Home , , � Bukan Garis Pantat

Bukan Garis Pantat

jendelamujiburrahman.jpg
Oleh: Mujiburrahman
“SAYA sih punya garis tangan, tetapi sayangnya tidak punya garis pantat,” kata seorang kawan yang gagal menduduki jabatan sambil tertawa.

Meski bercanda, pernyataan kawan ini berbanding terbalik dengan kebijakan lelang jabatan yang ditawarkan Gubernur DKI Jakarta, Jokowi, baru-baru ini.

Garis tangan atau garis pantat adalah kata lain dari nasib atau takdir. Selintas, kita mungkin  segera berpikir bahwa anggapan ini bersumber dari ajaran agama tentang kekuasaan mutlak Tuhan atas hidup manusia dan alam semesta.

Tetapi kalau dicermati lebih dalam, sebenarnya kepercayaan ini adalah gambaran dari sikap kita yang seringkali memilih pemimpin berdasarkan ukuran-ukuran yang kabur.

Dalam aturan resmi, sebenarnya sudah ada syarat-syarat yang harus dipenuhi sebagai bukti kemampuan dan kelayakan seseorang menduduki jabatan tertentu.

Misalnya, untuk menjadi calon anggota DPR RI, minimal harus berpendidikan S-1. Di lingkungan birokrasi, untuk menduduki jabatan eselon I, minimal harus berpangkat IVb. Untuk menjadi dekan atau rektor, harus berpendidikan S-3.

Tetapi syarat-syarat formal yang terang-benderang itu, berubah menjadi remang-remang akibat berbagai permainan. Seperti diberitakan BPost (14-2-2013), kini orang bisa membeli ijazah S-1, S-2 dan S-3, tanpa harus kuliah. Ada pula yang kuliah, tetapi asal-asalan, yang penting bayar. Begitu pula soal kenaikan pangkat, umumnya banyak tergantung pada uang pelicin dan keuletan mengurusnya.

Dengan demikian, meskipun benar-benar diterapkan, syarat-syarat formal itu seringkali tidak banyak memberi arti selain tulisan di atas kertas, dan tidak benar-benar mencerminkan kompetensi seseorang. Dalam budaya semacam ini, untuk menjadi pemimpin, yang terpenting bukanlah mengasah kemampuan diri, melainkan usaha membangun jaringan pertemanan dan kelihaian menjilat atasan.

Dampak lanjutan dari semua ini adalah kecenderungan mengabaikan kinerja seorang pemimpin. Orang jadi tidak peduli, apakah kepemimpinan seseorang selama ini berhasil atau gagal. Baginya, yang penting diri sendiri dapat keuntungan, baik berupa uang, barang, jatah proyek, atau kursi jabatan.

Akibatnya, pemimpin yang berprestasi, belum tentu terpilih, dan pemimpin yang gagal, bisa saja terpilih.

Demokratisasi politik era reformasi ternyata memperparah keadaan. Setiap menjelang pemilukada, para birokrat menjadi serba salah. Menurut aturan, ia harus netral. 

Tetapi dalam praktik, ia didorong bahkan dipaksa mendukung bos. Usai pemilukada, yang terjadi hanya dua: balas jasa atau balas dendam! Orang  diberi jabatan atau disingkirkan, bukan karena kemampuan dan prestasi, tetapi karena alasan politik.

Masalah inilah antara lain yang dibahas dalam Sarasehan Ilmu Administrasi Publik, Pascasarjana Unlam, 26 Januari 2013 silam, yang menghadirkan Prof Eko Prasojo, Wakil Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara.

Eko mengakui, birokrasi kita saat ini menderita kompetensi rendah, intervensi politik, budaya sungkan dan ketidakjujuran. “Kita masih perlu hard reform (pembaruan yang keras),” katanya.

Eko juga menjelaskan, Kementeriannya tengah menggodok aturan-aturan agar birokrasi kita kelak semakin sehat. Ia mencanangkan proses seleksi pegawai negeri yang transparan dan objektif, serta penjenjangan karir yang benar-benar berbasis kompetensi dan kinerja.

Rancangan yang dijelaskannya itu tampaknya sejalan dengan gagasan lelang jabatan yang ditawarkan Gubernur DKI, Jokowi.

“Tetapi kerusakan birokrasi kita sudah sistemik. Orang baik pun, kalau sudah masuk ke dalam, bisa jadi jahat. Bagaimana menurut Anda?” tantang Eko.

Dengan berpura-pura pintar, saya mencoba menjawab, “Meski pengaruh lingkungan sangat besar, tanggung jawab moral pada dasarnya bersifat pribadi. Jika pribadinya kuat, ia akan tetap bertahan. Ikan di air laut tidak akan menjadi asin selama ia masih hidup.”

Alhasil, sebaik apapun aturan yang dibuat, pada akhirnya akan kembali kepada moralitas manusia yang menjalankannya. Hanya dengan daya tahan moral yang tegar, kita akan bisa memilih seorang pemimpin, bukan karena garis pantatnya, melainkan karena kemampuan dan prestasinya. (*)

http://banjarmasin.tribunnews.com/2013/03/04/bodong-berkedok-syariah

Tags: , ,

0 comments to "Bukan Garis Pantat"

Leave a comment