Home , , , , , , , � SELAMAT HARI RAYA IDHUL ADHA / Hari Raya Kurban dan KONTROVERSI Visualisasi Wajah Nabi pada Film

SELAMAT HARI RAYA IDHUL ADHA / Hari Raya Kurban dan KONTROVERSI Visualisasi Wajah Nabi pada Film


Menyambut Lebaran Idhul Adha.... tentu kita ummat ISLAM akan kembali teringat ke sejarah atau Kisah Nabi IBRAHIM as, lalu ada sebagian orang yang juga mengaku ISLAM mengatakan Pelarangan memvisualisasikan NABI,  DILARANG karena memvisualisasikan NABI sang TOKOH BAIK, namun FILM HANTU di perBOLEH kan divisualisasikan sebagai TOKOH JAHAT.....ANEH.... ...iyakah jar...^_^....


Jika yang ingin diketahui adalah “pandangan Islam”, tentu kita akan kesulitan untuk mendapatkannya karena faktanya, terdapat perbedaan pendapat di antara para ulama terkait visualisasi wajah para nabi, khususnya selain Nabi Muhammad SAW. Ada yang mengharamkannya, dan ada yang memperbolehkannya. Karena itu, hukum memproduksi dan menonton film tersebut juga bergantung kepada pandangan ulama mana yang kita ikuti. Sebagian besar ulama Ahlussunah mengharamkannya, sementara itu ulama Ahlul Bait menghalalkannya. Kalau kita cermati argumentasi yang dikemukakan oleh para ulama yang mengharamkannya –yang bisa ditemukan di beberapa situs termasuk diantaranya Majma’ Al Fiqh Al ‘Alami, pengharaman itu didasarkan kepada “kekhawatiran” akan beberapa kemungkinan, di antaranya: khawatir akan menjadi bentuk pelecehan dan bahan tertawaan; khawatir akan terjadi kebohongan yang dilakukan oleh si pemeran karena pada dasarnya tidak ada yang bisa mewakili wajah para nabi; khawatir si pemeran akan melakukan kebohongan yang lain, yakni ketidaksesuaian antara yang diperankan di dalam film dan kehidupan kesehariannya (karena tidak ada jaminan bahwa artis yang memerankan peran seorang nabi adalah orang yang memiliki komintmen untuk selalu menjaga nilai-nilai dan ajaran agama); dianggap melecehkan nabi yang diperankannya karena dalam film/sinetron lain, si artis kadang berperan sebagai pribadi jahat.
Ada lagi kekhawatiran lain yang juga sering dikemukakan, yaitu kekhawatiran akan terjadi “kultus-individu” terhadap sosok pemeran. Ujung-ujungnya adalah muncul perilaku syirik, sebagaimana yang terjadi pada ummat terdahulu, yaitu ketika patung atau gambar para nabi dan orang-orang soleh malah menjadi bahan sesembahan.
Banyaknya dampak negatif yang disebutkan di atas dan hal-hal negatif lain yang mungkin ditimbulkannya menyebabkan sebagian ulama mengharamkan visualisasi nabi dalam film. Para ulama tersebut juga sebenarnya tidak memungkiri akan adanya manfaat atau hal-hal positif dalam hal visualisasi para nabi dalam film. Akan tetapi, karena ada kaidah ushul fiqih yang dikenal dengan konsep saddudz dzariy’ah (bahwa menghindari keburukan atau menutup pintu yang akan menghantarkan kita kepada keburukan adalah sebuah hal yang baik dan bahkan keharusan, dan karena itu harus diutamakan), maka adanya manfaat dari visualisasi tersebut tidak menyebabkannya menjadi halal.
Kalau kita memperhatikan dasardasar hukum pengharaman di atas, akan kita dapati, bahwa hal-hal tersebut tidaklah cukup kuat untuk sebuah hukum pengharaman. Semua dasar hukum yang diajukan tadi berpijak pada kekhawatiran atau asumsi. Padahal, sebagaimana yang menjadi kesepakatan para ulama, kekhawatiran dan asumsi tidak bisa menjadi dasar hukum yang kuat, karena kekhawatiran bisa dihindari dan asumsi juga bisa diperjelas.
Sebagai contoh, terkait dengan kekhawatiran terjadinya kebohongan karena tak ada artis yang bisa memerankan sosok nabi, kita malah bisa memastikan bahwa kekhawatiran itu tidak perlu ada. Dalam konteks film Nabi Yusuf misalnya, bisa dipastikan bahwa baik si artis (Moustafa Zamani) ataupun para penonton, tak ada satupun dari mereka yang menganggap bahwa Zamani adalah sosok yang mewakili Nabi Yusuf, bahkan mendekati pun tidak.
Begitu juga dengan kekhawatiran pelecehan, itu semua tidak terbukti sama sekali. Tidak ada seorangpun penonton yang penghormatannya berkurang kepada sosok Nabi Yusuf setelah menonton film tersebut. Alih-alih melecehkan, yang timbul malah bertambahnya rasa hormat dan kagum luar biasa kepada pribadi Nabi Yusuf dan ayahandanya, Nabi Ya’qub ‘alaihimassalam.
Apalagi jika dikaitkan dengan kekhawatiran akan terjadinya penyembahan atau kultus individu berbau syirik terhadap sosok artis, itu semua tidak terbukti.
Sementara itu mengenai tidak adanya jaminan bahwa perilaku sehari-hari si artis akan sesuai dengan ajaran agama, atau bahwa si artis mungkin saja di film/sinetron lain akan memainkan peranan antagonis (menjadi tokoh jahat), hal itu juga tidak bisa dianggap sebagai bentuk pelecehan. Di zaman moderen ini, jangankan kalangan masyarakat intelek, masyarakat awam pun tahu bahwa si artis hanya “menjadi” sosok nabi ketika bermain di film itu. Di luar adegan film, atau ketika ia bermain di film lain, ia sudah bukan lagi pemeran nabi.
Kesimpulannya, ketika segala dasar keharamannya tidak bisa dijadikan pegangan, maka hukumnya kembali kepada asalnya, yaitu bahwa segala sesuatu itu halal ketika tidak ada dalil kuat yang mengharamkannya. Atas dasar itulah, para ulama Ahlul Bait memperbolehkan produksi film atau menonton film tentang para nabi, yang di film itu wajah nabi divisualkan secara jelas.
Sebagai catatan tambahan, terkait poin kaidah ushul fiqih saddudz dzariy’ah, perlu kami kemukakan bahwa kaidah tersebut masih belum menjadi kesepakatan seluruh ulama Islam. Ulama Ahlul Bayt dan sebagian ulama Ahlussunnah menolak kaidah tersebut. Wallahu a’lam (http://www.icc-jakarta.com/visualisasi-wajah-nabi-pada-film/)
Khusus menyambut LEBARAN Idhul Adha inilah FILM Nabi Ibrahim as, silahkan untuk mendownloadnya :

0 comments to "SELAMAT HARI RAYA IDHUL ADHA / Hari Raya Kurban dan KONTROVERSI Visualisasi Wajah Nabi pada Film"

Leave a comment