Home , , , , , , , � Filosofi Peringatan Acara Hari Ketiga, Ketujuh, Keempat Puluh dan Haul Kematian serta SEJARAH WAHABI

Filosofi Peringatan Acara Hari Ketiga, Ketujuh, Keempat Puluh dan Haul Kematian serta SEJARAH WAHABI


SEJARAH WAHABI
SEJARAH WAHABI

Filosofi Peringatan Acara Hari Ketiga, Ketujuh, Keempat Puluh dan Haul Kematian




Oleh: Emi Nur Hayati

Sejak manusia menginjakkan kaki ke muka bumi dan tumbuh berkembang sebagai bagian dari anggota keluarga dan masyarakat, beberapa kali kita berduka karena menyaksikan salah satu anggota keluarga kita meninggal dunia, mulai dari ayah atau ibu, kakek dan nenek sampai famili dan tetangga serta kerabat lainnya.

Setelah mereka meninggal, kita menyaksikan adanya acara pembacaan surat-surat al-Quran dan tahlil yang pahalanya ditujukan untuk sang mayit. Acara tahlilan ini bahkan dilakukan setiap malam sejak malam pertama kematian sang mayit sampai tujuh harinya bahkan dikenal dengan acara ketiga hari, ketujuh hari, dan keempat puluh harinya dan setiap ulang tahun kematiannya juga diadakan acara peringatan yang dikenal sebagai haul kematian dengan mengundang para tetangga dan kerabat dekat.

Pertanyaannya di sini adalah apakah acara peringatan kematian pada hari ketiga, ketujuh, keempat puluh dan haul kematian sang mayit ini ada asal usul dan akar keagamaannya ataukah hanya sekedar tradisi sosial sebagai tradisi kearifan lokal (tradisi urf) di tengah-tengah umat Islam yang sudah diterima?

Acara peringatan hari ketiga, hari ketujuh, hari keempat puluh dan haul kematian mayit selama ini dilakukan berdasarkan kebiasaan dan tradisi di kalangan masyarakat muslim. Di dalam riwayat tidak ditemukan secara khusus terkait masalah ini. Namun, yang ditekankan dalam Islam adalah berbuat kebaikan dan menghadiahkan pahala spiritualnya untuh ruh sang mayit. Bila acara pembacaan tahlil dan doa dilakukan pada hari-hari yang disebutkan di atas pasca kematian sang mayit, maka acara ini merupakan ajang:

1. Untuk mengingat Allah dan Hari Kiamat

2. Untuk mendidik diri tidak bergantung dan terikat kepada dunia.

3. Untuk mengenang sang mayit dan penghormatan kepadanya.

4. Untuk melakukan kebaikan seraya mengisinya dengan tahlilan, pembacaan surat-surat al-Quran dan doa serta menghadiahkan pahala spiritualnya untuk sang mayit.

5. Untuk menenangkan hati anggota keluarga yang ditinggalkan sang mayit dan turut berduka dan berbelasungkawa kepada mereka.

Pelaksanaan acara tahlilan dan menghadiahkan pahala spiritualnya untuk sang mayit tidak bertentangan sama sekali dengan ajaran agama Islam. Karena acara ini dilakukan untuk mengenang kebaikan sang mayit dan penghormatan kepadanya dengan cara melakukan kebaikan dalam bingkai acara tahlilan dan doa dan meniatkan pahala kebaikan ini untuk ruh sang mayit.

Muhammad bin Ali bin Husein berkata bahwa Abu Abdillah (Imam Jakfar Shadiq as) mendatangi sebuah kaum yang tertimpa musibah kematian dan kepada mereka beliau berkata, "Allah telah menebus musibah yang menimpa kalian. Dia telah memberikan pahala kebaikan kepada kalian atas musibah yang menimpa kalian dan merahmati mayit-mayit kalian." Kemudian beliau keluar dari majlis tersebut.[1]

Imam Jakfar Shadiq as tidak berlama-lama tinggal di dalam acara itu. Perilaku dan sikap beliau ini menunjukkan tentang pentingnya mengadakan acara duka secara sederhana. Para sahabat dan kerabat yang hadir dalam acara duka tidak perlu harus membebani keluarga yang berduka dengan berlama-lama tinggal di sana apalagi merepotkan mereka dengan cara mereka harus menyiapkan hidangan makanan untuk para sahabat dan kerabat yang hadir mengucapkan duka.

Perilaku Imam Jakfar Shadiq as ini menjelaskan tentang pentingnya memberikan ketenangan kepada para anggota keluarga yang ditinggalkan bahkan sampai pada masalah makanan pun jangan sampai mereka kepikiran harus menyiapkan makanan dan hidangan untuk dirinya sendiri apalagi untuk para tamu yang hadir, akan tetapi justru kita yang harus menyiapkan makanan buat mereka sampai tiga hari. Sebagaimana anjuran Rasulullah Saw untuk membawa makanan ke rumah anggota keluarga mayit yang sedang berduka selama tiga hari.

