Pada tahun 2005, Jeff Stein, seorang kolumnis The
Washington Post dan editorCongressional Quarterly, menyaksikan
acara Jon Stewart dan para komedian lainnya di televisi yang memberikan
pertanyaan mendasar tentang Islam kepada para pejabat tinggi FBI. Salah satu
pejabat tersebut adalah Gary Bald, yang kemudian menjadi kepala biro
kontraterorisme. Terinspirasi dari acara tersebut, Jeff Stein akhirnya juga
menyiapkan beberapa pertanyaan mendasar kepada para pejabat kontraterorisme
Washington: “Apakah Anda tahu perbedaan antara seorang suni dan Syiah?”
Jeff Stein menilai bahwa pertanyaan
tersebut tidak berlebihan, karena mengenal musuh merupakan aturan mendasar
dalam perang. Lagi pula, dia tidak mengharapkan penjelasan teologis,
hanya penjelasan dasar: apakah dia Syiah atau suni? Jeff Stein mengatakan,
“Memang konyol untuk menyatakan bahwa para pejabat yang bertanggung jawab
melawan terorisme tersebut harus mampu mengenali peluang untuk mengadu domba
rival ini satu sama lain.” Rival yang dimaksud tidak lain adalah suni dan
Syiah.
Ternyata, sejauh ini kebanyakan
pejabat yang diwawancara oleh Jeff Stein tidak punya jawabannya. Tidak hanya
para intelejen dan pejabat penegak hukum, tetapi juga anggota kongres yang
memiliki peran penting mengawasi agen mata-mata Amerika Serikat. “Bagaimana
mereka bisa bekerja tanpa tahu dasar-dasarnya?” kata Stein.
Di akhir wawancara panjang
dengan Willie Hulon, kepala cabang biro keamanan
nasional, Jeff Stein bertanya apakah penting bagi seseorang yang menjabat
posisi sepertinya untuk mengetahui perbedaan antara suni dan Syiah. “Ya, tentu
saja. Penting untuk mengetahui perbedaannya,” katanya. “Sangat penting untuk
mengetahui siapa target Anda.”
Stein akhirnya bertanya apakah dia
bisa menjelaskan perbedaannya. Pejabat FBI itu terlihat bingung. “Dasar-dasar
kepercayaannya kembali kepada keyakinan mereka dan siapa yang mereka ikuti,”
katanya. “Dan konflik antara pengikut suni dan Syiah dan perbedaan di antara
siapa yang mereka ikuti.”
Stein mencoba membantu. Bagaimana
dengan Iran—suni atau Syiah? Pejabat tersebut berpikir sejenak. “Iran dan
Hizbullah,” kata Jeff Stein, “Kelompok manakah mereka?”
Pejabat FBI dengan cepat menjawab:
“Suni.” Salah.
Bagaimana dengan Al Qaeda? “Suni.”
Benar.
Terry Everett, seorang anggota kongres dari
Partai Republik wilayah Alabama yang juga wakil ketua subkomite intelejen
teknis dan taktis, mendapat giliran pertanyaan dari Jeff Stein tentang
perbedaan suni dan Syiah. Everett menjawabnya dengan tawa kecil, lalu berpikir
sejenak.: “Yang satu ada di sebuah lokasi, yang lain berada di lokasi yang
lain. Tidak, sebenarnya saya tidak tahu. Saya kira itu perbedaan di agama
mereka, perbedaan keluarga atau semacamnya.”
Akhirnya, dia meminta Jeff Stein
untuk menjelaskan perbedaannya. Stein menjelaskan tentang perselisihan yang
muncul setelah wafatnya Nabi Muhammad (saw.) dan tentang Irak dan Iran yang
merupakan negeri dengan mayoritas Syiah sementara seluruh dunia mayoritas
adalah suni. “Anda telah menjelaskannya kepada saya,” kata Everett, “yang
membuat saya terpikir apa yang kita lakukan di sana menjadi sangat sulit, tidak
hanya di Irak tapi seluruh wilayah.”
Wakil Jo Ann Davis, seorang anggota kongres Partai
Republik dari wilayah Virginia yang memimpin sebuah subkomite intelejen yang
bertugas mengawasi kinerja CIA dalam merekrut mata-mata Islam dan menganalisa
informasi, sama tercengangnya ketika Jeff Stein bertanya apakah dia tahu
perbedaan antara suni dan Syiah.
“Apa saya tahu?” katanya. Ekspresi
berpikir terlihat di wajahnya. “Ya, seharusnya saya tahu.” Dia coba menebak:
“Ini sebuah perbedaan mendasar dalam keyakinan agama mereka. Suni terlihat
lebih radikal dibandingkan Syiah. Atau sebaliknya. Tapi sepertinya suni yang
lebih radikal dibandingkan Syiah.”
Apakah dia tahu Al Qaeda mengikuti
yang mana? ”Al Qaeda salah satu yang paling radikal, jadi sepertinya
mereka suni,” jawabnya. “Saya mungkin saja salah, tapi sepertinya benar.”
Jeff Stein kemudian bertanya kepada
Jo Ann Davis, apakah penting bagi seorang anggota kongres yang bertugas
mengawasi agen-agen intelejen, untuk mengetahui pertanyaan tersebut? ”Oh,
ya menurut saya sangat penting,” katanya, “karena seluruh alasan Al Qaeda
didasari oleh keyakinan mereka. Anda harus memahami dan mengetahui musuh Anda.”
Tidak semuanya memiliki jawabanya
yang menyedihkan. Beberapa pejabat dan anggota kongres dengan mudah mengabaikan
pertanyaan “menjebak” Jeff Stein. Tapi ia terus bertanya di sekitaran Capitol
Hill dan para agen intelejen semakin memberikan tatapan kosong karena tidak
tahu perbedaannya. Terlalu banyak pejabat yang bertugas memerangi terorisme
tapi tidak peduli untuk mencari tahu, setidaknya, tentang musuh yang mereka
perangi.[1]
Melihat ketidakpedulian musuh, saya
teringat ucapan Imam Khomeini, bahwa ketika umat muslim baik suni maupun Syiah
sedang sibuk saling berdebat, para musuh sedang membunuh mereka semua. “Mereka
yang ingin menciptakan perpecahan antara saudara kami, syiah dan suni, adalah
kelompok yang bersama musuh-musuh Islam. Mereka ingin membantu musuh Islam
untuk menguasai umat muslim. Mereka adalah pengikut Amerika…” kata Imam
Khomeini.[2]
Referensi:
[1] Stein, Jeff. “Can You Tell
a Sunni From a Shiite?” The New York Times. 17 Oktober 2006
[2] “Suni-Syiah dalam Pandangan Imam
Khomeini.” 27 Februari 2010.
http://ejajufri.wordpress.com/2013/04/18/amerika-tidak-peduli-suni-syiah/#more-8816 ( APRIL 18, 2013 | ALI REZA)
5 Propaganda Jahat Atas Syria
Oleh: Cahyono Adi
Masih ingat kasus Nariyah? Itu adalah seorang wanita yang mengaku sebagai perawat Kuwait yang bersaksi bahwa tentara Irak melempar keluar 312 bayi dari inkubatornya hingga tewas setelah pasukan Irak menginvasi Kuwait tahun 1991.
Media massa Amerika menayangkan kesaksian tersebut selama berbulan-bulan, mengakibatkan publik Amerika marah kepada pemerintahan Saddam Hussein di Irak dan merestui tentara Amerika melakukan serangan terhadap Irak hingga berkobar Perang Teluk I yang menewaskan puluhan ribu warga Irak.
Namun kemudian terbongkar kebenaran bahwa Nariyah adalah seorang perawat palsu. Ia tidak pernah berada di Kuwait saat terjadi serangan Irak. Ia bukan perawat dan ia adalah putri dari dubes Kuwait di Amerika, Saud bin Nasir Al-Sabah. Saat kebenaran itu terkuak, kehancuran telah terjadi di Irak. Dan kini propaganda palsu yang sama tengah dilancarkan Amerika dan sekutu-sekutunya atas Syria.
Pertama kasus anak-anak Daraa. Pada awal terjadinya kerusuhan di Syria bulan Maret 2011, media massa barat dan “underbow”-nya di berbagai belahan bumi termasuk di Indonesia, gencar memberitakan kisah tentang beberapa pelajar dari kota Daraa yang menulis di tembok bangunan tulisan yang berbunyi “Rakyat menginginkan pemerintahan jatuh”. Akibat tulisan tersebut mereka ditangkap oleh aparat keamanan dan disiksa dengan berbagai cara, termasuk dengan mencabut kuku-kuku mereka. Setelah dua tahun, tidak pernah diketahui di mana anak-anak itu sekarang, termasuk wajah dan identitas mereka, termasuk tidak diketahui siapa yang pertama kali menuliskan cerita ini. Anak-anak itu bagaikan cerita hantu.
Kedua kasus kematian Hamza Alkhatib, seorang remaja yang tewas dimutilasi di Daraa pada awal kerusuhan. Cerita yang beredar adalah bahwa ketika mulai terjadi kerusuhan, tentara membunuhnya dan menyembunyikan mayatnya selama beberapa hari. Kemudian mereka menyerahkan mayat yang telah termutilasi ini kepada keluarganya sehingga menimbulkan kemarahan warga yang berakibat kerusuhan yang semakin meluas. Cerita ini tentu saja sangat tidak rasional. Kalau tentara benar-benar membunuhnya, mengapa mereka harus memutilasinya dan menyembunyikan mayatnya selama beberapa hari dan kemudian menyerahkan kepada keluarganya saat kondisi tengah rusuh? Cerita tersebut juga tidak sejalan dengan fakta bahwa orang tua Hamza telah bertemu dengan Presiden Bashar al Assad dan kemudian berkata, “Saya tidak akan mengijinkan siapapun memanfaatkan kematian anak saya. Saya tidak percaya tentara telah membunuhnya, dan Presiden telah menjanjikan penyidikan atas kasus ini.”
