Home , , , , , , , , , � Menyingkap Hakikat Wahabisme; Allah Dalam Pandangan Ibn Taimiyyah (serial)

Menyingkap Hakikat Wahabisme; Allah Dalam Pandangan Ibn Taimiyyah (serial)



Menyingkap Hakikat Wahabisme; Allah Dalam Pandangan Ibn Taimiyyah (Bagian Pertama)


Sebagai wujud yang memahami fenomena di sekitarnya lebih indera dan menetapkan untuknya tempat dan waktu, manusia cenderung menganggap segala sesuatu dalam bentuk wujud yang dapat diindera. Manusia yang akrab dengan materi dan indera bahkan menganggap Tuhan sebagai wujud inderawi dan jisim materi yang dibungkus daging, dialiri darah, terbentuk dalam susunan tulang dan memiliki anggota badan. Dalam termonilogi Islam, kelompok yang menyematkan kriteria jisim kepada Allah disebut dengan nama kelompok Musyabbihah yang berarti kelompok yang menganggap Tuhan seperti makhluk.

Ada pula kelompok yang tidak terang-terangan menyebut Tuhan berjisim namun tidak menafikan kejisiman Tuhan. Mereka secara lahiriyah berpegangan pada lahiriah ayat-ayat suci al-Quran dan riwayat dari Nabi Saw dengan menafikan penalaran dan logika dalam memahami teks agama. Mereka beralasan bahwa al-Quran turun untuk dibaca bukan untuk dinalar. Padahal, banyak sekali ayat al-Quran yang menyeru manusia untuk berpikir dan merenung. Misalnya di ayat 24 surat Muhammad Allah Swt berfirman, "Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran ataukah hati mereka terkunci?" Juga firman Allah Swt di ayat 29 surat Shad yang artinya, "Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran."

Ibnu Taimiyyah, pendiri aliran Salafi menyebut sifat jisim bagi Allah Swt dengan bersandar pada zahirsejumlah ayat suci al-Quran. Dalam menjelaskan pandangannya secara terang-terangan dia menyebut Allah memiliki kaki, tangan dan lainnya. Akan tetapi untuk menghindari tudingan menyematkan sifat-sifat materi bagi Allah, dia mengatakan bahwa tangan, kaki wajah dan lainnya yang dimiliki Allah berbeda dengan yang ada pada manusia. Meski demikian dia tetap tidak bisa lari dari pandangan penyamaan Allah dengan lahiriyah manusia. dengan kata lain, pandangan Ibnu Taimiyyah hanya menimbulkan kebingungan akan sifat-sifat Allah. Dia mengatakan, "Allah memiliki tangan tapi tidak seperti tangan yang kita fahami, tapi tangan yang layak bagi-Nya." Jika demikian, berarti tangan yang dia sebut bukanlah anggota tubuh dengan memiliki kriteria yang dipahami dalam makna tangan.

Penyamaan Allah dengan jisim disebutkan oleh Ibnu Taimiyyah dalam bukunya, "Arsyu Rahman wa maa warada fiihi minal Ayat wal Ahadits". Misalnya ayat 67 surat az-Zumar menyebutkan bahwa seluruh bumi ada dalam genggaman Allah di Hari Kiamat. Makna genggaman bisa difahami dengan kekuasaan penuh atas sesuatu seperti yang biasa diungkapkan dalam percakapan sehari-hari. Permisalan ayat tadi adalah kinayah atau pinjaman kata untuk menunjukkan kekuasaan penuh Allah atas alam semesta. Akan tetapi dalam bukunya, Ibnu Taimiyyah saat menafsirkan ayat tadi hanya memahami makna zahir dari kata genggaman sehingga menyatakan bahwa Allah memiliki tangan yang menggenggam.

Dia mengatakan, di Hari Kiamat bumi beradadi tangan Allah dan dilemparkan seperti seorang anak melemparkan bola ke atas. Sayangnya pemahaman menyimpang dari ayat-ayat al-Quran seperti ini banyak ditemukan dalam pernyataan kelompok Salafi. Dengan menurunkan derajat Ilahiyah ke level alam materi, mereka telah mempermainkan keagungan Allah.

Secara faktual, Ibnu Taimiyyah, Muhammad bin Abdul Wahhab dan para pengikut mereka adalah orang-orang berpemikiran dangkal yang hanya memahami teks agama secara lahiriyah semata. Mereka jauh dari nalar dan tauhid yang murni. Kelompok Wahhabi benar-benar asing dari tauhid murni yang diajarkan Nabi dan para pengikut beliau yang saleh yang menerima penalaran dan argumentasi yang benar. Nabi dan para pengikutnya menerima tauhid ini dengan sepenuh jiwa dan menyesuaikan kehidupan mereka dengan poros tauhid.