Setelah kematian Jakfar bin Abi Thalib, Rasulullah Saw kepada putrinya, Sayidah fathimah az-Zahra berkata agar beliau pergi ke rumah Asma' binti Umais bersama sejumlah wanita untuk membawakan makanan buat mereka sampai selama tiga hari. Dari riwayat ini para ahli fiqih menjadikannya sebagai dalil bahwa berduka untuk mayit batasnya sampai tiga hari.[2]

Dalam riwayat lain Imam Jakfar Shadiq as berkata, "Makan di rumah orang-orang yang berduka merupakan perilaku di zaman jahiliah. Merupakan sebuah sunnah Islami bila yang lainnya menyiapkan makanan untuk mereka. Sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah saw terkait kematian Jakfar bin Abi Thalib.[3]

Riwayat lainnya juga dari Imam Jakfar Shadiq as mengatakan, "Seyogianya tetangga orang yang tertimpa musibah memberikan makanan kepada mereka yang tertimpa musibah sampai selama tiga hari." [4]

Peringatan acara hari ketiga, ketujuh, sejatinya secara syariat tidak ada dalilnya. Akan tetapi ia merupakan sebuah tradisi kearifan lokal (tradisi urf) yang diterima oleh masyarakat muslim dan diadakan untuk menghormati dan memuliakan sang mayit. Bila pelaksanaan ini tidak sampai menghambur-hamburkan makanan dan tidak ada unsur dosa, maka agama tidak melarangnya. Selain itu, pembacaan doa dan tahlil dalam acara ini pahala spiritualnya dihadiahkan kepada ruh sang mayit.

Dari penjelasan tersebut di atas tidak mustahil akan muncul sebuah pertanyaan bahwa apakah peringatan acara kematian pada hari ketiga, ketujuh dan ke empat puluh dan haul untuk mayit bukan merupakan sebuah bidah karena tidak adanya dalil syari terkait masalah ini? Sebagaimana yang diklaim oleh sekelompok orang ekstrim yang senantiasa menyebut sebagian umat Islam melakukan bidah dan mengklaim mereka kafir karena mengadakan acara tahlilan, ziarah kubur dan sebagainya?

Jawabannya adalah di tengah-tengah masyarakat muslim ada acara-acara yang bersifat lokal dan nasional yang tidak ada kaitannya dengan agama. Bila acara-acara yang tidak ada kaitannya dengan agama ini dilakukan bukan atas nama agama dan tidak dikenalkan sebagai sesuatu yang bersumber dari agama sekaligus tidak bertentangan dengan akal dan logika bahkan tidak bertentangan dengan agama itu sendiri, maka boleh dan mubah hukumnya.

Sebagaimana kita tidak boleh menghalalkan yang diharamkan oleh Allah, kita juga tidak boleh mengharamkan yang dihalalkan oleh Allah.

Peringatan acara atau perbuatan yang tidak ada kaitannya dengan agama akan dikatakan sebagai sebuah BIDAH bila dikenalkan dan diamalkan sebagai perintah agama. Dengan demikian, bila acara hari ketiga, hari ketujuh, hari keempat puluh dan haul dilaksanakan sebagai sebuah acara bukan atas nama karena diperintahkan oleh agama, bagaimana mungkin bisa dikatakan sebagai sebuah bidah? Dan begitu seterusnya dengan acara-acara lokal yang tidak ada kaitannya dengan agama. Bila ia dilakukan bukan atas nama karena perintah agama, maka bukan sebuah bidah. Apalagi bila tradisi itu diisi dengan pujian-pujian kepada Allah, doa dan munajat serta istighfar sebagaimana acara tahlilan itu sendiri.

Bila setiap acara dan perilaku serta hal-hal kecil kehidupan yang mubah harus sesuai dengan gaya kehidupan Rasulullah Saw, maka betapa banyak perkara mubah harus dianggap sebagai perkara yang bertentangan dengan agama, padahal kita tahu bahwa perkara itu halal dan mubah bagi kita. Misalnya mengendarai sepeda motor, mobil, acara empat atau tujuh bulanan ibu hamil (syukuran tingkepan), memakai pakaian warna kuning atau putih dan sebagainya, memakai sepatu bertali atau tidak bertali, menggunakan telpon seluler, bermain sepak bola atau bermain kelereng dan lain-lain akan diklaim sebagai perkara yang bertentangan dengan agama karena tidak sesuai dengan gaya kehidupan Rasulullah Saw di zamannya.

Melakukan penentangan terhadap peringatan acara semacam ini muncul dari pandangan ekstrim dan kolot sekelompok orang yang memandang Islam dari sudut pandangnya yang sempit.

