Home , , , , , , , , � Ikhwanul Kiram Mashuri (IKM) wartawan senior "MENGHAKIMI" SYRIA / SURIAH di koran Republika serta acara on the spot "KHAZANAH" Trans 7 .." BERMASALAH "...

Ikhwanul Kiram Mashuri (IKM) wartawan senior "MENGHAKIMI" SYRIA / SURIAH di koran Republika serta acara on the spot "KHAZANAH" Trans 7 .." BERMASALAH "...















Syria di Republika



Dina Y. Sulaeman*

Pada 11 Februari lalu, kolom Resonansi  harian Republika menurunkan sebuah artikel yang menurut saya sangat menyedihkan. Bagaimana mungkin seorang jurnalis senior, mantan Pemimpin Redaksi harian besar di Indonesia itu,sedemikian awamnya dalam memahami konflik Syria dan konstelasi politik global? Sang jurnalis yang bernama Ikhwanul Kiram Mashuri (IKM) itu menyandarkan analisisnya dari sebuah video yang  belum diverifikasi kebenarannya, lalu menyimpulkan bahwa "musuh umat Islam tidak hanya Zionis, melainkan juga rezim brutal seperti Assad."

Bagaimana mungkin seorang jurnalis senior sampai tidak tahu bahwa perang Syria sangat diwarnai perang propaganda dan bahkan disebut-sebutsebagai "A PhotoshopedRevolution" saking banyaknya rekayasa informasi foto yang diunggah melalui internetuntuk memprovokasi opini publik. Berkali-kali pihak oposisi mengunggah foto berdarah-darah di internet dan menyebutnya sebagai ‘korban Assad'. Lalu, biasanya para blogger-lah (sayang sekali, mengapa bukan jurnalis?) yang berjasa  menemukan bukti bahwa foto-foto itu mengabadikan kejadian berdarah di tempat lain (umumnya di Gaza).  Bahkan kantor berita sekelas BBC ketahuan menggunakan foto korban perang Irak dan menyebutnya itu korban pembantaian tentara Assad.

Kaum oposisi Syria pun membuat sangat banyak rekaman video amatir lalu diunggah di  internet. Video dari pihak oposisi ini dengan sangat cepat disebarluaskan ke seluruh dunia, bahkan direlay dan disiarkan ulang oleh media massa mainstream. Video-video itu terbagi ke dalam beberapa jenis: pembantaian sadis yang disebut sebagai korban kebrutalan Assad, pembantaian sadis yang diiringi takbir (dilakukan oleh pasukan oposisi), dan video berisi propaganda relijius, yang sepertinya dibuat utk membangkitkan semangat jihad Islam. Video seperti ini biasanya memperlihatkan para pemberontak sedang menembakkan senjata dengan diiringi takbir, tayangan para pemberontak sedang sholat berjamaah, atau (konon) demo sejumlah massa yang menginginkan khilafah di Syria.

Bila IKM menyodorkan video tentang Hamzah Al Khatib yang (konon) dibunuh oleh tentara Assad (IKM tidak memberi bukti apakah secara jurnalistik video itu sudah terverifikasi), bagaimana bila dia menonton salah satu video sangat brutal yang diunggah oleh kaum oposisi? Video itu sudah terverifikasi (The Guardian memverifikasinya kepada Mustafa al-Sheikh, Ketua Dewan Tinggi Militer FSA) dan bisa diliat di you tube dengan kata kunci ‘syrian+rebel+execute+Aleppo [1]. Dalam video itu, sejumlah pria tak berbaju diseret keluar oleh sejumlah orang besenjata lalu dijejerkan ke dinding, dan kemudian ditembaki (bukan ditembak satu persatu, melainkan dibombardir peluru secara terus-menerus selama 43 detik). Setelah itu hening sekejap lalu diikuti teriakan takbir. Dipastikan, pelakunya bukan tentara Assad. Mustafa al-Sheikh, Ketua Dewan Tinggi Militer FSA, menyebut korban pembantaian adalah klan Al Berri, dan menyebutnya sebagai shabiha. Dalam logika Sheikh, mereka sah-sah saja membantai Berri dengan alasan: Berri adalah shabiha.

Shabiha(yang bermakna ‘hantu') memang strategis untuk dimunculkan sebagai sosok antagonis. Ketika terjadi pembantaian massal terhadap warga Syria, yang tidak bisa dituduhkan kepada tentara Syria (karena tidak ada bukti), juga FSA menolak mengaku bertanggung jawab, maka muncullahshabiha, yaitu milisi sipil pendukung Assad yang konon melakukan pembunuhan brutal di mana-nama.Shabiha adalah kambing hitam nomer wahid di Syria.  Dalam Tragedi di Houla, misalnya (Mei 2012), yang sedemikian brutalnya sampai-sampai Kofi Annan menyebut situasi di Syria saat itu sebagai ‘tipping point'. Tanpa menunggu investigasi PBB, hanya berdasarkan laporan telepon dari aktivis oposisi, media mainstream menyebut pembantaian itu dilakukan oleh Assad dengan cara dibombardir senjata berat. Ketika tim investigasi PBB datang keesokan paginya dan menemukan bukti yang sangat jelas bahwa pembantaian itu dilakukan dengan cara-cara nonmiliter: ditusuk, digorok, dan ditembak jarak dekat, serta tidak ada bukti kehadiran militer di sana, dimunculkanlah shabihasebagai pelaku.

Sebagai seorang jurnalis, IKM seharusnya jeli membaca laporan-laporan media massa itu. Mereka umumnya mendasarkan informasinya dari  saksi dari pihak oposisi yang tidak bisa diverifikasi seara independen.  Contohnya, laporan Associated Press  terkait Tragedi Houla. AP melakukan wawancara dengan Ali Al Seyyed, bocah 11 tahun, korban tragedi Houla. Wawancara itu dilakukan jarak jauh melalui internet (Skype) dan Ali dihadirkan oleh aktivis oposisi. Associated Press berterus-terang mengakui ‘sulit untuk memverifikasi cerita Ali secara independen', tetapi, dalam laporannya itu AP tetap menyebut rezim Assad sebagai pelaku. Berbagai laporan dari media massa mainstream banyak yang mencantumkan frasa itu: kesaksian ini tidak bisa kami verifikasi secara independen. Seorang jurnalis yang jujur dan independen pastilah akan kritis dalam membaca laporan seperti ini.

Yang menggelikan, IKM membawa-bawa Taliban dalam tulisannya. Dia menyayangkan, mengapa ketika Taliban membunuh Malala Yousafzai reaksi dunia sangat keras, sementara untuk korban Syria, dunia internasional bereaksi biasa-biasa saja. Ada dua hal yang ingin saya komentari dari pernyataannya ini.

Pertama, terkait Taliban/Al Qaida.Bagaimana mungkin, seorang  jurnalis sekelas IKM tidak tahu bahwa sebenarnya pelaku teror di Syria adalah Al Qaida(meski dengan berbagai nama lain).Bagaimana mungkin dia tidak membaca laporan-laporan dari berbagai media mainstream yang menyebutkan bahwa pasukan jihad dari Libya dan berbagai negara Arab datang ke Syria?  Bahkan Mustafa al-Sheikh(Ketua Dewan Tinggi Militer FSA) saat diwawancarai Mona Mahmoud (The Guardian) mengakui hal ini, "Al-Qaida saat ini ada di berbagai penjuru Syria."

Dan seorang jurnalis yang cerdas seharusnya akan dibuat heran oleh situasi ini: bagaimana mungkin AS yang di Afghanistan memburu Al Qaida dan Taliban, tetapi di Syria malah mendukung dan memfasilitasi kehadiran mereka (laporan-laporan bahwa CIA terlibat dalam pengiriman senjata dan pasukan jihad dari Libya dan negara-negara Arab sudah banyak diungkapkan oleh media-media mainstream).Apalagi, bukankah Republika juga merilis berita bahwa Israel pun kini sudah mulai terjun ke medan perang di Syria? Tidakkah fakta ini membuat IKM curiga: ada kelompok jihad Islam, tapi kok malah didukung Barat dan Israel? Mungkin IKM perlu sedikit browsing, mencari tahu siapa itu Bernard Levy dan apa peran tokoh Zionis ini dalam mendesain perang di Libya dan Syria?

Baru akhir-akhir ini saja, ketika kelompok garis keras di Syria terlihat sulit dikendalikan(apalagi malah nekad mendeklarasikan berdirinya khilafah di Syria), barulah AS ingin cuci tangan dan menyatakan ‘kiriman senjata untuk pihak oposisi ternyata jatuh ke pihak yang salah', dan menaruh Front Al Nousra (salah satu kelompok oposisi yang sangat banyak melakukan peledakan bom di fasilitas publik) ke dalam list organisasi teroris.

Selain itu, seharusnya IKM menggali lebih dalam, tidak hanya membaca Syarq Al Awsat, tetapi mau membaca laporan-laporan PBB (dalam informasi yang simpang-siur dari dua pihak yang bertikai, laporan PBB bisa dianggap lebih valid, terutama dari sisi riset akademis). Menarik untuk dicermati bahwa Sekjen PBB dalam suratnya kepada Dewan Keamanan(Mei 2012) tidak secara tegas menyebutkan bahwa militer Syria membunuhi para demonstran. 

"Ada laporan terus-menerus mengenai bertambahnya tindakan pengamanan yang keras yang dilakukan pemerintah, yang membawa ke arah pelanggaran HAM secara massif oleh tentara pemerintah dan milisi pro-pemerintah, termasuk penahanan secara semena-mena, penyiksaan, penghilangan paksa, dan pembunuhan terhadap aktivis, [yaitu] oposan dan pembelot [militer]."

Perhatikan bahwa Sekjen PBB menggunakan kalimat ‘ada laporan' dan sama sekali tidak memberikan konfirmasi mengenai hal itu. Padahal, ada tim khusus PBB di Syria, yaitu UNSMIS, meski sekarang sudah dibubarkan. Sebaliknya dalam laporan itu disebutkan dengan tegas bahwa sangat banyak aksi teror yang menimpa warga sipil, tentara, dan termasuk anggota misi PBB sendiri (UNSMIS).  Bahkan laporan Sekjen PBB itu terang-terangan menyebut ada kelompok teroris mapan yang terlibat di Syria.

"Ada peningkatan jumlah pengeboman, yang paling banyak di Damaskus, Hama, Aleppo, Idlib, dan Deir ez-Zor. Ini termasuk pengeboman ganda di Damaskus pada 10 Mei 2012, ketika dua kendaraan yang membawa bom rakitan yang diperkirakan beratnya masing-masing 1000 kilogram, diledakkan di dekat gedung pemerintah. Ukuran bom ini menunjukkan bahwa bom ini dirakit oleh ahli tingkat tinggi, yang bisa mengindikasikan keterlibatan kelompok teroris yang mapan (established terrorist groups). Pemerintah telah menegaskan adanya kelompok-kelompok seperti ini di dalam negeri, demikian pula dinyatakan oleh beberapa kelompok oposisi. Front Al-Nusra telah mengklaim bertanggung jawabatas minimalnya enam pengeboman terakhir."[2]

Kedua, terkait reaksi internasional.IKM pastilah sudah tahu dunia internasional sangat keras reaksinya terhadap Syria. Karakter Assad sudah habis-habisan dihancurkan oleh media-media mainstream dan media lokal yang merujuknya (antara lain, Republika sendiri). Jadi, apalagikah yang diharapkan IKM? Agaknya IKM mengharapkan intervensi militer, sebagaimana NATO menggulingkan Qaddafi. Tidakkah IKM curiga sedikit saja: mengapa Mubarak atau dulu, Shah Iran, bisa tumbang tanpa intervensi militer dari asing, sedang Qaddafi harus digulingkan melalui intervensi militer asing? Jawabannya: karena dukungan rakyat Libya terhadap perjuangan oposisi tidak cukup kuat. Itulah sebabnya mereka (oposisi di Libya) meminta bantuan asing.

Lalu, apa yang terjadi setelah pasukan asing masuk ke Libya? Apakah Libya kini aman dan makmur? Tidak. Libya, yang dulu negara makmur tanpa hutang, pendidikan dan kesehatan gratis, kini menjadi negara yang hancur lebur akibat bombardir NATO. Pemerintah baru Libya menyerah pada jeratan hutang kepada lembaga-lembaga keuangan internasional, terutama IMF, dan rekonstruksinya diserahkan kepada perusahaan-perusahaan Barat. Seandainya IKM pernah membaca buku John Perkins, dia akan melihat polanya dengan sangat jelas. Perangi sebuah negara yang independen (setidak-tidaknya, ‘sulit diatur Barat') dengan kedok ‘humanitarian intervention', lalu setelah negara itu hancur, sodori hutang, dan rampaslah minyak dan emasnya.

Dan bila dilacak ke belakang: siapa pemilik kontraktor-kontraktor AS, pemilik perusahaan-perusahaan senjata, pemilik saham dari lembaga keuangan yang bagi-bagi hutang itu;  yang semuanya mengeruk keuntungan dari perang? Tak lain adalah orang-orang Zionis. Ini bukan teori konspirasi. Segalanya sangat jelas dan terang-benderang, hanya dibutuhkan kejelian membaca data yang berserakan di internet.

Dan skenario di Libya inilah yang sedang terulang di Syria. Sayangnya, hanya karena Assad seorang Alawy yang menjadi musuh bersama segolongan umat Islam garis keras, reaksi kaum muslimin terhadap Syria menjadi jauh berbeda. Media-media Islam yang dulunya berseberangan dengan media mainstream, kini justru bahu-membahu dalam perang propaganda melawan rezim Assad.

Apa boleh buat, hanya satu simpulan saya atas artikel IKM di Republika yang menanyakan "Apakah Musuh itu Hanya Zionis Israel"? : naif(IRIB Indonesia)
________

*Magister Hubungan Internasional Unpad, Research Associate of Global Future Institute
[1]salah satu link nya: http://youtu.be/KggxTWkZJmU
[2]Surat Sekjen PBB bisa diunduh di www.securitycouncilreport.org/atf/.../Syria%20S2012%20363.pdf
[3]Artikel IKM bisa dibaca di: http://www.republika.co.id/berita/kolom/resonansi/13/02/10/mi083m-apakah-musuh-itu-hanya-zionis-israel

Mengapa Paus Benediktus XVI Mundur ?



Tiba-tiba publik dunia dikejutkan berita mundurnya orang nomor satu Gereja Katolik, Paus Benediktus XVI. Dilaporkan pemimpin Gereja Katolik akan mengundurkan diri dari jabatan keagamaannya itu dengan alasan sudah sepuh. Tapi sejumlah media mengabarkan alasan lain dibalik mundurnya pria berusia 85 tahun itu dari posisinya sebagai otoritas keagamaan tertinggi di gereja Vatikan. Dalam beberapa tahun terakhir Paus digoyang sejumlah isu sensitif dari pelecehan seksual hingga pedofil.

The Guardian mengungkapkan masalah kekerasan seksual di dalam gereja juga menjadi isu besar yang membelitnya. Skandal kekerasan seksual terus terjadi di gereja AS dan Eropa. Terang saja hal itu menghantui kepemimpinan Paus. Banyak kritikus yang menilai Vatikan lambat dan enggan untuk mengakui serta menyelidiki kasus pelecehan seksual.

Selain isu kontrasepsi dan kekerasan seksual, paus  juga menghadapi isu homoseksualitas serta pernikahan sesama jenis. The Guardian menulis Vatikan telah lama mengutuk kekerasan fisik dan verbal yang ditujukan pada gay. Namun, Paus menegaskan dia tidak punya niat untuk memberi ajaran tentang homoseksualitas dan pernikahan gay.

Paus mengatakan sikap modern dalam seksualitas dan gerakan pernikahan sesama jenis merupakan serangan terhadap institusi keluarga, yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak. Selain itu, isu aborsi menyeruak di Vatikan setelah Paus memberi keputusan untuk memberikan posisi tinggi bagi kardinal yang melarang aborsi. Tindakan aborsi dilarang meskipun merupakan korban perkosaan.

Gelombang kritik terhadap Paus mengalir deras dari berbagai kalangan. Salah satu kritik yang paling keras menilai Paus menghalangi kemajuan dialog antaragama baik dengan Islam, Yahudi maupun agama lainnya.

Pasalnya, pada tahun 2006, dalam sebuah pidato yang disampaikan di Universitas Regensburg, Jerman, tempat dirinya meraih gelar doktor di bidang teologi. Ketika itu Paus menyebut agama Islam sebagai faktor pemicu keburukan di dunia yang menyebarkan ajarannya dengan pedang.

Setahun kemudian, Paus juga memicu kritik dari berbagai gereja selain Katolik. Sebab ia berupaya menampilkan dirinya sebagai orang yang meyakini persatuan Kristen. Pada tahun 2007, paus menandatangani sebuah nota kesepakatan yang tidak mengakui gereja lain sebagai gereja yang benar.

Pada tahun 2009, Paus Benediktus XVI berseteru dengan kalangan Yahudi karena menyebut Paus Pius XII sebagai orang suci, padahal dia dianggap sebagai pemimpin Katolik yang bungkam menyikapi pembantaian kaum Yahudi. Namun dua tahun kemudian, Paus berhasil menarik hati kaum Yahudi dengan mengatakan bahwa dirinya berlepas diri dari pihak yang mengklaim bahwa Yahudi terlibat dalam pembunuhan Nabi Isa.

Akhirnya Paus Benediktus XVI berhasil melalui masa-masa sulit itu dan kini menyerahkan tonggak kepemimpinan gereja Katolik dunia kepada penggantinya. Semoga muncul sosok lain yang lebih baik.(IRIB Indonesia/PH)

Peran OKI Atasi Krisis Dunia Islam


Konferensi tingkat tinggi Organisasi Kerjasama Islam (OKI) dengan partisipasi kepala negara dari 57 negara Islam berlangsung di Kairo belum lama ini. KTT OKI berlangsung Rabu hingga Kamis (6-7/2) di Hotel Fairmont Towers, Heliopolis, dekat Bandar Udara Internasional Kairo. KTT ini sedianya digelar di Hotel Dusit Thani LakeView di Distrik Tagammu Khamis, New Cairo, namun kemudian dipindah ke hotel dekat Bandara Kairo karena alasan keamanan.

Pertemuan penting dunia Islam itu menjadi istimewa karena berlangsung di saat Mesir memperingati tahun kedua kemenangan revolusi rakyat yang berhasil menggulingkan rezim boneka Barat. Negara kedua di kawasan Afrika Utara setelah Tunisia itu dilanda kebangkitan Islam yang berhasil menggulingkan rezim despotik Mubarak yang menjadi boneka AS dan rezim Zionis.

Gelombang kebangkitan Islam di Afrika Utara dan Timur Tengah telah mengubah konstelasi politik di kawasan. Berkat OKI, untuk pertama kalinya presiden Republik Islam Iran mengunjungi Mesir setelah lebih dari tiga dekade kedua negara itu memutuskan hubungan diplomatik.Tumbangnya rezim Mubarak menghembuskan harapan baru bagi pemulihan hubungan bilateral dua negara Islam itu. Meski hubungan Tehran-Kairo lebih cair dari sebelumnya, namun hingga kini terdapat sejumlah hambatan yang merintangi pemulihan hubungan bilateral Mesir-Iran.