Ketiga kasus kematian bayi dalam inkubator di Hama. Ceritanya berbeda sedikit saja dengan kasus Nariyah, yaitu tentara Syria memasuki rumah sakit kemudian mematikan lampu penghangat inkubator sehingga menewaskan bayi-bayi di dalamnya. Cerita ini beredar seiring beredarnya sebuah foto di dunia maya yang ternyata diambil dari Alexandria, Mesir. Tidak ada seorang saksi pun yang membenarkan kebenaran foto tersebut dan tidak ada satu keluarga pun di Syria yang mengakui bayinya meninggal di dalam inkubator. Setidaknya dalam kasus Nariyah terdapat seorang saksi, meski kemudian terbukti sebagai saksi palsu, yaitu Nariyah si putri duta besar.
Keempat adalah kasus blogger lesbian bernama Amina Arraf. Cerita yang beredar adalah seorang blogger lesbian Syria bernama Amina Arraff ditangkap polisi Syria karena memposting tulisan-tulisan anti pemerintah. Ia disiksa dalam penjara dan ceritanya beredar di Facebook hingga menarik pengikut lebih dari 220 ribu orang “facebooker” di seluruh dunia. Cerita tersebut bahkan mendapat tempat di media-media mapan seperti BBC, CNN, The Guardians,FOX dan lain-lain. Namun ternyata cerita tersebut hanya ilusi seorang laki-laki Amerika yang bosan dengan hidupnya dan berusaha mendapatkan kesenangan instan melalui media sosial.
Kelima adalah pembantaian Zainab Al-Hosni, seorang wanita dari kota Homs. Cerita yang beredar bersama video yang diunggah di YouTube adalah mayat Zainab yang ditemukan dengan tubuhnya yang telah dimutilasi. Pengambil gambar video terdengar meneriakkan kata-kata sumpah serapah kepada satu golongan etnis tertentu yang dianggapnya sebagai pembantai Zainab. Namun kemudian terungkap bahwa Zainab masih hidup. Dengan KTP yang sama dengan identitas Zainab Al-Hosni yang dinyatakan sebagai korban pembantaian, Zainab asli mengaku dalam wawancara dengan televisi Syria bahwa dirinya telah lari dari keluarganya karena alasan pribadi. Hingga saat ini tidak diketahui identitas sebenarnya dari mayat termutilasi yang beredar diYouTube serta orang yang mengambil gambar dan meng-up-load-nya keYouTube.
REF:
“Syria: Top Five Propoganda Stories”; thetruthseeker.co.uk; 6 April 2013
“Syria: Top Five Propoganda Stories”; thetruthseeker.co.uk; 6 April 2013
Catatan: kisah Hamza Al Khatib pernah dijadikan ‘dalil’ dalam tulisan jmantan Pimred Republika, Ikhwanul Kiram Mashuri, dan membuatnya mengambil simpulan bahwa musuh umat Islam bukan hanya Zionis, tetapi juga Assad. Tulisan saya yang membantah analisis Ikhwanul bisa dibaca di sini.
Syria di Republika
Dina Y. Sulaeman*
Pada 11 Februari lalu, kolom Resonansi harian Republika menurunkan sebuah artikel yang menurut saya sangat menyedihkan. Bagaimana mungkin seorang jurnalis senior, mantan Pemimpin Redaksi harian besar di Indonesia itu, sedemikian awamnya dalam memahami konflik Syria dan konstelasi politik global? Sang jurnalis yang bernama Ikhwanul Kiram Mashuri (IKM) itu menyandarkan analisisnya dari sebuah video yang belum diverifikasi kebenarannya, lalu menyimpulkan bahwa “musuh umat Islam tidak hanya Zionis, melainkan juga rezim brutal seperti Assad.”
Bagaimana mungkin seorang jurnalis senior sampai tidak tahu bahwa perang Syria sangat diwarnai perang propaganda dan bahkan disebut-sebut sebagai “A Photoshoped Revolution” saking banyaknya rekayasa informasi foto yang diunggah melalui internet untuk memprovokasi opini publik. Berkali-kali pihak oposisi mengunggah foto berdarah-darah di internet dan menyebutnya sebagai ‘korban Assad’. Lalu, biasanya para blogger-lah (sayang sekali, mengapa bukan jurnalis?) yang berjasa menemukan bukti bahwa foto-foto itu mengabadikan kejadian berdarah di tempat lain (umumnya di Gaza). Bahkan kantor berita sekelas BBC ketahuan menggunakan foto korban perang Irak dan menyebutnya itu korban pembantaian tentara Assad.
Kaum oposisi Syria pun membuat sangat banyak rekaman video amatir lalu diunggah di internet. Video dari pihak oposisi ini dengan sangat cepat disebarluaskan ke seluruh dunia, bahkan direlay dan disiarkan ulang oleh media massa mainstream. Video-video itu terbagi ke dalam beberapa jenis: pembantaian sadis yang disebut sebagai korban kebrutalan Assad, pembantaian sadis yang diiringi takbir (dilakukan oleh pasukan oposisi), dan video berisi propaganda relijius, yang sepertinya dibuat utk membangkitkan semangat jihad Islam. Video seperti ini biasanya memperlihatkan para pemberontak sedang menembakkan senjata dengan diiringi takbir, tayangan para pemberontak sedang sholat berjamaah, atau (konon) demo sejumlah massa yang menginginkan khilafah di Syria.
Bila IKM menyodorkan video tentang Hamzah Al Khatib yang (konon) dibunuh oleh tentara Assad (IKM tidak memberi bukti apakah secara jurnalistik video itu sudah terverifikasi), bagaimana bila dia menonton salah satu video sangat brutal yang diunggah oleh kaum oposisi? Video itu sudah terverifikasi (The Guardian memverifikasinya kepada Mustafa al-Sheikh, Ketua Dewan Tinggi Militer FSA) dan bisa diliat di you tube dengan kata kunci ‘syrian+rebel+execute+Aleppo [1]. Dalam video itu, sejumlah pria tak berbaju diseret keluar oleh sejumlah orang besenjata lalu dijejerkan ke dinding, dan kemudian ditembaki (bukan ditembak satu persatu, melainkan dibombardir peluru secara terus-menerus selama 43 detik). Setelah itu hening sekejap lalu diikuti teriakan takbir. Dipastikan, pelakunya bukan tentara Assad. Mustafa al-Sheikh, Ketua Dewan Tinggi Militer FSA, menyebut korban pembantaian adalah klan Al Berri, dan menyebutnya sebagai shabiha. Dalam logika Sheikh, mereka sah-sah saja membantai Berri dengan alasan: Berri adalah shabiha.
Shabiha (yang bermakna ‘hantu’) memang strategis untuk dimunculkan sebagai sosok antagonis. Ketika terjadi pembantaian massal terhadap warga Syria, yang tidak bisa dituduhkan kepada tentara Syria (karena tidak ada bukti), juga FSA menolak mengaku bertanggung jawab, maka muncullahshabiha, yaitu milisi sipil pendukung Assad yang konon melakukan pembunuhan brutal di mana-nama. Shabiha adalah kambing hitam nomer wahid di Syria. Dalam Tragedi di Houla, misalnya (Mei 2012), yang sedemikian brutalnya sampai-sampai Kofi Annan menyebut situasi di Syria saat itu sebagai ‘tipping point’. Tanpa menunggu investigasi PBB, hanya berdasarkan laporan telepon dari aktivis oposisi, media mainstream menyebut pembantaian itu dilakukan oleh Assad dengan cara dibombardir senjata berat. Ketika tim investigasi PBB datang keesokan paginya dan menemukan bukti yang sangat jelas bahwa pembantaian itu dilakukan dengan cara-cara nonmiliter: ditusuk, digorok, dan ditembak jarak dekat, serta tidak ada bukti kehadiran militer di sana, dimunculkanlah shabiha sebagai pelaku.
Sebagai seorang jurnalis, IKM seharusnya jeli membaca laporan-laporan media massa itu. Mereka umumnya mendasarkan informasinya dari saksi dari pihak oposisi yang tidak bisa diverifikasi seara independen. Contohnya, laporan Associated Press terkait Tragedi Houla. AP melakukan wawancara dengan Ali Al Seyyed, bocah 11 tahun, korban tragedi Houla. Wawancara itu dilakukan jarak jauh melalui internet (Skype) dan Ali dihadirkan oleh aktivis oposisi. Associated Press berterus-terang mengakui ‘sulit untuk memverifikasi cerita Ali secara independen’, tetapi, dalam laporannya itu AP tetap menyebut rezim Assad sebagai pelaku. Berbagai laporan dari media massa mainstream banyak yang mencantumkan frasa itu: kesaksian ini tidak bisa kami verifikasi secara independen. Seorang jurnalis yang jujur dan independen pastilah akan kritis dalam membaca laporan seperti ini.
Yang menggelikan, IKM membawa-bawa Taliban dalam tulisannya. Dia menyayangkan, mengapa ketika Taliban membunuh Malala Yousafzai reaksi dunia sangat keras, sementara untuk korban Syria, dunia internasional bereaksi biasa-biasa saja. Ada dua hal yang ingin saya komentari dari pernyataannya ini.
Pertama, terkait Taliban/Al Qaida. Bagaimana mungkin, seorang jurnalis sekelas IKM tidak tahu bahwa sebenarnya pelaku teror di Syria adalah Al Qaida (meski dengan berbagai nama lain). Bagaimana mungkin dia tidak membaca laporan-laporan dari berbagai media mainstream yang menyebutkan bahwa pasukan jihad dari Libya dan berbagai negara Arab datang ke Syria? Bahkan Mustafa al-Sheikh (Ketua Dewan Tinggi Militer FSA) saat diwawancarai Mona Mahmoud (The Guardian) mengakui hal ini, “Al-Qaida saat ini ada di berbagai penjuru Syria.”
