Team www.banjarkuumaibungasnya.blogspot.com- Berita Suriah yang mencengangkan dunia, dimana "Anak negeri Suriah menghancurkan negerinya sendiri...???!!! Adakah yang menjadi DALANG dibalik semua ini..!!! Kemudian anak Papua / masyarakat sipil ditembaki aparat, kemudian aparat ditembaki warga sipil....adakah DALANG dibalik ini semua...agar Tambang Emas tetap terjaga..sehingga KONFLIK Adu Domba ini dihembuskan....oh bangsaku jangan lah kalian berpecah belah, kemudian malang nian engkau wahai GAZA Palestina kami...dimana KEADILAN berpihak??? Apakah kepada negara yang mengaku Polisi Dunia, tetapi ternyata BERMUKA DUA / Standard Ganda.....!!!!!... Oh Berita ku, kami, kamu dan mereka, janganlah menjadi corong adu domba....!!!!!! (Banjarmasin, 27 Pebruari 2013 /16:07wita)
Apa Kabar Gaza?
Dina Y. Sulaeman*
Hiruk-pikuk aksi ‘jihad' di Syria, serbuan Prancis dan sekutunya ke Mali untuk ‘menumpas terorisme',atau eskalasi konflik politik di Kairo, seolah mengalihkan perhatian publik terhadap nasib warga Gaza. Apa kabar mereka sekarang? Ternyata, nasib mereka masih belum berubah. Mereka masih berada dalam penjara virtual raksasa yang diciptakan Israel. Mereka dihalangi keluar melewati lautataudaratan yang berbatasan dengan Israel. Satu-satunya jalan adalah dengan menggali ratusan terowongan yang menghubungkan Gaza dengan Mesir.
Terowongan-terowongan itu adalah lifeline rakyat Gaza, jalur yang memberikan mereka kehidupan. Terowongan-terowongan itulah yang memberi mereka akses keluar-masuk yang sangat dibutuhkan untuk membeli barang-barang kebutuhan hidup, termasuk makanan dan obat-obatan, serta menjual barang produksi mereka agar mereka bisa mendapatkan uang untuk memenuhi kebutuhan perut, serta untuk membawa para penderita sakit ke rumah sakit di Mesir.
Kemenangan Mursi dalam pilpres Mesir membawa harapan baru bagi rakyat Gaza. Mursi dikenal sebagai presiden saleh yang hafal Quran dan berasal dari gerakan Ikhwanul Muslimin, mana mungkin tega membiarkan saudara seimannya terpenjara di Gaza? Namun harapan tinggal harapan. Pada bulan Juli 2012, rezim Mursi sempat membuka gerbang Rafah. Namun sejak Agustus 2012, gara-gara ada 16 tentara Mesir yang dibunuh teroris, Mesir kembali menutupnya.
Israel mengklaim bahwa setelah membunuh tentara Mesir, para teroris itu membajak dua kendaraan militer Israel lalu melarikan diri memasuki wilayah Israel. Mereka pun kemudian ditembak oleh tentara Israel. Pernyataan ini tentu saja terasa aneh. Bila benar demikian, sudah dipastikan teroris itu bukan pejuang Palestina, lalu mengapa perbatasan Rafah yang ditutup? Apa untungnya bagi orang Palestina membunuh tentara Mesir?
Apapun jawabannya, Menteri Pertahanan Israel Ehud Baraksudah memberi pernyataan,"Serangan itu menandakan Pemerintah Mesir perlu mengambil tindakan untuk menegakkan keamanan dan mencegah teror di Sinai." Dan, Mursi pun menurut: gerbang Rafah kembali ditutup. Meskipun beberapa kali ada berita Mursi membuka gerbang, namun secara umum, gerbang Rafah dinyatakan tertutup. Dan rakyat Gaza kembali menggantungkan harapan kepada terowongan galian mereka.
Sejak bulan Agustus itu pula, tentara Mesir memulai operasi penutupan terowongan-terowongan Gaza. Ratusan terowongan telah ditutup oleh rezim Mursi. Sejak sepekan lalu, operasi penutupan terowongan itu kembali terjadi. Tentara-tentara Mesir membanjiri terowongan itu dengan air, membuat orang-orang yang ada di dalamnya, pekerja yang sedang membangun terowongan, atau orang-orang yang kebetulan sedang melewatinya untuk membawa barang-barang, lari tunggang langgang berusaha menyelamatkan diri.Sebuah sumber militer Mesir menyatakan bahwa operasi penghancuran tunel-tunel antara Rafah di Jalur Gaza dan Rafah di Mesir dipercepat guna "mewujudkan keamanan di wilayah Gurun Sinai" (El Misr El Yaum, dikutip IRIB).
Bagaimana menganalisis situasi ini? Mengapa rezim Mursi sedemikian tega melakukan hal tersebut? Situasi ini hanya membawa kita pada paradoks revolusi Mesir. Setelah meraih tampuk kekuasaan, Mursi dan IM tampak terbelenggu. Segera setelah meraih tampuk kekuasaan, Mursi mendapati bahwa kas negaranya hanya tersisa 14 milyar dollar. Mesir terancam tidak bisa menjalankan roda pemerintahan dengan uang itu. Jalan keluar yang diambil Mursi adalah meminjam dari IMF. Untuk melunakkan protes dari kalangan konservatif, dalam sebuah pidatonya, Mursi menyatakan, "Ini bukanlah riba." (AFP/6 Okt 2012)
Kalau Anda pernah membaca buku John Perkins, keputusan Mursi untuk bekerja sama dengan IMF merupakan indikasi ketundukannya pada ‘imperium', sebuah kerajaan tak beristana, tak mengenal batas negara, yang dikuasai oleh orang-orang paling kaya sedunia. Imperium memanfaatkan perusahaan-perusahaan swasta yang memperkerjakan orang-orang yang disebut sebagai ‘economic hitman' (bandit ekonomi). Para bandit ini akan melakukan berbagai cara agar para pemimpin negara mau tunduk pada kemauan imperium. Bila ada yang berani melawan, si pemimpin negara itu akan digulingkan atau bahkan dibunuh. Bila ada yang hingga saat ini masih mampu bertahan, (antara lain, Evo Morales, Chavez, atau Ahmadinejad) tak lain karena keberanian si pemimpin dan dukungan rakyat yang sangat besar.
Bagaimana dengan Mursi? Dari manuver-manuvernya, kita bisa mengira-ngira bahwa dia memang berada dalam tekanan imperium. Sudah terlalu banyak bukti yang menunjukkan bahwa kerjasama dengan IMF hanya akan memperbudak sebuah negara di hadapan imperium. Negara penerima hutang tidak hanya sekedar menerima uang lalu berkewajiban membayar kembali dengan jumlah berkali lipat (riba), tetapi juga dipaksa melakukan banyak hal yang dikehendaki imperium, termasuk memiskinkan rakyatnya sendiri melalui pencabutan subsidi dan menjual sumber daya alam kepada perusahaan asing. Mursi dan Ikhwanul Muslimin pasti sudah memahami semua ini, tetapi sepertinya tetap memilih tunduk di hadapan imperium.
Terkait Ikhwanul Muslimin, disinggung dalam buku kedua John Perkins. Dia menuliskan, dalam sebuah rapat antara pejabat-pejabat dari USAID, perusahaan bandit ekonomi bernama MAIN, dan korporat-korporat yang menjadi kliennya, antara lain Bechtel, di Boston, AS, 1974, ada dialog berikut:
Dia [orang USAID] menghabiskan air minumnya. "Tuan Hall [CEO MAIN], aku setuju sekali dengan pernyataan Anda." Dia melihat ke kertas di atas meja, di sebelah piringnya. "Piramid-piramid Mesir melambangkan peran yang harus dimainkan negara jika kita ingin merebut hati dan pikiran bangsa Arab. Mesir akan membentuk dasarnya, yang besar dan kokoh. Lalu kita akan menumpuk mereka, satu negara di atas yang lain."
[Ini menunjukkan betapa besarnya tekanan yang diterima pemimpin Mesir karena imperium merasa harus menguasai Mesir dulu bila ingin menguasai negara-negara Timteng lainnya]
"Kau sudah diberi tahu tentang Ikhwanul Muslimin?" [tanya George Rich, petinggi MAIN]
"Ya." [jawab Perkins]
"Well, mereka sangat berbahaya, harus dibujuk, diajak berkompromi, disuap, apa saja, karena mereka tidak bisa dihentikan. Sadat sudah membuktikan hal itu…"
(Perkins, The Secret History of American Empire, edisi terjemahan 242, 247)
Khusus untuk Mesir, sebagaimana juga tekanan yang diterima Mubarak, tekanan yang diberikan kepada Mursi sudah pasti akan berkaitan dengan ‘keselamatan Israel'. Sudah bukan rahasia lagi,para pengusaha-pengusaha raksasa itu adalah para pendukung Zionisme. Itulah sebabnya sampai kini Mursi sedemikian lemah dalam membela Palestina.
Tentu saja, butuh keberanian besar untuk mampu melawan imperium. Buat rakyat Mesir pendukung Mursi, alih-alih mencari-cari justifikasi dan secara taklid menganggap semua yang dilakukan Mursi pasti benar, agaknya lebih baik mendorong Mursi untuk tidak menyerah di hadapan imperium. Bukankah bila Mursi sampai harus mengorbankan nyawa demi membela kebenaran, dia akan menjadi syahid dan itulah kematian terindah seorang muslim, sebagaimana tercantum dalam Al Quran yang dihafalnya? Tak salah bila Mursi dan IM belajar dari Iran. Setelah mendirikan Republik Islam, para pemimpin, pejabat, dan ilmuwan Iran dibunuhi teroris tetapi mereka tetap bertahan menolak tunduk pada imperium.
Dan bagi bangsa Palestina, terutama Hamas (yang anehnya enggan mengkritik ‘kebijakan' Mursi menutup terowongan), seharusnya fenomena ini menjadi catatan bagi mereka untuk bisa melihat siapa sesungguhnya teman sejati mereka.(IRIBIndonesia/PH)
*Magister Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran, research associate Global Future Institute
Kepentingan Nasional atau Asing ?
Oleh: Muhammad Dudi Hari Saputra*
Dalam sebuah komentar singkatnya, peneliti senior LIPI, Prof. Ikrar Nusa Bakti menjelaskan bahwa besar tidaknya sebuah negara juga ditentukan oleh fokus masalah yang dihadapinya.
jika Indonesia masih menginferiorkan dirinya pada masalah-masalah seputar isu lokal maupun nasional, sedangkan negara-negara seperti China, Amerika Serikat, Uni Eropa, Russia, Brazil, India bahkan Iran sudah memfokuskan masalahnya pada isu internasional dan global.
Hal ini terlihat dari kebijakan pemerintah Indonesia, yang ekonominya ditopang sebagian besar dari konsumsi. Tentu saja akan lebih baik jika seandainya ekonomi nasional kita ditopang produksi yang memiliki nilai lebih serta berpeluang menciptakan banyak lapangan pekerjaan.
Dari aspek pembangunan (developmental) ekonomi, negara-negara yang baru collapse atau yang baru membangun ekonominya akan berusaha kembali meningkatkan ekonominya dengan proyek-proyek mobil massal. Langkah seperti ini pernah dilakukan oleh AS dengan proyek mobil Ford (sampai dikenal istilah Fordisme) dan Jerman dengan Volkswagen (mobil rakyat). Dasar dari kebijakan ini selain mampu menciptakan keuntungan bagi sektor swasta dan pihak masyarakat, juga akan memacu kebijakan pembangunan infrastruktur jalan oleh pemerintah yg tentu akan lebih mempercepat pertumbuhan ekonomi.
Baru-baru ini banyak negara ekonomi baru mengembangkan proyek mobil nasionalnya. China kita kenal dengan Geely, di India kita kenal Tata, di Korsel ada KIA, di Malaysia terdapat Proton, dan di Iran dengan IKC (Iran Khodro Company).
jika Indonesia masih menginferiorkan dirinya pada masalah-masalah seputar isu lokal maupun nasional, sedangkan negara-negara seperti China, Amerika Serikat, Uni Eropa, Russia, Brazil, India bahkan Iran sudah memfokuskan masalahnya pada isu internasional dan global.
Hal ini terlihat dari kebijakan pemerintah Indonesia, yang ekonominya ditopang sebagian besar dari konsumsi. Tentu saja akan lebih baik jika seandainya ekonomi nasional kita ditopang produksi yang memiliki nilai lebih serta berpeluang menciptakan banyak lapangan pekerjaan.
Dari aspek pembangunan (developmental) ekonomi, negara-negara yang baru collapse atau yang baru membangun ekonominya akan berusaha kembali meningkatkan ekonominya dengan proyek-proyek mobil massal. Langkah seperti ini pernah dilakukan oleh AS dengan proyek mobil Ford (sampai dikenal istilah Fordisme) dan Jerman dengan Volkswagen (mobil rakyat). Dasar dari kebijakan ini selain mampu menciptakan keuntungan bagi sektor swasta dan pihak masyarakat, juga akan memacu kebijakan pembangunan infrastruktur jalan oleh pemerintah yg tentu akan lebih mempercepat pertumbuhan ekonomi.
Baru-baru ini banyak negara ekonomi baru mengembangkan proyek mobil nasionalnya. China kita kenal dengan Geely, di India kita kenal Tata, di Korsel ada KIA, di Malaysia terdapat Proton, dan di Iran dengan IKC (Iran Khodro Company).
Lalu bagaimana dengan Indonesia? Negara ini pada dekade 1990-an sempat meluncurkan proyek mobil nasional Timor, yang ternyata hanya proses perakitannya saja yang dilakukan di Indonesia dengan merek Timor, padahal aslinya buatan Korea.
Dan pada tahun 2012-13 ini, pemerintah Indonesia kembali membuka perencanaaan proyek mobil nasional. Hal ini diawali dari sosok mantan walikota Solo Joko widodo yang sekarang menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta.
Pola dasar pembangunan proyek mobil nasional adalah murah, dengan teknologi masih rendah, massal serta digunakan sesuai dengan kondisi geografi Indonesia, maka keluarlah proyek mobil Kiat-Esemka, Gea dan Tawon.
Tapi kita tahu bahwa pasar otomotif Indonesia saat ini mayoritas dikuasai oleh pabrikan asing, terutama Jepang, maka jangan aneh jika pemerintah mengeluarkan kebijakan tidak pro-mobnas (mobil nasional) dengan dalih lingkungan yaitu rencana Menteri Perindustrian untuk memberi insentif kepada perusahaan mobil murah dan ramah lingkungan atau low cost and green car (LCGC).