Pasca kemenangan Revolusi Islam Iran muncul berbagai gerakan keagamaan di Mesir yang aktif menyulut konflik antara Syiah dan Sunni. Tampaknya, agenda ini ditebarkan untuk menutupi ancaman utama rezim Zionis dan intervensi AS terhadap negara-negara Islam. Amat disayangkan sejumlah ulama al-Azhar terjebak dalam konspirasi tersebut. Bahkan dalam konferensi pers dengan presiden Iran mereka berupaya menjegal terwujudnya persatuan antarmazhab Islam.

Pada KTT OKI ke-12, Senegal menyerahkan kepemimpinan organisasi negara-negara Islam selama tiga tahun ke Mesir. Presiden Mesir Mohammad Mursi dan sejawatnya dari Senegal Macky Sall selaku Ketua KTT ke-11 secara resmi membuka konferensi yang berlangsung di Kairo, Rabu (6/2) itu. Presiden Sall dalam pidato sambutan pembukaan KTT tersebut mengatakan dunia Islam saat ini menghadapi banyak tantangan global, sehingga OKI perlu memperkuat barisan dalam penyelesaiannya.

Di akhir penutupan KTT OKI, Presiden Mesir Muhammad Mursi dalam pidatonya menegaskan urgensi persatuan Islam. Mursi dalam pidato penutupan mengatakan, "kekuatan kita, negara-negara Islam terletak dalam persatuan. Kita saling bertukar pandangan masing-masing, tanpa mencampuri urusan internal negara lain." Urgensi persatuan negara-negara Islam, sebagaimana yang dikemukakan Mursi seirama dengan slogan KTT OKI ke-12 kali ini, "Dunia Islam, Tantangan Baru dan Perluasan Kesempatan."

OKI mewakili sekitar satu setengah miliar muslim di seluruh dunia. Dan menjadi organisasi terbesar kedua di dunia setelah PBB. KTT OKI ke-12 kali ini bukan hanya pertemuan bersama para pimpinan dan delegasi 57 negara dunia. Lebih dari itu, pertemuan kali ini membahas isu khusus dunia Islam. Pertemuan khusus antara Mesir, Iran dan Turki memberikan harapan baru bagi kerjasama keempat negara besar dan berpengaruh di kawasan itu.

Pertemuan Kairo berakhir Kamis (7/2) yang ditutup pembacaan komunike bersama. Statemen bersama yang berisi 170 poin itu memfokuskan pembahasan mengenai isu Palestina dan krisis Suriah, melebihi masalah lainnya. Para analis politik menilai KTT OKI merupakan peluang emas bagi dunia Islam untuk mengokohkan kerjasama lebih erat, sekaligus menyelesaikan konflik regional dan global. Bagi negara-negara kawasan Timur Tengah, pertemuan Kairo menjadi jalan untuk membuka hubungan baru kerjasama regional.

KTT OKI ke-12 berlangsung di saat dunia Islam menghadapi berbagai masalah besar akibat intervensi asing. Gerakan kebangkitan Islam menjadi harapan baru melepaskan cengkeraman adidaya dunia terhadap negara-negara Islam. Dan  kini kekuatan arogan tidak akan pernah diam menghadapi situasi dan kondisi tersebut. Untuk itu mereka berupaya menyelewengkan gerakan rakyat sesuai dengan kepentingannya. Rekam jejak intervensi adidaya arogan terlihat dari intervensi mereka terhadap urusan internal negara-negara Islam. Lebih dari itu, jejak mereka sangat kentara di negara yang dilanda krisis semacam Suriah.

AS dan sekutunya terang-terangan memainkan peran penting dalam menyulut kerusuhan berdarah di negara Arab itu. Amat disayangkan sejumlah negara Islam justru membantu AS dan sekutunya untuk memerangi sesama saudaranya sendiri. Kini setelah dua tahun berlalu, AS dan sekutunya dengan berbagai cara terus berupaya menumbangkan pemerintah Assad. Meskipun mendapat dukungan dari berbagai pihak, mereka tetap tidak mampu mewujudkan tujuannya menggulingkan Assad.

Pada konferensi Kairo ini, Iran mengusulkan prakarsa solusi untuk mengatasi krisis Suriah. Usulan Iran mengenai penolakan intervensi asing dalam penyelesaian krisis Suriah menjadi perhatian banyak pihak dan dimasukan ke dalam komunike bersama KTT OKI ke-12 kali ini.

Menjaga persatuan dan teritorial Suriah, kecaman terhadap aksi kekerasan dan pihak pemicu konflik di negara Arab itu, termasuk poin penting yang masuk dalam deklarasi Kairo yang disepakati semua delegasi anggota OKI. Organisasi negara-negara Islam itu menyambut proposal komisi segi empat yang terdiri dari Mesir, Iran, Arab Saudi dan Turki mengenai penyelesaian krisis Suriah. Statemen bersama KTT OKI di Kairo juga menegaskan rekonsiliasi nasional antarfaksi di Suriah. OKI juga menyerukan upaya menghadapi kelompok ekstrim dan penyulut konflik.

Di luar isu Suriah, OKI menyatakan dukungannya terhadap hak bangsa Palestina dan menyerukan kepada umat Islam dunia untuk tidak bersikap pasif menyikapi kondisi Muslim Rohingya yang tertindas di negaranya sendiri, Myanmar. Mursi dalam pidato penutupan KTT mengatakan, "Peran publik dunia dalam membantu Muslim Myanmar harus lebih serius dari sebelumnya. Pemerintah Myanmar harus menjalankan tanggung jawabnya terkait minoritas Muslim Rohingya. PBB juga mengambil sikap untuk mengakhiri diskriminasi terhadap Muslim Myanmar,".

Pada Komunike bersama berisi 170 poin, pembahasan pembangunan distrik Zionis di Tepi Barat menjadi isu penting pertemuan OKI di Kairo. Selain itu, krisis di Mali menjadi perhatian konferensi. Para peserta KTT OKI meminta pejabat negara Afrika itu menggulirkan prakarsa pemilu presiden dan parlemen sebagai solusi mengakhiri krisis di negara itu.

Sejatinya, OKI memiliki potensi yang sangat besar bagi penyelesaian krisis yang menimpa negara-negara Islam terutama menghadapi rezim Zionis. Namun amat disayangkan hingga kini potensi tersebut tidak pernah dimanfaatkan dengan baik akibat kuatnya cengkeraman adidaya arogan terhadap sejumlah negara Islam. kekuatan besar OKI itu hanya bisa didayagunakan jika negara-negara Islam bersatu dan melenyapkan permusuhan karena perbedaan mazhab, maupun suku bangsa. (IRIB Indonesias/PH) 

HPI-Iran Selenggarakan Diskusi Panel "Konsep Tabligh dalam Dimensi Keindonesiaan"

"Seorang muballigh akan mendapatkan posisinya jika mau lebih dahulu mendengarkan, dengan mendengar yang sebaik-baiknya, sebagaimana yang diisyaratkan Al-Qur'an yaitu yang mendengarkan semua pembicaraan dan memilih yang terbaik diantaranya." ungkap Ust. Ammar Fauzi, MA dalam Diskusi Panel yang diselenggatarakan oleh Himpunan Pelajar Indonesia (HPI) Iran Kamis (14/2) di Qom. 
 HPI-Iran Selenggarakan Diskusi Panel "Konsep Tabligh dalam Dimensi Keindonesiaan"
Menurut Kantor Berita ABNA, bekerjasama dengan Universitas Imam Khomeini dan Madrasah Bintul Huda Qom, Himpunan Pelajar Indonesia (HPI) Iran periode 2012-1013 menyelenggarakan Diskusi Panel bertema "Konsep Tabligh dalam Dimensi Keindonesiaan" di Auditorium Shadr, Universitas Imam Khomeini Qom Republik Islam Iran Kamis (14/2). Seminar yang menghadirkan Ust. Ammar Fauzi Heryadi, MA, Ust. Hendar Yusuf, MA dan ust. Ridwan Lagading, MA sebagai pembicara tersebut dihadiri puluhan pelajar Indonesia yang bermukim di kota suci Qom Iran. 
Acara dibuka oleh lantunan ayat suci Al-Qur'an oleh ust. Kamaruddin, Lc. Yang kemudian dilanjutkan laporan ketua panita penyelenggara. Muhammad Iqbal selaku Ketua Panitia dalam penyampaiannya menyatakan tujuan dari penyelenggaraan Seminar Ilmiah tersebut adalah untuk membahas dan membicarakan bersama mengenai tabligh dan menemukan konsep terbaik. "Tema tabligh sangat penting untuk dibicarakan dan dibahas bersama sebab jika muballigh meskipun menyampaikan hal yang benar namun salah dalam metode penyampaiannya karena kurang memahami konsep tabligh dengan baik justru bisa jauh dari hasil yang diharapkan." Papar mahasiswa Ulumul Qur'an Universitas Imam Khomeini tersebut.
Sementara Diding Sudirman dalam sambutannya selaku ketua umum HPI-Iran 2012-2013 menyatakan, target utama dari penyelenggaraan seminar tersebut adalah untuk semakin mempererat ukhuwah dan menjalin persaudaraan yang dilandasi rasa ikhlas untuk menyampaikan dakwah baik selama masih di Qom maupun ketika kembali di tanah air. "Semoga dalam pertemuan ini, kita menemukan ide-ide dan saran-saran baru untuk lebih mengembangkan dakwah Islam di tanah air. Dan saya harap melalui acara ini pula kita semakin mepererat ukhuwah Islamiyah, sebab tanpa ukhuwah, umat Islam hanya akan ibarat buih-buih yang terhempas dilautan." Ungkapnya.
Ust. Ammar Fauzi, MA dalam pemaparan materinya mengenai falsafah tabligh menjelaskan beda antara filsafat tabligh dengan falsafah tabligh, "Filsafat tabligh berbicara tentang hakikat tabligh, kapan, siapa dan media apa yang digunakan untuk tabligh sementara falsasah tabligh berbicara mengenai tujuan dari tabligh, untuk apa tabligh dilakukan."
Mahasiswa program doktoral bidang filsafat Islam tersebut melanjutkan, "Tujuan tabligh, adalah tegaknya amar ma'ruf dan nahi mungkar. Dan tujuan ini tidak bisa tegak tanpa didasari dengan ilmu. Ibnu Arabi ketika menafsirkan ayat ' Mereka tuli, bisu dan buta' menyebutkan alasan Allah SWT menyebut kata 'tuli' pertama kali karena tugas manusia pertama kali adalah mendengar. Tugas mendengar lebih dahulu dibanding berbicara. Sebagaimana ketika Allah bertanya kepada ruh-ruh manusia, "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi."
"Seorang muballigh akan mendapatkan posisinya jika mau lebih dahulu mendengarkan, dengan mendengar yang sebaik-baiknya, sebagaimana yang diisyaratkan Al-Qur'an yaitu yang mendengarkan semua pembicaraan dan memilih yang terbaik diantaranya." Tambahnya.
Mahasiswa asal Purwakarta tersebut kembali melanjutkan pemaparannya, "Tabligh yang berhasil adalah yang mampu menciptakan hubungan sosial dengan audience. Karenanya tabligh menurut saya bukan pembicaraan umum, bukan tugas semua orang, tetapi tugas khusus karena bukan sekedar akan menyampaikan namun juga siap menjadi rujukan umat. Mengajar beda dengan tabligh, tabligh selain bicara juga punya tanggungjawab sosial. Tanggungjawabnya sangat besar, menjaga status sosial agar tetap terpelihara dan tetap menjaga agar secara pribadi muballigh tidak menganggapnya sebagai kedudukan terhormat meskipun masyarakat menganggap muballigh memiliki kedudukan terhormat."
Ust. Ridwan Lagading, MA sebagai pembicara kedua membahas tema konsep tabligh. Dalam penjabarannya beliau mengatakan, "Penggunaan kata tabligh (dengan akar kata ba-la-ga) dalam Al-Qur'an hanya satu kali digunakan yaitu pada surah Al Maidah ayat 67. Dan kita lebih mengenal idiom tabligh dari Jama'ah Tabligh. Dalam hal ini mungkin yang lebih popular dan lebih sering digunakan adalah istilah dakwah. Pada hakikatnya tabligh dan dakwah adalah satu, yaitu istilah yang digunakan untuk proses penyampaian pesan kepada obyek dakwah."
Dalam pandangan ustad asal Sulawesi yang pernah menjabat sebagai ketua umum KKS periode 2008-2010 tersebut, obyek dakwah terdiri atas 3 bagian, yaitu obyek materi, obyek format dan obyek dakwah itu sendiri yaitu audience. Beliau berkata, "Bagian yang pertama adalah obyek materi. Materi yang disampaikan dalam dakwah adalah yang bersumber dari al-Qur'an dan al Hadits. Pertanyaannya, apakah semua yang terdapat dalam kedua sumber tersebut harus disampaikan?. Tentu tidak. Karenanya ulama memberikan perincian untuk mempermudah penyampaian, yaitu yang terangkum dalam ushuluddin, ada yang membaginya menjadi 3, ada pula yang membaginya menjadi 5, yaitu tauhid, keadilan, nubuwah, imamah dan ma'ad (hari akhir). Namun menurut saya ushuluddin itu hanya satu yaitu tauhid."
"Misalnya ketika kita menjelaskan tentang ilmu ekonomi apakah kita bisa menyisipkan muatan kelima term ushuluddin itu? Kalau bisa, maka penjelasan mengenai ilmu ekonomi juga bisa dikatakan sebagai metodologi dakwah. Begitu juga dalam bidang-bidang lainnya, sosiologi, psikologi, antropologi bahkan ilmu arsitektur. Di Esfahan Iran kita melihat bagaimana arsitek disana merancang masjid atau bangunan dengan muatan-muatan dakwah. Jadi dakwah tidak melulu harus penuh dengan ayat dan hadits dalam penyampaiannya. Intinya muatan ushuluddin tersampaikan dalam penyampaian kita ketika sedang menjelaskan bidang apapun. Sebab Islam adalah sebuah keutuhan." Lanjutnya.
"Obyek yang kedua adalah obyek format. Yaitu format apa yang digunakan dalam menyampaikan dakwah. Format ini terbagi dua, dakwah bil lisan dan dakwah bil hal. Dakwah bil lisan adalah dakwah yang telah sangat kita kenal, baik disampaikan secara lisan (monolog atau dialogis) maupun melalui tulisan. Dakwah bil hal, adalah dakwah yang disampaikan melalui lembaga, organisasi, yayasan dan sebagainya ataupun dakwah lewat kekuasaan dan aktif pada kegiatan-kegiatan sosial. Dalam dunia dakwah, kita juga mengenal istilah dakwah konseling." Tambahnya lagi.
"Intinya berbicara mengenai konsep tabligh yang dipikirkan adalah mencari cara semudah dan secepat mungkin agar pesan dakwah tersampaikan dengan sebaik mungkin. Bagi yang senang dengan filsafat, dakwahi melalui filsafat dan bawa ke Tuhan. Yang minatnya fiqh, dakwahi lewat fiqh dan bawa ke Tuhan, bukan membawa ke diri sendiri dalam artian tujuan dakwahnya agar obyek dakwah patuh dan taat pada perintahnya, bukan perintah Allah. Karena semua itu pada akhirnya bermuara ke tauhid, maka saya menyebut ushuluddin itu hanya satu, yaitu tauhid." Tutup mahasiswa S3 jurusan Fiqhul Islam Madrasah Hujjatiyah tersebut.
Sebagai pemateri ketiga, Ust. Hendar Yusuf, MA dalam pemaparan makalahnya yang berjudul 'Konsep Taqiyah dalam Islam' mengawali pembicaraannya dengan membaca Al-Qur'an surah An Nahl ayat 106, " Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar."
"Firman Allah SWT tersebut adalah diantara dalil naqli yang menunjukkan bolehnya melakukan taqiyah terutama dengan tujuan menjaga diri dan jiwa dari bahaya dan memelihara harta dan martabat dari hal-hal yang tidak diinginkan." Tuturnya.
Ustad asal Lampung yang sementara menimba ilmu di jurusan Tafsir S3 Universitas Imam Khomeini Qom tersebut kemudian menjelaskan, "Secara bahasa kata taqiyah diambil dari itaqa-yattaqi yang berarti menjaga atau menjauh dari marabahaya, atau menjauh dari kemaksiatan dan atau menjaga jiwa raga dan harta dengan jalan menyembunyikan keimanan dan aqidah yang benar dan menampakkan kebalikannya melalui perkataan atau pebuatan demi menepis mara bahaya. Sumber kebolehannya bukan hanya dari Al-Qur'an namun juga dari atsar sahabat, sebagaimana cobaan yang dialami sahabat Ammar bin Yasir yang terpaksa secara lisan menyatakan kalimat kekufuran karena tidak tahan dengan siksaan dari orang-orang musyrikin Arab. Ketika Ammar menghadap kepada Nabi Saw mengenai keadaannya, Nabi menjawab tidak ada dosa baginya selama keimanan tetap melekat pada hatinya."
"Sangat disayangkan meskipun dalilnya sangat jelas terdapat dalam Al-Qur'an dan Al Hadits, sekelompok orang menyesatkan Syiah karena keyakinan mengenai taqiyah ini. Mereka menyatakan taqiyah haram karena menganggapnya sebagai bentuk kemunafikan. Padahal keduanya sangat jauh berbeda. Munafik adalah menyembunyikan kekufuran dan penolakan kepada Tuhan dalam hati dan menampakkan keimanan pada lisan, sementara taqiyah adalah menyembunyikan keimanan dalam hati dan menampakkan kekufuran dengan lisan." Lanjutnya.
Ust. Hendar Yusuf selanjutnya menambahkan, "Taqiyah dilakukan harus berdasarkan kemaslahatan. Sebagai seorang muballigh menerapkan taqiyah jika itu mendukung penyebaran dakwah. Namun dalam kondisi agama yang hak tidak berjalan sebagaimana mestinya kecuali dengan menampakkan kebenaran secara transparan, maka taqiyah saat itu haram hukumnya, sebagaimana yang dilakukan Imam Husain as, meskipun itu sampai berakibat darahnya harus tertumpah dan jiwanya harus dikorbankan."  
Setelah ketiga pemateri menyampaikan bahasannya, dilanjutkan dengan sesi tanya jawab. Hadir juga dalam acara yang berlangsung dari pukul 14.30 waktu setempat tersebut Ust. Hasan Abu Ammar dan ust. Marzuki Amin serta pengurus bidang Kebudayaan Universitas Imam Khomeini Hujjatul Islam Agha Dasturi yang dalam sambutannya menyambut baik kegiatan tersebut dan memesankan agar mengutamakan ukhuwah dan wahdah Islamiyah dalam berdakwah. Beliau juga memesankan agar menjadikan Nabi Saw dan para Aimmah as sebagai figur teladan dalam segala hal termasuk dalam hal menyampaikan kebenaran. "Yang harus selalu kita ingat, perubahan itu harus dimulai dari diri sendiri sebelum mengajak orang lain untuk berubah." Pesannya.
Setelah melalui sesi tanya-jawab dan diskusi yang sangat menarik sebab para hadirin antusias mengajukan pertanyaan dan sanggahan, acara tersebut ditutup tepat pukul 17.30 oleh Rahman Dahlan selaku moderator.
Suriah dan Kebohongan Media Mainstream

Kebohongan Aljazeera terungkap dari dalam dengan keluarnya sejumlah staf dan jurnalis yang tidak tahan dengan kebohongan media Qatar itu. Bulan Mei lalu, Aljazeera diguncang eksodus staf dan jurnalisnya akibat begitu banyak kebohongan media massa itu dalam melansir berita terutama di Libya, Suriah, Bahrain, Saudi. Mereka tidak tahan lagi dengan kebijakan Aljazeera yang menjadi corong propaganda perang, bukannya mewartakan kejadian sesungguhnya. 
 Suriah dan Kebohongan Media Mainstream
Menurut Kantor Berita ABNA, Salah satu masalah paling mendasar dalam media adalah validitas informasi. Belakangan ini sejumlah media mainstream melancarkan kampanye hitam melalui pemberitaan bohong yang disiarkan ke seluruh dunia. Media Amerika Serikat, Foreign Policy mengungkapkan bahwa dua jaringan televisi Arab, Aljazeera dan Al Arabiya menuding televisi nasional Suriah menutupi kenyataan sebenarnya yang terjadi sejak meletusnya konflik di negara itu. Namun kini faktanya, tudingan tersebut justru dilakukan oleh Aljazeera dan Al Arabiya yang memberitakan kebohongan di Suriah.

