Home , , , , , , � Akar Terorisme Zionis

Akar Terorisme Zionis

 














Akar Terorisme Zionis (Bagian 1)


Sudah menjadi rahasia umum kiranya, terbentuknya Israel dilakukan lewat cara-cara kekerasan dan teror. Bahkan hingga kinipun, rezim zionis masih terus mengandalkan terorisme sebagai cara untuk mempertahankan eksistensinya. Ironisnya, rezim zionis Israel dan sekutu Baratnya justru memutarbalikkan istilah terorisme dan menyebut perjuangan rakyat Palestina sebagai bentuk nyata terorisme.
 
Salah satu bidah terbesar sejarah kontemporer saat ini adalah pencitraan Israel sebagai pihak yang dizalimi sementara perlawanan sebuah bangsa menentang penjajahan selama bertahun-tahun malah disebut sebagai aksi terorisme. Sampai-sampai kelompok-kelompok pejuang Palestina pun dicantumkan dalam daftar kelompok-kelompok teroris.
 
Sejatinya, isu terorisme yang kini gencar dipromosikan Barat sebagai ancaman bagi keamanan global dan menjadi dalih bagi mereka untuk menyokong terorisme negara rezim zionis, merupakan kebohongan besar terhadap bangsa-bangsa di dunia. Bila ditelusuri lebih jauh, sebenarnya AS dan sekutu Eropanya merupakan pelopor model baru terorisme sebagaimana yang dipraktekkan rezim zionis.
 
Terorisme yang marak saat ini pada dasarnya berakar dari pemikiran dan tindakan pemerintah negara-negara Barat dalam beberapa dekade terakhir. Kalaupun kini terorisme disebut-sebut sebagai ancaman bagi keamanan global, hal itu tak lain sekedar trik untuk memuluskan politik intervensi Barat di negara-negara sasaran.
 
Sebelum kami ajak Anda menelisik lebih jauh persoalan ini, ada baiknya jika kami perjelas lebih dahulu pengertian terorisme dan zionisme. Setelah itu kami paparkan bagaimana aksi-aksi teror yang dilancarkan kalangan zionis menjelang terbentuknya rezim zionis Israel di Palestina.
 
Teror dan terorisme merupakan dua istilah dari bahasa Perancis yang sepadan dengan istilah "Irhab" dalam bahasa Arab bermakna takut, menakut-nakuti ataupun menciptakan ketakutan. Hingga kini belum ada kesepakatan bulat dan devinisi yang jelas mengenai terorisme. Namun secara umum bisa disimpulkan bahwa terorisme adalah penggunaan segala bentuk kekerasan ilegal ataupun ancaman pengunaan cara-cara tersebut untuk menciptakan ketakutan sebagai upaya mempengaruhi ataupun menguasai pihak sasaran. Langkah itu dilakukan untuk menarget tujuan tertentu yang dikehendaki".
 
Terorisme sebenarnya bukan isu yang baru. Hanya saja, seperti halnya istilah-istilah strategis lainnya seperti kebebasan, hak asasi manusia, dan demokrasi kerap dimanfaatkan Barat untuk kepentingan politiknya. Sebagai kekuatan yang senantiasa ingin menguasai dunia, Barat terutama AS tak segan-segan menghalalkan segala cara untuk meraih ambisi hegemoniknya termasuk dengan cara-cara teror.
 
Belakangan, Barat menjadikan isu pemberantasan terorisme sebagai dalih untuk melegitimasi aksi-aksi arogannya. Salah satu bentuk nyata dari standar ganda AS dan sejumlah negara Eropa adalah penggunaan istilah terorisme yang diterapkan dalam konflik Israel-Palestina.
 
Selama ini AS dan negara-negara Eropa kerap mengklaim dirinya sebagai pembela hak asasi manusia. Anehnya justeru mereka juga yang menjadi penyokong utama penjahat HAM seperti rezim zionis Israel. Sebuah rezim penjajah yang dibangun di atas darah dan penderitaan rakyat Palestina lewat aksi-aksi teror yang paling kotor. Sejarah perjuangan rakyat Palestina dan pembentukan rezim zionis Israel penuh dengan aksi-aksi teror yang dilakukan kalangan zionis. Rangkain aksi-aksi brutal itu sebagian besar dimotori oleh sejumlah tokoh yang menjadi pimpinan rezim zionis. Sayangnya, akibat dukungan luas Barat terhadap rezim zionis, banyak kasus terorisme zionis yang tidak terungkap oleh media. Sementara di saat yang sama propaganda media-media Barat kerap mengesankan zionis sebagai pihak yang terzalimi untuk menutup-nutupi kebiadaban Israel terhadap rakyat Palestina.
 
Untungnya dalam beberapa tahun terakhir, kesadaran publik semakin meningkat dan jatidiri terorisme negara rezim zionis makin terkuak. Meningkatnya arus informasi dan hubungan internasional membuat mesin-mesin propaganda Barat tak mampu membendung penyebaran berita-berita yang menyibak kejahatan Israel.
 
Bila kita mundur lagi ke belakang sekitar 6 dekade lalu, tampak jelas bahwa rezim zionis Israel dirintis dan ditubuhkan melalui serangkaian aksi terorisme. Bisa dikata, pondasi utama zionisme berdiri diatas doktrin dan praktek terorisme. Tak heran jika pemikiran zionisme dianggap sebagai aliran politik yang paling sadis dan dibenci di dunia.
 
Istilah Zionisme berakar dari nama sebuah bukit di Baitul Maqdis yang disebut Bukit Zion, sebuah bukit yang disucikan oleh umat Yahudi. Para perancang rezim penjajah itu sengaja memilih nama tersebut untuk menamai organisasinya guna meraup dukungan kaum yahudi di seluruh dunis supaya hijrah ke Palestina. Organisasi yang lahir dipenghujung abad ke-19 itu bercita-cita untuk menciptakan sebuah negara Yahudi.
 
Gagasan untuk mendirikan negara Yahudi itu untuk pertama kalinya dicetuskan oleh Theodor Herzl, seorang wartawan Yahudi kelahiran Hongaria. Herzl dalam pidatonya di Kongres Pertama Zionis Sedunia pada tahun 1897 menyatakan, "Zionisme sejatinya merupakan gerakan bangsa Yahudi untuk mencapai Palestina". Dengan demikian, zionisme menjadi nama sebuah gerakan nasionalis yahudi yang bertujuan mendirikan negara yahudi di Palestina.
 
Langkah yang ditempuh Herzl itu menunjukkan bahwa ia telah mengubah suatu istilah keagamaan yahudi menjadi sebuah strategi politik jangka panjang. Ia meyakini, dengan adanya tekanan asing, kaum yahudi bakal terpaksa menerima didirikannya negara nasional mereka di Palestina.
 
Dalam Kongres Pertama Zionis Sedunia di Kota Basel 1897, kaum zionis secara resmi mendeklarasikan rencananya untuk menubuhkan negara yahudi di Palestina. Sejak saat itu aktifitas pegerakan zionis dipusatkan di Wina, Austria dan kongres pun digelar setiap tahun di sana. Namun sejak tahun 1901, kongres zionis sedunia hanya digelar dua tahun sekali.
 
Kala itu di kalangan kaum yahudi, kelompok zionis terbilang sebagai kubu minoritas. Kelompok tersebut hanya didukung oleh komunitas yahudi dari Eropa Timur dan Tengah. Di sisi lain, jauh sebelum terbentuknya zionisme, di kalangan Yahudi Eropa telah berkembang gerakan pencerahan dan sekularisasi yang disebut Haskala. Gerakan ini muncul sekitar abad ke-17. Haskala muncul sebagai reaksi atas kondisi kaum Yahudi Eropa saat itu yang sangat ortodoks dan hidup terpisah dari komunitas Eropa lainnya. Karena itu Haskala mengupayakan terintegrasikannya kaum yahudi ke dalam kebudayaan dan peradaban Eropa.
 
Secara umum, Haskala menginginkan sebuah budaya baru Yahudi yang sebangun dengan budaya modern Eropa. Namun di mata Herzl, ide yang diusung Haskala tak sepenuhnya bisa direalisasikan. Ia memang setuju dengan gerakan pencerahan yang pelopori Haskala, namun soal cita-cita untuk membaurkan kaum Yahudi ke dalam masyarakat Eropa, Herzl menolaknya mentah-mentah. Lantaran ia menilai bahwa sentimen anti-Yahudi di Eropa sudah parah. 
 
Di sisi lain, kendati Zionisme hanya sekedar kelompok minoritas. Namun mereka memiliki kekuatan dan dukungan finansial yang besar serta terorganisir dengan baik. Mereka memiliki banyak koran yang diterbitkan dalam berbagai bahasa. Propaganda luas dan kampanye cerdas kalangan zionis merupakan faktor penting keberhasilan misi mereka. (IRIB Indonesia)

Akar Terorisme Zionis (Bagian 2)

Sebelumnya telah kita bahas bersama pengertian terorisme dan Zionisme. Dan kali ini kami ajak Anda untuk menelaah lebih jauh bagaimana sejarah terbentuknya rezim Zionis Israel terutama mengenai upaya Theodor Herzl, pendiri ideologi Zionisme, dalam merebut tanah Palestina dan menghimpun kaum Yahudi dunia ke sana.
 
Untuk merealisasikan cita-cita besarnya, Herzl mula-mula membujuk penguasa Khilafah Utsmani, Sultan Abdul Hamid untuk memberikan status otonomi khusus bagi Palestina. Upaya itu dimaksudkan untuk mempersiapkan kehadiran kaum Yahudi ke Palestina. Namun Sultan Abdul Hamid menolak mentah-mentah tuntutan tersebut, sehingga Herzl pun lantas meminta bantuan Inggris.
 
Menjawab permintaan Herzl tersebut, Inggris kemudian memberikan sebidang wilayah tak berpenghuni di Uganda. Namun hanya sekelompok minoritas Zionis yang menyetujui wilayah tersebut dijadikan sebagai negeri masa depan Yahudi. Sementara Herzl dan mayoritas lainnya bersikukuh tetap menghendaki Palestina sebagai cikal bakal negara Yahudi. Keputusan Herzl itu pun lantas dikukuhkan dalam Kongres Zionis Sedunia pada tahun 1905. Kongres tersebut menafikan secara resmi rencana pendirian negara Yahudi di luar wilayah Palestina.
 
Hanya saja, Herzl pada tahun 1904 terlanjur meninggal dunia lebih awal. Pusat pergerakan Zionis di Wina akhirnya dipindahkan ke Koln, Jerman. Setelah itu berpindah lagi ke Berlin dan akhirnya menetap di London.
 
Sebelum pecahnya Perang Dunia I, para pendukung Zionisme adalah kalangan minoritas Yahudi dari Rusia dan Eropa Timur, terutama Polandia. Namun sebagian besar pimpinannya berasal dari kalangan Yahudi Jerman dan Austria.
 
Sementara itu, kekalahan Revolusi Rusia pada tahun 1905 dan meningkatnya tekanan rezim Tsar mendorong kalangan muda Yahudi di Rusia untuk hijrah ke Palestina. Pada tahun 1914 terdapat sekitar 90 ribu pemukim Yahudi di Palestina sementara imigran Yahudi berjumlah kurang lebih 13 ribu jiwa. Mereka kebanyakan tinggal di pelbagai kawasan permukiman Yahudi. Sebagian besar para imigran Yahudi tersebut hijrah ke Palestina lewat dukungan finansial Baron Rothschild, seorang konglomerat Yahudi asal Perancis.
 
Selain Theodor Herzl, Rothschild juga memiliki peranan penting dalam lahir dan berkembangnya pergerakan Zionisme. Sampai-sampai ia pun dijuluki sebagai "Bapak Pemukim Yahudi di Palestina". Pemberian gelar tersebut sebagai bentuk penghormatan terhadap jasa besar Rothschild dalam membeli tanah-tanah milik orang Arab Palestina untuk dijadikan sebagai kawasan permukiman Yahudi dan bantuan yang ia keluarkan sebesar 1,6 juta Lira untuk membiayai proyek permukiman bagi imigran Yahudi di Palestina. Terkait langkah besarnya itu, Rosthchild menyatakan, "Tanpa saya, orang-orang Zionis tidak akan bisa berbuat apapun!".
 
Ketika Perang Dunia I berkobar, pergerakan Zionisme berkembang sangat pesat. Tampuk kepemimpinan gerakan Zionis lantas dikuasai oleh orang-orang Yahudi kelahiran Rusia yang tinggal di Inggris. Haim Wiezman, pemimpin Zionisme di masa itu memainkan andil yang sangat besar dalam mengembangkan pergerakan Zionisme, sampai-sampai ia berhasil memaksa pemerintah Inggris berkomitmen untuk menciptakan negara Yahudi di Palestina. Boleh dibilang, Wiezman merupakan pemimpin Zionis paling berpengaruh setelah Herzl. Setelah menggantikan Herzl sebagai pemimpin Organisasi Zionisme Internasional, Wiezman lantas dipilih sebagai pimpinan agen Yahudi di Palestina dan akhirnya dinobatkan sebagai presiden pertama rezim Zionis Israel.
 
Wiezman juga memiliki andil besar dalam meloloskan Deklarasi Balfour. Pada tahun 1917 James Balfour, Perdana Inggris di masa itu mengeluarkan sebuah deklarasi berisi komitmen dan dukungan Pemerintah Inggris untuk menciptakan negara Yahudi di Palestina. Deklarasi yang dikenal sebagai Deklarasi Balfour inilah yang menjadi nutfah pertama kelahiran sebuah rezim penjajah dan teroris bernama Zionis Israel.
 
Meletusnya perang antara Khilafah Utsmani dan Inggris pada Perang Dunia I ternyata justru menguntungkan kalangan Yahudi Zionis. Setelah Perang Dunia I usai, imperium kekhalifahan Utsmani pun runtuh dan mandat kekuasaan Palestina diserahkan kepada Inggris. Dengan demikian, realisasi Deklarasi Balfour pun semakin mendekati kenyataan.
 
Sementara itu di Palestina, gelombang hijrah imigran Yahudi semakin meningkat dan proyek permukiman Yahudi pun kian berkembang pesat. Bersamaan dengan itu, tumbuh pula pelbagai organisasi swadaya masyarakat dan lembaga-lembaga pendidikan Yahudi. Pada tahun 1925, penduduk Yahudi Palestina berjumlah sekitar 108 ribu jiwa. Namun pada tahun 1933, angka tersebut melonjak menjadi 238 ribu jiwa atau sekitar 20 persen dari total penduduk Palestina.
 
Hingga sebelum munculnya kekuatan Nazi Jerman pimpinan Adolf Hittler, arus perpindahan kaum Yahudi ke Palestina relatif berjalan pelan. Namun seiring dengan kian meningkatnya tekanan Nazi Jerman terhadap warga Yahudi, laju imigrasi pun semakin meningkat.
 
Menyikapi terus meningkatnya gelombang perpindahan kaum Yahudi ke Palestina, warga Arab Palestina pun mulai menyadari munculnya ancaman Yahudi dan dampak dukungan kuat Inggris terhadap Zionis. Sepanjang tahun 1929 hingga 1939, rakyat Palestina berkali-kali menyuarakan protes dan penentangannya terhadap ekspansi Yahudi Zionis di Palestina, sehingga pemerintah Inggris pun akhirnya merasa kewalahan. Namun berkat lemahnya konsolidasi internal di kalangan para pejuang Palestina dan minimnya dukungan negara-negara Arab dan muslim, maka perjuangan rakyat Palestina menentang rezim Zionis Israel tak banyak membuahkan hasil.
 
Sementara itu di kancah global, kalangan Zionis berusaha memanfaatkan situasi Perang Dunia II. Terjadinya kasus pembantaian warga Yahudi oleh nazi Jerman yang dikenal sebagai Holocaust menjadi modal bagi Zionis untuk menampilkan kaum Yahudi sebagai pihak yang selalu terzalimi. Tentu saja, politik pencitraan itupun akhirnya berhasil menyerap banyak dukungan. Semenjak itu, dukungan para konglomerat AS pun semakin meningkat dan mulai saat itu AS menjadi salah satu pendukung utama Zionisme.
 
Pasca Perang Dunia II, saat konflik antara Palestina dan Yahudi Zionis makin memuncak, Inggris lantas menyerahkan persoalan tersebut kepada PBB dan mengusulkan dibentuknya negara Arab dan Yahudi di wilayah tersebut. Sementara Baitul Maqdis ditetapkan sebagai kota internasional. Atas pengaruh tekanan AS dan negara-negara Eropa, PBB akhirnya menerima keputusan tersebut dan mengesahkannya dengan merilis sebuah resolusi.
 
Segera setelah resolusi tersebut disahkan, negara Zionis bernama Israel pun didirikan. Rezim penjajah itu dilahirkan pada bulan Mei 1948. Dengan demikian, rezim Zionis Israel pun akhirnya terwujud sekitar 50 tahun semenjak digelarnya Kongres Pertama Zionis Sedunia.
 
Tak seberapa lama setelah Israel mendeklarasikan berdirinya negara Zionis, Harry Truman, Presiden AS di masa itu segera mengakui negara penjajah tersebut dan menyatakan dukungan penuhnya. Washington menggelontorkan bantuan militer dan ekonomi besar-besaran kepada Tel Aviv. Uni Soviet sebagai pemimpin Blok Timur juga tercatat sebagai negara ketiga yang mengakui keberadaan Israel, bahkan turut memberikan bantuan besar.
 
Setelah Israel terbentuk, rezim Zionis pun makin gencar mempromosikan supaya kaum Yahudi di seluruh dunia hijrah ke Israel. Namun ambisi puak-puak Zionis tak hanya sebatas itu, mereka pun merancang terbentuknya negara Yahudi Raya yang terbentang dari sungai Nil, Mesir hingga Eufrat, Irak.
 
Aset-aset kekayaan rakyat Palestina pun direbut. Kampung-kampung dan tempat-tempat suci warga muslim Arab juga dihancurkan. Sehingga banyak warga Palestina yang akhirnya menyelamatkan diri dan mengungsi ke negara-negara tetangga.
 
Namun demikian, terbentuknya negara Zionis tidak mudah begitu saja terjadi. Banyak darah dan nyawa rakyat Palestina yang dijadikan sebagai tumbal dan korban ambisi penjajahan rezim Zionis. Kekerasan dan teror adalah perangkat utama bagi gerakan Zionis untuk merealisasikan tujuan-tujuan imperialismenya. Sejalan dengan rencana pembentukan negara Israel di Palestina, kalangan Zionis telah membentuk satuan teroris yang khusus bertugas untuk membunuh, mengancam, dan memaksa orang-orang Palestina kabur dari negerinya sendiri.
 
Haganah adalah kelompok teroris pertama Zionis di Palestina yang dibentuk untuk memaksa warga Palestina menjual tanah dan meninggalkan rumahnya. Saturan teror itu didirikan pada tahun 1921 dan bergerak secara rahasia. Tak lama kemudian, Haganah berubah menjadi sayap militer non-resmi Agen Yahudi. Misi satuan tersebut ditugaskan untuk menyerang warga Arab Palestina.
 
Dalam perkembangan berikutnya, Haganah lantas membentuk dinas intelijen tersendiri dengan nama Shai. Kemudian pada tahun 1931, sejumlah aktifis Haganah dan Beitar mendirikan sebuah organisasi teroris baru bernama Irgun. Organisasi ini lantas dipimpin oleh Menachem Begin, yang nantinya menjadi perdana menteri Israel. Ia memiliki andil besar dalam pembantaian massal dan pengusiran rakyat Palestin hingga terbentuknya Israel. Slogan dan lambang yang diusung Irgun adalah "Hanya Senjata", slogan itu ditegaskan kembali dalam tulisan yang tertera di bawah lambang senjata organisasi tersebut, berbunyi: "Hanya Ini". Namun, dengan dicetuskannya pembentukan negara Zionis Israel pada tahun 1948, Haganah pun akhirnya dibubarkan. (IRIB Indonesia)

Akar Terorisme Zionis (Bagian 3)

Sebelumnya sudah disinggung tentang regu-regu teror Zionis dengan nama Haganah, Irgun, dan Stern. Regu-regu teror haus darah itu dipimpin oleh tokoh-tokoh zionis berdarah dingin semisal Menachem Begin, Ariel Sharon, Yitzhak Shamir dan Moshe Dayan. Mereka inilah yang kelak di kemudian hari menduduki posisi penting di rezim ilegal Israel. Dengan mengantongi dukungan dan bantuan negara-negara Barat mereka melakukan segala bentuk kejahatan untuk memaksa orang-orang Palestina meninggalkan kampung halaman mereka.
 
Dalam melakukan pembantaian terhadap warga Palestina orang-orang Zionis mengusung ideologi yang tidak mengakui hak apapun bagi rakyat Palestina. Salah satu pemikiran dasar Zionisme adalah penafian keberadaan bangsa yang bernama Palestina. Pemikiran inilah yang melandasi segala kejahatan Zionis. Koran Sunday Times pada tanggal 15 Juni 1969 mengutip pernyataan Perdana Menteri Israel Golda Meir yang mengatakan, "Tidak ada orang Palestina. Salah jika kita beranggapan ada bangsa bernama Palestina yang tinggal di negeri Palestina. Lalu kami datang mengusir mereka dan merampas negeri mereka. Sebab, yang benar adalah tidak ada bangsa itu."
 
