Home , , , , , , , , � Islam: Terorisme atau Cinta serta Tawassul Dalam Pandangan Wahabi...

Islam: Terorisme atau Cinta serta Tawassul Dalam Pandangan Wahabi...

















Islam: Terorisme atau Cinta




Reportase dan ulasan: Dina Y. Sulaeman

Upaya mengaitkan pengeboman di Boston dengan kata ‘jihad' semakin terlihat. Meski mengakui bahwa penyelidikan masih berlangsung, Foreign Policy 22 April merilis artikel berjudul ‘Boston's Jihadist Past' (Masa Lalu Pejuang Jihad Boston). Inilah proses stigmatisasi dan stereotyping media Barat terhadap kata ‘jihad'. Apa yang sebenarnya terjadi? Bukankah esensi Islam adalah cinta? Lalu mengapa kini Islam justru seolah identik dengan kekerasan?

Dalam diskusi bertajuk Islam: Risalah Cinta Semesta yang digelar Masjid Salman dan Penerbit Mizan, 19 April 2013, dua pembicara, Yasraf Amir Piliang (YAP) dan Haidar Bagir (HB), berusaha memberikan jawaban atas pertanyaan ini melalui perspektif masing-masing.

YAP menguraikan bahwa ada tiga bagian dalam  masalah ini: akar kekerasan, realitas kekerasan, dan citra kekerasan.

1. Realitas kekerasan, yaitu: berbagai aksi terorisme yang dilakukan muslim (misalnya, Al Qaida), atau kekerasan yang dilakukan kelompok-kelompok Islam terhadap umat agama lain, atau terhadap mazhab/aliran yang dianggap sesat.

2. Citra kekerasan. Citra adalah sesuatu yang artifisial, dikonstruksi, dan bahkan disimulasi dengan tujuan untuk menciptakan citra tertentu. Hal ini terkait dengan politik media global. Mereka melakukan ideologisasi Islam; mereka menyebarkan opini bahwa Islam adalah agama yang berideologi kekerasan. Media global adalah ruang perang ‘simbol' antarkepentingan untuk menguasai opini publik. Artinya, opini publik dibangun melalui perang informasi di ruang publik. Media memiliki dua pilihan: de-re (menyampaikan sesuai realitas) atau de-dicto (menyampaikan sesuai kepentingan sekelompok tertentu). Media Barat telah melakukan de-dicto, membangun opini publik tentang Islam sebagai agama kekerasan.

Proses yang dilakukan media Barat untuk membangun opini publik tentang Islam:

a. Simulasi:  menciptakan model-model realitas yang seakan tampak nyata, seakan-akan realitas, padahal rekayasa. Tragedi Boston misalnya, di jejaring sosial telah banyak tersebar berbagai foto kejanggalan dalam peristiwa itu, antara lain kehadiran tentara bayaran (private military forces) di lokasi. Para tentara itu berasal perusahaan bernama Craft yang di logonya tertera ‘Violencedoes solve problem' [kekerasan pasti menyelesaikan masalah]. Meskipun memang ada kemungkinan segelintir ‘jihadist' yang terlibat tapi ada indikasi kuat keterlibatan orang ‘dalam' AS sendiri.

b. Stigmatisasi: mendiskreditkan (setiap ada kekerasan, dimunculkan foto-foto orang Arab secara sistematik sehingga Arab identik dengan kekerasan). Dalam tragedi Boston, stigmatisasi menimpa muslim Chechnya.

c. Naturalisasi: proses pewajaran, melalui kartun atau film, sehingga terasa ‘wajar' jika pelaku terorisme adalah muslim/Arab.

d. Stereotyping: ketika disebut ‘Islam', yang terbayang adalah teroris, Saddam Husein, irrasionalitas, atau fanatisme.

Dan akhirnya, muncullah: Islamophobia.

3. Akar kekerasan
Ada banyak analisis soal mengapa ada kelompok-kelompok muslim yang melakukan terorisme. YAP membahas tentang pergeseran pemaknaan Islam di tengah masyarakat. Islam kini telah menjadi gaya hidup. Apa itu gaya hidup? Yaitu, sikap memperhatikan atau menunjukkan tampak luar; merayakan penampilan luar, tapi melupakan nilai-nilai dan spiritualitas. Dalam gaya hidup, eksistensi manusia diperlihatkan oleh benda-benda yang dimiliki. Ketika Islam menjadi gaya hidup, maka kesalehan akan muncul dari cara berjilbab, baju koko merek apa, atau ‘ngaji dimana'. Tak heran, kini ada ustadz atau ustadzah yang menjadi trendsetter model baju.

Gaya hidup ditegakkan atas dasar ketidakpuasan abadi. Misalnya, jilbab terbaru (mahal dan bermerek) sudah dibeli, ada kepuasan. Namun sekejap kemudian, kepuasan itu akan hilang karena akan muncul lagi jilbab model lain yang terlihat lebih cantik. Substitusilah jilbab dengan tas, mobil, gadget, atau hal-hal lain yang dikejar oleh gaya hidup. Intinya, tidak ada kepuasan akhir, selalu dikejar oleh keinginan membeli yang baru. Menurut YAP, ‘azan'-nya gaya hidup adalah iklan TV. Iklan TV mendorong manusia untuk ke mall, bagaikan azan yang (seharusnya) mendorong manusia untuk ke masjid.