Kebohongan Aljazeera terungkap dari dalam dengan keluarnya sejumlah staf dan jurnalis yang tidak tahan dengan kebohongan media Qatar itu. Bulan Mei lalu, Aljazeera diguncang eksodus staf dan jurnalisnya akibat begitu banyak kebohongan media massa itu dalam melansir berita terutama di Libya, Suriah, Bahrain, Saudi. Mereka tidak tahan lagi dengan kebijakan Aljazeera yang menjadi corong propaganda perang, bukannya mewartakan kejadian sesungguhnya.

Aljazeera menjadi corong ambisi perang Emir Qatar di Timur Tengah. Dan dunia jurnalistik kehilangan kepercayaan terhadap Aljazeera yang kini tidak jauh berbeda dengan CNN, Fox News dan BBC.

Rusia Today pada 12 Maret 2012 lalu, melalui Paula Slier mengabarkan bahwa biro Aljazeera di Beirut mengundurkan diri pekan lalu. Mereka adalah Managing Director Hassan Shaaban. Ini lanjutan dari pengunduran diri Staff Ali Hashem, Ghassan ben Jaddo, dan Afshin Rattansi. Alasannya adalah penolakan Aljazeera menayangkan video gempuran pemberontak Suriah. Selain itu menolak menayangkan berita pembantaian yang dilakukan pemerintah Bahrain terhadap rakyatnya sendiri, dan penolakan Emir Qatar atas hasil Referendum Suriah. Dari sinilah Aljazeera terlihat sangat bias.

Seorang wartawan dan produser program televisi Aljazeera menyatakan mengundurkan diri setelah pidato Sekjen Gerakan Muqawama Islam Lebanon (Hizbullah) soal standar ganda Arab terhadap Suriah. Mousa Ahmad menyatakan bahwa aksinya adalah dalam rangka mendukung Suriah.

Televisi Aljazeera Qatar yang menerapkan kebijakan konfrontatif terhadap Suriah, kembali diprotes oleh karyawannya sendiri yang menentang metode pemberitaan tendensiusnya. Mousa Ahmad bergabung dengan Aljazeera sejak tahun 2009 dan Ahad (4/3) menyatakan berhenti dari stasiun tersebut.

Setelah mendengar pidato Sayid Nasrullah, Mousa Ahmad menyerahkan surat pengunduran dirinya. Ahmad mengatakan, "Arab telah memberi banyak kesempatan kepada rezim Zionis Israel hingga sekarang, akan tetapi mereka tidak memberikan kesempatan sedikitpun kepada Suriah dan bahkan menekankan intervensi militer."

Dalam wawancaranya dengan koran al-Akhbar, Mousa Ahmad mengecam politik Aljazeera terhadap Suriah. Ahmad menuturkan, "Di stasiun televisi itu tidak ada tempat untuk orang moderat. Dengan cara halal atau haram Aljazeera ingin menggulingkan pemerintahan Suriah. Aljazeera adalah lengan politik dan media provokatif. Saya menyaksikan boikot pemberitaan tentang referendum di Suriah, akan tetapi sebaliknya mereka memfokuskan pada perkembangan di Baba Amr, seakan wilayah tersebut adalah tempat suci."

Perubahan watak Aljazeera dibenarkan oleh aktivis Don Debar dan blogger Ted Rall. Kondisi ini mulai terasa sejak April 2011, ketika Emir Qatar mengambil penuh kendali profesional Aljazeera. Perubahan kian mencolok setelah Direktur Aljazeera Wardah Khandar undur diri September 2011 setelah mengabdi 7 tahun.

Sumber lain mengatakan bahwa perubahan arah Aljazeera berkat lobi menteri luar negeri Amerika Hillary Clinton. Amerika menghendaki agar Aljazeera sama seperti corong propaganda perang Barat semacam CNN, BBC dan Fox News. Usulan Washington itu diamini oleh Emir Qatar Syekh Hamad bin Khalifa al Thani. Dan sejak itu Emir menyerukan propaganda perang media sesuai dikte Amerika.

Pada 14 Maret 2012, Veterans Today dari Amerika melalui Stephen Lendman mencatat beberapa kejadian penting terkait sejarah Aljazeera yang agresif menghasut kerusuhan di Libya, Suriah dan Iran. Hal ini sejalan dengan agenda Amerika-Inggris-Israel. Segala upaya dan ajakan damai ditolak melalui Aljazeera yang menyuarakan dikte Emir Qatar.

Ironisnya Sekjen dan Utusan PBB ikut terjebak dalam perangkap mesin propaganda perang media. Mereka menyarankan intervensi asing di Suriah sebagaimana di Libya, tanpa menyinggung sama sekali aksi kerusuhan yang dilakukan pemberontak. Mereka juga tidak melihat kenyataan melalui berita SANA bahwa ribuan rakyat Suriah di Damaskus menolak intervensi asing.Tidak hanya itu mereka juga menyangkal bukti bukti keterlibatan perusuh asing yang menyusup ke Suriah atas restu komandan NATO.

TV Global Research dari Kanada membahas masalah yang sama yang diangkat oleh Rusia Today. Seperti biasanya Hanya mainstream media Barat yang tutup mulut. Sangat disayangkan jaringan TV Aljazeera yang menjangkau 50 juta pemirsa di seluruh dunia hancur reputasi gara-gara melayani ambisi pribadi Emir Qatar.

Sebelumnya kebohongan juga dilakukan media mainstream semacam BBC yang tertangkap basah melakukan penipuan berita foto. Di situsnya tertanggal 27 Mei, BBC memuat foto mayat-mayat dan diklaimnya sebagai korban pembantaian massal di di Houla. Tentu saja, yang dituduh sebagai pembantai adalah tentara Suriah. Padahal berbagai fakta menunjukkan bahwa yang menjadi korban pembantaian itu adalah orang-orang pro pemerintah. Kedua, secara logika saja, tidak ada keuntungan yang didapat Assad dengan membantai massal warganya sendiri. Keuntungan dari peristiwa ini justru didapat oleh pihak oposisi.

Kebohongan BBC terungkap setelah fotografer asli foto tersebut protes dan memberitahu bahwa itu adalah foto korban pembunuhan massal di Irak tahun 2003. BBC mencabut begitu saja foto itu, tanpa minta maaf. Sementara foto itu sudah terlanjur disebarluaskan ke seluruh dunia, dan sudah diposting ulang pula oleh banyak orang. Tujuan utama dari aksi pembantaian massal yang sangat kejam ini adalah agar PBB menyetujui ‘humanitarian intervention' dalam bentuk pengiriman pasukan perang internasional ke Suriah untuk menggulingkan Assad, sebagaimana yang sudah terjadi di Libya.

Mereka Menyudutkan Suriah, Sementara Mereka Sendiri Ditolak Rakyatnya

"Saya terkejut dengan dengan sikap sejumlah raja di kawasan yang menyudutkan Suriah sementara, warga mereka sendiri tidak menginginkannya." 

 Mereka Menyudutkan Suriah, Sementara Mereka Sendiri Ditolak Rakyatnya
Menurut Kantor Berita ABNA, Presiden Republik Islam Iran DR. Ahmadinejad di sela-sela KTT OKI di Mekkah Rabu (15/8), dalam pertemuan dengan Presiden Turki, Abdullah Gul menyatakan, "Berbagai peristiwa akan berlalu, akan tetapi kita eksis dan harus bekerjasama dan melanjutkan hidup."

Menyinggung fakta bahwa bangsa-bangsa menuntut keadilan, kebebasan, dan kehormatan, Ahmadinejad menyatakan, "Dengan represi, tidak ada pihak yang menang dan pemerintah yang berkuasa dengan represi, maka besok tidak akan dapat mempertahankan kedaulatannya."
Ditambahkan Ahmadinejad bahwa terdapat pembahasan panjang tentang cara-cara reformasi seraya menekankan bahwa reformasi tidak boleh dilakukan dengan pembunuhan dan perang. "Saya terkejut dengan dengan sikap sejumlah raja di kawasan yang menyudutkan Suriah sementara, warga mereka sendiri tidak menginginkannya."

Tentang sikap pemerintah Iran terkait Suriah, Ahmadinejad mengatakan, "Iran dengan sekuat tenaga akan mengupayakan kondisi yang tenang, berkemanusiaan dan adil di Suriah sehingga tidak ada warga yang menjadi korban dan situasi semakin rumit."

Sementara itu Abdullah Gul, presiden Turki kepada Ahmadi Nejad yang menyebut dirinya sebagai sahabat bangsa Iran karena Iran adalah pendukung tegaknya keadilan, menyatakan, "Kami juga menginginkan adanya perdamaian, kami tidak menghendaki pamer dan unjuk kekuatan. Kami juga sedang menempuh langkah-langkah untuk terciptanya perdamaian dan ketenangan."

Presiden Republik Islam Iran juga memanfaatkan momen konferensi itu untuk bertemu dengan presiden Sudan dan keduanya bertekad untuk semakin memperkokoh kerja sama dan saling sepemahaman. Ahmadi Nejad menyatakan dukungan kepada Umar al Basyir atas kepemimpinannya. "Saya melihat keadaan Sudan dan tekanan atas negara ini terlalu banyak, sedangkan anda bangkit melawan. Saya percaya janji Allah itu benar." ucap Ahmadi Nejad.

Senjata Wahabi adalah Fitnah dan Kebohongan

"Wahabi sampai saat ini tidak juga menghentikan tebaran fitnahnya bahwa Syiah meyakini adanya tahrif (perubahan) pada al-Quran. Itu hanyalah tuduhan dan dusta belaka, sebab pengikut mazhab Syiah tidak pernah meyakini hal demikian. Ini disebabkan Allah yang menurunkannya dan memeliharanya." 

 Senjata Wahabi adalah Fitnah dan Kebohongan
Menurut Kantor Berita ABNA, ulama Marja Taqlid, Ayatullah Al-Uzma Nasir Makarim Syirazi dalam kuliahnya di Haram Ma'sumah pada hari Selasa (24/7) menyatakan, "Wahabi sampai saat ini tidak juga menghentikan tebaran fitnahnya bahwa Syiah meyakini adanya tahrif (perubahan) pada al-Quran. Itu hanyalah tuduhan dan dusta belaka, sebab pengikut mazhab Syiah tidak pernah meyakini hal demikian. Ini disebabkan Allah yang menurunkannya dan memeliharanya."

Ulama tafsir tersebut lebih lanjut menyatakan, "Al-Quran adalah mukjizat abadi Nabi saww, karenanya, menjadi kelaziman mukjizat tersebut terpelihara dari berbagai bentuk penyimpangan dan perubahan dan inilah akidah jumhur ulama Syiah."

Ayatullah Makarim Syirazi menganggap bahwa menjadi pengikut mazhab Syiah adalah sebuah kebanggaan dengan berkata, "Nabi Muhammad saww meninggalkan dua perkara berharga kepada umatnya yaitu al-Quran dan Ahlul Bait yang menjadi kebanggaan pengikut mazhab Syiah. Yang dengan itu Syiah senantiasa menetapi jalan yang benar."

Mengenai kuliahnya tentang surah Al-Ahzab, beliau berkata, "Pembacaan surah ini sangat baik untuk terhindarnya seseorang dari azab kubur, hendaklah kita sendiri yang membacanya dan mengajarnya kepada keluarga sehingga dapat bertadabbur dengannya."

Beliau menerangkan salah satu cara bertadabbur adalah dengan menganggap ayat-ayat al-Quran sedang berbicara kepada kita. 

Geliat Aliran Wahabi di Negeri Ahlus Sunnah

“Faktor aliran dana dari Arab Saudi dan sebagian negara Arab lainnya yang mentransfer dana untuk perjuangan gerakan Wahabi ekstrem itu turut menyuburkan penyebaran aliran ini” 

 Geliat Aliran Wahabi di Negeri Ahlus Sunnah
GERAKAN Wahabi masuk ke Indonesia, menurut beberapa sejarawan, dimulai pada masa munculnya Gerakan Padri Sumatera Barat pada awal abad XIX. Beberapa tokoh Minangkabau yang tengah melaksanakan ibadah haji melihat kaum Wahabi menaklukkan Mekah dan Madinah yang pertama pada tahun 1803-1804.
“Mereka sangat terkesan dengan ajaran tauhid dan syariat Wahabiyah dan bertekat menerapkannya apabila mereka kembali ke Sumatera. Tiga di antara mereka adalah Haji Miskin, Haji Sumanik, dan Haji Piobang. Bersama-sama dengan Tuanku Nan Renceh, mereka memimpin Gerakan Padri,” ungkap oleh Habib Soleh Al Hadar, Rois Aam Barisan Pemuda Salafun assalihin Ahlussunnah Wal Jama’ah (Barda Salama) kepada Indonesia Monitor, Minggu (23 / 8).
Dalam perkembangan berikutnya, Ahmad Dahlan (1868-1923) menunaikan ibadah haji saat Arab Saudi sedang terjadi pergolakan kekuasaan, di mana Abdul Azis bin Abdurrahman tengah mendirikan negara Arab Saudi. Pada saat yang sama, gerakan Salafiyah Wahabi dicanangkan oleh Muhammadi Abduh dan Rasyid Ridla.
“Tampaknya, Ahmad Dahlan memiliki hubungan pribadi dengan Rasyid Ridha antara tahun 1903-1905. Karenanya, Ahmad Dahlan mendapatkan dukungan kuat dari Rasyid Ridha untuk menyebarkan paham Wahabi di Indonesia, “ujar Habib Soleh.
Namun, lanjut dia, fanatisme yang dipertontonkan kaum Wahabiyah di jazirah Arab, tidak bisa dipraktikkan Ahmad Dahlan di Indonesia melalui gerakan Muhammadiyah yang didirikannya pada tahun 1912. Sebab, perlawanan keras muncul dari para ulama dan mayoritas umat Islam Indonesia yang sangat kuat memegang teguh ajaran Ahlussunnah Wal Jama’ah.
Pada tahun 1905, penyebaran ajaran Wahabi diperkuat oleh datangnya Ahmad Surkati (18701943), ulama Wahabi keturunan Arab-Sudan. Melihat perlawanan yang cukup keras dari mayoritas penganut Ahlussunnah Wal Jamaah, terlebih setelah berdirinya Nahdlatul Ulama pada 1926 yang diprakarsai Hasyim Asy’ari, penyebaran ajaran Wahabiyah lebih condong dilakukan melalui jalur pendidikan, dengan mendirikan sekolah-sekolah semi modern.
Sementara kalangan Ahlussunnah Wal Jamaah masih mengandalkan sistem pendidikan tradisional pesantren. Sekretaris Moderate Muslim Society (MMS) Hasibullah Satrawi melihat, ada arus besar dari gerakan penyebaran Wahabi yang ekstrem di Indonesia yaitu melalui sebagian generasi Indonesia yang belajar di Arab Saudi. Sebagian dari mereka itulah yang kemudian membawa ideologi radikal itu. Sebaliknya, sebagian orang Indonesia juga dikirim untuk memperdalam gagasan ekstrem itu ke sana.
“Faktor aliran dana dari Arab Saudi dan sebagian negara Arab lainnya yang mentransfer dana untuk perjuangan gerakan Wahabi ekstrem itu turut menyuburkan penyebaran aliran ini,” ujar Hasibullah Satrawi kepada Indonesia Monitor, Kamis (20 / 8).
Paham Wahabi cepat berkembang di Indonesia, menurut dia, karena mereka punya dana tak terbatas. “Anda bayangkan, siapa yang tidak mau kalau ada donator dari Arab Saudi yang mau manyumbang pembangunan masjid di Indonesia, atau untuk kegiatan-kegiatan lainnya. Pasti semua mau, apalagi diembel-embeli dakwah. Kita tidak anti-Arab, tapi masyarakat kita terlalu mengagung-agungkan Arab. Apapun yang datangnya dari Arab dianggap mulia dan benar. Itulah kesalahan kita sendiri yang tidak selektif,” paparnya.
Semua pelajar yang belajar di Timur Tengah, kata dia, punya potensi untuk membawa ideologi Wahabi ke Indonesia. Pada umumnya, ada pengaruh kultural bagi mereka yang tidak selektif memilih gagasan, kemudian itu dikembangkan di Indonesia.
Namun, menurut KH Taman Qaulani, Ketua Pondok Pesantren Alhikmah Al Islamiyah, paham Wahabi sebenarnya tidak bisa berkembang. “Sekarang Wahabi tidak berkembang karena lain mazhab. Di Indonesia yang berkembang mazhab Syafiiyah, sementara dia kan mazhab Hambali,” ujar Taman Qaulani kepada Indonesia Monitor, Sabtu (22/8).
Moh Anshari, Sri Widodo, Syarif Hidayatullah
Pesta Seks, Narkoba, dan Rock N Roll Diam-diam Hadir di Jeddah

