Menuju Politik Bersih
Adagium politik itu kotor mendapat konfirmasi dalam kultur politik di negeri ini. Bahkan, menurut Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Komaruddin Hidayat, kultur politik Indonesia sudah pada taraf busuk.Indikasinya ialah banyaknya politikus yang terlibat korupsi. Terakhir tentu saja status tersangka korupsi yang ditabalkan KPK kepada mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum, yang berujung pada kekisruhan di tubuh partai.
"Apa yang terjadi di Demokrat ini mengingatkan kita bahwa siapa pun yang terjun ke politik, karena kultur dan struktur politik yang busuk, yang ikut di dalamnya akan ikut busuk," ujar Komaruddin saat berbincang dengan Media Indonesia.
Beberapa anak muda seperti Anas Urbaningrum, Andi Mallarangeng, dan Angelina Sondakh, sebelum masuk ke partai politik, dikenal sebagai sosok yang cemerlang. Anas pernah menjabat ketua umum organisasi mahasiswa terbesar, yakni Himpunan Mahasiswa Islam. Angelina Sondakh sebelumnya dikenal sebagai Putri Indonesia. Andi Mallarangeng sebelumnya dikenal sebagai intelektual hebat.
Namun, pribadi-pribadi cemerlang itu tiba-tiba menjadi sosok-sosok kotor akibat predikat tersangka korupsi yang dilekatkan pada mereka. Itu terjadi setelah mereka bergabung ke partai politik. Parpol akhirnya dipersepsikan sebagai kubangan kotor politik yang siap menjebloskan siapa saja ke dalamnya.
Mereka yang idealis sekalipun, yang awalnya bercita-cita mulia melakukan perubahan, justru terseret derasnya arus politik kotor yang dipraktikkan parpol. Itu terjadi karena parpol memang sudah kotor, bahkan busuk dalam istilah Komaruddin Hidayat.
Politik dan partai politik menjadi tidak menarik bagi anak-anak muda idealis dan cemerlang. Padahal, di era transisi menuju demokrasi sekarang ini, Indonesia membutuhkan kaum muda yang bermental bersih, jujur, idealistis, dan intelek. Sosok-sosok seperti itulah yang akan mengantarkan Indonesia menjadi negara demokrasi sesungguhnya.
Oleh karena itu, parpol mesti menciptakan sistem internal yang menjadikan politik bukanlah sesuatu yang berongkos mahal. Parpol mesti memperbanyak rekrutmen kader bersih, jujur, idealistis, dan cerdas. Bila kemampuan finansial sosok-sosok itu terbatas, parpollah yang mengongkosi mereka hingga mereka menduduki jabatan publik.
Itu artinya parpol harus mengubah seratus delapan puluh derajat paradigma berpolitik mereka. Parpol bukan merekrut orang untuk menjadi ATM partai, melainkan parpollah yang yang mengongkosi biaya politik kader-kader cemerlang.
Kelak ketika menduduki jabatan publik, kader-kader cemerlang itu akan menghasilkan regulasi, sistem, dan struktur politik Indonesia yang berbiaya murah.
Bukankah ongkos politik yang mahal dianggap sebagai biang keladi korupsi politisi parpol?
Parpol semestinya menjadikan Pemilu 2014 sebagai momentum mengubah citra bahwa politik itu kotor menjadi politik itu bersih.
Benarkah Partai Politik Mesin Uang?
Partai politik di Indonesia harus melakukan introspeksi dan pembenahan internal secara besar-besaran untuk menempatkan kembali demokrasi kita pada substansi yang seharusnya. Masyarakat atau publik sebagai bagian eksternal dan eksistensi partai politik tentu saja harus terlibat dalam upaya penyelamatan keberadaan partai politik saat ini.
Munculnya gejala yang cenderung mendelegitimasi partai politik di mata publik saat ini sangat beralasan. Publik lebih banyak melihat partai politik sebagai sekumpulan oknum yang ambisius, gila jabatan, dan yang paling menakutkan lagi bermental korup. Dari sekian nama koruptor kelas kakap, kalau disebutkan, pasti di antara mereka berasal dari partai politik. Hal ini tidak berarti pebisnis atau birokrat luput dari kasus korupsi, kalau pun ada itu karena akibat persekongkolan dengan aktivis partai politik.
Kondisi dan pemahaman masyarakat yang antipati terhadap partai politik dan cenderung mendelegitimasi partai politik tidak dapat dibiarkan tanpa upaya perbaikan, terutama perubahan mengenai kesejahteraan dalam masyarakat dan bangsa kita. Partai politik adalah unsur penting dalam sistem demokrasi dan membubarkannya adalah langkah tidak produktif.