Gaya hidup adalah antitesis cinta. Cinta adalah kebahagiaan dan keabadian; sedang gaya hidup menyeret pada ketidakpuasan abadi. Gaya hidup menimbulkan krisis makna. Ketika Islam sudah terlepas dari maknanya, maka tidak ada lagi yang disebut ‘dunia Islam' ; karena dunia ada ketika ada makna. Krisis makna, atau krisis spiritualitas, telah melahirkan culture of zombie, manusia yang bergerak ke segala penjuru tetapi tidak memiliki kesadaran. Dalam situasi seperti ini, manusia akan kehilangan orientasi. Misalnya, kekerasan dianggap sebagai sesuatu yang benar dan harus dilakukan untuk menegakkan ‘kebenaran' yang dipersepsinya sendiri.

Penjelasan lain diberikan oleh Haidar Bagir. Menurutnya, di era posmodernisme, terjadi paradoks. Di satu, sisi dunia menjadi desa global, dimana arus informasi beredar dengan sangat cepat dan nyaris tak terbendung. Namun di sisi lain, derasnya arus informasi ini membuat banyak orang menjadi galau danketakutan, sehingga mencari ‘tempat aman'. Agama adalah salah satu tempat aman itu. Manusia-manusia posmo mencari perlindungan kepada agama, namun karena mereka mendapati bahwa di dalam agama pun sangat banyak paham/aliran. Padahal, di tengah berbagai kegaduhan informasi itu,mereka menginginkan ketenangan dan kepastian. Itulah sebabnya mereka bersikap eksklusif, mengecilkan ‘Tuhan' (Tuhan menjadi milik mereka saja), dan ‘memastikan' kebenaran (kebenaran satu-satunya hanya milik mereka; di luar mereka semua adalah sesat, bahkan kafir).

Pilar yang membangun sikap seperti ini adalah kebencian kepada pihak lain yang mereka anggap sesat. Awalnya, mereka mengklaim diri melakukan dakwah secara damai. Namun, ketika ide-ide mereka tidak diterima, mereka pun memilih jalan kekerasan. Akibatnya, dari luar (hegemoni media Barat) citra Islam dirusak, sementara dari dalam pun memang ada orang-orang yang memberi ‘makanan' kepada upaya perusakan citra Islam itu.

Lalu, apa argumennya bahwa Islam memang agama cinta?

HB mengutip tulisan Syekh Yusuf Makassari, yang merupakan rangkuman beberapa hadis Nabi, "Agama adalah ma'rifah (mengenali) Allah. Ma'rifah Allah adalah akhlak yang baik. Akhlak yang baik adalah silaturahim (membina hubungan berdasarkan kasih sayang). Dan silaturahim adalah memunculkan rasa bahagia ke dalam hati sesama."

HB juga mengutip hadis Qudsi, bahwa satu-satunya ibadah untuk Allah adalah ‘memasukkan rasa bahagia ke dalam diri orang yang hancur hatinya'. Ibadah-ibadah lain, seperti sholat, zakat, puasa, pada hakikatnya adalah untuk diri manusia sendiri (manfaatnya). Allah pun dalam Quran surah Thaha:43-44 menyuruh Nabi Musa untuk mendatangi Firaun yang thagha (thoghut, zalim), dan memberi peringatan dengan lemah lembut (qaulan layyinan).

Tetapi apa yang dilakukan sebagian umat Islam hari ini?  Dalam melawan Assad (beberapa media Islam menyebut Assad thoghut dan menyamakannya dengan Firaun)  sekelompok muslim mengobarkan ‘jihad' dan melakukan berbagai kekerasan atas nama agama. Korbannya bukan saja lingkaran pendukung Assad, tetapi juga masyarakat sipil (akibat berbagai pertempuran, bom bunuh diri, atau bom jarak jauh). Di Indonesia, kita saksikan kekerasan dilakukan oleh kelompok-kelompok muslim yang merasa ‘benar', terhadap kelompok muslim yang mereka anggap ‘sesat', seperti Ahmadiyah atau Syiah. Hingga kini warga Syiah di Sampang sudah 8 bulan hidup mengungsi di GOR Sampang karena rumah-rumah mereka dibakar massa.

