TEHERAN, KOMPAS.com — Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad ditangkap dan ditahan selama tujuh jam pada Senin (29/4/2013) lalu. Ia diperingatkan untuk tutup mulut terkait hal-hal merugikan rezim Islam Iran sebelum kemudian dibebaskan. Demikian kata sejumlah sumber dalam unit intelijen Pengawal Revolusi seperti yang dilaporkan, The Guardian Express, Kamis, yang kemudian dikutip sejumlah media, antara lain oleh Jerusalem Post dan Daily Best .
Ahmadinejad tengah dalam perjalanan pulang dari pameran buku di Teheran ketika penasihat keamanannya diberitahu bahwa ia diminta untuk hadir di kantor Pemimpin Tertinggi Ayatullah, Seyyed Ali Hosseini Khamenei, karena ada hal yang mendesak. Dalam perjalanan ke pertemuan itu, mendadak kontak antar-tim keamanan dalam konvoi Ahmadinejad diputus. Tiga mobil lain kemudian bergabung dalam konvoi tersebut.
Bukannya dibawa ke kantor Pemimpin Tertinggi, Ahmadinejad malah dibawa ke kantor Hossein Taeb, Kepala Intelijen Pengawal Revolusi. Sampai di sana, Ahmadinejad dan rombongannya dilucuti senjatanya, dan peralatan komunikasinya diambil. Demikian kata laporan tersebut.
Pada saat yang sama, kata sumber itu kepada The Guardian, ratusan anggota Pengawal Revolusi lain dari unit intelijen menanyai rekan-rekan Ahmadinejad di seluruh Teheran tentang keberadaan sejumlah dokumen yang merugikan rezim tersebut.
Ahmadinejad diinterogasi selama berjam-jam dalam pertemuan dengan Taeb; Asghar Hejazi, Kepala Intelijen di kantor pemimpin tertinggi; Mojtaba Khamenei, putra pemimpin tertinggi; dan Gholam Hossein Mohseni Ejei, Jaksa Agung. Di situ, dia diperingatkan untuk menarik kembali sejumlah pernyataannya tentang para pejabat rezim itu, dan diberi ultimatum. Demikian seperti yang dilaporkan The Guardian.
The Guardian mengutip media yang dikendalikan rezim itu, Baztab, yang melaporkan bahwa menjelang pendaftaran calon presiden mendatang, Ahmadinejad telah memperingatkan para rekannya. Isi peringatannya, yaitu bahwa jika calon yang dipilihnya untuk menggantikannya dirinya, Esfandiar Rahim Mashaei, ditolak sebagai calon, maka dia akan membeberkan kaset-kaset yang akan menunjukkan bahwa rezim itu telah menipu para pemilih dalam pemilihan presiden tahun 2009.
Kabar penangkapan itu merupakan perkembangan terbaru dalam hubungan yang memburuk antara Ahmadinejad dan pemimpin tertinggi, dan perseteruan dengan lawan-lawan politik yang dikatakan telah melihat adanya pergeseran posisi Ahmadinejad dari seorang konservatif tradisional ke sayap kanan. MailOnline melaporkan, Ahmadinejad juga telah terlibat dalam perebutan kekuasaan yang sedang berlangsung dengan keluarga Larijani, sebuah faksi yang memegang beberapa kursi kunci kekuasaan di negara Timur Tengah itu.
Salah satu sekutu Ahmadinejad, Saeed Mortazavi, kembali ditangkap Februari lalu.
Walau tidak ada alasan resmi yang diberikan untuk penangkapannya, hal itu terjadi menyusul pengungkapan sebuah film rahasia oleh Ahmadinejad di parlemen, di mana Mortazavi tampak membahas kesepakatan bisnis penipuan yang diusulkan Fazel Larijani (49), yang termuda dari lima orang Larijani bersaudara. Meskipun Presiden Ahmadinejad telah lama mengecam keluarga Larijani karena cengkeraman mereka pada kekuasaan, keluarga itu mengatakan bahwa mereka memperoleh peran mereka melalui cara-cara yang sah.
Ali Larijani (54) adalah ketua parlemen dan mantan perunding top bidang nuklir. Sadegh Larijani (52) adalah seorang Ayatullah yang mengepalai pengadilan Iran. Adapun Kakak tertua mereka, Mohammad Javad Larijani (61), adalah seorang matematikawan berpendidikan Berkeley. Ali diperkirakan akan mencalonkan diri sebagai presiden dalam pemilu bulan Juni.
http://internasional.kompas.com/read/2013/05/03/14104287/Presiden.Ahmadinejad.Ditangkap.Pengawal.Revolusi?utm_source
BANTAHAN...KOMPAS ASAL NGUTIP...!!!!!
Ada sebuah tanggapan menarik tentang pemberitaan di Kompas, 03 Mei 2012 (Presiden Ahmadinejad Ditangkap Pengawal Revolusi). Seorang kawan, me-repost informasi
mengenai beberapa kejanggalan berita ini. Menjadi menarik tentu karena
yang menghadirkan berita ini Kompas, yang saya kira punya kredibilitas
sendiri dalam menyajikan beritanya. Fakta mengenai The Guardian Express yang kemudian disimplekan di paragraf berikutnya menjadi The Guardian saja,
keduanya bukan kantor berita yang sama. Yang satu di Amerika Serikat,
yang satunya dari Inggris (yang terkemuka itu), sedang yang di AS media
berita biasa2 saja. Terkait hal ini saja saya pribadi cukup merasa aneh.
Saya yakin teman-teman di Kompas tau betul mengenai dua kantor berita
ini, dan konsekuensi pengutipan dengan ‘penyamaran’ seperti itu. Yah,
mas Egidius Patnistik (editor berita di Kompas ini), merasa akan lebih PD memuat berita ini dengan mencantumkan Guardian saja tanpa express. Tapi
yang mencengangkan, kalau ini betul, bahwa berita yang dikutip dari the
Guardian Express ini ternyata tidak valid informasinya, dan dalam hal
ini catatan saya berarti Kompas tidak melakukan verifikasi atau
klarifikasi pada pihak yang diberitakan. Sekedar mengutip, dan an sich menyajikan
berita ini sebagai fakta lapangan yang benar. Kalau sudah demikian,
apalagi yang bisa diterima dari pemberitaan di Kompas, kalau tidak
semacam berita bohong ya paling sengaja menampilkan berita propaganda,
karena prinsip kehati-hatian ini diabaikan.
berikut ini sanggahan seorang kawannya kawan saya terkait berita di Kompas mengenai penculikan Ahmadinejad:
Sebuah berita yang terdengar aneh soal Iran dirilis Kompas, “Ahmadinejad Ditangkap Pengawal Revolusi”. Sebenarnya sekilas saja, buat yang cukup mengenal kultur politik di Iran, akan segera menangkap berita ini terlalu mengada-ada. Tapi tak apalah, iseng-iseng saya tulis sedikit, sekedar untuk membuktikan bahwa yang disebut ‘penyesatan informasi’ itu memang ada. Semoga saja kita semua bisa semakin kritis membaca berita, untuk isu apapun (bukan cuma soal Iran; ini hanya contoh kasus saja), apalagi kalau isu itu berpotensi memecah-belah kerukunan bangsa Indonesia.
Sebuah berita yang terdengar aneh soal Iran dirilis Kompas, “Ahmadinejad Ditangkap Pengawal Revolusi”. Sebenarnya sekilas saja, buat yang cukup mengenal kultur politik di Iran, akan segera menangkap berita ini terlalu mengada-ada. Tapi tak apalah, iseng-iseng saya tulis sedikit, sekedar untuk membuktikan bahwa yang disebut ‘penyesatan informasi’ itu memang ada. Semoga saja kita semua bisa semakin kritis membaca berita, untuk isu apapun (bukan cuma soal Iran; ini hanya contoh kasus saja), apalagi kalau isu itu berpotensi memecah-belah kerukunan bangsa Indonesia.
Di paragraph pertama, Kompas
menyebut sumbernya ‘The Guardian Express’ yang dikutip pula oleh
Jerusalem Post dan Daily Beast (so, you know deh lah). Perlu diketahui,
ini media berbeda dengan The Guardian yang terkenal (dari Inggris) itu.
Tapi di paragraph selanjutnya, Kompas mengaburkannya dengan menyebut
‘The Guardian’ saat mengutip informasi. Bahkan di akhir tulisan
memberikan link ke The Guardian yang di Inggris. Dengan menyebut The
Guardian, bobot berita memang terkesan lebih credible, karena pamor The
Guardian memang beda dengan The Guardian Express dari AS itu.
Berikut ini beberapa poin berita dari Kompas dan kesalahannya (kalimat dalam […] dari Kompas):
[Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad
ditangkap dan ditahan selama tujuh jam pada Senin (29/4/2013) lalu].
Faktanya: Senin 29 April 2013, Ahmadinejad berada di Tabriz , sekitar
800 km dari Tehran. [Ahmadinejad tengah dalam perjalanan pulang dari
pameran buku di Teheran] Faktanya: pameran buku di Tehran baru dibuka
hari Rabu 1 Mei 2013, hari Senin 29 April 2013 belum ada pameran buku.
[ Ahmadinejad diinterogasi selama
berjam-jam dalam pertemuan dengan Taeb; Asghar Hejazi, Kepala Intelijen
di kantor pemimpin tertinggi]
Fakta: Hossein Taeb bukan Kepala Intelijen Pengawal Revolusi. Yang dimaksud ‘Pengawal Revolusi’ adalah Sepah-e Pasdaran, dan tidak ada ‘lembaga intelijen’ dalam Sepah-e Pasdaran, sehingga tidak ada yang disebut ‘Kantor Intelijen Pengawal Revolusi’. Nama Asghar Hejazi, Kepala Intelijen di kantor pemimpin tertinggi; juga fiktif karena kantor pemimpin tertinggi (yang dimaksud tentunya kantor Leader/Rahbar Iran, yaitu Ayatullah Khamenei) tidak ada struktur kepala intelijennya.
Fakta: Hossein Taeb bukan Kepala Intelijen Pengawal Revolusi. Yang dimaksud ‘Pengawal Revolusi’ adalah Sepah-e Pasdaran, dan tidak ada ‘lembaga intelijen’ dalam Sepah-e Pasdaran, sehingga tidak ada yang disebut ‘Kantor Intelijen Pengawal Revolusi’. Nama Asghar Hejazi, Kepala Intelijen di kantor pemimpin tertinggi; juga fiktif karena kantor pemimpin tertinggi (yang dimaksud tentunya kantor Leader/Rahbar Iran, yaitu Ayatullah Khamenei) tidak ada struktur kepala intelijennya.
[Ahmadinejad juga telah terlibat
dalam perebutan kekuasaan yang sedang berlangsung dengan keluarga
Larijani] Faktanya: Memang ada bersaudara Larijani yang jadi tokoh
terkenal di Iran, yaitu Dr. Ali Larijani ketua Parlemen, Ayatullah Sadeg
Larijani, ulama yang menjabat Ketua Mahkamah Agung, dan Dr. Javad
Larijani yang dikenal sebagai pakar matematika. Tapi mereka tidak
membentuk klan, dinasti, apalagi ‘faksi’ seperti disebut Kompas: ‘sebuah
faksi yang memegang beberapa kursi kunci kekuasaan di negara Timur
Tengah itu.’ Terlalu mengada-ada. Dalam pilpres 2013, Larijani juga
tidak ikut nyapres.
Dan, yah ada beberapa hal lain yang
dipelintir, tapi terlalu detil kalau saya jelaskan dan ga penting
banget buat kita. Intinya, ini bisa masuk kategori hoax. Dan pemberitaan
model begini sudah sangat sering menimpa Iran.
Oiya, sumber saya dari mana? Dari temen saya orang Iran. Terserah saja, percaya atau tidak :)
By: Dina Y. Sulaeman
By: Dina Y. Sulaeman
Foto: Ahmadinejad dan Sepah-e Pasdaran (Pasukan Pengawal Revolusi)
http://media.kompasiana.com/mainstream-media/2013/05/04/presiden-ahmadinejad-ditangkap-pengawal-revolusi-557245.html
Terbitan B.Post Edisi Sabtu, 11 Mei 2013 :
Menyongsong Pemilu Presiden Iran (Bagian-1)
Menteri Dalam Negeri Iran Mostafa Mohammad-Najjar mengatakan, pemilihan presiden Republik Islam Iran kesebelas akan digelar pada tanggal 14 Juni 2013. Sementara pendaftaran para kandidat presiden akan dilakukan mulai tanggal 7-11 Mei 2013. Dia menambahkan, pilpres kali ini akan diselenggarakan bersamaan dengan pemilu dewan kota. Presiden Iran dipilih untuk jangka waktu empat tahun dalam pemilu nasional. Kualifikasi para capres akan diputuskan oleh Dewan Garda Konstitusi Revolusi Islam Iran. Presiden Mahmoud Ahmadinejad dipastikan tidak akan kembali bertarung dalam pilpres mengingat konstitusi Iran menyebutkan, presiden hanya bisa menjabat selama dua periode berturut-turut.