“Di belakang fasad konservatisme Wahabi, kehidupan malam bawah tanah bagi pemuda elit Jeddah berkembang dan berdenyut.” 
 Pesta Seks, Narkoba, dan Rock N Roll Diam-diam Hadir di Jeddah
Menurut Kantor Berita ABNA,  Godaan duniawi kini tersedia di Jeddah, Arab Saudi. Alkohol, narkoba, dan seks kini tersedia, tetapi tegas di balik pintu tertutup.
Demikian bunyi bocoran lain Wikileaks. Informasi ini dikirimkan tahun lalu dari konsulat jenderal Amerika Serikat di Jeddah. Di Arab Saudi, alkohol dilarang dan hubungan lawan jenis diatur secara ketat.
“Di belakang fasad konservatisme Wahabi, kehidupan malam bawah tanah bagi pemuda elit Jeddah  berkembang dan berdenyut,” tulis laporan itu.
Sebagai bukti, Konsul Jenderal Martin Quinn mengacu pada pesta Halloween tahun lalu. Laporan yang kemudian dihapus berbunyi: “Bersama dengan lebih dari 150 Saudi muda (laki-laki dan perempuan sebagian besar berusia  20-an dan awal 30-an tahun), ConGenOffs menerima undangan ke pesta Halloween bawah tanah di kediaman Pangeran XXXX di Jeddah pada XXXX.”
“Adegan mirip sebuah klub malam di manapun di luar kerajaan: alkohol berlimpah, pasangan muda menari, seorang DJ ada di balik turntable, dan semua orang mengenakan kostum,” katanya.
Aparat kepolisian “menjaga” pesta ini agar tak terendus polisi agama. “Ada ribuan pangeran di Arab Saudi hadir di pesta ini.”
Adapun rincian pesta, kabel Wikileaks melanjutkan: “Mereka menyewa bartender asal Filipina khusus untuk meramu koktail menggunakan sadiqi, sejenis minuman keras buatan lokal …. dari obrolan yang terdengar,  sejumlah  tamu adalah perempuan pekerja.”
Kabel melanjutkan dengan membuat garis bewah bahwa ada pasar gelap minuman keras mahal – bahkan untuk pangeran. Se botol vodka Smirnoff dijual setara dengan  400 dolar AS. “Selain itu, meskipun tidak menyaksikan langsung  dalam pesta kokain itu,  menggunakan ganja adalah umum dalam lingkaran sosial dan telah dilihat pada kesempatan lain,” tambahnya.
Konsul Jenderal menarik kesimpulan yang menarik pada akhir pengiriman. “Ini fenomena yang relatif baru di Jeddah … Hal ini tidak biasa di Jeddah untuk rumah pribadi  mewah  basement-nya dimanfaatkan untuk bar, diskotik, pusat hiburan, dan klub.”
Sumber: Republika

http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/internasional/11/02/12/163886-pesta-seks-narkoba-dan-rock-n-roll-diam-diam-hadir-di-jeddah
Keterlibatan Saudi atas Pembunuhan Ulama Sunni di Iran

Gerakan Wahabi Arab Saudi dilaporkan telah mengelontorkan dana sebanyak 500.000 dolar AS untuk pembunuhan Molavi Jangi Zehi. Dugaan tersebut berdasarkan kesaksian dua orang yang telah diciduk pihak kepolisian Iran dan memberikan pengakuan mengenai adanya kucuran dana tersebut. 

 Keterlibatan Saudi atas Pembunuhan Ulama Sunni di Iran
Menurut Kantor Berita ABNA, Hakim Pengadilan Zahedan, Mohammad Marzieh menyatakan beberapa orang telah mengaku terlibat dalam kasus pembunuhan ulama Sunni Iran awal tahun lalu.

Gerakan Wahabi Arab Saudi dilaporkan telah mengelontorkan dana sebanyak 500.000 dolar AS untuk pembunuhan Molavi Jangi Zehi. Dugaan tersebut berdasarkan kesaksian dua orang yang telah diciduk pihak kepolisian Iran dan memberikan pengakuan mengenai adanya kucuran dana tersebut. 

Jangi Zehi seorang tokoh ulama kharismatik Sunni yang memberikan dukungan dan pernyataan kesetiaannya terhadap Republik Islam Iran. Beliau juga bahkan sering mengecam Wahabi berkenaan permusuhannya terhadap Iran dan Syiah. Beliau menjabat Imam Shalat Jum'at. Awal tahun lalu, sehabis memimpin shalat Ashar di masjid dan dalam perjalanan pulang ke rumahnya, peluru tajam telah merenggut nyawanya. Beliau dibunuh oleh sekelompok teroris di selatan kota Rask. 

Ulama Sunni tersebut dikenal sebagai tokoh yang sering menyuarakan kekesalannya atas keterlibatan Riyadh dan Manama berkenaan dengan kondisi umat Sunni di Iran. Beliau membantah keras bahwa Sunni di Iran dizalimi dan diperlakukan tidak adil oleh pemerintahan Iran yang Syiah. 
Sebelum pembunuhan ulama tersebut, Jangi Zeghi telah beberapa kali menerima ancaman dari pihak musuh untuk menghentikan kecaman-kecamannya termasuk anjurannya kepada komunitas Sunni di Iran untuk tetap terlibat dalam Pemilu bahkan menyebutnya keikutsertaan dalam pemilu adalah salah satu kewajiban agama. 

Ulama Sunni tersebut juga telah memainkan peranan yang penting dalam memperluaskan ide persatuan Sunni-Syiah di kalangan masyarakat Ahlu Sunnah Wal Jamaah.

Pihak Kepolisian Iran pada 11 April lalu telah berhasil melakukan penangkapan terhadap beberapa orang yang diduga sebagai pelaku pembunuhan. Hasil penyidikan kepolisian pun menyebut bahwa Organisasi Mujahedin-e Khalq (MKO) turut terlibat dalam kasus tersebut dengan bantuan Saudi.

LPPI Makassar Ngotot Menyebut Najaf Berada di Iran

Kritikan ABNA atas tulisan LPPI yang menyebut Najaf berada di Iran, dan Teheran adalah kota suci tidak juga mengalami pengeditan kembali oleh LPPI. Apa karena LPPI bersikeras merasa benar dengan tulisannya itu?. Apa LPPI memang meyakini kota Najaf terletak di Iran dan bukan di Irak? Apa ada lembaga penelitian selain LPPI yang melakukan kesalahan fatal mengenai letak geografis sebuah kota? Dan ngotot mempertahankan kesalahannya itu?.
 

 LPPI Makassar Ngotot Menyebut Najaf Berada di Iran
Menurut Kantor Berita ABNA, LPPI (Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam) Wilayah Indonesia Timur dalam postingannya terakhir Kamis (3/1) berusaha membalikkan fakta bahwa Kantor Berita ABNA adalah situs penyebar fatwa palsu dengan menurunkan artikel berjudul, "ABNA.CO Situs Penyebar Fatwa Palsu". Berita ABNA yang kemudian dinukil beberapa media di Indonesia khususnya Media Harian Fajar, sama sekali tidak menyebutkan bahwa "Syiah Sah dan Benar sebagai Mazhab dalam Islam" adalah sebuat fatwa, melainkan sebuah pernyataan dari Ketua MUI Pusat, KH. DR. Umar Shihab.  Pernyataan tersebut beliau sampaikan di hadapan kumpulan mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di Qom Iran Kamis (28/4) tahun 2011 silam. Dalam berita tersebut, ABNA sama sekali tidak menyebutkan bahwa itu fatwa. Kalau ada pihak-pihak tertentu yang kemudian menyelewengkan pernyataan tersebut dan menyebutnya fatwa MUI itu bukan tanggungjawab ABNA. Namun tanpa penelitian dan penyelidikan yang fair, LPPI telah menjatuhkan vonis bahwa ABNA telah menyebarkan fatwa palsu.
Berikut link berita pernyataan ketua MUI Pusat tersebut:
Dalam postingan sebelumnya, LPPI menulis artikel bertajuk, "Tanggapan Balik atas ABNA tentang Bendera Republik Syiah Iran" yang merupakan bantahan atas tanggapan atas artikel ABNA yang berjudul, "Kembali LPPI Makassar Menebar Fitnah tentang Iran".
LPPI dalam postingannya tersebut menulis, "… tidak ada kalimat dalam artikel kami sebelumnya yang memvonis bahwa desain bendera Republik Syiah Iran tersebut berasal dari simbol agama Sikh di India, kami hanya mengatakan, "dimana asal-muasal desain bendera Republik Syiah Iran tersebut. Mudah-mudahan beberapa gambar di bawah ini bisa menjawabnya.", kami menggunakan kalimat 'mudah-mudahan' dan itu bukan vonis!
Tanggapan ABNA:
Dalam postingan ABNA, redaksi sama sekali tidak menyebut LPPI telah memvonis bendera Iran tersebut berasal dari simbol agama Sikh. Yang redaksi ABNA tulis, "LPPI mengaitkan logo dalam bendera nasional Republik Islam Iran dengan simbol agama Sikh. Sekilas kedua gambar tersebut memang tampak sama namun ketika diperhatikan lebih seksama akan Nampak dengan jelas perbedaan keduanya." Apa kalimat redaksi ABNA tersebut salah? Dan apa LPPI menolak bahwa mereka tidak mengaitkan antara logo bendera Iran dengan simbol agama Sikh itu?. Kalau tidak mengaitkan lantas apa tujuannya LPPI membawa-bawa gambar-gambar simbol agama Sikh tersebut dalam postingannya tentang sejarah desain bendera nasional Iran? LPPI menyebut artikelnya tentang sejarah namun sama sekali tidak memuat materi yang mendukung judul postingannya tersebut. Sama sekali tidak menuliskan siapa pelaku sejarah, kapan sejarah itu terjadi dan seterusnya.  
LPPI selanjutnya mengkritisi ABNA yang salah dalam menuliskan pernyataan dengan pertanyaan. Kesalahan ketik tersebut telah diralat dan diubah oleh redaksi ABNA. Sementara kritikan ABNA atas tulisan LPPI yang menyebut Najaf berada di Iran, dan Teheran adalah kota suci tidak juga mengalami pengeditan kembali oleh LPPI. Apa karena LPPI bersikeras merasa benar dengan tulisannya itu?. Apa LPPI memang meyakini kota Najaf terletak di Iran dan bukan di Irak? Apa ada lembaga penelitian selain LPPI yang melakukan kesalahan fatal mengenai letak geografis sebuah kota?.
Sementara pertanyaan ABNA untuk LPPI, "Siapa sebagian kaum muslimin yang dimaksud LPPI telah terpalingkan hatinya dari mencintai dua kota suci Islam Makah dan Madinah? Bagaimana LPPI bisa memastikan bahwa hati sebagian kaum muslimin itu telah berpaling? Apakah setiap mereka yang melakukan perjalanan ziarah ke kota-kota di Iran dan Irak telah berarti berpaling hatinya dari Makah dan Madinah?." Tidak mendapat jawaban dari LPPI, tanggapan yang LPPI berikan tidak menyentuh substansi persoalan sama sekali. Sekali lagi redaksi mempertanyakan, "Siapa sebagian kaum muslimin yang dimaksud LPPI telah telah terpalingkan hatinya dari mencintai dua kota suci Islam Makah dan Madinah?." Kalau yang dimaksud LPPI adalah Syiah, redaksi ABNA berterimakasih telah memberikan pengakuan jujur bahwa Syiah juga adalah bagian dari kaum muslimin. Nah dengan begitu pernyataan ketua MUI Pusat, Prof. DR. KH. Umar Shihab bahwa Syiah sah dan benar sebagai mazhab dalam Islam ada benarnya dan tidak perlu disebut pernyataan dusta dan palsu segala. Wallahu 'alam.
Berikut link LPPI yang memberi vonis palsu pada ABNA:
Benarkah di Iran Ada Tarif Nikah Mut'ah?

Voa-Islam masih saja menurunkan berita-berita fitnah mengenai Iran dan umat Syiah. Setelah sebelumnya menyebarkan kabar bohong di Teheran Iran tidak ada masjid Sunni dan pelarangan shalat Idul Fitri bagi umat Sunni oleh pemerintah Iran dan fitnah tersebut telah berhasil dibantah oleh media ini dengan menunjukkan nama-nama masjid yang dikelola umat Sunni di Teheran beserta alamatnya, kali ini Voa-Islam kembali menghembuskan kedustaan baru. 
 Benarkah di Iran Ada Tarif Nikah Mut
Menurut Kantor Berita ABNA, Voa-Islam masih saja menurunkan berita-berita fitnah mengenai Iran dan umat Syiah. Setelah sebelumnya menyebarkan kabar bohong di Teheran Iran tidak ada masjid Sunni dan pelarangan shalat Idul Fitri bagi umat Sunni oleh pemerintah Iran dan fitnah tersebut telah berhasil dibantah oleh media ini dengan menunjukkan nama-nama masjid yang dikelola umat Sunni di Teheran beserta alamatnya, kali ini Voa-Islam kembali menghembuskan kedustaan baru. 
Menukil dari www.aansar.com, redaksi Voa-Islam menulis berita dengan judul yang bombastis, " Gila! Nikah Kontrak Syi'ah Dibandrol 300 Dolar, Mut'ah Perawan Bonus 150 Dolar?". Diberitakan Astan Quds Al-Ridhawy mengumumkan permintaan untuk mendatangkan para gadis yang umurnya berkisar antara 12 hingga 35 tahun untuk melakoni profesi Mut’ah. Astan Quds Al-Ridhawy adalah yayasan di Iran yang mengurus wakaf dan urusan agama serta beberapa perusahaan bisnis besar di dalam dan di luar kawasan Khurasan. Disebutkan pengumuman tersebut dirilis seiring meningkatnya jumlah permintaan terhadap servis Mut’ah dari para turis yang datang ke Kota Masyhad.
Berikut terjemahan lengkap dari Voa-Islam mengenai dokumen pengumuman tarif nikah Mut’ah yang dikeluarkan yayasan Iran tersebut:

Bismillahirrahmanirrahim
Nikah itu adalah sunnahku
Yayasan Astan Quds Ridhawy (Propinsi Masyhad, Kota Al-Ridha) mengumumkan tentang maksudnya untuk mendirikan sebuah markas tempat melangsungkan akad nikah untuk waktu pendek (short time) di dekat kuburan Imam Al-Ridha alaihissalam, demi meningkatkan iklim spiritual dalam masyarakat dan demi menciptakan iklim rohani dan ketenangan bagi kawan-kawan peziarah yang mengunjungi kawasan makam Imam sementara mereka jauh dari keluarga mereka.
Untuk itu, maka pihak Yayasan meminta kepada seluruh wanita mukminah yang masih perawan, yang usianya belum melampaui 12 sampai 35 tahun, pihak Yayasan mengajak mereka untuk memberikan bantuan dan terlibat dalam proyek ini.
Masa kontrak bagi wanita yang mau terlibat dalam pekerjaan ini adalah 2 tahun, dan yang menjadi kewajiban bagi wanita yang terikat kontrak dengan Yayasan al-Ridhawy adalah melakukan Nikah Mut’ah selama 25 hari setiap bulan selama masa kontrak kerja.
Dan masa kontrak akan dihitung dari bagian masa kerja, dan masa kerja untuk setiap akad (Mut’ah) berkisar antara 5 jam hingga 10 hari dengan setiap pria.
Nilai bayaran yang ditetapkan untuk setiap akad Mut’ah adalah berikut:
a. Mut’ah 5 jam : 50.000 Tuman (50 Dolar)
b. Mut’ah 1 hari: 75.000 Tuman (75 Dolar)
c. Mut’ah 2 hari: 100.000 Tuman (100 Dolar)
d. Mut’ah 3 hari: 150.000 Tuman (150 Dolar)
e. Mut’ah 4 s/d 10 hari: 300.000 Tuman (300 Dolar)
f. Khusus bagi para wanita perawan yang baru pertama kali melakukan nikah Mut’ah akan mendapatkan bonus 150.000 Tuman sebagai pengganti penghilangan keperawanannya!
*****
Keganjilan pertama, disebutkan Astan Quds Al-Ridhawy adalah yayasan di Iran yang mengurus wakaf dan urusan agama serta beberapa perusahaan bisnis besar di dalam dan di luar kawasan Khurasan. Ini sama sekali tidak benar, sebab yayasan tersebut hanyalah mengurusi Haram Imam Ridha as di pusat kota Masyhad, memberikan pelayanan kepada para peziarah, mengatur dan mengumumkan agenda-agenda perhelatan Islam yang berlangsung di kompleks Haram Imam Ridha as dan sama sekali tidak mengurusi bisnis apapun apalagi sampai skala besar menjangkau kawasan luar Khurasan. Keganjilan kedua dari pengumuman tersebut, mata uang Iran adalah Real bukan Tuman. Memang masyarakat Iran masih menggunakan penyebutan Tuman dalam transaksi jual beli namun dalam penyampaian promosi harga ataupun pengumuman resmi mengenai besarnya nominal harga menggunakan mata uang Real. Ketiga, meskipun pengumuman tersebut juga ditujukan buat warga pendatang (turis) namun bukan kebiasaan masyarakat Iran menyampaikan harga dengan menyebutkan besar nominalnya dalam Dollar. Keganjilan yang keempat dan yang terpenting sebab menjadi bukti kedustaan pengumuman tersebut, adalah www.aansar.com sama sekali tidak menukilkan sumber pengumuman tersebut. Mengapa? Sebab sebenarnya pengumuman tersebut sama sekali fiktif dan tidak jelas keberadaannya. Situs tersebut juga sama sekali tidak menyebutkan link situs yayasan Iran yang dimaksud. Kalau memang pengumuman itu benar adanya, tentu saja yayasan yang bersangkutan akan merilis di situs resminya. Namun jika kita berkunjung ke situs resminya www.aqrazavi.org sama sekali tidak kita temukan adanya pengumuman mengenai tarif nikah mut'ah tersebut. Jadi dari mana sesungguhnya www.aansar.com itu mengambil berita?. Dengan tidak menuliskan sumber berita, jelas situs tersebut melanggar kaidah jurnalisme yang berlaku dalam dunia pemberitaan. Sayangnya, berita tidak jelas tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan disebar melalui banyak media internet di Indonesia termasuk oleh Voa-Islam yang mengklaim diri sebagai media yang memiliki visi "Menjadi media terpercaya yang mengedepankan kebenaran dan keadilan secara professional".
Benar-benar sangat disayangkan, berita dusta tersebut menyebar dengan begitu cepat terutama oleh media-media yang dikelola oleh orang-orang yang mengklaim diri hanya menyandarkan urusan agamanya pada periwayatan yang shahih. Mereka tegas pada ketsiqahan perawi dan sangat kredibel dalam mengkritik sanad hadits namun ketika mereka mendapatkan berita yang menguntungkan mereka, mereka tinggalkan tabayyun dan profesionalisme itu. Ataukah tabayyun hanya berlaku pada hadits dan bukan pada berita semacam ini?.