Dan seorang jurnalis yang cerdas seharusnya akan dibuat heran oleh situasi ini: bagaimana mungkin AS yang di Afghanistan memburu Al Qaida dan Taliban, tetapi di Syria malah mendukung dan memfasilitasi kehadiran mereka (laporan-laporan bahwa CIA terlibat dalam pengiriman senjata dan pasukan jihad dari Libya dan negara-negara Arab sudah banyak diungkapkan oleh media-media mainstream). Apalagi, bukankah Republika juga merilis berita bahwa Israel pun kini sudah mulai terjun ke medan perang di Syria? Tidakkah fakta ini membuat IKM curiga: ada kelompok jihad Islam, tapi kok malah didukung Barat dan Israel? Mungkin IKM perlu sedikit browsing, mencari tahu siapa itu Bernard Levy dan apa peran tokoh Zionis ini dalam mendesain perang di Libya dan Syria?
Baru akhir-akhir ini saja, ketika kelompok garis keras di Syria terlihat sulit dikendalikan (apalagi malah nekad mendeklarasikan berdirinya khilafah di Syria), barulah AS ingin cuci tangan dan menyatakan ‘kiriman senjata untuk pihak oposisi ternyata jatuh ke pihak yang salah’, dan menaruh Front Al Nousra (salah satu kelompok oposisi yang sangat banyak melakukan peledakan bom di fasilitas publik) ke dalam list organisasi teroris.
Selain itu, seharusnya IKM menggali lebih dalam, tidak hanya membaca Syarq Al Awsat, tetapi mau membaca laporan-laporan PBB (dalam informasi yang simpang-siur dari dua pihak yang bertikai, laporan PBB bisa dianggap lebih valid, terutama dari sisi riset akademis). Menarik untuk dicermati bahwa Sekjen PBB dalam suratnya kepada Dewan Keamanan (Mei 2012) tidak secara tegas menyebutkan bahwa militer Syria membunuhi para demonstran.
“Ada laporan terus-menerus mengenai bertambahnya tindakan pengamanan yang keras yang dilakukan pemerintah, yang membawa ke arah pelanggaran HAM secara massif oleh tentara pemerintah dan milisi pro-pemerintah, termasuk penahanan secara semena-mena, penyiksaan, penghilangan paksa, dan pembunuhan terhadap aktivis, [yaitu] oposan dan pembelot [militer].”
Perhatikan bahwa Sekjen PBB menggunakan kalimat ‘ada laporan’ dan sama sekali tidak memberikan konfirmasi mengenai hal itu. Padahal, ada tim khusus PBB di Syria, yaitu UNSMIS, meski sekarang sudah dibubarkan. Sebaliknya dalam laporan itu disebutkan dengan tegas bahwa sangat banyak aksi teror yang menimpa warga sipil, tentara, dan termasuk anggota misi PBB sendiri (UNSMIS). Bahkan laporan Sekjen PBB itu terang-terangan menyebut ada kelompok teroris mapan yang terlibat di Syria.
“Ada peningkatan jumlah pengeboman, yang paling banyak di Damaskus, Hama, Aleppo, Idlib, dan Deir ez-Zor. Ini termasuk pengeboman ganda di Damaskus pada 10 Mei 2012, ketika dua kendaraan yang membawa bom rakitan yang diperkirakan beratnya masing-masing 1000 kilogram, diledakkan di dekat gedung pemerintah. Ukuran bom ini menunjukkan bahwa bom ini dirakit oleh ahli tingkat tinggi, yang bisa mengindikasikan keterlibatan kelompok teroris yang mapan (established terrorist groups). Pemerintah telah menegaskan adanya kelompok-kelompok seperti ini di dalam negeri, demikian pula dinyatakan oleh beberapa kelompok oposisi. Front Al-Nusra telah mengklaim bertanggung jawab atas minimalnya enam pengeboman terakhir.”[2]
Kedua, terkait reaksi internasional. IKM pastilah sudah tahu dunia internasional sangat keras reaksinya terhadap Syria. Karakter Assad sudah habis-habisan dihancurkan oleh media-media mainstream dan media lokal yang merujuknya (antara lain, Republika sendiri). Jadi, apalagikah yang diharapkan IKM? Agaknya IKM mengharapkan intervensi militer, sebagaimana NATO menggulingkan Qaddafi. Tidakkah IKM curiga sedikit saja: mengapa Mubarak atau dulu, Shah Iran, bisa tumbang tanpa intervensi militer dari asing, sedang Qaddafi harus digulingkan melalui intervensi militer asing? Jawabannya: karena dukungan rakyat Libya terhadap perjuangan oposisi tidak cukup kuat. Itulah sebabnya mereka (oposisi di Libya) meminta bantuan asing.
Lalu, apa yang terjadi setelah pasukan asing masuk ke Libya? Apakah Libya kini aman dan makmur? Tidak. Libya, yang dulu negara makmur tanpa hutang, pendidikan dan kesehatan gratis, kini menjadi negara yang hancur lebur akibat bombardir NATO. Pemerintah baru Libya menyerah pada jeratan hutang kepada lembaga-lembaga keuangan internasional, terutama IMF, dan rekonstruksinya diserahkan kepada perusahaan-perusahaan Barat. Seandainya IKM pernah membaca buku John Perkins, dia akan melihat polanya dengan sangat jelas. Perangi sebuah negara yang independen (setidak-tidaknya, ‘sulit diatur Barat’) dengan kedok ‘humanitarian intervention’, lalu setelah negara itu hancur, sodori hutang, dan rampaslah minyak dan emasnya.
Dan bila dilacak ke belakang: siapa pemilik kontraktor-kontraktor AS, pemilik perusahaan-perusahaan senjata, pemilik saham dari lembaga keuangan yang bagi-bagi hutang itu; yang semuanya mengeruk keuntungan dari perang? Tak lain adalah orang-orang Zionis. Ini bukan teori konspirasi. Segalanya sangat jelas dan terang-benderang, hanya dibutuhkan kejelian membaca data yang berserakan di internet.
Dan skenario di Libya inilah yang sedang terulang di Syria. Sayangnya, hanya karena Assad seorang Alawy yang menjadi musuh bersama segolongan umat Islam garis keras, reaksi kaum muslimin terhadap Syria menjadi jauh berbeda. Media-media Islam yang dulunya berseberangan dengan media mainstream, kini justru bahu-membahu dalam perang propaganda melawan rezim Assad.
Apa boleh buat, hanya satu simpulan saya atas artikel IKM di Republika yang menanyakan “Apakah Musuh itu Hanya Zionis Israel”? : naif.
________
Dimuat di IRIB dan The Global Review
*Magister Hubungan Internasional Unpad, Research Associate of Global Future Institute
[1] salah satu link nya: http://youtu.be/KggxTWkZJmU
[2]Surat Sekjen PBB bisa diunduh di http://www.securitycouncilreport.org/atf/…/Syria%20S2012%20363.pdf
Artikel IKM bisa dibaca di:http://www.republika.co.id/berita/kolom/resonansi/13/02/10/mi083m-apakah-musuh-itu-hanya-zionis-israel
Please Don’t Be a Muslim
Dina Y. Sulaeman
Menyusul tragedi pengeboman di Boston, situs Washington Post memuat artikel berjudul “Please Don’t Be a Muslim” (semoga jangan orang Islam). Ya, saat mendengar berita pengeboman di Boston, agaknya, hampir semua orang, termasuk kaum muslim, secara refleks teringat pada Al Qaida atau sejenisnya. Menurut artikel tersebut, meski tragedi Boston masih belum diselidiki, di twitter sudah bertebaran pesan singkat, Please don’t be a ‘Muslim.’ Semoga jangan muslim pelakunya. Ungkapan belasungkawa juga segera dilakukan kaum muslim berbagai negara melalui media sosial. Seolah mereka semua sedang diposisikan sebagai tertuduh dan cepat-cepat berusaha menunjukkan bahwa mereka tidak setuju dengan aksi pengeboman itu. Menyedihkan, sejak tragedi 9 September 2001 (penghancuran gedung WTC), terorisme menjadi identik dengan muslim.
Segera setelah 9/11, Bush menggandeng DK PBB, NATO, dan EU dan berhasil menggalang 33 negara untuk bergabung dalam pasukan koalisi War on Terrorism (WoT) yang langsung dipimpin AS sendiri. Pada Oktober 2001, WoT mulai dilancarkan di Afghanistan dengan misi menumbangkan Taliban dan menangkap pimpinan Al Qaida, Osama bin Laden, tertuduh utama pelaku 9/11. Selanjutnya, pada 2002, pasukan khusus AS bekerjasama dengan militer Philipina dengan misi mengusir kelompok Abu Sayyaf dan Jamaah Islamiyah dari Pulau Basilan. Tahun yang sama, perang juga dilancarkan ke beberapa kawasan muslim Afrika yang juga dituduh menjadi basis teroris. Tahun 2003, perang kembali diluncurkan ke Irak dengan misi menggulingkan Saddam Husein atas tuduhan menyimpan senjata pembunuh massal yang mengancam keamanan dunia. Selain perang fisik, AS juga menggalang dukungan internasional untuk bersama-sama melancarkan WoT di wilayah masing-masing, termasuk di Indonesia.