Terkait acara empat puluh hari kematian seseorang, di kalangan para pemimpin agama hanya diadakan untuk memperingati acara empat puluh hari syahadah Imam Husein as cucunda Rasulullah Saw yakni acara Arbain Imam Husein yang jatuh pada tanggal 20 Shafar dan ini dilakukan setiap tahun selain acara haul hari Asyura, hari syahadah Imam Husein as di Karbala. Acara Arbain Imam Husein as ini diadakan karena keagungan peristiwa Karbala. [5]

Selain penjelasan di atas, pembacaan tahlil, surat al-Fatihah dan ayat-ayat al-Quran serta doa-doa dan istighfar itu sendiri hukumnya sunnah dan sangat bermanfaat serta berpengaruh bagi ruh sang mayit. Untuk membuktikan kesunnahannya mari kita simak riwayat-riwayat berikut ini:

Rasulullah Saw bersabda, "Mayit di dalam kubur bak manusia yang sedang tenggelam dan setiap saat menunggu datangnya pertolongan. Terkadang menunggu doa dari ini dan itu. Begitu dia melihat seseorang berdoa dan beristighfar untuknya dan untuk keselamatannya, ia lebih berbahagia daripada dikasih dunia dan seluruh isinnya."

Kemudian beliau bersabda demikian:
ان هدايا الاحياء للاموات الدعاء والاستغفار

"Sesungguhnya hadiah orang-orang yang hidup untuk para mayit adalah doa dan istighfar." [6]

Dalam riwayat lain, Rasulullah Saw bersabda, "Malam-malam yang paling sulit adalah malam pertama kubur. Kalian bisa mengasihi mayit-mayit kalian dengan cara bersedekah. Bila kalian tidak punya sesuatu untuk bersedekah, paling tidak lakukanlahshalat dua rakaat dan hadiahkan untuk ruhnya."

Imam Shadiq as ditanya, "Apakah bisa melakukan shalat untuk mayit? Beliau menjawab, "Iya. Terkadang mayit berada dalam tekanan dan karena shalat yang engkau hadiahkan kepadanya, ia berada dalam kesejahteraan. Dan dikatakakan kepadanya, "Keringanan dan kesejahteraan ini karena karena shalat fulan mukmin yang dihadiahkan kepadamu."

Kemudian beliau berkata:

ان الميت ليفرح بالترحم عليه و الاستغفار له كما يفرح الحي بالهدية تهدى اليه
"Mayit akan merasa senang dan gembira karena doa dan istighfar yang dibacakan untuknya sebagaimana orang hidup merasa senang akan hadiah yang diberikan kepadanya." [7]  

Rasulullah Saw bersabda:

لا تنسوا موتاكم في قبورهم و موتاكم يرجون احسانكم و موتاكم محبوسون يرغبون في اعمالكم البر و هم لا يقدرون، اهدوا الى موتاكم الصدقة و الدعاء  

"Jangan lupakan mayit-mayit kalian yang ada di dalam kubur. Mayit-mayit kalian mengharapkan kebaikan kalian. Mayit-mayit kalian berada dalam tahanan mereka berharap kepada amal kebaikan kalian. Mereka sendiri tidak lagi bisa berbuat sesuatu. Hadiahkan sedekah dan doa kepada mereka!" [8]

Dan berkata, "Pahala shalat, puasa, haji, sedekah dan seluruh amal kebaikan serta doa akan masuk ke alam kubur mayit. Pahalanya akan dicatat untuk mayit dan orang yang melakukannya." [9]

Rasulullah Saw bersabda, "Sedekah memadamkan panasnya alam kubur..."[10]
Imam Muhammad Baqir as berkata, "Barang siapa menziarahi kuburan seorang mukmin dan membacakannya tujuh kali Inna Anzalna (surat Qadr), maka Allah mengampuninya dan mengampuni ahli kuburnya.[11]

Imam Shadiq as berkata, "Hendaknya membaca surat Tabarak (al-Mulk) di kuburan mayit untuk meringankan azab kuburnya. [12]

Berbuat kebaikan yang pahala spiritualnya dihadiahkan dengan cara membaca al-Quran, doa dan istighfar dalam bingkai acara tahlilan, dan bersedekah dengan niat menghadiahkan pahala spiritualnya untuk sang mayit merupakan manifestasi dari sekian kebaikan untuk mayit.

Bila kita menyimak riwayat terkait bagaimana sang mayit di alam barzakh sudah tidak bisa melakukan apa-apa lagi dan kedatangannya di hari hari tertentu kepada keluarga karena sangat membutuhkan doa dan pahala kebaikan dari mereka, maka bagi kita yang masih hidup seyogianya menyisihkan waktu dan tenaga serta pikiran untuk nasib mereka yang sudah meninggalkan kita ini.

Mari kita simak riwayat terkait masalah ini:

Diriwayatkan dari Rasulullah Saw, beliau bersabda, "Setiap Jumat, arwah orang-orang mukmin datang di depan rumah-rumah mereka. masing-masing dari mereka dengan suara menyedihkan dan menangis, berteriak, "Hai keluarga dan anak-anakku! Hai ayah dan ibuku! Hai keluargaku! Kasihanilah aku! Hadiahkan dan berbuatlah kebaikan dengan apa yang kami tinggalkan untuk kalian yang sampai saat ini perhitungan dan azabnya buat kami berupa satu Dirham atau sepotong roti atau sehelai pakaian dan baju sehingga Allah memberikan pakaian surgawi untuk kalian." Kemudian Rasulullah Saw menangis tersedu-sedu sampai tidak mampu lagi berbicara.