(Apalagi tadi di acara on the spot "KHAZANAH" Trans 7 yg disiarkan tadi pagi, jum'at,15 Pebruari 2013 yang bertajuk "POLIGAMI", Nikah Mut'ah seperti Kena "HUKUM", yang kemudian menurut team www.banjarkuumaibungasnya.blogspot.com bisa mengakibatkan ISU HANGAT, agar ISLAM SUNNI yang mayoritas berpenduduk di Republik Indonesia dan ISLAM SYI'AH yang mayoritas berpenduduk di Republik Islam Iran dan dua-duanya bukan negara ARAB agar bisa di ADU DOMBA, Naudzubillah...!!!!!, semoga Islam Sunni dan Islam Syi'ah selalu sadar akan PERANGKAP ADU DOMBA sesama ummat ISLAM ini...HIDUP Persatuan ISLAM....Hidup Persatuan Ummat Manusia...!!!!!  Semoga Trans 7 Crew lebih arif dalam memberitakan suatu berita yang SENSITIF, sehingga tidak terkesan MENGHAKIMI.....)
 

http://www.voa-islam.com/news/islamic-world/2012/01/13/17392/gila-nikah-kontrak-syiah-dibandrol-300-dolar-mutah-perawan-bonus-150/ www.aqrazavi.org
Nikah Mut’ah Antara Hukum Islam dan Fitnah Wahhabi

Para Imam suci Ahlubait as., dan tentunya juga para pengikut setia mereka (Syi’ah Imamiyah) meyakini bahwa nikah mut’ah masih tetap disyari’atkan oleh Islam dan ia halal sampai hari kiamat tiba, tidak ada sesuatu apapun yang menggugurkan hukum dihalalkannya.

 
 Nikah Mut’ah Antara Hukum Islam dan Fitnah Wahhabi
Banyak sekali fitnah beracun yang dihembuskan kaum wahhabi terhadap Syi’ah. Di antaranya adalah kekejian dan kepalsuan yang tersebar hampir dalam setiap paragraf tulisannya seperti dalam artikel: SYIAH MENGHALALKAN ZINA. Mengingat kejinya fitnah itu dan rancunya tulisan dalam artikel tersebut maka kami akan menaggapinya dalam dua tahapaan, pertama, kami akan paparkan permasalahan Nikah Mut’ah jauh dari tuduhan keji dalam artikel tersebut, kedua, menaggapi butir-butir fitnah dan kesalahan fatal dalam artikel tersebut. Selamat mengikuti.
Nikah Mut’ah, Halal atau Haram?
Salah satu masalah fikih yang diperselisihkan antara pengikut Ahlulbait (Syiah) dan Ahlusunnah adalah hukum nikah Mut’ah. Tentang masalah ini ada beberapa hal yang perlu kita ketahui, berikut ini akan kita bahas bersama.
Pertama: Defenisi Nikah Mut’ah.
Kedua: Tentang ditetapkannya mut’ah dalam syari’at Islam.
Ketiga: Tidak adanya hukum baru yang me-mansukh-kannya.
Keempat: Hadis-hadis yang menegaskan disyari’atkannya.
Kelima: Bukti-bukti bahwa Khalifah Umar-lah yang mengharamkannya.
Definisi Nikah Mut’ah:
Ketika menafsirkan ayat 24 surah al-Nisa’-seperti akan disebutkan di bawah nanti, Al-Khazin (salah seorang Mufasir Sunni) menjelaskan difinisi nikah mut’ah sebagai berikut, “Dan menurut sebagian kaum (ulama) yang dimaksud dengan hukum yang terkandung dalam ayat ini ialah nikah mut’ah yaitu seorang pria menikahi seorang wanita sampai jangka waktu tertentu dengan memberikan mahar sesuatu tertentu, dan jika waktunya telah habis maka wanita itu terpisah dari pria itu dengan tanpa talaq (cerai), dan ia (wanita itu) harus beristibrâ’ (menanti masa iddahnya selasai dengan memastikan kesuciaannya dan tidak adanya janin dalam kandungannya_pen), dan tidak ada hak waris antara keduannya. Nikah ini boleh/halal di awal masa Islam kemudian diharamkan oleh Rasulullah saw.” [1] Dan nikah Mut’ah dalam pandangan para pengikut Ahlulbait as. adalah seperti difinisi di atas.
Nikah Mut’ah Telah Disyari’atkan
Dalam masalah ini telah disepakati bahwa nikah mut’ah telah disyari’atkan dalam Islam, seperti juga halnya dengan nikah daa’im (permanen). Semua kaum Muslim dari berbagai mazhab dan aliran tanpa terkecuali telah sepakat bahwa nikah Mut’ah telah ditetapkan dan disyari’atkan dalam Islam. Bahkan hal itu dapat digolongkan hal dharuruyyat minaddin (yang gamblang dalam agama). Alqur’an dan sunah telah menegaskan disyari’atkannya nikah Mut’ah. Hanya saja terjadi perbedaan pendapat tentang apakah ia kemudian dimansukhkan atau tidak?
Al-Maziri seperti dikutip al-Nawawi mengatakan, “Telah tetap (terbukti) bahwa nikah Mut’ah adalah boleh hukumnya di awal Islam… .” [2] Ketika menjelaskan sub bab yang ditulis Imam Bukhari: Bab Nahyu an-Nabi saw. ‘an Nikah al-Mut’ah Akhiran (Bab tentang larangan Nabi saw. akan nikah mut’ah pada akhirnya).
Ibnu Hajar mendifinisikan nikah mut’ah, “Nikah mut’ah ialah menikahi wanita sampai waktu tertentu, maka jika waktu itu habis terjadilah perpisahan, dan difahami dari kata-kata Bukhari akhiran (pada akhirnya) bahwa ia sebelumnya mubaah, boleh dan sesungguhnya larangan itu terjadi pada akhir urusan.” [3]
Al-Syaukani juga menegaskan bahwa nikah mut’ah adalah pernah diperbolehkan dan disyari’atkan dalam Islam, sebelum kemudian, katanya dilarang oleh Nabi saw., ia berkata, “Jumhur ulama berpendapat sesungguhnya yang dimaksud dengan ayat ini ialah nikah mut’ah yang berlaku di awal masa Islam. Pendapat ini dikuatkan oleh qira’at Ubai ibn Ka’ab, Ibnu Abbas dan Said ibn Jubair dengan tambahan إلَى أَجَلٍ مُسَمَّى (sampai jangka waktu tertentu) [4]
Ibnu Katsir menegaskan, “Dan keumuman ayat ini dijadikan dalil nikah mut’ah, dan tidak diragukan lagi bahwa sesungguhnya nikah mut’ah itu ditetapkan dalam syari’at pada awal Islam, kemudian setelah itu dimansukhkan… .” [5]
Ayat Tentang Disyari’atkannya Nikah Mut’ah
Salah satu ayat yang tegas menyebut nikah bentuk itu seperti telah disinggung di atas ialah firman Allah SWT.

فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوْهُنَّأُجُوْرَهُنَّ فَرِيْضَةً … (النساء:24
“Maka wanita-wanita yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka upah (mahar)nya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban…” (QS:4;24)
Ayat di atas mengatakan bahwa wanita-wanita yang telah kamu nikahi dengan nikah mut’ah dan telah kamu gauli maka berikanlah kepada mereka itu mahar secara sempurna. Kata اسْتَمْتَعْتُمْ berartikan nikah mut’ah yaitu nikah berjangka waktu tertentu sesuai kesepakatan antara kedua pasangan calon suami istri. Dan dipilihnya kata tersebut disebabkan nikah mut’ah memberikan kesenangan, kenikmatan dan manfaat.
Dalam bahasa Arab kata mut’ah juga diartikan setiap sesuatu yang bermanfaat, kata kerja istamta’a artinya mengambil manfaat [6]
Para sahabat telah memahami ayat di atas sebagai ayat yang menegaskan disyari’atkannya nikah tersebut, sebagian sahabat dan ulama tabi’in seperti Abdullah ibn Mas’ud, Ibnu Abbas, Said ibn Jubari, Mujahid dan as Suddi membacanya:

فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ – إلَى أَجَلٍ مُسَمَّى- فَآتُوْهُنَّ أُجُوْرَهُنَّ فَرِيْضَةً
dengan memberi tambahan kata إلَى أَجَلٍ مُسَمَّى (sampai jangka waktu tertentu). Bacaan tesebut tentunya sebagai sekedar penjelasan dan tafsir, bukan dengan maksud bahwa ia dari firman Allah SWT. Bacaan mereka tersebut dinukil oleh para ulama besar Ahlusunah seperti Ibnu Jarir al-Thabari, Al-Razi, al-Zamakhsyari, Al-Syaukani dan lainnya yang tidak mungkin saya sebut satu persatu nama-nama mereka. Qadhi Iyaadh seperti dikutip al-Maziri, sebagaimana disebutkan Al Nawawi dalam syarah Shahih Muslim, awal Bab Nikah Mut’ah bahwa Ibnu Mas’ud membacanya dengan tambahan tersebut. Jumhur para ulama pun, seperti telah Anda baca dari keterangan Al-Syaukani, memehami ayat tersebut sebagai yang menegaskan disyari’atkannya nikah mut’ah.


Catatan:

Perlu Anda cermati di sini bahwa dalam ayat di atas Allah SWT berfirman menerangkan apa yang dipraktikkan kaum Muslim dari kalangan sahabat-sabahat Nabi suci saw. dan membimbing mereka akan apa yang harus mereka lakukan dalam praktik yang sedang mereka kerjakan. Allah SWT menggunakan kata kerja bentuk lampau untuk menunjuk apa yang telah mereka kerjakan: 
اسْتَمْتَعْتُمْ, dan ia bukti kuat bahwa para sahabat itu telah mempraktikan nikah mut’ah. Ayat di atas sebenarnya tidak sedang menetapkan sebuah hukum baru, akan tetapi ia sedang membenarkan dan memberikan bimbingan tentang apa yang harus mereka lakukan dalam bermut’ah. Bukti lain bahwa ayat di atas sedang menerangkan hukum nikah mut’ah ialah bahwa para ulama Sunni mengatakan bahwa hukum dalam ayat tersebut telah dimansukhkan oleh beberapa ayat, seperti akan disinggung nanti. Itu artintya mereka mengakui bahwa ayat di atas tegas-tegas menerangkan hukum nikah Mut’ah!
Klaim Pe-mansukh-an Hukum Nikah Mut’ah Dalam Al qur’an
Ketegasan ayat diatas adalah hal yang tidak disangsikan oleh para ulama dan ahli tafsir. Oleh sebab itu mereka mengatakan bahwa hukum itu walaupun telah disyari’atkan dalam ayat tersebut di atas, akan tetapi ia telah dimansukhkan oleh beberapa ayat. Para ulama’ Sunni telah menyebutkan beberapa ayat yang dalam hemat mereka sebagai ayat naasikhah (yang memasukhkan) ayat Mut’ah. Di bawah ini akan saya sebutkan ayat-ayat tersebut.
Ayat Pertama:
Firman Allah SWT:

و الذين هُمْ لِفُرُوْجِهِمْ حافِظُونَ إلاَّ علىَ أَزْواجِهِمْ أَوْ ما مَلَكَتْ أَيْمانُهُمْ، فَإِنَّهُمْ غيرُ مَلُوْمِيْنَ. (المؤمنون:5-6

“Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal yang tiada tercela.” (QS:23;5-6) Keterangan Ayat:

Dalam pandangan mereka ayat di atas menerangkan bahwa dibolehkan/ dihalalkanya menggauli seorang wanita karena dua sebab; pertama, hubungan pernikahan (permanen).Kedua, kepemilikan budak.

Sementara itu kata mereka wanita yang dinikahi dengan akad Mut’ah, bukan bukan seorang istri.

Tanggapan:

Pertama-tama yang perlu difahami ialah bahwa mut’ah adalah sebuah ikatan pernikahan dan perkawinan, baik dari sudut pandang bahasa, tafsir ayat maupun syari’at, seperti telah dijelaskan sebelumnya. Jadi ia sebenarnya dalam keumuman ayat di atas yang diasumsikan sebagai pemansukh, tidak ada alasan yang membenarkan dikeluarkannya dari keumuman tersebut. Kata Azwaajihim dalam ayat di atas mencakup istri yang dinikahi baik dengan akad nikah daim (permanent) maupun akad nikah Mut’ah.

Kedua, selain itu ayat 5-6 Surah Mu’minun (sebagai pemansukh) berstatus Makkiyah (turun sebelum Hijrah) sementara ayat hukum Mut’ah (ayat 24 surah al-Nisa’) berstatus Madaniyah (turun setelah Hijrah). Lalu bagaimana mungkin ayat Makkiyah yang turun sebelum ayat Madaniyah dapat memansukhkannya?! Ayat yang memansukh turun lebih dahulu dari ayat yang sedang dimansukhkan hukumnya. Mungkinkah itu?!
Ketiga, Tetap diberlakukannya hukum nikah Mut’ah adalah hal pasti, seperti telah ditegaskan oleh para ulama Sunni sendiri. Az- zamakhsyari menukil Ibnu Abbas ra.sebagai mengatakan, “Sesungguhnya ayat Mut’ah itu muhkam (tidak mansukh)”. Pernyataan yang sama juga datang dari Ibnu Uyainah.
Keempat, Para imam Ahlubait as. menegaskan bahwa hukum yang terkandung dalam ayat tersebut tetap berlaku, tidak mansukh.
Kelima, Ayat 5-6 Surah Mu’minun sedang berbicara tentang hukum nikah permanen dibanding tindakan-tindakan yang diharamkan dalam Syari’at Islam, seperti perzinahan, liwath (homo) atau kekejian lain. Ia tidak sedang berbicara tentang nikah Mut’ah, sehingga diasumsikan adanya saling bertentangan antara keduanya.
Adapun anggapan bahwa seorang wanita yang dinikahi dengan nikah Mut’ah itu bukan berstatus sebagai isrti, zawjah, maka anggapan itu tidak benar. Sebab:
1.     Mereka mengatakan bahwa nikah ini telah dimansukhkan dengan ayat إلاَّ علىَ أَزْواجِهِمْ … atau ayat-ayat lain atau dengan riwayat-riwayat yang mereka riwayatkan bahwa Nabi saw. telah memansukhnya setelah sebelumnya pernah menghalalkannya. Bukankah ini semua bukti kuat bahwa Mut’ah itu adalah sebuah akad nikah?! Bukankah itu pengakuan bahwa wanita yang dinikahi dengan akad Mut’ah itu adalahh seorang isrti, zawjah?! Sekali lagi, terjadinya pemansukhan -dalam pandangan mereka- adalah bukti nyata bahwa yang dimansukh itu adalah nikah!
2.     Tafsiran para ulama dan para mufassir Sunni terhadap ayat surah An Nisaa’ bahwa yang dimaksud adalah nikah Mut’ah adalah bukti nyata bahwa akad Mut’ah adalah akad nikah dalam Islam.
3.     Nikah Mut’ah telah dibenarkan adanya di masa hidup Nabi saw. oleh para muhaddis terpercaya Sunni, seperti Bukhari, Muslim, Abu Daud dll.
4.     Ada ketetapan emas kawin, mahar dalam nikah Mut’ah adalah bukti bahwa ia adalah sebuah akad nikah. Kata أُجُوْرَهُنَّ (Ujuurahunna=mahar mereka). Seperti juga pada ayat-ayat lain yang berbicara tentang pernikahan.
Perhatikan ayat 25 surah An Nisaa’, ayat 50 surah Al Ahzaab(33) dan ayat 10 surah Al Mumtahanah (60). Pada ayat-ayat di atas kata أُجُوْرَهُنَّ diartikan mahar.
Ayat Kedua dan Ketiga:
Allah SWT berfirman:

وَلَكُمْ نِصْفُ ما تَرَكَ أَزْواجُكُمْ. (النساء:12
Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu.” (QS:3;12)

Dan
وَ إِذا طَلَّقْتُمُ النِساءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ. (الطلاق:1


“Jika kamu menceraikan isteri-isterimu maka hendaknya kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi)iddahnya (yang wajar).” (QS65;1)
Keterangan:

Ringkas syubhat mereka dalam masalah ini ialah bahwa seorang istri itu dapat mewarisi suaminya, dan dapat diceraikan dan baginya hak mendapatkan nafkah dari suami. Semua ini adalah konsekuensi ikatan tali pernikahan. Sementara itu, dalam kawin Mut’ah hal itu tidak ada, seorang istri tidak mewarisi suaminya, dan hubungan itu berakhir dengan tanpa talak/tidak melalui proses penceraian, dan tiada atas suami kewajiban nafkah. Maka dengan memperhatikan ini semua Mut’ah tidak dapat disebut sebagai akad nikah, dan wanita itu bukanlah seorang istri!
Tanggapan Atas Syubhat di Atas
1.     Syarat yang diberlakukan dalam akad Mut’ah sama dengan yang diberlakukan dalam nikah daim (permanen), sebagimana dalam nikah daim disyaratkan beberapa syarat, seperti, harus baligh, berakal (waras jiwanya), bukan berstatus sebagai hamba sahaya, harus ada saling rela, dan …demikian pula dalam nikah Mut’ah tanpa ada sedikitpun perbedaan. Adapun masalah talak, dan saling mewarisi, misalnya, ia bukan syarat sahnya akad pernikahan… ia adalah rentetan yang terkait dengannya dan tetap dengan tetap/sahnya akad itu sendiri. Oleh sebab itu hal-hal di atas tidak disebutkan dalam akad. Ia berlaku setelah terjadi kematian atau penceraian. Seandainya seorang istri mati tanpa meninggalkan sedikitpun harta waris, atau ia tidak diceraikan oleh suaminya hingga ia mati, atau suami menelantarkan sebagian kewajibannya, maka semua itu tidak merusak kebashan akad nikahnya. Demikian pula tentang nafkah dan iddah.
2.     Redaksi akad yang dipergunakan dalam nikah daim tidak berbeda dengan yang dipergunakan dalam nikah Mut’ah, hanya saja pada Mut’ah disebutkan jangka waktu tertentu.
3.     Antara dua ayat yang disebutkan dengan ayat Mut’ah tidak ada sedikit pertentangan. Anggapan itu hanya muncul karena ketidak fahaman semata akan batasan Muthlaq (yang mutlak tanpa ikatan) dan Muqayyad (yang diikat), yang umum dan yang khusus. Karena sesungguhnya ayat Mut’ah itu mengkhususkan ayat tentang pewarisan dan talak.
4.     Adapun anggapan bahwa seorang wanita yang dinikahi dengan akad nikah Mut’ah itu bukan seorang istri, maka anggapan itu tidak benar karena:
A.    Sebab pewarisan itu bukanlah konsekuensi yang berkalu selamanya dalam pernikahan, yang tidak dapat berpisah sama sekali. Di sana ada pengecualian- pengecualian. Seorang wanita ditetapkan sebagai sitri namun demikian ia tidak mewairisi suaminya, seperti seorang istri yang berbeda agama (Kristen misalnya) dengan suaminya (Muslim), atau istri yang membunuh suaminya, atau seorang wanita yang dinikahi seorang laki-laki dalam keadaan sakit kemudian suami tersebut mati sebelum sempat berhubungan badan dengannya, atau apabila istri tersebut berstatus sebagai budak sahaya… bukankan dalam contoh kasus di atas wanita itu berstaus sebagai isri, namun demikian -dalam syari’at Islam- ia tidak mewarisi suaminya.