Benzion Dinur orang yang pertama menjabat sebagai Menteri Pendidikan Nasional di rezim ilegal Israel pada tahun 1954 di pembukaan buku berjudul ‘Sejarah Haganah' menulis demikian, "Di negeri kita tidak ada tempat bagi selain Yahudi. Kita akan katakan kepada orang-orang Arab, enyahlah kalian! Jika menolak dan melawan kami akan mengusir mereka secara paksa."
 
Dengan pemikiran ektrim seperti ini, para pemimpin Zionis menggelar pesta teror pada dekade 1920 dan 1930-an untuk memaksa warga Palestina meninggalkan negeri nenek moyang mereka. Dalam aksinya regu-regu teror Zionis tak segan melakukan pembantaian massal. Salah satu tragedi yang dicatat sejarah adalah pemboman Juli 1946 di King David Hotel di kota Beitul Maqdis oleh Irgun dengan korban tewas 91 orang. Aksi teror lainnya terjadi di Semiramis Hotel di kota yang sama yang menewaskan 30 orang.
 
Salah satu kejahatan paling keji yang dilakukan orang-orang Zionis terhadap warga Palestina adalah pembantaian massal desa Deir Yassin pada tanggal 9 April 1948, atau kurang satu bulan sebelum deklarasi berdirinya rezim Zionis Israel. Kisah pembantaian Deir Yassin adalah kisah tragis bagi semua orang yang berhati nurani, tanpa peduli agama dan kepercayaannya. Saat itu, regu teror Irgun yang dipimpin Menachem Begin menyerang Deir Yassin dan membantai ratusan warganya yang terdiri dari laki-laki, perempuan, tua, muda dan anak-anak. Para penyerang memasukkan sebagian jenazah korban kebiadaban mereka ke dalam sumur dan sebagian lagi dipajang di dekat sumur tersebut.  Dengan cara itu, orang-orang Zionis ingin menyampaikan pesan peringatan kepada rakyat Palestina agar segera meninggalkan kampung halaman dan negeri mereka.
 
Menachem Begin dalam bukunya tentang sejarah Irgun menulis demikian, "Tanpa kemenangan di Deir Yassin pemerintahan Israel tidak akan pernah terbentuk." Pembantaian Deir Yassin direaksi secara luas di seluruh dunia. Albert Einstein, ilmuan kenamaan bersama sejumlah ilmuan terkemuka Yahudi dalam sebuah surat mengecam pembantaian itu. Surat itu dimuat di koran New York Times tanggal 28 Desember 1948. Para penandatangan surat itu menyatakan kekhawatiran mereka yang mendalam atas ide pembentukan Israel.
 
Di awal surat itu disebutkan, "Salah satu isu politik yang paling mencemaskan di abad ini adalah pembentukan Israel. Yang lebih buruk dari itu adalah pembentukan partai bernama Partai Keadilan yang mengusung ide dan kebijakan yang sangat mirip dengan kelompok Nazi dan Fasis… Sulit dipercaya, orang-orang yang rajin menebar pengakuan menentang fasisme di dunia dan mengenal baik kinerja dan ambisi politik Begin, mengapa memilih berada dalam daftar pendukung partainya?"
 
Di bagian lain, surat itu menyinggung serangan ke desa-desa Arab dan kejahatan yang dilakukan Partai Kebebasan terhadap warga Palestina di desa Deir Yassin dan menambahkan, "Sepak terjang orang-orang Israel di desa yang terpencil dan tertinggal itu menunjukkan gambaran apa yang akan mereka lakukan di masa mendatang. Tragedi Deir Yassin telah mengungkap jatidiri orang-orang Israel khususnya partai pimpinan Menachem Begin."
 
Akan tetapi, surat para ilmuan dan cendekiawan besar dunia tidak berhasil mencegah berlanjutnya aksi-aksi teror kelompok zionis. Berkat dukungan Amerika Serikat dan sekutu-sekutu Baratnya, Zionis telah melakukan kejahatan di Palestina pendudukan. Setelah tragedi Deir Yassin dan kejahatan serupa di berbagai daerah di Palestina pada tahun 1948 yang umumnya disertai dengan penghancuran desa-desa dan permukiman warga, lebih dari satu juta orang Palestina terusir dan terpaksa mengungsi ke berbagai negara Arab tetangga. Proses seperti ini terus berjalan sampai PBB menunjuk Count Folke Bernadotte untuk menangani masalah Palestina dan pengungsi Palestina.
 
Bernadotte yang dikenal netral telah melakukan banyak hal untuk membantu kepulangan para pengungsi Palestina ke kampung halaman mereka. Tapi usahanya gagal setelah orang-orang Zionis mengganjal misinya. Dalam laporan terakhirnya, Bernadotte menyatakan, "Menentang kepulangan warga yang tak berdosa ke rumah mereka adalah pelanggaran nyata terhadap prinsip dasar kemanusiaan." Bernadotte menambahkan, "Penentangan ini terjadi di saat para imigran Yahudi berbondong-bondong datang ke Palestina. Padahal, kehidupan warga Muslim Palestina di sana sudah mengakar kuat sejak beberapa abad."
 
Pendudukan Palestina sarat dengan modus kejahatan dan kekejian yang jauh dari nilai-nilai kemanusiaan. Dokumen sejarah memperlihatkan bahwa di tahun 1948 tahun lahirnya rezim ilegal Israel, kekayaan dan harta benda jutaan warga Palestina dirampas dan dikuasai oleh orang-orang Zionis. Apa yang terjadi di sana adalah kisah perampasan harta benda dan tanah yang paling besar dan dalam skala paling luas dalam sejarah. Count Folke Bernadotte dalam hal ini menulis, "Saat terjadi serangan orang-orang Zionis, para pengungsi Palestina umumnya pergi meninggalkan harta benda. Mereka tak sempat mengumpulkan benda-benda berharga yang mereka miliki. Bahkan, mereka bahkan hanya membawa serta pakaian yang melekat di badan saat meninggalkan rumah dan kampung halaman."
 
Tanggal 16 September 1948 Bernadotte menyerahkan laporan tentang perampasan yang dilakukan orang-orang zionis kepada PBB. Sehari setelahnya ia bersama pembantunya asal Perancis, Kolonel Andre P. Serot tewas dibunuh oleh regu teror Zionis, Stern di wilayah Beitul Maqdis yang diduduki Israel. Regu teror dipimpin oleh Yitzhak Shamir yang kelak menjadi salah satu pemimpin rezim Zionis. Menurut orang-orang Zionis,Bernadotte harus disingkirkan karena laporan-laporan yang dibuatnya telah menimbulkan masalah bagi Zionisme. (IRIB Indonesia)

Akar Terorisme Zionis (Bagian 4)

Sebelum terbentuknya rezim ilegal Israel, orang-orang zionis membentuk regu-regu teror yang bertugas menebar ketakutan di tengah warga Palestina guna memaksa mereka meninggalkan negeri nenek moyang mereka. Berkat dukungan penuh negara-negara Barat khususnya Inggris di zaman itu, kaum regu-regu teror Zionis tak segan melakukan kejahatan dalam bentuk apapun. Setelah berakhirnya Perang Dunia I dan runtuhnya kesultanan Ottoman, Liga Bangsa-Bangsa yang berada di bawah pengaruh Inggris memberlakukan sistem mandat untuk Palestina dan menyerahkannya kepada Inggris. Inggrislah yang memberikan kebebasan kepada orang-orang Zionis untuk melakukan apa saja di Palestina demi memudahkan mereka membentuk negara Yahudi' di negeri ini.
 
Antara PD I sampai berakhirnya PD II, yang memakan masa sekitar tiga dekade, regu-regu teror melakukan banyak kejahatan di Palestina. Pada pembahasan yang lalu sudah dijelaskan tentang regu-regu teror yang dipimpin para tokoh Zionis seperti Menachem Begin dan Yitzhak Shamir, juga pembantaian tragis desa Deir Yassin dan pembunuhan wakil PBB Count Folke Bernadotte oleh regu teror Stern. Dalam menjalankan aksinya, teru-regu teror itu bahkan menjadikan orang-orang Inggris dan warga Yahudi sebagai sasaran dengan tujuan menunjukkan ketidakamanan di sana. Hal itu dimaksudkan untuk meyakinkan Inggris agar menyetujui imigrasi besar-besaran kaum Yahudi ke Palestina.
 
Salah satu aksi teror yang sering dilakukan Zionis terhadap warga Arab Muslim adalah pengeboman bus-bus dan lokasi-lokasi tempat warga Muslim berkumpul. Aksi-aksi teror itu terjadi antara dekade 1930-1940 di berbagai kota. Salah satunya adalah pengeboman di sebuah pasar sayuran tanggal 25 Juli 1938 yang menewaskan 39 orang dan melukai 64 lainnya. Sebulan setelahnya, aksi teror serupa terjadi di lokasi yang sama menewaskan 32 warga Palestina dan melukai 30 lainnya. Selain pengeboman, regu-regu teror Zionis sering kali menembaki kendaraan-kendaraan sipil Palestina. Kejahatan itu menewaskan banyak warga Palestina dengan mayoritas korban perempuan dan anak-anak.
 
Bukan hanya bus, kereta api juga menjadi sasaran teror orang-orang Zionis, yang puncaknya terjadi pada tahun pembentukan rezim Israel yaitu tahun 1948. Antara bulan Februari dan Maret 1948, terjadi beberapa kali pengeboman kereta api yang menewaskan lebih dari 90 warga Palestina dan melukai lebih dari 150 lainnya. Secara umum, regu-regu teror Zionis memang mengemban misi untuk mengoptimalkan kondisi teror di tengah rakyat Palestina untuk memaksa mereka meninggalkan kampung halaman mereka.
 
Tanggal 5 Januari 1948, hotel Semaramis milik seorang warga Arab Palestina di Beitul Maqdis diledakkan oleh regu teror, Haganah. Dalam insiden itu, lebih dari 20 orang termasuk Konsul Spanyol tewas. Dalam aksi teror lainnya, Zionis menyerang bekas pangkalan militer Inggris Tel Litvinsky, tempat penampungan warga Arab Palestina. Serangan itu menewaskan 90 warga Arab. Seiring dengan itu, desa-desa Palestina menjadi sasaran serangan Zionis. Misalnya, tanggal 13 maret 1948 desa Kfar Husainiyah diserang regu teror Haganah dengan korban tewas 60 warga. Bulan April terjadi pembantaian Deir Yassin. Tanggal 11 dan 12 Juli tahun yang sama, di kota al-Lad zionis melakukan pembantaian massal. Dengan intruksi Moshe Dayan, orang-orang Zionis menembaki warga kota itu secara massal. Warga yang tinggal di dalam rumah pun tak selamat dari pembantaian ini. Selain menewaskan sedikitnya 250 warga Palestina, aksi teror itu juga melukai warga dalam jumlah besar.
 
Sebulan menjelang deklarasi berdirinya Israel, regu-regu teror Zionis kian meningkatkan aksi tebar maut di Palestina. Tanggal 22 April 1948, Zionis menyerang kota Haifa dan membunuh 500 warga Palestina. Warga yang berusaha melarikan diri lewat pelabuhan Haifa tak lepas dari serangan. 100 orang tewas dan 200 luka-luka dengan mayoritas korban perempuan dan anak-anak.
 
Seperti yang sudah disinggung sebelum ini, bahwa korban teror Zionis bukan hanya warga Arab Palestina, tapi juga warga Inggris dan orang-orang Yahudi. Bedanya, warga Arab menjadi sasaran teror secara langsung dengan tujuan memaksa mereka meninggalkan Palestina karena cekaman rasa takut. Sementara pembunuhan terhadap warga Yahudi dan Inggris dilakukan secara sistematis dengan tujuan memperoleh insentif besar dari Inggris.
 
Misalnya, tahun 1939, Kerajaan Inggris mengumumkan bahwa imigran Yahudi yang masuk ke Palestina tanpa izin tidak berhak menetap di negara ini. Untuk melaksanakan aturan itu, pada tanggal 25 November 1940, aparat keamanan Inggris menaikkan ratusan imigran Yahudi ilegal ke kapal Patria untuk dikirim ke salah satu wilayah koloni. Lembaga Yahudi yang bertugas mengkoordinasi imigrasi Yahudi dari berbagai negara ke Palestina menentang aturan itu. Dengan kerjasama regu-regu teror Haganah meledakkan kapal tersebut. Kapal Patria dengan 1900 imigran Yahudi itu meledak di pelabuhan Haifa, menewaskan 140 orang.
 
Peristiwa serupa terjadi pada bulan Februari 1942 saat regu teror Zionis meledakkan dan menenggelamkan kapal Struma yang mengangkut 769 imigran ilegal Yahudi. Kapal ini diledakkan dan ditenggelamkan oleh Haganah setelah pemerintah Inggris tidak memberikan izin kepada kapal itu di pelabuhan Istanbul untuk bertolak ke Palestina. Peristiwa itu menewaskan seluruh penumpangnya. Lembaga Yahudi menyebut kejadian itu sebagai bunuh diri massal untuk memprotes keputusan Kerajaan Inggris. Akibat desakan itu, Inggris akhirnya menyetujui imigrasi kaum Yahudi ke Palestina.
 
Semua aksi teror yang dilakukan Zionis adalah upaya langkah demi langkah untuk menduduki negeri Palestina. Akhirnya apa yang mereka impikan pun terwujud setelah Inggris, Amerika Serikat dan negara-negara Barat di PBB pada tahun 1948 menyatakan mendukung dan mengakui eksistensi Israel. Tapi bukan berarti kekerasan, teror dan ambisi kaum Zionis sudah berakhir. Dengan berlalunya masa, orang-orang Zionis tidak puas dengan pendudukan Palestina. Mereka mulai mengembangkan ide Israel Raya dengan luas wilayah yang membentang dari Nil hingga Eufrat. Tak heran jika agresi dan aksi perluasan wilayah terus berjalan. Setelah menduduki sebagian besar wilayah Palestina, mereka berambisi menduduki wilayah-wilayah lainnya di Dunia Arab.
 
Setelah deklarasi pembentukan rezim Zionis Israel, regu-regu teror dilebur ke dalam militer atau dinas intelijen rezim, Mossad. Setelah lahirnya rezim ilegal Israel, dunia menyaksikan fenomena terorisme dalam bentuknya yang baru yaitu terorisme negara.  Terorisme ini bukan melibatkan pribadi atau kelompok tetapi negara yang dibentuk secara ilegal. Sasarannya adalah orang-orang Palestina baik di dalam wilayah Palestina atau di luar, bahkan orang yang bukan warga Palestina di negara-negara lain. Namun,  meski sudah melakukan banyak kejahatan bahkan dalam bentuknya yang paling keji, Israel belum pernah dikecam secara serius oleh negara-negara Barat. Yang menarik, justeru para pejuang Palestinalah yang oleh para pemimpin Barat disebut teroris karena melawan kejahatan kaum Zionis. (IRIB Indonesia)


Akar Terorisme Zionis (Bagian 5)

Pada pembahasan sebelumnya, telah disinggung tentang sebagian kejahatan dan aksi terorisme yang dilakukan orang-orang zionis dalam rentang waktu antara dua Perang Dunia. Akibatnya, ratusan ribu warga Palestina terusir dari negeri mereka yang lantas diikuti oleh imigrasi besar-besaran ratusan ribu Yahudi dari berbagai negara ke Palestina. Dengan tindakan ilegal dan tanpa perikemanusiaan itu, dan berkat dukungan Barat yang memanfaatkan pengaruhnya di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), akhirnya pada bulan Mei1948 zionis mendeklarasikan berdirinya Israel di negeri Palestina. Berdirinya Israel bukan berarti berakhirnya aksi teror dan kejahatan orang-orang zionis. Setelah berhasil menduduki sebagian besar wilayah Palestina, mereka berambisi negara-negara Islam dan Arab lainnya.
 
Pemikiran rasis dan klaim diri sebagai kaum yang terpilih melandasi ambisi orang-orang zionis untuk bermimpi mewujudkan negeri yang terbentang dari Nil hingga Eufrat. Tak heran jika kejahatan yang dilakukan kelompok ini tidak terbatas hanya di negeri Palestina. Setelah terbentuknya Israel secara tidak sah, badan-badan teror zionis dilebur ke dalam korps ketentaraan atau dinas intelijen bernama Mossad. Sejak itulah dunia mulai mengenal satu bentuk terorisme bernama terorisme negara. Terorisme negara bukan dilakukan secara individual atau oleh kelompok tertentu, tapi dilakukan dan diorganisir secara tidak sah oleh negara. Korbannya bukan hanya orang Palestina, tapi juga non Palestina yang bahkan terjadi di negara-negara lain.
 
Salah satu regu teror di dalam korps teror dan ketentaraan Israel adalah regu yang dinamakan Unit 101. Di bawah komando Ariel Sharon, mereka banyak melakukan kejahatan dengan alasan menangkis ancaman yang datang dari negara-negara Arab yang bertetangga dengan Palestina. Salah satu kejahatan yang mereka lakukan adalah serangan ke desa Beit Jala pada 11 Januari 1952. Desa yang menjadi sasaran serangan mereka itu terletak di dekat Baitul Maqdis, di kawasan Yordania. Dalam serangan itu, 4 anak kecil, 2 perempuan dan seorang pria tewas. Di akhir bulan yang sama, Unit 101 menyerang dua desa lain bernama Palame dan Rantis. Kebanyakan korban serangan itu adalah anak-anak dan perempuan.
 
Bulan Oktober tahun 1953, Unit 101 melakukan pembantaian massal di desa Qibya, Yordania. Dalam aksinya mereka meledakkan 41 rumah dan sebuah sekolah serta membunuh 42 orang. Dua jam setelah kejahatan itu terjadi pengamat PBB meninjau lokasi pembantaian. Dalam laporan kepada Dewan Keamanan PBB mereka menyatakan, mayat-mayat dengan kondisi tubuh tertembus peluru dan bekas tembakan yang nampak di dinding dan jendela rumah-rumah yang hancur menunjukkan bahwa para korban dipaksa berada di dalam rumah mereka lalu rumah itu dihancurkan di atas kepala para penghuninya.
 
Laporan ini menambahkan, berdasarkan penyaksian kami di malam yang mencekam ini  tentara Israel menyerbu desa dan meledakkannya dengan dinamit-dinamit, menembaki rumah dan jendela dengan senapan otomatis dan melemparkan granat ke dalam rumah-rumah warga.
 
Di kemudian hari, saat berbicara tentang kejahatan yang dilakukan regu yang dipimpinnya ini, Ariel Sharon ini dalam sebuah wawancara dengan bangga mengatakan, "Mereka harus dibantai dan terus dibantai. Orang-orang teroris itu harus dibantai di manapun berada." Tentunya, yang dimaksud dengan kata teroris oleh Ariel Sharon adalah orang-orang Palestina. Sharon menambahkan, "Baik di Israel atau di negara-negara Arab maupun di tempat lain, saya tahu bagaimana membunuh mereka dan saya sudah membunuh mereka."
 
Sejak awal menduduki Palestina, rezim pendudukan menyebut rakyat Palestina yang tertindas sebagai teroris. Sementara orang Yahudi zionis sendiri menyebut dirinya sebagai orang-orang yang tertindas dan terzalimi. Dengan cara itu, mereka berharap bisa menjustifikasi kejahatan yang mereka lakukan termasuk pembantaian anak-anak kecil dan perempuan dengan alasan memerangi teroris. Dengan argumentasi ini, mereka tidak mengenal batas dalam membunuh warga Palestina secara massal. Setelah terbentuknya Israel secara ilegal, desa-desa Palestina bahkan kamp-kamp pengungsi berulang kali menjadi sasaran serangan tentara zionis.
 
Tanggal 28 Agustus 1953, kamp pengungsi al-Buraij di Gaza yang dikelola oleh badan bantuan PBB diserang tentara zionis. Mereka melemparkan granat lewat jendela-jendela gubuk di kamp tersebut. Ketika penghuni melarikan diri keluar untuk menyelamatkan diri dari ledakan granat, tentara zionis memberondong mereka dengan senapan. Serangan itu menewaskan 20 warga Palestina dan melukai 62 lainnya.
 
Orang-orang zionis menggunakan segala cara dalam menjalankan aksi teror. Mereka bahkan menemukan cara-cara yang sama sekali baru yang salah satunya adalah bom surat. Tanggal 13 Juli 1956, Kolonel Mustafa Hafiz, seorang perwira Mesir di Jalur Gaza tewas setelah membuka surat yang berisi bom. Sehari setelahnya terjadi peristiwa serupa yang menimpa Kolonel Salah Mustafa, Atase Militer di Amman. Salah Mustafa mengalami luka serius dan akhirnya meninggal dunia. Tewasnya atase militer Mesir ini, tidak memberikan keuntungan kepada Israel, sebab menyusul peristiwa itu, Presiden Mesir, Gamal Abdel Nasser, semakin bertekad untuk menasionalisasi Terusan Suez.
 