Kemudian bersabda, "Saudara-saudara kalian yang sudah meninggal ini mengatakan, "Celakalah kami, seandainya apa yang ada di tangan kami dulu kami infakkan di jalan Allah, pasti sekarang kami tidak akan membutuhkan kepada kalian. Kemudian mereka kembali dengan penyesalan."

Di akhir beliau bersabda, "Segeralah bersedekah untuk mayit-mayit kalian!"[13]

Filosofi Pembacaan Surat al-Fatihah, Yasin dan al-Ikhlas

Salah satu bentuk kebaikan yang kita lakukan untuk mayit adalah membaca surat al-Fatihah, Yasin dan al-Ikhlas. Ini merupakan fenomena yang umum terjadi di tengah-tengah masyarakat muslim.

Pertanyaannya adalah mengapa surat-surat ini yang lebih umum dikhususkan untuk mayit? Filosofinya adalah karena kedua surat ini memiliki keutamaan lebih dari surat-surat al-Quran lainnya.

Terkait keutamaan surat al-Fatihah, kepada seorang lelaki Rasulullah Saw bersabda:

الا اعلّمك افضل سورة انزلها الله فى كتابه ؟ قال بلى، علّمنيها، فعلّمه الحمد، ثم قال:هي شفاء من كلّ داء الّا السّام، و السّام الموت

"Maukah kamu aku ajari surat yang paling utama yang diturunkan Allah dalam kitab-Nya. Dia menjawab, "Iya. Ajarkan ia kepadaku. Kemudian beliau mengajarinya al-Hamdu (al-Fatihah). Kemudian beliau bersabda, "Ia adalah obat segala penyakit kecuali kematian." [14]

Dalam riwayat lain Rasulullah Saw bersabda:


و الذى نفسى بيده ما انزل الله فى التوراة ، و لا فى الزبور، و لا فى القرآن مثلها، هى ام الكتاب

"Demi Zat Yang jiwaku ada di tangan-Nya! Allah tidak menurunkan di dalam Taurat dan juga tidak di dalam Zabur dan juga tidak di dalam al-Quran seperti surat ini yaitu Ummul Kitab."

Terkait riwayat-riwayat ini dan kandungan surat al-Fatihah, Ayatullah Makarim Shirazi dalam tafsirnya menjelaskan:

Pada hakikatnya surat al-Fatihah ini adalah daftar isi dari keseluruhan kandungan al-Quran. Mengapa demikian? Karena sebagian dari kandungan surat al-Fatihah berisi tentang tauhid dan mengenal sifat Allah. Sebagiannya lagi tentang Hari Kiamat. Sebagiannya lagi tentang hidayah dan kesesatan yang menjadi garis pemisah antara orang-orang mukmin dan orang-orang kafir dan mengisyaratkan tentang kekuasaan mutlak Allah dan posisi rububiyah-Nya dan nikmat-nikmat-Nya yang tak terbatas yang terbagi menjadi rahmaniyah dan rahimiyah sekaligus mengisyaratkan tentang masalah ibadah dan penghambaan dan ini khusus untuk zat-Nya yang suci.

Sejatinya surat al-Fatihah menjelaskan tentang tauhid sifat, tauhid af'al dan tauhid ibadah. Dengan kata lain, surat ini mengandung tiga tahapan iman yaitu imam dengan hati, mengikrarkan dengan lisan dan mengamalkannya dengan anggota badan. Dan "Um" sendiri bermakna dasar dan pondasi. [15]

Oleh karena itu barang siapa yang membaca surat ini sama dengan membaca sepertiga al-Quran. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw yang berbunyi:

ايما مسلم قراء فاتحة الكتاب اعطى من الاجر كانما قراء ثلثى القرآن ، واعطى من الاجر كانما تصدق على كل مؤ من و مؤ منة

"Setiap muslim yang membaca surat al-Fatihah, maka pahalanya sama dengan ia membaca sepertiga al-Quran dan sama dengan ia menghadiahkannya kepada setiap mukmin lelaki dan mukmin perempuan.[16]

Adapun terkait surat Yasin, Surat yasin merupakan jantung al-Quran. Dalam hal ini Rasulullah Saw bersabda:

انّ لکلّ شیءٍ قلب و قلب القرآن یس. ثواب الاعمال

"Sesungguhnya setiap sesuatu itu memiliki jantung dan jantung al-Quran adalah surat Yasin."

Mengapa surat Yasin disebut sebagai jantung al-Quran? Karena dalam surat ini disebutkan tiga pembahasan akidah yang sangat penting dan urgen dalam Islam yaitu; tauhid, nubuwat dan ma'ad kemudian di akhir surat ini kembali disimpulkan dalam dua ayat terakhir yang berbunyi: 

"Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: "Jadilah!" maka terjadilah ia. Maka Maha Suci (Allah) yang di tangan-Nya kekuasaaan atas segala sesuatu yang dan kepada-Nya kamu dikembalikan."[17]

إِنَّمَا أَمْرُهُ إِذَا أَرَادَ شَيْئًا أَن يَقُولَ لَهُ كُن فَيَكُونُ فَسُبْحَانَ الَّذِي بِيَدِهِ مَلَكُوتُ كُلِّ شَيْءٍ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ[18]

Di dalam surat ini kita menyaksikan beragam fenomena, mulai dari penciptaan dan Kiamat, kehidupan dan kematian, peringatan dan kabar gembira. surat Yasin diibaratkan sebagai makhluk hidup, tanpa jantung, makhluk tidak akan hidup.