Partai politik harus didorong untuk sanggup melakukan proses rekrutmen dan kaderisasi politik dengan baik. Artinya, jangan ada lagi praktek mengusung calon legislatif dengan mempersyaratkan mahar politik yang akan menepatkan partai politik sebagai mesin uang.
Peneliti politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Siti Zuhro, menyampaikan bahwa karut marut politik yang terjadi di Indonesia saat ini akibat partai politik (parpol) sudah dijadikan mesin uang, alat produksi, dan industri uang. Tujuannya hanya untuk mengeruk keuangan negara.
Partai politik seharusnya memiliki peran vital dengan fungsi yang sangat mulia yaitu terjalinnya kesejahteraan bersama seluruh masyarakat. Bahkan, partai politik harus menjadi sarana paling sahih untuk memunculkan lebih banyak lagi figur-figur legislator maupun aparatur birokrasi yang melakukan pengelolaan anggaran negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Bukan malah menjadi sarana instan kemunculan politisi-politisi karbitan yang akhirnya mendegradasi dan mendelegitimasi hakikat demokrasi seperti yang terjadi selama ini.
Politisi Minggir Dulu dari Urusan Negara
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD meminta para politisi untuk minggir dahulu dari urusan kenegaraan. Menurutnya, Indonesia saat ini tengah terancam secara internal karena banyaknya orang yang memiliki kepentingan tinggi terhadap negara ini.
"Semua urusan diambil politisi. Bahkan banyak negarawan juga menjadi politisi. Negarawan sejati justru dipinggir," tandasnya saat berbicara pada dialog kebangsaan hari lahir Nahdatul Ulama ke 87 di Yogyakarta, Ahad (3/3) petang.
Menurutnya, hal inilah yang justru mengancam keberlangsungan Indonesia. "Banyak orang berkepentingan tinggi terhadap negara ini. Negarawan -negarawn yang seharusnya menangani, politisinya minggir dulu," terangnya.
Negarawan menurutnya dibutuhkan untuk menangani Indonesia yang semakin tidka karuan. Mahfud mencontohkan negarawan seperti mantan presiden BJ Habibie yang harusnya menangani negara ini.
Mantan Panglima TNI, Jenderal TNI (Purn) Joko Santoso dalam kesempatan itu mengatakan, bangsa Indonesia itu bangsa yang terancam baik dari luar maupun dalam.
Secara demografi, kata dia, Indonesia sangat banyak suku bangsa sehingga derajat konfliknya sangat pekat. Namun hal itu bisa dieliminir dengan meningkatnya semangat toleransi.
Ke depan, kata dia, kekuatan pertahanan tergantung kekuatan ekonomi Indonesia. Kualitas sumber daya manusia yang memiliki intelektual tinggi dan kerja keras, serta pemerintah yang bersih dan berwibawa merupakan kunci sukses pertahanan bangsa dan negara ke depan.
Djoko Susilo merekomendasikan untuk membangun kesadaran dan pemahaman bersama bahwa Indonesia bangsa yang rawan dan terancam. "Ini penting agar kita bersatu, sadar dan bekerja keras," tegasnya. (IRIB Indonesia/Vivanews/ROL)
Islamic Book Fair, Antara Nasionalisme dan Asingisme
Bertempat
di Istora Senayan, Jakarta, Islamic Book Fair ke-12 dibuka oleh Menko
Perekonomian Hatta Rajasa pada Jumat, (1/3). Bukan pamerannya yang
disorot tulisan ini, tetapi istilahnya yang menggunakan bahasa Inggris.
Pameran yang akan berlangsung hingga 10 Maret 2013 itu terkesan tidak percaya diri karena menggunakan bahasa asing. Padahal bahasa sangat menentukan rasa nasionalisme sesorang. Gagah-gagahan, supaya dipandang gagah, "asingisme" merajalela di mana-mana, bahkan oleh lembaga resmi negara.
Lihatlah spanduknya yang disebar di sudut-sudut jalan atau lokasi komersial. Yang terbaca adalah Islamic Book Fair. Kenapa tidak berbahasa Indonesia? Mengapa? Apalagi ini adalah pameran buku yang kebanyakan buku berbahasa Indonesia. Bukan pameran mobil Jepang, bukan pameran komputer asal Eropa-Amerika. Andaikata itu pameran buku-buku asing, taruhlah buku berbahasa Inggris atau lainnya, dapatlah dimaklumi. Terserah mau menggunakan bahasa Inggris, Mandarin, Perancis, atau Arab, boleh-boleh saja.