Setiap pemilu bagi bangsa Iran merupakan sebuah lembaran emas baru di panggung demokrasi. Pemilu merupakan salah satu dari pilar penting terbentuknya sistem pemerintahan dalam konsep demokrasi. Dalam sistem Republik Islam, masyarakat diberikan ruang selebar-lebarnya untuk berpartisipasi langsung dan tidak langsung dalam membentuk instansi-instansi pengambil keputusan. Rakyat Iran bisa terlibat aktif dan luas dalam sistem demokrasi religius ini. Ajang pemilu, terutama pilpres merupakan salah satu pentas yang mengundang antusias luar biasa dan partisipasi luas rakyat Iran untuk menentukan haluan negara.
Lalu, apa saja keistimewaan pemilu tersebut dan bagaimana kedudukan seorang presiden dalam sistem politik Republik Islam Iran? Pemilihan presiden di Iran merupakan sebuah proses yang sesuai dengan prinsip-prinsip yang diakui dan memiliki implikasi dan fungsi resmi hukum dan politik. Dalam sistem presidensial, di mana pemerintahan didasarkan pada hubungan antara legislatif dan eksekutif, maka legalitas presiden diperoleh dari suara rakyat. Pada dasarnya, hal yang menentukan dan bersifat prinsipil dalam pemilihan presiden adalah suara rakyat.
Dalam setiap masyarakat politik yang mengadopsi dan menjalankan sistem pemilu, para pemilih akan memilih figur yang mereka nilai berkualitas dan berkompeten untuk menduduki jabatan presiden di antara para kandidat yang mendaftar. Untuk itu dalam sistem presidensial, kepala negara atau pemerintahan juga berfungsi sebagai pemimpin kabinet yang memiliki wewenang eksekutif untuk menjalankan roda pemerintahan. Dalam sistem tersebut ada pemisahan kekuasaan, eksekutif dan legislatif memiliki tugas dan fungsi masing-masing. Presiden terpilih memimpin pemerintahan dan mengangkat anggota kabinet untuk menjalankan fungsi pemerintahan. Dan juga tidak ada posisi tumpang tindih antara badan eksekutif dan badan legislatif.
Dalam konstitusi Republik Islam Iran, sejalan dengan sistem presidensial, parlemen memiliki posisi yang kuat dan wewenang yang luas. Sebagai contoh, parlemen memiliki fungsi pengawasan terhadap kinerja pemerintah, tapi pemerintah bukan produk parlemen. Oleh sebab itu, pemerintah mungkin saja menunjukkan perlawanan dalam melaksanakan beberapa produk hukum yang diratifikasi parlemen. Namun dalam sistem parlementer, parlemen memiliki peranan penting dalam pemerintahan. Dalam hal ini parlemen memiliki wewenang dalam mengangkat perdana menteri dan parlemen pun dapat menjatuhkan pemerintahan, yaitu dengan cara mengeluarkan semacam mosi tidak percaya. Dalam presidensial, presiden berwenang terhadap jalannya pemerintahan, namun dalam sistem parlementer presiden hanya menjadi simbol kepala negara saja.
Secara umum dalam sistem presidensial, pemimpin eksekutif dan pemerintahan memiliki wewenang yang luas sesuai dengan konstitusi Republik Islam. Oleh karena itu, pemilihan presiden memainkan peran mendasar dalam menentukan garis-garis besar sistem pemerintahan Republik Islam. Dalam konstitusi Iran dan dengan memperhatikan sensitivitas ini, partisipasi langsung rakyat untuk memilih pejabat tertinggi negara telah terbuka lebar dan seluas-luasnya. Akan tetapi, ada banyak jalan untuk mengenal perbedaan dalam sistem-sistem pemerintahan dan salah satunya adalah dengan cara menjabarkan kelebihan dan kelemahan masing-masing serta studi komparasi.
Sejumlah parameter tentu saja dapat dipakai untuk mengenal sistem-sistem pemerintahan. Namun, metode utama untuk mengenal setiap sistem itu adalah mengkaji faktor-faktor seperti bentuk pemerintahan dan sumber legalitasnya, mekanisme pembagian kekuasaan, peran partai-partai dalam sistem politik, dan juga peran agama dalam sistem tersebut. Pada dasarnya, semua sistem pemerintahan di dunia memiliki kesesuaian dengan pandangan, ideologi politik, sosial, budaya, dan agama yang telah disebutkan tadi. Perbedaan di antara sistem-sistem pemerintahan secara umum juga terletak pada perbedaan faktor-faktor tersebut.
Sistem politik dengan memperhatikan masalah pemerintahan dan kekuasaan politik diklasifikasikan ke dalam dua kriteria yaitu, sumber kekuasaan dan porsi kekuasaan. Dalam hal sumber kekuasaan dan legalitasnya, ada sejumlah teori populer yang ditawarkan termasuk teokrasi, di mana prinsip-prinsip ketuhanan memegang peran utama, dan demokrasi di mana kekuasaan pemerintahannya berasal dari rakyat, atau gabungan dari dua sistem tersebut yaitu demokrasi religius.
Para pendukung teori pertama menilai kekuasaan tertinggi berasal dari Tuhan dan kemudian ditransfer ke tingkat yang lebih rendah, sementara pengikut teori kedua memandang kekuasaan pemerintah berasal dari rakyat, baik secara langsung (demokrasi langsung) atau melalui perwakilan (demokrasi perwakilan). Di masa lalu, sistem pemerintahan teokrasi mendapat dukungan luas dari masyarakat, akan tetapi kekuasaan otoriter gereja pada abad pertengahan telah membuat masyarakat Barat berpaling dari sistem itu. Sebenarnya, demokrasi merupakan respon alamiah terhadap kekuasaan absolut satu pihak melalui tirani, kediktatoran, dan pemerintahan otoriter lainnya.
Sistem pemerintahan yang berlaku saat ini umumnya mengadopsi sistem demokrasi. Namun demikian, masih ada sejumlah negara yang mengadopsi sistem-sistem lain seperti oligarki, di mana bentuk pemerintahannya secara efektif dipegang oleh kelompok elit kecil dari masyarakat, baik dibedakan menurut kekayaan, keluarga, atau militer. Monarki atau sejenis pemerintahan yang dipimpin oleh seorang penguasa monarki. Sistem pemerintahan kerajaan ini merupakan sistem tertua di dunia. Monarki mutlak atau monarki absolut, di mana seorang raja mempunyai kuasa penuh untuk memerintah negaranya. Dan monarki konstitusional atau sistem konstitusional yang mengakui Raja, Ratu, atau Kaisar sebagai kepala negara. Monarki konstitusional modern biasanya menggunakan konsep trias politica, atau politik tiga serangkai. Ini berarti raja hanya sebagai pemimpin simbolis cabang eksekutif.
Dalam sistem republik, partisipasi masyarakat melalui pemilu merupakan bentuk yang paling jelas dari kekuasaan rakyat dan demokrasi. Kriteria-kriteria sistem republik antara lain, partisipasi rakyat dalam semua urusan, persaingan partai dan kelompok politik, pembatasan kekuasaan, dan tanggung jawab para pemangku kekuasaan. Sistem ini pertama kali muncul sebagai reaksi praktis terhadap penindasan sistem kerajaan (monarki). Sebab, raja memiliki kedaulatan dan kekuasaan sehingga ia memerintah dan bertindak atas negeri dan penduduk sesuai dengan kehendaknya. Lalu datanglah sistem republik, kemudian kedaulatan dan kekuasaan dipindahkan kepada rakyat dalam apa yang disebut dengan demokrasi.
Para pakar hukum dan politik menganggap sistem republik sebagai bentuk pemerintahan terbaik. Meski demikian, pemerintahan republik tidak selalu dikenal sebagai konsep demokrasi. Terdapat kasus di mana negara republik diperintah secara totaliter dan warga dari ras tertentu dilarang untuk mengikuti pemilu. Tentu saja terdapat juga negara republik yang melakukan perwakilan secara demokrasi. Konsep republik telah digunakan sejak berabad lamanya dengan republik yang paling terkenal yaitu Republik Roma. Di dalam republik tersebut, prinsip-prinsip seperti anualiti (memegang pemerintah selama satu tahun saja) dan "collegiality" (dua orang memegang jabatan kepala negara) telah dipraktekkan.
Sistem lain yang diadopsi oleh beberapa negara berpenduduk mayoritas Muslim adalah Republik Islam. Beberapa negara dalam Dunia Islam, yaitu Iran, Pakistan, Afghanistan, Sudan, dan Mauritania menerapkan sistem tersebut. Pakistan menggunakan sistem itu sejak berlakunya konstitusi tahun 1956. Mauritania menggunakannya sejak 28 November 1958, sedangkan Iran menggunakannya sejak Revolusi Islam tahun 1979 yang menumbangkan dinasti Pahlevi. Afghanistan adalah yang paling akhir menggunakannya, yaitu sejak tahun 2001 setelah tumbangnya rezim Taliban. Meskipun terdapat kesamaan nama, namun ada perbedaan besar di antara negara-negara tersebut dalam hal penerapannya pada pemerintahan dan hukum yang berlaku. (IRIB Indonesia)
Menyongsong Pemilu Presiden Iran (Bagian-2)
Prestasi terbesar Revolusi Islam di Iran adalah lahirnya sistem pemerintahan Islam yang menggabungkan antara kekuasaan rakyat dengan prinsip-prinsip ketuhanan. Revolusi Islam Iran merupakan sumber transformasi besar di dalam dan di luar Iran. Perkembangan itu dapat ditemukan di berbagai dimensi sosial, ekonomi, dan budaya, namun pencapaian gemilang revolusi tersebut adalah di kancah politik. Sebab, tidak hanya berhasil menumbangkan sebuah sistem despotik dan tirani, tapi juga mampu membangun sebuah sistem pemerintahan baru untuk pertama kali di dunia. Sistem baru ini selain menjalankan sistem demokrasi yang menjamin hak-hak warga dalam menentukan arah negara, juga tidak melangkahi prinsip-prinsip agama.
Mengingat peran dominan agama dan budaya dalam kemenangan Revolusi Islam – langsung setelah tumbangnya rezim despotik Pahlevi – untuk pertama kalinya di Iran, sistem politik yang berlandaskan pada nilai-nilai agama mulai lahir, di mana kriteria utamanya adalah penggabungan antara prinsip ketuhanan dan kekuasaan rakyat. Keistimewaan ini tampak jelas tertuang dalam konstitusi Republik Islam Iran. Sesuai dengan konstitusi tersebut, prinsip ketuhanan dari satu sisi mendapat legalitas dan nilai-nilai agama dan tradisional khususnya Wilayatul Faqih sudah teraktualisasi. Sementara dari sisi lain, konstitusi juga menekankan nilai-nilai demokrasi yang tampak dalam sistem pemilu presiden dan parlemen, sistem dewan-dewan kota, dan kebebasan sipil dan politik.
Konstitusi pada dasarnya untuk menjelaskan cita-cita sebuah bangsa dan pelaksanaannya juga merupakan sebuah kehendak bersama. Tanggung jawab menjalankan konstitusi pada pasal 113 Undang-undang Dasar Republik Islam Iran (UUD RII) berada di pundak presiden. Tugas utama presiden Republik Islam Iran adalah sebagai pimpinan kabinet kementerian dan menangani urusan eksekutif negara. Berdasarkan pasal 133 UUD RII, presiden memilih menteri dan memperkenalkannya kepada parlemen untuk mendapatkan mosi percaya. Setelah usulan calon menteri disetujui parlemen, kabinet pun memulai kerjanya di bawah pimpinan presiden. Lantaran dipilih oleh presiden dan dikukuhkan oleh parlemen, maka para menteri pun mesti mempertanggungjawabkan tugasnya pada presiden dan parlemen.