Yang menarik, meski hanya berpegangan pada dhahir ayat-ayat al-Quran, kaum Wahhabi menyebut diri mereka sebagai pembela dan pengamal tauhid yang sejati. Untuk itu mereka menganggap kelompok lainnya sebagai kafir yang musyrik. Ibnu Taimiyyah mengakui bahwa di dalam Kitabullah dan Sunnah Nabi tidak ada ungkapan tentang kejisiman Allah. Namun, katanya, tidak ada penafian soal ini. Karena itu, dia mengatakan bahwa Allah adalah wujud yang berjisim.

Mengenai kejisiman Allah, Ibnu Taimiyyah mengatakan bahwa Allah duduk di atas singgasana yang disebut Arasy. Menurutnya, Allah tertawa, berjalan dan bahkan berlari.dalam buku risalah Himawiyyah, Ibnu Taimiyyah menuturkan, "Tuhan bisa tertawa. Dan di Hari Kiamat kelak Dia tertawa dalam keadaan menunjukkan diri-Nya kepada para hamba-Nya." Padahal di ayat 103 surat al-An'am disebutkan bahwa Allah tidak bisa dilihat oleh siapapun. "Mata tak melihat-Nya dan Dia menyaksikan semua penglihatan dan Dia Maha Lembut lagi Maha Mengetahui." Dalam sebuah riwayat Imam Ali as berkata, "Allah adalah Sesembahan yang seluruh makhluk tertegun terhadap-Nya dan merindukan-Nya. Allah adalah wujud yang tersembunyi dari semua mata dan terlindung dari pemikiran akan akal manusia."

Al-Quran al-Karim dengan tegas menafikan kejisiman Allah. Hal ini juga dinyatakan dalam banyak hadis yang diriwayatkan dalam kitab-kitab Ahlussunnah terkait penafsiran surat al-Ikhlas. Hakim Naisyaburi meriwayatkan dari Ubay bin Kaab bahwa suatu hari kaum Musyrik Mekah meminta Rasulullah Saw untuk menyebutkan silsilah nasab Allah Swt. Maka turunlah surat al-Ikhlas yang menyebutkan, "Katakanlah (Wahai Muhammad) Allah Maha Esa. Allah Maha Kaya (yang mutlak tidak memerlukan apapun). Dia tidak melahirkan dan tidak pula diperanakkan dan tidak ada sesuatupun yang menyamaiNya." Meski ada ayat-ayat seperti ini, orang-orang seperti Ibnu Taimiyyah tetap menyebut kejisiman untuk Allah Swt.

Baihaqi, ulama besar hadis saat menyatakan penolakan terhadap penyematansifat jisim bagi Allah membawakan kata-kata Ahmad bin Hanbal yang mengatakan, "Para ahli bahasa menyebut jisim sebagai ungkapan untuk sesuatu yang memiliki panjang, lebar, ketinggian dan susunan serta bentuk. Sementara Allah Maha Suci dari semua itu. Tidak benar jika kita menyematkan sifat jisim bagi Allah. Sebab Dia terlepas semua kriteria dan pemahaman makna jisim. Dalam syariat juga tidak ada kata yang menunjuk ke arah sana. Karena itu penisbatan jisim bagi Allah adalah pendapat yang salah." Yang menarik kata-kata itu diucapkan oleh Ahmad bin Hanbal sementara Ibnu Taimiyyah mengaku sebagai pengikut mazhab Hanbali.(IRIB Indonesia)

Menyingkap Hakikat Wahabisme; Allah Dalam Pandangan Ibnu Taimiyyah (Bagian Kedua)


Sepanjang hidupnya Ibnu Taimiyyah menulis banyak buku untuk menjelaskan ajaran dan pemikirannya. Banyak pemikiran dan fatwanya yang bertentangan dengan seluruh ulama, khususnya mengenai Allah dan sifat-sifat-Nya. Dia dan para pengikutnya meyakini bahwa Allah bersifat seperti apa yang difirmankan-Nya secara zahir ayat al-Quran. Dia menolak takwil ayat-ayat itu sehingga terjebak dalam pemikiran yang menyamakan Allah dengan jisim dan bersifat terbatas. Dia bahkan mengatakan bahwa Allah bertempat di suatu tempat tertentu.

