Ingin Keadilan, Menangislah Bersama Rakyat
Prof Dr Ing Ir Rudi Rubiandini menangis. Air mata tersangka korupsi ini berlinang setelah mendengar dakwaan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Ia mengaku tak miskin-miskin amat. Kata Rudi Rubiandini, tak satu perak pun ia makan uang haram. Tapi, kolektor motor besar ini, mengaku menerima suap. Sembari berpidato, Rudi mengaku terpaksa melakukan kejahatan luar bisa itu, demi melindungi institusi Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas (SKK Migas).
Rudi Rubiandini bukan orang tolol. Ia orang terdidik. Golongan cerdik pandai. Ia satu di antara putra terbaik republik. Ia doktor di bidang pertambangan. Karena itu banyak yang berharap dengan jabatan sebagai Kepala SKK Migas, Rudi dapat memperbaiki keadaan. Menambah pundi-pundi negara melalui dunia perminyakan. Tak banyak anak negeri ini yang mendapat kemewahan seperti Rudi.
“Bahwa benar saya menerima suap. Itu pun setelah saya menahan diri selama lima bulan dari Januari hingga Mei. Adapun gratifikasi itu saya tolak berulang-ulang. Namun ketika ada kebutuhan logistik meminta sesuatu, sementara yang menawarkan diri untuk memberikan gratifikasi begitu banyak." Begitulah penggalan pidato politik pembelaan profesor doktor Rudi Rubiandini. Pidato penuh emosi. Dibumbui dengan tangis yang dramatik. Doktor Rudi hanya bisa bertahan lima bulan untuk tidak melakukan kejahatan. Rakyat kebanyakan, seumur hidup bertahan dalam himpitan nestapa.
Dahulu, kabarnya, bila pemimpin berpidato tak sedikit rakyat yang menangis haru. Hari ini, saat seorang pemimpin, seorang Kepala SKK Migas berpidato ia menangis. Bisa jadi, rakyat juga ikut menangis menonton tangisan sang profesor, sembari meringis menahan lapar. Rudi juga rakyat dan ia boleh menangis. Rasa air mata seorang yang bernama Rudi Rubiandini dan rakyat kebanyakan tentulah sama: asin.
Rasa asin air mata memang relatif sama. Tapi, mungkin tidak sama persis. Karena, asin air mata rakyat kebanyakan, adalah asin karena getir kehidupan. Rasa asin yang lahir dari himpitan peluh di dalam bus yang sesak, atau di bedeng-bedeng kontrakan. Rasa asin yang keluar dari pengapnya cerobong-cerobong pabrik.
Rasa asin yang dikarenakan pahitnya hidup, tentu tidak persis sama dengan asinnya air laut saat liburan orang-orang hebat. Rasa asin yang keluar dari legamnya kulit sebab terpanggang matahari saat mencari nafkah, tentu tak akan sama dengan rasa asin dari kenikmatan orang-orang besar saat berkendara motor besar.
Alhasil, sebab musabab tangisan doktor lulusan Jerman ini tentu berbeda dengan tangisan rakyat kebanyakan. Air mata rudi mengalir, saat ia tertangkap dan disangka melakukan tindak kejahatan luar biasa mencuri uang rakyat. Sementara, air mata rakyat kebanyakan tercurah karena tindak kejahatan orang-orang hebat macam doktor Rudi. Kejahatan elite terdidik yang menyelewengkan harapan rakyat. Kejahatan cerdik pandai yang terus mencurangi rakyatnya. Mungkin, karena tuan-tuan itu mengganggap rakyat tolol. Dan, dengan mudah dihibur oleh pidato politik serta tangisan. Rakyat dianggap hanya penggemar drama picisan.
Pola laku semacam ini mungkin berawal dari cara berpikir. Bisa jadi mereka berpikir bahwa rakyat hanyalah sebarisan orang-orang yang layak dipecundangi. Sesekali dihibur dengan drama-drama picisan yang merengek-rengek. Diberi hiburan dengan janji-janji. Kadang disambangi dan ditepuk-tepuk pundaknya. Kalau perlu berakting lebih, sembari sesekali mengeluarkan air mata yang asin.
Demikianlah tangisan itu. Ia sama tapi beda rasa. Republik ini tegak, juga satu di antaranya oleh air mata dan keringat para pendiri bangsa. Sebab itulah, lantas Pancasila dijadikan panduan hidup. Pedoman melangkah bersama. Dalam hikmat dan bijaksana. Agar tangisan menjadi bermakna.