Berdasarkan pasal 113 UUD RII, presiden merupakan posisi tertinggi di Republik Islam Iran setelah pemimpin besar Revolusi atau Rahbar. Kecuali di beberapa bidang khusus yang berada di bawah otoritas Rahbar, presiden juga merupakan pimpinan lembaga eksekutif negara. Namun, tanggung jawab untuk mengatur hubungan antara tiga kekuasaan telah dihapus dari pasal tersebut dan diserahkan kewenangannya kepada Rahbar sebagaimana termaktub dalam pasal 110 UUD RII.
Sistem pemerintahan Republik Islam Iran memiliki dua dimensi yang saling terkait, yaitu dimensi keislaman dan dimensi kerakyatan. UUD RII menyatukan dua konsep pemerintahan secara berdampingan. Meski demikian, hubungan kedua konsep itu dalam konstitusi bersifat vertikal dan bukan horizontal. Secara konstitusional, Iran adalah negara yang berbentuk Republik Islam. Republik mengindikasikan sistem pemerintahan, sedangkan Islam menjelaskan muatan sistem tersebut. Artinya, sebagai republik, Iran berarti memakai sistem demokrasi di mana warga negara memiliki hak untuk memilih pemimpinnya sejalan dengan konstitusi. Dan dengan Islam, pemerintah mesti ditegakkan atas dasar ajaran-ajaran dan prinsip-prinsip agama serta digerakkan pada poros yang Islami pula. Berdasarkan hal itu, Republik Islam adalah sistem pemerintahan yang seluruh warga negaranya mempunyai hak untuk memilih kepala negara mereka untuk masa jabatan tertentu, dan ajaran-ajaran serta prinsip-prinsip Islam menjadi inti dan dasarnya.
Sistem pemerintahan Iran adalah Republik Islam yang telah disetujui oleh rakyat Iran, berdasarkan keyakinan tradisional mereka dalam kaidah Tuhan dan keadilan al-Quran serta mengikuti kemenangan revolusi di bawah pimpinan Imam Khomeini ra. Pada dasarnya, sistem ini dibangun atas landasan keyakinan kepada Tuhan, al-Quran, hari kiamat, imamah (kepemimpinan), kemuliaan dan nilai manusia, serta kebebasan yang bertanggung jawab di hadapan Tuhan. Dalam UUD RII pasal 56 disebutkan, "Kekuasaan mutlak atas dunia dan manusia adalah milik Tuhan dan Dialah yang menjadikan manusia menguasai nasib sosialnya. Tak ada siapapun yang bisa menafikan hak ilahi itu dari diri manusia ataupun memanfaatkannya untuk kepentingan pribadi atau golongan tertentu."
Pemilihan presiden merupakan manifestasi partisipasi rakyat dalam menentukan nasibnya di Republik Islam Iran. Mengingat begitu pentingnya posisi presiden, maka konstitusi pun menggariskan syarat-syarat khusus bagi para kandidat presiden. Persyaratan itu dapat ditemui pada pasal 115 UUD RII yang berbunyi, "Presiden adalah seorang yang mesti agamis, politisi, asli Iran, berkewarganegaraan Iran, pemimpin yang bijak dan cakap, memiliki latar belakang yang baik, amanah, bertakwa, mukmin, meyakini prinsip Republik Islam Iran dan agama resmi negara."
Kelayakan calon presiden akan diseleksi dan ditetapkan oleh Dewan Konstitusi Republik Islam Iran. Presiden akan dipilih setiap empat tahun sekali dan hanya bisa memegang jabatan itu selama dua periode berturut-turut. Pasal 114 UUD RII menyebutkan, "Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat untuk masa jabatan empat tahun. Dia secara berturut-turut diperbolehkan mengikuti pemilihan kembali sekali lagi." Presiden tidak hanya memiliki tugas dan wewenang yang berat dan luas, tapi juga mesti bertanggung jawab atas apa yang telah dijalankannya. Pasal 122 UUD RII memaparkan, "Presiden harus bertanggung jawab kepada bangsa, Rahbar, dan parlemen Islam sesuai dengan wewenang dan tugas yang telah ditetapkan oleh konstitusi dan aturan hukum lainnya."
Berkenaan dengan hak-hak rakyat, pasal 3 UUD RII menekankan berbagai bentuk kebebasan dengan catatan tidak melanggar prinsip-prinsip independensi dan kebebasan, persatuan nasional, syariat Islam, dan dasar-dasar negara. Dalam sistem pemerintahan baru ini, para pejabat negara harus menjalankan tugas-tugasnya sesuai dengan ajaran Islam dan juga memperhatikan pandangan dan tuntutan rakyat. Meskipun presiden sebagai hasil dari pilihan rakyat, namun jika ia melakukan tindakan yang menyalahi konstitusi dan bersikap otoriter sehingga mengancam kepentingan negara, ia bisa saja diberhentikan oleh parlemen.
Menurut konstitusi Republik Islam Iran, presiden atau wakil hukumnya memiliki kewenangan untuk menandatangani perjanjian, protokol, kontrak, dan perjanjian antara pemerintah Iran dan pemerintah lain, serta perjanjian yang berkaitan dengan organisasi internasional, setelah mendapat persetujuan dari Parlemen Republik Islam. Presiden bisa memiliki wakil untuk melaksanakan tugas konstitusionalnya. Dengan persetujuan dari presiden, wakil pertama presiden harus diberikan tanggung jawab mengelola urusan Dewan Menteri dan koordinasi fungsi deputi lainnya. Selain itu, para duta besar akan diangkat atas rekomendasi dari menteri luar negeri dan persetujuan dari presiden. Presiden menandatangani mandat dari duta besar dan menerima mandat yang disajikan oleh para duta besar, dari negara-negara asing.
Berkenaan dengan pelaksanaan konvensi-konvensi internasional, presiden Iran bertanggung jawab atas pelaksanaan semua kesepakatan internasional yang sudah ditandatangani. Dalam rangka menjaga kepentingan nasional dan melestarikan Revolusi Islam, integritas teritorial dan kedaulatan nasional, Dewan Tinggi Keamanan Nasional harus dibentuk di bawah pimpinan presiden untuk memenuhi tanggung jawab sebagai berikut; menjamin pertahanan dan kebijakan keamanan nasional dalam kerangka kebijakan umum yang ditetapkan oleh Rahbar, mengkoordinasikan kegiatan di daerah yang berkaitan dengan politik, intelektual, bidang sosial, budaya dan ekonomi yang berhubungan dengan kebijakan pertahanan dan keamanan, dan mengeksploitasi sumber daya materialistis dan intelektual negara untuk menghadapi ancaman internal dan eksternal.
Dewan Tinggi Keamanan Nasional akan membentuk sub-dewan seperti, Sub-dewan Pertahanan dan Sub-dewan Keamanan Nasional. Setiap Sub-dewan akan dipimpin oleh presiden atau anggota Dewan Tinggi Keamanan Nasional yang ditunjuk oleh presiden. Ruang lingkup wewenang dan tanggung jawab Sub-dewan akan ditentukan oleh hukum dan struktur organisasi mereka akan disetujui oleh Dewan Tinggi untuk Pertahanan Nasional. Keputusan Dewan Tinggi Keamanan Nasional akan menjadi efektif setelah mendapat konfirmasi dari Rahbar. Semua tugas dan wewenang tersebut tentu saja membutuhkan dukungan penuh masyarakat dan kerjasama semua lembaga tinggi negara. (IRIB Indonesia)
Menyongsong Pemilu Presiden Iran: Bagian-3
Pemilu presiden Iran pasca kemenangan Revolusi Islam digelar pertama kali pada tanggal 5 Bahman 1358 Hs, yang bertepatan dengan bulan Februari 1980. Batu ujian pertama ini dimulai dengan terpilihnya Abol Hassan Bani Sadr dengan tingkat partisipasi rakyat sebesar 67,4 persen. Ketika itu, Mohammad Ali Rajaei diangkat sebagai perdana menteri yang diusulkan presiden dan disetujui parlemen.Tapi sebulan kemudian, Pada 31 Shahrivar 1959 Hs (September 1980), meletus perang pertahanan suci yang dipaksakan rezim Saddam Irak terhadap Iran selama delapan tahun.
Setahun berikutnya, di tengah meningkatnya perang dan eskalasi agresi militer yang dilancarkan rezim Baath Irak terhadap Iran, Bani Sadr sebagai presiden yang merangkap sebagai panglima angkatan bersenjata berkhianat terhadap rakyat dan Revolusi Islam. Pada 20 Khordad 1360 Hs (Juni 1981), Bani Sadr dicopot dari posisinya sebagai panglima angkatan bersenjata. Tidak lama setelah itu, parlemen Iran mengeluarkan mosi tidak percaya terhadap presiden. Pada Tir 1360 Hs (Juli 1981), Bani Sadr diberhentikan secara tidak hormat dari jabatannya sebagai presiden.
Sebulan kemudian, pada Agustus 1981 (Mordad 1360 Hs) Iran menggelar pemilu presiden yang kedua kalinya. Pada pemilu tersebut, Mohammad Ali Rajaei yang menjabat sebagai perdana menteri terpilih menjadi presiden. Sedangkan perdana menteri ketika itu dijabat oleh Mohammad Javad Bahonar.
Bersamaan dengan itu, kelompok teroris dalam negeri, MKO (Mujahidin Halq Organization) melancarkan makar dengan menebar aksi teror. Gelombang aksi teror yang dilakukan MKO mencapai puncaknya pasca lengsernya Bani Sadr yang disusul dengan tertangkapnya anggota milisi teroris itu. MKO sendiri dibentuk pasca kemenangan Revolusi Islam oleh Bani Sadr. MKO memulai aksi teror sejak Juni 1981 (30 Khordad 1360). Salah satu aksi mereka paling berbahaya dilakukan pada Juni 1981 (6 Tir 1360) di Masjid Abu Dzar Tehran ketika Ayatullah Khamenei sedang berpidato yang menyebabkan beliau terluka parah.
Sehari kemudian, MKO juga melancarkan aksi teror terhadap kantor Partai Republik Islam yang menyebabkan syahidnya 72 orang tokoh sekaligus pengikut terbaik Imam Khomeini. Salah satu dari deretan orang yang syahid dalam peristiwa itu adalah Dr. Behesti, Ketua Mahkamah Agung Iran ketika itu. Selain beliau sejumlah anggota parlemen, pejabat mahkamah agung, pemikir dan penulis terkemuka juga syahid dalam ledakan bom berkekuatan besar yang dilancarkan MKO. Tragedi besar lainnya terjadi pada Agustus 1981 (Shahrivar 1360) yang menyebabkan syahidnya Mohammad Ali Rajaie dan Mohammad Bahonar dalam ledakan bom yang juga dilakukan oleh antek-antek MKO di kantor perdana menteri Iran.
Untuk ketiga kalinya pemilu presiden Iran kembali digelar pada Oktober 1981 (10 Mehr 1360). Kali ini Ayatullah Khamenei terpilih sebagai presiden Iran dengan dukungan suara sebesar 15 juta dari total 16,847 juta suara. Ayatullah Khamenei terpilih sebagai presiden Iran dengan partisipasi rakyat mencapai 74,2 persen. Berikutnya, periode keempat pemilu presiden Iran yang berlangsung Oktober 1985 berlangsung di era perang pertahanan suci kembali memilih Ayatullah Khamenei sebagai presiden dengan dukungan suara rakyat yang tinggi pula.
Pemilu presiden Iran periode kelima berlangsung di saat Iran sedang mengalami masa transisi pasca kemenangan Revolusi Islam. Pada pilpres yang berlangsung Agustus 1989 (6 Mordad 1368 Hs) Ali Akbar Hashemi Rafsanjani terpilih sebagai presiden. Peristiwa penting yang terjadi ketika itu pemimpin besar Revolusi Islam Iran Ayatullah Udzma Imam Khomeini meninggal dunia pada 14 Khordad 1368 Hs (Juni 1989) yang diiringi tangisan duka di seluruh penjuru Iran. Setelah kepergian Imam Khomeini, Ayatullah Khamenei terpilih sebagai Pemimpin Besar Revolusi Islam oleh Dewan Pakar Kepemimpinan.
Program pembangunan dan reformasi ekonomi pasca berakhirnya perang pertahanan suci dan dimulainya dialog antara Iran dengan Uni Eropa menjadi karakteristik "Era Pembangunan" di bawah kepemimpinan presiden Rafsanjani.
Pada Juni 1993 (21 Khordad 1372 Hs) digelar pemilu presiden periode keenam yang kembali dimenangi oleh Hashemi Rafsanjani sebagai presiden. Pada periode ini, kemarahan AS kembali memuncak dengan ditandatanganinya undang-undang sanksi investasi besar di Iran yang dikenal dengan "Aturan D'Amato" yang dikeluarkan oleh Bill Clinton, presiden AS ketika itu.