Ibnu Taimiyyah dan muridnya yang bernama Ibnu Qayyim Jauzi mengatakan, sebelum terciptanya alam semesta Allah berada di antara awan tebal, tanpa ada udara di atas maupun di bawahnya. Sementara saat itu tidak ada satupun makhluk di alam semesta. Menurutnya, ‘Arasy atau singgasana Allah berada di atas air.

Kata-kata itu mengandung kontradiksi yang fatal. Sebab, dari satu sisi dia mengatakan saat itu belum ada satupun makhluk tapi di sisi lain dia mengatakan Allah berada di antara awan yang tebal. Padahal, awan adalah satu makhluk ciptaan Allah. Karena itu sulit untuk memahami bagaimana mungkin awan sudah ada sebelum Allah mencipta? Bagaimana mungkin seorang muslim yang mengerti akan ajaran Islam bisa mempercayai kata-kata yang mengesankan Allah laksana satu makhluk lemah yang terperangkap di antara awan tebal yang menyelimuti-Nya? Islam menyatakan bahwa tidak ada suatu apapun yang meliputi Allah. Dialah yang meliputi segala sesuatu, dan bukan diliputi. Ungkapan pemikiran ini jelas bertentangan dengan ajaran Islam yang hakiki.

Kaum Wahhabi juga meyakini bahwa Allah berada di suatu tempat dan arah tertentu. Selain meyakini Allah sebagai wujud berjisim dengan kriteria perilaku jasmani, mereka juga berbicara tentang tempat Allah di atas langit. Dalam kitabMinhaj al-Sunnah, Ibnu Taimiyyah mengatakan, "Udara ada di atas bumi. Awan berada di atas udara Langit di atas awan dan bumi. Arasyada di atas semua langit, dan Allah ada di atas semua itu." Ibnu Taimiyyah dengan esktrim menyatakan, "Siapa saja yang mengatakan bahwa Allah bisa dilihat tapi tak memahami arah ketinggian bagi-Nya berarti secara logika kata-katanya tidak benar."

Coba perhatikan kata-kata itu dengan firman Allah di dalam al-Quran yang dengan tegas dan jelas menyebutkan, "Timur dan Barat adalah milik Allah. kemana saja engkau menghadap maka di sanalah Allah. Allah Maha Kaya lagi Maha Mengetahui." (Q.S. al-Baqarah: 115).

Di surat as-Sajdah ayat 4 Allah Swt juga berfirman,"Lalu Dia bersemayam atas Arasy." Ayat 5 surat Thaha menyebutkan,"Ar-Rahman berkuasa atas Arsy". Sedangkan di ayat 4 surat al-Hadid disebutkan,"Lalu dia berada di atas singgasana dan memerintahkan apa yang turun ke bumi." Ayat-ayat ini dimaknai oleh Wahhabi dengan makna lahiriyahnya sehingga mereka mengatakan bahwa Allah berada di atas singgasana dengan kebesaran dan kelayakan penguasa yang terkadang penyifatan ini lebih mirip dengan lelucon. Mereka mengatakan pula bahwa Allah punya berat yang sangat besar dan duduk di atas singgasana-Nya. Ibnu Taimiyyah yang pemikirannya merupakan rujukan utama ajaran Salafi dan Wahhabi mengklaim bahwa dari semua arah, Allah lebih besar seukuran empat jari-Nya dari singgasana-Nya. Dia mengatakan, "Allah Swt ada di atas singgasana dan ArasyIlahi berbentuk seperti kubah di atas langit. Karena beratnya Allah, ‘Arasyitu mengeluarkan bunyi."

Ibnu Qayyim dan para ulama Wahhabi tidak pernah merasa sungkan untuk berbicara tentang Allah dengan gambaran yang mengingatkan kita pada khayalan anak-anak. Mereka mengatakan,‘ArasyIlahi memiliki ketebalan yang ukurannya sama dengan jarak antara dua langit.. Menurut mereka di langit ketujuh terdapat hamparan lautan yang luas. Semua itu mereka ucapkan tanpa ada dasar atau penjelasan dari ayat al-Quran maupun hadis Nabi maupun riwayat dari para sahabat.