Yasin merupakan nama lain dari Rasulullah Saw. Terkait tafsir "Yasin. Wal Quraanil Hakiim", dalam sebuah riwayat, Imam Shadiq as mengatakan, "Yasin adalah nama Rasulullah. Dalilnya adalah firman Allah Swt, "Innaka Laminal Mursaliin, ‘Alaa Shhiraathim Mustaqiim. Sesungguhnya kamu salah seorang dari rasul-rasul, (yang berada) diatas jalan yang lurus,(ayat 3 dan 4).[19]

Keutamaan lain dari surat Yasin adalah sebagai perantara pengampunan dosa.

Dalam sebuah riwayat Rasulullah saw bersabda, "Barang siapa yang membaca Yasin karena untuk mendapatkan ridha Allah, maka ia akan diampuni dan akan diberi pahala sama dengan orang yang telah mengkhatamkan al-Quran sebanyak dua belas kali. Bila dibacakan untuk orang yang sedang menghadapi kematian (sakaratul maut) maka untuk setiap huruf dari surat ini akan berbaris sepuluh malaikat memintakan ampunan baginya (beristighfar) dan menyaksikan dicabutnya ruhnya dan mengantarkan jenazahnya dan menyolatinya dan menyaksikan proses pemakamannya. [20]

Rasulullah Saw bersabda, "Membaca surat Yasin untuk mayit menyebabkan ia diampuni dosanya dan dikurangi azabnya."[21]

Adapun terkait surat al-Ikhlas Rasulullah Saw bersabda:

من قرأ قل هو الله احد مرة فكانما قرأ ثلث القرآن، ومن قرأها مرتين فكانما قرأ ثلثى القرآن، ومن قرأها ثلاث مرات فكانما قرأ القرآن كله

"Barang siapa yang membaca Qulhuwallah (surat al-Ikhlas), maka sama dengan ia membaca sepertiga al-Quran dan barang siapa yang membaca dua kali, maka sama dengan ia membaca dua pertiga al-Quran dan barang siapa yang menbaca tiga kali, maka sama dengan ia membaca al-Quran seluruhnya."[22]

Dalam riwayat lain Rasulullah Saw bersabda:

من مر على المقابر و قرأ قل هو الله احدى عشرة مرة ثم وهب اجره للاموات اعطى من الاجر بعدد الاموات

"Barang siapa yang melewati kuburan dan membaca Qulhuwalla (surat al-Ikhlas) sebelas kali, kemudian menghadiahkan pahalanya untuk para mayit, maka ia akan diberi pahala sebanyak jumlah mayit yang ada di kuburan itu." [23]


[1]
. Hur Amili, Muhammad bin Hasan, Wasail as-Syiah, jilid 3, hal 218, hadis 3451, Muassasah Alul Bait, Qom 1409 Hq.
[2]. Ibid, hal 235-236, hadis 3499.
[3]. Ibid, hal 237, hadis 3504.
[4]. Ibid, hal 237, hadis 3503.

[5]. Bisa merujuk pada tulisan di situs IRIB Indonesia, Kamus Karbala: Arbain Imam Husein as dan Jabir bin Abdullah Al-Anshari.      


[6]. Mahajjah al-Baidha', jilid 8, hal 291, dinukil oleh oleh Dastanhaye Shegeft Anggiz Az Qab Wa Ajsade Salim, Haidar Qambari, Qom, Entisharat Shamim Kausar, 1386 Hs, cetakan keempat, hal 184.
[7]. Mahajjah al-Baidha', jilid 8, hal 291, dinukil oleh oleh Dastanhaye Shegeft Anggiz Az Qab Wa Ajsade Salim, Haidar Qambari, Qom, Entisharat Shamim Kausar, 1386 Hs, cetakan keempat, hal 184.
[8]. Ali Reza Sabiri Yazdi, terjemah Mohammad Reza Anshari Mahallati, Sazeman Tablighat Islami, hal 232 menukil dari, Sheikh Hasan bin Ali Yazdi, Anwar al-Hidayah, hal 115.
[9]. Syeikh Abbas Qomi, Mafatihul Jinan, hal 317.
[10]. Nahjul Fashahah, terjemah Ibrahim Ahmadiyan, percetakan Shahabuddin, cetakan pertama, 1385 Hs, hal 385.
[11]. Muhammad Baqir Majlisi, Bihar al-Anwar, jilid 82, hal 169, mansyurat Chapkhaneh Islamiyah Tehran.
[12]. Iqbal A'mal, hal 651, dinukil dari Seiri Dar Jahan Pas Az Marg, hal 300.
[13]. Mafatih, hal 943, dinukil oleh Dastanhaye Shegeft Anggiz Az Qab Wa Ajsade Salim, Haidar Qambari, Qom, Entisharat Shamim Kausar, 1386 Hs, cetakan keempat, hal 182-183.
[14]. Mohammad bin Hasan Hur Amili, Hidayah al-Ummah Ila Ahkam al-Aimmah as, Astan Radhawiyah al-Muqaddasah, jilid 3, hal 80, hadis 449.   
[15]. Makarim Shirazi, Tafsir Namuneh, jilid 1, hal 1.
[16]. Abdu Ali bin Jum'ah Huwaizi, Tafsir Nur al-Tsaqalain, jilid 5, hal 702.
[17]. QS. Yasin: 82-83.
[18].Rujuk ke: Tafsir al-Mizan dan Namuneh.
[19]. Abdu Ali bin Jum'ah Huwaizi, Tafsir Nur al-Tsaqalain, jilid 4, hal 375.
[20]. Majma al-Bayan, jilid 8, hal 256.
[21]. ‘Iddah ad-Da'i, hal 133.
[22].  Abdu Ali bin Jumah Huwaizi, Tafsir Nur al-Tsaqalain, jilid 5, hal 702.
[23].  Ibid.