Karena itu, tugas besar kaum muslim adalah melakukan counter-hegemony (perlawanan untuk mematahkan penguasaan opini dan kesadaran) melalui berbagai media. Mari kita secara kolektif (beramai-ramai) mengangkat konsep Islam dan cinta karena memang sejatinya, esensi Islam adalah cinta. Hal ini harus dimulai dari diri sendiri. Sekesal apapun kita terhadap kaum takfiri (kelompok yang suka mengafir-kafirkan pihak lain), misalnya, kita tetap bersikap santun dalam membantah argumen mereka. Di tengah keluarga, kita harus membesarkan anak-anak yang mampu menyerap nilai cinta dalam Islam. Misalnya, saat menjauhkan anak dari perbuatan buruk, jangan katakan ‘Nanti masuk neraka!' atau "Nanti dimarahin Allah!", karena ini akan menanamkan pemahaman bahwa Allah itu ‘kejam' dan ‘suka menghukum'. Katakanlah, "Allah cinta pada perbuatan baikmu." Kenalkanlah pada anak-anak kita bahwa segala sesuatu yang dilakukan Allah adalah keindahan dan cinta. Bahkan bilapun Dia menghukum (neraka), itu adalah bentuk cinta-Nya, agar manusia yang tersesat bisa tersadarkan. Di sekolah, perlu ditanamkan rasa toleransi, bahwa berbeda itu biasa. Bahwa memegang teguh keyakinan pribadi tidak berarti harus memaksa orang lain untuk memiliki keyakinan yang sama.

Esensi dunia Islam adalah cinta. Alam tercipta karena cinta, prinsip penggeraknya adalah cinta, pengikatnya cinta, dan tujuan akhirnya cinta. Dan cinta, hanya bisa disebarluaskan dengan cinta.

*) Magister Hubungan Internasional Unpad, research associate di Global Future Institute

Menyingkap Hakikat Wahabisme; Tawassul Dalam Pandangan Wahhabi (Bagian Pertama)


Salah satu dalil orang-orang Wahhabi yang dijadikan alasan untuk mengharamkan tawassul adalah bahwa tawassul sama dengan meminta kepada orang yang sudah mati, dan itu adalah perbuatan yang sia-sia. Untuk mendukung argumentasi mereka membawakan ayat 8 surat al-Naml bahwa Allah Swt berfirman: "Sesungguhnya engkau tak bisa membuat orang mati mendengar dan tidak pula menjadikan orang tuli mendengar panggilan apabila mereka telah berpaling."

Ayat ini menyamakan orang-orang musyrik dengan orang yang sudah mati. Jika orang mati tidak bisa mendengar seruan kebenaran seruanmu juga tak akan didengar oleh orang musyrik. Jika orang mati dan orang tuli bisa mendengar tentunya orang-orang musyrik juga akan bisa mendengar seruanmu.

Ayat lain yang dibawakan oleh kaum Salafi adalah ayat 22 surat Fathir. Allah berfirman,"Dan tidaklah sama orang hidup dan orang mati. Allah menjadikan siapa saja yang dikehendakiNya bisa mendengar dan tidaklah engkau menjadikan orang yang di kubur itu mendengar."

Metode argumentasi mereka dengan ayat ini sama seperti ayat sebelumnya. Orang-orang Wahhabi berpendapat bahwa meminta sesuatu kepada orang yang sudah mati sama seperti meminta sesuatu kepada benda mati.

Untuk menjawab argumentasi yang lemah dan tidak logis ini kita katakan bahwa amat disayangkan kaum Wahhabi dengan mudahnya memutarbalikkan makna dari ayat suci al-Quran. Dengan cara itu mereka berharap bisa memperkuat pemikiran yang jelas tidak sejalan dengan ajaran Islam. Ayat-ayat yang dijadikan argumentasi tadi sebenarnya ingin menyatakan bahwa jasad tanpa ruh yang terbaring di dalam kubur sudah tidak bisa lagi memahami sesuatu. Sementara, dalam bertawassul kita tidak menyampaikan permintaan kita kepada jasad yang tak bernyawa, tapi kepada ruh suci pemilik jasad itu yang kini hidup di alam barzakh. Mengenai mereka al-Quran dengan jelas menyatakan, mereka itu hidup. Singkatnya, kita memohon syafaat kepada mereka yang disebut hidup oleh al-Quran, bukan kepada benda mati. Jika jasad tidak bisa mendengar dan mengerti kata-kata kita, bukan berarti bahwa ruh suci mereka tidak bisa mendengar dan mengerti permintaan kita. 

Dalam kitab Sahih Bukhari mengenai perang Badr disebutkan bahwa setelah kaum kafir Qureisy menderita kekalahan telak, Nabi Saw bersama sekelompok orang dari sahabat beliau mendatangi sebuah lubang tempat dikuburkannya jasad para prajurit musyrik Qureisy yang tewas dalam perang itu. Nabi menyebut nama mereka satu persatu dan bersabda dengan suara yang keras, "Bukankah sebaiknya dulu kalian patuh kepada Allah dan NabiNya? Kami sudah menyaksikan kebenaran apa yang dijanjikan Allah kepada kami dan apakah kalian sudah mendapatkan apa yang dijanjikan tuhan kalian kepada kalian?" Sahabat Umar bertanya kepada Nabi, "Ya Rasulullah, apakah Anda berbicara dengan jasad yang tanpa nyawa?" Nabi Saw menjawab, "Demi Dia yang jiwa Muhammad berada dalam genggamannya, kalian tidak lebih mendengar apa yang kukatakan dibanding mereka."

