Chavez, kini telah tiada. Konon akibat kanker. Meski, bila Anda membaca sejarah betapa banyak pemimpin negara yang dibunuh diam-diam oleh imperium, Anda tidak akan semudah itu percaya.
Chavez, In Memoriam
Dina Y. Sulaeman*
Chavez adalah pemimpin yang fenomenal dan spirit perjuangannya melintasi batas agama dan bangsa. Saat dunia beramai-ramai melakukan pembunuhan karakter terhadap Ahmadinejad dan pemerintahan Islam Iran, yang tampil sebagai pembela terdepan justru seorang Nasrani dari Amerika Latin: Hugo Chavez. Saat pemimpin negara-negara Arab berbaik-baik dengan Israel, justru Chavez menolak dubes Israel. Menyusul operasi ‘Menuang Timah’ yang dilancarkan Israel di Gaza 2009, Chavez mengecam keras Israel dan menyebut bahwa holocaust tengah terjadi di Gaza. Dia pun mengusir Dubes Israel keluar dari Venezuela. Saat negara-negara Arab bergandengan tangan dengan AS, Prancis, dan Inggris untuk menyuplai dana dan senjata kepada Al Qaida (atau kelompok yang ‘sejenis’ Al Qaida) di Syria, Chavez justru mengirimkan minyak untuk membantu bangsa Syria yang sedang diblokade ekonominya. Dengan blak-blakan Chavez menyindir Barat, “Mereka berkata, ‘kami akan beri sanksi pemerintah.. kami akan membekukan aset mereka.. kami akan memblokade mereka, mengebom mereka, demi membela rakyat.’ Wow, betapa sinisnya. Tapi itulah imperium, itulah kegilaan imperium.”
Sebagaimana juga pemimpin negara-negara yang berani melawan ‘imperium’, Chavez pun tak luput dari ancaman kudeta dan pembunuhan, serta pembunuhan karakter. Kejadian tahun 2002 adalah salah satu upaya terbesar yang dilakukan imperium untuk menggulingkan Chavez, meski gagal. Saat itu, Chavez mengalami pembunuhan karakter yang dilakukan oleh media-media mainstream AS. Saat itu, sebagaimana juga sekarang, standar objektivitas jurnalistik telah dibuang lewat jendela. Chavez difitnah. Sementara lawannya, yang sebagian besar terdiri dari kaum oligarki Venezuela dan kalangan menengah ke atas, dicitrakan sebagai pejuang demokrasi. Pernyataan dari pihak oposisi dilaporkan sebagai fakta dan diperlakukan dengan penuh respek, sementara pernyataan dari pihak pemerintah dicemooh.
Mari kita lihat beberapa kutipan dari New York Times antara Maret-April 2002. Pada 26 Maret, New York Times menulis, “Para pegawai (pemerintahan) pemberontak telah memberi energi bagi gerakan oposisi yang terpecah-pecah namun terus tumbuh, yang menggunakan protes regular di jalanan untuk melemahkan Mr Chavez yang memiliki gaya aristocrat dan memiliki kebijakan sayap kiri yang telah menindas orang-orang yang jumlahnya terus bertambah. …”
New York Times juga mengutip pernyataan kelompok oposan, “Masalah ini hanya bisa dilakukan dengan pengunduran diri presiden..Ini adalah pilihan antara demokrasi dan kediktatoran.” Persis seperti citra yang dibangun media Barat tentang Iran: demokrasi melawan kediktatoran. Media barat juga mengabaikan fakta bahwa kemenangan Chavez dalam pemilu –sama seperti kemenangan Ahmadinejad– dia mendapatkan suara di atas 60% yang sebagian besar datang dari kawasan pinggiran dan masyarakat ekonomi menengah ke bawah.
Di Venezuela saat itu juga terjadi kekerasan. Ketika penembak gelap menembaki massa oposisi yang sedang demo di depan istana kepresidenan Miraflores, 19 orang yang tewas. Namun kesalahan dilemparkan kepada aparat keamanan pemerintah atau pendukung Chavez yang bersenjata.
Padahal kemudian terungkap data bahwa sejumlah yang tewas justru berasal dari kerumunan massa yang hadir untuk mendukung Chávez dan asal tembakan-tembakan saat itu berasal dari angkatan kepolisian Caracas, yang loyal pada Alfredo Peña, oposisi keras pada presiden Chavez; Pena mendapat dukungan dari AS. Dalam meliput kerusuhan ini, NY Times mewawancarai Peña, yang tentu saja, melemparkan semua kesalahan pada Chávez.
Tujuan dari semua aksi ini menjadi jelas, ketika akhirnya sekelompok militer, bersama dengan bisnismen besar Venezuela dan birokrat yang disponsori AS, bergabung dalam sebuah kudeta yang sesaat sempat menggulingkan Chávez.
NY Times segera melaporkan kejadian ini dengan menulis, ”Demokrasi Venezuela tidak lagi terancam oleh diktator.” Koran itu juga berkeras menyatakan bahwa Washington tidak memiliki peran dalam kudeta ini. ”Penggulingan Chavez murni urusan dalam negeri Venezuela,” tulis NY Times.
Klaim bahwa kudeta itu “murni dilakukan org Venezuela” adalah untuk menutupi operasi destabilisasi di negara itu yg dilakukan oleh AS, dimana New York Times memainkan peran yang sangat jelas. Kudeta “demokratis” berlangsung hanya dua hari. Chávez kembali ke kursi kekuasaan setelah kaum miskin turun ke jalanan memrotes rezim baru.
Skenario imperim untuk membungkam para pemimpin yang benar-benar ingin mengabdi pada bangsa, bukannya mengabdi pada kepentingan imperium, terjadi berulang-ulang sepanjang sejarah. Cerita lengkap soal ini bisa dibaca di buku-buku John Perkins. Dari sejarah kita akan mendapati fakta bahwa di mata imperium, sebuah rezim akan disebut demokratis bila rezim itu tunduk pada kepada kemauan imperium. Bahkan rezim yang jelas-jelas monarkhi, otoriter, dan membungkam kaum minoritas, seperti Arab Saudi dan Bahrain, akan dilindungi oleh imperium. Sebaliknya, rezim yang demokratis karena dipilih melalui pemilu perlu ditumbangkan jika tak mau menyerah di hadapan imperium,
Dan kini, skenario serupa tengah berlangsung di Syria. Setelah gagal menumbangkan Assad melalui upaya ‘demokratis’ dan pembunuhan karakter melalui media internasional, setelah gagal melakukan ‘humanitarian intervention’ (pengiriman pasukan NATO dengan dalih ‘menyelamatkan’ rakyat Suriah), dilakukanlah opsi terakhir: mempersenjatai kelompok-kelompok fanatik yang sangat membenci Assad atas nama Tuhan dan mazhab. Orang-orang yang di Afghanistan dan Mali dituduh teroris oleh Barat, di Syria (dan Libya) justru didukung dan dipersenjatai.
Chavez, kini telah tiada. Konon akibat kanker. Meski, bila Anda membaca sejarah betapa banyak pemimpin negara yang dibunuh diam-diam oleh imperium, Anda tidak akan semudah itu percaya.
***
Note: imperium adalah istilah untuk sebuah kerajaan tak beristana, tak mengenal batas negara, yang dikuasai oleh orang-orang paling kaya sedunia. Imperium memanfaatkan perusahaan-perusahaan swasta yang memperkerjakan orang-orang yang disebut sebagai ‘economic hitman’ (bandit ekonomi). Para bandit ini akan melakukan berbagai cara agar para pemimpin negara mau tunduk pada kemauan imperium. Bila ada yang berani melawan, si pemimpin negara itu akan digulingkan atau bahkan dibunuh. Imperium memperalat pemimpin negara-negara besar untuk bertindak demi keuntungan imperium, bukan untuk rakyatnya. Misalnya, AS melakukan berbagai aksi perang dan menggelontorkan uang sangat banyak demi mendukung perang di berbagai negara (termasuk dana hibah untuk Israel dan untuk pemberontak Syria) bukan demi kesejahteraan AS [bahkan banyak warga AS yang hidup miskin]. Yang diuntungkan adalah imperium yang menguasai perusahaan senjata, rekonstruksi, minyak, dll.
* Magister Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran, Research Associate of Global Future Institute.(http://dinasulaeman.wordpress.com/2013/03/06/chavez-in-memoriam/#more-1170)
The propaganda war against Iran
By Bill Van Auken
24 June 2009
The US media, led by the New York Times , is continuing its concerted propaganda campaign against Iran over charges that the government stole the June 12 presidential election. There is not even a semblance of objectivity in the media coverage, which parrots the charges of the opposition headed by defeated presidential candidate Mir-Hossein Mousavi as fact and dismisses the government’s claims as lies.
The opposition is lauded as democratic and reformist, while incumbent President Mahmoud Ahmadinejad and his supporters are portrayed as virtual fascists. One would scarcely imagine that the two men represent rival factions within the same ruling establishment.
Responsibility for the violence in the streets of Tehran is attributed entirely to the government and its security forces.
No connection is drawn between these events and the broader situation in the region, where the US is waging two wars, on Iran’s eastern and western borders, both aimed at establishing American hegemony over the oil-rich territory.
Suggestions that the US and its intelligence agencies are involved in the turmoil in Iran are dismissed as ludicrous, fabrications by an Iranian government trying to divert public opinion. This, in a country where Washington overthrew a democratically elected government in 1953, propped up a brutal dictator, the Shah, for more than a quarter of a century, and has carried out covert CIA operations in the recent period involving the use of special operations troops on Iranian soil.
The New York Times and Venezuela
If all of this sounds familiar, it should. Little more than seven years ago, a very similar media campaign, once again spearheaded by the New York Times, was carried out against the government of President Hugo Chávez in Venezuela.