SEJARAH WAHABI

Salah satu dari ajaran yang diyakini oleh Muhammad bin Abdul Wahab, adalah mengkufurkan kaum muslim sunni yang mengamalkan tawassul, ziarah kubur, maulid nabi, dan lain-lain. Berbagai dalil akurat yang disampaikan ahlussunnah wal jama'ah berkaitan dengan tawassul, ziarah kubur serta maulid, ditolak tanpa alasan yang dapat diterima. Bahkan lebih dari itu, justru berbalik mengkafirkan kaum muslimin sejak 600 tahun sebelumnya, termasuk guru-gurunya sendiri.

 
Habib Munzir Al mousawa

 SEJARAH WAHABI
Menanggapi banyaknya permintaan pembaca tentang sejarah berdirinya Wahabi maka kami berusaha memenuhi permintaan itu sesuai dengan asal usul dan sejarah perkembangannya semaksimal mungkin berdasarkan berbagai sumber dan rujukan kitab-kitab yang dapat dipertanggung-jawabkan, diantaranya, Fitnatul Wahabiyah karya Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, I'tirofatul Jasus AI-Injizy pengakuan Mr. Hempher, Daulah Utsmaniyah dan Khulashatul Kalam karya Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, dan lain-lain.
Nama Aliran Wahabi ini diambil dari nama pendirinya, Muhammad bin Abdul Wahab (lahir di Najed tahun 1111 H / 1699 M). Asal mulanya dia adalah seorang pedagang yang sering berpindah dari satu negara ke negara lain dan diantara negara yang pernah disinggahi adalah Baghdad, Iran, India dan Syam.

Kemudian pada tahun 1125 H / 1713 M, dia terpengaruh oleh seorang orientalis Inggris bernama Mr. Hempher yang bekerja sebagai mata-mata Inggris di Timur Tengah. Sejak itulah dia menjadi alat bagi Inggris untuk menyebarkan ajaran barunya.
Inggris memang telah berhasil mendirikan sekte-sekte bahkan agama baru di tengah umat Islam seperti Ahmadiyah dan Baha'i. Bahkan Muhammad bin Abdul Wahab ini juga termasuk dalam target program kerja kaum kolonial dengan alirannya Wahabi.
Mulanya Muhammad bin Abdul Wahab hidup di lingkungan sunni pengikut madzhab Hanbali, bahkan ayahnya Syaikh Abdul Wahab adalah seorang sunni yang baik, begitu pula guru-gurunya. Namun sejak semula ayah dan guru-gurunya mempunyai firasat yang kurang baik tentang dia bahwa dia akan sesat dan menyebarkan kesesatan. Bahkan mereka menyuruh orang-orang untuk berhati-hati terhadapnya.

Ternyata tidak berselang lama firasat itu benar. Setelah hal itu terbukti ayahnya pun menentang dan memberi peringatan khusus padanya. Bahkan kakak kandungnya, Sulaiman bin Abdul Wahab, ulama besar dari madzhab Hanbali, menulis buku bantahan kepadanya dengan judul As-Sawa'qul Ilahiyah Fir Raddi Alal Wahabiyah. Tidak ketinggalan pula salah satu gurunya di Madinah, Syekh Muhammad bin Sulaiman AI-Kurdi as-Syafi'i, menulis surat berisi nasehat:
"Wahai Ibn Abdil Wahab, aku menasehatimu karena Allah, tahanlah lisanmu dari mengkafirkan kaum muslimin, jika kau dengar seseorang meyakini bahwa orang yang ditawassuli bisa memberi manfaat tanpa kehendak Allah, maka ajarilah dia kebenaran dan terangkan dalilnya bahwa selain Allah tidak bisa memberi manfaat maupun madharrat, kalau dia menentang bolehlah dia kau anggap kafir, tapi tidak mungkin kau mengkafirkan As-Sawadul A'dham (kelompok mayoritas) di antara kaum muslimin, karena engkau menjauh dari kelompok terbesar, orang yang menjauh dari kelompok terbesar lebih dekat dengan kekafiran, sebab dia tidak mengikuti jalan muslimin."
Sebagaimana diketahui bahwa madzhab Ahlus Sunah sampai hari ini adalah kelompok terbesar. Allah berfirman : "Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu (Allah biarkan mereka bergelimang dalam kesesatan) dan kami masukkan ia ke dalam jahannam, dan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali (QS: An-Nisa 115)