B. Ayat tentang warisan (ayat 12 surah An Nisaa’) adalah ayat Makkiyah sementara ayat Mut’ah adalah madaniyah. Maka bagaimana mungkin yang menasakh turun lebih dahulu dari yang dimansukh?!
B.    Adapun anggapan bahwa ia bukan seorang istri sebab tidak ada keharusan atas suami untuk memberi nafkah, maka anggapan ini juga tidak tepat, sebab:
Nafkah, seperti telah disinggung bukan konsekusensi pasti/tetap berlaku selamanya atas seorang suami terhadap istrinya. Dalam syari’at Islam, seorang istri yang nasyizah (memberontak kepada suaminya, tidak mau lagi berumah tangga), tiada kewajiban atas suami memberinya nafkah. Demikian disepakati para ulama dari seluruh mazhab.

Dalam akad Mut’ah sekali pun, kewajiban nafkah tidak selamanya gugur. Hal itu dapat ditetapkan berdasarkan syarat yang disepakati antara keduannya. Demikian diterangkan para fuqaha’ Syi’ah.
5.     Adapun anggapan karena ia tidak harus melakukan iddah (menanti janggak waktu tertentu sehingga dipastikan ia tidak sedang hamil dari suami sebelumnya = tiga kali masa haidh) maka ia bukan seoarng istri. anggapan ini adalah salah, dan sekedar isu palsu, sebab seorang wanita yang telah berakhir janggka waktu nikah Mut’ah yang telah ditentukan dan disepakati oleh keduanya, ia tetap wajib menjalani proses iddah. Dalam fikih Syi’ah para fuqaha’ Syi’ah menfatwakan bahwa masa iddah atasnya adalah dua kali masa haidh.
6.     Adapun anggapan bahwa ia bukan seorang istri sebab ia berpisah dengan suaminya tanpa melalui proses perceraian, sementara dalam Al qur’an ditetapkan hukum perceraian bagi suami istri yang hendak berpisah. Maka hal itu tidak benar, sebab:

A. Perceraian bukan satu-satunya yang merusak akad penikahan. Seorang istri dapat saja berpisah dengan suaminya dengan tanpa perceraian, seperti pada kasus, apabila istri tersebut murtad, atau apabila ia seorang hamba sahaya kemudian ia dijual oleh tuannya, atau istri yang masih kanak-kanak, kemudian istri suami tersebut menyusuinya (sehingga ia menjadi anak susunya), atau ketika ibu suami itu menyusui anak istrinya… Atau istri seorang laki-laki yang murtad, atau istri yang terbukti terdapat padanya cacat, ‘uyuub yang menyebabkan gugurnya akad nikah, seperti apabila istri itu ternyata seorang wanita gila dan …. Bukankah dalam semua kasus di atas istri itu berpisah dari suaminya tanpa melalui proses talak?!

B. Seorang wanita yang dinikahi dengan akad Mut’ah tidak berarti selamanya menjadi monopoli suami itu yang tidak akan pernah bisa berpisah. Dalam nikah Mut’ah ketetapan tentang waktu berada di tangan si wanita dan pri itu. Merekalah yang menetukan jangka waktu bagi pernikahan tersebut.

C. Kedua ayat itu tidak mungkin dapat menasikhkan hukum nikah Mut’ah yang disepakati kaum Muslim (Sunni-Syi’ah) akan adanya di awal masa Islam.

Dan saya cukupkan dengan memaparkan contoh-contoh ayat yang diasumsikan sebagai penasakh hukum nikah Mut’ah yang telah ditetapkan dalam Ayat Mut’ah (ayat 24 surah An Nisaa’).
Dalil Sunnah
Adapun bukti dari sunnah Nabi saw. bahwa nikah mut’ah pernah disyari’atkan dalam Islam dan tidak pernah dimansukhkan oleh sesuatu apapun adalah banyak sekali, di antaranya ialah apa yang diriwayatkan “Imraan ibn Hushain” yang menegaskan bahwa ayat di atas turun berkaitan dengan hukum nikah mut’ah dan ia tetap, muhkam (berlaku) tidak dimansukhkan oleh sesuatu apapun sampai Umar mengharamkannya. Selain riwayat dari “Imraan ibn Hushain”, sahabat-sabahat lain seperti Jabir ibn Abdillah, Salamah ibn al-Akwa’, Abdullah ibn Mas’ud, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Akwa’ ibn Abdullah, seperti diriwayatkan hadis-hadis mereka oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya dan juga Imam Muslim dalam Shahihnya juga menegaskan disyari’atkannya nikah mut’ah. Al-hasil, hadis tentang pernah disyari’atkannya bahkan masih tetap dihalalkannya nikah mut’ah banyak sekali dalam buku-buku hadis andalan Ahlusunah.


Hukum Nikah Mut’ah Tidak Pernah Dimansukhkan
Para Imam suci Ahlubait as., dan tentunya juga para pengikut setia mereka (Syi’ah Imamiyah) meyakini bahwa nikah mut’ah masih tetap disyari’atkan oleh Islam dan ia halal sampai hari kiamat tiba, tidak ada sesuatu apapun yang menggugurkan hukum dihalalkannya.
Dan seperti telah Anda baca sebelumnya bahwa nikah mut’ah pernah disyari’atkan Islam; Alqur’an turun untuk membenarkan praktik nikah tersebut, Nabi saw. mengizinkan para sahabat beliau melakukannya, dan beliau juga memerintahkan juru penyampai untuk mengumandangkan dibelohkannya praktik nikah mut’ah. Jadi atas yang mengaku bahwa hukum nikah mut’ah yang telah ditetapkan Allah dan Rasul-Nya itu sekarang dilarang, maka ia harus mengajukan bukti.
Sementara itu, seperti akan Anda saksikan nanti, bahwa klaim adanya pengguguran (pe-mansuk-han) hukum tersebut adalah tidak berdasar dan tidak benar, ayat-ayat Alqur’an yang kata mereka sebagai pemansukh ayat mut’ah tidak tepat sasaran dan hanya sekedar salah tafsir dari mereka, sedangkan hadis-hadis yang mereka ajukan sebagai bukti adanya larangan juga centang perentang, saling kontradiksi, di samping banyak darinya yang tidak sahih. Di bawah ini akan saya sebutkan beberapa hadis yang tegas-tegas mengatakan bahwa nikah mut’ah adalah halal dan tidak pernah ada hukum Allah SWT yang mengharamannya.
Hadis Pertama: Hadis Abdullah ibn Mas’ud
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Qais ibn Abi Hazim ia mendengar Abdullah ibn Mas’ud ra. berkata:
“Kami berperang keluar kota bersama Rasulullah saw., ketika itu kami tidak bersama wanita-wanita, lalu kami berkata, “Wahai Rasulullah, bolehkah kami mengebiri diri?”, maka beliau melarang kami melakukannya lalu beliau mengizinkan kami mengawini seorang wanita dengan mahar (emas kawin) bitstsaub, sebuah baju. Setelah itu Abdullah membacakan ayat:

يَا أَيُّها الذِيْنَ آمَنُوا لاَ تُحَرِّمُوا طَيِّباتِ ما أَحَلَّ اللهُ لَكُمْ وَ لاَ تَعْتَدُوا، إِنَّ اللهَ لا يُحِبُّ المعْتَدِيِنَ.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengharamkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu dan jangan kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.(QS:5;87)“
Hadis di atas dapat Anda temukan dalam:
Shahih Bukhari:
-       Kitabut tafsir, bab Qauluhu Ta’ala يَا أَيُّها الذِيْنَ آمَنُوا لاَ تُحَرِّمُوا طَيِّباتِ ما أَحَلَّ اللهُ لَكُمْ . xxxx [7]
-       Kitabun Nikah, bab Ma Yukrahu minat Tabattul wal Khashbaa’. [8]
Shahih Muslim:
Kitabun Nikah, bab Ma Ja’a fi Nikah al-Mut’ah [9]
Ketika menerangkan hadis di atas, Ibnu Hajar dan al-Nawawi mengatakan:
“kata-kata ‘beliau mengizinkan kami mengawini seorang wanita dengan mahar (emas kawin) sebuah baju’ sampai jangka waktu tertentu dalam nikah mut’ah… .” Ia juga mengatakan bahwa pembacaan ayat tersebut oleh Ibnu Mas’ud adalah isyarat kuat bahwa beliau meyakni dibolehkannya nikah mut’ah, seperti juga Ibnu Abbas.
Hadis Kedua: Hadis Jabir Ibn Abdillah dan Salamah ibn al-Akwa’ ra.
A.    Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Hasan ibn Muhammad dari Jabir ibn Abdillah dan Salamah ibn Al-Akwa’ keduanya berkata:
“Kami bergabung dalam sebuah pasukan, lalu datanglah rasul (utusan) Rasulullah sa., ia berkata, “Sesungguhnya Rasulullah saw. telah mengizinkan kalian untuk menikah mut’ah, maka bermut’ahlah kalian.”
Hadis di atas dapat Anda baca dalam:
Shahih Bukhari: Kitabun Nikah, bab Nahyu Rasulillah saw ‘An-Nikah al-Mut’ah ‘Akhiran. [10]
Shahih Muslim: Kitabun Nikah, bab Nikah al-Mut’ah. [11]
Jabir ibn Abdillah dan Salamah ibn al-Akwa’: Sesungguhnya Rasulullah saw. datang menemui kami dan mengizinkan kami untuk bermut’ah. [12]
Hadis Ketiga: Hadis Jabir ibn Abdillah:
A.    Muslim meriwayatkan dari Atha’, ia berkata:
“Jabir ibn Abdillah datang untuk umrah, lalu kami mendatanginya di tempat tinggalnya dan orang-orang bertanya kepadanya banyak masalah, kemudian mereka menyebut-nyebut mut’ah, maka Jabir berkata, “Kami bermut’ah di masa Rasulullah saw., masa Abu Bakar dan masa Umar.” [13]

B.    Dari Abu Bashrah, ia berkata, “Aku berada di sisi Jabir lalu datanglah seseorang dan berkata, ” Ibnu Abbas dan Ibnu Zubair berselisih tentang dua jenis mut’ah”. Jabir berkata,” Kami melakukannya bersama Rasululah saw., kemudian Umar melarang melaksanakan keduanya, maka kami tidak kembali (melakukannya) lagi.” [14]

C.    Abu Zubair berkata, “Aku mendengar Jabir ibn Abdillah berkata: “Kami bermut’ah dengan emas kawin (mahar) segenggam kurma dan tepung untuk jangka waktu beberapa hari di masa Rasulullah saw. dan masa Abu Bakar, sampai Umar melarangnya kerena kasus Amr ibn Huraits.” [15]

Ibnu Jakfari berkata:

Jelaslah bahwa maksud Jabir dengan ucapannya bahwa “Kami bermut’ah di masa Rasulullah…”, “Kami melakukannya bersama Rasululah saw” bukanlah bahwa saya sendirian melakukannya hanya sekali saja, akan tetapi ia hendak menjelaskan bahwa kami (saya dan rekan-rekan sahabat Nabi saw.) melakukannya banyak kali, dan dengan sepengetahuan Nabi saw., beliau membenarkannya dan tidak melarangnya sampai beliau dipanggil Allah SWT ke alam baqa’. Dan ini adalah bukti kuat bahwa tidak pernah ada pengharaman dari Allah dan Rasul-Nya, nikah mut’ah tetap halal hingga hari kiamat, sebab “halalnya Muhammad saw. adalah halal hingga hari kiamat dan haramnya Muhammad adalah haram hingga hari kiamat”, kecuali jika kita meyakini bahwa ada nabi baru setelah Nabi Muhammad saww dan ada wahyu baru yang diturunkan Jibril as. setelah sempurnanya agama Islam.

Adapun arahan sebagian ulama, seperti al-Nawawi yang mengatakan bahwa para sahabat mulia itu mempraktikan nikah mut’ah di masa hidup Nabi saw. dan juga di masa kekhalifahan Abu Bakar dan beberapa tahun masa kekhalifahan Umar itu dikarenakan mereka belum mengetahui pemansukhan hukum tersebut, adalah ucapan tidak berdasar, sebab bagainama mungkin pemansukhan itu samar atas para sahabat itu -dan tidak jarang dari mereka yang dekat persahabatannya dengan Nabi saw.-, sementara pemansukhan itu diketahui oleh sahabat-sabahat “cilik” seperti Abdullah ibn Zubair atau yang lainnya?!

Bagaimana mungkin juga hukum pengharaman mut’ah itu juga tidak diketahui oleh Khalifah Umar, sehingga ia membiarkan praktik nikah mut’ah para sabahat, dan baru sampai kepadanya berita pemansukhan itu di masa akhir kekhalifahannya?! Ketika menerangkan ucapan Jabir, “sampai Umar melarangnya”, Al-Nawawi berkata, “Yaitu ketika sampai kepadanya berita pemansukhan.”[16]

Selain itu jelas sekali dari ucapan Jabir bahwa ia menisbatkan pengharaman/ larangan itu kepada Umar “sampai Umar melarangnya kerena kasus Amr ibn Huraits”. Jadi larangan itu bukan datang dari Allah SWT dan Rasul-Nya, ia datang dari Khalifah Umar dalam kasus Amr ibn Huraits. Umar sendiri seperti telah Anda baca dalam pidatonya menegakan bahwa dua jenis mut’ah itu ada di masa Rasululah saww. dan beliau menghalalkannya, namun ia (Umar) melarangnya!

Coba Anda perhatikan hadis di bawah ini: Al-Baihaqi meriwayatkan dalam as-Sunan al-Kubranya dari Abu Nadhrah dari Jabir ra.:
saya (Abu Nadhrah) berkata, ” Sesungguhnya Ibnu Zubair melarang mut’ah dan Ibnu Abbas memerintahkannya”. Maka jabir berkata, “Di tangan sayalah hadis ini berputar, kami bermut’ah bersama Rasulullah saw. dan Abu Bakar ra. dan ketika Umar menjabat sebagai Khalifah ia berpidato di hadapan orang-orang, “Hai sekalian manusia, sesungguhnya Rasulullah saw. adalah Rasul utusan Allah, dan Alqur’an adalah Alqur’an ini. Dan sesungguhnya ada dua jenis mut’ah yang berlaku di masa Rasulullah saw., tapi aku melarang keduanya dan memberlakukan sanksi atas keduanya, salah satunya adalah nikah mut’ah, dan saya tidak menemukan seseorang yang menikahi wanita dengan jangka tertentu kecuali saya lenyapkan dengan bebatuan. Dan kedua adalah haji tamattu’, maka pisahkan pelaksanaan haji dari umrah kamu karena sesungguhnya itu lebih sempurna buat haji dan umrah kamu.” [17]

Dan selain hadis yang telah disebutkan di atas masih banyak hadis-hadis lain yang sengaja saya tinggalkan, sebab apa yang telah disebut sudah cukup mewakili.
Dan kini mari kita meyimak hadis-hadis yang mengharamkan nikah Mut’ah.
Riwayat-riwayat Pengharaman Nikah Mut’ah
Setelah kita simak sekelumit hadis yang menerangkan tetap berlakunya hukum kehalalan nikah mut’ah, maka sekarang kami akan mencoba menyajikan beberapa hadis terkuat yang dijadikan hujjah oleh mereka yang meyaniki bahwa hukum halalnya nikah mut’ah telah dimansukhkan.
Sebelumnya perlu diketahui bahwa kasus pengharaman nikah mut’ah -dalam pandangan yang mengharamnkan- adalah terbilang kasus aneh yang tidak pernah dialami oleh satu hukum Islam lainnya, yaitu dihalalkan kemudian diharamkan, kemudian dihalalkan dan kemudian diharamkan lagi. Dan sebagiannya hanya berlangsung beberapa hari saja. [18]
Imam Muslim dalam kitab Shahihnya menulis sebuah judul, “Bab Nikah-ul Mut’ah wa Bayaanu ‘Annahu Ubiiha Tsumma Nusikha Tsumma Ubiiha Tsumma Nusikha wa istaqarra Tahriimuhu Ila yaumil Qiyamah (Bab tentang Nikah mut’ah dan keterangan bahwa ia dibolehkan kemudian dimansukkan kemudian dibolehkan kemudian di mansukhkan dan tetaplah pengharaman hingga hari kiamat)”.

Dalam tafsirnya, Ibnu Katsir mengatakan, “Imam Syafi’i dan sekelompok ulama berpendapat bahwa nikah mut’ah dibolehkan kemudian dimansukhkan kemudian dibolehkan kemudian dimansukhkan, dua kali.” [19]
Al-Qurthubi dalam tafsirnya mengatakan:
“Masalah kesepuluh: para ulama berselisih pendapat berapa kali ia dibolehkan dan mansukhkan… ia mengatakan bahwa mut’ah pada awalnya dilarang kemudian dibolehkan kemudian Nabi melarang pada perang Khaibar kemudian mengizinkan lagi pada fathu Makkah kemudian mengharamkannya setelah tiga hari berlaku dan ia haram hingga hari kiamat. Ibnu al-Arabi berkata: “Adapun nikah mut’ah ia termasuk hukum syari’at yang aneh sebab ia dibolehkan pada awal masa Islam kemudian diharamkan pada perang Khaibar kemudian dibolehkan pada perang Awthas kemudian di haramkan setelah itu dan tetaplah pengharaman, dan tidak ada yang menyamainya kecuali masalah kiblat… ulama lain yang telah merangkum hadis-hadis masalah ini mengatakan ia meniscayakan adanya penghalalan dan pengharaman sebanyak tujuh kali…”. [20]
Kemudian ia menyebutkan tujuh peristiwa dan kesempatan penghalalan dan pengharaman nikah mut’ah tersebut yang terbilang aneh yang tetuntunya mengundang kecurigaan akan kebenarnnya itu. Sebab kesimpulan ini diambil sebenarnya karena mereka menerima sekelompok hadis yang mengharamkan nikah tersebut, sementara hadis-hadis itu tidak sepakat dalam menyebutkan waktu ditetapkannya pengharaman, akaibatnya harus dikatakan bahwa ia terjadi bebarapa kali. Hadis-hadis tentangnya dapat kita kelompokkan dalam dua klasifikasi global,
pertama, hadis-hadis yang dipandang lemah dan cacat baik sanad maupun matannya oleh para pakar dan ulama Ahlusunnah sendiri. Hadis-hadis kelompok ini tidak akan saya sebutkan dalam kajian kali ini, sebab pencacatan para pakar itu sudah cukup dan tidak perlu lagi tambahan apapun dari saya, dan sekaligus sebagai penghematan ruang dan pikiran serta beban penelitian yang harus dipikul.

Kedua, hadis-hadis yang disahihkan oleh para ulama Ahlusunnah, namun pada dasarnya ia tidak sahih, ia lemah bahkan sangat kuat kemungkinan ia diproduksi belakangan oleh para sukarelawan demi mencari “keridhaan Allah SWT”, hasbatan, untuk mendukung dan membenarkan kebijakan para khulafa’.