Then, as now, standards of journalistic objectivity were thrown out the window. Chávez was vilified and his opponents, drawn largely from Venezuela’s oligarchy and privileged layers of the middle class, were portrayed as crusaders for democracy. Statements by the opposition were reported as fact or treated with the utmost respect, while the government’s contentions were subjected to derision.
A few quotations from the New York Times of March and April 2002 give the flavor of this campaign. On March 26, the newspaper published a story entitled “Venezuela’s President vs. Military: Is Breach Widening?” The content of the piece made it clear that the answer was, hopefully, yes.
“The rebellious officers helped energize a disjointed but growing opposition movement that is using regular street protests to try to weaken Mr. Chávez, whose autocratic style and left-wing policies have alienated a growing number of people.”
It continued, “Although he promised a ‘revolution’ to improve the lives of the poor, Mr. Chávez has instead managed to rankle nearly every sector—from the church to the press to the middle class—with his combative style, populist speeches and dalliances with Fidel Castro...”
In the Times’ coverage of Venezuela—as in Iran—the phrase “nearly every sector” was used to exclude the overwhelming majority of the population, the urban and rural poor, which had twice given Chávez the widest electoral victories in the country’s history.
Subsequent articles described Chávez as a “left-wing autocrat” and “a mercurial left-leaning leader whose policies had antagonized much of Venezuelan society.”
The newspaper favorably presented a speech by a former energy minister to a group of “striking” managers at the state-run oil company, who declared, “This can only end with the president resigning... This is about him or us. It is a choice between democracy and dictatorship.”
There was the question of violence. When unidentified gunmen opened fire during a mass opposition march on the Miraflores presidential palace—a throng comparable in both its size and class composition to those that have taken to the streets of Iran—the 19 deaths that resulted were all attributed to government security forces or Chavez’s armed supporters.
It subsequently emerged that a number of the dead were among the crowd that had gathered to defend Chávez and that much of the fire had come from the Caracas metropolitan police force, loyal to the city’s mayor, Alfredo Peña, a fierce opponent of the president who enjoyed US support.
In its coverage of the clash, the Times sought out Peña, who, unsurprisingly, blamed all of the carnage on Chávez.
The purpose of all of this became clear in the wake of the demonstration, when a section of the military, together with Venezuela’s big business association and the US-sponsored bureaucracy of the right-wing union federation, joined in a coup that briefly overthrew Chávez.
In the immediate aftermath of the coup, the Times showed its hand in an editorial entitled “Hugo Chávez Departs.”
“Venezuelan democracy is no longer threatened by a would-be dictator,” theTimes crowed. “Mr. Chávez, a ruinous demagogue, stepped down after the military intervened and handed power to a respected business leader...”
The newspaper insisted that Washington had no role in the overthrow, “denying him [Chávez] the role of nationalist martyr. Rightly, his removal was a purely Venezuelan affair.”
Nothing could more clearly express the conception of “democracy” shared by the Times and the US ruling establishment. A regime created through the military overthrow of an elected government was “democratic” so long as it was more amenable to US interests. In Venezuela, which supplies 15 percent of US imported oil, these interests are clear.
As for the claim that the coup was “purely Venezuelan,” this was a cover-up of a concerted and protracted US destabilization operation, in which the Timesplayed an indispensable role.
The “democratic” coup, however, lasted just two days. Chávez was restored to power as a result of masses of urban poor taking to the streets against the new regime and sections of the military turning against it. The Timesbackpedaled slightly, admitting that it had greeted Chávez’s overthrow with “applause,” while regretting that it had “overlooked the undemocratic manner in which he was removed.”
In Iran, the New York Times is following essentially the same script, albeit it on a grander scale.
Once again: Who is the Nation’s Iran correspondent, Robert Dreyfuss?
The Nation has not provided any answer to the question posed by the World Socialist Web Site on Monday: “Who is Robert Dreyfuss?”
As we explained, Dreyfuss is a contributing editor of the magazine, which presents itself as the voice of “progressive” politics in America. He wrote a book—Hostage to Khomeini—in 1981, calling for the Reagan administration to organize the overthrow of the Islamic Republic of Iran and denouncing President Jimmy Carter for having betrayed the Shah.
At the time, Dreyfuss was a member of the fascistic organization led by Lyndon LaRouche, serving as “Middle East intelligence director” for its magazine Executive Intelligence Review.
This is the man that the Nation relies upon as its chief commentator on “politics and national security” and who it sent to Iran to cover the election. He has echoed the line promoted by the New York Times, declaring himself in favor of a “color revolution” in Iran.
A comparison of what he wrote then and what he writes today only makes it all the more urgent that the Nation explain why such an individual is one of its editors.
This arises particularly in relation to one of Dreyfuss’s principal sources during his recent trip to Iran, Ibrahim Yazdi, Iran’s former foreign minister and a so-called “dissident.” An article published by the Nation on June 13 entitled “Iran’s Ex-Foreign Minister Yazdi: It’s A Coup,” consisted largely of an interview with this man, who said the election was rigged and illegitimate.
In his book Hostage to Khomeini, however Dreyfuss said that Yazdi was part of a “coterie of experienced, Western-trained intelligence agents.”
He claimed that Yazdi’s “directions from Washington and London came via the ‘professors,’ men such as Professor Richard Cottam of the University of Pittsburgh,” whom he described as a former “field officer for the CIA attached to the US embassy in Tehran.”
Dreyfuss wrote: “Yazdi’s wife once described Cottam as ‘a very close friend of my husband, the one person who knows more about him than even I do.’”
Elsewhere in the book, Dreyfuss refers to Yazdi as “Mossad-tainted.”
The question is: which Dreyfuss are we to believe—the one who exposed Yazdi as an intelligence agent for the US, Britain and Israel, or the one who now quotes him at length as an advocate of “democracy” and “reform”?
Dreyfuss has never publicly repudiated what he wrote in 1981. Was he lying then, or is he lying now? The Nation is obliged to answer. Its readership deserves to know what Dreyfuss is doing at the magazine.(http://wsws.org/en/articles/2009/06/prop-j24.html)
Menurut Kantor Berita ABNA, situs arrahmah.com senin (4/3) menurunkan berita, "Pembantaian Muslim Rohingnya Masih Berlangsung, Iran Gelontorkan 200 Juta Dollar untuk Budha Myanmar". Berita yang disebut oleh redaksi arrahmah tersebut bersumber dari situs alarabalan.com (namun situs ini tidak dapat dikunjungi untuk diklarifikasi kebenarannya) menyebutkan Iran melakukan, investasi sebesar 200 juta dollar itu untuk pengembangan pertanian dan industri di negara Budha Burma yang memusuhi Islam.
Di balik itu lanjutnya, investasi tersebut bertujuan untuk membiayai kegiatan revolusi Iran di Asia, di mana Iran sedang menggalang kekuatan-kekuatan di luar negeri untuk mendirikan negara Syi’ah yang berkiblat ke Iran. Dengan pernyataan ini arrahmah hendak menyampaikan bahwa Myanmar adalah Negara target Iran untuk dijadikan Negara Syiah. Apakah logis hanya dengan investasi 200 juta dollar, Myanmar hendak mengubah haluan politik negaranya dan begitu saja patuh sepenuhnya pada Iran?.
Arrahmah kemudian menulis bahwa meskipun Iran mengaku sebagai negara Islam, akan tetapi ia bekerjasama dengan Budha yang telah membantai kaum muslimin di wilayah Arakan, tanpa memberikan keterangan yang lebih detail bentuk kerjasama apa yang dimaksud. Sementara delegasi Iran berkali-kali ke Myanmar untuk memberikan bantuan kemanusiaan langsung kepada warga Rohingnya. Sebagaimana pernah diberitakan dimedia ini dengan tajuk, "Iran Beri Bantuan 30 Ton Bahan Makanan untuk Muslim Myanmar". Dan berita-berita serupa juga diberitakan oleh banyak media nasional.
Arrahmah menambahkan, "Dan yang perlu menjadi perhatian, bahwa kaum muslimin Arakan adalah Ahlusunnah, sedangkan Iran pengikut Syi’ah.". Disini kembali arrahmah menunjukkan belangnya sebagai media yang memang sengaja dibuat untuk memecah belah kaum muslimin dengan isu perbedaan mazhab. Pemerintah Iran yang Syiah tanpa memperhatikan mazhab yang dianut muslim Rohingnya telah memberikan langsung bantuan kemanusiaannya, sebagaimana yang telah dilakukan Iran untuk penduduk Gaza dan Palestina secara umum, sehingga petinggi HAMAS menyatakan terimakasih secara terbuka untuk Iran.
Dibagian akhir, arrahmah.com menulis, "Ironisnya, Para pengamat menjelaskan bahwa pemerintah Iran tidak pernah mengutuk aksi pembantaian terhadap kaum muslimin di Burma, padahal dia mengaku sebagai negara Islam. Justru yang mengeluarkan kecaman dan kutukan adalah negara-negara Barat yang notabenenya negara kafir."
Tanpa menjelaskan siapa saja pengamat yang dimaksud arrahmah telah terang-terangan menyebarkan fitnah tanpa rasa malu. Media-media nasional banyak menurunkan berita mengenai pengecaman pemerintah dan rakyat Iran atas tragedi kemanusiaan muslim Rohingnya di Myanmar. Mulai dari Rahbar, Presiden, Parlemen, Ulama, Kelompok-kelompok solidaritas mahasiswa dan rakyat Iran secara umum mengutuk keras aksi biadab tersebut dan turut pula mengecam, bungkamnya organisasi-organisasi internasional termasuk raja-raja Arab yang menunjukkan sikap pasif mengenai peristiwa tersebut.
Hentikan Kekerasan dan Diskriminatif terhadap Muslim Rohingya Sekarang Juga!
|
Menurut Kantor Berita ABNA, Berkenaan dengan tindakan biadab dan tidak berprikemanusiaan dengan terjadinya pembunuhan etnis di Myanmar, Majma' Jahani Ahlul Bait mengeluarkan pernyataan penting untuk mendapat perhatian serius dari pihak-pihak yang terkait.