Salah satu dari ajaran yang diyakini oleh Muhammad bin Abdul Wahab, adalah mengkufurkan kaum muslim sunni yang mengamalkan tawassul, ziarah kubur, maulid nabi, dan lain-lain. Berbagai dalil akurat yang disampaikan ahlussunnah wal jama'ah berkaitan dengan tawassul, ziarah kubur serta maulid, ditolak tanpa alasan yang dapat diterima. Bahkan lebih dari itu, justru berbalik mengkafirkan kaum muslimin sejak 600 tahun sebelumnya, termasuk guru-gurunya sendiri.
Pada satu kesempatan seseorang bertanya pada Muhammad bin Abdul Wahab, Berapa banyak Allah membebaskan orang dari neraka pada bulan Ramadhan?? Dengan segera dia menjawab, "Setiap malam Allah membebaskan 100 ribu orang, dan di akhir malam Ramadhan Allah membebaskan sebanyak hitungan orang yang telah dibebaskan dari awal sampai akhir Ramadhan." Lelaki itu bertanya lagi, "Kalau begitu pengikutmu tidak mencapai satu persen pun dari jumlah tersebut, lalu siapakah kaum muslimin yang dibebaskan Allah tersebut? Dari manakah jumlah sebanyak itu? Sedangkan engkau membatasi bahwa hanya pengikutmu saja yang muslim. Mendengar jawaban itu Ibn Abdil Wahab pun terdiam seribu bahasa.
Sekalipun demikian Muhammad bin Abdul Wahab tidak menggubris nasehat ayahnya dan guru-gurunya itu. Dengan berdalihkan pemurnian ajaran Islam, dia terus menyebarkan ajarannya di sekitar wilayah Najed. Orang-orang yang pengetahuan agamanya minim banyak yang terpengaruh. Termasuk diantara pengikutnya adalah penguasa Dar'iyah, Muhammad bin Saud (meninggal tahun 1178 H / 1765 M) pendiri dinasti Saudi, yang dikemudian hari menjadi mertuanya.
Dia mendukung secara penuh dan memanfaatkannya untuk memperluas wilayah kekuasaannya. Ibn Saud sendiri sangat patuh pada perintah Muhammad bin Abdul Wahab. Jika dia menyuruh untuk membunuh atau merampas harta seseorang dia segera melaksanakannya dengan keyakinan bahwa kaum muslimin telah kafir dan syirik selama 600 tahun lebih, dan membunuh orang musyrik dijamin surga.