Sebelum dilanjutkan, mari kita lihat dulu, apa definisi terorisme. Kaplan (1981) mengatakan bahwa terorisme dimaksudkan untuk menciptakan situasi pikiran yang sangat menakutkan (fearful state of mind). Lebih jauh lagi, situasi ketakutan ini tidaklah ditujukan kepada para korban teroris melainkan kepada audiens (khalayak) yang bisa jadi tidak ada hubungan dengan para korban. Hal senada juga diungkapkan Oots (1990, p.145) yang menulis bahwa terrorisme dimaksudkan untuk menciptakan “ketakutan yang ekstrim di tengah khalayak yang lebih besar daripada korban langsung.”
Masyarakat Barat yang terbiasa hidup dalam situasi yang stabil tidak terbiasa dengan situasi ketakutan seperti ini. Persepsi ketakutan ini juga dilipatgandakan oleh media, terutama TV. Selain itu, tindakan AS yang mendeklarasikan WoT lalu menyerang Afghanistan, Irak, dan negara-negara lain telah memicu munculnya persepsi global bahwa terorisme adalah sumber bahaya dan ketidakamanan yang mengancam setiap saat.
Inilah poin yang penulis garis bawahi: persepsi global ketakutan. Melalui media, AS telah berhasil menyebarluaskan persepsi global bahwa ada ancaman terorisme Al Qaida yang bergentanyangan di berbagai sudut bumi. Ketakutan dimunculkan di seluruh dunia. Jaringan Al Qaida, konon tersebar dari Kennya, Tanzania, Maroko, Tunisia, Arab, Mesir, Yaman, Jordan, Irak, Afghan, Turki, Spanyol Inggris, Pakistan,Indonesia, dan Philipina, dan mereka sedang merencanakan teror di berbagai negara.
Bila dikalkulasi, WoT membunuh secara langsung 62.006 orang dan membuat 4,5 juta orang menjadi pengungsi, dan membuat AS mengeluarkan uang hingga mencapai 3 Trilyun Dollar (data hingga 2006). Sebaliknya, menurut data tahun 2004-2008, jumlah korban akibat serangan teroris di seluruh dunia adalah 3014 orang, yang mayoritasnya bukan orang Barat (Helfstein, 2009). Bila angka ini ditambahkan dengan jumlah korban 9/11, jumlahnya masih jauh lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah korban akibat WoT. Dengan demikian, bila digabungkan seluruhnya, jumlah korban akibat WoT maupun akibat terorisme yang dinisbahkan kepada Al Qaida, mayoritasnya justru muslim. Angka ini akan melonjak lagi bila data terbaru korban teror Al Qaida di Libya dan Syria ditambahkan.
Di sini, dapat disimpulkan, terorisme tidak sekedar ancaman global, tetapi secara spesifik: ancaman global bagi umat muslim. Umat muslim di berbagai penjuru dunia kini terancam. Sewaktu-waktu ada aksi teror yang dilakukan oleh orang-orang muslim, efeknya akan dirasakan oleh muslim di berbagai kawasan. Misalnya, teror di Bali, efeknya dirasakan oleh muslim di Australia padahal korban teror di Bali juga banyak yang muslim. Teror di London, Moskow, Madrid, efeknya dirasakan oleh muslim di Eropa, orang-orang bergamis dan berjilbab dihina, diteriaki, bahkan ada yang dirampas jilbabnya karena dicurigai sebagai teroris. Ketakutan yang sama bahkan muncul di negeri muslim seperti Indonesia. Menyusul bom Marriot, muncul ketakutan kepada orang yang bergamis, berjenggot, dan bercadar. Media beberapa kali memberitakan pengusiran terhadap orang-orang berpenampilan “Timur Tengah” itu di beberapa wilayah.
Ada dua hal yang perlu dicermati di sini. Pertama, terorisme digunakan untuk politik menakut-nakuti (politics of fear). Herman and O’Sullivan (1984) menulis, terorisme telah memberikan kesempatan bagi para pemimpin di Barat untuk menciptakan ketakutan dan irasionalitas di tengah masyarakat sehingga mereka memberikan kebebasan kepada para pemimpin itu untuk melakukan apa saja. Ketakutan terhadap terorisme efektif untuk memobilisasi massa agar mendukung aksi-aksi militer, dan ini memberikan keuntungan besar bagi industrialis perang. Selanjutnya, ketika suatu negara hancur lebur akibat perang, proyek-proyek rekonstruksi dan eksplorasi minyak pun akan mengisi pundi-pundi para kapitalis Barat itu.
Kedua, catatan untuk kaum muslimin sendiri. Tak bisa lagi dipungkiri, bahwa Al Qaida memang ada dan melakukan teror. Memang bila ditelusuri lagi, backingdi belakang Al Qaida (bahkan, yang pertama kali membentuknya dan melatihnya) adalah CIA; kasus Libya dan Syria juga semakin membuka tabir siapa sebenarnya ‘sutradara’ di balik Al Qaida. Namun, siapa yang benar-benar terjun ke lapangan? Siapa yang angkat senjata atau melakukan berbagai aksi bom bunuh diri dan pengeboman jarak jauh? Tentu saja, jelas bukan bule-bule CIA, melainkan muslim yang merasa sedang berjihad. Dan sedihnya, cukup banyak juga simpatisan Al Qaida ini di Indonesia. Bahkan seorang petinggi sebuah partai Islam pernah menulis puisi yang menyanjung Osama bin Laden. Artinya, kita pun kaum muslimin perlu waspada; perhatikan lagi, berapa banyak yang tewas, dan siapa yang lebih banyak tewas gara-gara ada sekelompok muslim yang mau-maunya bergabung dengan Al Qaida (dan afiliasinya)? Ironis sekali, merasa sedang berjihad dan menegakkan kebenaran, namun ternyata mereka hanya pion yang sedang diperalat Barat.
Siapa pelaku pengeboman di Boston masih belum dipastikan. Tapi semoga, memang bukan muslim pelakunya. []
Catatan: ini adalah ringkasan dari paper saya soal terorisme dan politics of fear; versi lengkapnya bisa diunduh di sini:Makalah Dina_global security_OK
Tulisan ini dimuat di IRIB Indonesia dan The Global Review
Perang Melawan Terorisme dan Politics of Fear
Dina Y. Sulaeman
(Makalah ini cukup panjang, 14 hlmn word, ditulis untuk perkuliahan “Keamanan Global’ yang diampu Prof. Yanyan M. Yani, PhD. Salah satu poin menarik yg saya temukan saat menulis makalah ini: meskipun Perang Melawan Terorisme konon diluncurkan AS demi melindungi rakyat AS (=Barat) dari terorisme Al Qaida, ternyata korban serangan Al Qaida mayoritasnya justru bukan orang AS (Barat), melainkan muslim sendiri. Sementara, korban terbesar dari Perang Melawan Terorisme juga muslim. Artinya, secara keseluruhan, muslim-lah korban terbesar dan pada saat yang sama, muslim pula yang disalahkan dan dianggap sebagai biang terorisme. Sayangnya, ada tabel dan gambar yang tidak bisa dicopas ke blog ini. Yang minat bisa donwload versi PDF makalah ini di sini: Makalah Dina_global security_OK
Tragedi 9/11 dan Launching WoT
Hanya beberapa jam menyusul serangan terhadap Menara Kembar WTC pada 11 September 2001 (atau peristiwa 9/11) tersebut, pemerintahan Bush mengumumkan bahwa serangan itu dilakukan oleh jaringan teroris bernama Al Qaida. Menlu Colin Powell menyebut serangan 9/11 sebagai “aksi perang”. Pada malam harinya, President George W. Bush berpidato provokatif, bahwa dia “tidak akan membedakan antara teroris yang melakukan aksi terror 9/11 dan pemerintahan asing yang menjadi pangkalan dari jaringan teroris itu.”[1] Sekitar sebulan kemudian, Oktober 2001, Perang Melawan Terorisme pun dimulai oleh Bush dan pasukannya (untuk selanjutnya, dipakai singkatan WoT, War on Terrorisme).
Reaksi keras Bush dan Menlu-nya diikuti oleh statemen-statemen pejabat dan politisi AS lainnya, dan tentu saja, oleh media-media mainstream AS yang kemudian ditayang ulang oleh media-media di seluruh dunia. New York Times, misalnya, secara provokatif menulis, “Ketika kita telah memastikan bases and camps para penyerang kita, kita harus menghancurleburkan mereka—meminimalisasi namun menerima kerusakan yang niscaya terjadi—dan bertindak terang-terangan maupun tersembunyi untuk mendestabilisasi negara-negara tempat berlindungnya para teroris.”[2]
WoT telah dilancarkan ketika penyelidikan 9/11 belum tuntas. Bahkan, Komisi Penyelidikan 9/11 baru dibentuk oleh Bush pada akhir tahun 2002 dan baru menyerahkan hasil penyelidikan mereka pada tahun 2004. Masih banyak pertanyaan yang belum terjawab oleh laporan Komisi Penyelidikan 9/11 itu. Misalnya, bila Al Qaida benar-benar bersalah dalam teror 9/11, mengapa hingga kini tak ada sidang terbuka mengadili para tertuduh pelaku teror itu? AS menyatakan telah menahan dalang pengeboman menara WTC, Khalid Sheikh Mohammed. Lalu mengapa dia tidak segera diadili supaya dunia benar-benar mendapatkan bukti bahwa memang Al Qaida yang bersalah? Niels H. Harrit dan beberapa pakar sains dari AS dalam paper ilmiah yang dimuat di Jurnal Kimia Fisika melaporkan, ditemukan lapisan tipis debu bom super thermite di lokasi reruntuhan WTC.[3] Menurut para pakar konstruksi, menara setinggi WTC tidak akan hancur lebur hanya karena ditubruk sebuah pesawat, kecuali bila memang di dalam menara itu sudah dipasang bahan peledak dalam jumlah puluhan ton.[4] Perlu satu tim besar untuk menaruh puluhan ton bom di sana. Mengapa pemerintah AS, alih-alih mengirim 17.000 pasukan ke Afghanistan, tidak memfokuskan diri untuk menangkap tim itu?