Pernyataan tersebut menuntut pihak pemerintah Myanmar agar bertanggung jawab atas keselamatan dan keamanan jiwa umat Islam selain bertindak segera menghentikan pembunuhan etnis. Majma' Jahani Ahlul Bait juga meminta pihak terkait Myanmar untuk menyediakan laporan terperinci dan komprehensif untuk kemudian disampaikan kepada penduduk dunia mengenai kejadian yang sebenarnya.
Teks pernyataan sikap Majma Jahani Ahlul Bait tersebut adalah seperti berikut:
بسم الله الرحمن الرحیم
Tersebarnya berita mengenai pembunuhan massal penduduk Islam Rohingya di negara Myanmar melahirkan kebimbangan di kalangan masyarakat Islam khususnya pengikut Ahlul Bait.
Selama 3 dekade terakhir bahkan sampai saat ini kita masih juga menyaksikan penduduk Rohingya menghadapi pelecehan hak kemanusiaan dengan pembersihan etnik, pembunuhan, pemerkosaan dan pengusiran dari pihak penguasa.
Majma' Jahani Ahlul Bait mengecam dan menyatakan kebencian terhadap kezaliman atas penduduk minoritas Islam Myanmar (yang menjadi mangsa pembunuhan etnik), dengan ini Majma Jahani Ahlul Bait meminta pihak terkait untuk menyediakan laporan terperinci dan komprehensif kepada penduduk dunia termasuk bertindak segera menghentikan kekerasan disamping mengembalikan keamanan kepada penduduk Islam.
Negara ini yang bertanggungjawab menjaga keamanan hendaklah mengentikan pembunuhan dan tindak kekerasan dalam bentuk apapun terhadap warga sipil yang tidak berdosa tidak dapat diterima.
Majma' juga meminta perhatian dunia internasional, organisasi-organisasi dan negara-negara Islam agar mengecam dan menuntut dihentikannya pembunuhan etnik Islam serta melaksanakan tindakan untuk menjaga para pengungsi muslim, wanita dan anak-anak yang menjadi korban dalam tragedi tersebut.
Pada saat yang sama, Majma' Jahani Ahlul Bait juga sekali lagi memberikan peringatan tentang budaya kotor dan anti kemanusiaan Islamfobia yang sebenarnya berasal dari ciptaan Barat. Selain itu Majma' juga meminta tindakan diskriminasi atas umat Islam di seluruh dunia dihentikan.
Pernyataan tersebut menuntut pihak pemerintah Myanmar agar bertanggung jawab atas keselamatan dan keamanan jiwa umat Islam selain bertindak segera menghentikan pembunuhan etnis. Majma' Jahani Ahlul Bait juga meminta pihak terkait Myanmar untuk menyediakan laporan terperinci dan komprehensif untuk kemudian disampaikan kepada penduduk dunia mengenai kejadian yang sebenarnya.
Teks pernyataan sikap Majma Jahani Ahlul Bait tersebut adalah seperti berikut:
بسم الله الرحمن الرحیم
Tersebarnya berita mengenai pembunuhan massal penduduk Islam Rohingya di negara Myanmar melahirkan kebimbangan di kalangan masyarakat Islam khususnya pengikut Ahlul Bait.
Selama 3 dekade terakhir bahkan sampai saat ini kita masih juga menyaksikan penduduk Rohingya menghadapi pelecehan hak kemanusiaan dengan pembersihan etnik, pembunuhan, pemerkosaan dan pengusiran dari pihak penguasa.
Majma' Jahani Ahlul Bait mengecam dan menyatakan kebencian terhadap kezaliman atas penduduk minoritas Islam Myanmar (yang menjadi mangsa pembunuhan etnik), dengan ini Majma Jahani Ahlul Bait meminta pihak terkait untuk menyediakan laporan terperinci dan komprehensif kepada penduduk dunia termasuk bertindak segera menghentikan kekerasan disamping mengembalikan keamanan kepada penduduk Islam.
Negara ini yang bertanggungjawab menjaga keamanan hendaklah mengentikan pembunuhan dan tindak kekerasan dalam bentuk apapun terhadap warga sipil yang tidak berdosa tidak dapat diterima.
Majma' juga meminta perhatian dunia internasional, organisasi-organisasi dan negara-negara Islam agar mengecam dan menuntut dihentikannya pembunuhan etnik Islam serta melaksanakan tindakan untuk menjaga para pengungsi muslim, wanita dan anak-anak yang menjadi korban dalam tragedi tersebut.
Pada saat yang sama, Majma' Jahani Ahlul Bait juga sekali lagi memberikan peringatan tentang budaya kotor dan anti kemanusiaan Islamfobia yang sebenarnya berasal dari ciptaan Barat. Selain itu Majma' juga meminta tindakan diskriminasi atas umat Islam di seluruh dunia dihentikan.
LBH Buddhis Indonesia Pusat Kecam Myanmar
Minggu, 29 Juli 2012, 16:38 WIB
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -– Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Buddhis Indonesia Pusat mengecam tindakan kejam pemerintah Myanmar terhadap Muslim Rohingya. Menurut Ketua LBH Buddhis Indonesia Pusat, Budiman Sudharma, tindakan represif pemerintah Myanmar termasuk dalam pelanggaran HAM.
“Sebagai manusia yang punya hati, kami mengutuk tindakan pemerintah Myanmar terhadap Muslim Rohingya. Apa yang terjadi disana merupakan pelanggaran HAM,” ujar Budiman ketika dihubungi, Ahad (29/7).
Budiman mengatakan tindakan pemerintah Myanmar tidak sesuai dan melanggar Piagam PBB yang lahir dari Konferensi San Francisco tanggal 26 Juni 1945. Pelanggaran lainnya adalah terhadap Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang diterima dan diumumkan oleh Majelis Umum PBB tanggal 10 Desember 1948 melalui Resolusi 217 A (III).
Berdasarkan piagam dan deklarasi tersebut, pemerintah Myanmar seharusnya mampu memberikan perlindungan terhadap warga negara yang berada disana tanpa membedakan latar belakang apapun. “Pemerintah Myanmar tidak pernah bersikap tegas. Walaupun minoritas, muslim Rohingya seharusnya dilindungi dan diberi penghidupan yang layak,” kata Budiman.
Budiman menuturkan jika permasalahan konflik Muslim Rohingya dibiarkan begitu saja, maka dikhawatirkan akan meluas menjadi konflik horizontal. “Dikhawatirkan konflik Muslim Rohingya akan meluas ke mana-mana menjadi konflik horizontal,” tutur Budiman.
Budiman juga mengimbau agar umat Buddha di Myanmar tidak mudah terprovokasi dan melakukan tindakan yang represif seperti yang dilakukan pemerintah Myanmar.
“Sebagai manusia yang punya hati, kami mengutuk tindakan pemerintah Myanmar terhadap Muslim Rohingya. Apa yang terjadi disana merupakan pelanggaran HAM,” ujar Budiman ketika dihubungi, Ahad (29/7).
Budiman mengatakan tindakan pemerintah Myanmar tidak sesuai dan melanggar Piagam PBB yang lahir dari Konferensi San Francisco tanggal 26 Juni 1945. Pelanggaran lainnya adalah terhadap Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang diterima dan diumumkan oleh Majelis Umum PBB tanggal 10 Desember 1948 melalui Resolusi 217 A (III).
Berdasarkan piagam dan deklarasi tersebut, pemerintah Myanmar seharusnya mampu memberikan perlindungan terhadap warga negara yang berada disana tanpa membedakan latar belakang apapun. “Pemerintah Myanmar tidak pernah bersikap tegas. Walaupun minoritas, muslim Rohingya seharusnya dilindungi dan diberi penghidupan yang layak,” kata Budiman.
Budiman menuturkan jika permasalahan konflik Muslim Rohingya dibiarkan begitu saja, maka dikhawatirkan akan meluas menjadi konflik horizontal. “Dikhawatirkan konflik Muslim Rohingya akan meluas ke mana-mana menjadi konflik horizontal,” tutur Budiman.
Budiman juga mengimbau agar umat Buddha di Myanmar tidak mudah terprovokasi dan melakukan tindakan yang represif seperti yang dilakukan pemerintah Myanmar.
Interaksi Peradaban, Sebuah Keharusan
Forum Aliansi Peradaban atau Forum Global UNAOC (United Nations Alliance of Civilizations) ke-5 telah digelar di Wina, Austria. Sekitar 1000 orang dari 135 negara berpartisipasi dalam event besar ini. Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon, Menteri Luar Negeri Republik Islam Iran Ali Akbar Salehi dan Perdana Menteri Turki Recep Tayyip Erdogan adalah deretan pejabat dan tokoh yang menjadi sorotan media dalam Forum Global UNAOC tersebut.
Forum Global UNAOC tahun ini mengusung tema-tema tentang tanggung jawab, keragaman dan dialog. Tema-tema seperti imigrasi, keselarasan, kerukunan, keharmonisan, konflik, kebebasan beragama dan peran serta posisi media juga menjadi topik lain dalam pembicaraan di forum global yang digelar selama dua hari itu.
Penyelenggaraan Forum Global UNAOC merupakan salah satu upaya untuk menggelar dialog budaya berskala internasional. Doktor Ali Akbar Salehi, Menlu Iran dalam pidatonya dalam forum tersebut menyinggung tentang sejarah dan peradaban Iran selama ribuan tahun lalu. Ia menegaskan pentingnya perdamaian dan stabilitas di kawasan Timur Tengah yang saat ini tengah menghadapi berbagai masalah keamanan. Doktor Salehi menilai peran Iran dan posisi geostrategis negara ini memiliki pengaruh besar dalam menciptakan keamanan regional.