Riwayat-riwayat dari Ahlul Bait as juga menyebutkan beberapa hal dalam masalah ini. Diriwayatkan bahwa setelah mengkafani jenazah Rasulullah Saw, Imam Ali as membuka wajah Nabi dan berkata, "Demi ayah dan ibuku! Sungguh engkau hidup suci dan mati dalam keadaan suci. Ingatlah kami di sisi Tuhanmu." (Nahjul Balaghah khutbah 230)

Dalam budaya bangsa Arab kata-kata ‘ingatlah aku di sisi Tuhanmu' berarti memohon syafaat. Hal yang sama dilakukan Nabi Yusuf as saat meminta kawan yang bersamanya di penjara untuk mengingatkan nasib beliau kepada raja setelah bebas nanti.  Riwayat lain menyebutkan bahwa Sahabat Abu Bakar sesaat sebelum Nabi dimakamkan membuka wajah Nabi Saw dan meminta syafaat beliau. (Khulashatul Kalam)

Kaum Salafi menolak adanya ruh yang terpisah dari badan. Mereka menganggap bahwa setelah seseorang mati, ruh akan binasa bersama badannya. Karena itu, mereka menolak adanya kehidupan bagi ruh para nabi setelah kematian mereka. Karena itu bertawassul kepada mereka dan meminta syafaat mereka yang baik jasad maupun ruhnya sudah binasa adalah perbuatan yang percuma dan sia-sia. Padahal ayat al-Quran menyebutkan dengan tegas bahwa ruh akan tetap hidup setelah berpisah dari badan.

Para ulama Ahlusunnah menolak pandangan Ibnu Taimiyyah dan Muhammad bin Abdul Wahhab dalam masalah ini. Khalil Ahmad Saharanpuri Hanafi (lahir 1346 H) mengatakan, "Kami dan para ulama kami meyakini bahwa dalam berdoa diperbolehkan bertawassul dengan para Nabi, salihin, para wali dan syuhada baik ketika mereka masih hidup maupun setelah mati. Tak masalah jika seseorang mengatakan misalnya, ‘Ya Allah aku menjadikan si fulan wasilah di sisi-Mu supaya Engkau mengabulkan doaku dan memenuhi hajatku."

Imam Baihaqi mengatakan, "Di zaman khalifah kedua terjadi paceklik. Bilal bersama beberapa orang sahabat Nabi Saw datang ke makam Rasul dan berkata, ‘Ya Rasulullah! Mintalah hujan kepada Tuhanmu untuk umatmu." (al-Tawashshul ilaa Haqiqati al-Tawassul hal: 253)

Ali bin Ahmad Samhudi (wafat 911) dalam kitab Wafa'a al-Wafa' menulis demikian: Meminta pertolongan dan syafaat dengan perantara Nabi Saw kepada Allah Swt adalah perbuatan yang diperbolehkan, baik sebelum beliau diciptakan, atau setelah kelahirannya maupun setelah kematian beliau, baik di alam barzakh maupun di alam akhirat."

Lebih lanjut Samhudi membawakan riwayat dari Umar bin Khattab tentang tawassul Nabi Adam as. Nabi Adam yang mengetahui bahwa kelak akan lahir seorang Nabi bernama Muhammad yang punya kedudukan teramat tinggi di sisi Allah, Adam berkata, "Ya Allah demi kedudukan Muhammad [di sisiMu] aku mohon, ampunilah aku." (Wafa'a al-Wafa' jil: 3 hal: 1371)

Islam menyebut syafaat yang sebenarnya adalah milik Allah Swt, dan Dialah yang mengizinkan sekelompok hambaNya seperti para nabi, syuhada dan salihin untuk memberi syafaat kepada manusia yang lain. Ayat 87 surat Maryam Allah Swt berfirman: "Mereka tidak memperoleh syafaat kecuali orang yang telah mengadakan janji dengan Allah yang Maha Pemurah."

Di surat Thaha ayat 109 Allah Swt berfirman,"Di hari itu syafaat siapa saja tidak akan berguna kecuali yang telah diberi izin oleh Allah yang Maha Penyayang dan Dia meridhai perkatannya."

Pertanyaannya adalah mengapa Allah memberikan hak syafaat kepada sebagian hamba-Nya? Salah satu alasan seperti yang ditegaskan oleh para ulama adalah karena Allah berkehendak menunjukkan kebesaran dan keagungan mereka di sisiNya, bahwa mereka adalah orang-orang yang didekatkan kepada-Nya. Ketika seorang hamba telah mencapai derajat khalifatullah, maka dia akan mendapat hak memberi syafaat yang diperoleh dari Allah Swt untuk menunjukkan keunggulan mereka di atas hamba-hamba Allah yang lain.

