Home , , , , , , � Rasisme Israel dan Protes Amnesty Internasional : Misi Perdamaian atau Misi Kekuasaan?

Rasisme Israel dan Protes Amnesty Internasional : Misi Perdamaian atau Misi Kekuasaan?














Amnesty Kecewa dengan Pernyataan Pemerintah Indonesia


Amnesty International kecewa terhadap pernyataan pemerintah Indonesia yang tidak akan membentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) mengadili mereka yang bertanggung jawab terhadap penculikan dan penghilangan paksa 13 aktivis politik selama tahun 1997 dan1998. 
 
Campaigner - Indonesia & Timor-Leste Amnesty International Secretariat, Josef Roy Benedict, kepada ANTARA London, Sabtu menyebutkan kegagalan menghadirkan kebenaran apa yang terjadi kepada mereka yang hilang dan membuat pelaku bertanggung jawab, melanggengkan keberlanjutan pelanggaran HAM dan mendukung iklim impunitas di Indonesia.
 
Amnesty International yang markas besarnya di London juga meminta pemerintah Indonesian untuk meratifikasi Konvensi Internasional Bagi Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa pada kesempatan sesegera mungkin, memasukkan ketentuan ke dalam hukum domestik dan mengimplementasikannya pada kebijakan dan praktik.
 
Penasehat Presiden Albert Hasibuan membawa harapan ketika dikabarkan menyatakan Presiden akan mengeluarkan keputusan untuk membentuk sebuah Pengadilan HAM ad hoc untuk mengadili mereka yang bertanggung jawab atas kasus penghilangan paksa 1997-98. 
 
Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, Djoko Suyanto, membantahnya dan mengumumkan bahwa pemerintah tidak mempunyai rencana untuk membentuk pengadilan tersebut.
 
Nasib dan keberadaan dari 13 aktivis politik yang hilang pada 1997-1998 selama bulan terakhir kekuasaan Presiden Suharto masih tidak diketahui. Lima di antaranya menjadi korban penghilangan paksa pada 1997 dan delapan hilang selama krisis politik di awal 1998. 
 
Sembilan lainnya yang ditangkap dan disiksa militer selama ditahan secara terisolir di fasilitas militer di Jakarta 1998, dan yang kemudian dilepas, telah mengkonfirmasi paling tidak enam orang yang masih hilang.
 
Menindaklanjuti penyelidikan yang dibuat oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), parlemen Indonesia merekomendasikan Presiden Bambang Yudhoyono untuk membentuk Pengadilan HAM ad hoc untuk mengadili mereka yang bertanggung jawab terhadap penghilangan paksa pada 1997-1998. 
 
Rekomendasi lainnya mencakup pencarian segera 13 aktivis yang masih hilang oleh pihak berwenang Indonesian; pemberian "rehabilitasi dan kompensasi" kepada keluarga korban; dan ratifikasi Konvensi Internasional Bagi Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa.
 
Amnesty International meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk segera menjalankan rekomendasi parlemen 2009 tersebut dan secepatnya menginisiasi suatu investigasi independen, imparsial, dan efektif atas penghilangan 13 aktivis tersebut. 
 
Hal ini harus merupakan bagian dari investigasi yang lebih luas atas penghilangan paksa yang terjadi di Indonesia dan selama pendudukan Timor-Leste pada 1975-1999.
 
Mereka yang ditemukan bertanggung jawab harus dibawa ke muka hukum dalam suatu pengadilan yang independen dan prosesnya harus sesuai dengan standar internasional tentang keadilan, tanpa menerapkan hukuman mati. 
 
Korban dari penghilangan paksa dan/atau keluarganya harus disediakan pemulihan yang lengkap dan efektif termasuk restitusi, kompensasi, rehabilitasi, kepuasan dan jaminan ketidakberulangan.
 