Salah satu sifat Allah adalah Maha Kaya dan tidak memerlukan sesuatu apapun. Hal itu ditegaskan dalam banyak ayat suci al-Quran diantaranyasurat al-Baqarahayat 267,"Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji". Sifat ini dikenalkan sendiri oleh Allah Swt dalam firman-firmannya dan melalui pendekatan logika, kita bisa memahami makna ketidakbutuhan Allah kepada yang lain. kitab suci al-Quran mengajak kita untuk memnggunakan akal dan nalar. Dalam banyak kesempatan kitab suci ini menyeru mereka yang mengingkari kebenaran untuk membawakan bukti yang bisa mendukung klaim mereka.

Bersemayamnya Allah di atas ‘Arasyseperti disebutkan secara harfiyah oleh sejumlah ayat al-Quran adalah kinayah atau kiasan mengenai kekuasaan Allah yang mengatur alam semesta ini. Dengan kata lain, manajerial alam semesta ada di tangan-Nya. Ayat-ayat tadi menyatakan bahwa alam semesta berjalan dengan kehendak Allah dan Dialah yang mengatur segala sesuatunya baik yang ada di langit maupun yang ada di bumi. Semuanya tunduk pada aturan dan ketentuan Ilahi. Karena itulah Allah mengenalkan diri-Nya dengan nama Rabb yang mengandung arti Tuhan yang mengatur alam.

Sayangnya, meski akal bisa menalar dan mencarikan penyelesaian untuk memahami ayat-ayat seperti ini, kaum Salafi dan Wahhabi justeru melangkah di jalan yang lain. Mereka menyebut ‘Arasytak ubahnya bagai singgasana tempat para penguasa duduk dengan kebesarannya. Pengartian‘Arasyseperti ini jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam dan aturan logika. Mereka mengatakan bahwa Allah duduk di atas singgasana yang sangat besar yang dipikul oleh delapan makhluk dengan tubuh raksasa di lautan yang terhampar di atas langit ketujuh. Mereka juga mengatakan bahwa singgasana Ilahi disangga oleh beberapa pilar yang jika salah satunya tidak ada maka arasy akan ambruk dan jatuh ke bumi.

Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as yang oleh Nabi Saw disebut dengan gelar pintu kota ilmu mengatakan, "Allah menciptakan ‘Arasy untuk menunjukkan kekuasaan-Nya bukan untuk duduk di atasnya."(IRIB Indonesia)

Menyingkap Hakikat Wahabisme; Allah Dalam Pandangan Ibnu Taimiyyah (Bagian Ketiga, Habis)


Ibnu Taimiyyah, pendiri aliran Salafi memiliki pandangan yang bertentangan dengan keyakinan umat Islam umumnya dalam masalah tauhid. Salah satunya adalah pandangan yang ia paparkan berkenaan dengan naik turunnya Allah di antara di antara tujuh lapis langit. Dalam kitab Minjahus Sunnah, Ibnu Taimiyyah menulis, Setiap malam, Allah turun ke langit bumi dan di malam arafah Dia turun lebih dekat lagi ke bumi untuk mengabulkan permintaan hamba-hamba-Nya. Sesampainya di langit bumi, Allah berfirman, "Adakah orang yang memohon kepadaKu untuk Aku kabulkan permintaannya?"

Kaum Salafi juga membayangkan adanya bermacam kursi dan singgasana milik Allah. dalam kitab Majmu al-Fatawa karya Ibnu Qayyim Jauzi, murid dan pengikut setia Ibnu Taimiyyah disebutkan, "Di setiap langit Allah memiliki kursi. Ketika sampai di langit dunia, Allah duduk di atas kursi yang khusus dan berfirman, "Adakah orang yang memohon ampunan untuk Aku beri ampunan?" Allah berada di sana setiap malam sampai subuh. Ketika fajar tiba, Dia akan meninggalkan langit bumi dan naik ke atas untuk duduk di atas kursi-Nya yang lain."

Ibnu Batutah, pengembara terkenal Muslim asal negeri Maroko dalam catatan perjalanannya menceritakan satu kisah menarik tentang Ibnu Taimiyyah. Dia bercerita, "Aku pernah melihat Ibnu Taimiyyah di masjid Jami kota Damaskus saat ia memberi wejangan kepada masyarakat. Dia berkata, "Allah Swt turun ke langit bumi seperti saya turun sekarang ini." Ibnu Taimiyyah lalu turun satu anak tangga dari mimbarnya… Kata-kata itu diprotes oleh Ibnu Zahra, ulama dan faqih mazhab Maliki yang hadir di majlis itu. Akan tetapi kebanyakan masyarakat yang polos dan percaya dengan kata-kata Ibnu Taimiyyah justeru menyerang dan memukuli Ibnu Zahra. Hakim dari mazhab Hanbali juga menghukum Ibnu Zahra. Tindakan hakim tersebut ditentang keras oleh para fukaha dan hakim dari kalangan mazhab Syafi'i dan Maliki di Damaskus. Kasus ini lantas dibawa ke hadapan penguasa Damaskus yang lalu memerintahkan untuk memenjarakan Ibnu Taimiyyah."