Tapi, lacurnya yang ikut tender itu justru berasal dari perusahaan-perusahaan MNC's besar di bidang otomotif, sehingga bermunculanlah nama Honda Brio, Nissan March, dan Mitsubishi Mirage. Selain itu, ada pula mobil murah ramah lingkungan yang dibanderol dengan harga di bawah Rp 100 juta, seperti Toyota Agya, Daihatsu Ayla, Tata Nano, dan Geely Panda.
Dengan ini maka pelaku proyek mobnas yang masih baru dan tertatih-tatih akan berhadapan langsung dengan MNC's otomotif raksasa yang sudah mapan baik dari sisi teknologi, finansial, promosi, produksi dan pemasaran.
Lantas kita pun bertanya, tidakkah para pengambil kebijakan di Indonesia sadar terhadap kepentingan nasional negeri ini?
Entahlah, yang jelas sudah bukan rahasia umum lagi jika MNC's besar di Indonesia selalu berusaha membuat Regulator (pemerintah Indonesia) utk membuat regulasi (aturan) yang selalu pro-kepentingan asing. Di dalam term sistem ekonomi neo-liberal dikenal dengan hubungan kongkalikong korporat besar (MNC's/Multi-National Corporations) dan pejabat pemerintah (Birokrasi), yang menurut John Perkins di dalam buku Confessions of an Economic Hit Man disebut dengan Korporatokrasi yang hanya menguntungkan segelintir pihak (pihak kapital) saja. (IRIBIndonesia/PH)
Dan pada tahun 2012-13 ini, pemerintah Indonesia kembali membuka perencanaaan proyek mobil nasional. Hal ini diawali dari sosok mantan walikota Solo Joko widodo yang sekarang menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta.
Pola dasar pembangunan proyek mobil nasional adalah murah, dengan teknologi masih rendah, massal serta digunakan sesuai dengan kondisi geografi Indonesia, maka keluarlah proyek mobil Kiat-Esemka, Gea dan Tawon.
Tapi kita tahu bahwa pasar otomotif Indonesia saat ini mayoritas dikuasai oleh pabrikan asing, terutama Jepang, maka jangan aneh jika pemerintah mengeluarkan kebijakan tidak pro-mobnas (mobil nasional) dengan dalih lingkungan yaitu rencana Menteri Perindustrian untuk memberi insentif kepada perusahaan mobil murah dan ramah lingkungan atau low cost and green car (LCGC).
Tapi, lacurnya yang ikut tender itu justru berasal dari perusahaan-perusahaan MNC's besar di bidang otomotif, sehingga bermunculanlah nama Honda Brio, Nissan March, dan Mitsubishi Mirage. Selain itu, ada pula mobil murah ramah lingkungan yang dibanderol dengan harga di bawah Rp 100 juta, seperti Toyota Agya, Daihatsu Ayla, Tata Nano, dan Geely Panda.
Dengan ini maka pelaku proyek mobnas yang masih baru dan tertatih-tatih akan berhadapan langsung dengan MNC's otomotif raksasa yang sudah mapan baik dari sisi teknologi, finansial, promosi, produksi dan pemasaran.
Lantas kita pun bertanya, tidakkah para pengambil kebijakan di Indonesia sadar terhadap kepentingan nasional negeri ini?
Entahlah, yang jelas sudah bukan rahasia umum lagi jika MNC's besar di Indonesia selalu berusaha membuat Regulator (pemerintah Indonesia) utk membuat regulasi (aturan) yang selalu pro-kepentingan asing. Di dalam term sistem ekonomi neo-liberal dikenal dengan hubungan kongkalikong korporat besar (MNC's/Multi-National Corporations) dan pejabat pemerintah (Birokrasi), yang menurut John Perkins di dalam buku Confessions of an Economic Hit Man disebut dengan Korporatokrasi yang hanya menguntungkan segelintir pihak (pihak kapital) saja. (IRIBIndonesia/PH)
*Mahasiswa pascasarjana Hubungan Internasional Fisipol UGM
Sekilas Sinopsis Film Dokumenter
Sebuah film dokumenter yang diputar belum lama ini telah menyita perhatian dari kebanyakan kritikus film di dunia. Judul film itu adalah "Perampokan Buku Terbesar" (The Great Book Robbery), sebuah penjarahan besar-besaran dari potongan-potongan bernilai budaya Palestina oleh rezim Zionis Israel. Harian al-Akhbar cetakan Lebanon dalam sebuah laporannya terkait film itu menulis, "Film Zionis ini memperkenalkan para penjarah besar yang mencuri buku-buku milik warga Palestina dari perpustakaan-perpustakaan pribadi mereka dan melarang mereka untuk mempelajari buku-buku itu."
Laporan tersebut dipublikasikan pada 19 Januari 2013 dan di bagian lainnya disebutkan, "Selamat tinggal perpustakaanku! Aku tidak tahu apa yang akan terjadi padamu setelah kepergian kami; engkau pergi dijarah atau engkau akan dibakar. Kalimat itu diucapkan oleh penulis terkenal dan cendekiawan Palestina, Khalil al-Sakakini kepada buku-bukunya ketika ia meninggalkan rumahnya di kota Quds sebelum diduduki oleh Zionis pada tahun 1948. Ucapan itu mengingatkan penjarahan 30 ribu buku dari barat al-Quds dan 40 ribu buku dari Haifa, Jaffa, Nazareth dan kota-kota lainnya di Palestina."
Dalam film "The Great Book Robbery" kita menyaksikan bahwa penjarahan itu dilakukan Zionis secara terorganisir dan terencana dari perpustakaan-perpustakaan pribadi warga Palestina. Militer Zionis melaksanakan program itu di bawah kerjasama Perpustakaan Nasional Israel. Perpustakaan itu merupakan sebuah lembaga Zionis yang dibangun pada tahun 1982 dan mengoleksi buku-buku yang dicuri dari warga Palestina.
Sejarawan Israel, Ilan Pappe mengidentifikasi dua jenis perampokan buku sejak pendudukan Baitul Maqdis yaitu, individu yang bertindak sendiri dan membawa pulang buku-buku yang mereka jarah, dan penjarah kolektif atau formal yang bertindak atas nama negara dan mencuri buku-buku warga Palestina untuk Perpustakaan Nasional Israel. Sebuah tim bersama militer Israel mencari dari rumah ke rumah di barat al-Quds dan membawa pulang buku-buku dengan berbagai tema sastra, hukum, tafsir al-Quran, sejarah, filsafat, dan buku-buku terjemahan.
Dalam film dokumenter itu, Zionis berkata bahwa buku-buku tersebut merupakan pinjaman dan nanti akan dikembalikan kepada pemiliknya!! Tentu saja ketika pemiliknya kembali. Ilan Pappe mengatakan, "Perampokan buku-buku itu merupakan sebuah aksi penjarahan terhadap warisan tertulis Palestina. Ini adalah bagian dari upaya yang disebut orientalisme, yang bertujuan mendistorsi sejarah Islam dan Arab serta merusak citra mereka dan menghapus Palestina dari sejarah."
Berita lainnya terkait pelanggaran hak-hak Palestina adalah penangkapan EmadBurnat, sutradara Palestina film dokumenter "5 Broken Cameras" di Bandara Internasional Los Angeles, Amerika Serikat. Dia adalah salah satu sutradara film itu dan dalam sebuah wawancara, bercerita panjang lebar tentang penangkapannya dan proses interogasi serta peran sutradara film dokumenter tersohor Amerika Michael Moore dalam pembebasannya. EmadBurnatberkata, "Waktu itu, aku akan melakukan perjalanan ke Yordania, mengejar penerbangan ke Istanbul, dan kemudian ke Los Angeles untuk piala Oscar pada hari Ahad, di mana film ‘5 Broken Cameras' masuk nominasi untuk kategori film dokumenter."
Emad Burnat melanjutkan kisahnya dengan mengatakan, "Tapi perjalanan itu tidak mulus. Pada hari Rabu, ketika aku dan istri serta seorang putraku berusia delapan tahun tiba di Bandara Internasional Los Angeles setelah 16 jam perjalanan, kami ditahan di bandara. Para pejabat imigrasi Amerika mengklaim aku tidak punya undangan untuk ajang bergengsi itu."
"Setelah 40 menit menjalani proses interogasi di bandara, putraku Gibreel bertanya mengapa kami masih menunggu di ruangan kecil ini," kisah Burnat. "Aku hanya mengatakan yang sebenarnya; mungkin kita harus kembali." "Aku bisa melihat kesedihan hatinya. Meskipun ini adalah pengalaman yang tidak menyenangkan, ini adalah kejadian sehari-hari bagi warga Palestina di seluruh Tepi Barat." Burnat memiliki pengalaman yang sama dan bahkan lebih buruk dari itu selama delapan tahun ia menghabiskan waktu syuting filmnya di desanya Bil'in, tentang pembangunan tembok keamanan Israel. Tembok di Bil'in, memotong setengah wilayah desa itu dan memblokir akses Burnat ke luar.
Judul film mengacu pada jumlah kamera Burnat yang telah rusak selama proses pembuatan film dokumenter. Beberapa dari mereka telah ditembak dengan peluru dan gas air mata, sisanya dirusak selama adu jotos dengan tentara dan pemukim Zionis di pos pemeriksaan Modi'in Illit. Sementara kamera yang keenam milik Burnat berada di sofa di ruang tamu tanpa cacat. Di atas meja kerjanya, ada lima kamera dengan berbagai kerusakan, "Lensa yang satu ini dipukul ketika saya mengambil gambar," kisahnya, sambil memperlihatkan sebuah peluru yang bersarang di kelima kameranya. "Ini mungkin telah menyelamatkan hidup saya."
Perjuangan mengambil gambar di Bil'in adalah pekerjaan yang berbahaya. Bersama dengan warga lain, Burnat ditangkap dan terluka dalam bentrokan antara penduduk desa dan pasukan keamanan Israel. Salah satu dari teman-teman terdekatnya ditembak mati pada tahun 2009. "Saya pikir kamera dapat memberi perlindungan. Rekaman itu dapat digunakan sebagai bukti, dan juga, mungkin, para prajurit Zionis akan mengurangi aksi kekerasan ketika mereka melihat kamera. Tapi itu juga merupakan alasan untuk membunuh Anda. Saya telah ditembak berkali-kali, dan lima kamera saya rusak oleh peluru, dan tabung gas," ujarnya.
Sebenarnya, Burnat terbang ke Los Angeles dengan mengantongi surat undangan dari panitia Akademi Oscar, tapi ia dan keluarganya harus tertahan lama di bandara. Ia mengapresiasi mediasi yang dilakukan oleh Michael Moore. Setelah peristiwa itu, Moore di akun Twitternya menulis, "Menurutku, mereka tidak bisa mengerti bahwa seorang warga Palestina juga bisa masuk daftar nominasi peraih Oscar. Sebagai seorang Amerika aku meminta maaf kepadanya... sungguh ini memalukan." Dia menambahkan, "Kita terjebak dalam ketakutan yang tidak logis. Meskipun ini adalah pengalaman yang tidak menyenangkan, ini adalah kejadian sehari-hari bagi warga Palestina."
Menyusul pembuatan dan penayangan film "The Attack" yang mempersiapkan ruang untuk kompromi antara Arab dan Israel, karya sutradara Lebanon ini menuai kecaman dan diboikot oleh dunia Arab. Ziad Doueiri lahir di Lebanon dan belajar pembuatan film di Amerika Serikat. Dia telah membuat beberapa film pendek dan bekerja sebagai asisten juru kamera di beberapa film yang disutradarai oleh Quentin Tarantino. "The Attack" meskipun menyabet penghargaan di festival film Maroko, tapi mendapat penolakan luas dari warga Lebanon dan Arab. Film ini memasuki arena politik yang paling keras yaitu, kompromi Arab-Israel. Ini adalah sebuah usaha untuk menciptakan hidup damai dan berdampingan dengan rezim penjajah.
Rakyat Lebanon mendesak para seniman Lebanon dan Arab untuk memboikot film tersebut dan membekukan semua bentuk kerjasama dengan Zionis baik di bidang ekonomi, seni, budaya, universitas, maupun olahraga. Film itu juga bertentangan dengan undang-undang Lebanon yang melarang segala bentuk kerjasama dengan lembaga-lembaga Zionis di dalam dan atau di luar negeri. Menariknya, "The Attack" digarap dengan bantuan pemerintah Qatar, namun film itu dilarang ditayangkan di festival film Doha karena mengkhawatirkan reaksi keras dari warga. Liga Arab juga melarang pemutaran film "The Attack" di negara-negara Arab.
Sebagian besar lokasi syuting film ini diambil di Tel Aviv dan bercerita tentang seorang wanita Palestina dan seorang pria Zionis, di mana mereka telah menikah, namun setelah beberapa lama pria itu menemukan rahasia gelap tentang istrinya setelah terjadinya serangan bom bunuh diri. Bom bunuh diri di sebuah kafe di Tel Aviv menewaskan 19 warga Zionis dan melukai sejumlah lainnya, polisi Israel memberitahukan bahwa istri pria itu, Sihem - yang juga tewas dalam ledakan - bertanggung jawab. Suaminya menolak keras tuduhan itu, tapi keyakinannya terguncang ketika ia menerima surat yang ditinggalkan oleh Sihem yang menegaskan perannya dalam pembantaian itu. (IRIB Indonesia)
Strategi Amerika Menaklukkan Iran
Sejumlah fakta menunjukkan bahwa strategi Amerika Serikat terhadap Republik Islam Iran pada periode kedua pemerintahan Presiden Barack Obama mengalami perubahan di mana perubahan itu disesuaikan dengan perkembangan yang terjadi saat ini.
Pada periode sebelumnya, Obama mengusung slogan "perubahan". Namun apakah perubahan itu tampak dalam model kebijakan dan sikap para pejabat AS?
Sejumlah analis meyakini bahwa transformasi regional dan internasional serta situasi internal mendorong para pejabat Amerika untuk mengubah perilaku mereka dalam menjalankan dan mengontrol kekuasaan. Mereka mengambil cara-cara baru untuk memaksimalkan kekuatannya. Meski perubahan itu memerlukan proses, namun ternyata tetap menggunakan model-model diplomasi lama khususnya penggunaan kekuatan untuk melanjutkan strategi sebelumnya.
Pada periode kedua pemerintahan Obama, kebijakan luar negeri AS seharusnya terfokus kepada hubungan yang lebih dekat dengan Iran dan peningkatan level kerjasama regional. Namun faktanya justru sebaliknya. Strategi Obama untuk menekan Iran malah terus dilanjutkan. Dengan kata lain, kebijakan luar negeri Obama terhadap Iran merupakan kebijakan standar ganda. Buntut dari kebijakan itu adalah tekanan dan ancaman. Dan tentunya untuk memajukan strategi ini memerlukan koordinasi dengan negara-negara regional dan internasional.