Sejak semula Muhammad bin Abdul Wahab sangat gemar mempelajari sejarah nabi-nabi palsu, seperti Musailamah Al-Kadzdzab, Aswad Al-Ansiy, Tulaihah Al-Asadiy dll. Agaknya dia punya keinginan mengaku nabi, ini tampak sekali ketika ia menyebut para pengikut dari daerahnya dengan julukan Al-Anshar, sedangkan pengikutnya dari luar daerah dijuluki Al-Muhajirin. Kalau seseorang ingin menjadi pengikutnya, dia harus mengucapkan dua syahadat di hadapannya kemudian harus mengakui bahwa sebelum masuk Wahabi dirinya adalah musyrik, begitu pula kedua orang tuanya. Dia juga diharuskan mengakui bahwa para ulama2 besar sebelumnya telah mati kafir. Kalau mau mengakui hal tersebut dia diterima menjadi pengikutnya, kalau tidak dia pun langsung dibunuh.
Muhammad bin Abdul Wahab juga sering merendahkan Nabi SAW dengan dalih pemurnian akidah, dia juga membiarkan para pengikutnya melecehkan Nabi di hadapannya, sampai-sampai seorang pengikutnya berkata: "Tongkatku ini masih lebih baik dari Muhammad, karena tongkat-ku masih bisa digunakan membunuh ular, sedangkan Muhammad telah mati dan tidak tersisa manfaatnya sama sekali."
Muhammad bin Abdul Wahab di hadapan pengikutnya tak ubahnya seperti Nabi di hadapan umatnya.
Pengikutnya semakin banyak dan wilayah kekuasaan semakin luas. Keduanya bekerja sama untuk memberantas tradisi yang dianggapnya keliru dalam masyarakat Arab, seperti tawassul, ziarah kubur, peringatan Maulid dan sebagainya. Tak mengherankan bila para pengikut Muhammad bin Abdul Wahab lantas menyerang makam-makam yang mulia. Bahkan, pada 1802, mereka menyerang Karbala-Irak, tempat dikebumikan jasad cucu Nabi Muhammad SAW, Husein bin Ali bin Abi Thalib. Karena makam tersebut dianggap tempat munkar yang berpotensi syirik kepada Allah. Dua tahun kemudian, mereka menyerang Madinah, menghancurkan kubah yang ada di atas kuburan, menjarah hiasan-hiasan yang ada di Hujrah Nabi Muhammad.
Keberhasilan menaklukkan Madinah berlanjut. Mereka masuk ke Mekkah pada 1806, dan merusak kiswah, kain penutup Ka'bah yang terbuat dari sutra. Kemudian merobohkan puluhan kubah di Ma'la, termasuk kubah tempat kelahiran Nabi SAW, tempat kelahiran Sayyidina Abu Bakar dan Sayyidina Ali, juga kubah Sayyidatuna Khadijah, masjid Abdullah bin Abbas. Mereka terus menghancurkan masjid-masjid dan tempat-tempat kaum solihin sambil bersorak-sorai, menyanyi dan diiringi tabuhan kendang. Mereka juga mencaci-maki ahli kubur bahkan sebagian mereka kencing di kubur kaum solihin tersebut.
Gerakan kaum Wahabi ini membuat Sultan Mahmud II, penguasa Kerajaan Usmani, Istanbul-Turki, murka. Dikirimlah prajuritnya yang bermarkas di Mesir, di bawah pimpinan Muhammad Ali, untuk melumpuhkannya. Pada 1813, Madinah dan Mekkah bisa direbut kembali.
Gerakan Wahabi surut. Tapi, pada awal abad ke-20, Abdul Aziz bin Sa'ud bangkit kembali mengusung paham Wahabi. Tahun 1924, ia berhasil menduduki Mekkah, lalu ke Madinah dan Jeddah, memanfaatkan kelemahan Turki akibat kekalahannya dalam Perang Dunia I. Sejak itu, hingga kini, paham Wahabi mengendalikan pemerintahan di Arab Saudi. Dewasa ini pengaruh gerakan Wahabi bersifat global.
Riyadh mengeluarkan jutaan dolar AS setiap tahun untuk menyebarkan ideologi Wahabi. Sejak hadirnya Wahabi, dunia Islam tidak pernah tenang penuh dengan pergolakan pemikiran, sebab kelompok ekstrem itu selalu menghalau pemikiran dan pemahaman agama Sunni-Syafi'i yang sudah mapan.

Kekejaman dan kejahilan Wahabi lainnya adalah meruntuhkan kubah-kubah di atas makam sahabat-sahabat Nabi SAW yang berada di Ma'la (Mekkah), di Baqi' dan Uhud (Madinah) semuanya diruntuhkan dan diratakan dengan tanah dengan mengunakan dinamit penghancur.
Demikian juga kubah di atas tanah Nabi SAW dilahirkan, yaitu di Suq al Leil diratakan dengan tanah dengan menggunakan dinamit dan dijadikan tempat parkir onta.

Tambahan Ulama Besar yang dibunuh dengan kejam oleh Wahabi:
Kisah Nyata ; Pembantaian Keluarga Syaikh Nawawi al-Bantani al-Syafi'i (Pembesar Syafi'iyyah) Oleh Kaum Wahhabi
Kisah ini diceritakan oleh keturunan dari keluarga Syaikh Nawawi al-Bantani yang berhasil lolos dari kejaran Wahhabi. Beliau adalah KH. Thabari Syadzily. Berikut adalah sedikit kisah pembantaian tersebut.

KISAH NYATA : Pada zaman dahulu di kota Mekkah keluarga Syeikh Nawawi bin Umar Al-Bantani (pujangga Indonesia) pun tidak luput dari sasaran pembantaian Wahabi. Ketika salah seorang keluarga beliau sedang duduk memangku cucunya, kemudian gerombolan Wahabi datang memasuki rumahnya tanpa diundang dan langsung membunuh dan membantainya hingga tewas. Darahnya mengalir membasahi tubuh cucunya yang masih kecil yang sedang dipangku oleh beliau.Sedangkan keluarganya yang lain di golongan laki-laki dikejar-kejar oleh gerombolan Wahabi untuk dibunuh. Alhamdulillah mereka selamat sampai ke Indonesia dengan cara menyamar sebagai perempuan.

Sumber: http://ashhabur-royi.blogspot.com/2011/07/kisah-nyata-pembantaian-keluarga.html
http://wahabinews.wordpress.com/2012/06/11/kisah-nyata-pembantaian-keluarga-syaikh-nawawi-al-bantani-al-syafii-pembesar-syafiiyyah-oleh-kaum-wahhabi/
http://kabarislam.wordpress.com/2012/12/21/sejarah-wahabi-dan-muhammad-bin-abdul-wahhab/

0 comments to "Filosofi Peringatan Acara Hari Ketiga, Ketujuh, Keempat Puluh dan Haul Kematian serta SEJARAH WAHABI"

Leave a comment