Empat tahun kemudian, kembali digelar pemilu presiden periode ketujuh pada 2 Khordad 1376 Hs (Juni 1997). Kali ini Muhammad Khatami dari kubu Reformis terpilih sebagai presiden. Beberapa bulan kemudian juga digelar pemilu legislatif di tingkat daerah. Pemilu kali ini dibarengi dengan perubahan situasi politik dan sosial Iran. Sekitar setahun pasca pemilu presiden berlangsung pemilu pertama dewan perwakilan rakyat daerah pada Maret 1998 (Isfand 1377 Hs). Pemilu kali ini berlangsung dalam suhu politik baru.
Pada pemilu presiden Iran kedelapan yang berlangsung pada 18 Khordad 1380 Hs (Juni 2001), Khatami dari kubu Reformis kembali puncaki perolehan suara dalam pilpres menyisihkan para pesaingnya. Namun sebaliknya dalam pemilu legislatif kubu Reformis tertinggal perolehan suaranya dari kubu Konservatif.
Dimulainya penangguhan pengayaan uranium secara sukarela yang dilakukan Iran merupakan salah satu keputusan yang diambil kabinet kedelapan. Namun pemerintah akhirnya menegaskan dimulainya kembali pengayaan uranium yang sempat ditangguhkan karena Barat tidak memanfaatkan inisiatif baik Tehran tersebut.
Pemilu presiden kesembilan berlangsung dalam atmosfir baru, terutama persaingan ketat antara kubu Reformis dan Konservatif. Pada pemilu yang digelar Juni 2005 itu, berlangsung persaingan ketat antara kandidat presiden yaitu Mahmoud Ahmadinejad, Hashemi Rafsanjani, Mehdi Karoubi dan Mohammad Qalibaf, yang berlangsung dalam dua babak. Sekitar sebulan pasca pemungutan suara putaran pertama, dua kandidat melaju ke babak kedua yaitu Ahmadinejad dan Rafsanjani. Tapi, akhirnya Ahmadinejad dinyatakan sebagai pemenang di babak kedua mengungguli perolehan suara Hashemi Rafsanjani dengan dukungan suara 63 persen.
Reformasi program ekonomi dalam bentuk penerapan program "Subsidi Terarah" merupakan agenda besar kabinet kesembilan. Di sisi lain meningkatnya tekanan internasional terhadap Iran setelah Badan Energi Atom Internasional (IAEA) menyerahkan berkas nuklir Iran ke Dewan Keamanan PBB pada tahun 2006 yang berbuntut keluarnya resolusi Dewan Keamanan PBB mengenai nuklir Iran.
Dalam situasi politik demikian berlangsung pemilu legislatif ketiga.
Pemilu presiden kesepuluh berlangsung pada Khordad 1388 Hs (Juni 2009) antara empat kandidat utama Mahmoud Ahmadinejad, Mir Hossein, Mohsen Rezaie dan Mehdi Karoubi. Dalam pemilu tersebut Ahmadinejad untuk kedua kalinya terpilih sebagai presiden Iran dengan dukungan dua pertiga suara dari seluruh suara pemilih. Pemilu tersebut sempat diwarnai gejolak berupaya naiknya isu "kecurangan pemilu " yang segera ditangani oleh pihak terkait. Protes yang dilayangkan dalam bentuk yang tidak biasa dimanfaatkan oleh antek-antek asing di dalam negeri untuk menyulut kerusuhan, tapi berhasil diatasi berkat kewaspadaan rakyat dan kesigapan pemerintah. (IRIBIndonesia/PH)
Menyongsong Pemilu Presiden Iran (Bagian-4)
Masalah yang marak dibahas menjelang pelaksanaan pemilu adalah kelayakan para calon dan berbagai kelompok yang masuk di kancah ini. Pemilu presiden di Iran, juga sama seperti pemilu di negara-negara lain, yang memiliki parameter, ketentuan dan undang-undang khusus. Para calon harus sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan. Parameter pemilu presiden dijelaskan dalam Undang-Undang Dasar Iran bersama dengan wewenang dan tugas presiden.
Namun ada parameter lain yang juga sangat penting dan ditentukan berdasarkan imbauan dan perspektif Rahbar, guna memilih calon yang lebih tepat di antara kandidat lain. Begitu pula pandangan para pengamat dan pakar di bidang politik dan ekonomi untuk memberikan pilihan terbaik bagi para pemilih. Poin penting yang membuat parameter yang dikemukakan Rahbar sangat penting adalah karena beliau mengemukakan pendapatnya berasaskan tanggung jawab dan sisi pengawasan terhadap berbagai masalah dari berbagai sisi.
Terkait pemilu, Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran selalu menekankan poin-poin penting mengingat peran urgen dewan eksekutif. Menurut beliau, keberhasilan pelaksanaan tugas presiden sangat bergantung pada kemampuan tinggi dan kesabaran yang besar dari para calon yang ingin memasuki ranah ini. Beliau juga berharap para calon untuk memikul beban tanggung jawab sangat besar dan juga masalah yang akan dihadapinya.
Dengan demikian, kemampuan dan kesabaran yang tinggi sangat diperlukan untuk memikul tanggung jawab sebagai presiden, merupakan persyaratan utama menilai kelayakan para calon pilpres. Yang pasti, presiden tidak dapat memikul semua tanggung jawab sendirian, dan oleh karena itu kemampuannya sebagai pemimpin dan memilih tim kerja yang unggul juga harus diperhatikan.
Salah satu poin penting dalam hal ini adalah bahwa presiden selain mendapat dukungan politik penuh dari kubunya, dia juga harus mampu memanfaatkan kapasitas yang dimiliki negara secara maksimal serta tidak berpikiran sempit hanya memilih orang-orang yang telah lama berkecimpung dalam pemerintahan saja. Dengan kata lain, mengingat lembaga eksekutif merupakan lembaga terbesar dalam sistem politik negara, maka penting sekali agar seluruh pihak yang memiliki kelayakan sesuai ketentuan, untuk berpartisipasi positif di dalamnya. Pendapat dan kemampuan mereka juga harus dimanfaatkan pemerintah.
Rahbar dalam kunjungannya ke Propinsi Khurasan Utara, di hadapan warga setempat menyinggung keawasan, ketelitian dan kesadaran bangsa Iran di kancah pemilu, seraya menekankan bahwa kriteria ini membuat Iran memiliki stabilitas politik yang berkesinambungan yang dampaknya adalah kokohnya pemerintahan Islam. Oleh karena itu, Rahbar berulang kali menekankan agar mewaspadai pihak-pihak yang berniat jahat untuk merusak ketenangan dalam negeri yang merupakan salah satu bukti kekuatan Republik Islam.
Terkait nikmat besar dan sangat bermanfaat di Iran yaitu ketenangan dan stabilitas politik, Rahbar mengatakan, upaya perwujudan instabilitas di berbagai negara dunia merupakan bagian dari politik arogan kaum imperialis, akan tetapi Republik Islam memiliki stabilitas politik dan ketenteraman di dalam negeri berkat kewaspadaan dan kesadaran rakyatnya. Beliau menilai keamanan dan stabilitas yang ada saat ini memberikan kesempatan bagi berkembangnya potensi serta terbukanya pintu partisipasi bangsa Iran di kancah kompetisi perkembangan ilmiah, ekonomi, dan politik di dunia. Dengan bersandarkan pada keamanan dan ketenteraman ini, bangsa Iran juga dapat memamerkan kemampuannya kepada dunia dalam menghadapi ancaman, sanksi dan niat-niat bengis musuh.
Seraya memuji tingkat kewaspadaan tinggi bangsa Iran dalam menghadapi berbagai upaya melemahkan dan menyulut perpecahan, Rahbar mengatakan, "Para pejabat, politisi, para direktur dan para pemilik pengaruh di tribun politik-sosial, harus benar-benar hati-hati karena sedikit saja ucapan atau perilaku yang tidak benar dari mereka mampu menciptakan gejolak di kancah politik. Ayatullah Khamenei menilai upaya dan kerja keras tanpa henti dan multidimensional para pejabat merupakan hak rakyat dan menegaskan, "Masih banyak tugas yang harus dikerjakan oleh para pejabat negara di seluruh penjuru negeri
Sisi lain dalam perspektif Rahbar tentang pemilu adalah terkait hak setiap warga untuk memilih. Dalam pidatonya di kompleks makam suci Imam Ridha as di kota Mashhad, Rahbar menekankan bahwa pemilu merupakan medan partisipasi dan manifestasi independensi bangsa Iran. Beliau menambahkan, "Ketika Anda memilih seorang presiden, berarti Anda sedang menyerahkan inti pelaksanaan negara ke tangan orang-orang pilihan Anda. Ketika Anda memilih anggota parlemen, berarti Anda telah menyerahkan tugas penetapan undang-undang dasar dan pengawasan lembaga eksekutif kepada mereka yang kalian kenal dan pilih. Oleh karena itu Anda yang memilih. Ini berarti kekuatan rakyat yang mengatur negara dan menentukan masa depan bangsa. Ini bukan masalah kecil dan sepele; ini semua sangat penting bagi kita."
Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran menjelaskan, "… partisipasi tersebut ibarat garis pertahanan bagi negara kita. Jika seandainya tidak ada pemilu demokratis, partisipasi rakyat dan animo rakyat untuk terjun ke tengah medan, maka ketahuilah bahwa Revolusi Islam tidak akan bertahan walau untuk setahun dan tidak dapat menghadapi satu serangan politik dan boikot ekonomi yang digulirkan terhadap pemerintah, garis pertahanan utama itu adalah Anda…"
Pada bagian lain khutbahnya, Rahbar lebih lanjut menjelaskan pentingnya hak pilih bagi setiap orang yang telah memenuhi persyaratan dan menegaskan, "Setiap warga Iran bahkan yang tinggal di wilayah paling pelosok pun, memiliki hak pilih yang sama dengan mereka yang tinggal di kota-kota besar dan oleh karena itu setiap orang memiliki hak tersebut. Dengan demikian, akumulasi pendapat mereka akan membentuk sebuah suara besar dan animo kokoh dan tekad baja bangsa ini, dan itu semua adalah tuntutan yang diperlukan demi mendukung kemajuan, pembangunan dan pertahanan negara."
Pada hakikatnya, para pemilih-lah yang menentukan legitimasi politik, hukum dan undang-undang dasar setiap pemerintahan, berdasarkan tingkat partisipasi rakyat untuk menentukan seluruh aspek dalam negara. Oleh karena itu, banyak para pengamat yang berpendapat bahwa mereka yang terpilih sebagai anggota parlemen, dewan ahli, presiden atau para pejabat lainnya, mendapat legitimasi serta kekuatan hukum dan politiknya dari rakyat yakni para pemilih. Rahbar ketika berbicara mengenai partisipasi rakyat dalam pemilu selalu menekankan pentingnya kewaspadaan dan kesadaran.
Menurut Rahbar, pemilu merupakan salah satu dari manifestasi sangat indah dan menarik partisipasi rakyat. Pemilu merupakan sarana paling tepat untuk menunjuk orang yang mampu mewujudkan tujuan dan tuntutan mereka. Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran menegaskan, jika masyarakat memilih calon mereka berdasarkan tujuan dan tuntutan mereka, maka kemungkinan terwujudnya keinginan mereka akan semakin dekat.
Dimensi lain dari pandangan Rahbar dalam pemilu berkaitan dengan dampak pemilu di kancah politik. Beliau berpendapat bahwa saat ini Republik Islam, sangat terhormat di kancah politik dan global serta di sektor pembangunan dan dalam memamerkan kebesaraan bangsa ini—seperti masalah pemilu dan berbagai masalah lain yang di dalamnya terdapat partisipasi masyarakat. Ini semua menjadi bukti kemuliaan dan independensi bangsa Iran. Oleh sebab itu, bangsa Iran dapat menjadi teladan bagi negara lain. Tentunya tidak mengejutkan jika Rahbar menilai partisipasi dalam pemilu merupakan sebuah kewajiban syariat dan tugas politik setiap warga dalam menentukan nasib bangsa.(IRIB Indonesia)
Menyongsong Pemilu Presiden Iran (Bagian-5)
Pemilu presiden Republik Islam Iran ke sebelas akan digelar 14 Juni 2013. Di seri kelima acara kita ini, kami akan mengetengahkan berbagai program yang dikampanyekan para kandidat presiden, khususnya masalah ekonomi dan berbagai kendalanya yang tengah dialami negara ini. Salah satu poin penting di bursa pemilu presiden adalah pribadi presiden dan kubu politik yang mendukungnya serta kemampuan memanfaatkan berbagai kapasitas negara dan pandangan luas terhadap mereka yang terlibat di pemerintahan.