Menlu Iran juga menyinggung masalah terorisme, kemiskinan, dan senjata pembunuh massal. Doktor Salehi mengatakan, Timur Tengah harus kosong dari senjata nuklir untuk menciptakan keamanan dan stabilitas regional. Ia menambahkan bahwa Republik Islam Iran selama ini telah menjadi korban terorisme. Menurutnya, fatwa Rahbar atau Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran Ayatullah al-Udzma Sayid Ali Khamenei yang mengharamkan produksi dan penggunaan senjata nuklir adalah satu hal yang sangat penting. Doktor Salehi menilai keinginan dan tekad serius semua negara untuk menggapai berbagai tujuan kolektif sebagai hal yang diperlukan.
PM Turki Recep Tayyip Erdogan dalam pidatonya di Forum Global UNAOC mengkritik masyarakat internasional khususnya mengenai Suriah. Ia mengatakan, "Dunia yang berperadaban tidak memberikan ujian baik mengenai Suriah. Sementara jumlah korban kekerasan di negara ini hampir mencapai 70 ribu orang, dan setiap hari darah anak-anak dan perempuan yang tak berdosa di Suriah ditumpahkan. Tidak adanya reaksi dunia terhadap fakta pahit ini, seakan-akan telah melukai "perasaan" keadilan."
Kalau mencermati pidato PM Turki, tentunya pidato itu penuh dengan fallasi (mughalatha). Sebab Erdogan secara tidak langsung berusaha menjustifikasi peran Turki dalam mengobarkan api krisis di Suriah dan dukungannya kepada kelompok-kelompok teroris di negara Arab itu.
Maksud dari kalimat "Dunia yang berperadaban tidak memberikan ujian baik tentang Suriah" adalah Rusia dan Cina yang menentang tuntutan negara-negara Barat di Dewan Keamanan PBB untuk intervensi militer di Suriah dan tidak membiarkan Barat, Turki dan sekutu Arabnya menggapai tujuan-tujuan politik mereka di negara Arab itu. Padahal dunia tahu bahwa perempuan dan anak-anak di Suriah adalah korban kebijakan regional negara-negara Barat yang dibantu oleh Turki dan sejumlah negara Arab lainnya.
Setiap dialog dan interaksi pemikiran dan budaya memerlukan kerangka yang logis. Oleh karena itu, logika Aliansi Peradaban harus berpijak pada keadilan. Namun sayangnya, sejumlah tokoh yang berpidato di Forum Global UNAOC justru tidak memperhatikan keadilan. Seandainya keadilan diperhatikan, maka konsep-konsep seperti Hak Asasi Manusia (HAM), demokrasi dan perang melawan terorisme tidak digunakan sebagai alat selektif untuk kepentingan kekuatan-kekuatan tertentu.
Jika tujuan Aliansi Peradaban (UNAOC) benar-benar diterapkan atas dasar keadilan maka akan tercapai pemahaman kolektif di antara berbagai budaya dan peradaban, dan bahkan akan dapat menyelesaikan banyak masalah dan krisis regional dan global.
UNAOC didirikan pada tahun 2005 atas inisiatif pemerintah Spanyol dan Turki dan di bawah naungan PBB. Aliansi tersebut bertujuan meningkatkan pemahaman dan hubungan kerja sama di antara negara-negara dunia mengenai lintas budaya dan agama.
Pada awalnya, Turki dan Spanyol mengusulkan proyek Aliansi Peradaban itu kepada PBB. Usulan tersebut kemudian dibahas dan diambil voting dalam Sidang Majelis Umum PBB dan keluarlah sebuah resolusi mengenai hal itu. Pada tahun 2001, proyek tersebut di beri nama "Dialog Peradaban".
Hingga beberapa tahun, Dialog Peradaban mendapat perhatian luas dari kalangan politisi, akademisi dan media. Turki dan Spanyol kemudian menawarkan sebuah Aliansi Peradaban. Tujuan aliansi ini untuk menciptakan sebuah bentuk dialog antara Islam dan Barat atau dialog di antara berbagai budaya dan etnis yang beragam. Jika hal itu terwujud maka akan dapat mengatasi kesalahpahaman dan membantu kerjasama dan pemahaman yang lebih baik terhadap berbagai masalah melalui dialog.
Mantan Sekjen PBB Kofi Annan menyambut baik ide Aliansi Peradaban. Ia kemudian membentuk sebuah komite dengan cara mengangkat 18 orang dari pemikir dan budayawan terkemuka untuk menjelaskan tema-tema penting dalam dialog peradaban. Pasca dua tahun, komite itu memberikan laporannya.
Dalam laporan tersebut, dijelaskan tentang tantangan, masalah dan kesempatan mengenai berbagai peradaban dan budaya serta solusi kerjasama yang lebih baik dan tepat terkait hal itu. Laporan itu menjadi dasar untuk menentukan bidang-bidang apa yang akan menjadi bahan dialog dan kerjasama yang tepat. Selain itu, juga menjelaskan masalah-masalah yang terjadi antara Islam dan Barat atau di antara perabadan yang ada.
Pada akhirnya Aliansi Peradaban berada di bawah naungan PBB dan sebelum pertemuan di Wina telah menggelar berbagai pertemuan di Doha, New York, Rio de Janeiro, Istanbul dan Madrid.
Pada pertemuan-pertemuan sebelumnya, Aliansi Peradaban telah membahas berbagai hal seperti, masalah remaja, imigran Muslim ke negara-negara Barat, perlakuan terhadap imigran Muslim, dan peran media. Pembahasan tentang media terfokus pada sampai di mana media beraktivitas berdasarkan stereotip(penilaian terhadap seseorang hanya berdasarkan persepsi terhadap kelompok di mana orang tersebut dapat dikategorikan) di mana sikap stereotip itu menimbulkan meluasnya sikap sinis dan berprasangka buruk serta konflik. Selain itu, juga dibahas tentang bagaimana mendidik dan mengarahkan media supaya dapat menyampaikan fakta.
Masalah Palestina menjadi salah satu masalah penting dalam pertemuan-pertemuan Aliansi Peradaban. Masalah ini kembali di bahas dalam pertemuan di Wina di mana Aliansi Peradaban harus menemukan sebuah solusi adil mengenai Palestina. Dialog itu tidak akan membuahkan hasil sebelum masalah Palestina terselesaikan.
Selama sebuah "ketidakadilan" meluas di dunia dan mempengaruhi negara-negara Arab dan Islam maka jangan berbicara tentang dialog, kesepahaman dan kerjasama. Semua itu akan dibicarakan ketika ada komitmen terhadap keadilan. Bagaimana mungkin dengan penjajahan, pembunuhan dan penindasan terhadap bangsa Palestina kemudian meminta umat Islam untuk berdialog konstruktif dan interaksi positif dengan Barat, sementara Barat khususnya Amerika Serikat mendukung penjajahan dan pembantaian tersebut.
Faktanya adalah Amerika dan banyak negara Eropa tidak akan membiarkan tercapainya dialog konstruktif di antara berbagai peradaban dengan cara menyuburkan gerakan Islamphobia dan mendukung pemerintahan-pemerintahan otoriter di sejumlah negara Islam.
Presiden Jerman dalam pertemuan Aliansi Peradaban ke-4 di Doha, Qatar mengatakan, "Barat harus mengkritik dirinya sendiri dan harus bersikap kritis terhadap hubungannya dengan negara-negara Islam dan Arab." Ia menambahkan, "Barat selama bertahun-tahun mendukung rezim-rezim diktator Arab, dan dengan alasan itu mereka ingin menciptakan stabilitas di kawasan ini. Barat selama bertahun-tahun mendukung rezim Arab yang paling otoriter dengan dalih menciptakan stabilitas di kawasan. Aliansi Peradaban harus membantu membentuk hubungan yang lebih sehat antara Barat dan dunia Islam. Barat harus menarik dukungannya terhadap para diktator demi kepentingan rakyat dan menjalin interaksi lebih baik dengan mereka."
Surat Chaves untuk Mahmoud Ahmadinejad
“Saudaraku, Mahmud Ahmadinejad, Presiden Republik Islam Iran.
Mewakili rakyat Venezuela, terimalah salam hangat dan salam persaudaraanku ini. Begitu pula, sampaikanlah penghormatan yang dalam dan penuh kecintaanku kepada seluruh rakyat Iran yang pemberani nan kokoh.
Sahabatku! Saudaraku yang mulia!
Setelah saya mendengar bahwa dua orang warga Amerika: Joshua Fattal dan Shane Bauer yang ditangkap lantaran aksi spionase dibebaskan, saya letakkan tanganku di atas dadaku sembari bergumam,
‘Sampai sekarang masih ada para aparatur negara yang tidak melupakan kejantanan dan masih menghidupkan kemuliaan insani.’
Saya sangat bahagia lantaran memiliki saham sekalipun kecil dengan cara perantara seorang sahabat karibku, Sean Penn untuk menuntaskan masalah ini.
Tindakan mulia ini telah membantu kebesaran hati Anda disaksikan oleh seluruh bangsa dan keagungan cita-cita negara Anda terpilah jelas bagi mereka.
Wahai Mahmud!
Semua ini menuntut sebuah rasa terima kasih besar untukmu. Sebaliknya, Imperialisme dunia masih menawan dengan penuh amarah dan penghinaan lima pahlawan Kuba hanya dengan tuduhan mereka membela negara untuk melawan terorisme.
Alangkah banyak kontradiksi yang ada. Kontradiksi yang menunjukkan perbedaan jelas antara mereka yang perilaku mereka bersumber dari ucapan mereka, dan mereka yang melangkahkan dengan mengaku sebagai penebar keadilan di dunia.
Akan tetapi, mereka tidak melakukan tindakan lain selain menginjak-injak keadilan dan memanfaatkan keadilan ini sebagai alat untuk menggapai kepentingan mereka.
Semoga Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang senantiasa melindungi Anda di bawa naungan lindungan dan rahmat-Nya, serta mencurahkan rahmat dan berkah-Nya atas seluruh bangsa Iran sang pemberani dan mulia.