Mungkin pernyataan Profesor Buya Safi’i Ma’arif bisa menguatkan kita. Bahwa, hari ini sila ke lima Pancasila telah jadi yatim piatu di negeri ini. Bahwa, keadilan sosial segenap anak negeri ini layak ditangisi. Maka, jangan biarkan tangisan menjadi sia-sia. Menangislah bersama rakyat. (dadang rhs) http://nefosnews.com/post/editorial/ingin-keadilan-menangislah-bersama-rakyat
Rudi Rubiandini: Sudah Jatuh Tertimpa Tangga
Sudah jatuh tertimpa tangga, demikian galibnya seseorang yang sedang mengalami musibah, seperti sedang dialami Prof Dr Ing Ir Rudi Rubiandini. Kisah dirinya sebagai dosen teladan, profesor ahli ilmu perminyakan, taat beribadah, santun dan sopan, sederhana suka naik kereta non eksekutif ber-AC saat pulang kampung ke Tasikmalaya, seolah-olah sirna begitu Metro TV dan media lainnya menyiarkanbreaking news bertubi-tubi pada hari Rabu pagi 14 Agustus 2013, memberitakan penangkapan Ketua SKK Migas Rudi Rubiandini, tertangkap tangan menerima uang ratusan ribu dollar Amerika. Rudi pun setelah jatuh bagaikan tertimpa tangga aliastaraje (bahasa Sunda), karena diberitakan pula bahwa ia punya selingkuhan, wanita teman sekantor berinitial S.
Begitulah kejamnya dunia pers bagi seseorang yang ditangkap KPK dengan tuduhan korupsi. Tentu saja uang sejumlah ratusan ribu dollar Amerika dan dollar Singapura, berikut seratusan gram emas, semuanya fakta yang dikutip wartawan dari penjelasan KPK kepada pers. Bagaimana dengan isu selingkuhan? Nah yang ini mungkin hasil investigasi mungkin pula rekaan wartawan saja bahwa Rudi diam-diam punya selingkuhan, seorang wanita karir berpangkat eselon II di SKK Migas.
Banyak media online dan media sosial termasuk Kompasiana memuat isu Rudi punya selingkuhan, dan tampaknya sebelumnya tanpa minta klarifikasi dari Rudi atau S. Beruntung pagi ini saya membaca artikel di Tribunnews yang memuat bantahan Rudi bahwa ia punya selingkuhan di SKK Migas. Berikut ini kutipan informasi dari Tribunnews yang memuat isu Rudi selingkuh :
- Selain terlibat kasus suap dengan jumlah uang 700 ribu US Dolar, Kepala SKK Migas Non Aktif Rudi Rubiandini juga dikabarkan terlibat skandal asmara dengan teman sekantor wanita berinisial S. Kepala Humas SKK Migas Elan Biantoro menyebut S adalah pejabat eselon dua dan menjabat sebagai Kabag Bagian Program dan Pelaporan SKK Migas. “Awalnya hanya staf Humas, bawahan saya juga, karena dia kan berlatar wartawan. Lalu dia sempat naik Kasubdit di Humas, dan naik lagi ke bagian Sespim hingga sekarang namanya Bagian Program dan Pelaporan sebagai Kabag. Pejabat di bawah deputi, ya eselon dua lah,” ujar Elan kepada Tribunnews, Kamis(15/8/2013).
- Kepala SKK Migas Non Aktif Rudi Rubiandini membantah dirinya terlibat skandal asmara dengan teman sekantor berinisial S. Rudi menjawab hal tersebut saat ditemui di gedung KPK, Kamis(15/8/2013) kemarin. “Enggak ada, enggak ada,” tegasnya sambil berlalu. Sementara itu Kepala Humas SKK Migas Elan Biantoro juga meragukan hubungan asmara S-Rudi. “Dia orangnya nggak suka laki-laki. Saya nggak tahu mengapa begitu. Tapi, karena itulah saya ragu, nggak percaya kalau dia ada affair dengan Pak Rudi. Saya bingung, kenapa sekarang banyak kontrovesial soal dia,” tuturnya. Ia mengaku tak pernah berpikir, apabila Rudi terlibat hubungan asmara dengan S. Sebab, selama di kantor, keduanya belum pernah tertangkap basah berduaan.
Kedua berita di Trubunnews tersebut berasal dari berita pada hari Kamis 15 Agustus 2013, mungkin beda menit atau jam saja.
Jika dalam kasus LHI ia diisukan punya istri ketiga wanita “pushtun” berusia belasan tahun, dan LHI hanya tersenyum saat dimintai klarifikasi oleh wartawan, maka Rudi Rubiandini lebih tegas menjawab bahwa tuduhan selingkuh itu tidak benar.
Jika LHI kemudian terbukti ia memang telah menikahi wanita usia belasan tahun, maka senyuman LHI saat ditanya wartawan adalah senyuman diplomatis, LHI boleh dikatakan tidak berbohong. Bagaimana dengan Rudi, apakah pernyataannya yang tegas bukan bohong? Waktu akan menjawab kebenaran bantahan Rudi.
Demikianlah nasib tersangka korupsi yang ditangkap KPK, selain data dan fakta sejumlah uang yang dikorupsi atau yang diterima sebagai gratifikasi, media tampaknya agak senang bila menemukan isu keterkaitan tersangka dengan wanita idaman lain.