Nabi Saw bersabda, "Ada tiga kelompok yang memberi syafaat di sisi Allah, para nabi, ulama dan syuhada." (al-Khishal: 156 dan 157)

Di hadis yang lain Rasulullah Saw bersabda, "Para nabi, para washi, mukminin dan malaikat bisa memberi syafaat dan menjadi perantara untuk pengampunan." (Bihaar al-Anwar juz: 8 hal: 58)

Syafaat adalah kesempatan yang dibuka bagi hamba-hamba Allah untuk menerima ampunan dan maghfirah. Tentunya untuk menerima syafaat ada serangkaian syarat yang mesti dipenuhi dan hal itu telah disebutkan dalam sejumlah riwayat. Diantaranya, orang terkait harus menyesali akan perbuatan dosa yang mereka perbuat.(IRIB Indonesia)

Menyingkap Hakikat Wahabisme; Tawassul Dalam Pandangan Wahhabi (Bagian kedua)


Para sahabat Nabi dan pengikut setia beliau biasa bertawassul dengan Nabi supaya doa mereka dikabulkan. Akan tetapi Ibnu Taimiyyah dan Muhammad bin Abdul Wahhab malah menyebut tawassul sebagai perbuatan syirik. Tawassul adalah salah satu cara supaya doa dikabulkan oleh Allah Swt. Tawassul berarti menjadikan seseorang yang punya kedudukan mulia di sisi Allah sebagai wasilah kepada Allah untuk dikabulkannya doa.

Dalam ajaran Islam dinyatakan bahwa manusia bisa bertawassul kepada Allah dengan salah satu dari tiga cara. Pertama melalui amal saleh. Artinya, seorang hamba yang mukmin bisa menjadikan amal saleh yang dilakukannya sebagai wasilah kepada Allah supaya doanya dikabulkan. Kedua, tawassul melalui doa hamba-hamba Allah yang saleh. Dalam arti, seseorang meminta orang saleh untuk mendoakannya. Tawassul seperti ini dilakukan oleh saudara-saudara Nabi Yusuf. Setelah mengakui kesalahan di masa lalu, mereka minta ayah mereka, Nabi Ya'qub as, untuk berdoa supaya Allah mengampuni mereka. Kisah ini diabadikan dalam al-Quran di surat Yusuf ayat 97-98. Ketiga adalah adalah dengan menjadikan kedudukan mulia hamba-hamba Allah yang saleh di sisi Allah sebagai wasilah. Tawassul dengan cara ini sering dilakukan oleh para sahabat Nabi dengan menjadikan kedudukan Nabi di sisi Allah sebagai perantara bagi terkabulnya doa mereka.

Tidak ada seorang Muslimpun yang menolak tawassul dengan cara menjadikan amal saleh sebagai wasilah. Hanyasaja, kaum Salafi dan Wahhabi menentang tawassul yang menjadikan manusia sebagai perantara antara seseorang dengan Allah, misalnya dengan mengatakan, "Ya Allah aku bertawassul dengan Nabinya kepada-Mu." Tawassul dengan cara ini oleh kaum Wahhabi dinilai sebagai perbuatan dosa dan syirik.

Pandangan kaum Salafi dan Wahhabi bertolakbelakang dengan pendapat mayoritas Ahlussunnah. Imam Ahmad bin Hanbal dalam ‘Musnad'nya meriwayatkan dari Utsman bin Hunaif bahwa suatu hari seseorang yang buta mendatangi Rasulullah Saw dan berkata, "Ya Rasulullah mintalah kepada Allah untuk menyembuhkanku." Nabi Saw bersabda, "Kalau kau mau aku akan mendoakanmu tapi kalau kau mau aku akan menundanya dan ini lebih baik bagimu." Orang buta itu menjawab, "Doakanlah, ya Rasulullah." Beliau lalu menyuruhnya untuk berwudhu dan melakukan shalat dua rakaat lalu berdoa demikian, "Ya Allah aku memohon kepadaMu dengan wasilah Muhammad Saw berilah pandangan inayah kepadaku. Wahai Muhammad, aku berwasilah denganmu kepada Allah untuk terkabulnya hajatku. Ya Allah jadikan dia pemberi syafaat untukku." Setelah melaksanakan apa yang diajarkan Nabi Saw, orang tersebut sembuh dari kebutaannya. (HR Ahmad, Musnad Ahmad bin Hanbal juz: 4 hal: 138) Hadis riwayat Imam Ahmad ini diterima oleh seluruh pakar hadis. Bahkan hakim Neisyaburi menukilnya dalam Mustadrak dan menyatakan bahwa hadis ini sahih. Riwayat tadi menjelaskan sahnya bertawassul dengan Nabi dan salihin yang punya kedudukan mulia di sisi Allah Swt.

Tawassul dengan cara yang disebutkan dalam hadis riwayat Imam Ahmad tadi sudah dikenal oleh para sahabat dan merekapun melakukannya. Salah satu pemikiran kaum Wahhabi dan Salafi yang menyimpang adalah vonis syirik yang mereka jatuhkan bagi siapa saja yang bertawassul dengan nabi dan wali. Ibnu Taimiyah mengatakan, "Siapa saja yang mendatangi kubur Nabi dan orang yang saleh lalu memohon kesembuhan dari penyakit atau terlunasinya utang berarti ia telah menjadi musyrik. Sebab, selain Allah tidak ada yang memiliki kemampuan untuk melakukan hal-hal itu. Karena itu, orang tersebut harus dipaksa bertaubat dan jika tidak bersedia maka dia  harus dibunuh."