Tahun 1956 adalah tahun dimulainya babak baru kejahatan dan aksi ekspansionisme rezim Zionis. Impian mendirikan negara Israel Raya dengan wilayah yang terbentang dari sungai Nil hingga sungai Eufrat mendorong kaum Zionis untuk memperluas daerah pendudukan. Negara pertama yang mereka lirik adalah Mesir yang saat itu dipimpin oleh tokoh kharismatik bernama Gamal Abdul Nasser. Dengan slogan-slogan nasionalismenya, ia telah menggoncang kepentingan 2 negara imperialis Inggris dan Perancis. Israel sendiri merasa terancam dengan naiknya orang-orang nasionalis ke tampuk kekuasaan di Mesir.
 
Kebijakan Nasser menasionalisasi Terusan Suez membuat berang Perancis dan Inggris. Sebab kanal Suez ibarat urat nadi bagi aktivitas perairan bangsa-bangsa Eropa. Sementara di dunia Arab, khususnya di Mesir, kebijakan itu disambut dengan suka cita dan rasa bangga. Menurut masyarakat Arab, penguasaan terusan Suez oleh orang-orang asing adalah warisan zaman penjajahan yang harus dihapus. Nasionalisasi Suez adalah kebijakan yang pertama diambil oleh seorang pemimpin Arab untuk kepentingan bangsa Arab, bukan untuk bangsa asing. Menyusul kebijakan itu, pada tanggal 21 Oktober 1956, para petinggi politik dan militer Inggris, Perancis dan Israel berkumpul di Paris untuk menyusun strategi serangan ke Mesir. Untuk mengalihkan perhatian negara-negara Arab, rezim Zionisme melakukan kejahatan dalam bentuknya yang sangat keji di desa Kafr Qasim di perbatasan Yordania. (IRIB Indonesia)

Akar Terorisme Zionis (Bagian 6)

Setelah berhasil menguasai sebagian besar negeri Palestina, para pemimpin Zionis berkhayal untuk mewujudkan Israel Raya dengan luas wilayah yang membentang dari sungai Nil di Mesir hingga Eufrat di Irak. Impian itu dilanjutkan dengan penyusunan program kerja dan ditindaklanjuti dengan berbagai tindakan termasuk aksi teror dan kejahatan. Kaum Zionis yang mengatasnamakan gerakan Yahudi ini menganggap diri mereka sebagai kaum pilihan Tuhan yang telah diberi hak atas negeri Palestina. Dengan klaim sebagai kaum pilihan itulah mereka merasa berhak melakukan apa saja. Akibatnya, mereka tak segan melakukan penyiksaan, pembantaian, teror, penangkapan, pengusiran paksa, penjarahan, perampasan hak bangsa lain dan berbagai kejahatan lain yang kesemuanya terabadikan dalam lembaran-lembaran sejarah gerakan terorisme ini.

Salah satu aksi teror yang dilakukan Zionis dengan mengusung pemikiran rasialis ini adalah tragedi pembantaian yang terjadi di desa Deir Yassin tanggal 9 April 1948. Dalam peristiwa itu sebanyak 254 warga desa termasuk perempuan, anak-anak dan orang tua dibantai secara massal oleh regu teror Zionis bernama Irgun yang dipimpin Menachem Begin. Dalam melakukan aksi, selalu ada alasan yang dijadikan dasar pembenaran tindakan mereka. Kali ini yang mereka usung adalah misi rasisme untuk membangun sebuah peradaban baru.

Pada tanggal 29 Oktober 1899, beberapa waktu setelah berlangsungnya kongres Zionis, salah seorang tokoh Zionis dalam suratnya kepada Theodore Herzl menyatakan, "Sebelum terlambat, saya ingin mengingatkan Anda untuk sering-sering merujuk program Israel Raya. KonferensiBalfourharus memasukkan kata ‘Israel Raya' atau ‘Israel dan negeri-negeri tetangganya'. Sebab, jika tidak program ini tak ada artinya. Karena, Anda tak akan bisa memberi tempat bagi 10 juta warga Yahudi di negeri yang hanya memiliki luas wilayah 25 kilometer persegi.

Pernyataan yang lebih jelas diungkapkan oleh Ben Gurion, Perdana Menteri pertama Rezim Zionis Israel. Dia mengatakan, "Yang menjadi permasalahan kita bukan mempertahankan kondisi yang ada, tapi kita memikul tugas untuk menciptakan pemerintahan yang bergerak untuk menjadi semakin besar." Dengan pemikiran inilah, kaum Zionis tidak puas hanya dengan menduduki Palestina,karena Yordania, Mesir, Suriah dan Lebanon pun diincar dan sebagian wilayah negara-negara itu pun telah dicaplok.

Seperti yang sebelum ini sudah disinggung, menyusul kebijakan Presiden Mesir Gamal Abdel Nasser yang menasionalisasi terusan Suez, orang-orang Zionis yang dibantu Inggris dan Perancis menggelar aksi teror untuk memuluskan jalan bagi program agresi dadakan ke Mesir. Untuk memalingkan perhatian, Rezim Zionis mengerahkan tentaranya ke perbatasan Yordania. Penempatan pasukan itu berhasil memalingkan perhatian pemerintah Mesir sehingga tak menaruh perhatian pada perbatasannya dengan Palestina. Pada tahap berikutnya, Zionis melakukan pembantaian di sebuah desa dekat perbatasan Yordania.

Israel membuat pengumuman darurat militer di perbatasan. Salah satu desa yang berada di wilayah ini adalah desa Kfar Qasim.  Kepala desa yang mengetahui keputusan Israel itu hanya 30 menit sebelum pelaksanaan darurat militer tak memiliki waktu yang cukup untuk memberitahu seluruh warga desa untuk kembali ke rumah masing-masing sebelum matahari terbenam. Kondisi itu dilaporkan oleh komandan lokal Zionis kepada atasannya untuk meminta pendapat apa yang mesti dilakukan. Jenderal Zionis saat menjawab pertanyaan bawahannya mengatakan, "Saya tidak suka dengan rasa iba... jika itu kejadiannya maka itu sudah menjadi takdir buruk mereka."

Dengan diterapkannya jam malam dan darurat militer, warga desa Kfar Qasim yang tak tahu apa-apa harus berhadapan dengan pasukan Zionis bersenjata lengkap yang hanya menanyakan apakah mereka warga desa Kfar Qasim? Jika jawabannya positif mereka akan segera diterjang peluru tanpa belas kasihan dengan alasan melanggar aturan jam malam. Hanya dalam waktu satu jam antara pukul 17-18 petang 49 warga desa Kfar Qasim tewas di tangan tentara Zionis, termasuk diantara korban adalah perempuan dan anak-anak. Dalam melakukan kejahatan kaum Zionis  mengusung slogan, ‘Lakukanlah tanpa perasaan, Tuhan akan merahmatimu'. Slogan seperti ini muncul dari keyakinan akan keunggulan mereka di atas bangsa-bangsa lain sebagai kaum pilihan Tuhan.

Seiring dengan kejahatan itu, tentara Zionis bergerak memasuki Mesir. Setelah menduduki gurun Sinai mereka bergerak maju ke arah terusan Suez.  Empat hari setelah invasi tersebut tanggal 2 November 1956, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mendesak Israel dan Mesir untuk menyepakati gencatan senjata. Saat itu, gurun Sinai dan Jalur Gaza telah dikuasai oleh tentara Zionis. Perang ini adalah pertama yang terjadi antara zionis dengan negara-negara tetangga Palestina.

Setelah kobaran perang Suez reda dan tragedi pembantaian desa Kfar Qasim terungkap masyarakat internasional mengecam aksi tersebut. Kuatnya tekanan memaksa Israel menyeret 11 tentara dan perwira militer di perbatasan ke meja hijau dengan tuduhan pembantaian di desa Kfar Qasim. Proses pengadilan ini tercatat sebagai salah satu humor sejarah yang paling menyakitkan. Semua yang terlibat divonis dengan ‘gaji tambahan 50 persen'.

Pada tahap berikutnya, akibat tekanan opini umum dunia, Israel menyeret memvonis dua perwira dalam tragedi Kfar Qasim Mayor Samuel Malinky dan Letnan Gabriel Dahan dengan hukuman 17 dan 15 tahun penjara. Akan tetapi mahkamah tinggi militer memutuskan untuk memberi keringanan kepada kedua perwira tersebut atas vonis pengadilan yang dinilai berat. Setahun kemudian keduanya dibebaskan. Sembilan bulan setelah bebas, Dahan diangkat menjadi perwira militer yang bertanggung jawab tentang urusan bangsa Arab di Ramallah, sementara Malinky yang memanfaatkan pengaruah militer berhasil memperoleh izin membuka pusat wisata di selatan Palestina. Dengan demikian, berkas perkara pembantaian desa Kfar Qasim pun ditutup.

Saat menyerang Mesir, tentara Zionis juga melakukan sejumlah aksi pembantaian. Empat hari setelah tragedi Kfar Qasim,  tentara Zionis menyerang kamp pengungsi Khan Yunis di selatan Gaza. Korban tercatat sebanyak 500 orang antara tewas dan luka-luka. Sembilan hari berikutnya tanggal 12 November 1956, tentara Zionis kembali menyerang Khan Yunis dan membunuh 275 orang. Di hari yang sama, Rafah 100 warga Palestina tewas di tangan tentara Zionis.

Catatan-catatan hitam ini menunjukkan bahwa pembantaian dan kejahatan adalah hal yang biasa bagi orang-orang Zionis. Setiap satuan militer Zionis mengantongi agenda untuk menebar maut di tengah rakyat Palestina. Sedemikian besarnya kejahatan yang mereka lakukan sehingga diperliukan waktu yang cukup panjang untuk membicarakan satu persatu. Yang lebih menyakitkan adalah bahwa mayoritas korban aksi-aksi kejahatan itu adalah perempuan dan anak-anak. Semua itu dilakukan tanpa khawatir akan dipermasalahkan di dunia. sebab, Israel yakin bahwa sekutu-sekutunya yang notabene adalah negara adidaya dunia bakal membelanya.(IRIB Indonesia)

Akar Terorisme Zionis (Bagian 7)

Dengan ambisinya untuk membentuk Israel Raya, kaum Zionis menggelar agresi ke sejumlah negara lain termasuk Mesir yang dibantu oleh angkatan bersenjata Inggris dan Perancis. Dalam agresi ini, mereka melakukan pembantaian massal. Saat menyerang perbatasan Yordania, tentara  Zionis menciptakan tragedi baru di desa Kfar Qasim untuk memalingkan perhatian Mesir dari serangan massal yang dilakukan pasukan gabungan zionis, Inggris dan Perancis. Tak hanya itu, regu-regu teror Zionis juga membantai warga Palestina di Gaza. Dengan berakhirnya perang terusan Suez, orang-orang Zionis semakin memperluas aksi teror dan agresinya di kawasan termasuk teror terhadap sejumlah ilmuan Jerman.

Di awal dekade 1960, Presiden Mesir Gamal Abdel Nasser menjalin kerjasama dengan sejumlah ilmuan asal Jerman dalam proyek pembuatan rudal jarak jauh darat ke darat. Dalam satu jumpa pers, Gamal Abdel Nasser mengatakan bahwa rudal buatan Mesir akan mampu menjangkau ibukota Lebanon, Beirut. Pernyataan itu dianggap sebagai ancaman serius bagi Zionis. Yitzak Shamir dan orang-orangnya di dinas intelijen Mossad pun lantas menyusun rencana untuk menggagalkan proyek pembuatan rudal itu dengan cara membunuh para ilmuan yang bekerjasama dalam program rudal ini. Sejumlah paket bom pun dikirim ke alamat para ilmuan itu di Mesir dan Eropa. Memang, paket bom tidak menewaskan satupun ilmuan Jerman tetapi berhasil menggagalkan program tersebut karena menewaskan enam ilmuan militer Mesir.

Seiring dengan itu, Rezim Zionis melakukan tindakan-tindakan yang membatasi ruang gerak Mesir dan Yordania demi mencegah kemungkinan  terjadinya serangan militer dari kedua negara Arab itu. Untuk itu, pada bulan Juni 1967, Israel menggelar perang besar-besaran ke sejumlah negara Arab.  Hanya dalam enam hari, Israel melakukan serangan mendadak yang berhasil melumpuhkan angkatan bersenjata negara-negara Arab. Gencatan senjata pun diumumkan setelah militer Mesir, Yordania dan Suriah menderita kekalahan telak. Perang Juni 1967 merupakan kisah paling tragis dalam sejarah perang Arab-Zionis.  Sebelum terjadinya perang, 14 negara Arab menyatakan siap membentuk satu kekuatan besar untuk mengalahkan Rezim Zionis. Akan tetapi serangan dadakan yang dilakukan Israel telah melumpuhkan barisan kekuatan Arab dan Zionis berhasil menduduki sejumlah wilayah Arab termasuk gurun Sinai di Mesir, dataran tinggi Golan di Suriah dan kawasan timur sungai Jordan.

Kekalahan tahun 1967 juga telah menghancurkan semangat juang negara-negara Arab. Setelah tahun 1967, tak ada perang berarti yang terjadi antara Arab dan Israel. Meski demikian, para pejuang Palestina tetap berada di medan perang walau tanpa dukungan dari negara-negara Arab. Menghadapi para pejuang Palestina, rezim Zionis semakin brutal dalam melakukan aksi teror dan pembantaian. Sejarah mencatat terjadinya berbagai tragedi kemanusiaan di Palestina yang mengerikan antara tahun 1967 sampai tahun 1970.

Pada bulan November 1967 dan Februari 1968 pesawat-pesawat tempur rezim Zionis membombardir kamp pengungsi Palestina Karamah di Yordania. 28 orang tewas dan ratusan lainnya luka-luka dalam dua serangan itu. Korban kebanyakan perempuan dan anak-anak. 15 Februari 1968 pesawat tempur Zionis menjatuhkan bom-bom pembakar Napalm di 15 desa dan kamp-kamp pengungsi di sepanjang sungai Jordan yang menewaskan dan melukai puluhan pengungsi Palestina. Berbagai agresi, teror dan aksi pembantaian yang dilakukan Zionis setelah perang Enam Hari ditujukan untuk memaksa warga Palestina meninggalkan tempat tinggal mereka.

Rezim Zionis Israel tak pernah segan untuk melakukan aksi teror dan pembantaian baik di dalam wilayah negeri Palestina maupun di luar. Cara itu dilakukan untuk melemahkan gerakan anti zionisme di kawasan. Tak hanya membantai, Israel juga berusaha menjalin hubungan dengan sejumlah negara Arab. Yordania adalah negara Arab pertama yang menjalin hubungan diplomatik secara resmi dengan Israel. Hubungan ini sangat bernilai di mata Zionis mengingat Yordania adalah negeri yang menampung ribuan pengungsi Palestina dan menjadi markas gerakan perjuangan Palestina rezim Zionis. Dengan menjalin hubungan diplomatik ini Israel bisa meminta Yordania untuk membantunya mengontrol gerakan para pejuang Palestina.

Permintaan Israel itu disambut dengan tangan terbuka oleh Raja Husein, penguasa Yordania. Raja Husein bahkan ikut melakukan pembantaian terhadap warga Palestina yang salah satunya adalah peristiwa September Kelabu. Tanggal 17 September 1970, sekelompok pejuang Palestina yang memprotes pembelaan Amerika terhadap kejahatan Israel membajak tiga pesawat komersial. Setelah menurunkan seluruh penumpang dan awaknya, para pejuang itu meledakkan pesawat tersebut di gurun Zarqa di utara ibukota Yordania,Amman.  Raja Husein menyebut aksi itu sebagai pelanggaran terhadap kedaulatan Yordania.

Dengan alasan membalas aksi itu, dia mengerahkan tentara dalam sebuah operasi yang ditujukan melumpuhkan kekuatan perjuangan Palestina secara penuh di negara itu. Selama 13 hari, tentara dan pasukan pengawal kerajaan melakukan pembantaian massal terhadap 20 ribu warga Palestina di sejumlah kamp pengungsian. Peristiwa tragis itu dikenal sebagai Pembantaian September Kelabu. Setelah pembantaian itu para pengungsi Palestina terpaksa meninggalkan Yordania menuju Lebanon dan Suriah.

Usai melakukan pembantaian sadis terhadap para pengungsi Palestina, tentara Yordania ditempatkan di sekitar wilayah timur sungai Jordan untuk mengamankan Palestina seperti yang dimaukan Israel. Setelah peristiwa September 1970, Raja Husein meyakinkan pihak Israel bahwa tak akan ada lagi serangan ke Israel melalui Yordania. Husein bin Talal telah menunjukkan jatidirinya yang sesungguhnya bahwa dia adalah salah satu kaki tangan Zionis di Dunia Arab. Peristiwa September Kelabu adalah aksi pembantaian yang skenarionya disusun oleh orang-orang Zionis dan pelaksanaannya diserahkan ke tangan rezim Amman. Sejak saat itu, rakyat Palestina tak hanya berhadapan dengan kaum Zionis tetapi juga dengan rezim Yordania.

Setelah berhasil menggaet dan menundukkan Raja Husein, Israel mulai memperluas agresinya ke negara-negara Arab tepatnya Lebanon dan Suriah. Untuk membenarkan agresi itu, Israel mengaku bahwa misi operasi militer ini adalah menumpas para pejuang Palestina demi menjamin keamanan Israel. Tanggal 12 Mei 1970, pasukan Israel bergerak memasuki Lebanon. Dalam serangan itu puluhan warga Lebanon dan Palestina tewas. Rezim Zionis mengetahui  dengan baik bahwa Lebanon tak akan mudah ditundukkan seperti Yordania mengingat demografi kependudukannya yang khas. Lebanon adalah negeri bagi berbagai agama, madzhab, dan etnis.  Untuk mendukung programnya, kaum Zionis menebar isu-isu sektarian di tengah warga Lebanon. Israel memperkuat kubu Kristen Maronit untuk menekan kelompok Muslim dan pengungsi Palestina. Langkah itulah yang menyulut pecahnya perang saudara di Lebanon.(IRIB Indonesia)

Akar Terorisme Zionis (Bagian 8)

Pada pertemuan yang lalu, kita telah menyinggung tentang peristiwa September Kelabu yang terjadi di Yordania. Peristiwa tragis itu memang tidak melibatkan orang-orang Zionis secara langsung, tetapi zionis menjadi pihak yang sangat diuntungkan dengan pembantaian massal itu.

Dalam peristiwa itu, tentara dan pasukan keamanan Yordania yang mengantongi instruksi Raja Hussein melakukan pembantaian massal terhadap para pengungsi Palestina. Lebih dari 20 ribu orang Palestina tewas di tangan para penjagal Arab itu sementara ribuan lainnya melarikan diri ke Suriah dan Lebanon. Aksi pembantaian itu menempatkan Raja Husein dalam posisi polisi Israel dalam menumpas rakyat Palestina di tahun 1970. Pasca peristiwa itu, rezim Amman praktis menerapkan kebijakan yang mengutamakan keamanan Israel di perbatasan Yordania.

Setelah yakin akan keamanannya dari wilayah Yordania, rezim zionis Israel menggerakkan tentaranya ke arah Lebanon. Alasannya adalah untuk mengejar para pejuang Palestina yang berlindung di negara itu. Serangan itu juga dimaksudkan untuk Lebanon setelah berhasil menduduki Palestina. Kamp-kamp pengungsi dan titik-titik perlawanan pejuang Palestina di Lebanon diserang. Secara umum, kejahatan dan teror yang dilakukan Zionis umumnya terjadi dua negeri, Palestina dan Lebanon. Untuk memudahkan operasinya, Israel menebar benih-benih perselisihan di tengah rakyat Lebanon yang berujung pada pecahnya perang saudara di negara kecil itu akibatnya front perlawanan anti zionis pun melemah.

Dengan adanya perang saudara, tentara Israel dengan mudah melakukan pembantaian pengungsi dan teror terhadap para pejuang dan tokoh-tokoh perjuangan Palestina secara sistematis. Pembantaian dan teror itu dilakukan dengan kedok operasi penumpasan para teroris. Lagi-lagi, lembaga-lembaga dunia dan Negara-negara Barat menutup mata dari kejahatan yang dilakukan Israel tersebut.

Salah satu aksi teror yang dilakukan rezim zionis Israel adalah pembunuhan Wael Zuaiter, wakil Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) di Italia. Eksekutor pembunuhan yang terjadi pada tanggal 16 Oktober 1972 di Roma itu adalah dinas rahasia Israel Mossad. Wael Zuaiter tewas ditembak oleh dua penyerang tak dikenal di depan rumah kediamannya. Usai melakukan aksi penembakan, keduanya melarikan diri dengan kendaraan yang sudah menanti mereka. Pengadilan Kriminal Roma yang menangani kasus pembunuhan Wael Zuaiter dalam amar putusannya menyatakan, pengadilan tidak bisa menghukum seseorang dalam kasus ini. Sebab pembunuhan ini didasari oleh masalah politik sementara pengadilan tidak memiliki wewenang sama sekali. Kasus ini merupakan bagian dari kasus politik yang sudah direncanakan secara sistematis dan dilaksanakan dengan cara militer oleh sebuah badan yang terkait dengan pemerintah Israel.