Sudah jatuh tertimpa tangga dan kecebur got pula, isu langsung dijadikan berita, klarifikasi belakangan. Hubungan pribadi seorang publik figur dengan wanita lain bagaimanapun mempunyai nilai berita. Kalau ternyata tidak benar? Mungkin media atau wartawan cukup bungkam atau memuat klarifikasi sebagai berita bantahan, habis perkara. Padahal berita tentang selingkuh pasti akan melukai hati dan perasaan keluarga orang yang digunjingkan, baik berita itu benar apalagi tidak benar.
Tangis Rudi
dan Kisah John Perkins
Editorial Nefosnews mengulas kisah “menarik”: tangisan
Rudi Rubiandini,
Rudi Rubiandini bukan orang
tolol. Ia orang terdidik. Golongan cerdik pandai. Ia satu di antara putra
terbaik republik. Ia doktor di bidang pertambangan. Karena itu banyak yang
berharap dengan jabatan sebagai Kepala SKK Migas, Rudi dapat memperbaiki
keadaan. Menambah pundi-pundi negara melalui dunia perminyakan. Tak banyak anak
negeri ini yang mendapat kemewahan seperti Rudi.
“Bahwa benar saya menerima suap. Itu
pun setelah saya menahan diri selama lima bulan dari Januari hingga Mei. Adapun
gratifikasi itu saya tolak berulang-ulang. Namun ketika ada kebutuhan logistik
meminta sesuatu, sementara yang menawarkan diri untuk memberikan gratifikasi
begitu banyak.” Begitulah penggalan pidato politik pembelaan profesor doktor
Rudi Rubiandini. Pidato penuh emosi. Dibumbui dengan tangis yang dramatik.
Doktor Rudi hanya bisa bertahan lima bulan untuk tidak melakukan kejahatan.
Rakyat kebanyakan, seumur hidup bertahan dalam himpitan nestapa.
(selengkapnya, baca di sini ya)
Membacanya, saya jadi teringat pada
buku John Perkins yang kedua “Pengakuan Bandit Ekonomi”. Di dalamnya Perkins
bercerita bahwa dia tahun 1970-an ditugaskan ke Indonesia untuk menyusun
data-data (yang direkayasa) rancangan proyek pembangunan listrik di Indonesia,
memberikan rekomendasi kepada pemerintah Indonesia berapa banyak hutang yang
meski diambil, dan memberikan angan-angan kosong kepada pemerintah bahwa proyek
berbasis hutang ini sangat menguntungkan dan akan memakmurkan rakyat.
Perkins dan
timnya memiliki misi, “Keberadaan kita di sini tak lain untuk menyelamatkan
negeri ini dari cengkeraman komunisme. Kita tahu negara kita [Amerika Serikat]
sangat tergantung pada minyak. Indonesia bisa menjadi sekutu yang andal dalam
hal ini. Jadi sembari mengembangkan rencana pokok, lakukan apa saja semampu
kalian untuk memastikan industri minyak dan segala industri lain pendukungnya
tetap memperoleh aliran listrik sebanyak yang dibutuhkan selama rencana 25
yahun ke depan.” (hlm 7)
Jadi, ini bukan tentang ‘pembangunan
listrik demi rakyat’, melainkan demi industri minyak. Hutang untuk
proyek-proyek ‘pembangunan’ itu antara lain diberikan oleh Bank Dunia, dan
inilah salah satu bukti peran Bank Dunia dalam kemunduran
ekonomi Indonesia.
Untuk ‘meyakinkan’ para pejabat, tentu
saja tidak sekedar dengan data rekayasa, tetapi juga berbagai bentuk suap,
termasuk perempuan. Perkins berjumpa dengan perempuan yang ‘ahli’ di bidang
ini. Perempuan itu mengatakan, ‘pekerjaan’-nya itu dilakukan di “…country club,
kapal pesiar, Hongkong, Hollywood, Las Vegas.. sebut saja. Di mana saja
orang-orang minyak dan politisi suka, kami pun berada di sana.” (hlm 24)
Dan rupanya modus ini masih terus
terjadi hingga hari ini. Rudi, seorang profesor yang hebat pun, tumbang dalam
sistem korup industri minyak ini. Dia ‘harus’ menyuap, meski menurutnya dia tak
makan uang haram itu. Dan yang memberikan dananya ternyata perusahaan minyak.
Peran Bank
Dunia dalam Kemunduran Perekonomian Indonesia
©Dina Y. Sulaeman
Sejarah Bank Dunia
Bank Dunia adalah sebuah lembaga keuangan global yang secara struktural berada di bawah PBB dan diistilahkan sebagai “specialized agency”. Bank Dunia dibentuk tahun 1944 sebagai hasil dari Konferensi Bretton Woods yang berlangsung di AS. Konferensi itu diikuti oleh delegasi dari 44 negara, namun yang paling berperan dalam negosiasi pembentukan Bank Dunia adalah AS dan Inggris. Tujuan awal dari dibentuknya Bank Dunia adalah untuk mengatur keuangan dunia pasca PD II dan membantu negara-negara korban perang untuk membangun kembali perekonomiannya.