Thierry Meyssan, seorang jurnalis asal Prancis, dalam bukunya[5] menulis hasil penyelidikan yang dilakukannya. mengapa FBI membiarkan orang-orang yang latar belakangnya sudah diketahui ada link dengan Al Qaida diizinkan masuk AS, ikut pelatihan pilot, dan akhirnya mereka (dituduh) menerbangkan pesawat yang kemudian menabrakkan diri ke Menara WTC. Menurut FBI, pesawat tersebut adalah Boeing 767 yang tepat menghantam gedung WTC. Secara teknis, peristiwa ini sangat sulit terjadi. Dipandang dari ketinggian yang jauh, sebuah kota akan tampak seperti selembar peta dan semua acuan visual yang lazim menjadi hilang. Untuk menabrak menara, pesawat perlu dipraposisikan pada ketinggian sangat rendah. Hanya pilot yang sangat ahli yang mampu melakukan penabrakan setepat itu dengan pesawat tambun Boeing 767. Padahal, masih menurut FBI, pelaku terror adalah pilot yang baru lulus latihan.
Namun, masih menurut Meyssan, ada cara lain untuk bisa menabrakkan pesawat itu dengan sedemikian tepat sasaran, yaitu dengan memakai remote control. AS telah memiliki teknologi untuk mengendalikan pesawat tanpa awak.
Kecurigaan lain muncul dari kejadian penabrakan pesawat ke gedung Pentagon pada hari yangs ama dengan penabrakan WTC. Menurut Kepala Staf Gabungan Pentagon, Jenderal Richard Myers, pesawat terbang itu adalah berjenis Boeing 757-200. Myers juga mengatakan bahwa pesawat itu sempat dikejar oleh dua pesawat tempur F-16 namun kehilangan jejak. Hal ini tentu saja terasa aneh. Bagaimana mungkin pesawat sipil yang berukuran besar bisa menang kejar-kejaran melawan F-16? Apalagi, di atap gedung Pentagon dipasang penangkis serangan udara dan rudal-rudal supercanggih. Mengapa Boeing 757 itu bisa lolos dan menabrakkan diri ke gedung Pentagon?
Obama: Melanjutkan WoT dengan Citra Baru
Pada tanggal 27 Maret 2007, Presiden Obama mengumumkan rencana militer terbarunya: Perang Afganistan-Pakistan. Seperti yang dulu dilakukan Bush, Obama menggunakan tragedi pengeboman gedung WTC 11 September 2001 sebagai alasan perang.
“Saya mengingatkan semua orang, AS tidak memilih untuk berperang di Afghanistan,” kata Obama. “Hampir 3000 orang rakyat kita terbunuh pada 11 September 2001, padahal mereka tidak melakukan apapun selain menjalankan aktivitas kehidupan sehari-hari. …Saya ingin rakyat Amerika memahami bahwa kita memiliki sebuah tujuan dan fokus yang jelas: untuk mengacaukan, membongkar, dan mengalahkan al-Qaida di Pakistan dan Afghanistan, dan untuk mencegah mereka kembali ke negara itu di masa depan.”[6]
Pasukan yang dipimpin AS pada tahun 2001 telah berhasil menggulingkan pemerintahan militan Taliban, tapi—AS mengklaim—banyak di antara pasukan Taliban yang melarikan diri dan membangun kekuatan kembali di perbatasan Pakistan. Karena itulah Obama mengatakan, perbatasan Afghan-Pakistan sebagai the most dangerous place in the world.[7]
Di Kairo, Obama menjustifikasi perang Afghanistan dengan mengutip ayat Quran, “Situasi di Afghanistan memperlihatkan tujuan Amerika dan perlunya kita bekerja bersama. Lebih dari tujuh tahun yang lalu, AS mengejar al-Qaida dan Taliban dengan dukungan international. Kami tidak pergi [perang] atas pilihan [sendiri]. Kami pergi [perang] karena memang harus pergi. … Al-Qaida membunuh hampir 3.000 orang pada hari itu. Mereka memiliki afiliasi di banyak negara dan mencoba untuk memperluas jangkauan. Tidak ada di antara kita yang boleh menoleransi ekstrimis. …Al Quran suci mengajarkan bahwa siapa yang membunuh seorang manusia tak berdosa, bagaikan membunuh seluruh umat manusia…”[8]
Berbeda dengan Bush yang terang-terangan menggunakan kata ‘crusade’ (Perang Salib) saat meluncurkan WoT, kini Obama menggunakan retorika yang pro-Islam dan bahkan mengajak dunia Islam untuk bersama-sama AS bertempur melawan terorisme. Obama secara terang-terangan menyatakan perang, “We are at war, we are at war against al-Qaeda. “We will do whatever it takes to defeat them.” Namun, di saat yang sama, Obama tetap berusaha menarik simpati kaum muslim dengan mengatakan “Saya menyerukan kepada mayoritas Muslim yang menolak al-Qaeda untuk menyadari bahwa terrorisme tidak menawarkan apapun selain visi yang gagal tentang kedukaan dan kematian, termasuk pembunuhan terhadap sesama muslim, dan AS berdiri bersama mereka yang mencari keadilan dan kemajuan “.[9]
Benarkah Terorisme Ancaman Bagi Keamanan Global?
Reaksi pemerintah AS terhadap 9/11 telah menjadikan terorisme sebagai masalah global. Bush segera menggandeng DK PBB, NATO, dan EU. Ketiganya (PBB , NATO, dan EU) juga bergerak cepat dalam mengenali ancaman dan membangun kebijakan counterterrorism berdasarkan kerjasama internasional. AS berhasil menggalang 33 negara untuk bergabung dalam pasukan koalisi yang langsung dipimpin AS sendiri. Pada Oktober 2001, WoT di Afghanistan dimulai dengan misi menumbangkan Taliban dan menangkap Osama bin Laden. Selanjutnya, pada 2002, pasukan khusus AS bekerjasama dengan militer Philipina dengan misi mengusir kelompok Abu Sayyaf dan Jamaah Islamiyah dari Pulau Basilan. Tahun yang sama, perang juga dilancarkan ke beberapa kawasan di Afrika yang juga dituduh menjadi basis teroris. Tahun 2003, perang kembali diluncurkan ke Irak dengan misi menggulingkan Saddam Husein atas tuduhan menyimpan senjata pembunuh massal yang mengancam keamanan dunia. Selain perang fisik, AS juga menggalang dukungan internasional untuk bersama-sama melancarkan WoT di wilayah masing-masing.
Pertanyaannya, mengapa terorisme dianggap sebagai ancaman utama dunia? Bukankah alasan utama WoT yang dikemukakan baik oleh Bush maupun Obama adalah 9/11? Lalu mengapa ancaman terhaadap AS diperluas menjadi dijadikan ancaman terhadap dunia? Untuk menjawab pertanyaan ini, sebelumnya kita perlu melihat dulu apa definisi terorisme.
Hingga kini tidak ada kesepakatan global mengenai definisi terorisme. Berbagai lembaga, organisasi, dan cendekiawan memberikan definisi mereka masing-masing atas terorisme. Menurut Crenshaw (2007:68) meskipun PBB telah mengeluarkan berbagai konvensi anti terorisme, namun Negara-negara anggota PBB hingga kini tidak bersepakat atas definisi terorisme karena dua alasan. Pertama, Negara-negara anggota PBB masih belum bersepakat apakah Negara dikategorikan teroris bila angkatan bersenjata mereka melakukan serangan kepada warga sipil. Kedua, terkait dengan justifikasi moral terhadap aksi kekerasan; apakah gerakan perlawanan melawan pendudukan asing (misalnya di Palestina atau Irak atau Afghanistan) dikategorikan teroris.
Bila kita melihat definisi terorisme yang dirilis oleh Kementerian Dalam Negeri AS, teorisme dikaitkan dengan audiens.
The term “terrorism” means premeditated, politically motivated violence perpetrated against noncombatant targets by subnational groups or clandestine agents, usually intended to influence an audience.[10]
Kaplan (1981) mengatakan bahwa terorisme dimaksudkan untuk menciptakan situasi pikiran yang sangat menakutkan (fearful state of mind). Lebih jauh lagi, situasi ketakutan ini tidaklah ditujukan kepada para korban teroris melainkan kepada audiens (khalayak) yang bisa jadi tidak ada hubungan dengan para korban. Hal senada juga diungkapkan
Oots (1990, p. 145) yang menulis bahwa terrorisme dimaksudkan untuk menciptakan “extreme fear and/or anxiety-inducing effects in a target audience larger than the
immediate victims.”[11]
Crenshaw menjelaskan lebih jauh tentang masalah efek bagi audiens ini. Menurutnya, bagi publik, terorisme sangat menakutkan karena sifatnya yang tak terduga (unpredictable). Terorisme sering menjadikan masyarakat sipil sebagai target. Aksi-aksi terorisme, yang skalanya kecil sekalipun, menjadi pengingat konstan betapa rapuhnya keamanan mereka. Mereka tidak tahu apakah orang yang duduk di kereta bis atau pesawat adalah teroris.[12] Artinya, intensitas ancaman tidaklah bergantung kepada hal-hal fisik seperi jumlah korban dan hancurnya infrastruktur. Aspek subjektif dari ancaman ini, misalnya ketakutan dan kengerian, sama pentingnya dengan aspek objektif.