Penghilangan paksa adalah pelanggaran HAM yang serius dan kejam; sebuah pelanggaran hak baik terhadap korban langsung maupun terhadap mereka yang mencintainya. 
 
Selama nasib dan keberadaan dari orang-orang hilang tidak diketahui keluarganya, penghilangan paksa merupakan pelanggaran HAM yang terus terjadi, seringkali untuk bertahun-tahun, setelah penculikan pertama kali dilakukan. (IRIB Indonesia / Antara / SL)

Rasisme Israel dan Protes Amnesty Internasional

Eskalasi rasisme Rezim Zionis Israel kali ini telah membangkitkan protes luas dunia internasional dan bahkan lembaga HAM Barat yang biasanya bungkam terhadap tindakan anti kemanusiaan rezim ini seperti Badan Amnesty Internasional terpaksa membuka suaranya memprotes Tel Aviv setelah tertekan oleh opini publik.

Badan Amnesty Internasional di statemennya seraya mengkritik eskalasi pembangunan tembok pemisah Israel di bumi Palestina menyebutnya sebagai pelanggaran nyata terhadap undang-undang internasional. Di bagian lagi statemennya, Amnesty Internasional menyebutkan bahwa berdasarkan hukum internasional, pembangunan dinding pemisah dan distrik Zionis di bumi Palestina harus dihentikan, namun Israel senantiasa melanggar perjanjian Jenewa dan resolusi internasional.

Disebutkan bahwa kebijakan arogan dan rasis Israel dalam beberapa hari lalu semakin menggila dan hal ini bertepatan dengan lawatan Presiden Amerika Serikat Barack Obama ke Palestina pendudukan. Dengan demikian menunjukkan bahwa arogansi Israel ini terus berlanjut dengan lampu hijau dari Washington.

Israel memulai proyek pembangunan tembok pemisah yang memisahkan bumi pendudukan Palestina sejak tahun 2002. Tembok pemisah ini sepanjang 750 km dan hingga kini lebih dari 80 persen proyek ini telah rampung. Dalam beberapa hari ini, Israel kian getol merampungkan proyek rasisnya tersebut.

Israel dengan membangun tembok pemisah tersebut selain menunjukkan esensinya yang anti kemanusiaan juga tengah mengejar kebijakan arogan dan menguasai secara penuh bumi Palestina. Tak pelak lagi, Israel merupakan manifestasi nyata dari rasialisme dan diskriminasi terhadap etnis lain di dunia. Maka tak heran jika sikap dan tindak tanduk rezim ilegal ini senantiasa bertumpu pada rasialisme. Bahkan sejumlah petinggi rezim Tel Aviv mengakui hal ini.

Laporan media dan pengacara menunjukkan kedalaman reasialisme di Israel. Mayoritas pengamat meyakini bahwa rezim ini di bidang rasialisme telah mengejar fasisme dan apartheid. Dalam hal ini disebutkan bahwa Israel hingga kini menetapkan lebih dari 60 undang-undang rasis terhadap bangsa Palestina yang hidup di wilayah pendudukan di berbagai sektor termasuk pendidikan, jasa publik, tanah, kemasyarakatan dan politik. Seluruh peraturan tersebut sepenuhkan melanggar hak-hak bangsa Palestina di bumi pendudukan.

Langkah rasis Israel di tengah-tengah kebungkaman masyarakat internasional memiliki dimensi luas dan berbahaya. Di sisi lain, berbagai berita menunjukkan eskalasi rasisme Israel terhadap bangsa Palestina, khususnya mereka yang tinggal di bumi pendudukan. Cotoh nyata adalah polisi Israel berlomba-lomba menerapkan peraturan pemisahan rakyat Palestina di kota dan di bus-bus. Israel menyatakan bahwa rakyat Palestina yang bepergian ke Tepi Barat diwajibkan untuk menaiki bus yang khusus disediakan bagi para pekerja serta dilarang menaiki bus kota.