Pendiri ajaran Salafi dalam kesempatan lain mengatakan, "Siapa saja yang berkata bahwa si fulan lebih dekat kepada Allah daripada aku karena itu aku menjadikannya sebagai wasilah untuk doa-doaku berarti dia telah mengatakan hal yang berbau syirik dan orang itu musyrik." (Ziyaratul Qubur wa al-Istijar bi al-Maqbur hal 156)

Hal serupa dikatakan Muhammad bin Abdil Wahhab. Penerus pemikiran Ibnu Taimiyyah ini mengatakan, "Mereka yang bertawassul dengan malaikat, nabi dan wali serta menjadikannya sebagai pemberi syafaat untuk mendekatkan diri kepada Allah, darah dan harta mereka halal." (Kasyf al-Syajat hal: 58) Ibnu Abdil Wahhab tanpa dalil dan argumentasi apapun mengklaim pandangannya yang menyimpang itu sebagai pendapat seluruh mazhab Islam dengan mengatakan, "Semua mazhab Islam sepakat bahwa orang yang menjadikan siapa saja sebagai wasilah antara dia dan Allah lalu menyeru orang itu berarti dia telah kafir dan murtad, nyawanya boleh ditumbahkan dan hartanya bisa dirampas.."

Syekh Abdul Aziz bin Abdullah Aal Syeikh, salah seorang mufti Wahhabi mengenai tawassul dengan nabi mengatakan, "Setelah kematiannya, nabi tidak bisa melakukan pekerjaan apapun bahkan tidak bisa mendoakan siapa saja. Karena itu, bertawassul dengan beliau tidak bisa dibenarkan secara logika dan bisa menyebabkan syirik."

Ulama Wahhabi menyebut Syiah sebagai kelompok kafir dalam bentuk yang terburuk. Sebab, kaum Syiah biasa bertawassul dengan Nabi dan Ahlul Bait. Dewan Fatwa Wahhabi saat ditanya tentang pernikahan dengan orang yang menganut mazhab Syiah menjawab demikian,"Ahlussunnah tidak diperkenankan menikah dengan orang Syiah. Jika pernikahan sudah terlanjur terjadi maka ia dihukumi batal dan tidak sah. Sebab orang Syiah biasa bertawassul dengan Ahlul Bait dan ini adalah perbuatan syirik terbesar."

Satu hal yang menarik adalah fatwa yang dibuat oleh dewan ini mengenai pernikahan dengan orang Yahudi dan Nasrani. Dewan ini menyatakan, menikah dengan orang Ahlul Kitab baik Yahudi maupun Nasrani diperbolehkan dengan syarat mereka bukan pezina. Orang-orang Wahhabi ini tidak menyadari bahwa al-Quran dengan jelas menyebut kaum Yahudi dan Nasrani sebagai kaum kafir. Surat al-Taubah ayat 30 menyebutkan, "Orang-orang Yahudi mengatakan, Uzair anak Allah, dan orang-orang Narsani mengatakan Masih putra Allah. Demikianlah kata-kata mereka yang keluar dari mulut mereka. mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu." Fatwa kaum Wahhabi jelas menyimpang dari kebenaran. Sebab, orang-orang Syiah tidak menyekutukan Allah dengan apapun. Mereka beriman kepada keesaan Allah, kenabian Rasulullah, mempercayai al-Quran, hari akhir dan banyak hal lain yang juga dipercayai oleh muslimin Ahlussunnah.(IRIB Indonesia)

Menyingkap Hakikat Wahabisme; Tawassul Dalam Pandangan Wahhabi (Bagian ketiga, Habis)


Bertawassul dengan para nabi dan shalihin tidak berarti memberi mereka kedudukan yang sejajar dengan Allah Swt. Tawassul adalah menjadikan orang-orang saleh dan suci yang memiliki kedudukan mulia di sisi Allah sebagai perantara untuk membantu terkabulnya permintaan dan doa kepada Allah.  Tawassul dengan makna ini bukan hanya tak bisa dikategorikan sebagai amalan syirik kepada Allah malah tergolong sebagai bentuk penghambaan yang nyata kepadaNya.

Namun demikian, kelompok Salafi yang mengikuti jejak Ibnu Taimiyyah dan Wahhabi malah memandang tawassul sebagai perbuatan syirik. Menurut klaim mereka tawassul tidak sejalan dengan ajaran tauhid. Dengan pandangan ini, mereka lantas menyebut umat Islam yang meyakini tawassul sebagai kaum musyrik. Pemikiran ini jelas merupakan kedangkalan berpikir mereka. Sebab, siapa saja yang mengerti ajaran al-Quran dan hadis akan menyatakan dengan tegas bahwa tawassul justeru menunjukkan penghambaan yang tulus kepada Allah dan jalan untuk mendekatkan diri kepadaNya.