Masyarakat Barat yang terbiasa tinggal di masyarakat yang stabil tidak terbiasa dengan situasi ketakutan seperti ini. Persepsi ketakutan ini juga dimagnified oleh media, terutama TV. Selain itu, tindakan AS yang mendeklarasikan WoT lalu menyerang Afghanistan, Irak, dan negara-negara lain telah memicu munculnya persepsi global bahwa terorisme adalah sumber bahaya dan ketidakamanan yang menngancam setiap saat.[13]
Inilah poin yang penulis garis bawahi: persepsi global ketakutan. Melalui media, AS telah berhasil menyebarluaskan persepsi global bahwa ada ancaman terorisme Al Qaida yang bergentanyangan di berbagai sudut bumi. Ketakutan dimunculkan di seluruh dunia. Jaringan Al Qaida, konon tersebar dari Kennya, Tanzania, Maroko, Tunisia, Arab, Mesir, Yaman, Jordan, Irak, Afghan, Turki, Spanyol Inggris, Pakistan,Indonseia, dan Philipina, dan mereka sedang merencanakan terror di berbagai negara.[14]
Berikut ini adalah lokasi-lokasi yang dicurigai sebagai habitat sel-sel jaringan Al Qaida.[15]
Tabel 1. Korban Akibat WoT
Negara | Korban Sipil | Korban Militer | Pengungsi | Keterangan |
Irak | 50.100 | 2.899 | 888,700 (external) 1.3 juta (internal) | Data hingga 2006[16](tahun 2009, meningkat jadi 150.000 orang)[17] |
Afghanistan | 4541-5308 (direct)8000-20.000 (indirect deaths) | (tidak ada data) | 2,2 juta (external), 153200 (internal) | Data hingga 2006 |
Pakistan | 700 | (tidak ada data) | (tidak ada data) | Data tahun 2009[18] |
Yaman | 83 (34 di antaranya dituduh sebagai anggota Al Qaida) | (tidak ada data) | (tidak ada data) | Data tahun 2010[19] |
Siapa Sesungguhnya Korban WoT?
Bila dikalkulasi secara umum, hingga tahun 2006, WoT membunuh secara langsung 62.006 dan menjadikan 4.5 juta pengungsi, dan membuat AS mengeluarkan uang yang sangat banyak. Stiglitz memprediksikan bahwa pengeluaran perang AS bisa mencapai 3 Trilyun Dollar.[20] Jumlah sebesar itu tentu bisa dipakai untuk melunasi utang semua negara miskin di dunia ini. Menurut penulis, bila AS mengkhawatirkan ancaman dari para teroris yang berasal dari negara-negara miskin (Afghan, Yaman, Somalia, dll) akan jauh lebih baik bila AS menggunakan dana perang untuk mensejahterakan negara-negara miskin itu. Bisa dijamin AS akan menjadi negara paling dicintai di muka bumi.
Sebaliknya, mari kita lihat berapa banyak jumlah korban yang tewas akibat serangan (yang diklaim AS sebagai serangan) Al Qaida di seluruh dunia. Tabel berikut ini menunjukkan jumlah korban tewas per tahun sejak tahun 2004. Terlihat dalam table bahwa korban serangan Al Qaida mayoritasnya bukan orang AS (Barat). Tabel ini tidak menghitung jumlah korban terorisme di Afghanistan dan Iraq karena pertimbangan bahwa di kedua negara itu sedang diduduki AS sehingga korban yang jatuh bisa dianggap sebagai akibat dari perang melawan tentara pendudukan.
Berikut ini table jumlah korban akibat aksi terror (yang dinisbahkan kepada) Al Qaida.
Tabel 2. Jumlah Korban Tewas Akibat Terorisme (2004-2008) [21]
Kedua tabel di atas memperlihatkan bahwa jumlah korban akibat WoT maupun akibat terorisme yang dinisbahkan kepada Al Qaida mayoritasnya adalah muslim. Dari sini penulis mengambil kesimpulan, terorisme tidak sekedar ancaman global, tetapi secara spesifik: ancaman global bagi umat muslim. Umat muslim di berbagai penjuru dunia kini terancam. Sewaktu-waktu ada aksi terror yang dilakukan oleh orang-orang yang mengaku dari Al Qaida, lalu efeknya akan dirasakan oleh muslim di berbagai kawasan. Misalnya, terror di Bali, efeknya dirasakan oleh muslim di Australia padahal korban terror di Bali juga banyak yang muslim. Terror di London, Moskow, Madrid, efeknya dirasakan oleh muslim di Eropa, orang-orang bergamis dan berjilbab dihina, diteriaki, bahkan ada yang dirampas jilbabnya karena dicurigai sebagai teroris. Ketakutan yang sama bahkan muncul di negeri muslim seperti Indonesia. Menyusul Bom Marriot, muncul ketakutan kepada orang yang bergamis, berjenggot, dan bercadar. Media beberapa kali memberitakan pengusiran terhadap orang-orang berpenampilan “Timur Tengah” itu di beberapa wilayah.
Terrorisme dan Global Politics of Fear
Kini, tersisa pertanyaan terakhir, bila kenyataannya yang lebih banyak menjadi korban terorisme adalah kaum muslim, mengapa AS sedemikian bernafsu menggelar WoT? Bukankah WoT telah menimbulkan beban biaya yang sangat besar, bahkan menimbulkan defisit terbesar sepanjang sejarah AS?
Ada banyak analisis yang telah ditulis terkait motif AS meluncurkan WoT. Misalnya, Robert Gilpin (2005) dalam jurnalnya menulis,
“Serangan AS tahun 2003 terhadap Irak diarsiteki oleh dua kelompok kuat dalam pemerintahan Bush, yaitu ‘ultra-nationalists’ dan neo-konservative. Motif kelompok ultranasionalis adalah untuk meraih control atas cadangan minyak di Timur Tengah dan Negara-negara lain di kawasan demi mempertahankan dominasi global AS. Kelompok neo-con juga memiliki tujuan serupa, mereka juga menginginkan restrukturisasi radikal atas relasi geopolitik di awasan dengan tujuan untuk menciptakan keamanan jangka panjang bagi Israel.”
Bila kita melihat latar belakang para tokoh ultranasionalis itu, argumen Gilpin di atas memang sangat tepat. Bush, Cheney, Rumsfeld, Wolfowitz, Rice, dan beberapa tokoh neo-con lain dalam pemerintahan Bush memiliki saham di berbagai perusahaan minyak. Perang melawan terorisme telah menjatuhkan korban sangat banyak, baik warga sipil di Irak, Afganistan, Pakistan, atau di tempat-tempat lain; namun di saat yang sama memberikan keuntungan raksasa bagi kaum kapitalis. Selain perusahaan-perusahaan minyak yang menangguk untung dari pengontrolan kilang-kilang minyak di Irak, perusahaan-perusahaan senjata, perusahaan keamanan privat (private security company), dan kontraktor sipil (pembangunan infrastruktur) juga menangguk keuntungan yang luar biasa besar. Ketika perang terus-menerus berlanjut, pabrik-pabrik senjata akan terus berproduksi dan terus mendapatkan pasar; perusahaan keamanan privat terus mendapatkan order, dan perusahaan pembangunan infrastruktur terus mendapat kontrak pembangunan (rekonstruksi) di negara-negara bekas perang. Perusahaan minyak juga mengambil keuntungan besar karena harga minyak yang cenderung naik pesat bila perang di Timur Tengah meletus.
Para kapitalis ‘bisnis’ perang mendirikan perusahaan keamanan privat yang mendapat order dari Pentagon untuk memberikan konsultasi resiko di kawasan konflik, melatih pasukan lokal di kawasan konflik, mengamankan gudang-gudang senjata, mengawal perpindahan uang, memberikan pelayanan intelijen, mengamankan berbagai gedung-gedung, memenuhi kebutuhan persenjataan bagi perang dan pengamanan, logistik, dan bahkan penyediaan penjara dan investigasi narapidana. Di antara pejabat pemerintahan Bush yang memiliki saham di perusahaan keamanan privat adalah Dick Cheney dan Mike McConnell.
Argumen Gilpin terbantahkan dari sisi kenyataan bahwa kini setelah Obama yang berasal dari Partai Demokrat dan (konon) tidak didukung oleh kelompok neo-con ternyata WoT tetap dilanjutkan bahkan diperluas. Karena itu, perlu dicari jawaban lain dari motif peluncuran WoT.
Motif lain itu diungkapkan Susanne Soederberg (2006:164-165) yang menulis, kelumpuhan ekonomi dalam negeri AS membuat AS merasa perlu memperluas aktivitas produksi dan keuangannya di luar negeri. Untuk mewujudkan rencana ini, tentu saja dibutuhkan kerjasama dari pemerintah negara-negara Selatan agar mereka mau menerapkan kebijakan yang pro-kapitalis, seperti pendisiplinan tenaga kerja, penurunan standar lingkungan dan pajak, dll. Perang melawan terorisme bisa dilihat dari sudut pandang ini, bahwa AS memaksa dunia agar bergabung dengannya dalam perang, yang berimplikasi pada semakin kokohnya unitalteralisme AS.