Artinya ketika lembaga eksekutif sebagai bagian terbesar sistem politik sebuah negara maka mereka yang duduk di pemerintahan harus memiliki kelayakan, aktif dan berkepribadian baik serta bersedia memanfaatkan ide dan energinya untuk memajukan negara. Sejatinya, kebanyakan harapan ditujukan pada tim yang berada di balik para kandidat. Rakyat mengharapkan tim tersebut kuat dan kokoh serta memiliki program yang jelas, karena hal ini akan memunculkan seorang presiden yang tangguh, seorang presiden yang akan mampu memikul tanggung jawab berat seorang bapak negara.
Ini merupakan prioritas musuh-musuh Republik Islam Iran. Mereka menfokuskan usahanya di sektor ekonomi untuk merusak negara ini. Mereka pun menyibukkan pejabat Iran pada masalah sensitif di bidang ekonomi. Hal ini mengharuskan para pemimpin mendatang Iran memiliki sebuah program solid serta stabil. Dalam hal ini ada dua isu yang diangkat, pertama, rakyat siap bekerja dan berusaha serta kedua adalah partisipasi luas rakyat di lapangan tergantung pada motif dan keseriusan petinggi negara yang menumbuhkannya di tengah masyarakat.
Oleh karena itu, isu terpanas yang menjadi perhatian serius para kandidat adalah masalah ekonomi dan kehidupan warga serta upaya untuk menggapai pembangunan guna kesejahteraan rakyat. Namun demikian bukannya tidak ada friksi dalam masalah ini. Meski isu ini terkadang terseret ke dalam arus kampanye pemilu presiden, akan muncul kemelut dan pertarungan ideologi jika tidak ada koordinasi jelas dan kesepakatan para ahli.
Refleksi dari kondisi ini dapat disaksikan dalam pasang surut ekonomi dan politik, di mana menurut pandangan tertentu sama halnya dengan tipisnya peran program dan peta jalan para pengamat dan pakar yang dilibatkan oleh para kandidat. Jika kandidat seperti ini yang terpilih, maka sudah pasti masalah tersebut akan menjadi kelemahannya dan ancaman bagi pemerintahan baru. Oleh karena itu, pemilu presiden kesebelas di Iran tidak dapat terlepas dari ketentuan ini.
Dalam hal ini masih terbuka kesempatan untuk mengajukan berbagai pandangan beragam lainnya. Meski maraknya beragam ide dan pandangan yang menentang tanpa ada jaminan untuk tercapainya kesepakatan global di antara elit politik tidak ada manfaatnya, namun demikian dapat dikatakan bahwa refleksi pandangan tersebut dapat membuka jalan tercapainya kemufakatan nasional.
Dengan menyimak berbagai masalah di atas, maka tolok ukur rakyat untuk memilih seorang presiden adalah kemampuan kandidat menghadapi berbagai kendala dan solusi yang ditawarkannya serta manajemen benar kekayaan negara dengan memperhatikan kondisi ekonomi dan politik yang tengah dihadapi rakyat. Sepertinya memprioritaskan kondisi dan kebutuhan masyarakat akan sangat membantu meramaikan bursa dan persaingan pilpres. Dalam hal ini yang sangat urgen adalah program nyata para kandidat untuk menyelesaikan kesulitan yang dihadapi warga.
Oleh karena itu, berbagai kubu politik dalam program kampanyenya harus menunjukkan pembelaannya terhadap warga dan keseriusannya untuk melewati sanksi internasional, mengkoordinasi berbagai aktivitas ekonomi dan menjaga lapangan pekerjaan serta investasi dalam negeri demi menarik kepercayaan rakyat dan mengumpulkan suara sebanyak-banyaknya.
Kondisi ini akan terealisasi ketika berbagai kubu politik menghindari perdebatan dan friksi pemilu yang dipropagandakan oleh pihak-pihak asing. Terlepas dari pemetaan politik dalam wadah konservatif, kubu pro pemerintah atau reformis maka iklim pemilu dapat digelar dalam poros tuntutan tersebut. Lebih jelasnya, di pilpres mendatang jika para kandidat dari setiap kubu atau kandidat independen menunjukkan sikap permusuhan baik dalam perilaku atau pembicaraan maka yang paling menonjol adalah sisi kelemahan.
Di sisi lain, resistensi 34 tahun rakyat Iran menghadapi ancaman universal dan multi musuh yang diarahkan kepada mereka menunjukkan menonjolnya sisi positif dan kemampuan pemerintah terhadap parameter negatif seperti ancaman dan upaya mereka mengubah sanksi menjadi kesempatan untuk meraih kemajuan.
Kelebihan Republik Islam Iran adalah kebersamaan antara rakyat dan pemerintah. Namun tak diragukan lagi dalam masalah ini keadilan merupakan konsep terpenting dalam Islam dan tuntutan utama rakyat. Dalam sistem demokrasi, konsep ini jika dimanfaatkan secara maksimal maka akan berujung pada keadilan politik dan sosial. Jati diri demokrasi tergantung pada asas partisipasi rakyat dalam menentukan nasib mereka dan negara dan rakyat penentu final dalam setiap keputusan.
Dalam koridor ini, solidaritas nasional bagi pembangunan dan kemajuan permanen juga terwujud. Artinya kemajuan di bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya akan terealisasi. Sejatinya solidaritas merupakan kesempatan untuk menggapai hak-hak universal dari pemerintahan imperialis dunia.
Kini Republik Islam Iran berada dalam kondisi sulit akibat tekanan berat dan akibat tidak adanya keadilan di dunia. Oleh karena itu, pemilihan seorang presiden berdasarkan ideologi atau konsistensi terhadap cita-cita serta mempertahankan hak-hak bangsa Iran di berbagai sisi termasuk politik, ekonomi, sosial dan budaya dapat maminkan peran menentukan.
Dalam hal ini, suara rakyat sejatinya tuntutan keadilan dalam konsep keadilan sosial, politik dan ekonomi. Meski konsep ini dalam pandangan sejumlah pengamat cenderung memiliki muatan ekonomi dari pada politik, namun demikian pandangan tersebut tidak mutlak dan masih dibutuhkan pemahaman terhadap konsep keadilan universal serta nilai-nilai sebuah pemerintahan.
Di sisi lain, kalangan buruh dan warga miskin lebih banyak yang menderita akibat ketidakadilan ekonomi dari pada kalangan menengah dan atas masyarakat. Oleh karena itu, ketidakadilan ekonomi merupakan format terbesar ketidakadilan, karena kalangan ini memiliki tingkatan luas di tengah masyarakat. Oleh karena itu, berbagai pembahasan mengenai keadilan sosial memiliki landasan ekonomi dan isu utamanya terkait asas pembagian kekayaan dan penghasilan negara.
Artinya, keadilan sudah dikatakan diterapkan di tengah masyarakat ketika pembagian kekayaan negara dilakukan secara merata dan jurang pendapatan warga dan kelas sosial tidak terlalu lebar. Jelas tidak adanya keserasian antara pendapatan sama halnya dengan ketidakadilan dan pembangunan yang pincang. Rahbar atau Pemimpin Besar Republik Islam Iran, Ayatullah al-Udzma Sayid Ali Khamenei mengatakan, "Kemajuan dalam pandangan Islam berbeda dengan kemajuan dalam retorika peradaban materialis Barat. Mereka hanya memandang satu dimensi saja, mereka hanya mengutamakan sisi material dalam kemajuan."
Oleh karena itu, ketika energi, kreativitas, optimisme dan bahkan kesejahteraan materi bukan dilandaskan semata-mata pada sisi materinya saja, namun diambil dari nilai-nilai relijius dan motor penggeraknya dari keimanan maka kemajuan memiliki dimensi lain. Jelas bahwa stabilitas dan ketenangan serta program terarah merupakan kunci gerak untuk maju. Dan hal ini merupakan harapan besar rakyat terhadap para pejabat Iran khususnya presiden yang memiliki pandangan universal dalam masalah makro negara.
Berlandaskan pada masalah ini maka konsep seperti epik, jihad dan pengorbanan menemukan maknanya di tengah masyarakat serta menjadi kemampuan khusus Republik Islam untuk melanjutkan eksistensinya. Namun demikian metode cepat untuk memanfaatkan peluang besar sejarak yang mayoritasnya bermain dalam bentuk perangkat lunak memerlukan perhatian besar kepada masyarakat melalui partisipasi luas petinggi negara di bidang sosial dan politik. Dalam hal ini, pemilu presiden memiliki peran sangat signifikan.(IRIB Indonesia)
Menyongsong Pemilu Presiden Iran (Bagian-6)
Nuansa pemilu di Iran semakin semarak menjelang pelaksanaannya. Formasi politik dan para partisipasi para kandidat dari berbagai aliran politik. Meski aktivitas yang berkaitan dengan pilpres ke-11 belum dimulai secara resmi, akan tetapi secara bertahap gelombang yang muncul di media dan ranah politik semakin besar yang diramaikan oleh analisa para pakar tentang calon kandidat, serta persaingan politik.
Sejumlah media juga ikut terjun dalam transformasi politik yang ada dan membahas peran politik luar negeri dalam kampanye para kandidat dari kelompok konservatif maupun reformis. Media massa tersebut masing-masing memiliki kecenderungan, tujuan dan selera yang berbeda-beda, dengan menyebutkan berbagai tokoh seperti Menlu Iran Ali Akbar Salehi, Ketua Dewan Penentu Maslahat Negara Akbar Hashemi Rafsanjani dan para politisi lain seperti Nateq Nouri, Saeed Jalili, Pourmohammadi, Haddad Adil, Larijani, Velayati, Mottaki, Qalibaf dan Mohsen Rezaei. Media juga menekankan pentingnya partisipasi pihak-pihak yang kompeten dan para tokoh yang berkemampuan tinggi untuk beraktivitas di kancah ekonomi dan politik.
Masalah penting ini semakin menghangatkan berbagai perkembangan menjelang pilpres dan berbagai prediksi mengalir tentang calon yang memiliki peluang besar memenangi pemilu. Jelas bahwa dalam pemilu presiden Iran, mengingat pentingnya peran presiden di negara ini, harapan masyarakat pun sangat tinggi. Oleh karena itu, para calon yang akan terjun di kancah ini akan mempersiapkan seluruh program, rencana dan acuannya, untuk membantunya terpilih sebagai presiden. Salah satu di antara program tersebut adalah kritisi dan pembahasan kondisi saat ini dan menawarkan solusi khususnya di bidang ekonomi dan politik kepada masyarakat.
Dalam Undang-Undang Dasar Iran disebutkan wewenang luas, tugas dan tanggung jawab presiden. Di sisi lain, bagaimana kita dapat menentukan pilihan yang tepat di antara para kandidat dengan bersandarkan pada kinerja dalam program empat tahun presiden? Dan apakah parameter dalam memilih adalah program politiknya atau program ekonominya yang memiliki dampak langsung dalam menyelesaikan masalah masyarakat?
Menentukan pilihan yang tepat memang bukan hal yang mudah kecuali dengan menganalisa secara terperinci program-program para kandidat dan berbagai laporan dengan memperhatikan seluruh dimensi yang mencakup berbagai prioritas bagi rakyat dan pemerintahan Republik Islam Iran. Meski demikian, para kandindat pada setiap pemilu, biasanya memfokuskan perhatiannya kepada masalah-masalah yang sedang diperhatikan oleh para pakar dan pengamat. Masalah-masalah tersebut merupakan komposisi antara masalah ekonomi dan politik. Pandangaan para kandidat akan menjelaskan prioritas dan perhatian mereka di kancah politik dan ekonomi, yang sedikit banyak membantu para pemilih untuk mengenal lebih dalam calon mereka.
Selain masalah tersebut, masalah lain yang perlu diperhatikan adalah perspektif setiap kandidat dalam kebijakan luar negeri. Setiap pernyataan dan pandangan tentang kebijakan luar negeri dan hubungan dengan negara-negara jiran, akan direaksi meluas oleh media massa asing dan pihak-pihak yang merasa sangat sensitif dalam menyikapi segala bentuk perubahan.