Bank Dunia adalah sebuah lembaga keuangan global yang secara struktural berada di bawah PBB dan diistilahkan sebagai “specialized agency”. Bank Dunia dibentuk tahun 1944 sebagai hasil dari Konferensi Bretton Woods yang berlangsung di AS. Konferensi itu diikuti oleh delegasi dari 44 negara, namun yang paling berperan dalam negosiasi pembentukan Bank Dunia adalah AS dan Inggris. Tujuan awal dari dibentuknya Bank Dunia adalah untuk mengatur keuangan dunia pasca PD II dan membantu negara-negara korban perang untuk membangun kembali perekonomiannya.
Sejak tahun 1960-an, pemberian
pinjaman difokuskan kepada negara-negara non-Eropa untuk membiayai
proyek-proyek yang bisa menghasilkan uang, supaya negara yang bersangkutan bisa
membayar kembali hutangnya, misalnya proyek pembangunan pelabuhan, jalan tol,
atau pembangkit listrik. Era 1968-1980, pinjaman Bank Dunia banyak dikucurkan
kepada negara-negara Dunia Ketiga, dengan tujuan ideal untuk mengentaskan
kemiskinan di negara-negara tersebut. Pada era itu, pinjaman negara-negara
Dunia Ketiga kepada Bank Dunia meningkat 20% setiap tahunnya.
Peran
Bank Dunia dalam Ekonomi dan Politik Global
Rittberger dan Zangl (2006: 172) menulis, sejak tahun 1970-an Bank Dunia mengubah konsentrasinya karena situasi semakin meningkatnya jurang perekonomian antara negara berkembang dan negara maju. Pada era itu, seiring dengan merdekanya negara-negara yang semula terjajah, jumlah negara berkembang semakin meningkat. Negara-negara berkembang menuntut distribusi kemakmuran (distribution of welfare) yang lebih merata dan negara-negara maju memenuhi tuntutan ini dengan cara menyuplai dana pembangunan di negara-negara berkembang.
Rittberger dan Zangl (2006: 172) menulis, sejak tahun 1970-an Bank Dunia mengubah konsentrasinya karena situasi semakin meningkatnya jurang perekonomian antara negara berkembang dan negara maju. Pada era itu, seiring dengan merdekanya negara-negara yang semula terjajah, jumlah negara berkembang semakin meningkat. Negara-negara berkembang menuntut distribusi kemakmuran (distribution of welfare) yang lebih merata dan negara-negara maju memenuhi tuntutan ini dengan cara menyuplai dana pembangunan di negara-negara berkembang.
Basis keuangan Bank Dunia adalah modal
yang diinvestasikan oleh negara anggota bank ini yang berjumlah 186 negara.
Lima pemegang saham terbesar di Bank Dunia adalah AS, Perancis, Jerman,
Inggris, dan Jepang. Kelima negara itu berhak menempatkan masing-masing satu
Direktur Eksekutif dan merekalah yang akan memilih Presiden Bank Dunia. Secara tradisi,
Presiden Bank Dunia adalah orang AS karena AS adalah pemegang saham
terbesar. Sementara itu, 181 negara lain diwakili oleh 19 Direktur
Eksekutif (satu Direktur Eksekutif akan menjadi wakil dari beberapa negara).
Bank Dunia berperan besar dalam membangun
kembali tatanan ekonomi liberal pasca Perang Dunia II (Rittberger dan Zangl,
2006: 41). Pembangunan kembali tatanan ekonomi liberal itu dipimpin oleh AS
dengan rancangan utama mendirikan sebuah tatanan perdagangan dunia liberal.
Untuk mencapai tujuan ini, perlu dibentuk tatanan moneter yang berlandaskan
mata uang yang bebas untuk dikonversi. Rittberger dan Zangl (2006: 43) menulis,
“Perjanjian Bretton Woods mewajibkan negara-negara untuk menjamin kebebasan
mata uang mereka untuk dikonversi dan mempertahankan standar pertukaran yang
stabil terhadap Dollar AS.”
Lembaga yang bertugas untuk menjaga
kestabilan moneter itu adalah IMF (International Monetary Funds) dan IBRD
(International Bank for Reconstruction dan Development). IBRD inilah yang
kemudian sering disebut “Bank Dunia”. Pendirian Bank Dunia dan IMF tahun 1944
diikuti oleh pembentukan tatanan perdagangan dunia melalui lembaga bernama GATT
(General Agreement on Tariffs and Trade) pada tahun 1947. Pada tahun 1995, GATT
berevolusi menjadi WTO (World Trade Organization).
Meskipun tugas Bank Dunia adalah
mengatur kestabilan moneter, namun dalam prakteknya, Bank Dunia sangat
mempengaruhi politik global karena hampir semua negara di dunia menjadi
penerima hutang dari Bank Dunia. Sejak awal beroperasinya, Bank Dunia sudah
mempengaruhi politik dalam negeri negara yang menjadi penghutangnya. Penerima
hutang pertama Bank Dunia adalah Perancis, yaitu pada tahun 1947, dengan
pinjaman sebesar $ 987 juta. Pinjaman itu diberikan dengan syarat yang ketat,
antara lain staf dari Bank Dunia mengawasi penggunaan dana itu dan menjaga agar
Perancis mendahulukan membayar hutang kepada Bank Dunia daripada hutangnya
kepada negara lain. AS juga ikut campur dalam proses pencairan hutang ini.