Fakta lain menunjukkan bahwa kebijakan perang dan ancaman yang menjadi strategi Amerika di berbagai periode sebelumnya tetap menjadi bagian tak terpisahkan dari strategi Amerika sekarang ini. Sepertinya strategi itu telah menjadi model kebijakan Washington. Hampir setiap periode pemerintahan di Amerika selalu diwarnai dengan perang yang didasarkan pada tujuan dan kepentingan Amerika.
Para pejabat Washington seakan-akan ingin menunjukkan sikap yang menuntut perdamaian, namun pada kenyataannya struktur politik Amerika menganggap perang sebagai satu strategi yang diperlukan. Oleh karena itu, tidak aneh jika model perilaku dan kebijakan Amerika didasarkan pada perang dan kekuatan. Dan atas dasar ini, Amerika berupaya mewujudkan ambisi untuk memperluas hegemoninya di tingkat regional dan global.
Bentuk dan strategi perang di berbagai kondisi dan tempat pasti berbeda dan disesuaikan dengan situasi dan kepentingan. Dengan kata lain, bentuk baru dari taktik dan strategi perang Amerika berbeda dengan periode-periode sebelumnya.
Dari pandangan tersebut, dapatdipastikan bahwa bakal ada perubahan dalam perilaku pejabat Amerika di periode kedua pemerintahan Obama. Perubahan itu kemungkinan dalam rangka restrukturisasi kekuatan Amerika dengan memperhatikan situasi yang ada dan sejalan dengan transformasi di Timur Tengah. Dalam hal ini, tentunya Amerika tetap menggunakan kekuatan sebagai alat strateginya tetapi mungkin lebih di kemas dalam pola diplomatik tertentu.
Perubahan perilaku Amerika secara lahiriah tidak menunjukkan keinginan untuk menggelar perang luas, tetapi ambisi Amerika yang ingin mendominasi negara-negara lain terlihat dalam kebijakan internasional dan pola diplomasi para pejabat Gedung Putih. Tak heran jika model strategi Amerika disusun berdasarkan langkah-langkah cerdas dan penuh tipu daya.
Pemaksaan langkah-langkah seperti peningkatan sanksi unilateral dan multilateral (strategi pelumpuhan), penggunaan tekanan di berbagai sektor; ekonomi, politik, keamanan dan trik-trik perongrongan terhadap stabilitas sosial merupakan "perangkat lunak" Amerika untuk menaklukkan Iran.
Kombinasi strategi tersebut akan diterapkan dengan menggunakan berbagai skenario dengan harapan Barat dapat mengontrol situasi internal Iran dan mendorong opini publik ke arah kepentingannya. Amerika berusaha meyakinkan opini publik bahwa kebijakan keras kepala menentang Barat beresiko dan berakibat fatal. Oleh karena itu, Washington mengingatkan Tehran dan memaksanya untuk mengurangi ketegangan dengan Barat dan Amerika. Gedung Putih juga memaksa Iran untuk bersedia mengambil kebijakan yang sesuai dengan hukum yang mengatur sistem internasional.
Barat memandang kebijakan barunya akan dapat melemahkan Iran dan memaksa para pejabat Tehran untuk bertekuk lutut dan berkeyakinan bahwa strategi perlawanan terhadap Barat dan Amerika adalah irasional dan sia-sia. Dengan demikian Barat berharap Iran akan menyesuaikan langkah-langkahnya berdasarkan pola "interaksi realistis" dan perundingan langsung.
Pada tahap ini, strategi "Perang Pintar" yang lebih luas dari "Perang Lunak" menjadi agenda Amerika dan diterapkan dalam strategi kombinasi yang beraneka ragam. Strategi itu tentunya diterapkan dengan menggunakan trik-trik tipu daya untuk tetap melanggengkan strategi tekanan dan ancaman.
Sebenarnya Amerika berusaha mencari celah dan kelemahan Iran dengan harapan dapat mengganggu instabilitas keamanan seperti menjelang pemilu nanti. Upaya itu dilakukan dengan cara pengontrolan internal, regional dan internasional dengan menawarkan dialog langsung melalui media massa. Langkah ini juga bertujuan membalikkan faktadan seakan-akan ingin menunjukkan kepada dunia bahwa Amerika memiliki itikad baik kepada Iran.
Perang psikologi dengan cara membesar-besarkan masalah internal Iran, mengesankan kegagalan sistem Republik Islam, mengkampanyekan Iran sebagai ancaman, dan Iranphobia merupakan trik Amerika untuk meningkatkan tekanannya dan menggalang dukungan internasional.
Washington berusaha mengucilkan Tehran di tingkat internasional dan memisahkanIrandari para sekutunya. Langkah iniuntuk mengurangi pengaruh Iran dan membatasi ruang geopolitik negara ini. Untuk sampai pada tujuan tersebut, Washington menyebarkan Iranphobia dan mempropagandakan bahwa Iran adalah ancaman global. Langkah-langkah tersebut dilakukan melalui mekanisme internasionalyang sudah disetting sedemikian rupa.
Kampanye tentang ancaman program nuklir Iran danpenolakan hak legal nuklir negara ini adalah bagian dari strategi Gedung Putih untuk mengucilkan Tehran. Selain itu,Amerika juga menyulut krisis dan memperparah konflik regional untuk mengurangi posisi dan pengaruh Iran di kawasan.
Jika kita memperhatikan semua kebijakan dan langkah Amerika maka kebijakan luar negeri negara ini sedikit banyak akan dapat terlihatdiarahkanke mana. Obama dalam periode pertama pemerintahannya menampakkan perilaku tertentu. Ia berusaha bersikap lebih lembut dalam kebijakan luar negerinya khususnya dalam perubahan statemen meskipun kenyataannya tidak ada perubahan besar di dalamnya.
Namun pada prakteknya, kebijakan Obama lebih radikal dari presiden sebelumnya. Hal itu terlihat dalam tindakan Obama ketika memerangi apa yang disebut terorisme di Afghanistan, Pakistan dan Yaman. Penggunaan pesawat tanpa awak dan pembunuhan terhadap warga sipil yang tak berdosa meningkat tajam dan berubah menjadi masalah serius.
Melihat fakta yang terjadi di lapangan, maka kemungkinan besar perilaku radikal Obama di periode kedua pemerintahannya ini akan terus berlanjut. Strategi kompleks Amerika dari satu sisi berakar dari kebijakan internal negara ini dan dari sisi lain bersumber dari kebijakan internasionalnya.
Perlawanan Tehran terhadap tekanan Washington merupakan tantangan berat dalam kebijakan luar negeri Amerika. Hillary Clinton, Menteri Luar Negeri AS di periode pemerintahan pertama Obama mengatakan bahwa agenda nuklir Iran adalah masalah paling rumit dalam kebijakan luar negeri Amerika.
Obama dalam periode pertama pemerintahannya menggandeng sekutunya di Eropa untuk menjegal program nuklir Iran dengan cara menerapkan sanksi unilateral dan multilateral, namun upaya itu gagaldan menemui jalan buntu.
Kegagalan tersebut mendorong Obama untuk menawarkan pembicaraan langsung dengan Iran. Namun tawaran yang mengandung berbagai tujuan dan tipu daya itu langsung ditolak oleh Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran Ayatullah al-Udzma Sayid Ali Khamenei.
Pada dasarnya, hasil yang diharapkan Amerika dari negosiasi adalah bukan untuk mendengar logika Iran atau mengangkat sanksi dan menghentikan intervensi politik dan keamanan. Akan tetapi mereka ini mengatakan kepada Iran bahwa Tehran harus menghentikan pengayaan uranium dan menutup program nuklirnya. Namun bangsa Iran yang kuat tidak akan pernah bertekuk lutut terhadap tekanan hegemoni dunia dan bahkan akan tetap pada pendiriannya untuk menggapai hak-hak legalnya. (IRIB Indonesia/RA/NA)
Pandangan Rahbar Tentang Demokrasi Agama
Masalah paling prinsipal adalah bahwa kecenderungan kepada Islam di dalam negara dengan sistem pemerintahan Islam tidak bisa dipisahkan dari kecenderungan kepada rakyat umum. Basis kerakyatan ini dalam pemerintahan Islam memiliki akar yang kokoh. Ketika menyebut ‘pemerintahan Islam', kita tidak bisa menutup mata dari suara dan kehendak rakyat umum. Landasan pilihan rakyat juga bersumber dari ajaran Islam. Karena itu demokrasi yang kita terapkan yakni demokrasi agama memiliki dasar pemikiran yang kuat. Fondasi demokrasi agama berbeda dengan demokrasi ala Barat. Demokrasi agama - yang kita pilih dan berasaskan pada hak dan kewajiban ilahi atas seluruh umat manusia - bukan sekedar sebuah kontrak saja. Setiap manusia memiliki hak memilih dan menentukan.
Demokrasi yang sesungguhnya adalah demokrasi agama yang didukung dengan iman dan tanggung jawab keagamaan. Dlaam kondisi seperti ini, kalian ingin mengenalkan sebuah sistem politik Islam dan sistem kenegaraan Republik Islam -yang berlandaskan pada demokrasi agama- kepada dunia. Republik adalah kata lain dari demokrasi. Islam, yakni agama. Sebagian orang beranggapan bahwa ketika memaparkan teori tentang demokrasi agama, berarti kita menciptakan sebuah ide yang lain. Bukan demikian. Republik Islam berarti demokrasi agama. Hakikat dari demokrasi agama adalah sebuah pemerintahan harus diatur berdasarkan petunjuk ilahi dan kehendak rakyat.
Masalah yang dihadapi oleh rezim-rezim di dunia pada umumnya adalah karena mereka menafikan petunjuk ilahi. Misalnya rezim demokratik Barat yang secara lahiriyah dibangun atas suara rakyat, namun menafikan petunjuk ilahi. Atau jika ada petunjuk Ilahi, atau mereka mengklaim keberadaannya, di sana suara rakyat tidak memiliki andil. Atau malah mungkin kedua unsur itu tidak ada, dan demikian halnya kondisi di banyak negara. Artinya di sana, rakyat tidak punya andil dalam mengatur negara, dan tidak ada pula bimbingan agama di dalamnya.
Dalam budaya Islam, manusia paling unggul adalah yang paling bermanfaat bagi masyarakat. Tidak seperti jenis demokrasi yang menipu masyarakat, demokrasi agama merupakan sebuah sistem yang mengabdi dengan tulus dan berdasarkan pada prinsip menjalankan tugas disertai dengan kesucian dan kebenaran. Demokrasi dalam sistem tatanan pemerintahan Islam adalah demokrasi agama, yang berarti berlandaskan kepada ajaran Islam, bukan sekedar kesepakatan masyarakat secara umum. Sejauh diperlukan, Islam mendukung prinsip untuk merujuk kepada suara dan kehendak rakyat. Karena itu Islam menerapkan komitmen kepada hasil suara yang dicapai. Tidak seperti sistem yang dijalankan di negara-negara demokratik Barat yang memandang demokrasi sebagai sebuah kesepakatan umum semata sehingga mudah dilanggar, dalam pemerintahan Islam demokrasi menjadi sebuah kewajiban agama. Para pejabat yang duduk dalam urusan terkait memiliki tanggung jawab secara agama dan bakal dipersoalkan kelak di hadapan Allah. Ini adalah salah satu prinsip yang diajarkan Imam dan pemimpin kita.
Demokrasi ala Barat adalah melindungi kepentingan orang-orang kaya dan mereka yang dengan kekayaannya mengendalikan nasib masyarakat. Dalam konteks inilah suara rakyat dianggap penting. Jika rakyat memberikan suara kepada sesuatu yang berlawanan dengan kepentingan para investor dan pemilik kekuatan harta dan ekonomi - yang selanjutnya memberikan mereka kekuatan politik-, tak ada jaminan rezim-rezim demokratik itu bersedia menerima suara dan kehendak rakyat. Ada satu jaringan kuat dan tak tertembus yang siap melumat kemauan rakyat dan praktik demokrasi mereka.
Di negara-negara sosialis tempo dulu - dan mereka juga mengklaim diri sebagai negara demokratik -, jaringan kuat itu eksis dalam bentuk partai yang berkuasa.
Dewasa ini, cara terbaik untuk meluruskan etika, perilaku dan tabiat diri kita -yakni para pejabat negara- adalah demokrasi agama. Artinya dari satu sisi, pemerintahan dibangun atas dasar suara dan kehendak rakyat yakni rakyatlah yang menentukan sistem pemerintahan dan mereka pulalah yang memilih para pejabat utama baik secara langsung maupun tak langsung. Sisi lain dari demokrasi agama adalah ketika rakyat telah memiliki kita, berarti kita memiliki tanggung jawab yang besar dan hakiki di hadapan mereka.
Demokrasi bukan hanya sebuah praktik kampanye yang penuh hura-hura untuk mendorong rakyat mendatangi tempat-tempat pemungutan suara dan mengambil suara rakyat, lalu selesai, tanpa ada pertanggungan jawab di hadapan rakyat. Ketika tahap awal selesai, tiba guliran tahap kedua yaitu pertanggungjawaban. Ciri lain dari demokrasi adalah menghindari sikap ekstrim dalam setiap pekerjaan dan berupaya menyebarkan keadilan dalam skala yang lebuh luas dan menyentuh rakyat secara langsung. Artinya keadilan lebih menyentuh rakyat dan kepentingan mereka, sehingga melahirkan kepuasan dan kesenangan rakyat umum yang lebih besar.
Bahwa sebuah pemerintahan Islam - pemerintahan yang berada di bawah naungan panji tauhid dan agama - mampu menjelaskan konsep demokrasi dengan transparan dan dengan bahasa yang jelas kepada masyarakat dunia, berlawanan dengan propaganda imperialis dunia liberal demokrasi. Mereka ingin menyatakan bahwa demokrasi hanya milik mereka. Mereka tidak dapat menyaksikan bahwa sebuah pemerintahan agama dan Islami, dengan bersandarkan pada nilai-nilai tinggi keimanannya mampu menegakkan sebuah sistem demokrasi. Kita tidak mengambil contoh demokrasi dari rezim-rezim Timur maupun Barat. Model yang kita ambil berasal dari Islam, dan masyarakat kita berdasarkan pengetahuan mereka terhadap Islam, memilih pemerintahan Islami. (IRIB Indonesia / Khamenei / SL)
Memicu Perpecahan, Konferensi Anti Syiah Digagalkan Pemerintah Saudi
|
Menurut Kantor Berita ABNA, pemerintah setempat di kota Tabuk Arab Saudi membatalkan konferensi anti Syiah yang seyogyanya berlangsung ahad (24/2) di kota tersebut. Konferensi yang digagas oleh Kementrian Wakaf Arab Saudi tersebut oleh pihak penyelenggara akhirnya dibatalkan karena aksi penolakan sejumlah warga termasuk pemerintah setempat yang keberatan konferensi tersebut dilangsungkan.