Diiringi penghormatan tulus. Hingga kemenangan abadi untuk Iran dan Venezuela, kita akan hidup dan menang.
Hugo Chavez Frias — (DarutTaqrib/MuhsinLabib/Adrikna!)
Hugo Chavez Meninggal Dunia
Posted by KabarNet pada 06/03/2013
Venezuela – KabarNet: Presiden yang terkenal sebagai tokoh yang anti Amerika Serikat, Hugo Chavez, tutup usia pada umur 58 tahun.
Memimpin selama lebih dari 14 tahun Chavez harus bergulat dengan penyakit kanker dalam dua tahun terakhir ini. Ia juga terpaksa harus bolak-balik ke Kuba untuk menjalani serangkaian pengobatan kanker.
Wakil Presiden Nicolas Maduro, didampingi oleh para pejabat pemerintah, mengumumkan berita duka tokoh yang mendeklarasikan revolusi sosialis di Venezuela itu dalam siaran televisi nasional.
Dilansir Associated Press (Rabu, 6/3), Maduro mengatakan Chavez meninggal dunia pada pukul 16.25 waktu setempat. Chavez adalah presiden yang kerap menantang status quo di dalam maupun luar negeri. Selain terkenal dengan gaya konfrontatif dan mendominasi, Chavez juga dikenal sebagai seorang orator yang mampu membangkitkan rasa nasionalisme di Venezuela. Atas dasar itulah Chavez sangat populer di kalangan kaum miskin Venezuela.
Pemimpin flamboyan berusia 58 tahun tersebut sebelumnya telah menjalani empat operasi kanker di Kuba. Operasi yang terakhir dilakukan pada 11 Desember 2011 dan sejak saat itu dia tidak pernah muncul di depan publik. “Ini adalah momen yang sangat menyedihkan,” kata Maduro yang ditemani oleh sejumlah menteri senior.
Pada Oktober 2012 lalu, Chavez dengan mudah memenangi pemilu presiden untuk yang keenam kalinya. Kematiannya memukul jutaan pendukung yang mengagumi gaya kharismatik, retorika anti Amerika Serikat, dan berbagai kebijakan subsidinya.
Sementara di sisi lain, pengeritik Chavez mengatakan bahwa dia adalah diktator egois yang dengan mudah menuduh musuh politiknya sebagai pengkhianat negara. Kebijakan ekonomi Chavez juga dikritik karena menempatkan model ekonomi statik dengan dukungan pendapatan minyak yang bersifat sementara.
Kematian Chavez juga membuat pemerintah harus mengadakan pemilihan umum dalam waktu 30 hari sejak Selasa. Pemilu tersebut akan menjadi ujian apakah “revolusi” sosialis Chavez dapat bertahan tanpa ketokohannya yang sangat dominan.
Maduro diperkirakan akan maju menjadi salah satu kandidat melawan Henrique Capriles, pemimpin oposisi yang sebelumnya kalah dalam pemilu presiden Oktober lalu. Salah satu jajak pendapat pada beberapa waktu terkahir memberi keunggulan besar pada Maduro. Sebelum meninggal, Chavez memilih Maduro sebagai penggantinya.
Namun kematian Chavez juga dapat menjadi pemicu pecahnya koalisi kelompok kiri yang spektrum pemikiran dan kepentingannya sangat luas, dimulai dari intektual kiri radikal, pejabat militer, sampai pebisnis.
Jika Maduro kalah dalam pemilu ke depan, maka perubahan besar akan terjadi di Venezuela. Skenario tersebut juga dapat membuat rusak aliansi dengan sesama negara Amerika Latin yang anggaran tahunannya bergantung pada sumbangan Chavez.
Chavez adalah tokoh utama dalam aliansi “anti-imperialis” global yang semangatnya mencapai Belarus di Eropa dan Iran di Timur Tengah. Dia akan dirindukan oleh negara dengan pemerintah anti Amerika Serikat. [KbrNet/RMOL/ANT]
Amerika Serikat dan Kematian Chavez
Kematian Presiden Venezuela Hugo Chavez Selasa sore waktu setempat memicu kesedihan mendalam bagi warga di Venezuela. Ribuan orang di negara ini turun ke jalan-jalan, memanggil namanya.
Selama dua tahun, presiden Venezuela ini telah berjuang melawan kanker dengan menjalani beberapa kali operasi dan perawatan di Kuba. "Ini adalah momen kesedihan yang mendalam," kata Wakil Presiden Venezuela, Nicolas Maduro, saat mengumumkan kematian Chavez di televisi.
Reuters memberitakan, ribuan orang turun ke jalan-jalan dan alun-alun kota di seluruh Venezuela. Sebelumnya, mereka telah menanti kabar soal Chavez di depan rumah sakit tempatnya dirawat di Caracas.
Membawa poster-poster dan foto Chavez, mereka mengagung-agungkan pemimpin Venezuela selama 14 tahun itu. "Chavez hidup selamanya! Perjuangan masih berlanjut!" teriak mereka. "Kami akan menunjukkan bahwa yang dia lakukan tidak sia-sia," kata Jamila Rivas, 49, sambil menangis di depan rumah sakit militer tempat Chavez dirawat.
Rakyat Venezuela, terutama yang berasal dari wilayah miskin mengikuti dengan seksama perjuangan Chavez melawan kanker selama dua tahun. Banyak dari mereka yang seakan tidak bisa terima junjungannya tersebut meninggal.
"Dia adalah ayah kami. 'Chavismo' tidak akan berakhir. Kami adalah rakyatnya. Kami akan terus berjuang," kata Nancy Jotiya, 56, di alun-alun Bolivar, Caracas.
Oleh para pendukungnya, Chavez dikenal karena gayanya yang karismatik, anti Amerika, pandai berpidato, dan dicintai karena kebijakan minyaknya yang berujung pada subsidi makanan dan medis bagi jutaan rakyat miskin di negeri itu.
Chavez mendeklarasikan diri sebagai musuh AS dengan memaki Presiden George W. Bush dengan sebutan "setan" di hadapan Sidang Majelis Umum PBB. Berkali-kali Chavez mengancam akan menghentikan kiriman minyak ke AS, meski terbukti belum pernah jadi dilakukannya.
Venezuela tetap menjadi pasar ekspor minyak terbesar AS. Kendati demikian, Chavez juga meningkatkan kiriman minyak ke negara-negara rival AS, seperti Cina, Belarus, Iran dan Suriah.
Terinspirasi oleh kawan dan gurunya di Kuba, Fidel Castro, Chavez menerapkan cara-cara radikal dalam memperbaiki perekonomian negaranya. Dia menasionalisasi perusahaan-perusahaan swasta untuk membiayai negaranya. Caranya ini menuai kecaman dari kelompok oposisi.
Ayah tiga putri dan seorang putra ini dikenal dengan pidatonya yang panjang dan menawan. Tahun 2012, dia berpidato selama 10 jam. Sedikit yang diketahui soal kehidupan pribadinya. Namun dia adalah penggemar baseball, suka membaca dan mendengarkan musik folk.
Pamor Chavez semakin meroket. Dia bak manusia setengah dewa yang dicintai para pengikutnya. "Chavez adalah segalanya, tanpa Chavez kami tidak ada apa-apa," kata seorang pendukungnya.
AS Dituding Berada di Balik Kematian Chavez
Wakil Presiden Venezuela Nicolas Maduro menuduh ada andil dari "musuh imperialis" mereka, yaitu Amerika Serikat, dan kelompok oposisi di dalam negeri dalam kematian Presiden Hugo Chavez. Maka itu, dia pun mengusir beberapa diplomat AS yang dituduh telah mengancam keamanan negara tersebut.
Diberitakan Reuters, Rabu 6 Maret 2013, Maduro menggelar pertemuan di istana kepresidenan setelah kematian Chavez yang telah menjabat selama 14 tahun. Pemerintahan Maduro meyakini, kematian Chavez adalah akibat serangan dari musuh-musuh politiknya.
"Kanker ini adalah serangan dari musuh imperialis. Musuh lama Tanah Air kita berusaha merusak kesehatannya," kata Maduro menuding-nuding, sembari berusaha membandingkan Chavez dengan pemimpin Palestina Yasser Arafat yang diduga mati diracun agen Israel pada tahun 2004 lalu.
Atas tuduhan ini, Maduro mengatakan bahwa Venezuela telah mengusir atase Angkatan Udara di Kedutaan Besar di Caracas. Dia mengatakan, total ada dua diplomat AS yang diusir sejak kematian Chavez karena dinilai menyebarkan ideologi yang bertentangan dengan pemerintah.
"Tanggung jawab terbesar kami adalah menghadirkan kebenaran pada rakyat," kata Maduro dalam sebuah siaran televisi.
Hal serupa juga sebelumnya pernah disampaikan Chavez pada 2011 lalu. Dia melihat ada keanehan karena banyak pemimpin Amerika Latin yang juga mengidap kanker.
Hugo Chavez Mewariskan Jati Diri Bangsa
Tidak adil kadang dunia ini seperti tidak adilnya dunia pada masa kecil Hugo Chavez. Presiden Venezuela pernah tidak punya makanan di masa kecilnya. Dia telah wafat pada hari Selasa (5/3/2013) pukul 16.25 waktu setempat di Caracas.
Selama 14 tahun Chavez berkuasa, pers dunia cenderung melihat sisi ekstremnya, yakni sisi revolusionernya. Chavez menasionalisasi korporasi swasta, meredam oposisi, membungkam lawan dan musuh-musuhnya.
Akan tetapi, Chavez bukan seorang Presiden seperti almarhum mantan Presiden Filipina Ferdinand Marcos. Chavez tidak terdengar memperkaya diri melebihi batasan yang wajar. Dia juga bukan Husni Mubarak versi Mesir.