Secara bahasa tawassul berarti menggunakan sesuatu sebagai wasilah dan perantara untuk mendekatkan diri kepada Allah. Karena itu, sejak dulu, umat Islam sudah mengenal tawassul dan menjadikan Nabi Saw dan orang-orang yang saleh sebagai perantara untuk mendekatkan diri kepada Allah atau untuk membantu terkabulnya doa.  Seorang muslim pasti meyakini Allah sebagai Zat yang Esa dan Pencipta segala sesuatu. Semua gerakan dan fenomena yang ada di dunia hanya terjadi dengan kehendak dan izin Allah. Surat al-Anfal ayat 17 dengan cermat menjelaskan bahwa tidak ada senjata yang dilontarkan ke arah musuh kecuali Allahlah yang melontarkannya.

Ayat tadi menisbatkan pelontaran panah atau tombak yang dilakukan oleh Nabi kepada pelaku sebenarnya, yaitu Allah. Artinya, pelemparan tombak atau penembakan panah, adalah perbuatan yang bisa dinisbatkan kepada Nabi dan kepada Allah. Nabi dalam hal ini tak lebih dari perantara penembakan panah sementara pelaku sebenarnya adalah Allah Swt. Sama halnya seperti penulisan kata-kata di atas kertas yang bisa dinisbatkan kepada pena dan bisa pula dinisbatkan kepada manusia. Dalam contoh ini, adakah orang berakal yang menyamakan kedudukan pena dan manusia dalam penulisan ini?

Sayangnya, sama seperti kasus syafaat, orang-orang Wahhabi juga salah memahami konsep tawassul dengan menganggap tawassul sebagai keyakinan akan sekutu bagi Allah. Karena itu, mereka dengan serta merta menjatuhkan vonis syirik dan kufur bagi mereka yang bertawassul. Padahal tawassul, seperti yang sudah dijelaskan adalah menjadikan Nabi dan orang-orang saleh sebagai perantara untuk mendekatkan diri kepada Allah atau untuk terkabulnya doa.

Kedekatan kepada Allah Swt adalah derajat insani yang paling mulia dan suci di jalan penghambaan. Ayat 35 surat al-Maidah menyebutkan bahwa tanpa perantara penghambaan kepada Allah tidak bisa diwujudkan. "Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan kalian kepadaNya dan berjihadlah di jalan Allah supaya kalian memperoleh keberuntungan."

Ayat ini ditujukan kepada kaum Mukmin dan memerintahkan mereka untuk untuk mencari keberuntungan lewat tiga cara. Takwa kepada Allah, mencari wasilah atau perantara untuk mendekatkan diri kepada-Nya dan jihad di jalan-Nya. Yang menjadi pertanyaan adalah, apa yang dimaksud dengan perantara ini? Tentunya perantara ini memiliki makna yang luas dan yang pasti harus memenuhi syarat yaitu mampu mendekatkan diri kita kepada Allah. Keimanan, jihad, dan ibadah bisa menjadi perantara kedekatan kepada Allah. Bertawassul dengan Nabi dan orang-orang yang saleh juga termasuk ibadah yang bisa mendekatkan diri insan mukmin kepada Allah Swt.

Al-Quran sendiri menyebut Rasulullah sebagai penderma yang pemurah kepada manusia. Di surat al-Taubah ayat 59 Allah berfirman, "Dan jika mereka ridha dengan apa yang diberikan kepada mereka oleh Allah dan Rasul-Nya lalu berkata, cukuplah Allah bagi kami, Allah akan memberikan kepada kami sebagian dari karunia-Nya dan demikian pula Rasul-Nya. Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berharap kepada Allah. [Tentulah yang demikian itu lebih baik bagi mereka]."

Al-Quran juga menyebut Rasulullah sebagai penyayang. Jika demikian adanya, mengapa kita tidak meminta kepada beliau dan menjadikan kedudukan tinggi beliau sebagai wasilah kepada Allah? Di surat al-Nisa' ayat 64 Allah berfirman, "Dan seandainya ketika menzalimi diri sendiri mereka mendatangimu dan meminta ampunan Allah lalu Rasul memintakan ampunan bagi mereka maka pastilah mereka akan menemukan Allah Maha Penerima taubat dan Maha Penyayang."

Untuk menolak tawassul, orang-orang Wahhabi berdalil dengan beberapa ayat al-Quran diantaranya ayat 14 surat Fathir yang artinya, "Jika kalian memanggil mereka, mereka tak akan mendengar panggilan kalian, jika mendengar, mereka tak bisa memperkenankan permintaan kalian. Dan di hari kiamat mereka akan mengingkari kemusyrikan kalian dan tidak ada yang bisa member keterangan kepada kalian seperti Yang Maha Mengetahui."

Ayat ini berkenaan dengan para penyembah berhala. Mereka diperingatkan untuk tidak menyekutukan Allah. Sebab, berhala-berhala yang disembah tidak bisa mendengar dan tidak mampu mengabulkan permintaan orang yang memohon kepadanya atau menyelesaikan kesulitan mereka. Kaum Wahhabi yang berpikiran kerdil justeru menggunakan ayat ini untuk memutus hubungan antara umat Islam dengan Nabi dan orang-orang saleh dengan mengatakan bahwa ayat ini bersifat umum dan menafikan kemampuan sesuatu selain Allah untuk mengabulkan permintaan seorang hamba, bahkan lewat tawassul sekalipun.

