taman bermain bersama anaknya, Alex W, asli Jerman menghinanya. Karena hijabnya ia disebut sebagai teroris. Marwa meyakini bahwa hijab tidak akan pernah menghalangi aktifitas perempuan. Bahkan sebagai pelindung dan penjaga keselamatan jiwanya. Ia pergi ke pengadilan untuk membela dan mempertahankan kemuliaan seorang muslimah. Pengadilan sedang melakukan penelitian tentang masalah ini. Tiba-tiba orang Jerman itu menyerang Marwa di hadapan mata hakim dan orang-orang yang hadir di situ. Marwa yang saat itu mengandung 3 bulan mencapai syahadah karena tikaman pisau. Darah Marwa sama seperti darah para syuhada tidak mengalir sia-sia. Perilaku zalim yang dilakukan oleh seorang Jerman ini tidak saja mendapatkan kecaman dari kaum Muslimin tapi juga mendapat kecaman dari orang-orang non Muslim.
Sekarang, perempuan didikan ajaran Imam Husein as telah menjadi teladan bagi manusia zaman ini. Teladan perempuan-perempuan tersebut di atas adalah para perempuan yang berdiri tegak melawan para pezalim di Karbala dan tidak pernah menyerah sama sekali. Mereka telah menjaga kehormatan dan kemuliaan manusia dan menyampaikan pesan-pesan abadi Imam Husein as kepada generasi umat manusia selanjutnya yakni "MATI DENGAN KEMULIAAN LEBIH BAIK DARIPADA HIDUP DENGAN KEHINAAN." (IRIB Indonesia / Emi Nur Hayati)
0 comments to "Revolusi Asyura dan Peran Perempuan (Serial)...Hidup Kaum Perempuan..Terimakasih Kami Kaum Adam kepada Kalian Kaum Hawa karena telah ikut berjuang tegakkan ISLAM yang HAKIKI...!!!!!!)"