Syaikh Ibrahim Al Faris salah seorang ulama Wahabi yang menjadi penyelenggara konferensi tersebut membenarkan pihak panitia penyelenggara menerima surat pelarangan resmi dari pemerintah kota Tabuk.
Konferensi anti Syiah yang akhirnya tidak jadi berlangsung tersebut rencananya mengusung tema, "Meneliti Aqidah dan Cita-cita Rafidah di Masa Kini" dan bermaksud diadakan di kota Tabuk Arab Saudi. Syaikh Ibrahim al Faris yang geram akan pembatalan tersebut mengancam akan melakukan tindakan serupa terhadap kegiatan-kegiatan mazhabi yang akan diselenggarakan warga Syiah Arab Saudi di husainiyah-husainiyah mereka.
Pemerintah kota Tabuk menegaskan melarang segala bentuk aktivitas yang dapat menimbulkan perpecahan ummat. Ketegasan pemerintah Tabuk tersebut mendapat apresiasi positif dari banyak pihak termasuk ulama-ulama sunni dan Syiah yang mendambakan terwujudnya persatuan Islam.
Ribuan Rakyat Suriah Gelar Aksi Dukung Bashar Asad
|
Menurut Kantor Berita ABNA, rakyat Suriah Jum'at (22/2) melakukan unjuk rasa besar-besaran untuk menunjukkan dukungan dan pembelaannya terhadap Bashar Asad, presiden Suriah. Para pengunjuk rasa melakukan aksi demonstrasi mereka di bekas lokasi pengeboman oleh kelompok oposisi yang menelan banyak korban jiwa dari kalangan warga sipil.
Ribuan demonstran meneriakkan yel-yel dukungan kepada Bashar Asad sembari mengutuk keras segala bentuk aksi kekerasan dan teror yang dilakukan kelompok oposisi atas rakyat sipil Suriah. Mereka juga mengecam Negara-negara asing yang telah mencampuri urusan dalam Negara mereka, bahkan memberikan dana dan mempersenjatai kelompok teroris seperti yang dilakukan oleh Arab Saudi, Turki dan Qatar.
Damaskus hari sebelumnya menjadi saksi sejumlah ledakan dasyhat yang menelan korban jiwa 90 orang dan lebih dari 200 orang yang mengalami luka-luka.
Rahbar Serukan Penghancuran Senjata Nuklir
|
Menurut Kantor Berita ABNA, Rahbar atau Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran Ayatullah al-Udzma Sayid Ali Khamenei mengatakan, senjata nuklir di seluruh dunia harus dihancurkan dan Iran tidak pernah berencana untuk memproduksi senjata tersebut.
Hal itu disampaikan Rahbar pada Sabtu (16/2) dalam pidatonya di depan ribuan warga kota Tabriz di Provinsi Azerbaijan Timur menjelang hari ulang tahun kebangkitan dan perlawanan warga kota tersebut terhadap rezim otoriter kerajaaan pada tanggal 29 Bahman 1356 HS.
Menurut laporan IRNA, Ayatullah Khamenei dalam pidatonya menyinggung kehadiran besar rakyat Iran dalam peringatan kemenangan Revolusi Islam pada tanggal 22 Bahman.
Rahbar juga menyinggung tawaran pembicaran langsung Amerika Serikat mengenai isu nuklir Iran.
"Ajakan AS untuk berdialog merupakan propaganda terhadap negara-negara yang di dalamnya terdapat angin Kebangkitan Islam. Mereka ingin mengatakan bahwa Republik Islam dalam kondisi sulit ini terpaksa membuka dialog dan kompromi," kata Rahbar.
Mengenai isu nuklir Iran Ayatullah Khamenei mengatakan, "Kami meyakini bahwa senjata nuklir harus dimusnahkan dan kami tidak berniat untuk memproduksi senjata itu. Namun jika kamitidak memiliki keyakinan ini dan memutuskan untuk memiliki senjata nuklir, maka tidak ada kekuatan yang dapat mencegah kami."
Terkait masalah dalam negeri Iran, Rahbar mengatakan, tidak dapat dikatakan bahwa rakyat tidak mengeluh terhadap mahalnya harga barang dan masalah ekonomi. Terdapat masalah terutama bagi lapisan masyarakat kelas bawah, tetapi hal ini tidak kemudian menyebabkan adanya jarak antara rakyat dan pemerintah.
Jika Iran Berniat Membuat Senjata Nuklir, AS Tak Akan Bisa Mencegah
|
Menurut Kantor Berita ABNA, Rahbar atau Pemimpin Besar Revolusi Islam Ayatollah al-Udzma Sayyid Ali Khamenei Sabtu (16/2) pagi dalam pertemuan yang penuh khidmad dengan ribuan warga Tabriz menjelaskan sepak terjang para petinggi Amerika Serikat (AS) yang tidak rasional khususnya yang berkaitan dengan tawaran perundingan, sementara di lain pihak rakyat Iran dan pemerintahan Islam selalu bersikap logis. Pada kesempatan itu, selain mengapresiasi partisipasi besar rakyat Iran dalam pawai peringatan kemenangan revolusi Islam ke-34, 22 Bahman (10 Februari) yang lalu, beliau juga menyampaikan pembicaraan penting terkait kericuhan yang belum lama ini terjadi di parlemen Majles Shura Islam.
Dalam pertemuan yang digelar untuk memperingati kebangkitan warga Tabriz 29 Bahman tahun 1356 HS (18 Februari 1978) itu Pemimpin Besar Revolusi Islam mengenang para syuhada yang gugur dalam peristiwa itu seraya menyebut agama dan iman, sebagai tolok ukur dan panduan gerakan bangsa Iran. "Contoh nyata dari manifestasi hakikat ini adalah perjuangan rakyat [provinsi] Azerbaijan selama 150 tahun yang selalu didasari oleh keimanan," kata beliau.
Menurut beliau, faktor utama yang membuat bangsa Iran tahan menghadapi bermacam tekanan dari adidaya dunia termasuk beragam sanksi adalah keimanan kepada agama. Beliau menambahkan, "Sejak beberapa bulan lalu mereka menerapkan embargo yang mereka sebut ‘melumpuhkan'. Bahkan beberapa hari lalu, menjelang peringatan ulang tahun kemenangan revolusi, mereka menjatuhkan sanksi-sanksi tambahan dengan maksud melemahkan tekad dan resistensi rakyat Iran. Tapi rakyat Iran justeru memberikan jawaban yang telak lewat pawai 22 Bahman yang berlangsung lebih meriah dibanding tahun-tahun sebelumnya."
Pawai 22 Bahman, menurut Rahbar, ibarat longsoran salju yang besar yang menimpa dan jatuh tepat di atas kepala musuh-musuh bangsa Iran. Seraya menyampaikan penghargaan kepada rakyat Iran atas partisipasi luas mereka dalam pawai kemenangan revolusi Islam, beliau menyatakan bahwa mengulang seratus kali ucapan terima kasih ini bukan hal yang berlebihan, sebab semangat dan kearifan bangsa Iran memang sangat layak untuk dihargai.
Ayatollah al-Udzma Khamenei mengenai kondisi saat ini menegaskan, "Menghadapi keimanan, tekad yang kuat, kearifan, keberanian dan ketabahan bangsa Iran, musuh dipaksa untuk bersikap pasif. Akibatnya, mereka melakukan tindakan-tindakan yang tidak rasional."
Beliau lebih lanjut menjelaskan tindakan dan pernyataan para petinggi AS yang tidak rasional, kontradiktif dan mengandung unsur arogansi. "Para petinggi AS berharap semua orang akan tunduk dan menuruti kata-kata mereka yang tidak rasional dan arogan, dan memang banyak yang tunduk dan menyerah. Tapi bangsa Iran dan pemerintahan Republik Islam tak akan pernah bisa ditundukkan, sebab bangsa ini punya logika, kemampuan dan kekuatan," tegas beliau.
Dalam penjelasannya, Pemimpin Besar Revolusi Islam membawakan sejumlah contoh dari perilaku dan tindakan para petinggi AS yang tidak rasional. Beliau mengatakan, "Mereka mengaku komitmen dengan hak asasi manusia dan mengibarkan panji HAM di seluruh dunia. Tapi secara prakteknya, justeru merekalah yang paling banyak melakukan pelanggaran HAM dan dengan memicu tragedi seperti Guantanamo dan Abu Ghraib serta pembantaian rakyat Afghanistan dan Pakistan, mereka melakukan penistaan terbesar terhadap HAM."
Contoh lain dari tindakan irasional para pejabat tinggi AS dan kontradiksi antara kata-kata dan perbuatan mereka adalah klaim mereka tentang keberadaan senjata pemusnah massal di Irak yang menjadi pemicu serangan ke negara itu, 11 tahun yang lalu. Tapi di kemudian hari terbukti bahwa klaim itu tidak berdasar sama sekali. Di saat yang sama, AS tetap mendukung dan melindungi Rezim Zionis Israel yang secara terbuka mengakui memiliki persenjataan nuklir yang mengancam keamanan kawasan.
Berikutnya adalah klaim AS soal penegakan demokrasi di dunia. Rahbar menandaskan, "Dari satu sisi, para petinggi AS mengaku menegakkan demokrasi, tapi di sisi lain, mereka selalu menentang dan melawan Iran yang menegakkan sistem demokrasi paling transparan di kawasan."
Beliau juga mempersoalkan sikap AS yang dengan tanpa malu sedikitpun justeru mendukung rezim-rezim yang memerintah di negara-negara yang sama sekali tidak mengenal demokrasi dengan rakyatnya yang tak pernah mengenal kotak suara dan pemilihan umum.
Contoh selanjutnya dari kontradiksi antara kata-kata dan tindakan para petinggi AS adalah klaim mereka tentang kesiapan berunding dengan Iran untuk menyelesaikan permasalahan yang ada di antara kedua negara. Ayatollah al-Udzma Khamenei mengungkapkan, "Klaim ini disampaikan di saat orang-orang AS masih melontarkan tuduhan yang tidak benar terhadap Republik Islam, dan untuk itu, Iran terus ditekan dan dijatuhi sanksi."
Menyinggung pernyataan Presiden AS beberapa hari lalu yang mengaku berusaha mencegah Iran membuat senjata nuklir, beliau menegaskan, "Jika Iran berniat membuat senjata nuklir, AS tak akan pernah bisa mencegahnya."
Beliau menambahkan, "Republik Islam Iran tak pernah berniat membuat senjata nuklir, dan keputusan ini diambil bukan untuk memuaskan hati AS, tapi karena dilandasi masalah keyakinan bahwa senjata nuklir adalah kejahatan terhadap kemanusiaan. Selain menekankan untuk tidak membuat senjata nuklir, Republik Islam juga mendesak supaya senjata nuklir dilenyapkan dari dunia."
Ayatollah al-Udzma Khamenei menjelaskan bahwa masalah sebenarnya bukan terletak pada soal senjata nuklir, tapi karena AS berupaya keras mencegah Iran melakukan apa yang menjadi haknya, termasuk hak pengayaan uranium dan pemanfaatan energi nuklir untuk kepentingan damai. "Yang pasti, mereka tak akan pernah berhasil, dan bangsa ini akan melanjutkan pekerjaannya yang didasari oleh hak yang sudah terjelaskan," tandas beliau.
Kerja keras AS untuk menistakan hak-hak bangsa Iran, kata Rahbar, adalah contoh nyata dari tindakan mereka yang tidak rasional. Karena itu, logika tak pernah bisa digunakan dalam berbicara dengan pihak yang tidak menggunakan nalar dan hanya mengandalkan kekuatan.
Mengenai tawaran berunding yang disampaikan para petinggi AS lewat corong-corong propaganda dan media massa yang umumnya dikuasai Zionis dan AS, beliau menyebutnya sebagai tindakan menipu opini umum. "Media massa dunia tidak menyampaikan kata-kata kita, kecuali sepotong-sepotong atau bahkan terbalik. Karena itu, apa yang kami sampaikan ini ditujukan kepada rakyat Iran sendiri," ungkap beliau.
Lebih lanjut Pemimpin Besar Revolusi Islam menjelaskan lima hal penting terkait perundingan dengan AS; irasional dan kontradiksi pernyataan dan tindakan para petinggi AS - perundingan dimaksudkan oleh AS untuk memaksa bangsa Iran tunduk - makna hakiki perundingan di mata kaum arogan - omong kosong AS soal pencabutan embargo jika Iran bersedia berunding - sikap logis Republik Islam Iran menghadapi tawaran AS.
Ayatollah al-Udzma Khamenei menyebut propaganda sebagai tujuan utama di balik tawaran AS untuk berunding dengan Iran guna mengesankan Iran tunduk kepada kemauan AS. Beliau menandaskan, "AS ingin mengesankan kepada bangsa-bangsa Muslim yang lain bahwa Republik Islam Iran yang selama ini resisten pada akhirnya bersedia berunding dan berdamai dengan AS. Dengan cara ini AS berharap bisa memaksa bangsa-bangsa lain tunduk mengikuti kemauannya."
Beliau menambahkan, "Sejak lama kubu arogansi ingin menciptakan pesimisme di tengah bangsa-bangsa Muslim dengan menarik Iran ke meja perundingan. Dan sekarang program yang sama dikemas dalam bingkai ‘perundingan untuk masalah-masalah yang tidak substansial'. Akan tetapi Republik Islam Iran bisa membaca maksud itu dan mengambil sikap yang semestinya."
Mengenai makna yang sebenarnya dari perundingan di mata AS dan Barat, Pemimpin Besar Revolusi Islam menjelaskan bahwa di mata mereka perundingan adalah menerima semua yang mereka diktekan di meja perundingan. Beliau mengungkapkan, "Dengan pandangan yang tidak rasional ini, lewat corong propagandanya, mereka berbicara soal perundingan langsung dengan Iran untuk memaksa Iran melepas program energi nuklir dan pengayaan uranium. Jika jujur, mestinya mereka mengatakan bahwa perundingan ini ditujukan untuk mendengarkan argumentasi Iran sehingga permasalahan yang ada dibahas secara fair."
"Dengan persepsi para petinggi AS seperti ini yang mengharapkan Iran tunduk pada kemauan mereka, jika pemerintah Iran bersedia berunding, apa faedah yang didapat dari perundingan ini dan apakah perundingan ini bisa membuahkan hasil?," kata beliau.