Sekadar misal, pada tahun baru Imlek yang sudah menjadi libur nasional ini, kita temui banyak tulisan Cina dan bahasa Mandarin. Bahkan hari ini ada karnaval Cap Go Meh di Bandung. Ini bisa dimengerti. Ini memang ekslusif dan erat kaitannya dengan kecinaan atau ketionghoaan. Tetapi kalau jelas-jelas berupa pameran buku produk penerbit lokal, mengapa mesti berbahasa Inggris? Terlebih lagi mayoritas buku yang dipamerkan dan dijual berbahasa Indonesia. Pengunjungnya pun kebanyakan orang Indonesia. Penulis bukunya pun saya yakin penutur bahasa Indonesia. Memang ada penulis asing, tetapi bukunya sudah dindonesiakan bahasanya. Sudah diterjemahkan.
Lalu apa alasannya? Adakah itu mengacu pada brand image? Ini pun istilah bahasa Inggris yang padanannya, lebih-kurang, citra atau pencitraan. Ingin membangun citra yang wah dengan bahasa Inggriskah? Kenapa citra dibangun dengan kosakata asing? Bukankah kosakata Indonesia ada dan tinggal dicari di dalam kamus. Apalagi seharusnya citra itu dibentuk oleh kinerja dan/atau kualitas, bukannya kosakata. Untuk apa dong pelajaran bahasa Indonesia di Kurikulum 2013 yang menuai kontroversi itu dan Mendikbud begitu menggebu-gebu ingin meluncurkan pemberlakuannya tahun ini juga? Untuk apa dong ada Pusat Bahasa kalau arahan dan pedoman yang dirilisnya tidak diindahkan justru oleh kalangan yang berkecimpung di dunia perbukuan?
Maka, apapun alasannya, khusus pameran buku yang dominan berbahasa Indonesia sebaiknya menggunakan bahasa Indonesia. Ini tanggung jawab penerbit yang 99 persen (kalau tak mau ditulis 100 persen) menerbitkan buku berbahasa Indonesia. Dalam dugaan saya, jangan-jangan nama pameran itu tak pernah dikomunikasikan dengan penerbit yang turut dalam pameran. Jangan-jangan penerbit pun tak pernah menanyakan kenapa namanya dalam bahasa asing. Jangan-jangan penerbit justru setuju penggunaan kosakata asing itu. Kalau ini terjadi, sungguh menyedihkan karena sudah berlangsung duabelas tahun.
Seharusnya penerbit menjadi ujung tombak dalam pemakaian bahasa Indonesia. Jika tidak bisa atau belum mampu berbahasa sesuai dengan EYD, teruslah berupaya. Apalagi, boleh jadi, tak seorang pun yang luput dari kesalahan berbahasa, termasuk pakar bahasa sekalipun. Itu sebabnya, pameran seperti ini sebetulnya menjadi sarana bagus buat memasyarakatan bahasa Indonesia, agar masyarakat lebih dekat ke bahasanya.
Marilah kita belajar dari pameran buku di Jerman. Istilah yang digunakan adalah Frankfurter Buchmesse. Sebutan dalam bahasa Inggrisnya, Frankfurt Book Fair, memang ada. Tetapi itu di negeri manca, negara orang lain yang semangat nasionalismenya berbeda dengan Indonesia. Terkait dengan spanduk itu, di negara Indonesia ini, adakah yang berbahasa Indonesia? Total berbahasa bahasa kesatuan kita?
Saya yakin, Pameran Buku Islami lebih elok dan mengena di hati dan benak pembaca ketimbang Islamic Book Fair. Orang awam, katakanlah berpendidikan sekolah menengah atau mahasiswa yang belum akrab berbahasa Inggris, tidak sampai mengernyitkan dahi hingga berkerut-kerut. Sebab, kecuali penghargaan atas bahasa persatuan kita, kebanyakan lidah orang Indonesia sulit mengucapkan nama asing itu.
Kalau tidak penerbit dan insan buku yang memulai dan mencintai bahasa Indonesia, lalu siapakah yang memakai bahasa ini? Kita sudah tak bisa lagi berharap pada nama-nama perusahaan seperti kawasan komersial yang sangat-sangat berpedoman pada kosakata asing. Pasar swalayan atau supermarket (ini juga bahasa Inggris) nyaris semuanya Inggris minded (ini juga asing). Tak heran kalau ada istilah bahwa orang yang bahasanya "sakit" akan sakit juga jiwanya.