Ada sisi positif Chavez, yang menginspirasi banyak pemimpin lain di kawasan Amerika Latin, seperti Presiden Bolivia Ivo Morales dan Presiden Argentina Cristina Hernandez. Ada banyak lagi para pemimpin lain di kawasan yang mengagumi Chavez.
Adalah Fidel Castro, pemimpin Kuba, yang sejak lama telah menginspirasi Chavez. Ini terkait soal kemandirian dan jati diri bangsa,soal keinginan untuk terbebas dari penekanan para kapitalis yang berbasis di Washington dan New York, serta Eropa.
Adalah Chavez yang mengkristalkan inspirasi itu. Selama Perang Dingin dan selama kekuasaan AS yang begitu dahsyat, para pemimpin Amerika Latin ini selalu mendapat cap sebagai sosialis ekstremis. Kini Amerika Latin berkembang pesat secara ekonomi. Para pemimpin kawasan ini sibuk menyita aset-aset minyak dan gas yang selama ini dikuasai AS dan Eropa.
Chavez adalah pihak yang memulai itu secara nyata. Menurut data Bank Dunia, kemiskinan di Venezuela berkurang drastis. Keinginan untuk menghidupi warganya agar terhindari dari kemiskinan dia nyatakan walau belum tercapai secara sempurna.
Dia akhirnya meninggal setelah dua tahun berjuang melawan kanker. Namun, dia telah meninggalkan warisan berupa jati diri bangsa dan sikap seorang pemimpin yang peduli pada warga yang dia pimpin.
"Inilah sisi positif yang diwariskan Chavez," kata Michael Shifter, Presiden Inter-American Dialogue, sebuah lembaga yang bermarkas di Washington, seperti dikutip CNN, Selasa (5/3/2013).
Hal serupa dikatakan pengamat lain. "Chavez telah memberi identitas jelas dan rasa harga diri kepada orang-orang yang selama ini terabaikan," kata Jennifer McCoy, Direktur Americas Program at the Carter Center, di Atlanta, AS. (IRIB Indonesia/Vivasnews/Kompas)
Mangkatnya Sang Liberator
Oleh: Airlangga Pribadi Kusman*
Apa arti sebuah nama? Demikianlah kata-kata klasik William Shakespeare yang kerap kali kita baca. Kalau boleh saya menjawab bahwa selain nama adalah doa yang diberikan oleh orang tua kita, maka arti sebuah nama akan dimaknai oleh masyarakat yang menjadi saksi dari kehidupan yang bersangkutan sebagai pemilik nama.
Demikianlah sepertinya ketika kita warga dunia memaknai kepulangan Presiden Venezuela Hugo Chavez Frias ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa pada kemarin Rabu 6 Maret 2013. Sebagian warga dunia terutama kaum miskin yang tak diuntungkan dalam pusaran kencang globalisasi dunia memaknai Hugo Chavez Frias sebagai pahlawan atau liberator. Sebaliknya bagi sebagian lainnya yang mengambil manfaat dari "semakin ratanya dunia" oleh neoliberalisme kemarin adalah berpulangnya seorang badut politik yang dianggap anti demokrasi dan membendung negerinya untuk masuk dalam pusaran pasar bebas.
Entah sebuah firasat atau bukan, beberapa hari yang lalu penulis membaca buku saku tentang kumpulan pengajian KH Abdurrahman Wahid saat beliau menjabat sebagai presiden Indonesia. Ketika membahas tentang kata demokrasi, Gus Dur memberi contoh tentang sahabatnya yaitu Hugo Chavez Friaz seorang Kolonel Bumiputera Amerika Latin yang sempat memberontak kepada pemerintahan elitis Venezuela, mampu meraih hati dan pikiran rakyat Venezuela dan selanjutnya berhasil menang dalam politik elektoral mengalahkan aliansi oligarkhi complex system yang berpusat pada kekuatan konglomerasi bisnis, kekuatan elite politik beserta patronase politiknya. Menurut Gus Dur sejak saat itulah Hugo Chavez menggulirkan demokrasi rakyat dalam arti yang sesungguhnya.
Ada hal yang dilupakan para pengkritik politik Hugo Chavez. Seperti diutarakan oleh Tariq Ali (2004) dalam artikelnya The Important of Hugo Chavez (hasil dari wawancara dengan Presiden) melalui proses referendum yang demokratis, Venezuela dibawah kepemimpinan Hugo Chavez sejak tahun 2004 telah berhasil menempatkan pasal baru dalam konstitusi mereka, dimana pasal itu menekankan bahwa apabila rakyat tidak puas dengan kepemimpinan presidennya, maka sewaktu-waktu rakyat dapat melakukan recall maupun mempertanyakan kebijakan Presiden yang merugikan rakyatnya melalui mekanisme referendum maupun pemilu. Ini adalah terobosan politik demokrasi yang belum pernah dihasilkan bahkan oleh negara-negara paling demokratis di kolong jagad.
Selanjutnya marilah kita mengulas mekanisme demokrasi rakyat yang disebutkan oleh Gus Dur dalam tausiyahnya tentang demokrasi rakyat Hugo Chavez. Struktur politik demokrasi yang dibangun pada masa kepemimpinan populis Hugo Chavez berdiri diatas tulang punggung lebih dari 2,2 juta rakyat Venezuela yang terhimpun dalam wadah yang disebut sebagai lingkaran Bolivarian (Bolivarian Circles). Konsep lingkaran Bolivarian sendiri bukanlah antitesis dari model demokrasi elektoral khas Anglo-Saxon. Namun institusi ini bekerja untuk memperdalam dan memperkuat struktur politik demokrasi elektoral yang sudah berlangsung di Venezuela.
Melalui pembekalan pendidikan politik akan hak-hak sipil, politik dan ekonominya seperti yang tertuang dalam konstitusi Bolivarian, lingkaran Bolivarian bekerja untuk mengontrol proses politik formal diantara eksekutif dan legislatif agar sejalan dengan garis politik konstitusional. Dalam perkembangannya struktur politik yang berbasis akar rumput ini secara efektif berhasil menopang kebijakan-kebijakan ekonomi-politik Chavez dan tak jarang pula melakukan kritik terhadapnya.
Capaian Ekonomi-Politik
Chavez sendiri tidak pernah memimpikan Venezuela sebagai negara sosialisme dalam pengertian klasik. Sosialisme baru Chavez tak berniat untuk menghancurkan kepemilikan pribadi, namun untuk memastikan bahwa negara melalui kedaulatannya ekonominya bekerja berdasarkan prinsip kerjasama dengan bangsa-bangsa lain dapat memberikan kesejahteraan terbaik bagi rakyatnya.
Program nasionalisasi ekonomi dalam pengelolaan sumber daya alam yang dilakukan oleh Chavez bukanlah model nasionalisasi ekonomi yang memberi peluang bagi praktik korupsi dan perburuan rente dikalangan elite seperti yang sering terjadi di negara otoritarian. Seperti yang diutarakan oleh wartawan progresif Iain Bruce (2008) dalam The Real Venezuela bahwa program nasionalisasi ekonomi Chavez berusaha mengkombinasikan kekuatan industri minyak dan gas Venezuela dengan pemberdayaan komunitas lokal di setiap wilayah-wilayah pedalaman. Kebijakan ini berusaha mengantisipasi proses-proses eksplorasi minyak yang merugikan masyarakat sekitarnya. Model kebijakan ekonomi sumber daya alam era Chavez inilah yang kemudian berpegang pada prinsip swadaya (self sufficient) dan pembangunan berbasis masyarakat (people based development). Saat ini setelah lebih lima tahun menggerakkan ekonomi SDA, berdasarkan situs Venezuelan analysis, negara ini tengah membangun ekonomi produktif yang tidak bergantung pada kekuatan sumber daya alam.
Apa yang dhasilkan dari program ekonomi politik kemandirian era Hugo Chavez bagi masyarakatnya? Politik redistribusi pendapatan dari pemerintahan Hugo Chavez telah mengurangi secara drastis tingkat kemiskinan di Venezuela dari 54% jumlah kemiskinan diseluruh rumah tangga menjadi separuhnya sekitar 26% pada tahun 2008 akhir. Seluruh anak-anak miskin di perkampungan kumuh Venezuela memiliki akses terhadap pendidikan gratis, 1,2 juta warga buta huruf berhasil dientaskan melalui program pendidikan massif, enam universitas publik didirikan untuk menampung rakyat miskin. Selain itu dinegara seluas Kalimantan ini didirikan 11.000 klinik komunitas untuk menjamin warga terpenuhi perawatan kesehatannya.
Tidak saja bekerja untuk memajukan rakyatnya Chavez juga menyuarakan keadilan internasional di Palestina dan negara-negara dunia ketiga lainnya melawan kekuatan dominan global. Akhirnya mengenang Chavez penulis menorehkan seutas puisi. Dia yang jasadnya telah menyatu dengan bumi, namun namanya tidak akan pernah mati di sepanjang sejarah hidup manusia. Dia yang hidupnya didedikasikan untuk kemuliaan hidup manusia akan selalu dikenang oleh ummat manusia sebagai patriot Venezuela, sebagai pembela kaum miskin seluruh dunia. Sebagai penyeru kepada dunia bahwa bagaimanapun dunia bergerak tunggang-langgang tetap manusialah yang harus dibela! Selamat jalan Sang Liberator Bung Hugo Chavez.(IRIBIndonesia/Jawapos/PH)
*Pengajar Departemen Politik FISIP Universitas Airlangga
Kandidat PhD Asia Research Center Murdoch University
Chavez, Manusia Setengah Dewa dari Venezuela
"Berikan aku mahkota duri-Mu, Tuhan Yesus, sehingga aku terluka. Berikan aku 100 salib-Mu dan aku akan membawanya untuk-Mu, tetapi jangan ambil nyawaku, karena aku masih ingin melakukan berbagai hal untuk rakyat dan negaraku. Jangan dulu ambil nyawaku."