Dengan menetapkan gerak gerik bagi Allah, Ibnu Taimiyyah menyamakan Allah dengan wujud materi yang perlu turun ke langit untuk bisa menjalin hubungan dengan hamba-Nya lalu kembali ke tempat-Nya yang tinggi. Padahal gerakan hanya identik dengan wujud alam materi. Sementara, untuk bisa mendengar doa dan kata-kata hamba-Nya dan menganbulkan permintaan mereka, Allah Swt sama sekali tidak perlu turun ke langit. Ayat 16 surat Qaf menegaskan bahwa Allah lebih dekat kepada hamba-hamba-Nya dari urat nadi mereka. Di surat al-Baqarah ayat 115, ditegaskan bahwa ke manapun kalian menghadap di situlah Allah. Ayat ini menjelaskan bahwa Allah meliputi semua tempat, dan mendengar rintihan dan suara hamba-Nya tanpa perlu bergerak ke sana kemari. Sebab, Allah Maha Kuasa dan Maha Mengetahui. Sifat kekuasaan dan ilmu Allah disebutkan dalam banyak ayat suci al-Quran.

Ibnu Taimiyyah berkhayal bahwa Allah Swt duduk di atas sebuah singgasana megah lalu membayangkan adanya tempat duduk lain di sisi-Nya yang diperuntukkan bagi Nabi Muhammad Saw. Padahal Nabi dengan segala kebesaran dan keagungannya merasa bangga dengan menjadi hamba Allah. Ayat 110 surat al-Kahf menyebutkan, "Katakanlah, sesungguhnya aku adalah manusia seperti kalian (dengan kelebihan) memperoleh wahyu bahwa Tuhan kalian adalah Tuhan yang Maha Esa."

Ibnu Taimiyyah dan Ibnu Qayyim menyamakan Allah dengan raja-raja di bumi. Dalam kitab Majmu al-Fatawa disebutkan, "Di hari Jumat dari hari-hari di akhirat, Allah turun dari ‘Arasy lalu duduk di atas kursi. Kursi Allah berada di antara mimbar-mimbar yang terbuat dari cahaya, tempat para nabi duduk. Mimbar-mimbar itu dikelilingi oleh kursi-kursi yang terbuat dari emas yang diperuntukkan bagi para syuhada dan shiddiqin… Setelah berdialog dan bercengkerama dengan mereka yang hadir di pertemuan itu, Allah meninggalkan tempat tersebut dan naik kembali ke ‘Arasy."

Yang menarik adalah bahwa seluruh penjelasan itu disampaikan oleh pemuka Salafi tanpa didukung oleh ayat al-Quran maupun hadis Nabi Saw. Semua yang mereka paparkan tak lebih dari bayangan dan khayalan semata yang muncul di benak Ibnu Taimiyyah dan para pengikutnya. Dengan melekatkan sifat-sifat jisim kepada Allah, mereka menurunkan derajat ketuhanan ke level wujud materi layaknya manusia. Ibnu Juhbul salah seorang ulama Ahlussunnah mengatakan, "Ibnu Taimiyyah mengklaim bahwa apa yang dikatakannya bersumber dari Allah, Rasulullah dan para sahabat. Padahal mereka tak pernah mengatakan hal-hal itu."

Salah satu pandangan aneh Ibnu Taimiyyah adalah apa yang dikatakannya tentang kiblat. Kaum Salafi mengatakan, orang tidak boleh meludah ke arah kiblat sebab perbuatan itu bisa menyakiti Allah karena Allah berada di arah kiblat. Padahal, kiblat tak lebih dari arah yang menyatukan kaum muslimin dalam shalat, bukan tempat Allah berada. Allah adalah wujud yang tak berbatas. Dia meliputi semua tempat. Menyebut tempat khusus bagi Allah sama dengan membatasi wujud-Nya yang Maha Luas dan ini bertentangan dengan akidah Islam yang sebenarnya.