Dan untuk membuktikan hal itu saya perlu melakukan uji kualitas kesahihan hadis sesuai dengan kaidah-kaidah yang dirancang para pakar dan ulama.
Hadis Pertama:
Dalam Shahih Muslim, Sunan al-Nasa’i, al-Baihaqi dan Mushannaf Abdir Razzaq, (dan teks yang saya sebutkan dari Mushannaf) dari Ibnu Syihab al-Zuhri, dari Abdullah dan Hasan keduanya putra Muhammad ibn Ali (Hanafiyah) dari ayah mereka, bahwa ia mendengar Ali berkata kepada Ibnu Abbas, “Sesungguhnya kamu benar-benar seorang yang taaih (bingung dan menyimpang dari jalan mustaqiim), sesungguhnya Rasulullah saw. telah melarangnya (nikah mut’ah) pada hari peperangan Khaibar dan juga mengharamkan daging keledai jinak.” [21]
Hadis di atas dengan sanad yang sama dan sedikit perbedaan dalam redaksinya dapat Anda jumpai dalam Shahih Bukhari, Sunan Abu Daud, Ibnu Majah, al-Turmudzi, al-Darimi, Muwaththa’ Imam Malik, Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, Musnad Ahmad dan al-Thayalisi dll.[22]
 Hadis kedua:


Para muhaddis meriwayatkan dari Abu Dzar al-Ghiffari ra. bahwa ia berkata:
“Sesungguhnya nikah mut’ah itu hanya dihalalkan khusus untuk kami para sahabat Rasulullah saw. untuk jangka waktu tiga hari saja kemudian setelahnya Rasulullah saw. melarangnya.” Dalam riwayat lain disebutkan, “Itu dibolehkan karena rasa takut kita dan karena kita sedang berperang.” [23]
Hadis Ketiga:
Dalam Shahih Muslim, Sunan al-Darimi, Ibnu Majah, Abu Daud, dan lainnya (redaksi yang saya sebutkan in dari Muslim) dari Saburah al-Juhani, sesungguhnya ia berperang bersama Rasulullah saw. menaklukkan kota Mekkah. Ia berkata,
“Kami tinggal selama lima belas hari (tiga puluh malam dan siang), maka Rasulullah saw. mengizinkan kami menikahi wanita dengan nikah mut’ah. Lalu saya dan seseorang dari kaumku keluar, dan aku memiliki kelebihan ketampanan di banding dia, ia sedikit jelek, masing-masing kami membawa selimut, selimutku agak jelek adapun selimut miliknya baru, sampailah kami dibawah lembah Mekkah atau di atasnya, kami berjumpa dengan seorang wanita tinggi semanpai dan lincah, kami berkata kepadanya, “Apakah Anda sudi menikah mut’ah dengan salah seeoarng dari kami?” wanita itu bertanya, “Apa yang akan kalian berikan sebagai mahar?”. Maka masing-masing dari kami membeberkan selimutnya, wanita itu memperhatikan kami, dan ia melihat bahwa temanku memperhatikan dirinya dari kaki hingga ujung kepala, temanku berkata, “Selimut orang ini jelek sedangkan selimutku baru”. Kemudian wanita itu megatakan, “Selimut orang itu lumayan. Ia ucapkan dua atau tiga kali. Kemudian saya menikahinya dengan nikah mut’ah, dan aku belum menyelesaikan jangka waktuku melainkan Rasululah saw. telah mengharamkannya. [24]
Dalam riwayat lain: Rasulullah saw. bersabda, “Hai manusia! Sesungguhnya aku telah mengizinkan kalian bermut’ah dan sesungguhnya Allah telah mengharamkannya sekarang hingga hari kiamat.” [25]

Dalam riwayat lain: “Aku menyaksikan Rasulullah berdiri diantara rukun dan maqam (dua sudut ka’bah) sambil bersabda…. (seperti sabda di atas)”. [26]
Dalam riwayat lain: “Rasululah memerintah kami bermut’ah pada tahun penaklukan kota Mekkah ketika kami memasuki kota tersebut, kemudian kami tidak keluar darinya melainkan beliau telah melarangnya”. [27]
Dalam riwayat lain: “Aku benar-benar telah bermut’ah di masa Rasulullah saw. dengan seorang wanita dari suku bani ‘Amir dengan mahar dua helai selimut berwarna merah kemudian Rasulullah saw. melarang kami bermut’ah”. [28]
Dalam riwayat lain: “Sesungguhnya Rasulullah saw. melarang nikah mut’ah pada Fathu Makkah”. [29]
Dalam riwayat lain: “Sesungguhnya Rasulullah saw. melarang mut’ah, beliau bersabda, “Sesungguhnya ia haram sejak hari ini hingga hari kiamat”. [30]
Dalam Sunan Abu Daud, al-Baihaqi dan lainnya diriwayatkan dari Rabi’ ibn Saburah, ia berkata, “Aku bersaksi atas ayahku bahwa ia menyampaikan hadis bahwa Rasulullah saw. melarang nikah mut’ah pada haji wada“. [31]


Dalam riwayat lain: “Rasulullah saw. melarang nikah mut’ah pada fathu Mekkah”. [32]
Hadis Keempat:
Dalam Shahih Muslim, Mushannaf Ibn Abi Syaibah, Musnad Ahmad dan lainya (dan redaksi yang saya kutip adalah dari Muslim) diriwayatkan dari Salamah ibn al-Akwa’, ia berkata, “Rasulullah saw. mengizinkan pada tahun perang Awthas untuk bermut’ah selama tiga hari kemudian beliau melarangnya.” [33] Awthas adalah lembah di kota Thaif. Dan perlu Anda ketahui bahwa peristiwa Awthas terjadi beberapa bulan setelah fathu Mekkah, walaupun dalam tahun yang sama. [34]
Inilah beberapa hadis yang menjadi andalah dan sandaran terkuat pengharaman nikah mut’ah oleh Nabi saw. dan saya berusaha meriwayatkannya dari sumber-sumber terpercaya. Dan kini mari kita telaah hadis-hadis di atas tersebut.
Tentang hadis Imam Ali as. Ada pun tentang hadis Imam Ali as. yang diriwayatkan Zuhri melalui dua cucu Imam Ali as.; Abdullah dan Hasan putra Muhammad ibn Ali as. yang mendapat sambutan luar biasa sehingga hampir semua kitab [35] hadis berebut “hak paten” dalam meriwayatkannya, -tidak seperti biasanya dimana kitab- kitab itu kurang antusias dalam meriwayatkan hadis-hadis dari beliau as. dan tidak memberikan porsi layak bagi hadis-adis Imam Ali as. seperti porsi yang diberikan kepada riwayat-riwayat para sahabat yang berseberangan dengan beliau dan yang diandalkan oleh para penentang Ali as. dan Ahlulbait Nabi saw.-.
Adapun tentang hadis Imam Ali di atas maka ada beberapa hal yang perlu Anda ketahui tentangnya.

Pertama,

ia dari riwayat Zuhri, nama lengkapnya adalah Muhammad bin Ubaidillah bin Abdullah bin Syihab Az Zuhri lahir pada tahun 58 H dan wafat tahun 124H. Ia dekat sekali dengan Abdul Malik bin Marwan dan Hisyam bin Abdul Malik dan pernah dijadikan qodhi (jaksa) oleh Yazid bin Abdul Malik. Ia dipercaya Hisyam menjadi guru privat putra-putra istana. Ibnu Hajar dalam kitab Tahdzib-nya [36] menyebutkan, “Hisyam memerintahnya untuk mengajarkan kepada putra-putranya hadis, lalu ia mendektekan empat ratus hadis”.
Tampaknya Zuhri sangat diandalkan untuk meramu riwayat demi mendukung kepentingan rezim bani Umayyah yang berkuasa saat itu dengan menyajikan riwayat-riwayat yang berseberangan dengan ajaran Ahlulbait as. namun justru dia sajikan dengan menyebut nama para pemuka Ahlulbait as. sendiri, atau riwayat-riwayat yang justru melecehkan keagungan Ahlulbait as., namun sekali lagi ia sajikan dengan mengatas-namakan pribadi-pribadi agung Ahlulbait as., seperti tuduhannya melalui riwayat yang ia produksi bahwa Imam Ali dan Fatimah as. melakukan tindakan kekafiran dengan menentang Nabi saw. Zuhri tampaknya memilih spesialisasi dalam bidang ini. Dan adalah aneh seorang Zuhri yang dikenal benci kepada Imam Ali as. tiba-tiba sekarang tampil sebagai seorang muhaddis yang sangat peduli dalam menyampaikan riwayat-riwayat dari Ali as.
Ibnu Abi al-Hadid, ketika menyebut nama-nama para perawi yang membenci Imam Ali as, ia menyebut, “Dan Zuhri adalah termasuk yang menyimpang dari Ali as”. [37]
Sufyan bin Wakii’ menyebutkan bahwa Zuhri memalsukan banyak hadis untuk kepentingan Bani Marwan. Ia bersama Abdul Malik melaknat Ali as. Asy-Syadzkuni meriwayatkan dari dua jalur sebuah berita yang menyebutkan bahwa Zuhri pernah membunuh seorang budaknya tanpa alasan yang dibenarkan. [38]
Kedua,

terlepas dari penilaian kita terhadap kualitas salah satu mata rantai perawi dalam hadis tersebut yang telah Anda baca, maka di sini ada beberapa catatan yang perlu Anda perhatikan. Pertama: Dalam hadis tersebut ditegaskan bahwa Imam Ali as. menegur dan menyebut Ibnu Abbas ra. sebagai seorang yang menyimpang karena ia masih menghalalkan nikah mut’ah padahal nikah tersebut telah diharamkan pada peristiwa peperangan Khaibar. Selain nikah mut’ah, daging keledai jinak juga diharamkan saat itu. Jadi menurut Imam Ali as. keduanya diharamkan pada peristiwa tersebut.
Di sini kita perlu meneliti kedua masalah ini, akan tetapi karena yang terkait dengan masalah kita sekarang adalah nikah mut’ah maka telaah saya akan saya batasi pada pengharaman nikah mut’ah pada hari Khaibar.
Pengharaman nikah Mut’ah pada hari Khaibar
Pengharaman Nabi saw. atas nikah mut’ah pada peristiwa Khaibar, seperti ditegaskan para ulama Ahlusunnah sendiri, seperti Ibnu Qayyim, Ibnu Hajar dkk. tidak sesuai dengan kanyataan sejarah, sebab beberapa tahun setelah itu nikah mut’ah masih dibolehkan oleh Nabi saw., seperti contoh pada tahun penaklukan kota Mekkah. Oleh karenanya sebagian menuduh Imam Ali as. bodoh dan tidak mengetahui hal itu, sehingga beliau menegur Ibnu Abbas dengan teguran yang kurang tepat, sebab, kata mereka semestinya Imam Ali as. berhujjah atas Ibnu Abbas dengan pengharaman terakhir yaitu pada penaklukan kota Mekkah agar hujjah sempurna, dan kalau tidak maka hujjah itu tidak mengena[39]

Selain itu, dalam peristiwa penyerangan ke kota Khaibar, tidak seorangpun dari sahabat Nabi saw. yang bermut’ah dengan wanita-wanita yahudi, dan mereka tidak juga memohon izin kepada Nabi saw. untuk melakukannya. Tidak seorangpun menyebut-nyebut praktik sabahat dan tidak ada sebutan apapun tentang mut’ah. Di kota Khaibar tidak ada seorang wanita muslimahpun sehingga sah untuk dinikahi secara mut’ah, sementara dihalalkannya menikah dengan wanita yahudi itu belum disyari’atkan, ia baru disyari’atkan setelah haji wada’ dengan firman Allah ayat 5 surah al-Maidah. Demikian ditegaskan Ibnu Qayyim dalam Zaad al-Ma’aad. [40]
Ketika menerangkan hadis Imam Ali as. dalam kitab al-Maghazi, bab Ghazwah Khaibar, Ibnu Hajar al-Asqallani menegaskan, “Dan kata pada hari Khaibar bukan menunjukkan tempat bagi diharamkannya nikah mut’ah, sebab dalam ghazwah (peperangan) itu tidak terjadi praktik nikah mut’ah”. [41]
Ibn Hajar juga menukil al-Suhaili sebagai mengatakan, “Dan terkait dengan hadis ini ada peringatan akan kemusykilan, yaitu sebab dalam hadis itu ditegaskan bahwa larangan nikah mut’ah terjadi pada peperangan Khaibar, dan ini sesuatu yang tidak dikenal oleh seorangpun dari ulama pakar sejarah dan perawi atsar/data sejarah. [42]
Al-hasil, hadis tersebut di atas tegas-tegas mengatakan bahwa pada peristiwa Khaibar Nabi mengharamkan nikah mut’ah dan juga keledai, Ibnu Hajar berkomentar, “Yang dzahir dari kata-kata (dalam hadis itu) pada zaman Khaibar adalah menunjuk waktu pengharaman keduanya (mut’ah dan daging keledai)” [43] , sementara sejarah membuktikan bahwa pada peristiwa itu sebenarnya tidak terjadi pengharaman, sehingga untuk menyelamatkan wibawa hadis para muhadis agung itu, mereka meramu sebuah solusi yang mengatakan bahwa hadis Imam Ali as. itu hanya menujukkan pengharaman keledai saja, adapun pengharaman nikah mut’ah sebenarnya hadis itu tidak menyebut-nyebutnya barang sedikitpun!
Penafsiran nyeleneh ini disampaikan oleh Sufyaan ibnu Uyainah, ia berkata, “Kata-kata (dalam hadis itu) pada zaman Khaibar hanya terkait dengan waktu pengharaman keledai jinak bukan terkait dengan nikah mut’ah.” [44]
Dan upaya untuk mengatakan bahwa hadis itu tidak menunjukkan pengharaman nikah mut’ah pada zaman Khaibar yang dilakukan sebagian ulama hanya karena mereka terlanjur mensahihkan hadis-hadis yang mengatakan bahwa sebenarnya nikah mut’ah itu masih dibolehkan setelah zaman Khaibar. Demikian diungkap oleh Ibnu Hajar. [45]
Akan tetapi arahan itu sama sekali tidak benar, ia menyalahi kaidah bahasa Arab dan lebih mirip lelucon, sebab;
A.    Dalam dialek orang-orang Arab dan juga bahasa apapun, jika Anda mengatakan, misalnya
أَكْرَمْتُ زَيْدًا و عَمْروًا يَوْمَ الجمعةِ

“Saya menghormati Zaid dan ‘Amr pada hari jum’at”

maka semua orang yang mendengarnya akan memahami bahwa penghormatan kepada keduanya itu terjadi dan dilakukan pada hari jum’at.
Bukan bahwa dengan kata-kata itu Anda hanya bermaksud menghormati ‘Amr saja, sementara terkait dengan pak Zaid Anda tidak maksudkan, penghormatan itu mungkin Anda berikan pada hari lain. Sebab jika itu maksud Anda semestinya Anda mengatakan

أَكْرَمْتُ زَيْدًا و أَكْرَمْتُ عَمْروًا يَوْمَ الجمعةِ

“Saya menghormati Zaid , dan saya menghormati ‘Amr pada hari jum’at”.

Dalam riwayat itu kata kerja nahaa itu hanya disebut sekali, oleh karena itu ia mesti terkait dengan kedua obyek yang disebutkan setelahnya. Dan saya tidak yakin bawa para ulama itu tidak mengerti kaidah dasar bahasa Arab ini.

B.    Anggapan itu bertentangan dengan banyak riwayat hadis Imam Ali as. dan juga dari Ibnu Umar yang diriwayatkan para tokoh muhadis, seperti Bukhari, Muslim, Ibnu Majah dan Ahmad yang tegas-tegas menyebutkan bahwa waktu pengharaman nikah mut’ah adalah zaman Khaibar. Merka meriwayatkan:

نَهَى رسولُ اللهِ (ص) عن مُتْعَةِ النساءيَومَ خيْبَر، و عن لُحُومِ الحمرِ الإنْسِيَّةِ.
“Rasulullah saw. melarang nikah kmut’ah pada hari Khaibar, dan juga daging keledai”. [46]
Ibnu Jakfari berkata:

Bagaimana kita dapat benarkan riwayat-riwayat kisah pengharaman itu baik di hari Khaibar maupun hari dan kesempatan lainnya, sementara telah datang berita pasti dan mutawatir bahwa Khalifah Umar ra. berpidato mengatakan bahwa dua jenis mut’ah itu ada dan berlaku di masa hidup Nabi saw. akan tetapi saya (Umar) melarang, mengharamkan dan merajam yang melakukan nikahnya:

مُتْعَتانِ كانَتَا على عَهْدِ رَسُول ِاللهِ أنا أَنْهَى عَنْهُما وَ أُعاقِبُ عليهِما : مُتْعَةُ الحج و متعة النِّسَاءِ.

“Ada dua bentuk mut’ah yang keduanya berlaku di sama Rasulullah saw., aku melarang keduannya dan menetepkan sanksi atas (yang melaksanakan) keduanya: haji tamattu’ dan nikah mut’ah. [47]
Bagaimana dapat kita benarkan riwayat-riwayat itu sementara kita membaca bahwa Jabir ibn Abdillah ra. berkata dengan tegas, “kami bermut’ah di masa Rasulullah saw., masa Abu Bakar dan masa Umar.” [48]
Dalam kesempatan lain ia mengatakan, “Kami bermut’ah dengan emas kawin (mahar) segenggam kurma dan tepung untuk jangka waktu beberapa hari di masa Rasulullah saw. dan masa Abu Bakar, sampai Umar melarangnya kerena kasus Amr ibn Huraits.” [49]

Bagaimana kita dapat menerima riwayat hadis-hadis yang mengatakan bahwa nikah mut’ah telah diharamkan di masa Nabi saw. oleh beliau sendiri, sementara itu Khalifah Umar tidak pernah mengetahuinya, tidak juga Khalifah Abu Bakar dan tidak juga para sahabat dan tabi’in mengetahuinya, bahkan sampai zaman kekuasaan Abdullah ibn Zubair -setelah kematian Yazid ibn Mu’awiyah- dan tidak juga seorang dari kaum Muslim mengetahui riwayat-riwayat sepeti itu. Andai mereka mengetahuinya pasti ia sangat berharga dan sangat mereka butuhkan dalam mendukung pendapat mereka tentang pengharaman nikah mut’ah tersebut.

Dan pastilah para pendukung kekhalifahan akan meresa mendapat nyawa baru untuk membela diri dalam pengharaman sebagai tandingan bukti-bukti sunah yuang selalu di bawakan sahabat-sabahat lain yang menhalalkan nikah mut’ah seperti Ibnu Abbas, Abdullah ibn Mas’ud dan Jabir, misalnya.

Dalam perdebatan yang terjadi antara pihak yang mengharamkan dan pihak yang menhalalkan mereka yang mengharamkan tidak pernah berdalil bahwa Rasulullah saw. telah mengharamkannya di Khaibar… atau pada peristiwa penaklukan kota Mekkah dan lain sebaigainya. Bagaimana mungkin hadis Imam Ali as. dapat kita terima sementara kita menyaksikan bahwa beliau bersabda:

,
لَوْ لاَ أَنَّ عُمر نَهَى الناسَ عَنِ المُتْعَةِ ما زَنَى إلاَّ شَقِيٌّ.