Ayat berikutnya ayat ayat 197 surat al-A'raf yang menyatakan, "Mereka selain Allah yang kalian seru tak akan bisa menolong kalian bahkan mereka tak mampu menolong diri mereka sendiri."

Kaum Salafi berdalih bahwa tawassul dengan arwah Nabi dan para Imam bertentangan dengan tauhid. Padahal jika dicermati ayat-ayat sebelum ayat suci ini membicarakan tentang berhala-berhala sesembahan yang oleh kaum kafir diyakini memiliki kekuatan seperti Allah.

Siapa yang tak tahu bahwa setelah kematian, para nabi dan wali hidup dengan damai di alam barzakh seperti para syuhada yang secara jelas ditegaskan dalam al-Quran. Alam barzakh adalah alam yang sangat luas tanpa batasan materi dan mereka yang berada di dalamnya tidak diam tanpa aktivitas. Dari sisi lain, kita meyakini bahwa bertawassul dengan arwah insan-insan suci ini bukan berarti meyakini kekuasaan mereka di luar kekuasaan Allah. Tawassul adalah menjadikan kedekatan dan kedudukan mulia manusia-manusia suci di sisi Allah sebagai perantara untuk mendekatkan diri kepada Allah. Keyakinan ini juga dilandasi oleh ayat 255 surat al-Baqarah dalam masalah syafaat yang menegaskan bahwa tidak ada yang bisa memberi syafaat di sisi Allah kecuali jika Dia mengizinkannya. Penjelasan tentang syafaat ini juga berlaku dalam masalah tawassul.

Dalam sebuah hadis Qudsi Allah Swt berfirman, "Ketahuilah, siapa saja yang memiliki hajat, mengharapkan kebaikan atau meminta teratasinya kesulitan yang menimpa hendaknya ia memohon kepada-Ku dengan perantara Muhammad dan keluarga Muhammad supaya Aku mengabulkan hajatnya dengan cara yang terbaik." (Bihar al-Anwar juz 94 hal: 22)

Dalam banyak riwayat dan kisah disebutkan bahwa budaya tawassul sudah dikenal oleh para sahabat Nabi Saw. Mereka datang ke makam Rasulullah dan menjadikan beliau sebagai perantara dalam doa. Kisah-kisah seperti ini banyak diriwayatkan dalam kitab-kitab Syiah dan Ahlussunnah.

Ibnu Hajar al-Makki dalam kitab al-Shawaiq meriwayatkan dari Imam Syafii yang dalam bait-bait syairnya bertawassul dengan Ahlul Bait as, lalu mengatakan, "Keluarga Nabi adalah wasilah bagiku. Merekalah jalan dan wasilahku untuk mendekat kepada Allah. Aku berharap dengan berkat mereka kelak di hari kiamat buku catatan amalku diberikan kepadaku dengan tangan kanan."

Kisah lainnya yang disebutkan berkenaan dengan tawassul yang dilakukan oleh umat Islam adalah riwayat Ummul Mukminin Aisyah dalam kitab Sahih ad-Darimi dari Abul Jauza' diriwayatkan bahwa ketika Madinah dilanda paceklik Aisyah menyeru masyarakat untuk bertawassul dengan Rasulullah Saw. Masyarakat melaksanakan imbauan itu dan di tahun itu, hujan turun dengan deras.

Dalam kitab Sahih Bukhari disebutkan bahwa ketika terjadi paceklik Khalifah Umar bin Khaththab bertawassul dengan Abbas bin Abdul Muththalib, paman Nabi Saw dan berkata, "Ya Allah, dulu ketika Nabi masih hidup saat musim paceklik kami bertawassul kepada beliau dan Engkau pun menurunkan hujan rahmat-Mu. Kini, kami bertawassul dengan paman beliau dan meminta hujan kepada-Mu. Ya Allah siramilah kami dengan hujan." Menurut riwayat Bukhari, setelah doa itu selesai Allah Swt menurunkan hujan-Nya.

Al-Alusi, mufassir besar Ahlussunnah dalam kitab tafsirnya menukil beberapa riwayat dan hadis yang menjelaskan tentang tawassul. Setelah melakukan studi telaah yang rinci, Alusi menulis demikian, "Saya tidak menemukan alasan apapun untuk melarang tawassul kepada Allah Swt dengan perantara Nabi Saw, baik ketika beliau masih hidup maupun setelah kematiannya." Alusi menambahkan, "Tidak ada pula alasan untuk melarang tawassul dengan selain Rasulullah dalam berdoa kepada Allah, dengan syarat yang dijadikan tawassul memang memiliki derajat yang mulia di sisi Allah." (IRIB Indonesia)




0 comments to "Islam: Terorisme atau Cinta serta Tawassul Dalam Pandangan Wahabi..."

Leave a comment