Kementerian Dalam Negeri AS meminta Perancis agar mengeluarkan kelompok komunis
dari koalisi pemerintahan. Hanya beberapa jam setelah Perancis menuruti
permintaan itu, pinjaman pun cair.
Kebijakan yang diterapkan Bank Dunia
yang mempengaruhi kebijakan politik dan ekonomi suatu negara, disebut SAP
(Structural Adjustment Program). Bila negara-negara ingin meminta tambahan
hutang, Bank Dunia memerintahkan agar negera penerima hutang melakukan
“perubahan kebijakan” (yang diatur dalam SAP). Bila negara tersebut gagal
menerapkan SAP, Bank Dunia akan memberi sanksi fiskal. Perubahan kebijakan yang
diatur dalam SAP antara lain, program pasar bebas, privatisasi, dan deregulasi.
Karena adanya SAP ini, tak dapat
dipungkiri, pengaruh Bank Dunia terhadap politik dan ekonomi dalam negeri
Indonesia juga sangat besar, sebagaimana akan diuraikan berikut ini.
Kinerja Bank Dunia di Indonesia
Bank Dunia telah aktif di Indonesia sejak 1967. Sejak saat itu hingga saat ini, Bank Dunia telah membiayai lebih dari 280 proyek dan program pembangunan senilai 26,2 milyar dollar atau setara dengan Rp243,725 triliun (dengan kurs Rp9.302 per USD). Menurut Managing Director The World Bank Group, Ngozi Okonjo (30/1/2008), pinjaman tersebut telah digunakan pemerintah Indonesia untuk mendukung pengembangan energi, industri, dan pertanian. Sementara yang sektor yang paling mendominasi selama 20 tahun pertama yakni infrastruktur yang pemberiannya kepada masyarakat miskin. Total hutang Indonesia kepada Bank Dunia adalah 243,7 Trilyun rupiah dan total hutang pemerintah Indonesia kepada berbagai pihak mencapai 1600 Trilyun rupiah.
Anggoro (2008) menulis, ada beberapa tugas Bank Dunia di Indonesia. Pertama, memimpin Forum CGI. Aggota CGI (Consultative Group meeting on Indonesia) adalah 33 negara dan lembaga-lembaga donor yang dikoordinasikan oleh Bank Dunia. CGI “membantu” pembangunan di Indonesia dengan cara memberikan pinjaman uang serta bantuan teknik untuk menciptakan aturan-aturan pasar dan aktivitas ekonomi liberal. Dalam hal ini, Bank Dunia bertugas menciptakan pasar yang kuat bagi kepentingan negara-negara dan lembaga donor.
Tugas kedua Bank Dunia adalah menyediakan hutang dalam jumlah besar, bekerjasama dengan Jepang dan ADB (Asian Development Bank). Tugas Bank Dunia yang lain adalah mendorong pemerintah Indonesia untuk melakukan privatisasi dan kebijakan yang memihak pada perusahaan-perusahaan besar.
Dana hutang yang diberikan kepada Indonesia, antara lain dalam bentuk hutang proyek dan hutang dana segar.
a. Hutang Proyek
Hutang proyek adalah hutang dalam bentuk fasilitas berbelanja barang dan jasa secara kredit. Namun, sayangnya, hutang ini justru menjadi alat bagi Bank Dunia untuk memasarkan barang dan jasa dari negara-negara pemegang saham utama, seperti Amerika, Inggris, Jepang dan lainnya kepada Indonesia.
Bank Dunia telah aktif di Indonesia sejak 1967. Sejak saat itu hingga saat ini, Bank Dunia telah membiayai lebih dari 280 proyek dan program pembangunan senilai 26,2 milyar dollar atau setara dengan Rp243,725 triliun (dengan kurs Rp9.302 per USD). Menurut Managing Director The World Bank Group, Ngozi Okonjo (30/1/2008), pinjaman tersebut telah digunakan pemerintah Indonesia untuk mendukung pengembangan energi, industri, dan pertanian. Sementara yang sektor yang paling mendominasi selama 20 tahun pertama yakni infrastruktur yang pemberiannya kepada masyarakat miskin. Total hutang Indonesia kepada Bank Dunia adalah 243,7 Trilyun rupiah dan total hutang pemerintah Indonesia kepada berbagai pihak mencapai 1600 Trilyun rupiah.
Anggoro (2008) menulis, ada beberapa tugas Bank Dunia di Indonesia. Pertama, memimpin Forum CGI. Aggota CGI (Consultative Group meeting on Indonesia) adalah 33 negara dan lembaga-lembaga donor yang dikoordinasikan oleh Bank Dunia. CGI “membantu” pembangunan di Indonesia dengan cara memberikan pinjaman uang serta bantuan teknik untuk menciptakan aturan-aturan pasar dan aktivitas ekonomi liberal. Dalam hal ini, Bank Dunia bertugas menciptakan pasar yang kuat bagi kepentingan negara-negara dan lembaga donor.