Setelah kasus tersebut, Pengadilan Roma juga menangani kasus pembunuhan terhadap enam orang Palestina yang menjadi korban teror antara Oktober 1972 sampai Juli 1973. Pengadilan itu lagi-lagi membuat pernyataan yang kontroversial dengan menyatakan bahwa pembunuhan berantai ini telah diprogram oleh para petinggi Israel. Pengadilan Tindak Pidana Kriminal Roma menekankan bahwa para petinggi Israel telah mengumumkan perang tak belas kasihan terhadap perjuangan rakyat Palestina dan perwakilannya di mana pun dan dengan cara apapun. Pernyataan ini sekaligus menunjukkkan sikap umum negara-negara Barat dan pengaku pembela hak asasi manusia yang tak peduli dengan pelanggaran HAM yang dilakukan rezim zionis Israel terhadap rakyat Palestina. Berkas perkara pembunuhan dan teror di Italia terhadap sejumlah warga Palestina pun di-peti es-kan.

Sikap bungkam Barat terhadap kejahatan rezim Zionis Israel semakin mendorong para pemimpin Zionis untuk melakukan teror dan kejahatan lebih besar terhadap warga Palestina di Eropa. Akibatnya, kota-kota besar Eropa menjadi medan pembunuhan para pejuang Palestina yang berada di Eropa untuk memperjuangkan hak-hak rakyat Palestina lewat jalur politik. Sebagian besar mereka yang diteror Mossad di Eropa adalah orang-orang terpelajar dan budayawan. Wael Zuaiter saat tersungkur setelah tertembus peluru tengah membawa beberapa buku dan dua kerat roti. Para pejuang seperti Zuaiter tidak memanggul senjata api dan senapan sebab medan juang mereka adalah budaya dan politik yang memerlukan senjata logika dan pemikiran untuk membela negeri dan bangsanya.

Tanggal 29 November 1972, Mossad kembali melakukan teror di Eropa, tepatnya di Stockholm dengan korban Ahmad Iwadhullah dengan modus paket bom. Iwadhullah terluka dalam insiden itu. Sembilan hari kemudian Mahmoud Al-Hamshari, wakil PLO di Perancis luka parah akibat ledakan bom yang dipasang di gagang telepon rumahnya di Paris. Luka itulah yang menewaskan al-Hamshari pada 9 Januari 1973.

Terorisme negara dilakukan oleh rezim zionis Israel layaknya operasi militer biasa. Para pemimpin Zionis merasa berhak membunuh, meneror dan menculik siapa saja yang mereka maukan di mana saja. Para pejuang dan tokoh perjuangan khususnya yang tergabung dalam Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) menjadi sasaran teror rezim Zionis. Selain wakil PLO di Italia, Wael Zuaiter, regu teror Zionis juga membunuh juru bicara PLO, Ghassan Kanafani.

Tanggal 21 Januari 1973, Hussein Abdul Khabir wakil PLO di Cyprus tewas dalam insiden ledakan bom yang dipasang regu teror di kamar tidurnya. Tanggal 9 April tahun yang sama Abu Sami A'la Ahmad Abdul Qader, wakil PLO lainnya di Cyprus tewas ketika bom meledak di bawah tempat tidurnya di sebuah penginapan. Di hari yang sama tiga tokoh PLO yaitu Kamal Adwan, Kamal al-Naser dan Muhammad Yusuf al-Najjar bersama istrinya tewas dalam serangan bersenjata pasukan komando Israel di rumah mereka di kota Beirut. Dalam insiden itu, pasukan komando Israel melakukan aksi yang sangat brutal. Pasukan komando Israel itu dipimpin oleh Ehud Barak yang menyamar dengan mengenakan pakaian perempuan.

Korban teror berikutnya adalah Moussa Abu Zeid, salah seorang tokoh perjuangan muqawama yang tewas dalam insiden ledakan bom di kamarnya pada tanggal 12 April 1973. Serangan teror terhadap tokoh Palestina di Cyprus masih terjadi di tahun yang sama tepatnya pada tanggal 21 Juli 1973 dengan korban Ahmad Boushiki wakil PLO yang diteror bersama istrinya dan Abbas Bashir. Tujuh hari berikutnya Muhammad Abu Diya, wakil PLO di Paris tewas di tangan regu terror Israel.

Maraknya aksi terror terhadap para tokoh perjuangan Palestina di Eropa menunjukkan bahwa Israel ingin menyingkirkan para pemimpin bangsa Palestina lewat cara kekerasan dan terror. Apalagi para pemimpin Eropa sudah memberikan lampu hijau kepada Tel Aviv untuk menjalankan skenario pembunuhan itu di negara mereka. Tak ada tanda-tanda pencegahan dari pihak negara Barat untuk mencegah terjadinya teror itu dan tak ada pula keseriusan untuk menangkap para pelaku. Yang nampak adalah kerjasama agar program Israel untuk menyingkirkan para pejuang dan tokoh perjuangan Palestina bisa berjalan mulus. (IRIB Indonesia)

Akar Terorisme Zionis (Bagian 9)

Antara tahun 1972-1973 sejumlah tokoh politik, budayawan dan aktivis Palestina yang getol menyurakan ketertindasan rakyat Palestina menjadi korban teror yang dilakukan oleh dinas intelijen rezim Zionis Israel, Mossad di beberapa kota besar Eropa. Mereka antara lain Wael Zuaiter yang diteror di Roma, Ahmad Iwadhullah di Stockholm, Mahmoud Al-Hamshari di Perancis dan sejumlah tokoh Palestina lainnya.

Meski pemerintah setempat mengakui keterlibatan Mossad dalam aksi-aksi teror tersebut namun baik pejabat lokal mapun dinas keamanan dan peradilan di negara terkait tidak berusaha mencegah terjadi teror tersebut. Mereka terkesan membiarkan Mossad berbuat semuanya. Karena itulah agen-agen teror Israel tak menemukan kesulitan berarti dalam menjalankan misinya. Sejak awal pembentukannya secara ilegal sampai saat ini, teror menjadi salah satu strategi utama Israel untuk menyingkirkan musuh-musuhnya. Teror mereka lakukan bukan hanya di Palestina dan negara-negara Arab tetapi juga di jantung Eropa.

Satu hal yang penting untuk disinggung di sini adalah bahwa zionis tidak selalu terlibat langsung melawan para pejuang baik Palestina maupun non-Palestina yang mengangkat senjata membela Palestina. Dalam banyak kasus mereka mengerahkan kaki tangannya. Sebagai contoh, di Lebanon, untuk menghadapi kelompok-kelompok pejuang Palestina dan Lebanon Israel mengerahkan pasukan bayarannya yang terdirid ari orang-orang Lebanon sendiri. Lebanon memang memiliki keunikan terdiri dibanding negara-negara Arab lainnya. Negara ini menjadi pusat gerakan perjuangan Palestina setelah Raja Hossein usai melakukan pembantaian September berdarah mengusir para pengungsi Palestina yang tersisa dari negara itu.

Di Lebanon ratusan ribu pengungsi Palestina yang terusir dari negeri mereka harus hidup di kamp-kamp pengungsian dalam kondisi yang sangat mengenaskan. Dengan bantuan Eropa dan Amerika, Zionis menebar api fitnah perselisihan agama dan mazhab di Lebanon yang berujung dengan pecahnya perang saudara berkepanjangan. Seiring dengan itu, sejumlah kelompok juga terlibat konflik bersenjata dengan para pejuang Palestina. Perang ini menewaskan ribuan warga Palestina dan Lebanon. Konflik di Lebanon semakin melemahkan kekuatan para pejuang Palestina dalam menghadapi rezim zionis Israel.

Setelah tahun 1973, Lebanon menjadi saksi tragedi-tragedi paling berdarah dan menggetarkan hati dengan korban para pengungsi Palestina. Salah salah peristiwa itu adalah pembantaian kamp Tal Zatar secara sadis dan tak manusiawi oleh kelompok Kataeb, kaki tangan Israel, yang mendapat dukungan dan perintah langsung dari zionis. Kataeb adalah kelompok Kristen Lebanon yang dikenal rasis dan ekstrim dan didukung penuh oleh rezim Zionis Israel. Kelompok ini menjalin kerjasama dan persekutuan dengan Israel untuk menghabisi warga Muslim Palestina dan Lebanon.

Kamp Tel Zatar saat itu dihuni oleh sekitar 17 ribu pengungsi Palestina dan sejumlah warga Syiah asal Lebanon selatan yang berhijrah ke sana untuk mencari pekerjaan di pusat industri di kawasan timur negara ini. Kamp yang sekarang hanya berupa tanah kosong tak berpenghuni ini dulu menjadi pusat penampungan ribuan orang dan terletak di bagian tenggara Beirut dan berada di dalam wilayah yang penduduk Kristen. Di kamp inilah Shimon Perez mengeluarkan instruksi pembantaian massal.

Pasukan Kataeb mengepung kamp ini selama dua bulan. Tak ada bahan makanan dan obat-obatan yang dibiarkan masuk ke daerah ini. Kelompok ekstrim Kristen Palangis bahkan menguasai satu-satunya sumur yang menyuplai kebutuhan air pemukim kamp Tel Zatar. Akibatnya para pengungsi termasuk anak-anak dan perempuan berada dalam kondisi yang sangat mengenaskan. Istilah ‘segelar air sama dengan dengan segelas darah' populer saat itu untuk menunjukkan dahsyatnya penderitaan para pemukim kamp itu. Tak ada belas kasihan di hati pasukan Palangis, baik terhadap anak-anak, perempuan atau orang tua. Suatu hari, pasukan Palangis memenggal kepala  semua pria yang hendak meninggalkan kamp Tel Zatar.

Salah seorang tentara Zionis mengenai peristiwa Tel Zatar menulis, "Anda harus mengenal Palangis untuk bisa memahami kekejian apa saja yang mereka lakukan." Sekitar 2500 orang tewas terbunuh dalam tragedi ini. Tony Clifton, dalam reportasenya yang ditulis dalam buku berjudul ‘Langit Menangis' menyinggung peristiwa ini dan mengungkapkan, aroma kematian tercium di seluruh sudut kamp. Ke mana saja matamu memandang di sana akan kau temukan jasad-jasad yang bertumpuk di lorong-lorong, jalan-jalan, di bawah gerobak atau di bawah puing bangunan.."

Bersama pasukan Palangis dan kaki tangannya, rezim zionis Israel melakukan berbagai kejahatan untuk melenyapkan gerakan anti Zionisme dan perjuangan Palestina. Akan tetapi agenda mereka tersendat dengan munculnya tokoh kharismatik Imam Musa Sadr di Lebanon yang menyerukan persatuan dan perdamaian antara seluruh kelompok Kristen dan Muslim. Imam Musa Sadr getol menyuarakan persatuan dan menggugah rakyat Lebanon akan program Israel dalam menebar fitnah di negara itu.

Dengan mencermati kondisi Lebanon saat itu, dapat dikatakan bahwa Imam Musa Sadr melakukan pekerjaan yang sangat besar dan bersejarah. Sebagai tokoh dan pemimpin kaum Syiah Lebanon, beliau mengeluarkan fatwa yang mengharamkan pembunuhan di antara sesama Muslim. Beliau dalam setiap kesempatan menyeru seluruh warga Lebanon untuk bahu membahu menyelamatkan negara ini dari konspirasi kaum zionis. Gerakan Imam Musa Sadr menjadi ganjalan utama bagi Israel untuk menjalankan agendanya di Lebanon. Akhirnya merekapun memutuskan untuk menyingkirkan tokoh kharismatik ini. Pada bulan Agustus tahun 1978 terjadilah penculikan terhadap Imam Musa Sadr  saat beliau berkunjung ke Libya. Meskipun Pemimpin Libya Muammar Gaddafi ditetapkan sebagai orang yang paling bertanggung jawab atas penculikan ini, namun tak ada pihak yang diuntungkan dari peristiwa ini melebihi Israel.

Seiring dengan terjadinya penculikan Imam Musa Sadr, terjadi juga sebuah konspirasi lain yang dalam pelaksanaannya, Israel dibantu oleh AS. Anwar Sadat, Presiden Mesir saat itu dipilih untuk menjadi pelaksana konspirasi ini yang tujuannya adalah untuk menyeret dunia Arab kepada perdamaian dengan rezim Zionis. Sebuah pengkhianatan lain terjadi dan Anwar Sadat menandatangani perjanjian Camp David yang mengakhiri konflik dan perseteruan Mesir dengan Israel. Dengan kata lain, dalam waktu yang hampir bersamaan terjadi dua pengkhianatan yang dilakukan pemimpin dua negara Arab, Muammar Gaddafi yang menculik Imam Musa Sadr, tokoh paling terdepan dalam melawan rezim Zionis dan Anwar Sadar yang menandatangani perjanjian Camp David untuk membuka pintu perdamaian Dunia Arab dengan Israel.

Di saat Dunia Islam dan Dunia Arab diguncang oleh dua pengkhianatan yang melemahkan perjuangan membela Palestina dan melawan zionisme, muncul secercah harapan dari kilatan cahaya yang memancar lewat revolusi Islam di Iran. Revolusi inilah yang akan mengubah peta perimbangan dan konstelasi Timur Tengah. (IRIB Indonesia)


Akar Terorisme Zionis (Bagian 10)

Setelah kejadian di Tel Zatar, tentara Zionis dan kaki tangannya di Lebanon melakukan sejumlah pembantaian dengan korban warga Lebanon dan pengungsi Palestina. Untuk mendukung agendanya, Rezim Zionis Israel menyulut pertikaian internal di Lebanon. Akibatnya, negara kecil itu terpanggang dalam api perang saudara yang menewaskan ribuan orang. Konflik sempat terhenti dengan tampilnya Imam Musa Sadr sebagai tokoh Syiah Lebanon sebagai penyeru perdamaian dan persatuan antara berbagai kelompok agama di Lebanon.

Keberadaan tokoh kharismatik yang berhasil merangkul semua kelompok di Lebanon dipandang sebagai batu sandungan bagi Islam dalam menjalankan skenarionya memanggang Lebanon dalam api perang saudara. Raibnya Imam Musa Sadr secara misterius pada bulan Agustus 1978 saat berkunjung ke Libya adalah peristiwa yang mengguncang Lebanon namun menggembirakan bagi zionis.

Akan tetapi, kegembiraan Israel dan sekutu-sekutunya tidak berlangsung lama. Sebab di awal tahun 1979, di kawasan Timur Tengah terjadi peristiwa agung yang menyentak dunia. Bangsa muslim Iran di bawah pimpinan Imam Khomeini dengan slogan Islam dan anti kezaliman berhasil melahirkan sebuah revolusi besar yang menumbangkan kekuasaan rezim Pahlevi. Revolusi Islam ini menumbuhkan harapan akan berlanjutnya perjuangan Dunia Islam melawan Zionisme. Tumbangnya rezim Pahlevi di Iran yang merupakan sekutu dekat zionis dan AS di kawasan ibarat pukulan telak yang menohok jantung Zionis dan para pendukungnya.

Kemenangan revolusi Islam di Iran menggugah umat Islam di seluruh dunia dan memompa spirit para pejuang Palestina dan Lebanon. Sebelum kemenangan Revolusi Islam, rezim zionis merasa berada di atas angin setelah memenangi tiga periode perang melawan negara-negara Arab dan berhasil mendiktekan perjanjian Camp David atas Mesir. Namun dengan berdirinya pemerintahan Islam di Iran, keadaan jelas berubah. Revolusi Islam di Iran telah melahirkan arus dan gelombang baru perjuangan melawan rezim zionis dan meniupkan semangat yang baru untuk para pejuang Palestina dan Lebanon. Kawasan Lebanon selatan dengan mayoritas penduduknya bermazhab Syiah menjadi pusat gerakan perjuangan melawan zionis.

Menyadari perubahan konstelasi kekuatan, rezim Zionis mencanangkan program pendudukan atas Lebanon. Akhirnya saat yang tepat untuk menyerbu wilayah itupun ditentukan. Dengan memanfaatkan peristiwa pembunuhan atas duta besar Israel di London dan menuduh gerakan Fatah sebagai pelaku pembunuhan itu, pada tanggal 14 September 1982, rezim Zionis mengerahkan pasukannya untuk menyerang Lebanon. Agresi ini diwarnai oleh salah satu peristiwa pembantaian paling mengerikan. Kamp pengungsi Palestina Sabra dan Shatila dijadikan sasaran serangan tentara Zionis yang dipimpin Ariel Sharon bersama pasukan Kristen Palangis. Dua kamp pengungsian Sabra dan Shatila yang terletak di wilayah selatan Lebanon sejak tahun 1948 menjadi tempat penampungan para pengungsi Palestina dengan mayoritas warga asal kota al-Jalil yang terusir sejak awal pendudukan Palestina. Saat terjadi serangan tahun 1982, sekitar 20 ribu pengungsi Palestina tinggal di dua kamp ini.

Tanggal 16-18 September 1982, tentara Zionis di bawah komando Ariel Sharon bersama pasukan Kristen Palangis menyerbu Sabra dan Shatila. Sekitar 4000 pengungsi Palestina termasuk wanita dan anak-anak tewas secara mengenaskan. Setelah pembantaian sadis ini, Ariel Sharon dikenal dengan sebutan penjagal Sabra dan Shatila.

David Herst dalam bukunya yang berjudul "Senapan dan Setangkai Zaitun' mengenai pembantaian ini menulis, "Satuan pertama yang terdiri atas 150 personil pasukan Palangis masuk ke kamp Shatila setelah melewati barikade Israel. Beberapa dari mereka selain memanggul senjata juga membawa pisau. Pembantaian massal itu terjadi selama 48 jam. Di malam hari pun dengan memanfaatkan penerangan yang dipasang di barak milik Israel, mereka terus melakukan pembantaian. Mereka masuk dengan paksa ke rumah-rumah warga dan menembaki penghuninya yang sedang terlelap.  Pasukan Palangis dalam sejumlah kasus menyiksa warga Palestina terlebih dahulu sebelum membunuhnya. Penyiksaan dilakukan dengan mencungkil mata, menguliti korban hidup-hidup dan merobek perut orang. Mereka juga memerkosa perempuan dan gadis-gadis lebih dari enam kali lalu memotong payudara mereka sebelum akhirnya menghabisi mereka dengan peluru. Anak-anak kecil mereka belah menjadi dua dan memaku kepala mereka di dinding."

Penulis ini lebih lanjut menceritakan tentang kejahatan yang terjadi Sabra dan Shatila. "Saat menyerang rumah sakit Akka di kamp Shatila mereka membunuh semua pasien yang berada di pembaringan. Tangan sebagian dari korban diikat di mobil lalu diseret di jalanan. Banyak korban yang mereka potong tangan atau jarinya untuk merampas gelang atau cincin yang dikenakannya. Selanjutnya mereka mengerahkan buldozer untuk merubuhkan kamp tersebut. Tindakan itu selain dimaksudkan untuk mengubur jasad para korban juga untuk meratakan rumah-rumah yang masih utuh. Selama beberapa hari jasad para korban dibiarkan sampai menjadi mangsa kucing-kucing liar."

Ghazi Khurshid, seorang wartawan yang meninjau langsung lokasi kejadian dalam bukunya, ‘Terorisme Zionis di Negera Palestina Pendudukan' mengenai peristiwa pembantaian Sabra dan Shatila menulis, "Di satu lorong jalanan nampak lima jenazah perempuan dan beberapa anak di atas gundukan tanah... Salah satunya adalah perempuan dengan baju yang robek di bagian depan dan payudara yang terpotong. Di sisinya nampak kepala seorang gadis cilik yang terpenggal dengan tatapan wajah penuh amarah terhadap para pelaku pembunuhnya. Aku juga melihat seorang perempuan muda yang menggendong bayi. Peluru menembus badannya dan bersarang di tubuh bayinya."

Tony Clifton dalam bukunya ‘Langit Menangis' menceritakan demikian, "yang membuat saya terguncang adalah seorang yang tewas setelah terpanggang hidup-hidup di tengah kobaran api. Di kemudian hari terungkap bahwa korban ini tewas setelah pasukan Palangis menyiramnya dengan bensin lalu membakarnya. Selain giginya yang berwarna putih seluruh bagian tubuhnya hangus terbakar."

Peristiwa pembantaian Sabra dan Shatila semakin menguak hakikat dan tabiat bengis kaum zionis di mata dunia. Sayangnya, semua itu tak membuat para pembela zionis membuka mata dan berusaha mencegah terjadinya kejahatan serupa di masa mendatang. Barat yang notabene mendukung zionisme sengaja menutup mata bahkan mendorong zionis untuk melanjutkan aksi-aksinya. Majlis Umum PBB dalam sidangnya mengutuk kejahatan rezim zionis di Sabra dan Shatila dalam sebuah resolusi yang didukung oleh 98 negara, sementara 19 negara menolak dan 23 negara Barat lainnya memilih absen. (IRIB Indonesia)


Akar Terorisme Zionis (Bagian 11)

Pada pembahasan yang lalu sudah dijelaskan bahwa agresi militer rezim Zionis Israel ke Lebanon dibarengi dengan sebuah pembantaian dahsyat para pengungsi Palestina di kamp pengungsian Sabra dan Shatila. Pembantaian itu berlangsung di bawah komando Menteri Peperangan Ariel Sharon yang di kemudian hari dikenal dengan sebutan penjagal Sabra dan Shatila. Kejahatan kemanusiaan tersebut dilakukan Israel untuk mempersempit kepungan terhadap para pejuang Palestina dengan membuat barikade keamanan yang mengelilingi seluruh wilayah pendudukan Palestina. Menyusul tekanan yang berat itu, Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) pimpinan Yasser Arafat yang mewakili pejuang Palestina memindahkan kantor dan kegiatannya ke Tunisia.