Itulah penyakit kronis penggerogot otak. Orang bilang, dalam istilah Inggris, terlalu asing minded, sangat asing oriented. "Asingisasi" (ini juga salah karena tidak ada imbuhan "isasi" dalam bahasa Indonesia, tetapi sengaja saya buat sebagai penggaet-mata). Selayaknyalah dunia pendidikan menjadi pelopor penggunaan bahasa Indonesia. Jangan karena ingin gagah-gagahan lantas bahasa asing diutamakan. Apalagi embanan pameran ini sarat akan misi dakwah. Dari temanya, terlihat kaitannya dengan pendidikan takwa, tingkat tertinggi dalam khasanah ketaatan muslim kepada penciptanya.
Bisa diduga, pemakaian istilah asing itu karena kita merasa rendah diri di mata hal-hal yang berbau asing. Lihat saja sinetron atau acara di televisi, selalu saja yang berbau bule dielu-elukan.
Namun demikian, mampu berbahasa asing, baik Inggris, Perancis, Jepang, Arab atau yang lainnya, tetap dibutuhkan. Hanya saja, dalam acara khusus perbukuan, hendaklah tetap memakai kosakata bahasa Indonesia. Kalau insan perbukuan saja tidak cinta pada bahasa Indonesia, siapakah lagi yang mengabadikannya? Padahal buku yang diterbitkannya berbahasa Indonesia. Di luar itu semua, marilah kita sambut pameran buku ini dengan antusias. (Gede H. Cahyana/Vivanews)
Islamic Book Fair, Ciptakan Umat Berkarakter Qurani
Acara pameran buku Islami terbesar di Indonesia, Islamic Book Fair (IBF) 2013, baru saja diresmikan oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Hatta Rajasa. Acara yang akan berlangsung hingga 10 Maret ini mengusung tema 'Menuju Umat Berkarakter Qur'ani.'
Ketua Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI), Afrizal Sinaro, yang juga penyelenggara IBF mengatakan tema tersebut diambil karena sejalan dengan tujuan pendidikan nasional saat ini.
"Umat tidak hanya memiliki kesadaran intelektual, tapi juga berakhlak mulia," kata Afrizal dalam acara pembukaan IBF di Istora Senayan Jakarta.
Ketua panitia IBF 2013, Khaerudin, mengatakan IBF tidak sekadar pameran buku biasa. IBF, kata dia, merupakan bisnis center serta media komunikasi dan promosi bagi insan perbukuan Indonesia.
Dengan menghadirkan 367 stan yang terdiri atas 162 perusahaan, IBF merupakan tujuan wisata buku terbesar dan terlengkap di Indonesia.
Selain itu, dalam acara IBF kali ini juga sudah disiapkan 80 mata acara, di antaranya bedah buku, talkshow, temu penulis, lomba tari saman, lomba debat antarkampus, dan masih banyak lagi.
"IBF bisa menjadi wisata religi bagi keluarga dan komunitas," kata Khaerudin. Dia berharap, kehadiran IBF ini juga dapat turut serta mencerdaskan anak bangsa melalui buku. (IRIB Indonesia/ROL)
Pameran yang akan berlangsung hingga 10 Maret 2013 itu terkesan tidak percaya diri karena menggunakan bahasa asing. Padahal bahasa sangat menentukan rasa nasionalisme sesorang. Gagah-gagahan, supaya dipandang gagah, "asingisme" merajalela di mana-mana, bahkan oleh lembaga resmi negara.
Lihatlah spanduknya yang disebar di sudut-sudut jalan atau lokasi komersial. Yang terbaca adalah Islamic Book Fair. Kenapa tidak berbahasa Indonesia? Mengapa? Apalagi ini adalah pameran buku yang kebanyakan buku berbahasa Indonesia. Bukan pameran mobil Jepang, bukan pameran komputer asal Eropa-Amerika. Andaikata itu pameran buku-buku asing, taruhlah buku berbahasa Inggris atau lainnya, dapatlah dimaklumi. Terserah mau menggunakan bahasa Inggris, Mandarin, Perancis, atau Arab, boleh-boleh saja.
Sekadar misal, pada tahun baru Imlek yang sudah menjadi libur nasional ini, kita temui banyak tulisan Cina dan bahasa Mandarin. Bahkan hari ini ada karnaval Cap Go Meh di Bandung. Ini bisa dimengerti. Ini memang ekslusif dan erat kaitannya dengan kecinaan atau ketionghoaan. Tetapi kalau jelas-jelas berupa pameran buku produk penerbit lokal, mengapa mesti berbahasa Inggris? Terlebih lagi mayoritas buku yang dipamerkan dan dijual berbahasa Indonesia. Pengunjungnya pun kebanyakan orang Indonesia. Penulis bukunya pun saya yakin penutur bahasa Indonesia. Memang ada penulis asing, tetapi bukunya sudah dindonesiakan bahasanya. Sudah diterjemahkan.