Dalam beberapa kesempatan Ibnu Taimiyyah mengungkapkan pandangannya tentang Allah Swt dengan membawakan ungkapan-ungkapan yang tak mengindahkan keagungan dan kebesaran Allah. Padahal al-Quran telah menyebutkan hakikat sebenarnya dengan jelas kepada mereka yang berakal dan berpikir. "Tidak ada yang menyamai-Nya." (Q.S. Aa-Syura : 11)

Ayatullah Makarim Shirazi, ulama besar dan mufassir dalam kitab tafsirnya mengenai ayat ini menulis:

"Ungkapan ini adalah hakikat yang menjadi dasar utama untuk mengenal sifat-sifat Allah Swt. Tanpa mengindahkan ayat ini sifat-sifat Allah tak mungkin bisa difahami. Sebab tebing paling curam dan berbahaya berupa tasybih (penyamaan Allah dengan makhluk) akan menghadang orang dalam mengenal-Nya. Orang bisa terjerumus dan jatuh ke dalam jurang kemusyrikan. Dengan kata lain, Allah Swt adalah wujud yang tak terbatas sementara wujudselain Dia adalah wujud yang terbatas dari segala sisi. Misalnya, bagi kita sebagian pekerjaan nampak mudah dan sebagian lainnya sulit sebab kita adalah wujud yang terbatas…Tapi bagi wujud yang tak terbatas, semua itu tak ada artinya."

Imam Ali as dalam kitab Nahjul Balaghah berulang kali menjelaskann sifat-sifat Allah Swt. Menurut beliau, "Kekuasaan Allah yang tak terbatas meniscayakan bahwa semua makhluk, yang besar dan kecil, yang berat dan ringan maupun yang kuat dan lemah, semuanya sama bagi-Nya dalam penciptaan."

Ibnu Hajar al-Makki dalam kitab al-Fatwa al-Haditsah mengenai Ibnu Taimiyyah menulis demikian:

Allah Swt telah menghinakan, menyesatkan, membutakan dan membuatnya tuli. Para pemuka Ahlussunnah dan mereka yang hidup sezaman dengannya baik penganut mazhab Syafi'i, Maliki atau Hanafi menegaskan kesesatan pemikiran dan kata-katanya… Kata-kata Ibnu Taimiyyah tidak bernilai. Dia hanyalah pembuat bidah, sesat dan menyesatkan, dan orang yang abnormal. Allah Swt telah memperlakukannya secara adil dan menjaga kita dari keburukan keyakinan dan ajarannya." (IRIB Indonesia)

Menyingkap Hakikat Wahabisme; Al Saud Menguasai Hijaz


Telah dibahas sebelumnya mengenai kekalahan besar keluarga Saud dan Wahhabi dalam pertempuran melawan pasukan kesultanan Ottoman. Setelah kekalahan itu, Al Saud semakin melemah. Antara tahun 1235 H sampai 1300 H atau antara tahun 1820 sampai 1883 Masehi, sejumlah pembesar keluarga Saud yang berkuasa di Dir'iyyah dan wilayah-wilayah sekitarnya harus berhadapan dengan kekuatan Ottoman yang tak segan menumpas mereka. Dengan kata lain, dalam kurun 53 tahun itu, Al Saud dalam keadaan yang lemah.

Akhirnya, pada tahun 1318 H (1900 M) Abdul Aziz bin Abdur Rahman dari keluarga Saud berhasil mengalahkan musuh bebuyutannya yaitu keluarga Al Rashid dan merebut kekuasaan atas kota Riyadh dari tangan mereka. Keberhasilan itu semakin membuka jalan bagi Abdul Aziz dan keluarga Saud untuk memperluas kekuasaan di Jazirah Arabia. Seiring dengan itu, ajaran Wahhabi pun ikut berkembang.

Untuk memperluas wilayah kekuasaannya, Abdul Aziz bin Abdur Rahman yang lebih dikenal dengan sebutan Ibnu Saud membentuk kelompok Ikhwanut Tauhid yang terdiri dari para loyalis Wahhabi. Abdul Aziz membuat sejumlah permukiman untuk tempat tinggal dan pusat kegiatan Ikhwanut Tauhid yang tak lain adalah lembaga keagamaan dan militer. Kelompok ini bertugas menyebarkan ajaran Wahhabi di Jazirah Arabia.