Mungkin para petinggi Zionis menduga bahwa pembantaian Sabra dan Shatila, dan kepindahan kantor dan aktivitas PLO ke Tunisia merupakan keberhasilan besar baginya. Tetapi tanpa diduga, di Lebanon Israel mendapat pukulan telak dari para pejuang setempat yang meneladani revolusi Islam di Iran. Pejuang Lebanon mengejutkan Zionis dan para pendukungnya dengan operasi mati syahid yang menewaskan ratusan tentara AS, Perancis dan Zionis. Serangan mematikan itu terjadi bersamaan dengan terbentuknya organisasi perjuangan Islam Lebanon yang menamakan diri Hizbullah.

Kelompok perlawanan inilah yang berhasil menekan Israel dan membuatnya tak lagi merasa nyaman berada di Lebanon. Israel terpaksa menarik tentaranya dari sebagian besar wilayah Lebanon khususnya Beirut. Inilah kali pertama Israel menelan kekalahan telak di medan tempur melawan kelompok pejuang anti Zionis yang bahkan tak didukung sedikitpun oleh mayoritas negara Arab.

Keberhasilan pejuang Hizbullah mengusir tentara Zionis dari sebagian besar wilayah Lebanon semakin memperkuat dan memperluas jaringan perjuangan muqawama termasuk di Palestina. Perlawanan pejuang Palestinapun menemukan bentuk yang baru, dan seranganpun dilakukan di dalam wilayah pendudukan. Sejak akhir tahun 1987, rakyat Palestina di seluruh wilayah pendudukan turun ke jalan-jalan untuk melawan tentara Zionis. Perlawanan yang kemudian dikenal dengan nama intifada itu melibatkan seluruh rakyat Palestina dengan hanya bersenjatakan batu.

Untuk memadamkan perlawanan ini, rezim Zionis Israel melakukan berbagai tindakan represif dan keji tanpa perikemanusiaan. Warga Palestina dibunuh secara massal, rumah-rumah pun dihancurkan. Banyak perempuan hamil yang digugurkan janinnya. Larangan jam malam dan penutupan jalan-jalan menjadi salah satu langkah untuk meredam gejolak ini. Tidak sedikit tokoh dan pejuang Palestina yang diculik dan dibunuh oleh regu teror Zionis. Regu teror Zionis disebar dengan berbagai agenda teror yang sasarannya adalah pejuang Palestina. Ratusan pejuang gugur syahid dalam rangkaian aksi teror selama intifada I ini berlangsung.

Tahun dekade 1940, jaringan Zionisme memang memiliki regu-regu teror untuk mencari dan membunuh pejuang Palestina. Mereka biasanya menyamar dengan menggunakan pakaian Arab Palestina supaya mudah masuk ke kota-kota dan desa-desa Palestina. Ketika intifada I berlangsung, Rezim Zionis mengaktifkan regu-regu teror dan bawah tanah untuk membunuh pejuang Palestina. Regu-regu teror ini bekerja di bawah komando Yitzak Rabin yang saat itu menjabat sebagai Menteri Peperangan. Regu teror tidak hanya menargetkan pejuang di dalam wilayah Palestina tetapi juga para tokoh Palestina di luar negeri.

Pada dekade 1940, tiga mahasiswa muda Palestina tengah melanjutkan studi di Mesir. Mereka adalah Mohammad Abed Rauf yang kemudian dikenal dengan nama Yasser, mahasiswa teknik di Kairo, Khalil al-Wazir yang dikenal dengan sebutan Abu Jihad mahasiswa Universitas Iskandariyah dan Salah Khalaf yang dikenal dengan nama Abu Iyad, mahasiswa sastera Arab di al-Azhar. Ketiganya memiliki visi yang sama.

Awalnya mereka aktif mengajar sampai kemudian memutuskan untuk terjun ke medan perjuangan bersenjata untuk membebaskan negeri mereka. Untuk mengorganisir perjuangan mereka mendirikan kelompok Fatah, yang kemudian menjadi organisasi perjuangan bersenjata paling besar di Palestina. Ketiganya menjadi tokoh penting dalam perjuangan ini dan bahu membahu dalam pertempuran di Karramah saat tentara Zionis harus menelan kekalahan telak.

Bertahun-tahun lamanya, Yasser Arafat, Abu Jihad dan Abu Iyad menjadi tiga pucuk pimpinan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO). Abu Jihad tewas diteror pada tahun 1988. Nasib yang sama menimpa Abu Iyad pada tahun 1991. Tahun 1992, Yasser Arafat memilih opsi damai dengan rezim Zionis dan meninggalkan perlawanan bersenjata. Tahun 2004, Arafat meninggal dunia di sebuah rumah sakit di Paris setelah terkena penyakit misterius. Konon, dia menjadi korban konspirasi dan pembunuhan dengan racun.

Awal tahun 1988 ketika Palestina masih membara dengan intifada yang semakin membesar, salah seorang tokoh perjuangan dibunuh oleh regu teror Zionis di Tunisia. Teror Israel kali ini menargetkan Khalil al-Wazir, yang dikenal dengan nama Abu Jihad dan tokoh kedua di PLO. Khalil al-Wazir lahir pada tahun 1935 di Ramallah. Sama seperti Arafat, dia mengenyam pendidikan di Mesir. Bersama Arafat, di awal dekade 1960 Abu Jihad mendirikan Gerakan Nasional Pembebasan Palestina Fatah. Tahun 1965 dia secara resmi memulai perjuangan bersenjata melawan rezim Zionis Israel. Abu Jihad tampil sebagai salah satu komandan senior di lapangan dalam perang Karramah yang terkenal itu. Dia pun secara resmi masuk dalam daftar sasaran teror Zionis. Tahun 1988 saat berada di kantor PLO di Tunisia Abu Jihad tewas diberondong lebih dari 100 peluru yang ditembakkan oleh regu teror Zionis.

Teror Abu Jihad dilanjutkan dengan teror terhadap rekan seperjuangannya, Abu Iyad. Salah Abu Khalaf yang dikenal dengan sebutan Abu Iyad, salah seorang anggota Dewan Pimpinan PLO dan anggota komite pusat Fatah. Abu Iyad tewas di teror pada tahun 1991 di Tunisia. Sebelum tewas, Abu Iyad yang lahir pada tahun 1933 di Yafa adalah kepala intelijen dan operasi PLO, dn salah seorang pendiri utama Fatah. Dia juga dikenal sebagai tokoh pro perlawanan bersenjata untuk membebaskan Palestina.

Hanya selang beberapa bulan setelah teror tersebut, PLO secara resmi memulai perundingan damai dengan Rezim Zionis Israel. Tahun 1993 perundingan itu menghasilkan kesepakatan Oslo yang ditandatangani oleh Yasser Arafat mewakili PLO dan Yitzak Rabin mewakili Israel. 13 September tahun yang sama, Arafat menandatangani persetujuan pemberian otonomi kepada PLO di wilayah terbatas di Tepi Bara dan Jalur Gaza.(IRIB Indonesia)


Akar Terorisme Zionis (Bagian 12)

Sebelumnya telah dijelaskan mengenai terjadinya intifada atau kebangkitan rakyat Palestina pada tahun 1987. Intifada mendorong para tokoh Zionis untuk menggaet kubu pro damai agar bersedia melakukan negosiasi damai dengan Israel. Salah satu tujuannya adalah untuk menciptakan keretakan di tubuh rakyat Palestina dan meredam intifada. Karena itu, Israel membidik para tokoh anti damai untuk dibunuh. Abu Jihad dan Abu Iyad, dua tokoh pro perjuangan bersenjata di dewan pimpinan Fatah dan PLO tewas di tangan regu teror Zionis. Dengan lenyapnya dua tokoh anti damai, Zionis lebih mudah membujuk Arafat dan orang-orangnya untuk berunding. Berhasil menggaet Arafat, rezim Zionis Israel semakin menjadi-jadi dalam menumpas intifada. Masjid-masjid yang menjadi markas utama gerakan intifada dijadikan sasaran serangan.

Salah satu kejahatan yang dilakukan rezim Zionis adalah serangan ke masjid-masjid di kota al-Khalil tahun 1994 dan komplek makam suci Nabi Ibrahim as. Kota al-Khalil atau Hebron berada di wilayah Tepi Barat Sungai Jordan, yang dipandang penting oleh umat Islam karena keberadaan makam Nabi Ibrahim di sana. Masjid Nabi Ibrahim adalah komplek pemakaman tiga Nabi, yaitu, Ibrahim, Ishaq dan Yaqub. Tanggal 25 Februari tahun 1994 orang-orang Zionis secara brutal memberondong para jamaah shalat di masjid itu dengan senjata api. 50 orang gugur syahid dan ratusan lainnya luka-luka. Aksi terorisme itu dikecam keras oleh masyarakat dunia, tapi lagi-lagi, Dunia Barat memilih bungkam.

Kebijakan tangan besi dan tindakan represif Israel dalam menumpas intifada semakin mengobarkan api perlawanan rakyat Palestina yang kian mantap untuk berjuang melawan orang-orang Zionis. Kubu Palestina pro perdamaian yang dipimpin Yasser Arafat tak mampu meredam gejolak massa ini. Penandatanganan perjanjian Gaza-Jericho secara praktis mengubah kubu pro perdamaian menjadi antek rezim Zionis  dalam menebar perpecahan di tengah rakyat Palestina. Intifada telah memposisikan kubu pro damai berseberangan dengan kubu anti Zionis, seperti Jihad Islam dan Hamas. Melihat kondisi ini, Rezim Zionis memutuskan untuk menempuh cara teror demi menghabisi para tokoh perjuangan. Salah satu yang diincar adalah Sekjen Jihad Islam, Dr Fathi Shaqaqi.

Sekjen Jihad Islam Palestina, Dr Fathi Shaqaqi lahir pada tahun 1951 di kamp pengungsi Palestina di kota Gaza. Awalnya dia menggeluti pekerjaan sebagai guru sebelum melanjutkan studi di fakultas kedokteran. Berhasil menyelesaikan studi, Shaqaqi bekerja di Rumah Sakit Beitul Maqdis. Bersama rekan-rekannya yang punya semangat jihad dan keislaman, dia mendirikan organisasi perjuangan Jihad Islam dan terpilih sebagai sekjennya. Tanggal 25 Januari 1995, Jihad Islam melakukan serangan mati syahid  di Beitlid yang menewaskan dan mencederai 130 orang zionis. Mereaksi serangan itu, Perdana Menteri Israel Yitzak Rabin secara langsung menginstruksikan pembunuhan Dr.Fathi Shaqaqi.

Sejak beberapa tahun sebelumnya Mossad sudah memasukkan nama pejuang ini ke dalam daftar pencarian dan sasaran teror. Ancaman teror itulah yang membuat Shaqaqi jarang sekali meninggalkan Damaskus. Sebab, kecil sekali kemungkinan Israel akan membunuhnya di ibukota Suriah ini. sebab hal itu bisa memancing kemarahan rakyat Suriah. Karena itu, Mossad menyusun rencana untuk meneror Sekjen Jihad Islam di luar Suriah. Konferensi tokoh-tokoh Palestina di Libya menjadi kesempatan bagi Mossad untuk menjalankan misi ini. Fathi Shaqaqi dijadwalkan hadir dalam konferensi tersebut. Agen-agen rahasia Zionis juga sudah mengantongi informasi yang cukup bahwa sang dokter akan mengambil rute transit di Malta seperti yang sudah-sudah.

Dalam rencana teror ini ada dua opsi yang diajukan. Pertama, menculik Shaqaqi dalam perjalanan dari Malta ke Libya, dan kedua menerornya saat berada di Malta. Opsi pertama ditentang Yitzak Rabin karena mengkhawatirkan pengejaran internasional. Akhirnya diputuskan Fathi Shaqaqi akan dibunuh di pulau Malta. Agen-agen teror pun segera dikirim ke Malta. Tanggal 26 Oktober 1995 Dr Fathi Shaqaqi yang membawa paspor atas nama Ibrahim al-Shawish tiba di Malta setelah menghadiri konferensi di Libya. Di depan hotel tempatnya menginap, dia ditembak oleh dua orang bersepeda motor dan gugur syahid di tempat kejadian.

Tak dipungkiri bahwa teror terhadap Fathi Shaqaqi merupakan pukulan berat bagi perjuangan muqawama Islam Palestina. Namun demikian, gugurnya figur pejuang Islam ini tak meniscayakan terkuburnya pemikiran yang ia usung selama hidupnya. Pemikiran anti zionis dan semangat berjuang membebaskan Palestina tetap membara di tengah rakyat Palestina. Shaqaqi meyakini bahwa cita-cita Palestina harus menjadi bagian dari cita-cita umat Islam sedunia. Sekjen Jihad Islam ini sangat terkesan dengan pemikiran Imam Khomeini ra. Penetapan Jumat terakhir bulan Ramadhan setiap tahun sebagai hari al-Quds sedunia yang dicanangkan Imam Khomeini disambut baik oleh para pejuang Palestina termasuk Dr Fathi Shaqaqi. Shaqaqi meyakini bahwa hari al-Quds adalah hari hidupnya kembali Islam di Palestina dan hari berkobarnya kembali jihad melawan Zionis.

Dr Fathi Shaqaqi mengatakan, Islam, Jihad dan Palestina adalah tiga unsur utama yang membentuk gerakan Jihad Islam.  Menurutnya, segala bentuk negosiasi damai dengan Rezim Zionis Israel yang selalu berpikir memperluas pendudukan, hanya akan berakhir dengan kegagalan. Tak ada opsi kedua untuk melawan Rezim Zionis selain jihad dan perlawanan bersenjata. Shaqaqi mengimani kata-katanya itu di lisan dan tindakan. Dia juga meneguk cawan syahadah di jalan perjuangan yang mulia dan suci ini.

Dr Fathi Shaqaqi dan organisasi perjuangan yang dibentuknya menolak segala bentuk negosiasi dan perdamaian dengan Rezim Zionis Israel. Mereka meyakini bahwa negosiasi damai bisa menjadi kesempatan bagi Israel untuk dengan tenang memperluas pendudukan di negeri Palestina. Dengan adanya negosiasi ini rezim Zionis juga menemukan peluang untuk memperbaiki kondisi perekonomiannya tanpa perlu direpotkan oleh konflik dan perang yang melelahkan melawan para pejuang Palestina. Shaqaqi menegaskan bahwa masalah yang lebih berbahaya di balik negosiasi damai adalah terpenuhinya tuntutan, keinganan dan kepentingan Zionis yang tentunya berseberangan dengan kemauan dan cita-cita rakyat Palestina.

Menurutnya, isi perjanjian Oslo dan perjanjian-perjanjian damai lainnya adalah bahaya terbesar yang merugikan bangsa Palestina. Sebab, kesemua perjanjian itu mengakui sahnya eksistensi Israel sebagai negara bagi kaum Yahudi. Sementara, yang didapat oleh pihak Palestina tak lebih dari kekuasaan otonomi di wilayah tertentu yang luasnya tak lebih dari 2 persen dari seluruh wilayah negeri Palestina. Yang lebih menyakitkan, wilayah otonomi itupun tidak sepenuhnya berada dalam kekuasaan pihak Palestina. Karena, di sana ada zona-zona keamanan dan permukiman Zionis yang mestinya akan dijaga oleh tentara Israel. (IRIB Indonesia)

Akar Terorisme Zionis (Bagian 13)

Sebelumnya telah dibahas mengenai adanyaperselisihan di tengah para pejuang Palestina. Kubu pimpinan Yasser Arafat memilih mengubah piagam pembebasan Palestina lalu mengakui eksistensi Rezim Israel, mengakhiri perlawanan bersenjata dan duduk berunding dengan orang-orang Zionis. Kelompok ini beranggapan bahwa meja perundingan bisa menjadi media untuk membebaskan Palestina dari pendudukan orang-orang Zionis lalu mendirikan sebuah negara yang merdeka bernama Palestina.

Kubu kedua adalah mereka yang tetap menjunjung tinggi cita-cita pembebasan seluruh wilayah negeri Palestina dari pendudukan Zionis. Mereka meyakini bahwa orang-orang Zionis tak akan pernah bersedia menyerahkan sejengkalpun wilayahnyasecara cuma-cuma kepada pihak Palestina. Perundingan yang dimediasi oleh AS ini bagi mereka tak lebih dari sekedar tipu muslihat yang tujuannya menggiring semua pihak di kawasan untuk mengakui eksistensi Israel.

Di pihak Israel, program teror terhadap para pejuang dan tokoh-tokoh perjuangan tetap menjadi agenda utama. Agenda teror ini dimulai dari dalam kubu Fatah pimpinan Yasser Arafat. Orang pertama yang menjadi sasaran adalah Abu Jihad, yang di dalam tubuh gerakan Fatah dikenal sebagai tokoh yang mendukung berlanjutnya perlawanan bersenjata. Abu Jihad tewas di tangan regu teror Zionis saat berada di kantor PLO di Tunisia. Di mata para pejuang Palestina, Abu Jihad ada figur yang disebut-sebut rival kuat Arafat untuk memimpin PLO. Tak heran jika muncul kecurigaan bahwa pembunuhan terhadap Abu Jihad dilakukan dengan koordinasi kubu pro Arafat di PLO. Tokoh Fatah lainnya yang menjadi sasaran teror adalah tokoh ketiga PLO, Abu Iyad. Kematian Abu Iyad sekaligus mengakhiri keberadaan figur pro perjuangan bersenjata di dewan pimpinan PLO.

Usai merampungkan misi teror di tubuh Fatah, Rezim Zionis segera mengagendakan teror terhadap tokoh-tokoh Palestina di luar Fatah. Sasaran mereka adalah dua kelompok perjuangan berhaluan Islam, yaitu Jihad Islam dan Hamas. Sekjen Jihad Islam, Dr Fathi Shaqaqi pun diincar. Sekembalinya dari sebuah konferensi di Libya, Shaqaqi menjadi sasaran teror saat berada di Malta.

Kemenangan revolusi Islam di Iran dan kegigihan bangsa Iran dalam melawan hegemoni AS meniupkan spirit baru pada sel-sel jaringan perlawanan anti Zionisme. Lebanon segera menjadi pusat aktivitas perlawanan terhadap Zionis. Banyak pemuda Lebanon dan Palestina terjun ke tengah medan perjuangan dengan semangat keislaman meneladani rakyat Iran yang berhasil menciptakan revolusi Islam di negeri mereka. Fathi Shaqaqi adalah salah satu tokoh perjuangan Palestina yang menangkap fenomena indah ini. Dia mengumpulkan para pemuda itu dalam satu organisasi perjuangan yang diberinama Jihad Islam. Tak lama setelah Jihad Islam terbentuk, Fathi Shaqaqi menjadi sasaran teror Zionis di Malta sekembalinya dari konferensi di Libya.

Tokoh lain adalah Sayid Abbas Musawi, ulama pejuang dari kelompok Syiah Lebanon. Beliau tampil sebagai Sekjen Hizbullah, sebuah organisasi massa bernafaskan Islam yang berjuang melawan pendudukan Zionis. Para pejuang Hizbullah berhasil melayangkan pukulan telak ke muka rezim Zionis. Untuk melumpuhkan Hizbullah dan melemahkan spirit perjuangan kelompok ini, Israel merencanakan teror terhadap pimpinan Hizbullah. Sayid Abbas Musawi akhirnya diputuskan menjadi sasaran teror Mossad.

Hujjatul Islam Sayid Abbas Musawi lahir pada tahun 1952 di desa Nabi Shits di kota Baalbek, Lebanon. Tahun 1966 dia berkenalan dengan Imam Musa Sadr, tokoh kharismatik Lebanon, di kota Tyre. Bersama Imam Musa sadr dia menimba ilmu agama di hauzah ilmiah kota Tyre. Tahun 1967, dia pergi ke Irak untuk melanjutkan studi ilmu agama di hauzah ilmiah Najaf dan berguru kepada para ulama di kota itu. Sayid Abbas Musawi mendirikan hauzah ilmiah atau pusat pendidikan Islam di kota Baalbek pada tahun 1979, bersamaan dengan kemenangan Revolusi Islam di Iran.

Bersama sejumlah kawan, ulama Syiah dan murid-muridnya, dia mendirikan organisasi Hizbullah pada awal dekade 1980. Beberapa waktu setelah itu, Sayid Abbas Musawi dipilih untuk memimpin Hizbullah dengan posisi Sekjen. Tanggal 16 Februari 1992 bersama istri, anak dan tiga pengawalnya, Sayid Abbas Musawi gugur syahid dalam sebuah serangan roket oleh helikopter tempur Zionis terhadap rombongannya.