Lalu apa alasannya? Adakah itu mengacu pada brand image? Ini pun istilah bahasa Inggris yang padanannya, lebih-kurang, citra atau pencitraan. Ingin membangun citra yang wah dengan bahasa Inggriskah? Kenapa citra dibangun dengan kosakata asing? Bukankah kosakata Indonesia ada dan tinggal dicari di dalam kamus. Apalagi seharusnya citra itu dibentuk oleh kinerja dan/atau kualitas, bukannya kosakata. Untuk apa dong pelajaran bahasa Indonesia di Kurikulum 2013 yang menuai kontroversi itu dan Mendikbud begitu menggebu-gebu ingin meluncurkan pemberlakuannya tahun ini juga? Untuk apa dong ada Pusat Bahasa kalau arahan dan pedoman yang dirilisnya tidak diindahkan justru oleh kalangan yang berkecimpung di dunia perbukuan?
Maka, apapun alasannya, khusus pameran buku yang dominan berbahasa Indonesia sebaiknya menggunakan bahasa Indonesia. Ini tanggung jawab penerbit yang 99 persen (kalau tak mau ditulis 100 persen) menerbitkan buku berbahasa Indonesia. Dalam dugaan saya, jangan-jangan nama pameran itu tak pernah dikomunikasikan dengan penerbit yang turut dalam pameran. Jangan-jangan penerbit pun tak pernah menanyakan kenapa namanya dalam bahasa asing. Jangan-jangan penerbit justru setuju penggunaan kosakata asing itu. Kalau ini terjadi, sungguh menyedihkan karena sudah berlangsung duabelas tahun.
Seharusnya penerbit menjadi ujung tombak dalam pemakaian bahasa Indonesia. Jika tidak bisa atau belum mampu berbahasa sesuai dengan EYD, teruslah berupaya. Apalagi, boleh jadi, tak seorang pun yang luput dari kesalahan berbahasa, termasuk pakar bahasa sekalipun. Itu sebabnya, pameran seperti ini sebetulnya menjadi sarana bagus buat memasyarakatan bahasa Indonesia, agar masyarakat lebih dekat ke bahasanya.
Marilah kita belajar dari pameran buku di Jerman. Istilah yang digunakan adalah Frankfurter Buchmesse. Sebutan dalam bahasa Inggrisnya, Frankfurt Book Fair, memang ada. Tetapi itu di negeri manca, negara orang lain yang semangat nasionalismenya berbeda dengan Indonesia. Terkait dengan spanduk itu, di negara Indonesia ini, adakah yang berbahasa Indonesia? Total berbahasa bahasa kesatuan kita?
Saya yakin, Pameran Buku Islami lebih elok dan mengena di hati dan benak pembaca ketimbang Islamic Book Fair. Orang awam, katakanlah berpendidikan sekolah menengah atau mahasiswa yang belum akrab berbahasa Inggris, tidak sampai mengernyitkan dahi hingga berkerut-kerut. Sebab, kecuali penghargaan atas bahasa persatuan kita, kebanyakan lidah orang Indonesia sulit mengucapkan nama asing itu.
Kalau tidak penerbit dan insan buku yang memulai dan mencintai bahasa Indonesia, lalu siapakah yang memakai bahasa ini? Kita sudah tak bisa lagi berharap pada nama-nama perusahaan seperti kawasan komersial yang sangat-sangat berpedoman pada kosakata asing. Pasar swalayan atau supermarket (ini juga bahasa Inggris) nyaris semuanya Inggris minded (ini juga asing). Tak heran kalau ada istilah bahwa orang yang bahasanya "sakit" akan sakit juga jiwanya.
Itulah penyakit kronis penggerogot otak. Orang bilang, dalam istilah Inggris, terlalu asing minded, sangat asing oriented. "Asingisasi" (ini juga salah karena tidak ada imbuhan "isasi" dalam bahasa Indonesia, tetapi sengaja saya buat sebagai penggaet-mata). Selayaknyalah dunia pendidikan menjadi pelopor penggunaan bahasa Indonesia. Jangan karena ingin gagah-gagahan lantas bahasa asing diutamakan. Apalagi embanan pameran ini sarat akan misi dakwah. Dari temanya, terlihat kaitannya dengan pendidikan takwa, tingkat tertinggi dalam khasanah ketaatan muslim kepada penciptanya.
Bisa diduga, pemakaian istilah asing itu karena kita merasa rendah diri di mata hal-hal yang berbau asing. Lihat saja sinetron atau acara di televisi, selalu saja yang berbau bule dielu-elukan.