Rahbar mengingatkan kembali perundingan 15 tahun yang lalu saat AS menyebutnya sebagai hal yang lazim, mendesak dan urgen. Namun setiap kali kalah dalam berargumentasi, AS secara sepihak meninggalkan meja perundingan, lalu dengan mesin propagandanya, Washington mengesankan bahwa pihak Iranlah yang menghentikan perundingan.
Selanjutnya beliau mengajukan pertanyaan, "Apakah dengan adanya pengalaman-pengalaman seperti ini kita masih harus mencoba menanggapi ketidaklogisan sikap AS dengan berunding?"
Tentang janji AS untuk mencabut embargo jika Iran bersedia duduk di meja perundingan, Ayatollah al-Udzma Khamenei menyebutnya sebagai omong kosong, seraya mengatakan, "Mereka beranggapan bahwa rakyat Iran sudah tak tahan menghadapi berbagai macam embargo ini sehingga menyambut gembira tawaran berunding dengan AS dan menekan para pejabat negara."
Beliau menambahkan, "Janji ini tak lebih dari kata-kata tipuan sekaligus membuktikan bahwa mereka tidak menghendaki perundingan yang sebenarnya dan adil. Yang mereka maukan adalah rakyat Iran menyerah. Padahal jika mau menyerah, bangsa ini tak akan pernah melakukan revolusi."
Masih mengenai embargo, Pemimpin Besar Revolusi Islam mengingatkan kembali pengakuan para petinggi AS yang menyebut embargo sebagai alat untuk melumpuhkan bangsa Iran dan memisahkan mereka dari pemerintahan Islam. Artinya, selama bangsa ini masih loyal kepada revolusi dan gigih memperjuangkan hak-haknya, maka embargo akan selalu ada.
Beliau menyatakan bahwa bangsa Iran menginginkan kemajuan, kemakmuran dan kesejahteraan. Tapi menolak untuk memperolehnya dengan kehinaan. Tujuan itu harus dicapai dengan mengandalkan kearifan, tekad dan keberanian serta dengan mengerahkan tenaga-tenaga dalam negeri, khususnya kaum muda yang potensial di negeri ini.
Seraya mengakui bahwa embargo telah menyulitkan rakyat, Rahbar menegaskan, "Menghadapi embargo hanya ada dua jalan yang bisa dipilih; menyerah dan tunduk kepada kemauan kubu arogansi dunia seperti yang dilakukan oleh bangsa-bangsa yang lemah atau mengaktifasi potensi dan tenaga dalam negeri untuk melewati kesulitan ini dengan kepala tegak seperti yang dilakukan bangsa Iran yang pemberani. Rakyat Iran memilih jalan kedua dan dengan izin Allah, embargo ini akan menjadi jalan ke arah kemajuan."
Menyinggung partisipasi luas rakyat Iran dalam pawai peringatan kemenangan revolusi Islam 22 Bahman, Pemimpin Besar Revolusi Islam menyatakan bahwa partisipasi luas ini jangan diartikan bahwa rakyat tak punya keluhan akan tingginya harga barang-barang kebutuhan. Kondisi ini sangat menyulitkan terutama bagi masyarakat lapisan bawah. Tapi yang jelas, tak ada jurang pemisah antara rakyat dan pemerintahan Islam. Rakyat tetap yakin bahwa pemerintahan Islam dan agama Islamlah yang bisa mengatasi kesulitan yang ada.
Dalam menyimpulkan pembahasan tentang perundingan dengan AS, beliau mengatakan, "Berbeda dengan para petinggi AS, pemerintahan Islam dan bangsa Iran punya sikap dan pandangan yang logis, dan akan bersikap yang semestinya ketika menyaksikan kata-kata dan perilaku yang logis dari lawannya."
Lebih lanjut Ayatollah al-Udzma Khamenei menyebutkan beberapa hal yang bisa menjadi pertanda akan itikad baik para petinggi AS diantaranya; menghindari sikap-sikap arogan dan jahat, menghormati hak-hak bangsa Iran, tidak intervensi dalam urusan internal Iran seperti yang dilakukan tahun 2009 ketika AS mendukung gerakan pengacau dan fitnah pasca pemilu dan pada akhirnya dukungan itu terbongkar, dan menghindari sikap yang menyulut pertikaian di kawasan.
"Jika dalam kata-kata dan tindakan, para petinggi AS membuktikan tidak lagi bersikap irasional, saat itulah mereka aka melihat bahwa Republik Islam dan bangsa Iran adalah pihak yang menghendaki kebaikan, suka bekerjasama dan bersikap logis," kata beliau.
Di bagian lain pembicaraannya, Rahbar menyinggung kericuhan yang terjadi di parlemen hari Ahad dua pekan lalu. Beliau menyatakan bahwa kejadian ini melukai hati rakyat dan kalangan elit bangsa ini.
"Dari dua sisi saya sangat terpukul atas terjadinya peristiwa yang buruk dan tidak layak itu. Pertama karena kasus itu sendiri dan kedua karena saya merasakan kesedihan rakyat atas kejadian ini," ungkap beliau.
Pemimpin Besar Revolusi Islam menegaskan bahwa tuduhan yang dilontarkan salah satu pimpinan lembaga tinggi negara terhadap pimpinan dua lembaga tinggi lainnya tanpa didasari bukti yang kuat dan tanpa melalui proses persidangan adalah tindakan yang buruk, keliru, tidak layak, berlawanan dengan syariat, bertentangan dengan undang-undang dan tidak etis.
"Untuk saat ini saya hanya menasehati bahwa perbuatan ini tidak layak untuk pemerintahan Republik Islam," tegas beliau.
Ayatollah al-Udzma Khamenei juga menyebut interpelasi terhadap salah seorang menteri oleh parlemen sebagai tindakan yang keliru. Sebab, interpelasi mestinya dilakukan jika ada manfaatnya. Sementara usia kabinet hanya tinggal beberapa bulan, apalagi alasan yang digunakan untuk melakukan interpelasi adalah tuduhan yang tidak ada hubungannya dengan menteri terkait.
Mengenai apa yang dilakukan Ketua Parlemen, beliau mengatakan, "Pembelaan ketua parlemen juga berlebihan dan itu sebenarnya tidak perlu dilakukan."
Lebih lanjut beliau mengingatkan, "Ketika ada musuh yang sama dan tipu daya berdatangan dari segala arah, adakah yang bisa dilakukan selain meningkatkan tali persaudaraan dan resistensi di hadapan musuh?"
Seraya menyatakan bahwa pemimpin revolusi akan selalu mendukung para pejabat negara, beliau menambahkan, "Saya akan tetap membantu. Tapi perlakuan-perlakuan seperti ini jelas bertentangan dengan sumpah jabatan."
Ayatollah al-Udzma Khamenei mengatakan, "Taqwa! Taqwa! Taqwa! Kami berharap para pejabat negara bisa bersabar, tidak membiarkan hawa nafsu masuk ke tengah medan, dan jangan pernah putus memikirkan masalah negara. Fokuskan seluruh potensi dan tenaga untuk menyelesaikan permasalahan rakyat. Ketika gangguan dari musuh semakin meningkat, tingkatkan pula persahabatan."
Di awal pertemuan, Ayatollah Mojtahed Shabestari, wakil Wali Faqih di provinsi Azerbaijan Timur dan Imam Jum'at Tabriz dalam kata sambutannya ikut mengenang para syuhada peristiwa kebangkitan 29 Bahman 1356 HS di Tabriz.
Seraya menyinggung partisipasi luas rakyat Iran dalam pawai peringatan kemenangan revolusi Islam 22 Bahman, Shabestari mengatakan, "Pesan yang diusung rakyat Iran dalam pawai 22 Bahman adalah menjaga persatuan dan solidaritas di tengah masyarakat, kepedulian akan prinsip etika di panggung politik dan kerja keras para pejabat negara untuk menyelesaikan berbagai kesulitan yang ada."
Terungkapnya Jati Diri Para Aktor di Syria
(dimuat di IRIB dan The Global Review)
Dina Y. Sulaeman*
Konflik di Syria telah memasuki fase baru. Bila sebelumnya kaum oposisi ‘berjuang’ di bawah bendera Syrian National Council dan Free Syrian Army (FSA), kini masing-masing faksi di dalamnya mulai berpecah dan menampakkan ideologinya masing-masing. SNC dan FSA dibentuk di Turki. Di dalam FSA bernaung sebagian besar milisi (sebagian pihak menyebutnya ‘mujahidin’), termasuk Al Qaida. Mereka menjadikan Sheikh Adnan Al-Arour yang tinggal di Arab Saudi sebagai pemimpin spiritual. Dalam salah satu pidatonya yang bisa dilihat di You Tube, Al Arour menjanjikan bahwa bila pasukan mujahidin menang, kaum Alawi akan ‘dicincang lalu dberikan ke anjing’.
Kaum muslim ‘moderat’, dipimpin oleh Ikhwanul Muslimin, memilih untuk bergabung dalam National Coalition for Syrian Revolutionary and Opposition Forces yang baru dibentuk bulan November lalu di Doha, Qatar. Koalisi baru ini didukung oleh Qatar, Arab Saudi, AS, Inggris, dan Prancis. Negara-negara tersebut selama ini memang sudah membiayai, mengirimi senjata, dan memfasilitasi kedatangan pasukan ‘jihad’ dari berbagai negara Arab dan Libya untuk membantu FSA, namun kini secara terbuka telah menyatakan akan mengirim bantuan senjata kepada koalisi baru tersebut. Jadi, meskipun ‘moderat’, koalisi baru ini tetap akan angkat senjata melawan rezim Assad.
Kelompok-kelompok yang berhaluan Hizbut Tahrir (meski tidak mengatasnamakan diri Hizbut Tahrir, tetapi mendapat dukungan secara terbuka dari berbagai cabang HT di dunia, termasuk dari Indonesia), mengecam pembentukan koalisi baru tersebut. Kelompok ini, antara lain, Gabhat al Nousra, Ahrar Al Sham Kataeb, Liwaa al Tawhiid, dan Ahrar Souria memilih memisahkan diri dan mendeklarasikan perjuangan untuk membentuk khilafah di Syria.
Meski ‘bercerai-berai’, kelompok oposisi Syria memiliki suara dan tekad yang sama: menumbangkan “rezim Assad yang sesat dan kafir”. Mereka pun selama ini saling membantu dalam menciptakan opini publik: betapa kejam dan brutalnya rezim Assad dalam membantai rakyatnya sendiri. Semua ini mengaburkan fakta yang sebenarnya terang benderang: AS dan Israel ingin menggulingkan rezim Assad dan menggantikannya dengan rezim yang mau ‘mengamankan’ Israel. Konflik Syria-Israel adalah catatan sejarah yang panjang yang kini coba diabaikan dan ditutupi oleh isu perjuangan jihad melawan kaum ‘Alawi yang kafir’ itu.
AS dan sekutunya sebenarnya menggunakan skenario yang persis sama dengan Libya: dukung kelompok oposisi dengan persenjataan. Ketika pemerintah berusaha mengendalikan pemberontakan (lalu, apalagi yang harus dilakukan pemerintah menghadapi pemberontak? Apa yang harus dilakukan pemerintah Indonesia bila misalnya, tiba-tiba sekelompok gerilyawan di Jawa Barat angkat senjata dan ingin mengambil alih pemerintahan? Diam saja dan menyerahkan pemerintahan atas nama demokrasi?), kelompok oposisi pun berteriak meminta bantuan internasional (dengan nama indah: ‘humanitarian intervention’). Lalu, datanglah NATO membombardir Libya. Qaddafi tumbang, pemerintahan pun digantikan oleh tokoh-tokoh yang ‘lunak’ dan membiarkan semua proyek rekonstruksi dan eksplorasi minyak diambil oleh perusahaan-perusahaan Barat.
Inilah yang sedang terjadi di Syria. Awalnya, sejak Januari 2011, rakyat Syria diseru via facebook dan twitter untuk turun ke jalan. Ada aksi demo, tapi sangat tidak signifikan, apalagi bila dibandingkan dengan aksi demo di Kairo. Lalu, terjadilah tragedi Daraa, kota kecil berpenduduk 75.000 jiwa yang dekat perbatasan Jordania. Jurnalis independen Prancis, Thierry Meyssan sejak awal mengendus pemilihan Daraa sebagai titik awal gerakan bersenjata kaum oposisi karena mudahnya suplai senjata dan milisi jihad dari Jordan. Demo di Daraa terjadi tanggal 23 Maret 2011. Jumlah yang tewas adalah 7 polisi dan sedikitnya 4 demonstran. Adanya data bahwa polisi tewas dalam demonstrasi itu sangat penting karena ini menunjukkan bahwa ada tembak-menembak antara polisi dan demonstran. Artinya, demonstrasi saat itu bukanlah demonstrasi damai seperti diklaim media massa Barat. Selain itu, pemberitaan media (salah satunya, Aljazeera) juga menunjukkan bahwa markas kantor Partai Baath dan kantor pengadilan juga dirusak massa. Demonstrasi damaikah ini?
Berbeda dengan kondisi di Mesir dan Tunisia di mana aksi demo local memuncak menjadi demo nasional yang berpusat di ibu kota negara, justru menyusul tragedi di Daraa, muncul demo besar-besaran yang mendukung Assad. Demo itu terjadi di Damaskus, tanggal 26 Maret 2011. Kantor berita Reuters yang menyiarkan foto-fotonya, namun, tidak disebut-sebut dalam pemberitaan media-media mainstream. Televisi Syria menyiarkannya secara live. Rekaman aksi demo dengan jumlah massa yang sangat massif ini bisa didapatkan di You Tube.
Selanjutnya terjadi aksi-aksi kerusuhan bersenjata di berbagai tempat, dengan korban di dua pihak, polisi dan massa. Tapi, tentu saja, yang disebarluaskan media massa dunia dan media massa Islam yang berafiliasi dengan organisasi ‘mujahidin’ adalah rezim Assad melakukan kebrutalan terhadap rakyat. Fakta yang ditemukan jurnalis-jurnalis independen sejak awal, terkait suplai senjata dan pasukan dari negara-negara Arab, diabaikan begitu saja. Temuan para blogger tentang rekayasa foto-foto dan film yang disebarkan media massa juga dianggap sepi, padahal semua begitu jelas: gambar demo di Tunisia disebut demo di Syria, gambar demo pendukung Assad, disebut demo anti-Assad, gedung hancur di Palestina disebut gedung yang hancur di Syria; orang tewas berdarah-darah di Palestina disebut korban pembunuhan Assad; serangan brutal yang dilakukan mujahidin diklaim sebagai serangan tentara Assad, dan banyak lagi.