Lalu, bagaimana cara agar pemerintah negara-negara dunia bersedia bergabung dalam perang melawan terorisme? Altheide (2006) memberikan jawabannya, yaitu dengan menggunakan ‘politics of fear’. Sebelum bisa meluncurkan WoT, pemerintah AS harus mendapatkan dukungan dari dalam negeri dan persetujuan perwakilan rakyat (Kongres dan Senat). Dalam rangka ini, politisi dan agen-agen pemerintah AS bekerja sama dengan media massa untuk menyebarluaskan ketakutan sehingga rakyat mau menggantungkan diri kepada agen-agen pemerintah untuk menyediakan perlindungan serta melakukan pembalasan dendam dan hukuman terhadap pelaku terror.[22]Sumber-sumber pemberitaan media massa AS sangat bergantung kepada sumber pemerintah untuk menyediakan laporan yang bersesuaian dengan symbol-simbol ketakutan, kriminalisasi, dan korban akibat terorisme, serta ancaman terhadap AS.[23]
Menurut Altheide, “Di dunia modern, power (kekuatan) menampakkan dirinya melalui ketakutan. WoT tidaklah dilancarkan berdasarkan perencanaan militer yang solid, trend global yang koheren, atau analisis yang meyakinkan tentang kepentingan nasional AS. Kebijakan WoT berlandaskan pada ketakutan dan dijual kepada rakyat melalui politics of fear.”[24]
Altheide menyatakan bahwa politics of fear didefinisikan sebagai upaya pengambil kebijakan (pemerintah) untuk mengembangkan dan memanfaatkan keyakinan dan asumsi khalayak umum tentang bahaya, resiko, dan ketakutan demi meraih tujuan tertentu. Sumber dari ketakutan itu bisa berupa otoritas, Tuhan, atau musuh internal dan eksternal.[25]
Sementara itu, menurut Herman and O’Sullivan (1984)[26], terrorisme telah memberikan kesempatan bagi para pemimpin di Barat untuk menciptakan ketakutan dan irasionalitas di tengah masyarakat sehingga mereka memberikan kebebasan kepada para pemimpin itu untuk melakukan apa saja. Ketakutan terhadap terorisme efektif untuk memobilisasi massa agar mendukung aksi-aksi militer. Buku yang ditulis Herman dan O’Sullivan terbit tahun 1984, sehingga mereka menampilkan contoh kasus pemerintahan Reagan saat itu yang menyebarluaskan ketakutan atas ancaman terorisme dengan tujuan untuk menjustifikasi proyek pembangunan instalasi senjata yang memakan biaya sangat besar.
Seperti telah diungkapkan di atas, pada masa Bush, para kapitalis perang telah mengeruk keuntungan besar dari bisnis perang. Perekonomian AS terus berjalan karena perindustriannya terus bergerak, terutama industri militer. Kini, di tengah krisis ekonomi yang melanda AS, sulit bagi Obama untuk menghentikan WoT. Tak heran bila Obama juga menggunakan taktik politics of fear juga. Setelah menyatakan akan memindahkan pusat perang dari Irak ke Afghanistan dan Pakistan, sejak akhir Desember 2010, WoT diperluas hingga ke Yaman. Bahkan Obama berjanji akan meluncurkan perang ke mana saja, “Kami akan terus menggunakan semua elemen kekuatan nasional untuk melucuti dan mengalahkan kekerasan kaum ekstrimis yang mengancam kita, tak peduli apa mereka dari Afghanistan, Pakistan, Yemen, atau Somalia, atau dimanapun mereka merencanakan upaya penyerangan terhadap tanah air AS.” [27]
***
UPDATE (16 April 2013):
Ada dua hal yang perlu dicermati di sini. Pertama, terorisme digunakan untuk politik menakut-nakuti (politics of fear). Herman and O’Sullivan (1984) menulis, terorisme telah memberikan kesempatan bagi para pemimpin di Barat untuk menciptakan ketakutan dan irasionalitas di tengah masyarakat sehingga mereka memberikan kebebasan kepada para pemimpin itu untuk melakukan apa saja. Ketakutan terhadap terorisme efektif untuk memobilisasi massa agar mendukung aksi-aksi militer, dan ini memberikan keuntungan besar bagi industrialis perang. Selanjutnya, ketika suatu negara hancur lebur akibat perang, proyek-proyek rekonstruksi dan eksplorasi minyak pun akan mengisi pundi-pundi para kapitalis Barat itu.
Kedua, catatan untuk kaum muslimin sendiri. Tak bisa lagi dipungkiri, bahwa Al Qaida memang ada dan melakukan teror. Memang bila ditelusuri lagi, backingdi belakang Al Qaida (bahkan, yang pertama kali membentuknya dan melatihnya) adalah CIA; kasus Libya dan Syria juga semakin membuka tabir siapa sebenarnya ‘sutradara’ di balik Al Qaida. Namun, siapa yang benar-benar terjun ke lapangan? Siapa yang angkat senjata atau melakukan berbagai aksi bom bunuh diri dan pengeboman jarak jauh? Tentu saja, jelas bukan bule-bule CIA, melainkan muslim yang merasa sedang berjihad. Dan sedihnya, cukup banyak juga simpatisan Al Qaida ini di Indonesia. Bahkan seorang petinggi sebuah partai Islam pernah menulis puisi yang menyanjung Osama bin Laden. Artinya, kita pun kaum muslimin perlu waspada; perhatikan lagi, berapa banyak yang tewas, dan siapa yang lebih banyak tewas gara-gara ada sekelompok muslim yang mau-maunya bergabung dengan Al Qaida (dan afiliasinya)? Ironis sekali, merasa sedang berjihad dan menegakkan kebenaran, namun ternyata mereka hanya pion yang sedang diperalat Barat.
Disclaimer:
Beberapa bagian isi tulisan ini dicopy-paste dari beberapa tulisan lain milik penulis sendiri yang dimuat di blog Kajian Timur Tengah (http://dinasulaeman.wordpress.com) dan situs The Global Review (www.theglobal-review.com). Selain itu, ada pula yang diambil dari buku “Obama Revealed” karya penulis. Nama yang tercantum dalam buku dan tulisan-tulisan tersebut adalah Dina Y. Sulaeman.
Daftar Pustaka:
Altheide, David L. 2006. Terrorism and the Politics of Fear. Oxford: AltaMira Press
Chossudovsky, Michel. 2005. America’s “War on Terrorism”. Quebec: Global Research
Crenshaw, Martha. 2007. Terrorism and Global Security. Dimuat dalam buku “Leashing the Dogs of War” (Chester A Crocker et al). Washington: US of Peace Institute
Ruby, Charles L. 2002. The Definition of Terrorism. Analyses of Social Issues and Public Policy, 2002, pp. 9–14
Helfstein, Scott. Ph.D. 2009. Deadly Vanguards: A Study of al‐Qa’ida’s Violence Against Muslims (Occasional Paper Series).
Sumber internet:
Skaff. 2010. The Terror Card: Fear is the Key to Obedience
Hasan Syukur. 2009. Skenario Runtuhnya WTC, Harian Republika,http://republika.co.id/koran/24/75709/Skenario_Runtuhnya_WTC
Associated Press, 27 Maret 2009,http://news.yahoo.com/s/ap/20090327/ap_on_go_pr_wh/obama_afghanistan
Text lengkap pidato Obama di Kairo:http://news.yahoo.com/s/ap/obama_text;_ylt=AnWeJcWMU4y2KMyKMS9kQNUUewgF;_ylu=X3oDMTE2cnFxMWQzBHBvcwMxBHNlYwN5bi1yLWItbGVmdARzbGsDLXRleHRvZm9iYW1h
Telegraph 8 Januari 2010
[1] “make no distinction between the terrorists who committedthese acts and those [foreign governments] who harbor them”. (dikutip Chossudovsky, 2005)
[2] New York Times, 12 September 2001.
[4] Analisis lengkap tentang misteri 9/11 yang ditulis jurnalis independent Christopher Bollyn bisa dibaca di http://www.bollyn.com/911#article_11104
[5] 9/11 The Big Lie America , dikutip oleh Hasan Syukur (2009)
[6] Associated Press, 27 Maret 2009,http://news.yahoo.com/s/ap/20090327/ap_on_go_pr_wh/obama_afghanistan
[7] ibid
[8] Text lengkap pidato Obama di Kairo, bisa dilihat dihttp://news.yahoo.com/s/ap/obama_text;_ylt=AnWeJcWMU4y2KMyKMS9kQNUUewgF;_ylu=X3oDMTE2cnFxMWQzBHBvcwMxBHNlYwN5bi1yLWItbGVmdARzbGsDLXRleHRvZm9iYW1h
[11] Ruby, 11
[12] (Crenshaw, 2007:77)
[13] (78)
[14] ibid
[21] Sumber table: Scott Helfstein, Ph.D. (2009)
[22] Altheide 114
[23] ibid
[24] Ibid 207
[25] 2008
[26] Dikutip oleh Skaff (2010)
Siapa Bunuh Syekh Buthy? (1)
Sebuah video pendek sejak kemarin banyak diposting ulang friends FB saya yang simpatisan mujahidin, dengan komentar, “Inilah bukti bahwa Syekh Buthy tidak tewas karena ledakan bom, melainkan karena ditembak oleh agennya Assad.” Seolah, mereka ‘lega’, akhirnya punya bukti untuk menunjukkan bahwa Assad-lah yang membunuh ulama sekaliber Syekh Buthy; bukan mujahidin.
Sebelumnya, HizbutTahrir Syria sudah merilis pula statemen, yang menuduh Assad pelakunya, dengan alasan antara lain: ruang dalam masjid tdk berantakan (katanya dibom?!), ada sepatu berserakan di masjid (kok bisa?!).
Nah, buat yang ngerti bahasa Arab, meski sedikit, baik sekali bila melihat film dokumenter satu ini. Di bagian awal, muncul seorang pengamat yg mengemukakan argumen2 mirip yang disampaikan HT Syria itu. Lalu, argumen itu ditelaah satu-satu dgn memperlihatkan berbagai sudut masjid pasca ledakan. Bahkan dibuatkan simulasi komputer ledakan itu, dan disertakan pula rekaman CCTV di masjid lain di Irak yang juga pernah terjadi ledakan (dan membuktikan tidak aneh kalau kerusakan dalam masjid adalah kerusakan minor, ini bergantung jenis bomnya); dan juga dianalisis keanehan dari video pendek yang baru tersebar itu. Perhatikan, kursi dan back ground mimbar di video pendek, beda dengan kursi dan background mimbar di masjid ‘asli’.