Namun demikian, mampu berbahasa asing, baik Inggris, Perancis, Jepang, Arab atau yang lainnya, tetap dibutuhkan. Hanya saja, dalam acara khusus perbukuan, hendaklah tetap memakai kosakata bahasa Indonesia. Kalau insan perbukuan saja tidak cinta pada bahasa Indonesia, siapakah lagi yang mengabadikannya? Padahal buku yang diterbitkannya berbahasa Indonesia. Di luar itu semua, marilah kita sambut pameran buku ini dengan antusias. (Gede H. Cahyana/Vivanews)
Islamic Book Fair, Ciptakan Umat Berkarakter Qurani
Acara pameran buku Islami terbesar di Indonesia, Islamic Book Fair (IBF) 2013, baru saja diresmikan oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Hatta Rajasa. Acara yang akan berlangsung hingga 10 Maret ini mengusung tema 'Menuju Umat Berkarakter Qur'ani.'
Ketua Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI), Afrizal Sinaro, yang juga penyelenggara IBF mengatakan tema tersebut diambil karena sejalan dengan tujuan pendidikan nasional saat ini.
"Umat tidak hanya memiliki kesadaran intelektual, tapi juga berakhlak mulia," kata Afrizal dalam acara pembukaan IBF di Istora Senayan Jakarta.
Ketua panitia IBF 2013, Khaerudin, mengatakan IBF tidak sekadar pameran buku biasa. IBF, kata dia, merupakan bisnis center serta media komunikasi dan promosi bagi insan perbukuan Indonesia.
Dengan menghadirkan 367 stan yang terdiri atas 162 perusahaan, IBF merupakan tujuan wisata buku terbesar dan terlengkap di Indonesia.
Selain itu, dalam acara IBF kali ini juga sudah disiapkan 80 mata acara, di antaranya bedah buku, talkshow, temu penulis, lomba tari saman, lomba debat antarkampus, dan masih banyak lagi.
"IBF bisa menjadi wisata religi bagi keluarga dan komunitas," kata Khaerudin. Dia berharap, kehadiran IBF ini juga dapat turut serta mencerdaskan anak bangsa melalui buku. (IRIB Indonesia/ROL)
Kemajuan Republik ISLAM Iran dan Kebanggaan Sebagai Muslim
Ismail Amin*
Menceritakan
apapun tentang Iran, cenderung dicurigai membawa misi tertentu. Namun
saya merasa terpanggil untuk menceritakannya, terutama karena banyaknya
hal yang bisa menjadi pelajaran bagi bangsa kita. Iran, sebuah negeri
fenomenal yang mendapat simpatik, pujian, pembelaan dan hujatan
sekaligus. Negeri yang lewat CNN, Amerika menyebutnya sebagai bangsa
yang keras kepala, yang oleh sebagian kaum muslimin menjadikan Iran
sebagai kebanggaan baru, kiblat alternatif pergerakan dan perlawanan
terhadap hegemoni Amerika namun sebagiannya lagi tetap juga memasang
wajah permusuhan dan kecurigaan. Iran dengan mazhab Syiah mayoritas
rakyatnya, tetap dinilai sebagai musuh dan diluar Islam. Apapun yang
berasal darinya dicurigai sebagai kedok semata untuk memberangus dan
menghancurkan Islam dari dalam. Apapun yang berasal darinya, fiqh,
hadits, tradisi, teologi, filsafat bahkan penemuan-penemuan mutakhirnya
diisolasikan dan dipinggirkan dari dunia Islam. Syiah sering mendapat tuduhan dan fitnah sebagai agama tersendiri dan bukan bagian dari Islam.
Namun,
bagai pepatah, anjing menggonggong, kafilah tetap berlalu, Iran dengan
masyarakatnya yang mayoritas Syiah menjawab segala tuduhan-tuduhan dan
berbagai tudingan miring dengan kerja-kerja positif yang nyata. Iran
menjadi negara terdepan dan paling aktif memberikan pembelaan atas
penindasan yang masih juga dirasakan rakyat Palestina. Tidak sekedar
melalui diplomasi politik, Pemerintah Iran juga
memberikan bantuan secara nyata dengan menjadikan Palestina tidak
ubahnya salah satu provinsi yang menjadi bagian negaranya,dengan
menanggung gaji pegawai di tiga departemen. Menanggung hidup 1.000
pengangguran senilai 100 dolar setiap bulannya. Membiayai total
pembangunan gedung kebudayaan, perpustakaan serta renovasi 1.000 rumah
yang hancur dengan total biaya 20 juta dolar. Belum lagi bantuan lainnya
yang diberikan tanpa persyaratan apapun. Pembelaan dan dukungan Iran
atas perlawanan rakyat Gaza menghadapi agresi militer Israel akhir tahun
2012 kemarin, membuat pimpinan HAMAS mewakili rakyat Gaza menyampaikan
rasa terimakasihnya secara terbuka kepada Iran.