16 tahun kemudian, salah seorang pilot helikopter yang ikut serta dalam operasi teror itu kepada koran Zionis,Maariv menceritakan teror tersebut. Tanpa menyebutkan nama dan identitasnya sang pilot mengatakan, teror Abbas Musawi adalah instruksi langsung dari Kepala Staf Angkatan Bersenjata saat itu, Ehud Barack. Setelah rencana penculikan Abbas Musawi gagal, Israel memutuskan membunuhnya.

Direncanakan pembunuhan ini akan berlangsung cepat dengan sasaran Musawi bersama rombongannya. Rute perjalanan rombongan ini dari Habashiyat, tempat Musawi menyampaikan pidato  pada acara peringatan teror terhadap Syeikh Ragheb Harb, dipelajari secara seksama. Ketika rombongan bergerak, tim teror segera melaksanakan tugas setelah menerima instruksi untuk menggempur semua kendaraan dalam rombongan itu. Dengan demikian, sasaran utama yaitu Musawi tak akan luput.

Sayid Abbas Musawi gugur syahid dalam usia 40 tahun. Gugurnya sang pemimpin tentu menjadi pukulan telak bagi Hizbullah. Namun darah Sayid Abbas Musawi tidak tertumpah sia-sia. Kekosongan tempatnya diisi oleh ulama muda pejuang, yaitu Sayid Hasan Nasrullah. Di bawah kepemimpinnya yang kharismatik, Hizbullah berhasil mengukir berbagai prestasi dan kemenangan, yang salah satunya adalah terbebaskannya wilayah Lebanon selatan dari pendudukan rezim Zionis. Pada tahun 2006, Hizbullah berhasil mempermalukan Israel dalam perang 33 hari sekaligus mengakhiri mitos kedigdayaan Israel.(IRIB Indonesia)


Akar Terorisme Zionis (Bagian 14)

Sebelumnya telah dibahas mengenai aksi teror terhadap Sekjen Hizbullah Lebanon Sayid Abbas Musawi oleh regu teror rezim Zionis. Pembunuhan itu mungkin ditujukan untuk membalas dendam dan melemahkan aktivitas kelompok Hizbullah yang dengan operasi-operasi militernya terutama serangan mati syahid telah menggoncang barak-barak militer Zionis di Lebanon.

Para petinggi Zionis beranggapan bahwa pembunuhan pimpinan Hizbullah bisa menyingkirkan gerakan muqawama dan Hizbullah dari arena pergumulan seperti keberhasilan Zionis sebelumnya dalam menyingkirkan kelompok perjuangan Palestina dengan cara yang sama. Rencana operasi teror telah matang disusun. Helikopter tempur Zionis diserahi tugas untuk mengeksekusi rencana ini dengan menyerang kendaraan Sayid Abbas Musawi sekembalinya dari acara haul kesyahidan Syeikh Ragheb Harb. Dalam insiden serangan itu, Sekjen Hizbullah gugur syahid bersama istri, anak dan tiga pengawalnya. Lalu, siapakah Syeikh Ragheb Harb?

Syeikh Ragheb Harb adalah seorang ulama pejuang Lebanon yang gugur dalam sebuah teror terencana yang dilakukan militer Zionis di Lebanon selatan. Syeikh Ragheb dikenal sebagai tokoh yang getol memberi arahan kepada masyarakat akan misi-misi Zionis dalam pendudukan atas Lebanon Selatan. Secara pemikiran ulama ini sangat terpengaruh dengan pemikiran Pemimpin Revolusi Islam Iran, Imam Khomeini, dalam perjuangan melawan kezaliman dan pendudukan Zionis. Baginya, Imam Khomeini adalah panutan dan pemimpin dalam perjuangan ini. Syeikh Ragheb dalam pidato-pidatonya menyeru masyarakat untuk bangkit melawan rezim Zionis dan melumpuhkan Israel. Untuk meredam suara sang ulama, rezim Zionis menangkap dan menjebloskanya ke penjara.

Malam itu, Kamis tanggal 8 Maret 1983, Syeikh Ragheb seperti biasa melaksanakan shalat Maghrib dan Isya di Huseiniyah Habashiyat di Jabal Amil, Lebanon Selatan. Setelah mengikuti acara pembacaan doa Kumail dia kembali ke rumahnya. Seitar pukul 2 dini hari, tentara Zionis mengepung rumahnya sebelum akhirnya mendobrak dan masuk secara paksa. Dengan tangan dan mata terikat, Syeikh ditahan dan dibawa ke tempat yang tak diketahui.

Berita penangkapan Syeikh Ragheb Harb tersebar dengan cepat ke berbagai pelosok. Warga berbondong-bondong mendatangi Huseiniyah Habashiyat untuk menanyakan penyebab penangkapannnya. Gelombang aski protes pun semakin besar. Rakyat mengecam aksi Zionis yang menahan tokoh pejuang Muslim ini. Beirut juga menjadi ajang aksi demo. 17 hari setelah aksi demo dan konsentrasi massa, Rezim Zionis terpaksa membebaskan Syeikh Ragheb untuk meredam kemarahan umum. Syekh Ragheb pun memilih kembali ke kampung halamannnya tanpa mempedulikan larangan dari pihak Israel. Bagi Rezim Zionis tak ada jalan selain mengakui kekandasannya dalam menghadapi Syeikh Ragheb.

Penangkapan dan pembebasan Syeikh Ragheb Harb merupakan kemenangan bagi Muqawama Islam di Lebanon Selatan. Khususnya kawasan Jabal Amil. Kemenangan ini semakin memperkuat tekad dan semangat warga setempat untuk berjihad melawan Zionis. Syeikh Ragheb kembali ke Habashiyat untuk memimpin gerakan revolusi dan iman rakyat melawan tentara pendudukan Zionis. Kegigihan dan resistensi rakyat dalam menuntut pembebasan Syeikh, melahirkan gelombang serangan mati syahid dengan target tentara AS, Perancis dan Zionis. Ketakutan dan kecemasanpun menghantui orang-orang Zionis dan para sekutunya. Kian luasnya perlawanan rakyat Lebanon selatan terhadap zionis membuat Syeikh Ragheb Harb semakin disorot baik oleh para pendukungnya, rakyat umum, Muslim dan non Muslim bahkan mereka yang berseberangan pemikiran dengannya.

Pada bulan Januari 1984, Syeikh Ragheb Harb berkunjung ke Tehran untuk menghadiri konferensi yang membahas kejahatan rezim Saddam Husein. Dalam pertemuan dengan Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran Imam Khomeini, dia menjelaskan kondisi Lebanon selatan dan derita warga di kawasan Jabal Amil. Syeikh Raghib juga menyampaikan salam persahabatan warga Jabal Amil kepada Imam. Tak lama kemudian, Syeikh Ragheb gugur syahid di tangan agen-agen terror Zionis. Ulama pejuang ini gugur syahid kurang dari 11 bulan sejak kebebasannya dari tahanan Zionis. Dia dibunuh pada Kamis malam tanggal 16 Januari 1984 dalam perjalanan dari masjid ke rumahnya.

Esok harinya, berita syahidnya Syeikh Ragheb Harb menggemparkan Lebanon. Puluhan ribu orang dalam proses pengiringan jenazah meneriakkan yel-yel anti zionis dan ikrar janji pembahasan. Darah Syeikh Ragheb tidak sia-sia. Berkat perjuangannya, Jabal Amil menjadi sentral perlawanan para pemuda mukmin yang dengan tawakal kepada Allah serta mengandalkan iman dan keberanian berhasil mengusir tentara pendudukan Zionis dari wilayah Lebanon selatan. (IRIB Indonesia)

Akar Terorisme Zionis (Bagian 15)

Pada dua pembahasan sebelum ini, telah dijelaskan aksi teror yang dilakukan orang-orang Zionis terhadap Syeikh Raghib Harb di tahun 1984 dan Sayid Abbas Musawi pada tahun 1992. Setelah berhasil menduduki Lebanon dan mengusir Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) dari negara itu, tentara Zionis berusaha memadamkan gejolak perlawanan di Lebanon dengan membunuh para tokoh perjuangan. Namun aksi-aksi teror itu tak pernah mampu memadamkan api perlawanan para pejuang Islam di Lebanon. Bahkan sebaliknya, gugurnya para pemimpin justru semakin memperkuat tekad warga Lebanon untuk mendukung dan terlibat dalam muqawamah Islam. Para pemuda mukmin Lebanon yang pemberani dan siap berkorban terjun ke tengah medan perjuangan. Perlawanan ini ini berhasil mengusir orang-orang Zionis dan kaki tangan mereka dari Lebanon selatan pada tahun 2000.

Selama menduduki Lebanon, tentara Zionis kerap melakukan aksi pembantaian tanpa mempedulikan perikemanusiaan. Salah satu pembantaian terjadi di Qana.

Tanggal 18 April 1996 tentara Zionis menyerang markas pasukan penjaga perdamaian yang berada di bawah payung Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di desa Qana, Lebanon selatan. Serangan yang dilakukan dari darat, laut dan udara itu menghancurkan permukiman penduduk sipil dan infrastruktur ekonomi di kawasan tersebut. Dengan menggelar serangan brutal seperti ini, para pemimpin Zionis sengaja menebar ketakutan di tengah warga Lebanon. Hal itu dimaksudkan untuk melemahkan mental perjuangan melawan Israel di negara ini. Para petinggi Zionis berharap kondisi yang tercipta setelah serangan mematikan ini bisa memaksa kubu perlawanan Islam Lebanon tunduk pada kemauan Tel Aviv.

Dalam serangan membabi buta itu, 110 warga sipil Lebanon terutama perempuan dan anak-anak tewas secara tragis sementara ratusan lainnya luka-luka. Dari seluruh korban tewas tersebut, 33 diantaranya adalah anak di bawah usia 10 tahun. Dunia pun beraksi. Israel dikecam oleh masyarakat internasional. Akibat derasnya kecaman, Rezim Zionis Israel terpaksa menghentikan gempuran ke wilayah selatan Lebanon setelah berlangsung 16 hari.

Pemerintah Lebanon mengadukan kejahatan Israel ke Dewan Keamanan PBB. Resolusi mengecam Israel pun disusun. Namun Amerika Serikat tampil membela rezim zionis dengan memveto resolusi itu. Akhirnya Majlis Umum PBB, lewat resolusinya mengutuk serangan Israel ke Qana dan menjatuhkan vonis kepada Tel Aviv untuk membayar ganti rugi kepada para korban. Sayangnya, resolusi Majlis Umum yang tidak memiliki bobot pelaksanaan tidak mampu memaksa Israel untuk membayar ganti rugi.

Pembelaan terbuka AS dan negara-negara Eropa kepada Israel telah menjadi bekal bagi rezim Zionis untuk melakukan kejahatan-kejahatan serupa di masa-masa selanjutnya. Sepuluh tahun setelah kejadian serangan ke Qana, desa yang sama kembali menjadi sasaran gempuran dahsyat. Dalam perang 33 hari yang terjadi antara Juli sampai Agustus 2006, tentara Zionis membombardir Qana. Korban dari pihak sipil kembali berjatuhan, dan lagi-lagi kebanyakan korban adalah wanita dan anak-anak.

Hanya beberapa jam setelah gempuran terjadi, dunia dikejutkan oleh pemandangan yang mengiris hati. Sebuah bangunan berlantai tiga hancur di Qana hancur dalam serangan Israel. Hampir 60 orang di dalamnya yang terdiri atas 34 anak kecil bersama sejumlah perempuan dan orang lanjut usia tewas secara mengenaskan. Radio Israel mengaku serangan itu berhasil menghancurkan markas Hizbullah. Namun pemberitaan cepat oleh media-medai massa dunia dengan penayangan gambar dari lokasi kejadian membuktikan kebohongan klaim radio Israel itu. Duniapun kembali mengecam Israel atas kejahatan yang dilakukannya di Qana. Melihat gencarnya kecaman, rezim Zionis hanya menyayangkan jatuhnya korban dari pihak sipil, tanpa menunjukkan pengakuan dan rasa bersalah.

Saat terjadinya serangan, Menteri Luar Negeri AS, Condoleezza Rice sedang melakukan pertemuan dengan Perdana Menteri Israel Ehud Olmert di Palestina Pendudukan. Tak ada pernyataan apapun dari Rice tentang kejahatan yang dilakukan Israel tersebut. Rencananya, usai bertemu dengan para petinggi Zionis, Menlu AS akan bertolak ke Beirut untuk bertemu dan berbicara dengan para pejabat tinggi Lebanon. Namun rencana itu batal setelah Beirut menolak kunjungan Rice.

Serangan brutal Israel ke Qana sepuluh tahun setelah serangan serupa di tahun 1996, dimaksudkan untuk memaksa Hizbullah dan Lebanon menerima syarat-syarat yang diajukan Israel, AS dan sekutu-sekutunya. Jika di tahun 1996, Israel gagal melumpuhkan kekuatan perjuangan Hizbullah, di tahun 2006, segala yang dilakukan Zionis juga tak mampu melemahkan kelompok perjuangan Islam Lebanon ini. Kejahatan Israel justeru semakin memperkuat persatuan di pihak Lebanon untuk melawan dan membela diri. Dukungan kepada Hizbullahpun berdatangan dari segenap penjuru dunia. Sementara Israel terus dihujani kecaman dan kutukan.

Di Beirut, warga Lebanon menggelar demonstrasi besar-besaran yang mendesak Hizbullah untuk membalas kejahatan Israel dengan balasan yang telak. Mereka menyatakan dukungan penuh kepada Hizbullah dan pemimpinnya, Sayid Hasan Nasrulah. Para demonstran menyerbu markas PBB dan mendudukinya lalu membakar bendera PBB sambil meneriakkan slogan-slogan yang mengecam pembelaan PBB kepada rezim Zionis yang telah melakukan kejahatan besar di Qana. PBB juga dikecam karena mengikuti langkah dan kebijakan AS yang membela Israel.

Di sisi lain, pemerintah Lebanon mengumumkan keputusan untuk menghentikan segala macam perundingan yang ditujukan mengakhiri krisis. Presiden Lebanon Emil Lahud dalam reaksinya mengencam serangan Israel ke Qana dan menyebut negara-negara adidaya sebagai pihak yang bertanggung jawab atas terjadinya pembantaian ini. Di tingkat dunia, sentimen anti zionis semakin meningkat dengan digelarnya demonstrasi besar-besaran yang terjadi bahkan di ibukota sejumlah negara Eropa. Para demonstran membakar bendera Israel.

Desa Qana, kini menjadi simbol ketertindasan dan perjuangan rakyat Lebanon menghadapi agresi zionis. Setiap kali disebut, nama desa kecil di selatan Lebanon ini akan mengingatkan akan barbarisme yang dipentaskan rezim Zionis di depan masyarakat dunia dan resistensi para pejuang muqawama Islam. Muqawama akhirnya berhasil membuat rezim Zionis bertekuk lutut dalam perang 33 hari. Perang ini sekaligus menjadi pelajaran bagi para pemimpin Zionis bahwa menyerang Lebanon harus dibayar mahal. Memang sampai saat ini, rezim Zionis masih menganggap diri sebagai yang terkuat sehingga sering kali melontarkan ancaman kepada Lebanon. Tapi perang 33 hari telah membuktikan bahwa masa kedigdayaan Israel di depan bangsa Arab dan Muslim sudah berakhir, dan ancaman yang dibuat oleh para petinggi Zionis tak lebih dari sekedar gertak sambal.(IRIB Indonesia)


Akar Terorisme Zionis (Bagian 16)

Pada pembahasan sebelum ini sudah dibicarakan serangan brutal dan kejahatan dalam skala luas yang dilakukan rezim zionis di Lebanon untuk melemahkan barisan para pejuang muqawama. Kejahatan itu dimulai dengan agresi Israel ke Lebanon tahun 1982 yang diikuti dengan pendudukan negara itu. Agresi tersebut pada awalnya ditujukan untuk mengusir para pejuang Palestina dari Lebanon. Selama berada di Lebanon, tentara Zionis melakukan berbagai aksi kejahatan dan pembantaian yang menjatuhkan korban tewas sampai ratusan orang. Salah satunya adalah pembantaian di kamp pengungsi Sabra dan Shatila.

Serbuan ke Lebanon memunculkan perlawanan dari dalam yang berujung pada kelahiran kelompok muqawama bernama Hizbullah. Keberadaan kelompok perjuangan politik dan militer ini berhasil mengubah perimbangan kekuatan. Untuk melumpuhkan Hizbullah, rezim Zionis meneror para tokoh perjuangan diantara syeikh Raghib Harb dan Sayid Abbas Musawi. Namun gugurnya para pemimpin justeru semakin mengobarkan semangat untuk melawan tentara Zionis.

Dengan bersenjatakan keimanan dan keberanian yang tinggi para pejuang Hizbullah berhasil memukul mundur Israel dari Beirut bahkan dari Lebanon selatan. Mitos Israel yang tak terkalahkan pun gugur. 18 tahun setelah menduduki Lebanon, Israel terpaksa angkat kaki karena kekalahan bertubi yang dideritanya dari para pejuang Hizbullah. Menteri Peperangan Zionis Ehud Barak menyebut pendudukan 18 tahun atas Lebanon sebagai musibah bagi rezim ini. Dia bahkan mengingatkan kondisi tentara Zionis yang kebingungan mencari jenazah rekan-rekan mereka di Lebanon. Bukan hanya di Lebanon, Israel juga menghadapi gerakan kebangkitan rakyat Palestina yang biasa disebut intifada yang semakin menggelora.

Salah satu peristiwa yang menggemparkan dunia adalah aksi yang dilakukan seorang zionis ekstrim bernama Baruch Goldstein bersama sekelompok pemukim zionis lainnya. Pada tanggal 25 Februari 1994 mereka menyerang masjid al-Aqsa dan menembaki jamaah yang sedang melaksanakan shalat subuh. Dalam serangan yang menggunakan senapan dan granat itu, 29 orang gugur syahid dan lebih dari 350 lainnya cedera. Saat terjadinya serangan, tentara Israel menutup seluruh pintu masjid dan menghalangi upaya jamaah yang berusaha menyelamatkan diri. Tim penolong juga tak diizinkan memasuki komplek masjid untuk menolong korban. Di luar masjid beberapa orang juga diterjang peluru dan gugur syahid. Saat terjadi prosesi pengiringan jenazah korban juga terjadi penembakan yang menjatuhkan korban. Jumlah keseluruhan korban syahid dalam peristiwa ini mencapai 50 orang.

Serangan serupa pernah terjadi sebelumnya pada tanggal 8 Oktober 1990, ketika kelompok zionis ekstrim bersenjata menyerang Masjidul Aqsa dan menembaki jamaah yang sedang melaksanakan shalat di dalamnya. 21 orang syahid, 150 cedera dan 270 ditahan. Yang lebih tragis adalah aksi Zionis yang menembaki ambulans dan tim penyelamat yang berusaha menolong korban. Akibatnya sampai enam jam setelah peristiwa serangan itu terjadi, para korban syahid dan luka-luka tak tersentuh tim penolong.

Delapan tahun sebelumnya yaitu pada tahun 1982, Zionis ekstrim beberapa kali menyerang masjid kiblat pertama umat Islam ini. Di bulan April 1982, kelompok Yahudi ekstrim yang dipimpin oleh Rabi Meir Kahana berulang kali berusaha menerobos masuk ke Masjidul Aqsha. Beberapa waktu setelah itu terungkap bahwa upaya masuk ke Masjidul Aqsa itu adalah tindakan zionis untuk memalingkan perhatian dari sebuah serangan yang dilakukan seorang tentara Zionis bernama Eilin Goutman ke Masjid Qubbah Sakhrah atau Masjid Kubah Batu.

Serangan itu selain menewaskan dua penjaga masjid juga merusak masjid, tiang-tiang serta dinding dalam dan luarnya. Menyusul serangan itu, badan keamanan Zionis Hagana melayangkan beberapa surat ancaman kepada anggota Dewan Wakaf al-Quds. Hagana mengancam akan membunuh anggota Dewan Wakaf jika orang-orang Yahudi tidak diizinkan memasuki Masjidul Aqsa. Lebih jauh badan Zionis ini mengancam akan membakar kiblat pertama umat Islam tersebut.

Serangan bersenjata ke Masjidul Aqsa segera menuai reaksi keras dari berbagai penjuru dunia, terlebih rakyat Palestina. Di kota Quds dan kota-kota lainnya di Tepi Barat Sungai Jordan warga Palestina menggelar aksi demo besar-besaran yang berujung pada lahirnya gerakan perlawanan dalam skala luas. Untuk menumpas gerakan ini rezim Zionis lagu-lagi menggunakan cara kekerasan. Sembilan warga Palestina syahid dan 136 lainnya luka-luka.

Reaksi keras dari Dunia Islam tidak dihiraukan oleh orang-orang Zionis. Terbukti, pada tanggal 6 Juli tahun yang sama, kelompok ekstrim Zionis berusaha memasuki Masjidul Aqsa dengan alasan untuk menggelar acara doa bersama demi kemenangan tentara Israel yang sedang berperang di Lebanon. Aksi itu dilawan oleh warga Palestina dan penjaga masjid sehingga bentrokanpun tak terhindarkan.