Dan tentu saja, sekali lagi, ketika pasukan mujahidin bersenjata sedemikian lengkap dan didukung pasukan jihad multinasional, lalu pemerintah melawan, pastilah ada korban di kedua pihak. Keduanya harus diekspos seimbang. Namun yang selalu diungkap oleh media mainstream dan yang berafiliasi dengannya adalah korban di pihak ‘mujahidin’. Untunglah, ada jurnalis-jurnalis independen dan citizen journalist yang dengan gigih melakukan pengimbangan berita.
Para pengamat politik yang concern pada masalah Syria akan sepakat bahwa Rezim Assad berideologi sosialis dan haluan pemerintahannya sangat sekuler. Rezim Assad jauh sekali dari definisi ‘pemerintahan berhaluan Alawi’. Tapi karena ‘kebetulan’ dia dan kalangan elit pemerintahnya bermazhab Alawi, isu Sunni-Syiah dijadikan pretext jihad. Mengingat 80% rakyat Syria adalah Sunni, tentu logikanya, mereka sangat kuat. Data-data menunjukkan bahwa mayoritas anggota militer Syria adalah Sunni, meski elitnya Alawi. Bila mayoritas mereka memang membenci Assad, sangat mudah menumbangkannya, sebagaimana tumbangnya para diktator lain: Syah Reza Pahlevi, Ben Ali, Mubarak. Tak perlu ada pasukan asing yang didatangkan dari berbagai penjuru Arab; tak perlu mengemis bantuan senjata dari luar; tak perlu menyebarkan isu mazhab; tak perlu berkoalisi dengan AS yang jelas-jelas sekutu Israel.
Dulu, Syah Pahlevi di Iran, kurang kuat apa secara militer? Militer Iran saat itu yang terkuat di Timteng, dilatih langsung oleh CIA dan MOSAD, dukungan besar pun diberikan Barat karena kilang-kilang minyak Iran saat itu dikuasai Inggris dan AS. Tapi karena mayoritas rakyat Iran, apapun mazhab dan agamanya, memang sudah muak, mereka bangkit tanpa senjata, hanya berdemo masif berpekan-pekan. Tentu saja, mereka ditembaki tentara Syah; tapi mereka tidak membalas dengan senjata, dan tidak pula minta bantuan asing. Akhirnya, Syah pun tumbang, hanya dengan aksi demo; sebagaimana juga Ben Ali dan Mubarak.
Lalu bagaimana ujung dari konflik ini? Minimalnya ada dua hal yang bisa diprediksi:
1. Seandainya Assad terguling dan kelompok jihad meraih kekuasaan, di antara mereka pun akan muncul peperangan karena perbedaan manhaj; di antara mereka sejak awal sudah ada perbedaan visi, model pemerintahan Islam seperti apa yang akan dibentuk? Sejak sekarang pun di antara mereka sudah saling kecam.
2. AS sendiri sedang ketakutan melihat potensi berdirinya khilafah. Selain telah memasukkan Gabhat Al Nousra dalam daftar teroris, AS pun mulai berupaya terjun langsung ke medan perang. Thierry Meyssan melaporkan, AS tengah berencana mengirim 6000 pasukan jihad, termasuk 4000 orang dari Lebanon, lalu beberapa mantan jenderal angkatan bersenjata pemerintah akan mengklaim berhasil meraih kekuasaan dan meminta bantuan internasional. Hal ini, ditambah dengan isu penggunaan senjata kimia oleh Assad akan dijadikanpretext perang yang melibatkan NATO atau PBB.
Apapun yang akan terjadi ke depan, yang jelas, mayoritas rakyat Syria kini menderita. Syria, negeri yang indah dan disebut sebagai the craddle of civilization itu kini luluh lantak. Lebih setengah juta rakyat hidup menderita di pengungsian. Kaum perempuan Syria juga jadi korban perdagangan perempuan, dijual ke lelaki-lelaki hidung belang dari negara-negara Arab pendukung perang. Dan akar semua ini adalah ketidakmampuan sebagian elemen Syria mengidentifikasi siapa musuh mereka sebenarnya. Mereka merasa sedang berjuang, padahal sebenarnya sedang menari bersama iringan genderang musuh.
*magister Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran, Reserch Associate of Global Future Institute
————————————————-
Video di bawah ini patut ditonton mereka yang inginkan kebenaran, antara lain isinya:
-bukti-bukti rekayasa media massa ttg Syria, misalnya, demo di Tunis, disiarkan ulang dengan dikatakan: demo di Syria; video lama ttg seorang laki2 telanjang yg digebukin krn ketahuan selingkuh, diposting ulang dengan dikatakan ‘disiksa tentara Assad’; foto-foto rekayasa, dll.
-demo besar-besaran rakyat Syria mendukung Assad, yang sama sekali tidak disiarkan oleh media Barat (dan media negara-negara pendukung aksi penggulingan rezim di Syria)
Ini salah satu reportase Thierry Meyssan, klik kotak di kanan bawah utk subtitle bhs Inggris. Dalam video ini antara lain bisa dilihat kutipan khutbah Adnan Arour.
Mengapa Iran Tak Serang Israel?
Oleh: Dina Y. Sulaeman
Pertanyaan ini sering muncul di dalam berbagai diskusi di dunia maya, “Kalau Iran betul-betul anti-Israel, mengapa Iran sampai sekarang tidak jua menyerang Israel?” Pertanyaan ini konteksnya adalah menuduh Iran omdo (omong doang), bahkan ada yang lebih parah lagi, menggunakan teori konspirasi, “Ini bukti bahwa ada kerjasama di balik layar antara Iran dan Israel.”
Bila memakai kalkulasi hard power, harus diakui bahwa sebenarnya kekuatan Iran masih jauh di bawah AS. Apalagi, doktrin militer Iran adalah defensive(bertahan, tidak bertujuan menginvasi negara lain). Iran hanya menganggarkan 1,8% dari pendapatan kotor nasional (GDP)-nya untuk militer (atau sebesar 7 M dollar). Sebaliknya, AS adalah negara dengan anggaran militer terbesar di dunia, yaitu 4,7% dari GDP atau sebesar 687 M dollar. Bahkan, AS telah membangun pangkalan-pangkalan militer di berbagai wilayah di sekitar Iran. AS adalah pelindung penuh Israel dan penyuplai utama dana dan senjata untuk militer Israel. Bujet militer Israel sendiri, pertahunnya mencapai 15 M Dollar (dua kali lipat Iran).
Sebelum menjawab ‘mengapa Iran tidak langsung menyerang Israel’?, mari kita jawab dulu pertanyaan sebaliknya, mengapa AS dan Israel tidak jua menyerang Iran? AS sebenarnya tidak berkepentingan menyerang Iran. Tetapi, Israel berkali-kali meminta AS untuk menyerang Iran dengan alasan “Iran memiliki nuklir yang mengancam keselamatan Israel.” Ketika rezim Obama enggan menuruti permintaan Israel, Israel bahkan mengancam akan menyerang Iran sendirian, tanpa bantuan AS. Untuk menelaah prospek perang AS+Israel melawan Iran, Anthony Cordesman dari Center for Strategic and International Studies merilis hasil penelitiannya pada bulan Juni 2012. CSIS melakukan kalkulasi bila AS dan Israel menyerang Iran, antara lain menghitung berapa banyak pesawat pengebom yang dibutuhkan, berapa banyak bom yang harus dibawa, apa kemungkinan serangan balasan dari Iran, dan bagaimana cara menghadapinya.
Salah satu kesimpulan yang diambil Cordesman adalah, profil militer Israel tidak akan mampu melakukan serangan tersebut. Untuk menyerang Iran, Israel harus mengerahkan seperempat pasukan udaranya dan semua pesawat tempurnya, sehingga tidak ada pesawat cadangan untuk berjaga-jaga. Pesawat-pesawat tempur itu harus melewati perbatasan Syria-Turki sebelum terbang di atas udara Irak and Iran. Dan wilayah-wilayah tersebut, sangat rawan bagi Israel. Menurut Cordesman, “Berdasarkan jumlah pesawat yang diperlukan, proses pengisian bahan bakar yang harus dilakukan sepanjang perjalanan menuju Iran, serta usaha mencapai target gempuran tanpa terdeteksi sangatlah beresiko tinggi dan kecil kemungkinan keseluruhan operasi militer tersebut akan berhasil.”
Dan bahkan jika pesawat tempur Israel berhasil mengebom reaktor nuklir Iran, pembalasan yang dilakukan Iran akan membawa dampak yang sangat buruk bagi kawasan Timur Tengah. Cordesman menulis, “Anda tidak akan ingin tahu seperti apa jadinya Timur Tengah sehari setelah Israel berupaya menyerang Iran.”
Karena itu, bila Israel berkeras ingin menyerang Iran, Israel harus menggandeng AS. Tapi, bila AS menyetujui permintaan Israel ini, AS harus mengerahkan ratusan pesawat dan kapal tempur. Serangan awal saja sudah membutuhkan alokasi kekuatan yang sangat besar, termasuk pengebom utama, upaya penghancuran system pertahanan udara lawan, pesawat-pesawat pendamping untuk melindungi pesawat pengebom, peralatan perang elektronik, patrol udara untuk menahan serangan balasan dari Iran, dll. Pada saat yang sama, AS harus menghalangi Iran agar tidak melakukan aksi apapun di Selat Hormuz. Bila Iran sampai berhasil memblokir Selat Hormuz, suplai minyak dan gas dunia akan terhambat dan efeknya akan sangat buruk bagi perekonomian dunia. Dan ini bukan pekerjaan mudah. Iran selama ini justru sangat memperkuat kemampuan militernya demi mengontrol Selat Hormuz bila terjadi perang. Meskipun, AS juga sudah mempersiapkan banyak hal untuk menjaga agar Hormuz tetap terbuka, antara lain dengan menempatkan berbagai perlengkapan militer di Bahrain, Saudi Arabia, Qatar, Kuwait, dan UAE. Namun inipun mengandung ancaman lain. Iran berkali-kali mengancam, bila wilayahnya diserang, Iran akan melakukan serangan balasan ke semua negara Arab yang di dalamnya ada pangkalan militer AS. Belum lagi, Rusia dan China diperkirakan akan ikut campur demi mengamankan kepentingan mereka sendiri di Timteng. Tak heran bila banyak analis mengungkapkan ramalan bahwa Perang Dunia III akan meletus bila AS sampai menyerang Iran.
Lihatlah situasinya: bila Israel dan AS menyerang Iran, artinya mereka keluar dari wilayah mereka sendiri dan harus bersusah-payah mengusung semua perlengkapan militernya. Lalu, urusan tidak selesai hanya dengan menjatuhkan bom ke situs nuklir Iran. Serangan balik dari Iran, dan posisi geostrategis Iran, sangat memberikan potensi kekalahan bagi AS dan Israel. Karena itulah, Menhan Leon Panetta sampai berkata, “Sangat jelas bahwa bila AS melakukan serangan itu, kita akan mendapatkan akibat buruk yang sangat besar.”
Sekarang mari kita balik: bagaimana seandainya Iran menyerang Israel? Minimalnya, ada dua versi jawaban yang bisa diberikan sementara ini.
- Berdasarkan kalkulasi hard power. Ingat lagi profil militer Iran. Bisa dibayangkan, berapa banyak senjata yang dimiliki Iran dengan dana 7 M Dollar pertahun, dibandingkan dengan banyaknya senjata yang dimiliki AS dengan dana 687 M Dollar pertahun. Bandingkan lagi dengan kondisi ‘seandainya Israel menyerang Iran’ seperti yang sudah dianalisis Cordesman di atas. Kesimpulan yang bisa diambil adalah saat ini, profil militer Iran memang belum mampu menyerang Israel secara langsung, begitu juga sebaliknya, Israel juga belum mampu menyerang Iran secara langsung. Sementara, AS punya hitung-hitungan lain di luar sekedar menyerang Iran. AS akan menghadapi kehancuran ekonomi yang sangat parah bila sampai mengobarkan perang terhadap Iran.
Artinya, kedua pihak saat ini masih dalam posisi sama-sama bertahan. Itulah sebabnya, retorika Iran selama ini memang selalu defensif: Iran tidak mengancam akan menyerang, melainkan ‘akan membalas bila ada yang berani menyerang’. Seandainya Iran dalam posisi diserang dan membela diri dari dalam negeri (bukan dalam posisi menyerang dan mengirimkan pasukan ke luar wilayahnya) Iran sangat mungkin bertahan dan meraih kemenangan, karena memiliki keunggulan geostrategis. Hanya dengan memblokir Selat Hormuz, seluruh dunia akan merasakan dampak buruk perang dan bahkan AS akan bangkrut sehingga tak akan mampu melanjutkan perang.
Sebaliknya, untuk bisa maju perang (=secara ofensif mengirimkan senjata dan pasukan ke luar wilayahnya), Iran tidak mungkin maju sendirian. Bila negara-negara Arab, terutama yang berbatasan darat dengan Palestina, belum siap berjuang, tentu sangat konyol bila Iran harus mengirim pasukan ke Palestina yang jauhnya 1500 km dari Teheran. Berapa banyak pasukan, pesawat tempur, dan rudal yang mampu dikirim oleh Iran yang hanya punya anggaran 7 M Dollar pertahun? Bila Mesir saja yang pemerintahannya dikuasai Ikhwanul Muslimin (artinya, seideologi dengan Hamas) masih menutup pintu perbatasannya dengan Gaza; masih menolak untuk terjun langsung ke medan pertempuran membela saudara se-harakah mereka, mengapa Iran yang di-ojok-ojok untuk mengirim pasukan perang? Karena itu, dari sisi ini, hanya satu kata untuk menilai pertanyaan ‘mengapa Iran tidak langsung menyerang Israel?’ : naif.
2. Berdasarkan kalkulasi soft power. Sangat mungkin, di atas kertas, profil militer Iran memang seperti yang diungkapkan di atas. Tapi, bila diingat lagi percepatan kemajuan teknologi militer yang dicapai Iran dan statemen beberapa petinggi militer Iran yang menyebutkan bahwa kemampuan Iran ‘jauh lebih besar dari apa yang terlihat’, ada aspek lain yang perlu dipertimbangkan. Iran adalah negara yang berbasis teologi mazhab Syiah dan meyakini adanya aspek transenden dalam setiap keputusan yang diambil oleh pemimpin spiritual mereka (rahbar). Militer Iran pun berada di bawah wewenang rahbar, yang sekarang dijabat Ayatullah Khamenei. Iran meyakini bahwa Ayatullah Khamanei memiliki kemampuan transenden sehingga mengetahui kapan saat yang tepat untuk maju perang. Orang lain boleh tidak percaya, tetapi ini adalah urusan rakyat Iran sendiri.