Langkah Israel ini kembali mengingatkan kebijakan rasis di Afrika Selatan di era apartheid. Saat itu, rezim apartheid di Afrika Selatan memberlakukan sistem diskriminasi pemisahan jalan dan alat transportasi umum antara warga kulit putih dan hitam. Opini publik merasa khawatir atas ketidakpedulian Israel terhadap hukum internasional terkait penghormatan hak asasi manusia dan tidak adanya undang-undang di Israel yang melarang tindakan rasis.

Perilaku anti kemanusiaan rezim Zionis Israel menunjukkan bahwa masyarakat internasional tengah menghadapi rezim lebih buruk dari apartheid dan fasis. (IRIB Indonesia/MF)

Quo Vadis HAM : Misi Perdamaian atau Misi Kekuasaan?


Oleh: Muhammad Dudi Hari Saputra

Ketika berbicara HAM, tentu imajinasi kita menangkap sebuah peristiwa penuh perjuangan untuk membela hak dasar manusia yang penuh dengan nilai moral, normatifnya memang demikian.

Namun pada kenyataannya berbanding terbalik, HAM atau Hak Asasi Manusia menjadi pisau bermata dua, yang bisa menjadi corong bagi terwujudnya nilai-nilai moral manusia tapi di sisi lain  bisa menjadi alat untuk menjustifikasi tindakan kekerasan dan ambisi kekuasaan oleh aktor tertentu.

HAM, pada sejarah perkembangannya dimulai dari paradigma berpikir barat, sehingga dalam konteks awal perdebatan tentang apa itu HAM sendiri berkutat pada 2 kubu paradigma utama, yaitu Liberalisme dan Realisme. Rezim Liberalisme menganggap bahwa hukum internasional harus ditegakkan dengan membentuk institusi internasional dengan hukum yang mengikat pada  individu-individu yang melakukan pelanggaran HAM pada tiap negara, sedangkan rezim Realisme menolak argumentasi ini karena proses penegakan HAM harus tetap menghargai kedaulatan nasional tiap-tiap negara. Karenanya penegakan HAM harus seiring kepentingan nasional.

Paradigma perdebatan HAM ini pun berkembang menjadi 2 pendekatan dalam melihat relasi penegakan HAM antara negara dan individu:

Pertama adalah Pendekatan Solidaris: Pendekatan Solidaris seperti yang dikemukakan oleh Hedley bull menyatakan bahwa pendekakan solidaris bersumber dari pendekatan grotian yang menganggap setiap individu yang terkena dampak kejahatan perang adalah subjek hukum internasional dan masyarakat internasional sehingga atas nama hak asasi manusia berhak untuk dilindungi dan dilakukan intervensi kemanusiaan. Jadi, menurut pendekatan ini intervensi yang dilakukan oleh NATO/AS (negara-negara Barat) atas nama kemanusiaan di Suriah itu diperbolehkan selama bertujuan untuk melindungi masyarakat sipil.

Kedua Pendekatan Pluralis: Pendekatan Pluralis sebagaimana yang disampaikan oleh Vattel, menolak pendekatan Solidaris. Pendekatan Pluralis yg merupakan manifestasi dari pendekatan Realisme, mengemukakan bahwa intervensi asing atas nama kemanusiaan itu dilarang karena tiap-tiap negara memiliki hak kedaulatan dan berhak untuk menegakkan hukum di wilayah teritorialnya masing-masing. Jadi, Pendekatan Pluralis lebih ke State-Centric dibanding individual, sehingga intervensi Barat di Suriah itu ditolak menurut pandangan Pluralis.

Kedua, perdebatan klasik dan derivatif  di atas tidak lepas dari sejarah perjalanan bangsa Eropa yang menitik beratkan fokus permasalahan hubungan internasional pada hubungan negara dan individu, dan ini mendapat tentangan dari negara-negara yang memiliki penafsiran tersendiri terkait penegakan HAM.