Itulah doa seorang pria dalam sebuah misa yang diadakan untuk pengobatan penyakit kanker yang dideritanya pada 5 April 2012. Pria itu bukan orang sembarangan. Dia adalah Hugo Chavez, Presiden Venezuela. Pemimpin kharismatik sekaligus kontroversial yang telah memimpin negeri itu selama 14 tahun.
Semenjak didiagnosis menderita kanker pada Juni 2011, Chavez telah menjalani empat kali operasi di Kuba. Operasi terakhir dilakukan pada 8 Desember 2012. Saat itulah, Chavez mungkin sudah merasa perjuangannya untuk melawan kanker menjelang berakhir. Dan dia pun berpesan, "Pilih Maduro sebagai presiden republik ini. Aku meminta ini dari hatiku yang terdalam."
Chavez meminta rakyat Venezuela untuk memilih Wakil Presiden Nicolas Maduro sebagai penggantinya dalam pemilu mendatang jika dirinya tidak lagi mampu memimpin Venezuela akibat operasi kanker yang harus dijalaninya.
Tiga bulan kemudian, tepatnya Selasa, 5 Maret 2013, pemimpin yang sangat dicintai rakyatnya itu akhirnya menghembuskan nafas terakhir. Chavez meninggal di usia 58 tahun setelah memimpin Venezuela selama 14 tahun.
Chavez meninggal setelah beberapa jam terakhir mengalami kesulitan bernafas. Kematiannya menyisakan kepedihan yang mendalam bagi jutaan rakyat Venezuela. Ribuan orang turun ke jalan-jalan memberikan penghormatan yang terakhir, usai pengumuman kematian Chavez.
Rakyat Venezuela, terutama yang berasal dari wilayah miskin mengikuti dengan seksama perjuangan Chavez melawan kanker. Mereka seakan tidak bisa terima ia meninggal. "Dia adalah ayah kami. 'Chavismo' tidak akan berakhir. Kami adalah rakyatnya. Kami akan terus berjuang," kata Nancy Jotiya, 56, di alun-alun Bolivar, Caracas
Ingin Jadi Pelukis
Chavez lahir dari sebuah keluarga miskin pada 28 Juli 1954 di sebuah wilayah kumuh di Sabaneta. Itulah yang membuat Chavez memiliki keterikatan batin yang kuat dengan rakyat miskin Venezuela yang menganggapnya sebagai keluarga.
Cita-citanya waktu belia adalah menjadi pelukis dan pemain baseball untuk Liga Amerika Serikat. Jalan hidup akhirnya justru menuntunnya ke dunia militer dengan tugas pertamanya menjadi komandan komunikasi peleton.
Inilah mengapa dia dipanggil dengan sebutan 'Comandante'. Jabatan terakhirnya adalah Letnan Kolonel. Bersama dengan anggota militer lainnya yang berpaham kiri. Tahun 1992, dia gagal mengkudeta Presiden Carlos Andres Perez. Namun, aksi ini melejitkan karier politiknya.
Pendukung Chavez semakin besar. Dua tahun kemudian dia dibebaskan dari penjara dan membentuk Partai Sosial Demokrat yang juga dinamai "Gerakan Republik Kelima". Tahun 1998, dia berhasil memenangkan pemilu dan menjabat Presiden. Bagi warga miskin yang memilihnya, Chavez adalah simbol permulaan baru setelah pemerintahan sebelumnya dianggap korup dan tidak memihak rakyat.
Tahun 2002, Chavez dikudeta dan dipenjara oleh kelompok oposisi dan tentara. Dua hari kemudian, militer yang loyal padanya berhasil membebaskannya dan kembali mengangkatnya sebagai pemimpin. Chavez menuduh Amerika Serikat berada di balik kudeta tersebut.
Ia mendeklarasikan diri sebagai musuh AS dengan memaki Presiden George W. Bush dengan sebutan "setan" di hadapan Sidang Majelis Umum PBB. Berkali-kali Chavez mengancam akan menghentikan kiriman minyak ke AS, meski terbukti belum pernah jadi dilakukannya.
Venezuela tetap menjadi pasar ekspor minyak terbesar AS. Kendati demikian, Chavez juga meningkatkan kiriman minyak ke negara-negara rival AS, seperti China, Belarus, Iran dan Suriah.
Terinspirasi oleh kawan dan gurunya di Kuba, Fidel Castro, Chavez menerapkan cara-cara radikal dalam memperbaiki perekonomian negaranya. Dia menasionalisasi perusahaan-perusahaan swasta untuk membiayai negaranya. Caranya ini menuai kecaman dari kelompok oposisi.
Indonesia Perlu Sosok Seperti Chavez
Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra, Faldi Zon mengatakan, Indonesia memerlukan sosok pemimpin seperti mendiang Presiden Venezuela Hugo Chavez.
"Sikap tegas Chavez dalam membela hak rakyat miskin, sangat patut dicontoh. Ia berani mengambil resiko atas setiap kebijakan dan tindakannya. Itulah pemimpin. Indonesia perlu pemimpin seperti dia," kata Fadli, di Jakarta, Rabu (6/3).
Ia memaparkan, sosok Chavez yang jujur, melayani rakyat, tegas, berani bersikap membela kepentingan rakyat, dan bertindak menjaga kepentingan nasional tanpa ketakutan atas bayang-bayang kepentingan asing, seperti itulah yang diperlukan Indonesia.
Karena sosoknya yang dinilai baik oleh banyak kalangan, kepergian Chavez sangat mengejutkan dunia internasional. Dunia kehilangan salah seorang pemimpin negara yang berani dan tegas. Ia berjuang penuh totalitas untuk kepentingan rakyatnya. Chavez adalah pembela rakyat miskin di Venezuela sekaligus pelopor demokrasi sosialis dan integrasi Amerika Latin.
Selain itu, ia merupakan pemimpin negara yang berani secara lantang meneriakkan anti imperialisme dan mengkritik secara keras globalisasi neoliberal, serta kebijakan luar negeri Amerika Serikat di era Bush. Sehingga, walaupun sebagian pihak di negara Barat tak menyukainya, namun rakyat Venezuela mencintainya.
Hal ini terbukti atas percobaan kudeta militer atas Chavez yang terjadi pada 2002. Di mana, ribuan rakyat Venezuela berunjuk rasa agar Chavez tetap dikukuhkan menjadi Presiden. Atas dukungan rakyat, akhirnya kudeta itupun gagal. Ini wujud begitu cintanya rakyat kepada pemimpinnya.
"Selamat jalan Hugo Chavez dalam peristirahatan yang damai dan abadi. Legacymu menjadi teladan bagi sebagian orang yang mencintai kemerdekaan," pungkas Fadli. (IRIB Indonesia/Vivanews/Gatra)
Venezuela Sepeninggal Chavez
Ketika Hugo Rafael Chavez Friaz dari partai sayap kiri menjadi pemimpin Revolusi Bolivari pada tahun 1999, dan dipilih oleh rakyat menjadi Presiden Venezuela, mungkin banyak pihak di kawasan Amerika Latin dan wilayah lain di dunia tidak akan menyangka bahwa pemimpin karismatik Amerika Latin ini mampu menghadirkan perubahan besar di negara Venezuela. Revolusi Bolivari dirintis oleh Simon Bolivar, seorang pemimpin revolusi di abad ke-19.
Chavez terpilih sebagai Presiden Venezuela pada 6 Desember 1998 dan resmi bertugas pada 2 Februari 1999. Selama empat kali berturut-turut Chavez terpiih sebagai presiden. Pada era kepemimpin Chavez, selain reformasi politik penting, Chavez mampu menghadirkan perubahan siginifikan di sektor ekonomi. Banyak program ekonominya yang direalisasikan dan akibatnya kesejahteraan rakyat Venezuela meningkat. Mungkin yang paling menonjol dari seluruh upaya Chavez di bidang ekonomi adalah keberhasilannya mereduksi jurang perbedaan antara kaya dan miskin.
Termasuk di antara reformasi struktur ekonomi Venezuela oleh Chavez adalah nasionalisasi industri-industri yang mendatangkan keuntungan besar, mereduksi pengaruh perusahaan multi-nasional dan pembatasan aktivitasnya, serta pelimpahannya kepada negara.
Meski antara tahun 1999 hingga 2004, pertumbuhan ekonomi Venezuela turun hingga 1,2 persen akan tetapi Chavez mampu mendongkrak kembali pertumbuhan ekonomi negaranya dengan merevisi kebijakan ekonomi di bidang industri minyak. Sehingga pada tahun 2004 angka pertumbuhan ekonomi Venezuela meningkat hingga 18 persen.
Akan tetapi Venezuela dan Chavez didera berbagai masalah yang sebagian besarnya datang dari jirannya dari utara yakni Amerika Serikat. Dalam beberapa tahun terakhir, Paman Sam merasa pengaruh dan kepentingannya terancam menyusul kebangkitan pemerintahan-pemerintahan populis mulai dari Venezuela, Bolivia dan Ekuador. AS berusaha menggerogoti pemerintahan tersebut dan aksi paling anyar Washington dalam hal ini adalah upaya kudeta terhadap pemerintahan Chavez pada tahun 2002. Gedung Putih menggunakan pionnya di Venezuela yaitu Enrique Capriles, seorang tokoh oposisi.
Amerika Serikat melindungi Capriles di Washington dan pada hari-hari terakhir sebelum Chavez meninggal, dua pejabat militer Amerika Serikat yang bertugas di Kedutaan Besar AS di Caracas diusir karena mencampuri urusan dalam negeri Venezuela. Hal ini jelas membuktikan bahwa AS telah mempersiapkan program-program khusus untuk Venezuela pasca Chavez.
Salah satu kebijakan Chavez yang membakar jenggot Paman Sam adalah peningkatan kerjasama Venezuela dengan Republik Islam Iran. Kesamaan perspektif anti-hegemoni melandasi kerjasama harmonis kedua pihak. Hal ini dapat dilihat dari tingginya volume kunjungan para pejabat tinggi kedua negara.