Sekedar info, di menit ke 20:06, ada rekaman wawancara Yusuf Qardhawi terkait Syria di televisi Al-Jazeera; Qardhawi mengatakan, “Orang-orang yang bekerja sama dengan penguasa, wajib bagi kita untuk memerangi/membunuh mereka semua (yajib an nuqaatilahum jamii’an), baik itu dari kalangan militer, orang sipil, ulama…”
Di menit 10:04, dijawab argumen HT Syria soal sepatu di dalam masjid; ternyata di sana org bisa bawa sepatu ke dalam masjid tapi dimasukkan ke kantong khusus.
Ini video pendek yg saya maksud di awal tulisan:
foto kiri: mimbar masjid AL Iman (tempat terbunuhnya Syekh Buthy), foto kanan: mimbar masjid, di video pendek.
Siapa Bunuh Syekh Buthy (2)
Dina Y. Sulaeman
Sekitar 20 hari setelah syahidnya ulama Sunni terkemuka, Syekh Al Buthy, tiba-tiba jejaring sosial diramaikan oleh postingan video “detik-detik terbunuhnya Syekh Buthy”.[1] Kata pengantar dan komentar untuk video itu, sangat bergantung kepada siapa yang upload.
Bila yang meng-upload atau memberi komen adalah para simpatisan ‘mujahidin’ Syria, video ini mereka jadikan dalil, “Inilah bukti bahwa Syekh Buthy tidak tewas karena ledakan bom, melainkan karena ditembak oleh agennya Assad.” Sepertinya, mereka selama ini malu dan kebingungan, bagaimana mungkin ulama Sunni sekaliber Buthy dibunuh ‘mujahidin’? (Aksi bom bunuh diri atau pengeboman di tempat umum sudah jadi trade mark para ‘mujahidin’, mereka pun telah menyatakan bertanggung jawab atas ratusan aksi pengeboman; tim investigasi PBB juga menyatakan demikian.) Kini para simpatisan jihad Indonesia seolah lega mendapati video ini.
Sebaliknya, bila yang menyebarluaskan video itu adalah orang-orang yang antiperang Syria (bisa jadi dia itu memang fans Assad; atau bukan fans Assad tapi mampu melihat peta konflik dengan jernih dan mampu melihat bahwa perang di Syria sesungguhnya hanya menguntungkan Israel), akan mengatakan, inilah buktinya bahwa MEMANG ada terorisme. Syekh Buthy syahid, baik itu karena bom atau ditembak, keduanya adalah aksi terorisme yang sangat keji. Apa ada dalil yang membolehkan membunuh ulama yang sedang berceramah (apalagi ceramahnya itu soal akhlak, bukan politik)?
Oh ya, saya lupa. Ada kok dalilnya, yaitu “fatwa” dari Yusuf Qardhawi, yang dalam wawancara khusus terkait Syria di televisi Al-Jazeera mengatakan, “Orang-orang yang bekerja sama dengan penguasa, wajib bagi kita untuk memerangi/membunuh mereka semua (yajib an nuqaatilahum jamii’an), baik itu dari kalangan militer, orang sipil, ulama…” [2]
Baiklah, kembali kepada video yang menghebohkan itu. Setelah saya berusaha menguatkan hati melihatnya, ada dua kemungkinan yang bisa saya ambil.
1. Video itu mungkin asli. Menurut analisis seorang FB-er, Mohamed Hatem, dalam video ini memang terbukti argumen yang sejak lama sudah disuarakan oleh para simpatisan mujahidin: Syekh Buthy tidak tewas karena bom melainkan karena ditembak. Tapi, pengeboman di masjid Al Iman benar adanya (dibuktikan oleh video-video lain yang menunjukkan suasana masjid pasca ledakan; serta potongan mayat ‘si pengantin’/pelaku bom bunuh diri). Pertanyaannya, mengapa Syekh Buthy akhirnya tewas karena ditembak? Menurut analisis Hatem, ini artinya ada anggota tim ‘mujahidin’ lain –selain si peledak bom- yang bertugas memastikan bahwa Syeikh Buthi benar-benar wafat.
Mungkin akan muncul pertanyaan, “Siapa yang bisa memastikan bahwa si penembak adalah ‘tim lain’ itu? Bisa saja kan, itu memang anteknya Assad?” Jawabannya terletak pada, siapa yang merekam kejadian itu? Kalau pihak Assad, tentu sepertinya mengada-ada dari sisi operasi intelijen. Untuk apa? Untuk semakin merusak nama baiknya dirinya sendiri? Atau pihak ‘mujahidin’ yang sengaja merekam? Untuk apa? Atau mungkin itu kamera televisi yang memang biasa dipasang di masjid untuk merekam ceramah Syekh Buthy? Lalu video itu bocor dan disebarluaskan oleh mujahidin untuk ‘membersihkan’ nama mereka? Rasanya tidak mungkin, karena kualitasnya sangat buruk dan buram; ini jelas bukan kamera televisi.
2. Video itu mungkin palsu. Mungkin saja, rekaman Syekh Buthi saat ceramah di-“potong” lalu dilekatkan pada video lain. Argumennya: kamera yang merekam kejadian itu adalah kamera yang stabil (bukan kamera handphone, misalnya), sehingga rekaman suara pun seharusnya stabil. Di awal rekaman, suara Syekh Buthy terdengar jelas. Setelah terdengar suara ledakan, layar terlihat gelap, lalu, tampak Syekh Buthy bangun lagi (seolah-olah saat ledakan beliau menundukkan kepala), tapi sambil memegang sapu tangan putih yang menutupi wajahnya. Lalu ada seorang laki-laki yang mendekati Syekh Buthy, dan sepertinya menembaknya dari dekat; lalu terlihat beliau terkulai dan orang-orang mendekat. Anehnya, pasca ledakan, tidak ada suara lagi yang terekam. Harusnya, ada teriakan (atau minimalnya, ada suara rintihan dari Syekh Buthy sendiri—kan tadi di awal rekaman suaranya terdengar jelas?).
Oke, bisa jadi jawabannya: ada kerusakan di sound-recordernya. Wallahu a’lam. Tapi: siapa yang bisa memastikan bahwa setelah layar sempat gelap, orang itu adalah Syekh Buthy—karena gambarnya sangat buram, tidak seperti di awal video? Dan bagaimana bisa memastikan bahwa lelaki yang (sepertinya) menembak itu PASTI anteknya Assad (atau sebaliknya, PASTI mujahidin)?
Mungkin banyak lagi ‘analisis’ yang bisa dilakukan. Saya tidak akan berpanjang-panjang lagi di sini. Yang ingin saya sampaikan hanya satu: apapun analisisnya, video itu tidak bisa dijadikan barang bukti untuk menentukan pembunuh Syekh Buthy, anteknya Assad atau mujahidin. Jadi SIAPA? Untuk menjawabnya, tentu saja, perlu dirunut lagi semuanya, baca lagi analisis-analisis yang sudah banyak ditulis orang. Bandingkan argumen-argumennya dengan akal, bukan taklid pada apa kata ustadz/ah. Lalu simpulkan dengan jernih.
Bagi saya, syahidnya Syekh Buthy adalah bukti nyata adanya terorisme di Syria. Syekh Buthy (alm), Syekh Hassoun (Mufti Besar Syria, yang anaknya juga tewas dibunuh teroris), serta Syekh Hassan Seifeddin (ulama Aleppo yang syahid dibunuh teroris, kepalanya dipenggal, jasadnya diarak di jalanan) adalah ulama-ulama Sunni. Tapi ternyata mereka menolak untuk mendukung ‘mujahidin’. Artinya, ini bukan Sunni lawan Syiah.
Apakah dengan menolak mendukung ‘mujahidin’, artinya para ulama itu anteknya Assad? Dan apakah orang yang menentang perilaku para ‘mujahidin’ itu pasti Syiah? Tentu saja itu simpulan yang naif. Ini sama saja seperti Bush saat mendeklarasikan Perang Melawan Terorisme: you’re either with us or against us (mau gabung bersama kami, atau melawan kami). Apa kita yang menolak mendukung Bush mengebomi rakyat Afganistan dan Pakistan bisa disebut pendukung teroris?!
Memangnya, buat rakyat Syria pilihan hanya dua: antek Assad atau anti Assad? Tidak, masih ada pilihan ketiga: perubahan rezim tapi tanpa terorisme. Cara-cara berjuang ala teroris itulah yang ditentang oleh para Syekh Sunni itu; juga oleh kelompok-kelompok oposisi Syria yang tergabung dalam National Coalition Body. Bilapun benar rezim Assad adalah rezim terjahat sedunia; tidak bisa dijadikan pembenaran bagi muslimin untuk melakukan aksi-aksi ala teroris. Islam sudah memberikan aturan yang jelas; terorisme bukanlah etika perang Islam.
Dan kita, bangsa Indonesia, perlu berhati-hati agar cara-cara berjuang ala teroris tidak menular ke negeri kita tercinta.
Baca sebelumnya: Siapa Bunuh Syekh Buthy? (1)
Tulisan ini dimuat di IRIB dan The Global Review dengan judul “Heboh Video Syahidnya Syekh Buthy”
—-
[1] http://www.youtube.com/watch?v=nM8QF5-hD_Q&feature=youtu.be
[2] http://www.youtube.com/watch?v=O71tJN8D_Yk
—-
[1] http://www.youtube.com/watch?v=nM8QF5-hD_Q&feature=youtu.be
[2] http://www.youtube.com/watch?v=O71tJN8D_Yk
Iran Tegaskan, Habisi Israel Cukup dengan Angkatan Darat
Posted by KabarNet pada 19/04/2013
0 comments to "Zionis Israel, Zionis Amerika cs Tidak Peduli Suni-Syiah, ISLAM harus "DIBERANTAS"...!!!!!! Maka Bersatulah Wahai Ummat ISLAM Dunia..!!!!!"