China misalnya, menjelaskan bahwa penegakan nilai-nilai HAM di China berdasarkan ajaran dan tradisi masyarakat China yang kental dengan Konfusianisme yang berpadu dengan nilai-nilai sosialisme sehingga penegakan HAM menurut China adalah menciptakan kehidupan yang harmonis, teratur dan sejahtera bagi masyarakat China, dimana pendekatan keamanan adalah hal yang wajar dan merupakan bagian dari penegakan HAM tersebut, yang menurut AS adalah pelanggaran HAM.

Demikian halnya dengan Iran di Timur Tengah. Baru-baru ini sebuah laporan memberitakan bahwa Reporter khusus PBB untuk HAM Iran, Ahmad Shaheed baru saja menyerahkan laporan keempatnya pada sidang Dewan HAM PBB di Jenewa, Swiss.

Laporan Sekretaris Dewan Tinggi Hak Asasi Manusia Iran, Mohammad Javad Larijani juga langsung menjawab penilaian Ahmad Shaheed dan menilai laporan tersebut tidak objektif dan berbau politis.

Ahmad Shaheed dalam laporan setebal 77 halaman pada 11 Maret 2013, menuding Iran melakukan pelanggaran terorganisir dan teratur terhadap hak asasi manusia. Menjawab laporan itu, Javad Larijani mengatakan, "Laporan yang menyerang negara tertentu telah meruntuhkan mekanisme nilai-nilai hak asasi manusia sebagai instrumen untuk komoditas politik di tangan negara-negara kuat."

Tentu saja pihak otoritas Iran menolak tuduhan sepihak dari Dewan HAM PBB tersebut, dan pemimpin spiritual tertinggi Iran Ayatollah Sayyid Ali Khamenei menyatakan bahwa HAM terjamin di bawah naungan Islam dan pemerintahan Islam (Iran). Ayatollah Khamenei menambahkan bahwa pemerintahan Republik Islam Iran menyokong HAM dan dalam hal ini tidak perlu menunggu diajari oleh Barat atau ‎mendapat titah dari Barat supaya menjaga HAMRepublik Islam membela HAM adalah karena instruksi dari ‎Islam sendirisebab HAM adalah bagian dari ketetapan prinsipal Islam.

Ketegasan pemerintah Islam Iran dalam menegakkan HAM berdasarkan prinsip Islam telah menjadi kritikan tersendiri bagi lembaga penegak HAM di PBB dan Negara-negara lain seperti AS yang mencoba mendikte Negara lain dengan HAM menurut penafsiran mereka.

Ironisnya pandangan sikap atas HAM yang tidak sesuai dengan definisi menurut Barat terutama AS telah menjadi alat justifikasi oleh AS untuk mengambil sikap militer terhadap negara lain tanpa menghargai kedaulatan nasional negara tersebut.

Menyikapi hal ini para ilmuwan hubungan internasional, terutama dari paradigma konstruktifis menyatakan bahwa penegakkan norma HAM dunia harus berdasarkan  bangunan sosial yang ideal nya melibatkan lebih banyak pihak ke dalamnya. Bukan seperti sekarang yang hanya didominasi oleh sebagian pihak saja yaitu AS dan sekutunya, sehingga Alexander Wendt menjelaskan bahwa sistem yang ada saat ini telah menjadikan kelompok atau negara tertentu memiliki otoritas untuk membunuh orang asing tanpa pertanggung jawaban dan menurutnya tidak ada pembenaran untuk memiliki hak seperti itu.

AS Penegak HAM dunia. Benarkah?

Sekarang timbul pertanyaan bagaimana sikap AS yang mengklaim sebagai polisi dunia dan garda terdepan dalam penegakan HAM dunia? Apakah motif penegakan HAM itu memang untuk alasan normatif atau alasan strategis untuk mengamankan kepentingan nasional AS?