Aksi lain Zionis yang ternyata harus dibayar mahal oleh Israel terjadi pada tanggal 29 September tahun 2000, ketika Ariel Sharon yang dijuluki penjagal Sabra dan Shatila melenggang memasuki komplek Masjidul Aqsa. Kedatangan Sharon ke komplek suci itu dianggap sebagai penistaan atas kemuliaan Masjidul Aqsa. Sharon terpaksa mengakhiri kunjungan itu setelah melihat protes keras para pemuda Muslim Palestina. Reaksi yang muncul tak pernah dibayangkan sebelumnya oleh para pemimpin Zionis. Rakyat Palestina secara serentak bangkit melawan dan lahirlah intifada kedua yang disebut juga dengan intifada Masjidul Aqsa. Esok harinya, yang bertepatan dengan hari Jumat terjadi bentrokan antara warga Palestina dengan tentara Zionis. Tujuh orang terbunuh dan 25 lainnya cedera.

Intifada Masjidul Aqsa menjadi fenomena perjuangan nyata bangsa Palestina melawan rezim Zionis. Untuk menumpasnya, Israel melakukan segala hal termasuk cara-cara yang paling tidak manusiawi. Salah satu kejahatan yang terjadi kala itu dan tak akan pernah hilang dari ingatan sejarah adalah aksi penembakan langsung tentara Zionis terhadap Muhammad al-Dourah. Anak berusia 12 tahun itu gugur syahid dalam dekapan ayahnya saat berlindung di satu tempat menghindari serangan tentara Zionis ketika mereka sedang berjalan menuju rumah. Syahidnya al-Doura ibarat bom berita yang mengguncang dunia. Peristiwa penembakan al-Dourah direkam oleh kamera wartawan Arab yang bekerja untuk televisi chanel 2 Perancis. Rekaman itu ditayangkan oleh hampir semua televisi dunia.

Pembunuhan Mohammad al-Dourah hanya satu kasus yang menunjukkan kekejian orang-orang Zionis dalam enam dekade pendudukan Palestina. Kini kebiadaban itu disaksikan langsung oleh semua mata di dunia. Yang menarik adalah sikap bungkam negara-negara Barat yang selalu mengaku sebagai pembela hak asasi manusia. di pihak Israel, para pemimpin Zionis mengingkari aksi penembakan itu dan menyebutnya sebagai propaganda untuk menyudutkan Israel. Pengingkaran dan pemutarbalikan fakta adalah kebiasaan kaum Zionis yang sudah dikenal oleh masyarakat dunia. (IRIB Indonesia)

Akar Terorisme Zionis (Bagian 17)

Pada pertemuan yang lalu telah dibahas tentang aksi brutal Yahudi ekstrim dan tentara Zionis yang melakukan pembantaian terhadap warga Palestina termasuk yang terjadi di dalam Masjidul Aqsa. Telah dibahas pula muncul tentang lahirnya intifada Masjidul Aqsa menyusul kunjungan Ariel Sharon ke komplek suci kiblat pertama umat Islam ini. Di hari-hari pertama intifada terjadi pembunuhan seorang bocah Palestina bernama Muhammad al-Dourah yang kejadiannya direkam oleh kamera seorang wartawan Arab yang bekerja di televisi chanel 2 Perancis. Untuk memadamkan api intifada, rezim zionis menggunakan segala cara.

Tanggal 29 Maret 2002, tentara Zionis dalam serangan masifnya menyerbu kamp pengungsi Jenin di Tepi Barat. Serangan itu dilawan dengan sengit oleh para pejuang Palestina. Selama dua minggu bentrokan berlangsung dan kamp tersebut berada dalam kepungan tentara Zionis. Ketika persediaan peluru, makanan, dan minuman para pejuang habis tentara Zionis di bawah komando Shaol Mofaz merangsek memasuki kamp dengan tank. Kamp itupun dihancurkan, dan para pemuda Palestina dibunuh secara massal. Diperkirakan tentara Zionis membunuh sekitar 200 orang dalam aksi tersebut. Jumlah itu belum termasuk mereka yang yang tewas dan dikuburkan secara massal.

Peristiwa di kamp Jenin menjadi sorotan dunia. Meski berada di bawah tekanan dan pengaruh AS, Dewan Keamanan PBB tetap mereaksinya dan menyampaikan ungkapan yang menyesalkan kondisi kemanusiaan di sana. Dewan Keamanan mendesak diakhirinya blokade atas kamp Jenin demi alasan kemanusiaan. Dewan ini juga meminta lembaga-lembaga dunia seperti Palang Merah Internasional dan Badan Bantuan PBB untuk pengungsi Palestina agar membantu menangani krisis.

Meski sudah melakukan tindakan brutal dan pembantaian dalam skala luas, Israel tetap tak mampu memadamkan gelora intifada Palestina. Sebaliknya, semangat juang rakyat Palestina semakin membara. Kejahatan yang dilakukan Israel tak bisa terhitung. Hampir setiap hari, media massa memberitakan pembunuhan seorang tokoh perjuangan, perempuan atau anak kecil di Palestina oleh tentara Zionis. Salah satu tokoh perjuangan Palestina yang dibunuh tentara Zionis dalam intifada ini adalah Syeikh Ahmad Yasin dan Abdul Aziz Rantisi.

Syeikh Ahmad Yasin adalah pendiri sekaligus pemimpin spiritual Gerakan Perlawanan Islami Palestina (Hamas). Pejuang tua yang lumpuh dan duduk di kursi roda itu menjadi sasaran teror Israel pada subuh tanggal 22 Maret 2004. Setelah menunaikan shalat subuh, Syekh Ahmad Yasin yang menjadi simbol perjuangan Palestina menjadi sasaran serangan tiga roket yang ditembakkan oleh helikopter zionis jenis Apache. Pemimpin Hamas ini gugur syahid bersama delapan orang yang menyertainya.

Syeikh Ahmad Yassin lahir pada bulan Juni tahun 1936 di Palestina. Tahun 1948, ketika zionis mendeklarasikan berdirinya Israel, bersama keluarga Yasin mengungsi ke Gaza. Sejak saat itu dia rajin belajar dan bekerja. Dalam suatu insiden Ahmad Yasin cedera dan menderita kelumpuhan. Namun kondisi itu tidak menyiutkan semangatnya untuk menyelesaikan pendidikan. Salah satu tempat Ahmad Yasin belajar adalah Universitas Ain Syams di Mesir. Kepiawaiannya dalam berorasi dan kecenderungannya kepada gerakan Islam Ikhwanul Muslimin membuatnya berada dalam kejaran pihak keamanan Mesir selama beberapa tahun. Diapun pernah tertangkap dan dijebloskan ke penjara.

Setelah perang Arab-Israel tahun 1967 dan negara-negara Arab menelan kekalahan telak, Ahmad Yasin meninggalkan bangku sekolah dan kembali ke Gaza. Melalui mimbar-mimbar masjid, dia menyeru rakyat untuk bangkit berjuang. Selain terjun dalam kegiatan kemasyarakatan dan kebudayaan, dia juga aktif menggalang bantuan bagi keluarga syuhada dan para tahanan Palestin di penjara-penjara Israel. Selanjutnya, Ahmad Yasin mendirikan organisasi bernama al-Mujtama' al-Islami di Gaza. Kegiatannya dianggap berbahaya oleh rezim Israel. Diapun ditangkap pada tahun 1982 dan divonis 13 tahun penjara. Tiga tahun berikutnya dalam proses pertukaran tahanan, Ahmad Yasin pun bebas.

Tahun 1987, bersama rekan-rekan seperjuangannya, dia membentuk organisasi perjuangan Palestina dengan nama Harakah Muqawamah Islamiyah atau Gerakan Perlawanan Islami yang disingkat Hamas. Dalam intifada Masjidul Aqsa, Hamas memainkan peran kunci dalam memobilisasi perlawanan lewat masjid-masjid. Meski lebih memusatkan kegiatan dalam perjuangan sosial dan budaya, Hamas juga membentuk sayap militer yang bertugas melakukan perjuangan bersenjata bawah tanah melawan rezim Zionis. Akibatnya, Syeikh Ahmad Yasin sebagai pemimpin Hamas menjadi sasaran utama serangkaian aksi teror.

Banyak rekan seperjuangan tokoh ini yang sudah terlebih dulu dibunuh oleh regu-regu teror Israel. Tahun 1989, Syeikh kembali ditangkap dan mendekam di penjara selama delapan tahun. Tahun 1997, setelah bebas, Syeikh Ahmad Yasin melanjutkan kembali perjuangannya. Menurutnya, Israel harus dilawan dan berunding dengan rezim ini hanya tindakan yang sia-sia. Akhirnya guru, pemimpin dan pejuang besar ini gugur syahid dalam sebuah serangan teror pada dini hari tanggal 22 Maret 2004 dalam usia 68 tahun. Dalam prosesi pemakaman sang syahid, ribuan warga Palestina meneriakkan yel-yel pembalasan atas darah para syuhada Palestina khususnya Syiekh Ahmad Yasin.

Setelah gugurnya Syeikh Ahmad Yasin, Hamas memilih Abdul Aziz Rantisi sebagai pemimpin. Namun 26 hari setelahnya, Rantisi gugur syahid di tangan regu teror Zionis dalam sebuab serangan helikopter tempur pada tanggal 18 April 2004. Dia gugur dalam usia 57 tahun bersama anak dan dua pengawalnya. Rantisi yang bernama lengkap Abdul Aziz Ali Abdul Hafidz Rantisi lahir di Yafa, Palestina pada tanggal 23 Oktober 1947 atau tujuh bulan sebelum deklarasi pembentukan Israel. Dengan berdirinya Israel secara ilegal, Rantisi bersama keluarga terpaksa meninggalkan kampung halaman dan mengungsi ke kamp Khan younis di selatan Jalur Gaza.

Pada masa kanak-kanak, karena faktor kemiskinan Rantisi terpaksa bekerja dengan berjualan. Meski demikian, berkat tekad dan semangatnya yang besar, Rantisi berhasil menyelesaikan pendidikan dan meraih gelar sarjana di bidang kedokteran di universitas Iskandariyah Mesir pada tahun 1976 dengan nilai tinggi. kembali ke Palestina, selain membuka praktek kedokteran Rantisi juga aktif di berbagai kegiatan sosial, politik, dan pendidikan. Antara tahun 1982 hingga 1992, dia berulang kali ditangkap tentara Zionis. Tahun 1997, dia terakhir kali bebas dari penjara.

Sejak terbentuknya Hamas, Rantisi menjadi pengikut setia Syeikh Ahmad Yasin. Tahun 1992 bersama 400 pejuang lainnya Abdul Aziz Rantisi diasingkan ke Lebanon. Di Lebanon, dia menjadi juru bicara para tahanan di pengasingan. Akibat tekanan opini umum, Israel akhirnya mengizinkan Rantisi dan para pejuang lainnya untuk kembali ke Palestina. Tiba di Palestina, Rantisi langsung ditahan Israel dan mendekam dalam penjara sampai tahun 1997. Lepas dari penjara, Rantisi melanjutkan perjuangan bersama Syeikh Ahmad Yasin. Diapun menjadi orang kedua di Hamas. Tahun 2003, helikopter Apache Israel menyerangnya dengan roket. Namun dia selamat dan hanya terluka. Rantisi dikenal sebagai figur dengan pandangan yang terbuka, ingatan kuat dan tegas menghadapi Rezim Zionis.

Gugurnya Syeikh Ahmad Yasin, Abdul Aziz Rantisi dan puluhan tokoh perjuangan Palestina tak akan pernah bisa memadamkan gelora semangat berjuang yang sudah membara di dada rakyat Palestina. Bangsa Palestina hanya akan tersenyum setelah cita-cita membebaskan negeri mereka tercapai dengan izin Allah.(IRIB Indonesia)

Akar Terorisme Zionis (Bagian 18)

Setelah terjadi teror atas diri Pemimpin Hamas Syeikh Ahmad Yasin dan penerusnya Dr Abdul Aziz Rantisi, Brigade Izzuddin Qassam, sayap militer gerakan Hamas melancarkan serangan balas dengan menggelar serangkaian operasi mati syahid. Mendapat pukulan dari Hamas, Israel semakin menjadi-jadi dalam melanjutkan program teror terhadap para tokoh perjuangan Palestina dengan tujuan meredam gejolak perlawanan dan melumpuhkan resisten rakyat Palestina. Tel Aviv pun menyiapkan daftar yang berisi nama 400 tokoh Hamas sebagai sasaran teror.

Salah Shahhadeh adalah salah satu tokoh Hamas yang dibantai bersama istri dan putrinya yang masih keji dengan cara keji oleh regu teror Zionis. Subuh tanggal 23 Juli 2002, sebuah peawat tempur F16 menggempur rumah salah Shahhadeh di Gaza dengan roket. Dalam serangan itu, Salah bersama istri dan putrinya serta 15 orang warga Palestina lainnya gugur syahid sementara korban luka mencapai jumlah 150 orang. Sembilan di antara korban syahid adalah anak-anak kecil. Modus pembunuhan yang sama juga dilakukan militer Zionis terhadap para tokoh perjuangan Hamas.

Bagi Hamas, gugurnya banyak tokoh dan pemimpin gerakan merupakan pukulan yang berat. Namun darah para syuhada itu justeru semakin memperkuat semangat perjuangan bernafaskan Islam di Palestina. Hamaspun semakin dicintai dan dukungan kepada gerakan perjuangan ini juga semakin besar. Hal itu terbukti dengan keberhasilan kelompok ini dalam memenangi secara telak pemilihan umum Palestina pada bulan Januari 2006 di Jalur Gaza dan Tepi Barat Sungai Jordan.

Jika kemenangan di pentas politik dalam negeri ini dinilai sebagai keberhasilan besar bagi Hamas, tapi bagi Israel dan kubu pendukungnya, kemenangan Hamas merupakan pukulan telak. Pemilu itu sendiri diselenggarakan dengan standar demokrasi ala Barat, dengan Jimmy Carter, mantan Presiden AS sebagai ketua tim pemantau internasional untuk pemilu Palestina. Setelah diumumkannya Hamas sebagai pemenang, Carter mengakui keabsahan pemilu dan hasilnya. Meski demikian, Rezim Zionis Israel dan rezim AS bersama sekutu-sekutu Baratnya yang mengklaim sebagai pemenang panji demokrasi justeru bersikap frontal dengan menekan Hamas. Tak lama setelah itu, Jalur Gaza yang sepenuhnya berada dalam kendali Hamas diboikot penuh. Praktis, hubungan satu setengah juta warga Palestina di kawasan ini dengan dunia luar terputus.

Dengan adanya boikot penuh ini, tak ada pintu yang terbuka bagi warga Gaza untuk keluar dari wilayah itu meski sekedar demi memenuhi kebutuhan hidup sehari hari atau mendapatkan perawatan medis. Akibatnya, banyak warga yang meninggal secara mengenaskan karena tak memperoleh peratawan medis yang memadai. Seiring dengan blokade tersebut, aksi teror terhadap para tokoh perjuangan Hamas juga terus berjalan. Serangan dari darat, laut dan udara juga tak pernah berhenti. Namun demikian, Hamas tetap solid dan tak bersedia menyerah kepada Israel dan para pendukung Baratnya.

Di penghujung tahun 2008, rezim Zionis yang sudah dipermalukan para pejuang Hizbullah Lebanon pada perang 33 hari tahun 2006, menggempur Gaza dari segala penjuru. Mesin-mesin perang Zionis memuntahkan berbagai macam bom bahkan senjata-senjata inkonvensional ke Gaza dari darat, laut dan udara. Israel memang memerlukan satu kemenangan di medan tempur untuk mengembalikan wibawanya yang sudah hancur dalam perang melawan Hizbullah di Lebanon.

Dengan dukungan dan bantuan AS, negara-negara Barat dan sejumlah rezim Arab pengkhianat, Israel menyusun program perang di Gaza. Mereka memperkirakan, Gaza dan Hamas akan dibuat berteluk lutut dalam tempo dua minggu. Program ini disusun dalam dua tahap. Tahap pertama, pesawat-pesawat tempur membombardir sejumlah sasaran vital di Gaza dengan volume serangan udara yang perharinya mencapai 60 sampai 130 kali serangan.

Di hari-hari pertama perang, sedikitnya 300 gedung perkantoran, pemerintahan, partai, dan layanan jasa milik Hamas hancur. Sasaran berikutnya adalah bangunan-bangunan sipil. Korban dari pihak sipil pun berjatuhan. Pemandangan Gaza pun berubah bagai sebuah kota yang hancur diguncang gempa bumi dahsyat. Sekitar lima ribu bangunan runtuh dan infrastruktur Gazapun hancur. Diperkirakan, kerugian materi serangan ini mencapai lebih dari 2 trilyun USD.

Tahap kedua serangan dilakukan lewat darat. Israel mengerahkan 60 ribu tentara cadangan terlatih yang dibagi ke dalam 7 brigade untuk menyerang Gaza. Target serangan adalah untuk menguasai dan menduduki seluruh wilayah Gaza. Setelah dua minggu terlibat pertempuran sengit dengan para pejuang Palestina, tentara Zionis dan satuan-satuan lapis bajanya hanya mampu bergerak maju di tanah pertanian dan gurun yang datar dan itupun dengan cara menghancurkan rumah-rumah warga terlebih dahulu. Setelah perang berlangsung dua pekan, kabinet Israel berkesimpulan bahwa kubu perlawanan Hamas tidak mengalami gangguan yang signifikan.  Itu terbukti dengan terus berlanjutnya serangan roket Hamas ke wilayah Israel yang jangkuannya semakin hari semakin jauh.

Perang Gaza membuktikan juga bahwa para pemimpin Hamas punya kemampuan yang sangat baik dalam mengendalikan perang. Tak ada kepanikan sama sekali di kubu Hamas. Sementara di pihak Israel, tentara Zionis hanya mampu merangsek memasuki Gaza sampai kedalam 500 hingga 1500 meter. Bahkan di sisi jalur Gaza dengan lebar wilayah 4 kilometer, pasukan Zionis tak bisa mencapai sasaran untuk menggabungkan diri dengan barisan yang sudah mendarat di Gaza dari laut Meditterania. Israel kembali dipermalukan di medan perang, dan kali ini oleh partai pejuang Palestina di Gaza. Kondisi yang tercipta saat itu tak menyisakan pilihan bagi Israel selain menghentikan secara sepihak perang yang disulutnya sendiri.

Perang berhenti setelah 22 hari dengan korban syahid di pihak Palestina mencapai 1450 orang yang kebanyakan adalah anak-anak dan perempuan yang gugur dalam serangan udara Israel. Dewan Hak Asasi Manusia PBB segera membentuk tim pencari fakta yang dipimpin hakim Richard Goldstone untuk menyelidiki kejahatan perang yang dilakukan Rezim Zionis Israel di Gaza dalam perang 22 hari. Dalam laporannya setebal seribu halaman, Goldstone meyakinkan terjadinya kejahatan perang oleh Israel. Israelpun dikecam. Ini adalah kali pertama Israel yang meski dibela AS dan Barat mendapat kecaman secara resmi di sebuah forum internasional. Lembaga-lembaga dunia yang umumnya berada di bawah pengaruh Barat tak mampu menutup mata karena besarnya kejahatan yang dilakukan Zionis di Gaza.(IRIB Indonesia)


Akar Terorisme Zionis (Bagian 19)

Setelah gagal mencapai target teror atas para tokoh dan pemimpin Hamas, Israel berusaha melemahkan mental dan semangat juang rakyat Gaza dengan cara menggempur wilayah padat penduduk itu secara masif. Bagi zionis, tak ada rambu-rambu dan etika apapun yang perlu dihormati demi tujuannya. Kejahatan dengan segala bentuknya mereka lakukan dengan harapan bisa melemahkan perlawanan dan resistensi rakyat Palestina. Gaza pun menjadi bulan-bulanan gempuran militer Zionis dari darat, laut dan udara. Lebih dari 1400 warga Palestina dengan mayoritas perempuan dan anak-anak gugur syahid dalam perang yang berlangsung selama 22 hari ini.  Ratusan rumah dan gedung hancur total. Infrastrukstur Gaza dilumpuhkan.
 
Richard Goldstone yang bertugas sebagai pelapor Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam laporan lengkapnya setebal 1000 halaman mengakui terjadinya kejahatan perang oleh Israel dalam perang Gaza. Berkat resistensi dan kegigihan perlawanan para pejuang Muslim di Gaza, Rezim Zionis Israel dipermalukan sama dengan yang dialaminya dalam perang 33 hari di Lebanon. Opini umum dunia juga semakin meyakini esensi terorisme rezim ilegal Zionis Israel. Kesadaran itu bahkan merambah benua Eropa dan negara-negara Barat yang notabene pro Israel. Karavan-karavan bantuan kemanusiaan untuk warga Gaza yang terdiri atas aktivis kemanusiaan dari berbagai negara bermunculan untuk bisa mencapai Gaza. Seakan perang ini menyadarkan masyarakat dunia akan ketertindasan warga Palestina dan kekejaman rezim Zionis.
 