Dengan
keberhasilan meluncurkan roket pembawa satelit "Safir Omid" dan sebuah
maket satelit percobaan di orbit bumi, Iran menjadi negara regional
pertama yang mandiri tanpa bantuan asing, baik dalam membuat satelit
maupun dalam meluncurkan dan mengontrolnya. Semakin diserang dengan
propaganda negatif dari berbagai arah, ulama-ulama, ilmuan-ilmuan,
olahragawan, sampai seniman mereka seakan berlomba-lomba untuk
menunjukkan prestasi dan menampakkan kecemerlangan Islam. Lihat saja apa
yang dilakukan ilmuan mereka, hampir dalam hitungan hari, ada yang
mematenkan penemuan-penemuan baru mereka. Perkembangan
sains di Iran dapat dilihat dari perkembangan publikasi ilmiah yang
mereka hasilkan. Dalam penelitian 'string teory', kimia dan matematika,
Iran merupakan nomor 15 di dunia, bersaing ketat dengan Amerika Serikat
dan negara-negara eropa. Dalam artikel D. A. King yang dipublikasikan di
Nature (15/7/2004) berjudul 'The scientific impact of nations' yang
analisisnya menyatakan bahwa Iran merupakan satu-satunya negara Islam
yang termasuk ke dalam negara memiliki 'The scientific impact of
nations' tertinggi di dunia.
Bahkan Jurnal Newscientist terbitan Kanada menyebutkan kemajuan ilmu
pengetahuan di Negara Iran sebelas kali lebih cepat dibandingkan
Negara-negara lainnya didunia. Daftar 100 orang jenius dunia yang masih hidup yang dikeluarkan oleh firma konsultan global Creators Synectics, Ali
Javan pakar teknik (penemu gas laser) dan Pardis Sabeti ahli biologi
anthropologi yang keduanya berkebangsaan Iran termasuk di antaranya.
Kaum perempuan Iran tidak ketinggalan dari saintis yang umumnya laki-laki. Dalam Festival Internasional Para Penemu Perempuan yang pertama
kali digelar di Korea Selatan tahun 2008, Republik Islam Iran ikut
bersaing dalam ajang kompetisi tersebut dan berhasil menggondol 12
medali emas, lima perak dan enam perunggu. Maryam
Islami dari Iran menyandang gelar sebagai penemu perempuan terbaik
tahun 2008, padahal saat itu Maryam Islami masih mahasiswa tingkat lima
fakultas kedokteran. Lebih dari itu, kita juga mengenal Shirin Ebadi muslimah pertama
peraih Nobel juga berasal dari Iran. Hal inilah yang 'memaksa' Rektor
Universitas al Azhar Mesir, Syaikh Thantawi menyatakan, "Kemajuan ilmiah
yang telah dicapai Republik Islam Iran merupakan kemajuan dunia Islam
dan kebanggaan bagi seluruh umat muslim."
Pada bidang seni kaligrafi, kaligrafer
Iran Roin Abar Khanzadeh berhasil membuat Al-Qur'an terkecil yang
memecahkan rekor dunia. Yang menarik Al Quran terkecil ini ditulis
dengan mata telanjang oleh penulisnya dan bila dijejer hanya menempati
ukuran kertas A3. Saat ini sudah ada 1000 pusat lembaga kegiatan
berbasis Al Quran di seantero kota Iran yang sedang aktif dan ada seribu
perpustakan dan Bank CD Qurani di pusat-pusat kegiatan AlQur'an di
Iran. Telah berkali-kali Iran menjadi tuan rumah penyelenggaraan Pameran
Al-Qur'an Internasional. Dengan tingkat apresiasi yang tinggi terhadap
Al-Qur'an wajar jika Iran menghasilkan banyak Mufassir terkemuka dalam
dunia Islam, diantaranya Allamah Mohammad Husain Thabatabai, penulis
tafsir Al Mizan.
Dalam
dunia perbukuan dan penerbitan, dibanding negara-negara Islam lainnya,
Republik Islam Iran bisa ditetapkan sebagai yang terdepan. Pameran Buku
Internasional Teheran merupakan program pemerintah Iran setiap tahunnya
yang mendapat posisi istimewa dalam kalender para penerbit
internasional. Berdasarkan data yang dirilis, Pameran Buku Internasional
Tehran adalah pameran buku terbesar dunia Islam dan menjadi fenomena
budaya terbesar negara-negara di Timur Tengah.