Sensitivitas itu yang pasti akan sangat luas jangkauannya. Karena dilog pemilu antara para kandidat biasanya sampai pada sektor-sektor kritis dan vital. Pengalaman dari berbagai dialog antarkandidat pada pemilu sebelumnya membuktikan bahwa kritisi pandangan bahkan dapat membuat persaingan pemilu sampai pada batas tidak wajar dan lebih mengacu pada debat dan terkadang dimanfaatkan oleh pihak-pihak di dalam maupun luar negeri.
Jelas bahwa kondisi seperti itu akan sangat menguntungkan gerakan media asing karena dengan menggunakan kesempatan yang ada mereka dapat memperlebar jurang perbedaan dan memperkeruh kondisi pemilu. Kritikan yang keluar dari prinsip dan tujuan negara pada hakikatnya yang menjadi faktor utama munculnya perdebatan dan perselisihan antarkandidat. Masalah ini akan menghalangi proses pemilihan kandidat yang lebih baik bagi masyarakat umum. Oleh karena itu, masing-masing kandidat diharapkan memiliki kapasitas untuk menerima kritikan dan menjadikannya sebagai elemen penyempurna. Hal ini juga menjadi indikasi kemampuan dan kesabaran tinggi para kandidat untuk memikul tanggung jawab yang sangat berat sebagai presiden, seperti yang telah dikemukakan oleh Rahbat atau Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran.
Menjelang pelaksanaan pemilu presiden ke-11, Rahbar menekankan, di hari-hari yang tersisa sebelum pemilu dan pada pelaksanaan pemilu, seluruh pejabat negara harus mengerahkan upaya mereka untuk menjaga ketenangan dan menghindari munculnya gejolak politik. Seraya memuji tingkat kewaspadaan tinggi bangsa Iran dalam menghadapi berbagai upaya melemahkan dan menyulut perpecahan, Rahbar mengatakan, "Para pejabat, politisi, para direktur dan para pemilik pengaruh di tribun politik-sosial, harus benar-benar hati-hati karena sedikit saja ucapan atau perilaku yang tidak benar dari mereka mampu menciptakan gejolak di kancah politik. Ayatullah Khamenei menilai upaya dan kerja keras tanpa henti dan multidimensional para pejabat merupakan hak rakyat dan menegaskan, "Masih banyak tugas yang harus dikerjakan oleh para pejabat negara di seluruh penjuru negeri."
Yang pasti, transparansi parameter untuk memilih seorang presiden yang unggul sangat penting untuk menyukseskan programnya baik dari sisi dalam maupun luar negeri di sektor ekonomi dan politik. Di antara dua sektor utama yang menjadi tanggung jawab presiden ini, meski ada pemisahan akan tetapi keduanya saling melengkapi. Oleh karena itu, presiden harus memiliki persyaratan dan kriteria sebagai manajer yang unggul dalam masalah eksekutif di bidang politik dalam dan luar negeri yang dibantu oleh tim kerja yang unggul pula.
Presiden sebagai pemimpin program pemerintah harus mampu menentukan orang-orang yang akan mendukung merealisasikan program-programnya, berdasarkan kemampuan, pengalaman, ilmu dan penguasaan medan di sektor terkait. Sebab itu pula tim presiden yaitu kabinet dituntut mampu merealisasikan janji-janji dan programnya yang dikemukakan kepada para pemilih ketika kampanye. Akan tetapi program tersebut tidak boleh keluar dari prinsip Undang-Undang Dasar Iran yaitu; kemuliaan, hikmah dan maslahat.
Berlanjut tiga prinsip tersebut selama 34 tahun itu dibarengi dengan kesadaran dan kepekaan bangsa Iran dalam pemilu yang pada akhirnya memperkokoh stabilitas politik dan memperdalam akar demokrasi agama dalam pemerintahan Republik Islam Iran. Kemuliaan politik negara tidak diragukan lagi memiliki hubungan yang sangat erat dengan politik luar negeri, serta determinan di kancah politik regional dan global.
Orang yang ditentukan sebagai pejabat diplomasi tertinggi oleh presiden mendatang, sama seperti para menteri dalam kabinet, harus mendapat mosi percaya dari parlemen sebagai penjaga UUD dan koridor tujuan politik luar negeri Republik Islam Iran. Kesuksesan di bidang ini mrefleksikan kekuatan pemerintahan Iran dalam memperjuangkan hak dan tujuannya di kancah internasional, serta proses kemajuan Republik Islam di tribun-tribun internasional.
Tidak perlu diragukan lagi bahwa pemilu kali ini sama seperti pemilu sebelumnya akan menjadi target upaya musuh menciptakan instabilitas dan kekacauan di dalam negeri, serta memprovokasi rakyat untuk tidak berpartisipasi dalam pemilu. Akan tetapi bangsa Iran selalu menunjukkan animo besar mereka untuk berpartisipasi secara kolosal dalam menentukan nasib negara mereka sekaligus menjaga independensi dan kemuliaan negara. Dengan bekal iman yang kokoh serta janji-janji Allah Swt, bangsa Iran akan mampu mengubah segala kesulitan dan masalah yang dihadapi menjadi peluang untuk terus maju.(IRIB Indonesia)
Menyongsong Pemilu Presiden Iran (Bagian-7)
Pemilu merupakan medan pengokohan persatuan dan menjadi sandaran pemerintah di kancah dalam maupun internasional. Terlepas dari istilah kubu kanan dan kiri atau konservatif atau reformis, yang dijadikan pemetakan kelompok-kelompok politik di Iran, namun poros utama pemilu adalah menjaga persatuan dan partisipasi positif seluruh kelompok politik dalam pemilu.
Dalam budaya politik Islam, beberapa prinsip seperti partisipasi, musyawarah dan persatuan menjadi elemen penting dalam pengambilan keputusan dan menjadi faktor pendorong partisipasi dalam setiap individu maupun masyarakat. Secara keseluruhan, pemilu merupakan elemen penting dalam memperkokoh pilar-pilar demokrasi dalam pemerintahan dan pengokohan stabilitas politik dan mengakarnya pemerintahan demokrasi dalam masyarakat. Dengan kata lain, bersandar pada pemilu sebagai parameter penentu nasib politik masyarakat menjadi indikasi kekuatan negara dan menjamin tujuan-tujuan kolektif.
Pasca Revolusi Islam Iran; dengan dibentuknya Republik Islam, hak-hak sipil masyarakat terealisasi dalam partisipasi politik negara pada tingkat tinggi berdasarkan persamaan setiap warga memiliki satu hak pilih dalam pemilu. Proses demokratis ini sekarang telah menjadi sebuah tugas sipil dan taklif syariat dalam masyarakat Iran. Oleh karena itu partisipasi dalam pemilu merupakan bagian dari hak sosial dan sipil setiap warga yang dengan menggunakan haknya, mereka menegaskan bahwa kekuatan ada di tangan rakyat. Pemilu dan partisipasi rakyat menjadi faktor pengokoh pondasi demokrasi dalam masyarakat. Sebab itu pula musuh Republik Islam selalu merasa gusar atas partisipasi luas rakyat Iran dalam pemilu. Mereka senantiasa berusaha melemahkan tingkat partisipasi rakyat Iran.
Namun rakyat Iran selalu mampu mengubah partisipasi dalam pemilu sebagai peluang untuk memperkokoh persatuan nasional, agama, budaya dan etnis di satu sisi, serta kemuliaan politik di medan demokrasi. Seperti yang dikemukakan oleh Rahbar atau Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran Ayatullah Al-Udzma Sayid Ali Khamenei, "Ketika Anda memilih seorang presiden, maka Anda telah menyerahkan pokok tugas eksekutif kepada orang yang menjadi pilihan Anda."
Para pemilih-lah yang memberikan legitimasi politik dan hukum terhadap sebuah pemeritahan. Artinya, legitimasi setiap pemerintahan sangat berkaitan erat dengan tingkat partisipasi rakyat dalam menentukan nasib politik, sosial dan sipil negara mereka. Oleh karena itu, banyak para pengamat yang berpendapat bahwa orang-orang yang terpilih sebagai presiden, anggota parlemen, dewan ahli kepemimpinan, atau dewan-dewan lain, mendapat kekuatan politik dan hukum dari suara rakyat. Pendiri Republik Islam Iran, Ayatullah Khomeini ra. selalu menekankan pentingnya peran rakyat di kancah pemilu dan atas dasar ini pula, beliau menyerahkan penentuan bentuk sistem pemerintahan di Iran dalam sebuah referendum.
Pengandalan suara rakyat, merupakan salah satu medan penting peran rakyat dalam pemerintahan. Namun poin yang penting lainnya adalah bahwa pemilu dan partisipasi rakyat untuk memilih presiden, anggota parlemen atau berbagai pemilu lain, selain merupakan hak rakyat, juga menjadi taklif syariat. Pemilihan presiden khususnya, memiliki peran sangat penting mengingat peran dan tugas penting presiden dalam pemerintah. Di Republik Islam Iran, peran presiden sangat istimewa. Dalam kerangka pemerintahan berundang-undang dasar Iran, presiden memiliki berbagai wewenang termasuk penentuan anggaran negara.
Pemilihan para direktur di berbagai tingkat dalam pemerintah juga menjadi wewenang presiden. Oleh karena itu, pemilihan presiden berarti pemilihan seorang direktur dan manajer yang mampu mengatur kekayaan besar negara dalam bujet dan fasilitas yang ada sebaik-baiknya untuk merealisasikan tuntutan rakyat serta berupaya tanpa henti mengembangkan kemajuan infrastruktur.
Pada hakikatnya, setiap pemilu sangat berkaitan erat dengan isu politik, ekonomi, budaya, hubungan luar negeri dan lain-lain. Meski lembaga-lembaga lain juga masing-masing memiliki tugas di bidang tersebut, akan tetapi masalah dan aktivitas terpentingnya ada di pundak lembaga eksekutif yang nasibnya akan ditentukan dalam pemilu ini.
Pasca kemenangan Revolusi Islam dan tiga dekade perjalanannya, banyak kerja yang telah dilakukan dan infrastruktur yang kokoh telah diciptakan di berbagai sektor. Oleh karena itu, salah satu masalah esensial pada tahap ini adalah pentingnya kelanjutan proses tersebut di masa mendatang. Pemilu memiliki posisi penting di Republik Islam Iran, dan posisi itu dikarenakan suara rakyat dalam menentukan nasib dan masa depan negara. Kehadiran rakyat untuk menggunakan hak pilih mereka di tempat-tempat pemungutan suara juga membuktikan terjaganya hak sipil dan politik di Iran.
Perlu ditegaskan pula bahwa bangsa Iran telah melakukan pengorbanan besar untuk menikmati demokrasi dan independensi ini. Pelaksanaan pemilu yang berkelanjutan di Iran ini juga merupakan bagian dari keberhasilan Republik Islam di kancah politik. Partisipasi maksimum rakyat pada pemilu presiden ke-11 memberikan gambaran jelas tentang demokrasi agama sebagai sumber kekuatan Republik Islam Iran di berbagai dimensi. Karena bangsa Iran menilai penjagaan dan pelestarian hak sosial dan politiknya di kancah pemilu merupakan sebuah tugas sipil dan taklif syariat.
Menurut Rahbar, tujuannya bukan karena Iran adalah sebuah negara yang punya demokrasi, dan rakyat harus berpartisipasi dalam pemilu, melainkan dari pelaksanaan dan partisipasi pemilu adalah bahwa hasil pemilu tersebut akan merefleksikan pemilu tekad dan animo rakyat dalam mengatur negara. Pada kesempatan lain, Rahbar menegaskan, "Pemilu di Iran merupakan manifestasi epik politik."
Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran menekankan bahwa pemilu dan kehadiran masyarakat mengisi kotak-kotak suara merupakan manifestasi animo nasional dan simbol demokrasi islami. Oleh karena itu, perluasan partisipasi rakyat memiliki posisi penting tingkat tertinggi mengingat partisipasi rakyat juga akan mampu mematahkan ancaman musuh. Partisipasi maksimum rakyat dalam pemilu akan membuat musuh dan pihak yang ingin melemahkan kekuatan Republik Islam Iran, putus asa. Pemilu adalah kekuatan, keamanan dan persatuan bangsa.(IRIB Indonesia)
HAM Barat dan Nestapa Muslim Myanmar
Di tengah berlanjutnya diskriminasi dan kekerasan yang berkepanjangan terhadap minoritas Muslim di Myanmar, Uni Eropa (UE) justru sepakat untuk mencabut seluruh sanksi ekonomi, kecuali embargo senjata kepada Myanmar. Pencabutan ini dilakukan ketika berbagai bukti dengan jelas menunjukkan keterlibatan pemerintah dalam pembantaian Muslim Rohingya. Pencabutan ini jelas akan memberikan kesempatan besar bagi perusahaan asal Eropa di Myanmar.