Karavan pertama bantuan kemanusiaan dengan tujuan Gaza pasca perang adalah karavan pembebasan ‘Freedom Flotilla'. Mereka bertolak ke Gaza dengan menggunakan delapan kapal yang membawa bantuan kemanusiaan yang dihimpun di Eropa, Turki, Yunani dan Swedia. Sebanyak 650 aktivis perdamaian dari lebih 40 negara ikut dalam rombongan tersebut, termasuk 44 tokoh pemerintahan, parlemen, dan politik Eropa dan Arab. Diantara yang ikut serta dalam rombongan itu adalah 10 anggota parlemen Aljazair.
 
Freedom Flotilla membawa berbagai bantuan kemanusiaan untuk Gaza termasuk 10 ton besi, generator pembangkit listrik, perlengkapan medis, obat-obatan dan bahan makanan. Jum'at 28 Mei dini hari, tiga kapal bertolak meninggalkan pelabuhan Antolia Turki. Diagendakan, kapal-kapal lain dari Yunani, Irlandia dan Aljazair akan bergabung dengannya dan bergerak bersama-sama ke Gaza. Diperkirakan rombongan ini tiba di perairan Gaza pada dini hari 31 Mei.
 
Ketika iring-iringan kapal itu hampir tiba di pelabuhan Gaza, pasukan komando Zionis tiba-tiba menyerang di jarak 50 mil lepas pantai Gaza. Kapal-kapal perang Israel mengepung konvoi bantuan kemanusiaan itu, sementara pasukan komando diterjunkan lewat helikopter ke kapal Mavi Marmara yang berada paling depan. Terjadi bentrokan antara tentara Zionis dengan para aktivis yang mempertahankan kapal mereka. 16 orang dilaporkan tewas sementara 50 orang lainnya luka-luka. Para aktivits kemanusiaan itupun ditahan oleh militer Zionis.
 
Kapal perang Israel menggiring armada kemanusiaan Freedom Flotilla ke arah pelabuhan Ashdod di Palestina Pendudukan. Dunia digemparkan oleh perlakuan kasar dan tidak manusia rezim Zionis terhadap para aktivis perdamaian. Dengan menebar ketakutan dan ancaman seperti itu, Israel berharap bisa mencegah para aktivis dunia lainnya untuk melakukan hal yang sama, mengirim bantuan kemanusiaan ke Gaza. Namun yang terjadi justeru sebaliknya. Kekejian dan kebrutalan tentara Zionis bukan menyurutkan nyali para aktivis malah semakin mempertebal tekad mereka untuk memberikan dukungan yang lebih kepada warga Gaza. Israelpun semakin dibenci oleh masyarakat dunia. Kecaman demi kecaman dari berbagai penjuru dunia diarahkan ke Tel Aviv. Akibat tekanan kuat opini umum dunia, negara-negara Barat ikut mengecam tindakan brutal tentara Zionis terhadap konvoi pembebasan Freedom Flotilla.
 
Yang menarik adalah sikap mantan Presiden Amerika Serikat,Jimmy Carter. Presiden AS era 1970-an ini mengecam sikap Israel dan mengakui bahwa satu setengah juta warga Palestina di Gaza berada dalam kondisi yang sangat mengenaskan. Mereka berada dalam kepungan dan blokade penuh Israel. Carter mengatakan, "Mereka seakan tinggal di sangkar. Sebab, Israel menutup semua akses wilayah itu ke dunia luar. Nampaknya mustahil bisa meringankan derita warga Gaza."
 
Carter menambahkan, "Tingkat kehancuran di Jalur Gaza tahun 2009 tidak bisa dibayangkan. Satu hal yang perlu dicatat, setengah dari warga sana adalah anak-anak di bawah umur." Pengakuan dari mantan Presiden AS ini menunjukkan adanya perubahan fundamental dalam peta dunia. Barat yang paling rajin mengklaim diri sebagai pembela hak asasi manusia tak bisa lagi bungkam menyaksikan kejahatan rezim Zionis Israel dalam skala besar ini.
 
Esensi Israel sebagai rezim rasis dan penjajah sudah terkuak di mata publik dunia. Sebab, sekarang yang terpanggil untuk membantu warga Palestina tidak terbatas pada komunitas Muslim. Sebagian besar dari mereka yang ikut serta dalam rombongan solidaritas Gaza dan terlibat aktif menggalang bantuan kemanusiaan untuk warga Palestina adalah para aktivis nonMuslim. Pada ulang tahun pertama terjadinya serangan komando zionis terhadap kapal Mavi Marmara, para aktivis memutuskan untuk mengirimkan konvoi Pembebasan II ke Gaza. Konvoi ini direncanakan bertolak ke Gaza dari pelabuhan Yunani. Para aktivis dari berbagai negara sudah terdaftar untuk menyertai konvoi ini.
 
Israel tak mau kecolongan. Tekanan hebat pasca serangan ke konvoi Gaza pertama masih lekat di ingatan para pemimpin Zionis. Tel Aviv tak mau peristiwa itu terulang kali. Dengan sekuat tenaga dan dengan berbagai cara, para pemimpin Zionis melakukan lobi politik untuk mencegah keberangkatan rombongan ini ke Gaza.Upaya Israel membuahkan hasil. Pemerintah Yunani menolak mengizinkan konvoi kemanusiaan itu meninggalkan pelabuhan negara ini. Berbagai alasan konyol disampaikan oleh para petinggi Athena. Hal ini semakin menunjukkan belang sebenarnya yang ada di wajah rezim Zionis Israel.
 
Rakyat Palestina saat ini sudah bangkit. Mereka menyadari benar haknya untuk melawan rezim pendudukan demi membebaskan negeri mereka dari cengkraman orang-orang Zionis. Israelpun menghadapi perlawanan itu dengan kebijakan tangan besi dan kekerasan. Di depan corong-corong media Barat, Israel mengklaim bahwa kekerasan ini dilakukan demi apa yang disebutnya program melawan teror.(IRIB Indonesia)

Akar Terorisme Zionis (Bagian 20)

Dalam beberapa tahun terakhir, Rezim Zionis Israel kesulitan untuk melaksanakan teror terhadap pejuang Palestina di luar negeri. Tapi agenda teror tetap dilaksanakan, dengan cara-cara yang sangat rapi untuk menghindari penangkapan pihak berwenang di negara setempat. Sebab, agen-agen rahasia Israel tak lagi leluasa bertindak mengingat kian meluasnya sentimen anti Zionis di dunia, bahkan di Eropa. Di lain pihak, para pejuang Palestina dan Lebanon juga sudah semakin pandai mengelak dari sergapan agen-agen teror Zionis saat bepergian ke luar negeri. Tak heran jika dalam beberapa tahun terakhir, Israel sering gagal meneror pejuang Palestina dan Lebanon di luar negeri.

Salah satu operasi teror Israel yang terjadi beberapa waktu lalu dan memicu reaksi luas di dunia internasional adalah pembunuhan terhadap Mahmoud al-Mabhuh, komandan tinggi Brigade Izzuddin Qassam, sayap militer Gerakan Perlawanan Islami Palestina (Hamas). Teror yang terjadi di Dubai pada tanggal 19 Januari 2010 ini menjadi bumerang bagi Rezim Zionis. Pasalnya, orang-orang yang terlibat pembunuhan ini datang ke Dubai dengan menggunakan paspor palsu sejumlah negara khususnya Eropa, seperti Inggris, Perancis, Irlandia, Belanda, Jerman, dan Australia. Sejak awal terjadinya teror terhadap tokoh Hamas ini, tuduhan memang langsung mengarah ke Israel. Jerusalem Post dalam hal ini menulis, "Untuk mengetahui siapa yang berada di balik teror itu cukup kita melihat senyuman yang tersungging di wajah Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu."

Menyusul terbunuhnya al-Mabhuh, polisi Dubai membongkar identitas regu teror yang menggunakan paspor sejumlah negara. Pembeberan fakta ini ditanggapi oleh banyak kalangan. Yediot Aharonot menyungkapkan bahwa instruksi pembunuhan terhadap Mahmoud al-Mabhuh sudah dikeluarkan sejak beberapa tahun lalu, dan Mossad telah menyusun agenda teror ini dengan nama sandi ‘Halaman Merah'. Menurut koran Israel ini, untuk melaksanakan rencana teror, Mossad mengerahkan 27 agen dengan menggunakan paspor dari berbagai negara. Mereka masuk ke hotel tempat al-Mabhuh menginap di Dubai. Setelah ditangkap, korban disuntik dengan bahan pelumpuh lalu dibunuh.

Topik yang menjadi sorotan media massa Barat adalah terungkapnya pemalsuan paspor sejumlah negara Eropa dalam operasi teror terhadap al-Mabhuh. Prediksi pertama yang mengalir adalah kerjasama dinas-dinas intelijen Eropa dalam operasi teror tersebut. Gelombang protes segera menerpa Israel. Inggris, Irlandia dan Perancis sebagai negara-negara yang paspornya digunakan oleh regu teror Israel dalam operasi ini, memprotes tindakan rezim Zionis. Protes itu ditujukan pada penggunaan paspor oleh regu teror Zionis, tanpa disertai kecaman atas pembunuhan terencana terhadap pejuang Palestina di Dubai. Protes keras itu diikuti dengan penarikan duta besar negara-negara tadi dari Tel Aviv.

Untuk meredakan gejolak yang ada, Menteri Luar Negeri Rezim Zionis, Avigdor Lieberman segera bertolak ke London dengan misi negosiasi dengan para petinggi Inggris. Beberapa bulan setelah teror, Israel secara resmi mengakui sebagai pihak yang bertanggung jawab atas syahidnya Mahmoud al-Mabhuh. Seiring dengan itu, dinas intelijen Israel meminta maaf kepada pemerintah Inggris atas penggunaan paspor negara itu dalam menjalankan operasi terornya.  Ketua Dinas Intelijen Mossad berjanji untuk tidak menggunakan paspor Inggris lagi dalam operasinya di kemudian hari.

Mahmoud al-Mabhuh adalah salah satu tokoh pendiri Brigade Izzuddin Qassam, sayap militer Hamas di luar Palestina. Sayap militer itu pertama kali dibentuknya bersama Asir Qasami dan Muhammad al-Sharatehah pada tahun 1987. Al-Mabhuh sudah lama diincar regu teror Israel. Yediot Aharonot dalam sebuah artikelnya membeberkan bahwa Mossad sudah bertahun-tahun lamanya menyusun rencana teror terhadap Mabhuh. Rencana sudah dibuat dengan matang dan mereka hanya menunggu kesempatan untuk menjalankannya. Karena satu kesalahan memalingkan perhatian agen-agen Mossad, al-Mabhuh berhasil dikenali oleh regu teror yang siap membunuhnya itu. Dengan demikian, satu lagi tokoh perjuangan Palestina gugur syahid di tangan regu teror Zionis. Darah para syuhada Palestina akan terus menyinari jalan perjuangan ini.

Salah satu tokoh penting Palestina yang gugur syahid di tangan regu teror Zionis adalah Yahya Ayash. Insinyur yang menjadi salah satu komandan dan petinggi Hamas ini gugur dalam sebuah insiden ledakan bom pada tanggal 5 Januari 1997. Bom itu dipasang di telepon genggam Yahya Ayash. Bom meledak saat petinggi Hamas berusia 31 tahun ini sedang berbicara dengan ayahnya, Abdul Latif. Yahya Ayash adalah pejuang Palestina yang aktif dalam berbagai operasi serangan anti Zionis. Israel sudah lama mengincar, namun berkat kelihaiannya, dia berhasil selamat dari kejaran regu teror Zionis.

Bagi Israel, Yahya Ayash tak ubahnya bagai siluman yang sulit dideteksi keberadaannya. Setiap hari dia selalu mengubah penampilan diri dan tak pernah tidur di satu tempat lebih dari sekali. Dia sering menyamar sebagai orang Yahudi dengan topi dan pakaian khas. Perdana Menteri Israel, Yitzak Rabin memberinya gelar insinyur. Rezim Zionis menyebut Yahya sebagai otak dari serangkaian serangan yang terjadi di dalam wilayah Palestina Pendudukan.

Yahya Ayash mengakhiri perjuangannya sebagai pahlawan yang gugur syahid. Saat prosesi pengiringan jenazah, massa Palestina membludak untuk memberikan penghormatan terakhir kepadanya. Mereka menyatakan tak akan menyia-nyiakan darah pejuang yang gugur membela cita-cita negeri Palestina. Diperkirakan jumlah mereka yang mengiringi jenazah Yahya Ayash mencapai 400-an ribu orang. Prosesi pengiringan jenazah itu disebut-sebut yang paling besar di dunia Arab.

Di tengah bangsa Palestina, banyak tokoh perjuangan seperti Mahmoud al-Mabhuh dan Yahya Ayash. Selama gelora perjuangan masih membara, Yahya Ayash dan Mahmoud al-Mabhuh tetap hidup. Teror dan pembunuhan terhadap tokoh Palestina tak akan pernah mampu memadamkan gelora perjuangan ini, sampai Palestina terbebaskan dari pendudukan orang-orang Zionis.(IRIB Indonesia)

Akar Terorisme Zionis (Bagian 21, Habis)

Selain melakukan teror terhadap para tokoh perjuangan Palestina dan Lebanon di luar negeri, rezim Zionis juga kerap melakukan teror di dalam wilayah Palestina. Di Jalur Gaza dan Tepi Barat Sungai Jordan tak ada yang dikhawatirkan oleh Israel dalam meneror siapa saja yang ikut berjuang demi kebebasan Palestina. Teror pun sering dilakukan secara sengaja dan terbuka dengan berbagai cara. Banyak komandan lapangan Gerakan Perlawanan Islami (Hamas) yang dibunuh dengan serangan roket menggunakan pesawat tempur F16 atau helikopter Apache setelah regu-regu teror Zionis mendeteksi keberadaan mereka. Sebagian gugur syahid dengan modus ledakan bom.

Dua pemimpin Hamas, Sheikh Ahmad Yasin dan Abdul Aziz Rantisi, gugur syahid dalam serangan roket yang ditembakkan oleh helikopter Apache buatan Amerika. Yahya Ayash yang selama bertahun-tahun diburu regu teror Israel gugur syahid dalam insiden ledakan telepon genggam yang dipasang bom oleh agen teror zionis. Di luar Palestina, agen-agen Israel dalam melaksanakan operasi teror terhadap para pejuang Palestina dan Lebanon menggunakan modus penyamaran. Salah satu korban operasi seperti ini adalah Mahmoud al-Mabhuh, komandan militer Hamas yang dibunuh di Dubai tahun 2010.

Salah satu korban teror zionis adalah Imad Mughniyah, pejuang Lebanon yang namanya dikenal luas di kalangan para pejuang Lebanon dan Palestina. Dialah yang memainkan peran komandan medan dalam perang 33 hari tahun 2006 yang mempermalukan Israel dan meruntuhkan mitos kedigdayaan Rezim Zionis. Dengan kemenangan pada perang 33 hari, Muqawama Islam Lebanon menjadi simbol resistensi dan kegigihan dalam melawan tentara Zionis. Tiga tahun kemudian, Gaza terlibat perang dengan Israel selama 22 hari.

Sebagian besar keberhasilan para pejuang Muslim Lebanon dalam perang 33 hari tercapai berkat kecerdikan Imad Mughniyah dalam mengendalikan medan perang. Taktik jitu Mughniyah berhasil menghambat gerak maju tentara Zionis di dalam wilayah Lebanon. Pengalaman perang ini diajarkan olehnya kepada para pejuang Palestina dan pejuang Hamas. Para petinggi Zionis menyadari dengan baik kecerdasan Mughniyah dalam taktik perang. Itulah yang menjadi alasan bagi Israel untuk meneror dan membunuh tokoh yang disebut ‘Manusia Bayangan' dalam gerakan Hizbullah Lebanon ini.

Di lingkungan Muqawama Islam Lebanon, Imad Mughniyah sangat dihormati. Dia sudah terlibat di garis terdepan dalam perang melawan tentara Zionis dan negara-negara Barat pro Israel sejak dekade 1980-an. Mughniyah yang juga dikenal dengan nama Hajj Ridhwan sudah diincar oleh agen-agen rahasia Zionis dan Amerika sejak tahun 1982, ketika tentara Israel masuk ke wilayah Lebanon dan bergerak sampai ke Beirut. Dinas intelijen AS, CIA, menjanjikan hadiah sebesar lima juta dolar untuk kepala Mughniyah, hidup atau mati.

Hajj Ridhwan adalah penyusun strategi perang melawan tentara Zionis dengan bentuknya yang sangat sulit. Untuk menghindari bidikan agen-agen Mossad, CIA dan dinas intelijen negara-negara Arab pro Barat, Imad Mughniyah terpaksa harus menjalani hidup yang benar-benar tersembunyi. Diceritakan bahwa Mughniyah tidak pernah keluar dari pintu yang ia masuki. Kepiawaiannya mengelabuhi agen-agen musuh, membuatnya menjadi target besar yang sulit bagi Mossad dan CIA. Namun akhirnya, komandan medan perang melawan Israel inipun gugur syahid akibat pengkhianatan sejumlah rezim dependen pro Barat.

Tanggal 12 Februari 2008, tiga agen khusus Mossad dari Rumania dan Athena datang ke Damaskus dengan paspor palsu. Di daerah Kfar Sousa, mereka berhasil mengenali target  dengan mencocokkan wajahnya dengan foto yang disimpan dalam ponsel. Mereka lalu memasang bom di sandaran jok sebuah kendaraan. Setelah itu, ketiga agen tersebut segera kembali ke bandara dan meninggalkan Damaskus. Tahap berikutnya, operasi teror dijalankan lewat satelit. Pukul 22, di hari yang sama, terjadi ledakan mencurigakan di Kfar Sousa yang menewaskan pengemudinya yang tak lain adalah sosok yang dikenal banyak orang namun misterius, Imad Mughniyah. Mengenai Syahid Imad Mughniyah Sunday Telegraph menulis, "Dia adalah sosok pejuang revolusioner sejati yang telah membaiat Imam Khomeini dan rela mengorbankan nyawa demi Revolusi Islam."

Proses pengiringan jenazah Imad Mughniyah dihadiri oleh ribuan orang. Namanya dikenang sebagai pahlawan oleh rakyat Lebanon dari kelompok dan agama manapun. Dia adalah sosok pejuang legendaris yang dikagumi dunia. Gugurnya Imad Mughniyah memang menjadi pukulan yang sangat berat bagi Hizbullah. Tapi kepergian kader Islam yang sangat berpengaruh ini tak bisa menggoyah gerakan perjuangan Islam ini. Hizbullah pernah mengalami hal serupa ketika mesin-mesin teror Zionis membunuh Sekjennya, Sayid Abbas Musawi. Rangkaian peristiwa teror yang dilakukan rezim Zionis terhadap para tokoh perjuangan Palestina dan Lebanon menunjukkan bahwa teror adalah agenda keji Israel yang tak membuahkan hasil apapun. Sebaliknya, dengan melakukan aksi-aksi teror, Israel semakin dibenci oleh opini umum dunia.

Rangkaian tulisan ini sengaja disusun untuk menunjukkan esensi rezim Zionis yang akrab dengan teror dan pembunuhan. Terorisme sudah menyatu dengan Israel sejak awal rezim ini terbentuk secara tidak sah di Palestina. Bahkan sebelum Israel dideklarasikan tahun 1948, orang-orang Zionis sudah melakukan pembunuhan, teror, pengusiran dan perampasan rumah dan tanah warga Palestina. Negara-negara Barat, khususnya Inggris dan Amerika Serikat, menutup mata dari semua kejahatan yang dilakukan Israel. Seakan, Barat sengaja mempersilakan orang-orang Zionis untuk melakukan teror di manapun dan dengan cara apapun. Ketika masyakarat dunia mereaksi dan membawa kasus kejahatan anti kemanusiaan Israel ke meja Dewan Keamanan, AS selalu tampil menghalangi pengesahan resolusi anti Israel lewat hak veto yang dimilikinya.

Pendudukan negeri Palestina oleh orang-orang Zionis sudah berjalan lebih dari enam dekade. Namun semua yang dilakukan negara-negara Barat dan bantuan yang dikucurkan untuk Israel tetap tak bisa memberinya legalitas di mata dunia. Kini Israel berhadapan dengan generasi Palestina yang sudah bertekad mengangkat senjata dan melawan untuk membebaskan negeri mereka dari pendudukan Zionis. Gelombang kebangkitan juga melanda banyak negeri Muslim. Mengesankan diri sebagai pihak yang teraniaya dan mengaku korban gerakan anti Semit sudah tidak bisa membantu Israel untuk meraih simpati. Di lain pihak, modus menyingkirkan tokoh-tokoh perjuangan anti zionis juga tidak mampu meredam gejolak bangsa yang menuntut pembebasan Palestina. Kini perimbangan peta politik di kawasan sudah mengalami pergeseran fundamental. Israel semakin terkucil sementara gerakan muqawama Islam semakin kuat.  (IRIB Indonesia)


0 comments to "Akar Terorisme Zionis"

Leave a comment