Tugas kedua Bank Dunia adalah menyediakan hutang dalam jumlah besar, bekerjasama dengan Jepang dan ADB (Asian Development Bank). Tugas Bank Dunia yang lain adalah mendorong pemerintah Indonesia untuk melakukan privatisasi dan kebijakan yang memihak pada perusahaan-perusahaan besar.
Dana hutang yang diberikan kepada Indonesia, antara lain dalam bentuk hutang proyek dan hutang dana segar.
a. Hutang Proyek
Hutang proyek adalah hutang dalam bentuk fasilitas berbelanja barang dan jasa secara kredit. Namun, sayangnya, hutang ini justru menjadi alat bagi Bank Dunia untuk memasarkan barang dan jasa dari negara-negara pemegang saham utama, seperti Amerika, Inggris, Jepang dan lainnya kepada Indonesia.
b. Hutang Dana Segar
Hutang dana segar bisa dicairkan bila Indonesia menerima Program Penyesuaian Struktural (SAP). SAP mensyaratkan pemerintah untuk melakukan perubahan kebijakan yang bentuknya, antara lain:
1. swastanisasi (Privatisasi) BUMN dan lembaga-lembaga pendidikan
2. deregulasi dan pembukaan peluang bagi investor asing untuk memasuki semua sektor
3. pengurangan subsidi kebutuhan-kebutuhan pokok, seperti: beras, listrik, pupuk dan rokok
4. menaikkan tarif telepon dan pos
5. menaikkan harga bahan bakar (BBM)
Besarnya jumlah hutang (yang terus bertambah) membuat pemerintah juga harus terus mengalokasikan dana APBN untuk membayar hutng dan bunganya. Sebagai illustrasi, dapat kita lihat data APBN 2004 dimana pemerintah mengalokasikan Rp 114.8 trilyun (28% dari total anggaran) untuk belanja daerah, Rp 113.3 trilyun untuk pembayaran utang dalam dan luar negeri (27% dari total anggaran), dan subsidi hanya Rp 23.3 trilyun (5% dari total anggaran). Dari ketiga komponen anggaran belanja tersebut, anggaran belanja daerah dan subsidi masing-masing mengalami penurunan sebesar Rp 2 trilyun dan Rp 2.1 trilyun. Sedangkan alokasi untuk pembayaran utang mengalami kenaikan sebesar Rp 14.1 trilyun.
Komposisi dalam anggaran belanja negara tersebut mencerminkan besarnya beban utang tidak saja menguras sumber-sumber pendapatan negara, tetapi juga mengorbankan kepentingan rakyat berupa pemotongan subsidi dan belanja daerah. Karena itu, meski Bank Dunia memiliki semboyan “working for a world free of poverty”, namun meski telah lebih dari 60 tahun beroperasi di Indonesia, angka kemiskinan masih tetap tinggi. Data dari Badan Pusat Statistik tahun 2009, ada 31,5 juta penduduk miskin di Indonesia.
Hutang dana segar bisa dicairkan bila Indonesia menerima Program Penyesuaian Struktural (SAP). SAP mensyaratkan pemerintah untuk melakukan perubahan kebijakan yang bentuknya, antara lain:
1. swastanisasi (Privatisasi) BUMN dan lembaga-lembaga pendidikan
2. deregulasi dan pembukaan peluang bagi investor asing untuk memasuki semua sektor
3. pengurangan subsidi kebutuhan-kebutuhan pokok, seperti: beras, listrik, pupuk dan rokok
4. menaikkan tarif telepon dan pos
5. menaikkan harga bahan bakar (BBM)
Besarnya jumlah hutang (yang terus bertambah) membuat pemerintah juga harus terus mengalokasikan dana APBN untuk membayar hutng dan bunganya. Sebagai illustrasi, dapat kita lihat data APBN 2004 dimana pemerintah mengalokasikan Rp 114.8 trilyun (28% dari total anggaran) untuk belanja daerah, Rp 113.3 trilyun untuk pembayaran utang dalam dan luar negeri (27% dari total anggaran), dan subsidi hanya Rp 23.3 trilyun (5% dari total anggaran). Dari ketiga komponen anggaran belanja tersebut, anggaran belanja daerah dan subsidi masing-masing mengalami penurunan sebesar Rp 2 trilyun dan Rp 2.1 trilyun. Sedangkan alokasi untuk pembayaran utang mengalami kenaikan sebesar Rp 14.1 trilyun.
Komposisi dalam anggaran belanja negara tersebut mencerminkan besarnya beban utang tidak saja menguras sumber-sumber pendapatan negara, tetapi juga mengorbankan kepentingan rakyat berupa pemotongan subsidi dan belanja daerah. Karena itu, meski Bank Dunia memiliki semboyan “working for a world free of poverty”, namun meski telah lebih dari 60 tahun beroperasi di Indonesia, angka kemiskinan masih tetap tinggi. Data dari Badan Pusat Statistik tahun 2009, ada 31,5 juta penduduk miskin di Indonesia.