Selama itu, Chavez telah lima kali berkunjung ke Tehran dan Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad juga enam kali berkunjung ke Tehran. Bahkan sejumlah media massa menyebut Chavez dan Ahmadinejad sebagai "dua icon anti-imperialisme".
Ahmadinejad dua kali terpilih sebagai Presiden Iran dan selama itu kerjasama Tehran dan Caracas di bidang perdagangan, energi dan pertahanan meningkat tajam. Fenomena ini tentunya mengusik ketenangan Amerika Serikat sampai-sampai Hillary Clinton, mantan menlu AS, menggunakan istilah "peningkatan hubungan yang sangat mengkhawatirkan."
Namun pada akhirnya, Chavez, sang pemimpin karismatik di Amerika Latin itu meninggal dunia ketika negaranya telah berubah menjadi negara independen dengan kebijakan-kebijakan anti-imperialis yang justru mampu tampil sebagai kekuatan ekonomi baru. Pada era pemerintahannya, Chavez mampu mengeksplorasi potensi-potensi besar Venezuela dan mengembangkannya. Dan selain menjadi simbol keberhasilan Revolusi Bolivari, sepeninggal Chavez, Venezuela diprediksi tetap mampu melanjutkan perannya sebagai pemimpin gerakan revolusi di Amerika Latin menentang hegemoni dan imperialisme kaum durjana.(IRIB Indonesia/MZ)
Armada ke-24 Iran Sedang Menuju Selat Malaka
Panglima Angkatan Laut Iran Laksamana Habibollah Sayyari menyatakan bahwa armada ke-24 Angkatan Laut Iran akan meninggalkan kota pelabuhan Zhangjiagang Cina menuju Selat Malaka.
"Armada ke-24 Angkatan Laut Iran berlabuh yang merapat ke pelabuhan Cina dan menggelar latihan telah meninggalkan pelabuhan Zhangjiagang hari ini (Kamis, 7/3)," kata Sayyari.
"Armada tersebut masih berada di Samudera Pasifik dan sedang menuju Selat Malaka dan akan segera berlabuh di Pelabuhan Colombo [Sri Lanka]," katanya.
Armada ke-24 kapal perang Angkatan Laut Iran, yang terdiri dari kapal perusak Sabalan dan kapal penerbang helikopter Kharg itu berlabuh di Zhangjiagang Cina Senin lalu setelah berlayar 13.000 kilometer dalam 40 hari.
Komandan Iran melanjutkan dengan mengatakan bahwa "kehadiran armada laut Iran di Samudera Pasifik ini merupakan awal dari eksistensinya [Iran] di Samudera Atlantik, seraya menegaskan bahwa kehadiran konstan dan luas Iran di perairan internasional telah ditetapkan dalam program kerja Angkatan Laut Republik Islam Iran.(IRIB Indonesia/MZ)
"Armada ke-24 Angkatan Laut Iran berlabuh yang merapat ke pelabuhan Cina dan menggelar latihan telah meninggalkan pelabuhan Zhangjiagang hari ini (Kamis, 7/3)," kata Sayyari.
"Armada tersebut masih berada di Samudera Pasifik dan sedang menuju Selat Malaka dan akan segera berlabuh di Pelabuhan Colombo [Sri Lanka]," katanya.
Armada ke-24 kapal perang Angkatan Laut Iran, yang terdiri dari kapal perusak Sabalan dan kapal penerbang helikopter Kharg itu berlabuh di Zhangjiagang Cina Senin lalu setelah berlayar 13.000 kilometer dalam 40 hari.
Komandan Iran melanjutkan dengan mengatakan bahwa "kehadiran armada laut Iran di Samudera Pasifik ini merupakan awal dari eksistensinya [Iran] di Samudera Atlantik, seraya menegaskan bahwa kehadiran konstan dan luas Iran di perairan internasional telah ditetapkan dalam program kerja Angkatan Laut Republik Islam Iran.(IRIB Indonesia/MZ)
Kendaraan Lapis Baja Inggris Dimiliki Teroris Suriah
Mantan diplomat Rusia, Vicslav Motozov menyinggung mekanisme pengiriman kendaraan lapis baja Inggris dan pengiriman senjata anti-udara dan tank kepada kelompok pemberontak Suriah, seraya menuding Amerika Serikat bersikeras pada kebijakannya bahwa pemerintahan Assad harus terguling dengan cara apapun.
Dalam wawancaranya dengan Alalam (7/3), mantan diplomat Rusia itu mengatakan, "Pendapat Amerika Serikat dan para sekutunya terkait solusi damai dan dialog, bohong dan untuk menutupi pengiriman senjata serta pelatihan para teroris dan pengiriman mereka ke Suriah dengan pantauan dari Dinas Rahasia AS (CIA)."
Motozov menegaskan, "Tidak mungkin kita menyebut orang yang mengangkat senjata dan menggunakan roket anti-pesawat dan tank serta senapan otomatis berat kepada militer Suriah, sebagai pihak-pihak yang moderat."
Menurutnya, ini semua menunjukkan bahwa Amerika Serikat berusaha menggulingkan pemerintahan Suriah meski harus menggunakan cara-cara ilegal.
Lebih lanjut Motozov menjelaskan, "Para teroris yang beraktivitas di Suriah adalah para anasir teroris yang dikerahkan dari berbagai negara, dan ini semua mendapat restu dari Amerika Serikat dan sekutunya."
(IRIB Indonesia/MZ)
Dalam wawancaranya dengan Alalam (7/3), mantan diplomat Rusia itu mengatakan, "Pendapat Amerika Serikat dan para sekutunya terkait solusi damai dan dialog, bohong dan untuk menutupi pengiriman senjata serta pelatihan para teroris dan pengiriman mereka ke Suriah dengan pantauan dari Dinas Rahasia AS (CIA)."
Motozov menegaskan, "Tidak mungkin kita menyebut orang yang mengangkat senjata dan menggunakan roket anti-pesawat dan tank serta senapan otomatis berat kepada militer Suriah, sebagai pihak-pihak yang moderat."
Menurutnya, ini semua menunjukkan bahwa Amerika Serikat berusaha menggulingkan pemerintahan Suriah meski harus menggunakan cara-cara ilegal.
Lebih lanjut Motozov menjelaskan, "Para teroris yang beraktivitas di Suriah adalah para anasir teroris yang dikerahkan dari berbagai negara, dan ini semua mendapat restu dari Amerika Serikat dan sekutunya."
(IRIB Indonesia/MZ)
Tinggalkan Tehran, Ahmadinejad Hadiri Pemakaman Chavez
Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad meninggalkan Tehran Kamis (7/3) menuju Caracas untuk menghadiri pemakaman Chavez hari berikutnya.
Kunjungan Presiden Iran ke Venezuela kali ini bersama penasehatnya Esfandiar Rahim Mashaei, Menteri Luar Negeri Iran Ali Akbar Salehi, Wakil Presiden untuk Urusan Eksekutif Sayyed Hassan Mousavi, Wakil Presiden Urusan Parlemen Mohammad Reza Mir-Tajeddini, dan Menteri Koperasi, Tenaga Kerja dan Kesejahteraan Sosial Asadollah Abbasi.
Di Bawah kepemimpinan Ahmadinejad dan Chavez, Iran dan Venezuela meningkatkan hubungan ekonomi dan politik yang kuat dalam beberapa tahun terakhir.
Pemakaman Chavez juga akan dihadiri oleh beberapa kepala negara dari Amerika Latin, dan kawasan lain.
Jenazah Chavez telah dimasukkan ke dalam peti setengah terbuka yang ditempatkan di aula Sekolah Militer Venezuela di Caracas setelah didampingi oleh pendukungnya dari rumah sakit pada Rabu.
Anak-anaknya mengelilingi peti mati dan para pendukungnya meneriakkan, "hidup Chavez, perjuangan terus berlanjut,".(IRIBIndonesia/PH)
Ahmadinejad Tiba di Caracas Hadiri Pemakaman Chavez
Presiden Republik Islam Iran Mahmoud Ahmadinejad telah tiba di Caracas, ibukota Venezuela, untuk menghadiri acara pemakaman mendiang Hugo Chavez.
Ahmadinejad disertai penasehat tingginya Esfandiar Rahim Mashaei, Menteri Luar Negeri Iran, Ali Akbar Salehi, Wakil Presiden untuk Hubungan Eksekutif, Sayid Hassan Mousavi, Wakil Presiden untuk Hubungan Parlemen Mohammad-Reza Mir-Tajeddini, dan penjabat Kementerian Koperasi, Tenaga Kerja dan Kesejahteraan Sosial Asadollah Abbasi.
Dalam pesannya kepada pemerintahan Venezuela yang dirilis Rabu (6/3), Ahmadinejad menyebut Chavez seorang "syahid di jalan pengkhidmatan terhadap rakyat Venezuela dan menjaga nilai-nilai kemanusiaan dan revolusi."
Pemerintah Iran juga mengumumkan satu hari berkabung nasional atas kematian pemimpin Venezuela ini.
Para pemimpin dari 55 negara dijadwalkan akan berpartisipasi pada acara pemakaman Chavez.
Lebih dari dua juta pelayat telah menjenguk peti mati setengah terbuka Chavez yang diletakkan di aula Akademi Militer Venezuela di Caracas.
Nicolas Maduro Wakil Presiden Venezuela, sebagai dilantik sebagai penjabat presiden pada Jumat (8/3), menyatakan tujuh hari berkabung tambahan.(IRIB Indonesia/MZ)
0 comments to "Amerika Serikat dan Kematian Hugo Chavez-VENEZUELA, Surat Chaves untuk Mahmoud Ahmadinejad, The propaganda war against Iran, Situs Wahabi Arrahmah Sebut Iran Kerjasama Bantai Muslim Rohingnya dan Ahmadinejad Hadiri Pemakaman Chavez"