Di sini, pertanyaan mengapa Iran belum juga menyerang Israel secara langsung (seandainya memang kemampuan militernya sebenarnya sudah mencukupi) akan mendapat jawaban sederhana saja: karena belum diizinkan oleh sang Rahbar. Lalu, mengapa Rahbar belum memberi izin? Silahkan dipikirkan sendiri, dengan mengaitkannya pada hal-hal yang bersifat ideologis dan relijius; dan hal ini di luar kapasitas saya untuk menjelaskan.
Intinya, perjuangan melawan Israel bukanlah perjuangan Iran saja. Ini seharusnya menjadi perjuangan bersama semua negara-negara muslim. Dan inilah yang terus diupayakan para pemimpin dan ulama Iran melalui berbagai statemen dan orasinya: membangkitkan kesadaran dan semangat juang kaum muslimin sedunia; sambil terus berupaya memperkuat profil militernya. Ini bukanlah omdo (omong doang), tapi upaya yang memang harus dilakukan sebelum mencapai kemenangan.
Akan tiba suatu masa ketika kaum muslimin sedunia bangkit bersatu dan bersama-sama merebut kembali Al Quds dari tangan para penjajah. Inilah janji Allah dalam QS 17:4-5, “Dan telah kami tetapkan terhadap Bani Israel di dalam Alkitab: sesungguhnya kalian akan membuat kerusakan di muka bumi ini dua kali dan kalian akan menyombongkan diri dengan kesombongan yang besar. Dan maka ketika telah tiba apa yang dijanjikan itu, akan kami bangkitkan para hamba yang perkasa dan memiliki kekuatan besar untuk mengalahkan kalian. Para hamba itu akan mencari kalian sampai ke tempat persembunyian kalian dan janji [Allah] itu pasti terjadi.”
update:
karena ada beberapa komentator yang nanyain sumber tulisan (pdhl, tinggal googling aja tho, cari kata kunci cordesman+csis+iran+israel), ini sy kasih linknya, silahkan download sendiri:
karena ada beberapa komentator yang nanyain sumber tulisan (pdhl, tinggal googling aja tho, cari kata kunci cordesman+csis+iran+israel), ini sy kasih linknya, silahkan download sendiri:
Lalu kalau ada yang mau tahu lebih jauh soal soft power Iran, bisa baca tulisan saya sebelumnya
Nah, kalau masih nanya, sumbernya dimana, gooling aja , The Iranian Journal of International Affairs, Manouchehr Mohammadi, soft power Iran.
Antara Mesir, Iran, dan Syria
Dina Y. Sulaeman*
“Saya yakin di era baru ini, bangsa Mesir akan bergerak menuju puncak kehormatan dan kemajuan.”[ucapan selamat Ahmadinejad kepada Mursi, atas keberhasilan referendum Mesir, 25/12/12]
Menarik sekali mengamati fenomena Mesir akhir-akhir ini. Setelah sebelumnya pemimpin Barat dan medianya sangat pro-revolusi Mesir, memberikan dukungan besar-besaran atas apa yang mereka sebut ‘proses demokratisasi Mesir’, angin pun berbalik. Sejak Presiden Mursi ‘nekad’ mengeluarkan Dekrit 22 November, media Barat beramai-ramai menghujatnya. Simak saja liputan CNN, AlJazeera (yang meskipun bermarkas di Qatar namun sejatinya corong Barat di Timur Tengah), atau New York Times. Sudut pandang pemberitaan mereka seragam: kelangsungan revolusi Mesir telah terancam; demokrasi telah disingkirkan oleh Ikhwanul Muslimin. Dengan gaya liputan yang seperti biasanya selama ini, mereka mewawancarai orang-orang di jalanan yang anti Mursi, sehingga seolah-olah sebagian besar rakyat Mesir memang marah pada Mursi. Tokoh-tokoh anti-Mursi pun naik daun, diwawancarai berkali-kali dan suara mereka seolah menjadi mewakili keinginan rakyat Mesir. Demo anti Mursi dibesar-besarkan, sementara demo pro-Mursi tidak diliput seimbang.
Dan, tentu saja, media-media yang berafiliasi dengan Ikhwanul Muslimin pun berjuang sebisanya meng-counter pemberitaan Barat itu. Blogger-blogger dari Al Azhar sibuk menulis, menceritakan apa yang sebenarnya terjadi di Mesir. Intinya, menurut versi mereka, sesungguhnya niat Mursi itu baik, karena tanpa dekrit, upaya perumusan konstitusi baru Mesir akan selalu diganggu oleh kelompok yang pro-Mubarak dan pro-Barat.
Hey, tidakkah ini seharusnya menimbulkan deja vu?
Bukankah situasi ini sering terjadi terkait banyak isu? Kita ambil contoh Iran pada tahun 2009. Saat itu, Ahmadinejad yang menjadi the bad guy. Dia dituduh curang dalam pemilu (bahkan tuduhan itu sudah dilontarkan lawannya, Mousavi, yang didukung Barat, sejak sebelum penghitungan dilakukan). Aksi-aksi protes yang minor (artinya, jumlahnya sangat sedikit dibandingkan dengan total populasi Iran) di-blow up, dibesar-besarkan dengan sangat masif oleh media Barat (dan media-media di seluruh dunia yang meng-copy-paste-nya). Seolah-olah kiamat sedang terjadi di Iran dan sebentar lagi pemerintahan Islam Iran akan tumbang. Hanya jurnalis independen, para analis politik independen, dan blogger yang menyuarakan hal sebaliknya. Akhirnya situasi bisa dikontrol pemerintah. Dan dalam sekejap, pemberitaan media mainstream saat itu beralih ke peristiwa tewasnya Micahel Jackson. Suara dari Gedung Putih pun berubah, yang semula berkoar-koar soal ‘pembunuhan demokrasi’, beralih ke isu ‘ancaman nuklir Iran’.
Lalu, apa yang sebenarnya terjadi di Mesir? Pembajakan revolusi oleh Ikhwanul Musliminkah? Atau memang benar ada kebangkitan Islam?
Setidaknya, kabar terakhir menyebutkan bahwa hasil referendum berpihak pada konstitusi baru Mesir yang berhaluan Islam. Menariknya, meski media Barat beramai-ramai menghujat konstitusi baru Mesir ini, Iran justru memujinya. Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad langsung menelpon Mursi, mengucapkan selamat kepada bangsa dan pemerintah Mesir atas keberhasilan penyelenggaraan referendum konstitusi baru di negara itu.
Setidaknya, kabar terakhir menyebutkan bahwa hasil referendum berpihak pada konstitusi baru Mesir yang berhaluan Islam. Menariknya, meski media Barat beramai-ramai menghujat konstitusi baru Mesir ini, Iran justru memujinya. Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad langsung menelpon Mursi, mengucapkan selamat kepada bangsa dan pemerintah Mesir atas keberhasilan penyelenggaraan referendum konstitusi baru di negara itu.
Sebelumnya, Mehdi Sanaei, anggota Parlemen Iran, dari Komisi Keamanan Nasional dan Kebijakan Luar Negeri (24/12/12) mengeluarkan statemen, “Suara Rakyat Mesir untuk konstitusi baru dapat ditafsirkan sebagai suara mereka kepada Islam.” Sanaei pun menyerukan kepada faksi-faksi politik Mesir untuk menghormati hasil pemungutan suara dan membuka jalan bagi pelaksanaan kebijakan pembangunan ekonomi. “Republik Islam Iran mendukung setiap keputusan berdasarkan suara rakyat, karena rakyat adalah pemilik sebenarnya dari negara manapun,” tambah Sanaei.
Bahkan, sejak awal revolusi Mesir pun, sejak sebelum Mubarak tumbang, Iran sudah menyebut bahwa kebangkitan di Mesir adalah kebangkitan Islam. Padahal, di saat yang sama, hampir semua media menyebutkan analisis bahwa revolusi Mesir adalah kehendak rakyat untuk berdemokrasi setelah sekian lama ditindas oleh diktator bernama Mubarak.
Pada bulan Februari 2011, pemimpin tertinggi Iran, Ayatullah Khamenei berkhutbah Jumat yang isinya mendukung perjuangan rakyat Mesir. Dia mengatakan, “Mesir adalah negara muslim pertama yang berkenalan dengan budaya Barat. Mesir pulalah yang menjadi negara pertama yang memahami budaya Barat dan memahami berbagai macam celanya untuk kemudian mereka melakukan kritik terhadap keburukan-keburukan itu. Jamaluddin Al Afghani, seorang ulama Islami pemberani dan pejuang besar, menemukan bahwa tempat yang tepat untuk melawan Barat dan Eropa adalah di Mesir. Kemudian muridnya, Syekh Muhammad Abduh dan para pejuang Islam lainnya mengikuti jejak Al Afghani. Mesir pulalah kawasan yang melahirkan tokoh-tokoh besar politik dan budaya Islam. Mereka semua adalah pejuang kebebasan. Karena itulah maka sangat layak jika Mesir dulu sempat menjadi pemimpin dunia Arab secara pemikiran maupun politik. Dalam jangka waktu yang cukup lama, negara-negara Arab sangat mengakui kepemimpinan Mesir.”
Namun selanjutnya, ungkap Khamenei, Mesir jatuh ke pemimpin diktator yang menjadi budak Barat dan Israel. “Rakyat Mesir merasakan keterhinaan dan kerendahan. Inilah yang sebenarnya menjadi faktor utama yang sekarang terjadi di Mesir. Mereka adalah para pejuang Islam, gerakannya pun dimulai dari sholat Jumat dan dari masjid-masjid. Yel-yel yang mereka kumandangkan adalah Allahu Akbar. Rakyat menggelorakan slogan-slogan keagamaan. Dan para aktivis yang menggerakkan demo di Mesir adalah para aktivis Islam. Rakyat Mesir menghendaki terhapusnya kehinaan ini dari diri mereka. Inilah sebenarnya faktor utama. Tapi tentu saja negara-negara Barat tidak membiarkan analisis semacam ini muncul dan menyebar di kalangan masyarakat internasional,” kata Khamenei. [terjemahan lengkap pidatonya bisa dibaca di sini]
Hasil referendum Mesir menunjukkan kebenaran analisis ini. Pemerintahan Islam memang dikehendaki oleh sebagian besar rakyat Mesir. Dan, bila demokrasi menjadi ukuran, tentunya, seluruh rakyat Mesir harus menerima hasilnya. Bukankah demokrasi mensyaratkan ketundukan pada suara terbanyak? Itu pula yang dulu terjadi di Iran. Setelah tergulingnya Syah Pahlevi, diadakan referendum untuk memilih : pemerintahan Islam atau tidak? 98% rakyat Iran setuju pada pemerintahan Islam. Bila ternyata pemerintahan Islam yang didirikan berhaluan Syiah, tentu saja sangat wajar, karena memang mayoritas rakyat Iran adalah Syiah dan mayoritas ulama yang berdiri di garis depan perjuangan melawan Syah (antara lain Ayatullah Khomeini) bermazhab Syiah.
Dan, bila kini rakyat Mesir mendukung Ikhwanul Muslimin, tentunya pihak luar hanya bisa menerima. Apapun juga, toh ini pilihan mayoritas rakyat Mesir.
Dan, ini pula yang seharusnya dilakukan semua pihak di Syria. Pengalaman Ikhwanul Muslimin yang meraih kemenangan dengan damai melalui dukungan rakyat Mesir, seharusnya dijadikan landasan sikapnya di Syria. Ketika Ikhwanul Muslimin (dan kelompok-kelompok Mujahidin yang berafiliasi dengan Hizbuttahrir) ingin mendirikan pemerintahan Islam di Syria, yang harus mereka lakukan adalah proes dakwah yang panjang. Jika pada akhirnya mayoritas rakyat Syria memang sepakat dengan ide pemerintahan Islam, takkan ada yang bisa menahannya.
Sayangnya, yang dilakukan kelompok oposisi di Syria adalah pemaksaan dan kekerasan. Bahkan mereka rela menerima suplai senjata dan dana dari musuh-musuh Islam, demi menggulingkan Assad. Kata-kata ancaman pembantaian, seperti, “Kita akan cincang Alawi dan dagingnya akan kita berikan kepada anjing” [diucapkan oleh ulama Syria Adnan Al Arour] bertebaran [dan memang terjadi pembantaian itu, bila Anda memilih percaya pada laporan jurnalis independen, bukan media mainstream dan media Islam yang meng-copas-nya] sehingga menimbulkan ketakutan. Gelombang pengungsi Syria kini melewati angka setengah juta orang.
Tegaknya pemerintahan Islam yang adil dan mengayomi seluruh rakyat, apapun agama dan mazhabnya, sebagai perwujudan doktrin ‘rahmatan lil alamin’, merupakan visi penting perjuangan kaum muslimin. Namun, pertanyaannya, dapatkah pemerintahan seperti itu ditegakkan di Syria bila diawali dengan menumpahkan darah sesama muslim dan non muslim, penyebarluasan fitnah, dan bekerja sama dengan musuh Islam?
*alumnus Magister Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran, research associate of Global Future Institute
Menuntut Maaf Negeri Kanguru
Puluhan anak Indonesia menjalani penahanan di penjara dewasa Australia. Menjelang tengah malam sekelompok anak dibariskan untuk naik perahu kayu saat pelabuhan Rote, Kabupaten Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur dalam kondisi senyap, dua tahun silam. Sebanyak 23 anak laki- laki yang rata-rata baru berusia 15 tahun itu tak menyangka telah menjadi korban trafficking. Mereka legawa mengikuti perjalanan yang mempertaruhkan nyawa tersebut mengarungi lautan dengan perahu kayu, demi janji manis akan dipekerjakan sebagai pemandu turis atau anak buah kapal pengangkut kayu di Surabaya, Jawa Timur.
Dari pelabuhan Rote, mereka berlayar menuju pelabuhan Kupang. Disini mereka berganti perahu yang lebih besar. Di atas kapal ternyata sudah ada penumpang lain yang berasal dari Timur Tengah. Disini anak-anak itu mulai merasa curiga bahwa mereka tidak akan dibawa bekerja ke Pulau Jawa. Sebagaian anak minta dipulangkan, tapi perahu terlanjur di tengah lautan.
Mereka yang ingin kembali ke Rote dan tak menuruti perintah diancam dibunuh. Bagi yang dewasa aktivitas di atas kapal juga sangat dibatasi meski untuk kencing sekalipun. "Klien saya sampai ada yang tidak bisa makan, tidak bisa pipis. Kalau anak-anak ditugaskan memasak mie, dan membersihkan kapal," kata Lisa Hiariej, perwakilan kantor pengacara yang ditunjuk anak-anak Indonesia itu, Rabu pekan lalu.