Anggoro (2008), peneliti dari
Institute of Global Justice, menulis, kerugian yang diderita Indonesia karena
menerima pinjaman dari Bank Dunia adalah sebagai berikut.
1. Kerugian dalam bidang ekonomi
-Indonesia kehilangan hasil dari pengilangan minyak dan penambangan mineral (karena diberikan untuk membayar hutang dan karena proses pengilangan dan penambangan itu dilakukan oleh perusahaan-perusahaan transnational partner Bank Dunia)
-Jebakan hutang yang semakin membesar, karena mayoritas hutang diberikan dengan konsesi pembebasan pajak bagi perusahaan-perusahaan AS dan negara donor lainnya.
-Hutang yang diberikan akhirnya kembali dinikmati negara donor karena Indonesia harus membayar “biaya konsultasi” kepada para pakar asing, yang sebenarnya bisa dilakukan oleh para ahli Indonesia sendiri.
-Hutang juga dipakai untuk membiayai penelitian-penelitian yang tidak bermanfaat bagi Indonesia melalui kerjasama-kerjasama dengan lembaga penelitian dan universitas-universitas.
-Bahkan, sebagian hutang dipakai untuk membangun infrastuktur demi kepentingan perusahaan-perusahaan asing, seperti membangun fasilitas pengeboran di ladang minyak Caltex atau Exxon Mobil. Pembangunan infrastruktur itu dilakukan bukan di bawah kontrol pemerintah Indonesia, tetapi langsung dilakukan oleh Caltex dan Exxon.
1. Kerugian dalam bidang ekonomi
-Indonesia kehilangan hasil dari pengilangan minyak dan penambangan mineral (karena diberikan untuk membayar hutang dan karena proses pengilangan dan penambangan itu dilakukan oleh perusahaan-perusahaan transnational partner Bank Dunia)
-Jebakan hutang yang semakin membesar, karena mayoritas hutang diberikan dengan konsesi pembebasan pajak bagi perusahaan-perusahaan AS dan negara donor lainnya.
-Hutang yang diberikan akhirnya kembali dinikmati negara donor karena Indonesia harus membayar “biaya konsultasi” kepada para pakar asing, yang sebenarnya bisa dilakukan oleh para ahli Indonesia sendiri.
-Hutang juga dipakai untuk membiayai penelitian-penelitian yang tidak bermanfaat bagi Indonesia melalui kerjasama-kerjasama dengan lembaga penelitian dan universitas-universitas.
-Bahkan, sebagian hutang dipakai untuk membangun infrastuktur demi kepentingan perusahaan-perusahaan asing, seperti membangun fasilitas pengeboran di ladang minyak Caltex atau Exxon Mobil. Pembangunan infrastruktur itu dilakukan bukan di bawah kontrol pemerintah Indonesia, tetapi langsung dilakukan oleh Caltex dan Exxon.
2. Kerugian dalam bidang politik
- Keterikatan pada hutang membuat pemerintah menjadi sangat bergantung kepada Bank Dunia dan mempengaruhi keputusan-keputusan politik yang dibuat pemerintah. Pemerintah harus berkali-kali membuat reformasi hukum yang sesuai dengan kepentingan Bank Dunia.
- Keterikatan pada hutang membuat pemerintah menjadi sangat bergantung kepada Bank Dunia dan mempengaruhi keputusan-keputusan politik yang dibuat pemerintah. Pemerintah harus berkali-kali membuat reformasi hukum yang sesuai dengan kepentingan Bank Dunia.
Hal ini juga diungkapkan ekonom Rizal
Ramli (2009), ”Lembaga-lembaga keuangan internasional, seperti Bank Dunia, IMF,
ADB, dan sebagainya dalam memberikan pinjaman, biasanya memesan dan menuntut UU
ataupun peraturan pemerintah negara yang menerima pinjaman, tidak hanya dalam
bidang ekonomi, tetapi juga di bidang sosial. Misalnya, pinjaman sebesar 300
juta dolar AS dari ADB yang ditukar dengan UU Privatisasi BUMN, sejalan dengan
kebijakan Neoliberal. UU Migas ditukar dengan pinjaman 400 juta dolar AS dari
Bank Dunia.”
Cara kerja Bank Dunia (dan lembaga-lembaga
donor lainnya) dalam menyeret Indonesia (dan negara-negara berkembang lain) ke
dalam jebakan hutang, diceritakan secara detil oleh John Perkins dalam bukunya,
“Economic Hit Men”. Perkins adalah mantan konsultan keuangan yang bekerja pada
perusahaan bernama Chas T. Main, yaitu perusahaan konsultan teknik. Perusahaan
ini memberikan konsultasi pembangunan proyek-proyek insfrastruktur di
negara-negara berkembang yang dananya berasal dari hutang kepada Bank Dunia,
IMF, dll.