Hasil-hasil
karya dan apresiasi mereka menunjukkan minat mereka yang demikian
tinggi terhadap ilmu pengetahuan, wajar jika kemudian Iran termasuk
dalam deretan negara-negara maju. Inilah yang membuat Amerika gentar dan
khawatir, lewat propaganda-propaganda negatif, melalui tekanan dan
embargo ekonomi, mereka berusaha menghambat pertumbuhan dan kemajuan
Iran. Sayang, hanya karena beda mazhab, di antara propaganda miring itu,
juga disebar dan gencar dilakukan oleh sebagian kaum muslimin sendiri.
Kalau hanya karena mazhabnya berbeda, Syiah dianggap agama lain, dan
Iran keluar dari Dunia Islam, kebanggaan apa yang dimiliki Dunia Islam
hari ini? Negeri mana-selain Iran-yang dianggap paling mewakili semangat
keilmuan dan kedigdayaan Islam?. Selamat atas dirgahayu kemenangan
Revolusi Islam Iran yang ke 34.
*Mahasiswa Mostafa International University Republik Islam Iran
Senator AS: Rahbar, Pemimpin Agama bagi Seluruh Muslim Syiah Dunia
– 03/02/2013
Seorang
mantan senator Amerika Serikat menilai sanksi yang dijatuhkan kepada
Iran justru membuat negara itu mandiri dan Pemimpin Besar Revolusi Islam
Iran benar-benar seorang agamawan yang berpengaruh atas seluruh muslim
Syiah dunia. Ia menyarankan agar Amerika belajar dari model politik
Republik Islam.
Baru-baru ini Iran menjadi tuan rumah
konferensi bertema Hollywoodisme di Tehran yang dihadiri lembaga-lembaga
internasional, tokoh-tokoh agama, produser film dan politikus.
Konferensi itu membahas masalah seputar ideologi film-film Hollywood.
Salah satu peserta konferensi yang
kehadirannya membuat orang terheran-heran, adalah mantan senator Alaska,
Mike Gravel. Gravel pada tahun 2008 ikut serta dalam pendahuluan
pilpres dari Partai Demokrat. Ia lebih dikenal karena pernah membocorkan
dokumen Kementerian Pertahanan Amerika (Pentagon). Demikian Fars News
(2/3) melaporkan.
Semenjak keluar dari dunia politik,
Gravel aktif mendukung lembaga yang kerap membeberkan dokumen-dokumen
rahasia Amerika, Wikileaks dengan memberikan pidato dan menuntut
investigasi baru terkait serangan teroris 11 September.
Seperti yang ditulis surat kabar
Amerika, New York Times, di konferensi Hollywoodisme di Tehran mantan
senator itu mengatakan, “Perlu dilakukan pembahasan mengenai industri
sinema Amerika untuk menyelamatkan Iran agar tidak jatuh ke dalam perang
konyol.”
Gravel menambahkan, “Sanksi terhadap
Iran ilegal dan saya tahu kenapa mereka membiarkan dirinya disanksi.
Jika anda ingin menjatuhkan sanksi kepada seseorang, jatuhkan sanksi itu
kepada Arab Saudi yang memelihara ajaran Wahabisme dan menyebarkan
kebencian kepada seluruh bangsa. Ini bukan cara-cara Syiah. Syiah dalam
banyak hal sangat menguntungkan Islam dan Ayatullah Khamenei benar-benar
seorang pemimpin agama yang berpengaruh atas seluruh muslim Syiah
dunia.”
“Apa yang membuat saya tertarik adalah,
sejak 25 sampai 30 tahun lalu saya memperhatikan struktur pemerintahan
Iran dan bagaimana upaya mereka di sektor sosial untuk memusatkan
konsentrasinya memimpin rakyat. Saya mencoba menemukan model seperti
Swiss terkait demokrasi langsung. Akan tetapi bangsa Iran memiliki model
yang unik. Mereka adalah sebuah sistem keagamaan dan pemerintahan
agama, sepertinya itu efektif,” tutur Gravel.
Saat ini, katanya, apa yang bisa saya
katakan kepada anda adalah, tidak ada alasan untuk takut dan apa yang
harus kita lakukan adalah mendorong model-model seperti Iran sehingga
kita bisa melihat bagaimana itu bekerja dan seberapa besar bisa membantu
pemerintah. (DarutTaqrib/IRIB/Adrikna!)
0 comments to "Menuju Politik Bersih : 10 Partai Politik Peserta PEMILU 2014, Islamic Book Fair, Antara Nasionalisme dan Asingisme serta Kemajuan Republik ISLAM Iran dan Kebanggaan Sebagai Muslim hingga Senator AS Bongkar AIB Negaranya..WOWWW"