Pencabutan embargo ini juga memungkinkan perusahaan AS berinvestasi melalui lisensi umum. Selama ini Uni Eropa membekukan aset seribu perusahaan dan institusi di Myanmar dan melarang 500 nama untuk masuk ke Eropa. Selain itu Eropa juga melarang adanya bantuan yang berhubungan dengan militer dan menutup investasi di bidang pertambangan, kayu dan logam mulia.
Pada saat yang bersamaan Kelompok HAM yang berbasis di New York menyebutkan pemerintah regional Rakhine melakukan kejahatan kemanusiaan. Pemerintah dan Aparat keamanan juga ikut serta dalam upaya penghilangan Muslim Rohingya tahun lalu. Berdasarkan laporan Human Rights Watch (HRW), Senin (22/4), Pemerintah Provinsi Rakhine secara terencana membantu biksu Buddha dalam pembersihan etnis Muslim Rohingya tahun lalu.
Kelompok HAM yang berbasis di New York ini mengatakan, aparat keamanan Myanmar yang umumnya beragama Buddha juga terlibat dengan melucuti senjata Muslim Rohingya. Padahal, senjata tersebut untuk digunakan untuk melindungi masyarakat etnis Muslim Rohingya. Bahkan aparat juga ikut bergabung dengan masyarakat Buddha ketika membantai anak-anak dan perempuan Rohingya pada bulan Juni dan Oktober 2012. Laporan itu pun menyebutkan pasukan keamanan memang berupaya mencegah etnis Rohingya keluar dari negaranya.
HRW juga mengungkapkan, aparat keamanan pun lebih sering ikut serta dalam menyerang dan membantai muslim Rohingya. Berdasarkan laporan yang berjudul 'All You Can Do Is Pray', pembantaian yang dilakukan bulan Oktober 2012 tersebut dikoordinir oleh Pemerintah Provinsi, Partai Nasional yang berbasis masyarakat Rakhine dan Biksu Buddha. Pembantaian di kota Mrauk-U ini menyebabkan 70 orang Rohingya meninggal termasuk 28 anak-anak. Bahkan berdasarkan laporan tersebut 5 ribu bangunan milik muslim sudah hancur dan menyisakan puing-puing. Tak heran puluhan ribu muslim pun terpaksa mengungsi dari tanahnya sendiri.
Selain itu, Pelapor Khusus HAM PBB di Myanmar, Tomas Ojea Quintana mengatakan, PBB menyerukan keprihatinan atas sikap pemerintah Myanmar yang menganggap Rohingya sebagai imigran ilegal dan tanpa kewarganegaraan. Ditegaskannya, konflik yang terjadi pun bukanlah kesempatan untuk menghapus permanen sebuah komunitas yang tidak diinginkan. Jika negara itu ingin sukses dalam proses transisi demokrasi, maka harus berani mengatasi tantangan hak asasi manusia yang terjadi. Rohingya harus dilindungi sesuai dengan standar hak internasional untuk kaum minoritas. Akses dan layanan yang sama harus diberikan pada Muslim Rohingya.
Sementara itu, Pemimpin Oposisi Myanmar Aung San Suu Kyi justru bersikap bungkam dan tak mengomentari hasil penyelidikan mengenai pelanggaran HAM terhadap minoritas Muslim di negaranya. Perempuan yang dielu-elukan Barat sebagai pejuang HAM itu malah menyatakan bahwa embargo ekonomi tak boleh dihubungkan dengan masalah Muslim Rohingya. Hal itu karena menurut dia berhubungan dengan hukum serta situasi dan kondisi sosial politik di Myanmar.
Dalam pertemuan di Universitas Tokyo, Rabu (17/4) Suu Kyi sama sekali tak menyinggung kekerasan yang dipimpin biksu baru-baru ini di kota Meikhtila yang telah menewaskan 43 orang. Ribuan, umumnya umat Islam, diusir dari rumah mereka dan bisnis mereka pun terpaksa tutup. Kegagalan sang peraih Hadiah Nobel Perdamaian ini untuk meredakan konflik pun merusak citranya sebagai kekuatan moral pemersatu.
Sontak, sejumlah organisasi penggiat hak asasi manusia mengkritik keras Suu Kyi lantaran sikapnya yang pasif menghadapi kebijakan Presiden Thein Sein dalam kasus etnis Rohingya. Anna Roberts, Direktur Eksekutif Burma Campaign, di Inggris menyebut sikap Suu Kyi sangat mengecewakan. "Dia dalam posisi sulit, tapi rakyat dikecewakan karena dia tidak bersuara lebih keras," tuturnya.
Senada dengan itu, Direktur Human Rights Watch untuk Asia, Brad Adams, juga menyesalkan sikap Suu Kyi yang justru bergeming dan tidak mau berbicara soal Rohingya, terutama saat dia berkunjung ke London, Dublin, Paris, dan Oslo. Pada statemen pertamanya di Parlemen tahun lalu, Suu Kyi memang menegaskan urgensi melindungi hak asasi kelompok minoritas yang lebih mengacu kepada kelompok penganut Buddha di Karen dan Shan, bukan etnis Rohingya.
Tampaknya, penderitaan etnis Rohingya memiliki catatan yang panjang, setidaknya sejak tahun 1978. Yaitu, ketika ada 300 ribu jiwa etnis Rohingya yang dipaksa mengungsi dari negerinya ke Bangladesh dan terlunta bertahun-tahun. Sejak 1991-1992, terjadi eksodus gelombang berikutnya. Tak hanya ke Bangladesh, gelombang eksodus juga terjadi ke negara ASEAN lainnya. Namun, seringkali mereka tidak diterima oleh negara tujuan dan menjadi manusia perahu. Puluhan ribu dari mereka tewas dan banyak lagi mengungsi akibat kekejaman yang dipertontonkan oleh umat Budha dan pemerintah junta Myanmar. PBB sendiri menyebut Muslim Rohingya sebagai salah satu minoritas yang paling teraniaya di dunia.
Mayoritas yang berkisar 53 juta penduduk Myanmar beragama Budha , dan sisanya adalah minoritas Kristen berjumlah 2,9 juta, dan Muslim 2,27 juta, dan sekitar 300 ribu Hindu. Tetapi, Muslim Rohingya secara berulang diperlakukan sewenang-wenang dalam sejarah Myanmar. Diskriminasi yang paling kentara di antaranya pemerintah Myanmar hingga hari ini menolak mengakui kewarganegaraan Muslim Rohingya dan mengklasifikasikan mereka sebagai imigran ilegal, meskipun mereka telah tinggal di negeri itu selama beberapa generasi.
Tampaknya, kebijakan Uni Eropa mencabut sanksi ekonomi terhadap Myanmar bukan berdasarkan kriteria HAM sebagaimana yang mereka teriakkan selama ini. Analis politik dari Koalisi Muslim, Kristen dan Yahudi Kevin Barret menjelaskan, Barat memang sengaja tidak menekan Pemerintah Myanmar supaya menghentikan kekerasan dan genosida terhadap etnis Rohingya. Meski praktik pelanggaran HAM di Myanmar lebih berat ketimbang negara lain di dunia, kepentingan ekonomi dinilai masih menjadi prioritas.
Sejatinya, standar yang dipergunakan bukan nilai-nilai hak asasi manusia maupun aturan internasional, tapi kepentingan hegemoni politik dan ekonomi para pengangku kekuasaan di Uni Eropa. Kebijakan Uni Eropa yang didukung AS mencabut sanksi ekonominya terhadap pemerintah Myanmar adalah geostrategi untuk membuat negara itu keluar dari orbit Cina dan mendekatkannya dengan orbit Barat.(IRIBIndonesia)
Kualitas Ekonomi dan Demokrasi di Indonesia: Pro si kaya atau Pro si miskin
Oleh: Muhammad Dudi Hari Saputra S.Ip
Pemerintahan Presiden SBY dalam strategi pembangunan ekonominya terkenal dengan 3 pilar utama, yaitu Pro-Growth, Pro-Poor dan Pro-Job, yang kemudian dikenal dengan istilah pembangunan ekonomi berkelanjutan dan merata (sustainable growth with equity), walau kemudian timbul pertanyaan mengapa Pro-Poor ditempatkan dibelakang. Dalam pelaksanaannya pemerintahan SBY-Boediono menganggap ke tiga pilar ini berhasil diwujudkan, antara lain dengan indikator pertumbuhan ekonomi yang meningkat pada tahun 2012 pada angka 6,23%, yang sebenarnya terjadi penurunan jika dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi pada tahun 2011 pada angka 6,5%.
Dari Pro-Job juga sejauh ini menunjukkan hasil yang cukup positif, dimana pada tahun 2012 angka pengangguran di Indonesia menurun sedikit dari 6,56% pada tahun 2011 menjadi 6,14%. Begitu pula untuk Pro-Poor, setidaknya kemiskinan di Indonesia menurut data BPS pada tahun 2012 berkisar pada angka 11%-12%, dalam artian terjadi penurunan angka kemiskinan yang jika dibandingkan dari tahun 2004 sebesar 16%, terlihat signifikan namun sebenarnya penurunan angka kemiskinan di Indonesia hanya turun sekitar 0,5% pertahunnya. Tentu penurunan angka kemiskinan yang lambat dan rendah ini bukan merupakan sebuah prestasi bagi Pemerintahan SBY, apalagi jika ditinjau dari Perpres nomor 7 tahun 2005 terkait rencana rencana pembangunan jangka menengah nasional untuk menurunkan persentase penduduk yang berada dibawah garis kemiskinan menjadi 8,2 persen pada tahun 2009, yang ternyata sampai tahun 2012 pun belum tercapai.
Dan angka kemiskinan ini menjadi semakin ironis jika menggunakan data dari sumber institusi internasional, menurut data Global Hungry Index selama rentang pemerintahan SBY dari tahun 2004-2012 angka kemiskinan berkutat pada angka yang sama yaitu 11%-13%, sedangkan menurut data UNDP (United Nations Development Program) terkait Human Development Index/indeks pembangunan manusia maka angka kemiskinan di Indonesia jika dipatok dari pendapatan perorang sebanyak US$ 1,25/Rp. 11,250 perhari maka kemiskinan di Indonesia mencapai angka 18%, yang jika kita bandingkan dengan negara seperti Iran saja sudah sangat jauh, karena Iran hanya memiliki angka kemiskinan sebesar 1,5%, padahal negara tersebut mendapat sanksi ekonomi dari AS dan Uni Eropa.
Selain itu, arah kebijakan ekonomi Pemerintahan SBY juga bisa ditinjau dari Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2013 yang telah disahkan oleh DPR RI sehingga menjadi Undang-undang APBN 2013, yang dapat disimpulkan tidaklah Pro-Poor sama sekali melainkan Pro-Pusat (tidak Pro-Pemerataan), Pro-Birokrasi dan Pro-Menengah Atas.
Pertama adalah Pro-Pusat, dalam APBN 2013 dengan total sebanyak Rp 1.683 triliun, sebesar Rp 1.154,4 triliun dialokasikan untuk Pemerintah Pusat sedangkan yang di transfer ke daerah hanya sebesar Rp 528,6 triliun (Kompas, 2012), padahal kita ketahui dalam komitmen desentralisasi serta pemerataan ekonomi seharusnya alokasi anggaran ke daerah-daerah menjadi sangat vital, terutama untuk daerah-daerah yang tertinggal.
Kedua adalah Pro-Birokrasi dari Rp 1.154,4 triliun dana untuk pemerintah pusat tersebut sebesar 241.606,3 (21%) digunakan untuk belanja pegawai.
Ketiga adalah Pro-Menengah Atas, Pemerintah Pusat sebenarnya ingin melakukan kebijakan Pro-Poor melalui anggaran subsidi yang besar diangka Rp. 317.218,6 Triliun (27,5%) dan sebagian besar angka subsidi tersebut dialokasikan untuk subsidi energi (BBM dan Listrik) yaitu 274,7 Triliun (86%), hanya sayangnya subsidi energi ini tidak tepat sasaran, karena yang disubsidi adalah barang bukan orang, sehingga penyaluran subsidi tidak berdampak besar bagi masyarakat miskin melainkan menengah-atas, dengan kisaran prosentase yaitu 53% untuk mobil pribadi, 40% untuk motor, 4% mobil barang, dan kendaraan umum hanya 3%.