“Andai bukan karena Umar melarang manusia melakukan nikah mut’ah pastilah tidak akan berzina kecuali orang yang celaka”.Demikian disebutkan ar Razi dari al-Thabari. [50]

Dan Muttaqi al-Hindi meriwayatkan dari Imam Ali as. beliau bersabda:

لَوْ لا ما سَبَقَ مِنْ نَهْيِ عُمر بن الخطاب لأَمَرْتُ بالمُنْعَةِ، ثُمَّ ما زنى إلا شقي

“Andai bukan karena Umar ibn Khaththab sudah melarang nikah mut’ah pastilah akan aku perintahkan dengannya dan kemudian tidaklah menlakukan zina kecuali orang yang celaka”. [51]

Bagaimana mungkin kita menerima riwayat para ulama itu dari Imam Ali as. yang menegur Ibnu Abbas ra. sementara kita menyaksikan Ibnu Abbas adalah salah satu sahabat yang begitu getol menyuarakan hukum halalnya nikah mut’ah, beliau siap menerima berbagai resiko dan teror dari Abdullah ibn Zubair pemberontak yang berhasil berkuasa setelah kematian Yazid?

Apakah kita menuduh bahwa Ibnu Abbas ra. degil, angkuh menerima kebenaran yang disampaikan maha gurunya; Imam Ali as. sehingga ia terus saja dalam kesesatan pandangannya tentang halalnya nikah mut’ah? Adapun dongeng-dengeng yang dirajut para sukarelawan bahwa Ibnu Abbas bertaubat dan mencabut fatwanya tentang halalnya nikah mut’ah, adalah hal mengelikan setelah bukti-bukti tegak dengan sempurna bahwa ia tetap hingga akhir hayatnya meyakni kehalalan nikah mut’ah dan mengatakannya sebagai rahmat dan kasih sayang Allah SWT untuk hamb-hamba-Nya:

ما كانَتْ المُتْعَةُ إلاَّ رَحْمَةً رَحِمَ اللهُ بِها أُمَّةَ محمد (ص)، لَوْ لاَ نَهْيُهُ (عمر) ما احْتاجَ إلى الزنا إلاَّ شقِي

Tiada lain mut’ah itu adalah rahmat, dengannya Allah merahmati umat Muhammad saw., andai bukan karena larangan Umar maka tiada membutuhkan zina kecuali seorang yang celaka. [52]

Bagaimana dongeng rujuknya Ibnu Abbas ra. dapat dibenarkan sementara seluruh ahli fikih kota Mekkah dan ulama dari murid-muridnya meyakini kehalalan nikah mut’ah dan mengatakan bahwa itu adalah pendapat guru besar mereka?!

Telaah terhadap Hadis Rabi’ ibn Saburah

Adapun tentang riwayat-riwayat Rabi’ ibn saburah, Anda perlu memperhatikan poin-poin di bawah ini.

Pertama,

seperti Anda saksikan bahwa banyak atau kebanyakan dari riwayat-riwayat para muhadis Ahlusunnah tentang pengharaman nikah mut’ah adalah dari riwayat Rabii’ -putra Saburah al-Juhani- dari ayahnya; Saburah al-Juhani. Hadis-hadis riwayat Saburah al-Juhani tentang masalah ini berjumlah tujuh belas, Imam Muslim meriwayatkan dua belas darinya, Imam Ahmad meiwayatkan enam, Ibnu Majah meriwayatkan satu hadis. Dan di dalamnya terdapat banyak berbeda-beda dan ketidak akuran antara satu riwayat dengan lainnya.

Di antara kontradiksi yang ada di dalamnya ialah:
A.    Dalam satu riwayat ia menyebutkan bahwa yang bermut’ah dengan wanita yang ditemui adalah ayahnya, sementara dalam riwayat lain adalah temannya.
B.    Dalam sebuah riwayat ia menyebutkan bahwa bersama ayahnya adalah temannya dari suku bani Sulaim, sementara dalam riwayat lain adalah anak pamannya.
C.    Dalam beberapa riwayat ia mengatakan bahwa mahar yang diberikan kepada wanita itu adalah sehelai kain selimut, sementara dalam riwayat lainnya ia mengatakan dua selimut berwarna merah.
D.    Sebagian riwayatnya mengatakan bahwa wanita itu memilih ayahnya karena ketampanan dan ayahnya masih muda sementara yang lain mengatakan karena selimut ayahnya masih baru.
E.     Dalam beberapa riwayat ia mengatakan bahwa ayahnya sempat bersama wanita itu selama tiga hari sebelum akhirnya dilarang Nabi saw. sementara yang lainnya mengatakan bahwa hanya semalam, dan keesokan harinya telah dilarang.
F.     Dalam beberapa riwayat ia mengatakan bahwa ayahnya sejak hari pertama kedatangan di kota Mekkah telah keluar mencari wanita yang mau dinikahi secara mut’ah, sementara yang lainnya mengatakan bahwa itu setelah lima belas hari, setelah Nabi saw. mendapat laporan bahwa wanita-wanita di Mekkah tidak mau kecuali nikah dengan jangka waktu, kemudian Nabi saw. mengizinkan dan Saburah pun keluar mencari wanita yang mau dinikahi. Dan masih banyak pertentangan lain yang dapat disaksikan dalam riwayat-riwayat yang dikutip dari Rabi’ ibn Saburah, seperti apakah ayahnya sebelumnya telah mengetahui konsep nikah mut’ah, atau belum, ia baru tahu dan diizinkan Nabi saw. setelah wanita-wanita kota Mekkah enggan kecuali nikah dengan jangka waktu.

Kedua,

disamping itu kita menyaksikan bahwa Saburah ayah Rabi’ -sang perawi- mendapat izin langsung dari Rasulullah saw. untuk bermut’ah, atau dalam riwayat lain Nabi-lah yang memerintah para sahabat beliau untuk bermut’ah dihari-hari penaklukan (fathu) kota Mekkah, dan setelah ia langusng merespon perintah atau izin itu, dan ia mendapatkan pada hari itu juga wanita yang ia nikahi secara mut’ah tiba-tiba keesokan harinya ketika ia salat subuh bersama Nabi saw. beliau berpidato mengharamkan nikah mut’ah yang baru saja beliau perintahkan para sahabat beliau untuk melakukannya, logiskah itu?! Dalam sekejap mata, sebuah hukum Allah SWT berubah-ubah, hari ini memerintahkan keesokan harinya mengharamkan dengan tanpa sebab yang jelas!Tidakkah para pakar kita perlu merenungkan kenyataan ini?!

Ketiga,

terbatasnya periwayatan kisah Saburah hanya pada Rabi’ putranya mengundang kecurigaan, sebab kalau benar ada pe-mansuk-han kehalalan nikah mut’ah pastilah para sahabat besar mengetahuinya, seperti tentang penghalalan yang diriwayatkan oleh para sahabat besar dan dekat.

Keempat,

riwayat Rabi’ ibn Saburah itu bertentangan dengan riwayat para sahabat lain seperti Jabir ibn Abdillah, Abdullah ibn Mas’ud, Ibnu Abbas, ‘Imraan ibn Hushain, Salamah ibn al-Akwa’ dan kawan-kawan.

Dan riwayat-riwayat mereka tidak mengahadapi masalah-masalah seperti yang menghadangf riwayat-riwayat Rabi’ ibn Saburah.

Catatan Penting!

Sebenarnya dalam peristiwa itu tidak ada pengharaman yang ada hanya Nabi saw. memerintah para sahabat yang bermut’ah dan jangka waktunya belum habis agar meninggalkan wanita-wanita itu sebab Rasulullah saw. bersama rombongan akan segera meninggalkan kota Mekkah. Akan tetapi para sukarelawan itu memanfaatkan hal ini dan memplesetkannya dengan menambahkan bahwa Nabi berpidato mengharamkannya. Sekali lagi, Nabi saw. hanya memerintahkan para sahabat beliau yang bermut’ah agar menghibahkan sisa waktu nikah mut’ah mereka kepada wanita-wanita itu sebab rombongan segera meninggalkan kota suci Mekkah.

Hal ini dapat Anda temukan dalam riwayat Imam Muslim dalam Shahihnya, Ahmad dalam Musnadnya, dan al-Baihaqi dalam Sunannya, juga dari Sabrah. Dari Rabi’ ibn sabrah al-Juhani dari ayahnya, ia berkata, “Rasulullah saw. mengizinkan kami bermut’ah, lalu aku bersama seorang berangkat menuju seeorang wanita dari suku bani ‘Amir, wanita itu muda, tinggi semampai berleher panjang, kami menawarkan diri kami, lalu ia bertanya, “Apa yang akan kalian berikan?” Aku menjawab, “Selimutku”. Dan temanku berkata, “Selimutku”. Selimut temanku itu lebih bagus dari selimutku tapi aku lebih muda darinya. Apabila wanita itu memperhatikan selimut temanku, ia tertarik, tapi ketika ia memandangku ia tertarik denganku. Lalu ia berkata, “Kamu dan selimutmu cukup buatku! Maka aku bersamanya selama tiga hari, kemudian Rasulullah saw. bersabda, “Barang siapa di sisinya ada seorang wanita yang ia nikahi dengan mut’ah hendaknya ia biarkan ia pergi/tinggalkan”. [53]

Dalam pernyataan itu tidak ada pengharaman dari Nabi saw. Ada pun hadis Abu Dzar, adalah aneh rasanya hukum itu tidak diketahui oleh semua sahabat sepanjang masa hidup mereka sepeninggal Nabi saw. termasuk Abu Bakar dan Umar, hingga sampai dipenghujung masa kekhalifahan Umar, ia baru terbangun dari tidur panjangnya dan mengumandangkan suara pengharaman itu. Jika benar ada hadis dari Nabi saw., dimanakah hadis selama kurun waktu itu.Yang pasti para sukarelawan telah berbaik hati dengan membantu Khalifah Umar ra. jauh setelah wafat beliau dalam memproduksi hadis yang dinisbatkan kepada Nabi saw., agar kebijakan pengharaman itu tidak berbenturan dengan sunah dan ajaran Nabi saw. dan agar Khalifah Umar tampil sebagai penyegar sunah setelah sekian belas tahun terpasung.

Dan kebaikan hati sebagian ulama dan muhadis berhati luhur dengan memalsu hadis bukan hal aneh, dan saya harap anda tidak kaget. Karena memang demikian adanya di dunia hadis kita; kaum Muslim. Tidak semua para sukarelawan yang memalsu hadis orang bejat dan jahat, berniat merusak agama, tidak jarang dari mereka berhati luhur, rajin dan tekun beribadah, hanya saja mereka memiliki sebuah kegemaran memalsu hadis atas nama Rasulullah saw. Dan para sukarelawan model ini adalah paling berbahaya dan mengancam kemurnian agama, sebab kebanyakan orang akan terpesona dan kemudian tertipu dengan tampilan lahiriah yang khusu’ dan simpatik mereka. Demikian ditegaskan ulama seperti Al Nawawi dan Al Suyuthi.

(bersambung )


CATATAN KAKI

[1] Tafsir Khazin (Lubab al-Ta’wiil).1,506

[2] Shahih Muslim dengan syarah al-Nawawi.9179, bab Nikah al-Mut’ah.

[3] Fathu al-Baari.19,200, Ktaabun- Nikah, bab Nahyu an-Nabi saw. ‘an Nikah al-Mut’ah Akhiran (bab tentang larangan Nabi saw. akan nikah mut’ah pada akhirnya).

[4] Tafsir Fathu al-Qadir.1,449.

[5] Tafsir Ibnu Katsir.1,474.

[6] Ibid.

[7] Fathu al-Baari.17,146, hadis no.4615.

[8] Ibid.19,142-143, hadis no.5075.

[9] Shahih Muslim dengan syarah al-Nawawi.9,182.

[10] Fathu al-Baari.19,206-207, hadis no.5117-5118.

[11] Shahih Muslim dengan syarah al-Nawawi.9,182. hanya saja kata rasul (utusan) diganti dengan kata munaadi (pengumandang pengumuman).

[12] Ibdi.183.

[13] Ibid.183.

[14] Ibdi.184.

[15] Ibid.183-184.

[16] Ibid.183.

[17] Al-Sunan al-Kubra, Kitab al-Mut’ah, Bab Nikah-ul Mut’ah.7,206 dan ia mengatakan bahwa hadis ini juga diriwayatkan Muslim dari jalur lain dari Hummam.

[18] Keterangan lebih lanjut baca Fath al-Baari.19,201 203 dan Syarah al-Nawawi atas Shahih Muslim,9179-180.

[19] Tafsir Ibnu Katsir.1,484, pada tafsir ayat 24 surah al-Nisaa’.

[20] Al-Jaami’ Li Ahkaami Alqur’an.5130-131.

[21] Shahih Muslim (dengan syarah al-Nawawi), Kitab al-Nikah, bab Nikah-ul Mut’ah.9,189-190, dua hadis terakhir dalam bab tersebut, Sunan al-Nasa’i, bab Tahriim al-Mut’ah, Sunan al-Baihaqi, Kitab al-Nikah, bab Nikah al-Mut’ah.7,201, Mushannaf Abdur Razzaq.7,36 dan Majma’ al-Zawaid.4,265.

[22] Bukhari, Kitab al-Maghazi, bab Ghazwah Khaibar, dan bab Nahyu Rasulillah ‘an nikah al-mut’ah akhiran, bab al-hiilah fi al-nikah, Sunan Abu Daud.2,90, bab Tahriim al-Mut’ah, Sunan Ibnu Majah.1,630, Kitab-un Nikah, bab an-nahyu ‘an Nikah al-Mut’ah, hadis no.1961, Sunan al-Turmudzi (dengan syarah al-Mubarakfuuri).4,267-268, bab Ma ja’a fi Nikah al-Mut’ah(27), hadis no.1130 Muwaththa’, bab Nikah mut’ah, Mushannaf Ibnu Abi Syaibah.4,292 Sunan al-Darimi.2,140 bab al-Nahyu ‘an Mut’ah al-Nisa’, Musnad al-Thayalisi hadis no.111 dan Musnad Imam Ahmad.1,79,130 dan142, dan Anda dapat jumpai dalam Fathu al-Baari dalam baba-baba tersebut di atas.

[23] Baca Sunan al-Baihaqi.7,207.

[24] Shahih Muslim.9,185.

[25] Ibid.186.

[26] Ibdi.

[27] Ibid.187.

[28] Ibdi.188-189.

[29] Ibid.187.

[30] Ibid.189.

[31] Abu Daud.2,227, Kitab al-Nikah, bab Nikah al-Mut’ah dan Sunan al-Baihaqi.7,204.

[32] Sunan al-Baihaqi.7,204.

[33] Shahih Muslim.9,184, Mushannaf.4,292, Musnad Ahmad.4,55, Sunan al-Baihaqi.7,204 dan Fath al-Baari.11,73.

[34] Baca Sunan al-Baihaqi.7,204.

[35] Seperti Anda saksikan bahwa hadis tersebut telah saya kutipkan dari empat belas sumber terpercaya.

[36] 9, 449.

[37] Syarh Nahjul Balaghah 1, 371-372.

[38] Ash-Shirath al-Mustaqim.3,245.

[39] Fathu al-Baari.19,202 menukil pernyataan al-Baihaqi.

[40] Zaad al-Ma’aad.2,204, pasal Fi Ibaahati Mut’ati al-Nisaa’i tsumma Tahriimuha (tentang dibolehkannya nikah mut’ah kemudian pengharamannya). Dan keterangan panjang Ibnu qayyim juga dimuat Ibnu Hajar.

[41] Fath al-Baari.16,62. hadis no.4216.

[42] Ibid.19,202.

[43] Ibid.201.

[44] Ibdi.202.

[45] Ibid.

[46] Bukhari Bab Ghazwah Khaibar, hadis no.4216, Kitab al-Dzabaaih, bab Luhuum al-Humur al-Insiyyah, hadis no.5523, Shahih Muslim, bab Ma Ja’a Fi Nikahi al-Mut’ah (dengan syarah a-Nawawi).9,190, Sunan Ibnu Majah.1, bab al-Nahyu ‘an Nikah al-Mut’ah (44) hadis no1961 dan Sunan Al-Baihaqi.7,201, dan meriwayatkan hadis serupa dari Ibnu Umar. Dan di sini sebagian ulama melakukan penipuan terhadap diri sendiri dengn mengatakan bahwa sebenarnya dalam hadis itu ada pemajuan dan pemunduran, maksudnya semestinya yang disebut duluan adalah Luhum Humur insiyah bukan Mut’ah al-Nisaa’. (Fath al-baari.16,62) Mengapa? Sekali lagi agar riwayat Bukhari dkk. di atas tetap terjaga wibawanya dan agar tidak tampak bertentang dengan kenyataan sejarah.

[47] Ucapan pengharaman ini begitu masyhur dari Umar dan dinukil banyak ulama dalam buku-buku mereka, di antaranya: Tafsir al-Razi.10,50, Al-Jashshash. Ahkam Alqur’an.2,152, Al-Qurthubi. Jami’ Ahkam Alqur’an.2,270, Ibnu Qayyim. Zaad al-Ma’ad.1,444 dan ia megatakan” dan telah tetap dari Umar…, Ibnu Abi al-Hadid. Syarh Nahj al-Balaghah.1,182 dan 12,251 dan 252, Al-Sarakhsi al-Hanafi. Al-Mabsuuth, kitab al-Haj, bab Alqur’an dan ia mensahihkannya, Ibnu Qudamah. Al-Mughni.7,527, Ibnu Hazam. Al-Muhalla.7,107, Al-Muttaqi al-Hindi. Kanz al-Ummal.8,293 dan294, al-Thahawi. Syarh Ma’ani al-Akhbaar.374 dan Sunan al-Baihaqi.7,206.

[48] Ibid.183.

[49] Ibid.183-184.

[50] Mafaatiih al-Ghaib (tafsir al-Razi).10,51

[51] Kanz al-Ummal.8,294.

[52] Dan dalam sebagian riwayat 
إلاَّ شفي dengan huruf faa’ sebagai ganti huruf qaaf, dan artinay ialah jarang/sedikit sekali. Pernyataan Ibnu Abbas diriwayatkan banyak ulama, seperti Ibnu al-Atsir dalam Nihayahnya, kata kerja syafa.

[53] Shahih Muslim.9,184-185, Sunan al-Baihaqi.7,202, dan Musnad Ahmad.3,405.
http://banjarkuumaibungasnya.blogspot.com/2012/01/wahabi-is-best-iran-berdusta-arab-saudi.html#axzz2Kv7YAc7Y



0 comments to "Ikhwanul Kiram Mashuri (IKM) wartawan senior "MENGHAKIMI" SYRIA / SURIAH di koran Republika serta acara on the spot "KHAZANAH" Trans 7 .." BERMASALAH "..."

Leave a comment