AS dengan langkah kebijakan luar negerinya yang Realis-Pragmatis tentu sulit bagi kita membayangkan bahwa negara ini mengambil sikapnya terhadap isu HAM berdasarkan alasan normatif, melainkan untuk alasan strategis saja. Setidaknya ini tergambarkan dari sikap AS yang menolak meratifikasi  perjanjian pembentukan  peradilan pidana internasional di saat 160 negara lainnya meratifikasi perjanjian tersebut.

Alasannya karena pemerintah dan Kongres AS menolak sebuah bentuk aturan internasional yang bisa membatasi kedaulatan hukum nasionalnya, sehingga dengan tidak diratifikasinya perjanjian ini oleh AS, maka tidak ada satu lembaga internasional pun yang bisa mempidanakan warga negara AS yang bertugas di luar negeri. Penolakan AS ini tak lain karena apabila perjanjian ini diratifikasi oleh AS maka akan membatasi kehadiran pasukan AS di negara-negara asing untuk melakukan aksi-aksi militer sepihak maupun yang melakukan pelanggaran HAM, kecuali oleh peradilan AS sendiri.

Di sini kita bisa melihat standar ganda AS dalam penegakkan HAM, di sisi lain AS selalu menekan negara lain untuk mengikuti standard HAM menurut mereka, dan jika menolak akan diterapkan sanksi bahkan aksi militer. Namun di sisi lain, AS sendiri menolak sebuah aturan yang mampu membatasi ambisi kekuasaannya. Dengan kata lain, untuk negara lain, AS mengusung prinsip Solidaris sedangkan untuk negaranya sendiri AS mengusung prinsip Pluralis.

Fakta lain juga menunjukkan realitas yang terbalik dari apa yang selalu dipropagandakan oleh AS sendiri sebagai negara pembela HAM. Setidaknya kebijakan militer AS di Pakistan dengan menggunakan rudal dari pesawat tanpa awak (Drone) pada tahun 2012. Menurut laporan biro investigasi jurnalis yang diberitakan oleh London Sunday Times sudah membunuh lebih dari 525 warga sipil dan 60 anak kecil.

Itu baru dari satu metode dan tempat serangan, bagaimana jika ditotal dengan semua kebijakan militer AS di negara-negara dikawasan Amerika Selatan, Afrika, Asia Tenggara (terutama Vietnam), Asia Timur, Timur Tengah dan berbagai belahan dunia lain. Sudah berapa juta korban sipil yang meninggal, belum lagi kebijakan AS yang selalu mendukung kebijakan militer Israel terhadap Palestina yang sudah memakan ribuan korban sipil dan anak kecil.

Dan sekarang kita bertanya, siapakah yang mampu mencegah aksi sepihak seperti itu? Siapa yang bisa melakukan proses peradilan terhadap kebijakan AS yang telah membunuh banyak korban sipil? Jawabnya tidak ada, dan adilkah sistem yang seperti itu?

Kebijakan luar negeri AS ini tak lepas dari seorang pengamat Realisme yaitu Morgenthau yang menjelaskan bahwa perilaku negara pada dasarnya adalah perjuangan untuk memperoleh kekuatan atau struggle for power dan keinginan untuk mencapai kekuatan inilah yang mendasari pola perilaku dan interaksi antar manusia, yang menurut Morgenthau bahwa tujuan kekuatan tadi bisa diterjemahkan kedalam berbagai bentuk terminologi seperti agama, filosofi, ekonomi atau sosial yang ideal.

Dengan demikian, tidak aneh bagi AS untuk menggunakan penegakan HAM sebagai alat/media  untuk melanggengkan kepentingan nasional dan ambisi kekuasaannya serta membendung kekuatan lain yang mampu mengancam dominasinya.

*) Mahasiswa Pasca Sarjana Hubungan Internasional UGM

0 comments to "Rasisme Israel dan Protes Amnesty Internasional : Misi Perdamaian atau Misi Kekuasaan?"

Leave a comment