Menurut Hiariej tujuan anak-anak yang dibawa mafia penyelundup manusia itu mengarah ke Pulau Christmas yang menjadi bagian benua Australia. Pulau ini tersohor sebagai lokasi perjudian. Namun sebelum tiba di tujuan, patroli kepolisian Australia menangkap para imigran gelap asal Indonesia ini. Mereka dituduh bagian dari sindikat penyelundup manusia ke Australia. Padahal faktanya 23 anak-anak itu korban tipu daya mafia perdagangan manusia. Setelah diinterogasi dan pemeriksaan wrist x-ray yang bertujuan mengetahui umur tulang, mereka dinyatakan bukan anak-anak dan harus dikirim ke penjara. "Ada yang dipenjara di Auckland, Sidney dan Darwin. Mereka dipenjara dari 2010 dan dibebaskan sebagain akhir 2011 dan sebagian lagi awal 2012," jelas Lisa.
Berdasarkan investigasi Komnas HAM Australia terkait kasus penahanan 48 anak Indonesia di Australia sepanjang 2008-2011 disimpulkan penahanan itu melanggar sejumlah pasal dalam Konvensi Hak Anak dan Konvensi Internasional mengenai Hak Sipil dan Politik.
Saat ini 23 dari 48 anak yang pernah ditahan itu menunjuk kantor pengacara Purcell Lawyer untuk mengajukan tuntutan ganti rugi kepada pemerintah Australia atas perlakuan yang pernah mereka alami. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mendukung ke-23 anak itu untuk mengajukan tuntutan ganti rugi melalui Purcell Lawyers.
Menurut Komisioner Bidang Anak berhadapan dengan Hukum (KPAI) Apong Herlina, pemerintah Indonesia sangat menyesalkan terjadinya pemenjaraan sejumlah ABK muda Indonesia semata-mata karena didasarkan oleh hasil wrist x-ray yang menunjukkan gambaran bahwa mereka memiliki tulang dewasa di atas 18 tahun. Sehingga mereka harus dipenjarakan dewasa dengan pengamanan super maksimum bersama pembunuh, pemerkosa dan para kriminal lain padahal mereka adalah anak-anak di bawah usia 18 tahun.
Atau paling tidak pada saat ditangkap masih berusia di bawah 18 tahun yang seharusnya dibebaskan di bawah aturan the benefit of the doubt dan prinsip kepentingan terbaik bagi anak sesuai dengan mandat Konvensi PBB mengenai hak anak. "KPAI bertindak mewakili anak Indonesia sebagai korban langsung pelanggaran serius HAM di Australia untuk mendapatkan remedy dan kompensasi, serta permintaan maaf dan pemulihan korban dari Pemerintah Australia," kata Apong Herlina, Senin pekan lalu.
Tuntutan pemerintah Indonesia ini, menurut Herlina, sejalan dengan mandat Pasal 2 ayat 3 juncto Pasal 9 ayat 5 Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan politik yang dijelaskan dalam rekomendasi umum Komite HAM PBB No. 31 Tahun 2004. "Pemerintah Indonesia secara pro aktif terlibat upaya perlindungan anak Indonesia di luar negeri. Sebagai bagian dari tanggung jawab negara, perlindungan tersebut dijalankan oleh Kementerian Luar negeri, khususnya kedutaan besar di negara bersangkutan serta Kementerian Hukum dan HAM," jelasnya.
Namun juru bicara Kedutaan Australia di Jakarta, Ray Marcello mengaku belum menerima pemberitahuan resmi sehubungan klaim tuntutan ganti rugi atas nama anak-anak Indonesia, terhadap pemerintah Australia. "Jika klaim tersebut tidak disampaikan secara resmi oleh pemerintah Indonesia, pemerintah Australia tetap akan membela diri," kata Ray melalui surat elektronik, Rabu pekan lalu.
Ray mengklaim, kedua pemerintah telah bekerja secara efektif untuk menangani masalah anak di bawah umur di tahanan. Australia akan terus bekerja sama dengan Indonesia menghadapi tantangan yang berkaitan dengan penyelundupan manusia.
Ray mengklaim, kedua pemerintah telah bekerja secara efektif untuk menangani masalah anak di bawah umur di tahanan. Australia akan terus bekerja sama dengan Indonesia menghadapi tantangan yang berkaitan dengan penyelundupan manusia.
Sementara pengamat hukum internasional, Hikmahanto Juwana mendukung tuntutan dan ganti rugi atas perlakuan pemerintah Australia kepada anak-anak Indonesia. Sekaligus pelajaran bagi negara maju yang mengkampanyekan HAM, tapi ternyata para petugas sipilnya tidak bekerja menghormati HAM. Namun Hikmahanto memandang masalah ini adalah perdata. Jadi kalau negara ikut turun tangan, nanti seolah-olah perseteruan antara dua negara. Padahal sebetulnya tidak seperti itu. Ini bukan masalah perseteruan antar dua negara. "Kalau bisa dilokalisir hanya terhadap si anak-anak ini, anak-anak melawan pemerintah Australia," kata Hikmahanto, Jumat pekan lalu.
Tentu wajar anak-anak yang diperlakukan seolah-olah sebagai orang dewasa kemudian meminta kompensasi dan ganti rugi atas tindakan pemerintah Australia itu. Dalam penjara anak di bawah umur seharusnya dipisah dan tak dicampur orang dewasa. "Orang seperti Corby mendapat treatment berbeda daripada orang Indonesia. Ini mindset harus diubah. Ada kecenderungan kita memperlakukan pelayanan yang lebih terhadap orang lain daripada warga sendiri," katanya. (IRIBIndonesia/prioritas/PH)
PPI Tawarkan Solusi Papua
Pemuda dan Pelajar Indonesia (PPI) di Belanda menawarkan solusi terhadap persoalan Papua dengan menggelar acara diskusi yang diadakan di Aula Stichting Generasi Baru (SGB) Utrecht, Minggu.
"Diskusi digelar PPI Belanda dan PPI Utrecht karena merasa prihatin dengan kondisi Papua yang terus bergolak serta mengakibatkan tujuh aparat keamanan dan empat warga sipil dan puluhan lainnya luka-luka," demikian panitia penyelenggara Ariyadi Wijaya, Kandidat PhD Utrecht University kepada ANTARA News London, Selasa.
Diskusi diawali dengan bedah film dokumenter Alkinemokiye yang bertemakan kekerasan di Papua dan mengulas konflik buruh Freeport dengan pihak menejemen. Acara ini mendatangkan sang sutradara film, Dhandy Laksono, untuk mengulas isi terkait film Alkinemokiye dilanjutkan dengan kajian Antropolog dari LIPI, Cahyo Pamungkas, yang juga pemerhati konflik Papua.
Diskusi menghasilkan beberapa rekomendasi diantaranya mengajak para pemangku kepentingan untuk bersama-sama mewujudkan cita-cita Papua damai. Untuk itu hukum harus ditegakkan secara imparsial di Papua kepada mereka yang tidak ingin Papua damai dan menghindari pendekatan militer.
Sikap adil ini perlu ditujukan bukan hanya untuk kelompok yang ingin memisahkan diri dari NKRI dan kelompok pro integrasi, namun juga kepada pihak tertentu dari Indonesia dan mengharapkan keuntungan dari berlanjutnya kekerasan di Papua.
Forum diskusi menilai, rasa saling percaya adalah modal yang paling penting untuk melakukan proses dialog menuju keinginan "Papua damai, Papua tanpa kekerasan" sebagaimana formatroad map Papua.
Permasalahan Papua juga perlu dilihat dalam konteks kedaulatan sumber daya alam, salah satunya dengan memperjuangkan hak rakyat Indonesia atas bumi dan isinya untuk kesejahteraan sebagaimana diamanatkan UUD.
Menindaklanjuti hasil-hasil konferensi perdamaian Papua pada tanggal 5-7 Juli 2011 lalu dan fokus pada agenda Papua damai dan melakukan evaluasi Undang-Undang ketenagakerjaan, khususnya yang terkait dengan pekerja di perusahaan asing.
"Diskusi digelar PPI Belanda dan PPI Utrecht karena merasa prihatin dengan kondisi Papua yang terus bergolak serta mengakibatkan tujuh aparat keamanan dan empat warga sipil dan puluhan lainnya luka-luka," demikian panitia penyelenggara Ariyadi Wijaya, Kandidat PhD Utrecht University kepada ANTARA News London, Selasa.
Diskusi diawali dengan bedah film dokumenter Alkinemokiye yang bertemakan kekerasan di Papua dan mengulas konflik buruh Freeport dengan pihak menejemen. Acara ini mendatangkan sang sutradara film, Dhandy Laksono, untuk mengulas isi terkait film Alkinemokiye dilanjutkan dengan kajian Antropolog dari LIPI, Cahyo Pamungkas, yang juga pemerhati konflik Papua.
Diskusi menghasilkan beberapa rekomendasi diantaranya mengajak para pemangku kepentingan untuk bersama-sama mewujudkan cita-cita Papua damai. Untuk itu hukum harus ditegakkan secara imparsial di Papua kepada mereka yang tidak ingin Papua damai dan menghindari pendekatan militer.
Sikap adil ini perlu ditujukan bukan hanya untuk kelompok yang ingin memisahkan diri dari NKRI dan kelompok pro integrasi, namun juga kepada pihak tertentu dari Indonesia dan mengharapkan keuntungan dari berlanjutnya kekerasan di Papua.
Forum diskusi menilai, rasa saling percaya adalah modal yang paling penting untuk melakukan proses dialog menuju keinginan "Papua damai, Papua tanpa kekerasan" sebagaimana formatroad map Papua.
Permasalahan Papua juga perlu dilihat dalam konteks kedaulatan sumber daya alam, salah satunya dengan memperjuangkan hak rakyat Indonesia atas bumi dan isinya untuk kesejahteraan sebagaimana diamanatkan UUD.
Menindaklanjuti hasil-hasil konferensi perdamaian Papua pada tanggal 5-7 Juli 2011 lalu dan fokus pada agenda Papua damai dan melakukan evaluasi Undang-Undang ketenagakerjaan, khususnya yang terkait dengan pekerja di perusahaan asing.
Sementara itu, Papua tidak boleh lagi tersandera dalam konflik berkepanjangan, sehingga Papua perlu mendapatkan keadilan dan kesejahteraan agar konflik bisa terselesaikan, kata Ketua Umum PP Ikatan Sarjana NU (ISNU) Ali Masykur Musa dalam menanggapi kasus penembakan dan kekerasan di Papua.
"Papua adalah salah satu dari bagian tak terpisahkan dari bangsa Indonesia. Seperti halnya bagian negara yang lain, Papua harus mendapatkan keadilan dan kesejahteraan," katanya dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Minggu.
Ali menjelaskan, pihaknya menwarkan tiga hal untuk mengakhiri konflik di Papua, yaitu pertama, strategi pembangunan Papua harus diorientasikan pada peningkatan pemerataan kesejahteraan melalui Dana Otonomi Khusus.
"DAK per tahun yang tidak kurang dari empat puluh tiga triliun memang sudah digelontorkan, tetapi tidak jelas arahnya, tidak merata. Hal ini yang mengakibatkan terjadinya disparitas sosial yang berakibat pada lahirnya konflik pada masyarakat," ujar Ali.
Kedua, penegakan hukum atas pelanggaran yang menyangkut kekerasan dan pembunuhan harus diusut tuntas dan dihukum secara adil. "Hal ini bertujuan agar kekerasan tidak terulang lagi terjadi. Tidak boleh ada darah dan nyawa tertumpah lagi di bumi cendrawasih," kata tokoh muda NU itu.
Langkah ketiga, menurut Ali, aparat keamanan harus menjaga kedaulatan Papua dengan serius. Bukan menjaga melalui kekerasan, tetapi lebih pada langkah dialogis.
"Papua adalah Indonesia. Pertama, Papua mempunyai sejarah yang sah sebagai bagian dari NKRI. Kedua, Papua memiliki nilai strategis ekonomi dan politik secara internasional," ujar Ali yang per Juni nanti aktif sebagai Ketua Organisasi Audit Lingkungan Sedunia ini.
Lebih lanjut, Ali menyampaikan bela sungkawa yang mendalam atas korban kekerasan di Papua.
"ISNU turut berbela sungkawa secara mendalam atas peristiwa ini. ISNU berharap agar kasus Papua bisa tuntas secara baik dan benar," demikian Ali Masykur Musa.(IRIBIndonesia/Antara/PH)
"Papua adalah salah satu dari bagian tak terpisahkan dari bangsa Indonesia. Seperti halnya bagian negara yang lain, Papua harus mendapatkan keadilan dan kesejahteraan," katanya dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Minggu.
Ali menjelaskan, pihaknya menwarkan tiga hal untuk mengakhiri konflik di Papua, yaitu pertama, strategi pembangunan Papua harus diorientasikan pada peningkatan pemerataan kesejahteraan melalui Dana Otonomi Khusus.
"DAK per tahun yang tidak kurang dari empat puluh tiga triliun memang sudah digelontorkan, tetapi tidak jelas arahnya, tidak merata. Hal ini yang mengakibatkan terjadinya disparitas sosial yang berakibat pada lahirnya konflik pada masyarakat," ujar Ali.
Kedua, penegakan hukum atas pelanggaran yang menyangkut kekerasan dan pembunuhan harus diusut tuntas dan dihukum secara adil. "Hal ini bertujuan agar kekerasan tidak terulang lagi terjadi. Tidak boleh ada darah dan nyawa tertumpah lagi di bumi cendrawasih," kata tokoh muda NU itu.
Langkah ketiga, menurut Ali, aparat keamanan harus menjaga kedaulatan Papua dengan serius. Bukan menjaga melalui kekerasan, tetapi lebih pada langkah dialogis.
"Papua adalah Indonesia. Pertama, Papua mempunyai sejarah yang sah sebagai bagian dari NKRI. Kedua, Papua memiliki nilai strategis ekonomi dan politik secara internasional," ujar Ali yang per Juni nanti aktif sebagai Ketua Organisasi Audit Lingkungan Sedunia ini.
Lebih lanjut, Ali menyampaikan bela sungkawa yang mendalam atas korban kekerasan di Papua.
"ISNU turut berbela sungkawa secara mendalam atas peristiwa ini. ISNU berharap agar kasus Papua bisa tuntas secara baik dan benar," demikian Ali Masykur Musa.(IRIBIndonesia/Antara/PH)
0 comments to "Dari Gaza Palestina, Suriah, Amerika hingga Papua Indonesia"