Dan sayangnya subsidi untuk mobil barang dan kendaraan umum hanya mendapatkan porsi yang kecil, padahal 2 sektor ini langsung bersentuhan dan berdampak besar bagi kepentingan rakyat menengah-bawah, kebijakan Pemerintah pun terlihat kontra-produktif dengan hanya menambah fasilitas jalan umum tanpa menahan laju penjualan kendaraan pribadi yang banyak mengkonsumsi BBM bersubsidi sedangkan transportasi umum tidak diperhatikan malahan harganya mengalami kenaikan sehingga masyarakat enggan pindah dari transportasi pribadi ke transportasi umum, yang sebenarnya lebih menghemat konsumsi BBM. Ironisnya lagi sebagian besar subsidi Energi yaitu 59% digunakan untuk masyarakat Jawa-Bali saja (kementrian ESDM, 2010).
Kebijakan energi Pemerintah yang tidak tanggap dan tepat sasaran memang menjadi masalah bagi tata kelola fiskal yang baik, bahkan diduga besar pada tahun 2013 subsidi di sektor BBM akan semakin meningkat , mengingat terus bertambahnya konsumen BBM terutama dari kendaraan pribadi (mobil dan motor) sebesar 8% per tahun, naiknya harga minyak dunia dari asumsi dasar pemerintah sebesar 100 dollar AS per barrel menjadi 110 dollar AS per barrel dan menurunnya produksi minyak dari 900.000 barrel sehari menjadi 830.000 barrel per hari sehingga meningkatkan jumlah impor minyak yang berakibat tergerus nya APBN dan cadangan devisa Negara (Kompas, 2013). Padahal sudah jelas sebagian besar dana tadi hanya dinikmati kalangan menengah-atas.
Kualitas Demokrasi Indonesia
Dari sini tentu akan timbul pertanyaan apakah Pemerintah Indonesia di era SBY memang Pro-Poor atau yang populer di Indonesia dengan istilah Pro-Rakyat?, dengan indikator diatas kita bisa memahami bahwa orientasi kebijakan ekonomi pemerintah tidaklah pro-rakyat melainkan Pro masyarakat dengan pendapatan menengah keatas.
Amartya Sen mengkritik kebijakan Pemerintah yang hanya berorientasi pada pertumbuhan yaitu peningkatan perkapita dan barang tanpa memperhatikan aspek perkembangan ekonomi yang menjadikan manusia itu sendiri sebagai sasaran dari pembangunan ekonomi yang meliputi peningkatan harapan hidup, bebas buta huruf, kesehatan dan pendidikan masyarakat. Indonesia selalu mengalami pertumbuhan ekonomi yang positif di era kepemimpinan SBY bahkan masuk kedalam jajaran elite anggota G-20 sebagai Negara dengan pendapatan nasional tertinggi 20 dunia. Sayangnya pertumbuhan ini tidak berkualitas, Mudrajad kuncoro (pakar ekonomi UGM) memaparkan bahwa sebagian besar pertumbuhan nasional hanya dinikmati oleh kelas menengah sebesar 40% dan kelas atas 20% atau total 60% dari total GDP nasional.
Dan yang lebih parah dari itu adalah nilai koefisien gini juga meningkat, nilai koefisien gini adalah standard untuk menghitung sejauh mana ketimpangan ekonomi yang nilai diukur dari 0-1 kalau 0 berarti merata sempurna sedangkan kalau 1 berarti timpang sempurna, nilai Indonesia dari 2010 yang 0,3% meningkat menjadi 0,4% pada 2011, ini menandakan jarak yang semakin meningkat antara si kaya dan si miskin.
Semakin timpangnya antara si kaya dan si miskin ini menandakan bahwa adanya bentuk ketidakadilan di dalam akses ekonomi masyarakat miskin untuk meningkatkan pendapatannya, bentuk seperti ini menurut Amartya Sen diakibatkan oleh adanya ketimpangan kesempatan, sebenarnya kritik ini diberikan untuk pemerintahan di era Soeharto, sayangnya praktek yang sama juga terjadi di Era pemerintahan SBY yang sebenarnya diharapkan dengan sistem demokrasi yang Indonesia terapkan sekarang mampu menciptakan sistem yang lebih berkeadilan.
Indonesia mengulang kembali sejarah kelam kapitalisme semu (Ersatz Capitalism) yang digambarkan oleh Yoshihara Kunio, bahwa kapitalisme yang lahir Indonesia akibat adanya KKN yang dilakukan oleh Pemerintah Soeharto berserta keluarga dan koleganya, bukan karena jiwa entrepreneurship (kewirausahaan). Indonesia di era SBY sepertinya juga demikian, dimana demokrasi yang ada malah melahirkan kekuatan-kekuatan kelompok kecil yang berkuasa (Oligarki) baik di lingkungan Pemerintahan (Eksekutif) dan DPR (Legislatif) dengan menggunakan Partai Politik sebagai kendaraannya.
Hal ini menjadi indikasi bahwa Demokrasi yang Indonesia alami sekarang adalah Demokrasi Semu (Ersatz Democracy), proses pemilu yang ada tak lebih dari formalitas belaka, mengingat bahwa jajaran partai politik yang berkompetisi sekarang mayoritas dipimpin oleh kelompok tertentu dengan kekuatan modal yang besar sehingga rakyat dihadapkan pada situasi untuk memilih partai politik yang sebenarnya tidak mewakili suara dan memperjuangkan kepentingan pemilih, melainkan kepentingan kelompok yang berkuasa di partai politik.
Praktek Korupsi, kolusi dan nepotisme yang tinggi oleh jajaran birokrasi dan legislasi baik di daerah maupun pusat yang lahir dan terpilih dari mekanisme Demokrasi telah menjadi sebuah pertanyaan tersendiri, apakah arah demokrasi Indonesia berkualitas atau tidak. Karl Marx setidaknya telah memprediksi dampak merusak dari system demokrasi, Karl Marx menjelaskan bahwa system Demokrasi tak lain adalah alat dari para penguasa/pemilik modal dalam hal ini kapitalisme.
Hal ini yang sebenarnya patut untuk dikhawatirkan, bahwa jangan sampai Demokrasi yang sebenarnya bersandarkan pada prinsip dari rakyat, oleh rakyat namun untuk kepentingan kelompok kecil penguasa (oligarki) maupun pemilik modal (kapitalis). Demokrasi yang susah payah dibangun oleh anak bangsa harus dikembalikan kepada ruh nya, yaitu Demokrasi yang konstruktif, yaitu Demokrasi yang mampu menjadi tonggak untuk perjuangan kepentingan rakyat, bukan malah untuk kepentingan segelintir kelompok atau penguasa.
Penutup
Pertama untuk ekonomi, Pemerintah perlu untuk melihat aspek kualitas manusia didalam ekonomi, bukan lagi seberapa banyak produksi dan kepemilikan barang, pertumbuhan berkualitas itu memang harapan kita semua, namun pemerataan kualitas (kesehatan, penghapusan kemiskinan serta pendidikan) juga adalah kewajiban yang harus dilaksanakan, apalagi baru-baru ini terjadi wabah kelaparan/busung lapar di Papua yang merenggut 95 nyawa manusia, sebuah ironi di tanah papua yang kaya namun rakyatnya mengalami kelaparan.
Serta Indonesia jangan lagi bergantung pada sumber daya alam (keunggulan primer dan mutlak) sebagai basis pertumbuhan ekonominya namun harus beranjak kepada sumber daya manusia (keunggulan sekunder-tersier/hilir dan komparatif-kompetitif) yang lebih banyak member nilai tambah. Karena menurut catatan BPS tahun 2013, ekspor Indonesia pada bulan Februari 2013 turun 4,50% jika dibandingkan bulan Februari 2012, karena barang-barang ekspor Indonesia yang kurang kompetitif di pasar global, selain itu ada catatan penting bahwa pemerintah harus mengubah mind-set consumtion-driven sebagai penopang pertumbuhan ekonomi menjadi production-driven dan ekspor (led-export economic growth) sehingga lebih memacu cepat pertumbuhan ekonomi.
Dalam kebijakan anggaran pemerintah pun harus lebih peka melihat perkembangan yang ada, alokasi anggaran sebaiknya lebih difokuskan kepada sektor yang mampu memacu produktifitas ekonomi Negara seperti belanja barang dan belanja modal yang Cuma Rp. 385 Triliun atau sebesar 33% dari total APBN yang masih kalah dibanding APBN untuk belanja pegawai dan subsidi dengan total Rp. 591 Triliun atau sebesar 51%, selain itu APBN juga sebagian besar habis digunakan untuk pembayaran bunga hutang sebesar Rp. 113 Triliun (9,8%) yang nilainya lebih tinggi dibanding APBN untuk bantuan sosial yang hanya Rp. 73,6 Triliun atau 6,4% dari total APBN Pemerintah Pusat, yang menunjukkan betapa kebijakan Pro-Poor (rakyat miskin) masih tersisihkan.
Kedua terkait Demokrasi, ketimpangan ekonomi yang ada dimana yang kaya semakin kaya dan miskin semakin miskin atau tetap miskin menunjukkan bahwa adanya akses ekonomi yang tidak adil, dan ini bukanlah tujuan dari diterapkannya system Demokrasi di Indonesia, Amartya Sen mengungkapkan ada 3 pilar utama jika demokrasi disebuah negara dianggap konstruktif; pertama adalah demokrasi yang mampu menciptakan tindakan yang lebih bebas dan efektif, kedua demokrasi mampu member insentif politik bagi pemerintah untuk memperhatikan kelompok yang melarat dan ketiga demokrasi memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk saling mempelajari dan membangun nilai-nilai serta prioritas bersama.
Jika dianalisis, pertama demokrasi di Indonesia memang mampu menciptakan sistem yang lebih bebas namun sering kali tidak efektif, fakta menunjukkan sering kali kepemimpinan yang lahir dari sistem demokrasi di Indonesia melahirkan pemimpin yang tidak amanah dengan indeks keterlibatan KKN yang tinggi dan menciptakan raja-raja baru di daerah yang mental nya adalah ingin dilayani masyarakat bukan melayani masyarakat, belum lagi pemerintahan yang tidak pro-bisnis di daerah, sehingga sering kali banyak aturan-aturan daerah yang tidak perlu malah dibuat untuk menambah hambatan pelaku bisnis, dimana aturan-aturan tadi dibuat untuk menambah pemasukan kelompok kepentingan tertentu didalam pemerintahan.
Kedua, demokrasi diharapkan mampu memberikan kontribusi bagi masyarakat kecil/miskin, kenyataannya di Indonesia menunjukkan kebalikannya, seringkali kebijakan pemerintah baik pusat dan daerah, tidaklah pro rakyat miskin yang termarjinalkan. Rakyat kecil hanya di iming-imingi janji manis apabila mendekati pemilihan umum saja.
Ketiga, demokrasi yang diharapkan mampu menjadi tonggak masyarakat untuk mempelajari dan membangun nilai serta prioritas bersama, malah berbanding terbalik jika dihadapkan pada realitas di Indonesia, demokrasi di Indonesia malah menjadi alat untuk memuluskan kepentingan atau prioritas segelintir orang (oligarki) dan pemilik modal (kapital) untuk semakin memperkaya diri dan hasrat untuk berkuasanya, hal ini bisa diperhatikan dari ketimpangan kesejahteraan yang ada di masyarakat.
Karenanya perlu untuk memperhatikan demokrasi dari aspek kualitas (kesejahteraan masyarakat, pemberantasan korupsi, kesetaraan hak untuk mengakses peluang di ekonomi dan politik, tiadanya konflik horizontal yang berbau SARA dan sebagainya), bukan saja aspek kuantitas (berapa banyak pemilu yang terselenggara, berapa besar partisipasi rakyat didalam pemilu dan sebagainya). Demokrasi yang memperhatikan aspek substansi lebih mendesak dari pada sekedar formalitas politik, demokrasi juga harus dipahami selain sebagai kebebasan politik tapi juga keadilan dan kesejahteraan ekonomi, jika tidak maka demokrasi akan menjadi semu (ersatz) dan tidak lagi dipercaya oleh masyarakat sebagai system yang ideal. (IRIB Indonesia)
*) Mahasiswa S2 Hubungan Internasional, Konsentrasi Diplomasi Perdagangan Global, UGM.
0 comments to "AHMADINEJAD Presiden Republik Islam Iran DITANGKAP...!!!! B.Post bilang Ahmadinejad pake Baju MAHAL dan Kompas bilang Ahmadinejad Ditangkap, Muslim Mynmar hingga Ekonomi Indonesia...."