Sejarah menyebutkan bahwa berkuasanya Abdul Aziz tak lepas dari bantuan kerajaan Britania. Memang sejarah selalu menunjukkan adanya jejak kaki imperialis dalam setipa peristiwa yang mewarnai perjalanan suatu negeri dan bangsa. Agenda politik yang dirancang oleh imperialis biasanya dilaksanakan oleh anasir di dalam negeri yang berjiwa lemah dan ambisius. Anasir inilah yang membuka jalan bagi imperils untuk menjejakkan kaki di negeri mereka. Abdul Aziz Ibnu Saud adalah salah satu contoh anasir yang menjalin kerjasama dengan imperialis tua Inggris untuk mencapai kekuasaan dan mengalahkan musuh-musuhnya.

Saat itu, berbarengan dengan pecahnya Perang Dunia I yang juga melibatkan imperium Ottoman. Inggris melirik agenda memecah belah wilayah kekuasaan Ottoman dengan segala cara. Di Najed, Britania menemukan dua keluarga ambisius yang punya kekuasaan di Jazirah Arabia yang bisa diajak bekerjsama. Kedua keluarga itu adalah keluarga Saud di Najed dan keluarga Hashimi yang berkuasa di Hijaz yang meliputi Mekah dan Madinah.

Untuk memperlancar agenda imperialismenya dan memprovokasi bangsa Arab untuk melawan kesultanan Ottoman, Inggris bermain dengan keluarga Saud dan Hashimi yang saling bermusuhan. Pemerintah Inggris mengirim utusan khususnya bernama Thomas Edward Laurenz yang dikenal dengan nama Laurenz Arab kepada Syarif Husain, penguasa Hijaz, dan Harry St John Briger Philbee yang berpura-pura memeluk Islam dan menggunakan nama Abdullah kepada keluarga Saud. Kepada Syarif Husain, utusan Inggris menjanjikan kekuasaan atas seluruh Jazirah Arabia jika kesultanan Ottoman berhasil dikalahkan. Janji yang sama juga diberikan kepada Al Saud. Inggris pertama-tama mengakui kekuasaan Abdul Aziz Ibnu Saud atas kawasan Najed, Ahsa', Qasim dan Jubail.

Sesuai kesepakatan yang dibuat tahun 1333 H (1915 M) antara Inggris dan Abdul Aziz, Inggris menjanjikan bantuan finansial setiap tahunnya sebesar 60 ribu Lira kepada Al Saud dan membela keluarga Saud dari serangan pihak asing terhadapnya. Sebagai imbalan, keluarga Saud berkomitmen untuk tidak menyerang negeri yang dilindungi Inggris dan tidak memberi konsesi apapun kepada musuh-musuh Inggris.

Setelah berakhirnya Perang Dunia I, Syarif Husain bin Ali dari keluarga Hashimi menobatkan dirinya sebagai Sultan untuk bangsa Arab dan mengumumkan perang melawan Al Saud. Berkat bantuan Inggris, Abdul Aziz dan keluarga Saud berhasil mengalahkan Syarif Husain yang berkuasa di Hijaz. Beberapa tahun kemudian, Al Saud memperluas wilayah kekuasaannya dan berusaha menguasai Hijaz. Untuk itu, dia mengerahkan pasukan untuk menyerang Mekah dengan pasukan yang besar.

Tahun 1342 H (1923 M) sebelum sampai ke Mekah, pasukan Wahhabi terlebih dahulu mendatangi kota Thaif. Penguasa Thaif terlebih dahulu melarikan diri. Para pembesar kota Thaif akhirnya memutuskan untuk menyerah kepada pasukan Wahhabi dalam sebuah perjanjian damai. Kota inipun jatuh ke tangan Al Saud tanpa peperangan. Namun pasukan Wahhabi melanggar kesepakatan dan melakukan pembantaian massal dengan korban yang berjumlah hampir dua ribu orang, termasuk wanita, anak-anak dan para ulama. Salah satu ulama yang terbunuh dalam pembantaian ini adalah mufti mazhab Syafii di kota Thaif yang bernama Syekh Abdullah Zawari. Pasukan Wahhabi menyeretnya keluar dari masjid lalu membunuh dan mencincang tubuhnya. Kekejian pasukan Wahhabi ini mengulangi apa yang dilakukan para pendahulu mereka pada abad sebelumnya.