Mengenai pekerjaannya itu, Perkins
(2004: 13-16) menulis, “…saya mempunyai dua tujuan penting. Pertama, saya harus
membenarkan (justify) kredit dari dunia internasional yang sangat besar
jumlahnya, yang akan disalurkan melalui Main dan perusahaan-perusahaan Amerika
lainnya (seperti Bechtel, Halliburton, Stone & Webster) melalui
proyek-proyek engineering dan konstruksi raksasa. Kedua, saya harus bekerja
untuk membangkrutkan negara-negara yang menerima pinjaman raksasa tersebut
(tentunya setelah mereka membayar Main dan kontraktor Amerika lainnya),
sehingga mereka untuk selamanya akan dicengkeram oleh para kreditornya, dan
dengan demikian negara-negara penerima utang itu akan menjadi target yang mudah
ketika kita memerlukan yang kita kehendaki seperti pangkalan-pangkalan militer,
suaranya di PBB, atau akses pada minyak dan sumber daya alam lainnya.”
Dalam wawancaranya dengan Democracy
Now! Perkins mengatakan, “Pekerjaan utama saya adalah membuat kesepakatan
(deal-making) dalam pemberian hutang kepada negara-negara lain, hutang yang
sangat besar, jauh lebih besar daripada kemampuan mereka untuk membayarnya.
Salah satu syarat dari hutang itu adalah—contohnya, hutang 1 milyar dolar untuk
negara seperti Indonesia atau Ecuador—negara ini harus memberikan 90% dari
hutang itu kepada perusahaan AS untuk membangun infrastruktur, misalnya
perusahaan Halliburton atau Bechtel. Ini adalah perusahaan-perusahaan besar.
Perusahaan ini kemudian akan membangun jaringan listrik, pelabuhan, atau jalan
tol, dan ini hanya akan melayani segelintir keluarga kaya di negara-negara itu.
Orang-orang miskin di sana akan terjebak dalam hutang yang luar biasa yang
tidak mungkin bisa mereka bayar.”
Untuk kasus Ekuador, Perkins menulis,
negara itu kini harus memberikan lebih dari 50% pendapatannya untuk membayar
hutang. Hal itu tentu tak mungkin dilakukan Ekuador. Sebagai kompensasinya, AS
meminta Ekuador agar memberikan ladang-ladang minyaknya kepada
perusahaan-perusahaan minyak AS yang kini beroperasi di kawasan Amazon yang
kaya minyak.
Tak heran bila kemudian ekonom Joseph
Stiglitz pada tahun 2002 mengkritik keras Bank Dunia dan menyebutnya “institusi
yang tidak bekerja untuk orang miskin, lingkungan, atau bahkan stabilitas
ekonomi”. Dengan demikian, menurut Stiglitz, Bank Dunia pada prakteknya
menyalahi tujuan didirikannya bank tersebut, sebagaimana disebutkan di awal
tulisan ini, yaitu untuk membantu mengentaskan kemiskinan dan menjaga
kestabilan ekonomi.
Melihat kinerja seperti ini, menurut
Anggoro (2008), Bank Dunia sesungguhnya telah melanggar Piagam PBB yang
menyebutkan, “to employ international machinery for the promotion of the
economic and social advancement of all peoples”. Dengan kata lain, Bank Dunia
sebagai salah satu organ PBB mendapatkan mandat untuk membantu meningkatkan
kesejahteraan bangsa-bangsa. Bank Dunia malah memfokuskan operasinya pada
penguatan pasar dan keuangan melalui ekspansi ekonomi perusahaan multinasional,
dan membiarkan Indonesia selalu berada dalam jeratan hutang tak berkesudahan.[]
Tulisan terkait: Tentang Liberalisme Ekonomi (1):
Sri Mulyani Itu Orang Baik Kok!
—–
Daftar Pustaka
Volker Rittberger dan Bernard Zangl,
2006, International Organization, New York:Palgrave MacMillan.
Ponny Anggoro, Why Does World Bank
Control Indonesia, dimuat di jurnal Global Justice Update, Volume VI, 1st
Edition, May 2008,http://www.globaljust.org/index.php?option=com_content&task=view&id=187&Itemid=133
John Perkins, Economic Hit Man (edisi
terjemahan), Jakarta: Abdi Tandur.
Rizal Ramli, Membangun dengan Lilitan
Utang, sebagaimana diberitakan dalamhttp://www.news.id.finroll.com/articles/75304-____membangun-bangsa-dengan-lilitan-hutang-(2)-oleh-yudhi-mahatma____.html
Transkrip wawancara dengan John
Perkins
Total Utang RI ke World Bank Rp243,7 T
(Liputan diskusi dengan Managing Director World Bank)
(Liputan diskusi dengan Managing Director World Bank)
Website resmi PBB, http://www.un.org/
Kasihan Sekali, ketika orang bersih masuk kedalam sistem Demokrasi sekuler.
Jadinya terpakasa harus ikut arus, Kena korupsi