Tak lama kemudian, pasukan Abdul Aziz berhasil menundukkan kota Mekah. Pada awalnya Inggris menentang perluasan kekuasaan Al Saud ke wilayah Hijaz. Namun gerak laju pasukan Wahhabi yang dipimpin Abdul Aziz Ibnu Saud akhirnya direstui oleh kerajaan Britania. Sebab Inggris memang memerlukan kekuasaan boneka di kawasan Timur Tengah dan melirik kekayaan minyak yang tersimpan di negeri ini. Inggris pun mencampakkan keluarga Hashimi dan membiarkan Al Saud berkuasa atas seluruh Jazirah Arabia. Tahun 1351 H (1932 M) kerajaan Saud secara resmi berdiri dengan Wahhabisme sebagai dasar ajarannya. Dengan demikian, Wahhabisme yang merupakan aliran sesat berdiri kokoh di bawah naungan kekuasaan Al Saud.

Dengan berkuasanya Al Saud, ajaran Wahhabi semakin kokoh di negeri yang paling dihormati oleh umat Islam, yaitu Mekah dan Madinah. Untuk itu, Abdul Aziz menyebut dirinya sebagai Khadimul Haramain al-Syarifain. Jika sebelumnya Al Saud memperkaya diri dengan kekayaan hasil pembantaian dan penjarahan kini dengan ditemukannya minyak, kerajaan ini semakin kaya dengan hasil penjualan minyak. Tahun 1953, Abdul Aziz meninggal dunia dan takhta kekuasaan berpindah ke tangan anak-anaknya. Sesuai kesepakatan, putra-putra Abdul Aziz yang berjumlah 39 orang akan berkuasa secara berurutan.

Putra pertama yang bernama Faisal menjadi Raja Arab Saudi kedua setelah ayahnya. Dalam masa pemerintahan Raja Faisal, terjadi friksi tajam antara keluarga Saud dan keturunan Muhammad bin Abdul Wahhab. Perselisihan itu berujung pada penyingkiran keluarga Al Syekh yang merupakan keturunan Ibnu Abdul Wahhab dari kursi kepemimpinan spiritual. Dengan tersingkirnya Al Syeikh aliran Wahhabi di dalam keluarga Saud berubah menjadi aliran politik. Dengan demikian persekutuan antara keluarga Saud dan keluarga Ibnu Abdul Wahhab yang sudah berjalan hampir 200 tahun pun berakhir. Di sisi lain, konflik internal di tubuh keluarga Saud meminta korban dan Raja Faisal pun terbunuh dalam sebuah insiden teror.

Setelahg Faisal, Khalid bin Abdul Aziz naik takhta. Masa kekuasaan Khalid berbarengan dengan kemenangan Revolusi Islam di Iran. Arab Saudi dan Wahhabi memandang peristiwa ini sebagai transformasi yang membahayakannya. Sebab, secara esensial, Revolusi Islam Iran adalah gerakan anti Amerika dan kontra kediktatoran. Revolusi Islam mengusung ajaran Islam murni yang bertolakbekalang dengan ajaran Wahhabisme. Tahun 1402 H (1982), Fahd bin Abdul Aziz dinobatkan sebagai raja. Dengan mengesankan diri sebagai pemimpin yang Islamis Fahd menjustifikasi semua kebijakan dan sepak terjangnya. Fahd ikut terlibat dalam memutar haluan perjuangan bangsa Palestina ke arah perdamaian dan ketundukan kepada rezim zionis Israel.

Pembantaian ratusan jamaah haji asal Iran di kota Mekah tahun 1408 H (1987 M) yang terjadi atas instruksi Amerika Serikat terjadi di zaman kekuasaannya. Tahun 1426 H (2005 M) dengan kematian Fahd, Abdullah bin Abdul Aziz dinobatkan sebagai raja Arab Saudi. Dia juga memiliki rapor kinerja yang penuh noktah hitam diantaranya dukungan yang ia berikan kepada rezim Zionis Israel dalam agresinya ke Lebanon yang berujung pada pecahnya perang 33 hari, juga keterlibatan Arab Saudi dalam pembantaian rakyat Bahrain atau serangan ke wilayah Yaman.

Di bawah naungan kekuasaan Al Saud, Wahhabisme berkembang dengan adanya kucuran dana raksasa hasil penjualan minyak. Dengan dana itulah ajaran Wahhabi disebarluaskan lewat berbagai sarana media massa. Mereka juga berusaha menyebarkan ajaran lewat bantuan finansial dan sarana kesejahteraan di negara-negara muslim yang lemah dan miskin. Dengan cara itu mereka berharap bisa mendiktekan ajaran Wahhabisme yang penuh khurafat dan penyimpangan kepada umat Islam di berbagai penjuru dunia.(IRIB Indonesia)



0 comments to "Menyingkap Hakikat Wahabisme; Allah Dalam Pandangan Ibn Taimiyyah (serial)"

Leave a comment